http://6ix2o9ine.blogspot.com
FYI, asal tahu saja, kisah tentang Hobbit secara lebih komprehensif dapat dibaca di National Geographic Indonesia edisi perdana, April 2005. Fotonya mungkin masih dapat dilihat di nationalgeographic.com/magazine/0504. Secara ilmiah hobbit manusia dari Flores diberi nama Homo floresiensis, ditemukan pada tahun 2003 oleh sekelompok tim ahli dari berbagai negara (termasuk Indonesia). di sebuah tempat yang bernama Liang Bua. Hobbit sendiri merupakan nama yang diberikan berdasar nama seorang tokoh dalam film fiksi Lord of The Ring yang superkeren itu.
Untuk penentangan dan bantahan atas teori baru bahwa Hobbit adalah missing link bagi Homo sapiens, dapat dibaca di Harian Seputar Indonesia No. 321 Tahun ke-1/Sabtu 20 Mei 2006 Halaman 16 yang bersumber dari AFP.
Bantahan tersebut antara lain Hobbit adalah manusia Homo sapiens yang menderita penyakit microcephaly, yaitu kecilnya ukuran tubuh dan otak. Artikel bantahan tersebut juga merujuk pada majalah Science edisi 19 Mei (2006?). Artikel tersebut juga bahwa peralatan yang ditemukan bersama kerangka "Hobbit" dianggap terlalu kompleks untuk bisa dibuat maahluk dengan volume otak sebesar itu.
Artikel di Sindo yang mengutip pernyataan-pernyataan James Phillips, antropolog dari Field Museum Chicago, dari majalah Science juga menyatakan bahwa sangatlah tidak mungkin ada spesies manusia yang berbeda hidup di kawasan timur Indonesia itu, sebab pada masa itu Spesies Homo sapiens sudah menetap di daerah yang sekarang dikenal dengan nama Flores.
Demikian. Just check it out later.
tulisan ini pernah didistribusikan dalam mailing list blue hikers fsup 30 mei 2006
7.28.2006
Bila ada Da Vinci Code Versi Muslim
Selain membaca Da Vinci Code, saya juga kebetulan bisa mendapati buku Fakta dan Fiksi dalam The Da Vinci Code yang ditulis Steven Kellemeier yang diterbitkan oleh Optima Press. Apa yang dikemukakan Santi, ditulis dengan lebih detail dalam buku tersebut. Termasuk kutipan-kutipan Injil dan fakta-fakta sejarah Kristen yang diakui Gereja (Vatikan).
Namun saya ingin mengemukakan hal lain. Misalnya, bagaimana bial ilmu simbologi a'la Profesor Robert Langdon bisa diaplikasikan oleh ummat Muslim di Indonesia untuk kembali mendebat sejarah panjang tentang fakta dan fiksi dalam penyebaran Agama Islam di Indonesia. Misalnya saja, sepanjang yang saya ketahui di dalam Islam, pagan atau musrik adalah bid'ah (heretic/inggris) bidaah /kristen) yang sangat besar. Makanya ayat pertama surat Al Iklash menyatakan bahwa "Alloh/Tuhan itu Esa" Satu. Mono.Eka.
Perjalanan Islam di Tatar Sunda dan Jawa dan Nusantara pada umumnya, awalnya adalah sebuah penetrasi ke lingkungan masyarakat politheisme Hindu. Hingga saat ini, jejak-jejak politheisme (pagan) masih bersisa pada tarian, kebiasaan, bahkan sinkretis dengan ajaran agama. Di daerah Sumedang, tepatnya di Rancakalong, ada tradisi hajat bumi "ngalaksa" berbentuk pesta panen. Pada awalnya, menurut penuturan, ngalaksa ini ditujukan sebagai penghormatan pada Dewi sri atau Dewi Kesuburan atar keberhasilan panen padi. Penghormatan terhadap Dewi Sri ini juga mungkin salah santu bentuk pagan, yang kemudian sekarang beralih menjadi pesta panen biasa yang merupakan pesta sykuran terhadap Tuhan yang Esa.Simbol Dewi Sri sudah menghilang digantikan pemahaman berdasar agama Islam (yang monotheis), namun bentuk-bentuk ritualnya masih dilaksanakan dengan tertib.
Contoh lain, tradisi wayang kulit atau wayang golek adalah upaya para wali untuk mendistribusikan agama Islam di Jawa melalui media kesenian dan pemahaman masyarakat pada waktu itu. Pada jaman awal penyebarannya, masyarakat di Pulau Jawa umumnya beragama Hindu, Budha, atau kepercayaan terhadap Sanghyang Tunggal (Sunda Wiwitan) yang monotheis, tapi mengenal pula dea-dewi rendahan seperti Pertiwi (ibu bumi, dari khasanah Hindu, Pertevi), Dewi Sri (dewi padi), Mbah Jambrong (penguasa Angin) dll. Sampai sekarang, sinkretisme tersebut masih berjejak dalam kesenian wayang golek atau kulit. Media wayang, walau ditentang juga oleh sebagian umat Islam yang menginginkan kemurnian pengajaran agama, sampai sekarang masih dapat disaksikan di TV-TV atau di pertunjukan-pertunjukan.
Bagi masyarakat nelayan di Pantai selatan misalnya, jejak-jejak sinkretisme agama Islam dengan pagan dapat dilihat pada pesta laut. Biasanya perayaan pesta laut untuk meminta berkah dan keselamatan dari Tuhan via persembahan pada Ratu Laut Kidul. Sedangkan dalam bentuk tarian, masyarakat pesisir Pangandaran mengenal tari ritual Ronggeng Gunung yang pada intinya penghormatan pada ibu bumi seperti yang diceritakan Brown dalam The Da Vinci code. Hanya saja secara teknