8.28.2011

Anakronik di Serial X-Men

Film besar pun tidak luput dari Anakronik.

Perhatikan screenshoot berikut dari X-Men 3 - The Last Stand (2006):



Pada adegan ini Charles Xavier a.k.a Professor X bersama Erik Leshnerr a.k.a Magneto sedang berjalan menuju tempat tinggal Norma Jean Grey.

Screenshoot berikutnya adalah dari X-Men 5 - The First Class (2011):


Pada adegan ini Charles Xavier sudah duduk di kursi roda setelah dinyatakan lumpuh setengah badan akibat tertembak peluru nyasar pada pertempuran X-Men melawan Shaw.


X-Men 5 dinyatakan sebagai prekuel pelengkap X-Men Trilogy yang dinyatakan 'selesai' pada X-Men 3. X-Men 4, Wolverine Origins (2009) dan X-Men 5 - First Class (2011) adalah kisah dengan plot alur balik/flashback untuk menjelaskan asal muasal X-Men, menjelaskan siapa itu Profesor X, Magneto, Wolverine, serta tokoh-tokoh sentral lainnya yang terdapat pada X-Men 1 s.d. 3. Tetapi menjadi anakronik karena ternyata kesalahan fatal terjadi (atau disengaja?) di mana Professor X yang dinyatakan lumpuh setelah tertembak dan telah menggunakan kursi roda, tapi pada X-Men 3 (yang dibuat lebih dulu dari X-Men 5), ia muncul dengan bugar. hanya rambutnya saja yang berbeda.


Selain itu, di X-Men 5 diceritakan bahwa Professor X dan Magneto berpisah setelah pertempuran melawan Shaw. Tetapi di X-Men 3, X dan Magneto masih bersahabat, bahkan bersama-sama membangun sekolah khusus para mutant.

Catatan ini sekedar pengingat saja kalau nama besar Hollywood. Marvel Comics dan 21 Century Fox Studios bisa melakukan kesalahan yang sangat fatal dan memalukan. :)

sumber tambahan: http://en.wikipedia.org/wiki/X-Men_(film_series)

FIFA, PERATURAN, DAN ISLAM

Gonjang-ganjing di tubuh PSSI beberapa waktu lalu cukup menarik perhatian publik pecinta sepak bola. Seperti biasa ada pro-kontra mengenai intervensi FIFA yang begitu kentara di tubuh PSSI. Apalagi ancaman skorsing terhadap keanggotaan PSSI menjadi sesuatu yang mengerikan. PSSI sebagai perwakilan Indonesia di bidang persepakbolaan juga mendapat tekanan dari publik sepak bola nasional karena dua kali berturut-turut tidak mampu menyelenggarakan kongres. Selain itu tekanan dari kelompok 78 sebagai pemilik suara sah kongres PSSI menjadi sangat dominan dan tampak kontra produktif.

Berbagai upaya dilakukan untuk melobby FIFA agar FIFA memuluskan jalan kandidat mereka, Arifin Ponogoro dan George Toisutta, masuk ke bursa pencalonan pimpinan PSSI. Tetapi FIFA tetap bersikukuh pada pendiriannya: AP dan GT tidak bisa masuk bursa (juga NH dan NB), serta PSSI membubarkan kompetisi ilegal (maksudnya LPI). Bila tidak bisa, maka PSSI akan di-skors dari keanggotaannya di FIFA sebagai satu-satunya asosiasi sepakbola sedunia. Bila tidak menurut, opsi lainnya adalah PSSI dipersilahkan bergabung dengan asosiasi lain, bila ada. Tidak hanya Timnas, tapi seluruh komponen sepakbola Indonesia terancam untuk diisolasi dari sepak bola internasional. Hanya bisa menonton tapi tak bisa bertanding, bahkan sekedar persahabatan dengan negeri Upin-Ipin.

Akhir cerita, kita akhirnya tahu. Kongres PSSI berjalan sukses, pimpinan PSSI sudah terpilih, dan LPI akhirnya dibubarkan untuk kemudian dipersilahkan merger dengan klab peserta ISL. Cerita berakhir bahagia, setidaknya untuk saat ini.

FIFA sedemikian ketat menjalankan aturan yang sudah mereka buat untuk menjaga dominasi mereka di dunia sepak bola. Tidak boleh ada penyimpangan atau bid'ah yang dapat mengganggu eksistensi FIFA ke depan. Banyak alasan pasti, tetapi salah satunya adalah menjaga agar sepak bola tetap kompetitif dalam aturan yang sudah ditetapkan.

***

Bila kita menarik cerita di atas ke dalam konteks agama Islam di Indonesia, misalnya, kita akan menemukan cerita yang mirip. Cerita yang hingga kini belum usai, belum beres, yang ada malah terjadi pro-kontra dan kekerasan. Ummat Islam di Indonesia beberapa hari ini masih menunggu perkembangan kasusnya akan menggelinding ke mana. Sebut saja ada pihak "Islam" yang mengakui adanya nabi lain selain Muhammad SAW serta ada kitab lain selain Al Quran. Pihak yang kontra dengan keberadaan sekte ini berupaya menunjukkan dalil-dalil yang sekiranya shoheh, kompeten, dan bersumber pada sumber yang dipercaya: Al Qur'an, Al Hadits, serta ijtihad ulama. Pihak yang kontra berulangkali mendesak pemerintah sebagai Ulil Amri untuk membubarkan sekte ini. Tak jarang desakan-desakan ini berbuntut dengan adanya kekerasan yang mengorbankan banyak pihak. Fitnah pun merajalela, kebenaran kembali dipertaruhkan. Negara asing pun turut mencoba melakukan intervensi atas nama HAM dan kemanusiaan.

Sedangkan yang pro juga mengajukan banyak dalil, selain dengan sumber dalil yang sama, ditambah juga dengan pemikiran-pemikiran mengenai HAM, demokrasi, dan kemanusiaan. Walhasil, selain menjadi peperangan 'fisik', juga menjadi peperangan ideologis, di mana setiap pihak berusaha untuk saling menang. Saling mengalahkan. Sementara Pemerintah Pusat/Ulil Amri sampai hari ini masih bersikap gamang.

Sebagai antisipasi untuk meredam berbagai gejolak, keluarlah SK-SK Gubernur yang secara langsung maupun tidak melarang adanya aktivitas sekte tersebut di wilayahnya. Kegamangan itu menjadi api dalam sekam, yang bisa saja kembali meledak dan merugikan nama Islam itu sendiri.

Kita tidak pernah tahu kapan, tapi di dalam hati kekhawatiran itu pasti ada. Khawatir akan merembet ke bidang kehidupan yang lain, terutama mengganggu stabilitas nasional, mengganggu rasa kebangsaan yang memang semakin mengkhawatirkan, juga sendi-sendi kehidupan moral lainnya.

***

Bagi saya, benang merah antara FIFA dan agama Islam adalah pada sisi bagaimana peraturan dan nilai-nilai ditegakkan. FIFA tahu, bila mereka memberikan dispensasi bagi PSSI untuk meloloskan AP-GT serta melegalkan LPI akan membuat tatanan dan dominasi yang mereka bangun selama ini, perlahan-lahan ambruk. Bakal ada kejadian di negara lain seperti yang terjadi di Indonesia, dan merembet ke banyak hal lainnya. Apa yang dilakukan FIFA, dalam hemat saya, adalah wajar. Mereka bersikeras untuk menjalankan aturan yang mereka buat tidak lain adalah untuk menjaga eksistensi FIFA itu sendiri. Dengan demikian setiap pemikiran yang menyempal dan tidak sesuai dengan aturan FIFA akan dianggap suatu pelanggaran.

Pelanggaran itu akan coba untuk diluruskan dan diperbaiki sebisa mungkin. Bila gagal, maka setiap pelanggar akan dihukum. Bila tidak bisa menerima hukuman itu, FIFA mempersilahkan negara tersebut mencari asosiasi sepak bola selain FIFA, bila ada .

Demikian juga Islam di Indonesia. Pihak ulama dan pemuka agama Islam yang berusaha menegakan syariat Islam yang berdasar Al Quran dan Al Hadits, berulang kali melakukan upaya pembinaan dan pelurusan. Bahkan mereka meminta bantuan pemerintah untuk bersikap tegas karena ummat Islam di Indonesia sangat menghargai pemerintahnya, sebagai bagian dari menjalankan syariat Islam, walau negara Indonesia bukan negara agama.

Tuntutannya hanya satu, sekte yang menyempal tersebut (menyempal karena mempunyai nabi selain Muhammad SAW dan memiliki kitab suci lain selain Al Qur'an) itu membubarkan diri dan segera bertobat untuk kembali ke pangkuan Al Islam seperti yang diwariskan oleh Muhammad SAW. Solusi lain juga diberikan, bila tidak mau membubarkan diri, dipersilahkan memakai nama sektenya, tetapi menanggalkan nama Islam. Islam yang hanya mengakui Muhammad SAW sebagai nabi terakhir, dan berpedoman pada Al Quran dan al Hadits, bukan kitab Tadzkirah.

Jadi, saya merasa apa yang terjadi dengan dinamika Islam di Indonesia salah satunya adalah untuk menjaga agar nilai-nilai Islam itu sesuai dengan apa yang diwariskan oleh Muhammad SAW dan disampaikan oleh para Anbiya, Aulia, serta ulama-ulama yang kompeten lainnya. Untuk menjaga eksistensi agama Islam itu sendiri, untuk menjaga penganutnya berada dalam barisan yang sama.

***

Al Qur'an adalah kitab yang harus dibaca dan diamalkan setiap penganut Islam, tentu dengan bantuan Al Hadits sebagai sarana untuk penafsirannya. Banyak hal di dalam Al Quran yang menuntut keimanan kita untuk mempercayainya (dalil naqli) dibanding dengan hal yang menuntut akal kita (dalil aqli).

Tetapi walau diharuskan menjadi bacaan kaum Muslimin, upaya penafsiran Al Quran tidak bisa kita lakukan semena-mena. Banyak persyaratan untuk menjadi penafsir Al Quran, yang dimaksudkan agar penafsiran itu tidak melenceng dan kemudian menjadi tafsiran yang menyesatkan. Karena bagaimanapun, di awal perjanjian kita dengan Alloh SWT sebagai muslim adalah mempercayai Al Quran sebagai kitab Alloh SWT, sebagaimana kita wajib mempercayai kitab lain yang diturunkan jauh sebelum Al Qur'an. 'Perjanjian' tersebut kita kenal sebagai Rukun Imam yang 6.

Itu juga menjelaskan mengapa sholat harus dilakukan dengan membaca doa-doa yang berbahasa Arab, karena setiap perubahan bahasa (baca: penerjemahan) tidak akan mencapai hasil memuaskan. Sedangkan di luar sholat, doa lain dipersilahkan menggunakan bahasa ibu kita. Sebagai seorang sarjana bahasa, saya bisa memastikan aksioma bahwa tidak ada penerjemahan yang sempurna kecuali mendekati.

Indonesia dengan kebhinekaannya pun mengakui bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, tanpa harus memberangus bahasa daerah. Demikian juga Al Islam, mengakui bahasa Arab sebagai bahasa persatuannya tanpa harus menghilangkan bahasa Indonesia kita, bahasa daerah kita. Khotbah dan dakwah di Indonesia tidak akan berhasil bila para pengkhotbahnya hanya menggunakan bahasa Arab. Lha, jangankan bahasa Arab, masih banyak lho yang tidak bisa berbahasa Indonesia.

Sebagai premis, intinya adalah bagaimana kita menjaga nilai-nilai yang sudah diwariskan bersama, nilai-nilai yang memang pasti memberatkan kita sebagai manusia yang cenderung ingin bebas dan seenaknya. Nilai-nilai yang mengikat (serta 'menyiksa' itu) sebenarnya adalah bukti pengakuan dan penyerahan diri kita terhadap Islam. Menjalankan syariat Islam, adalah bukti penyerahan dan pengakuan kita terhadap kekuasaan Alloh SWT. Lain tidak.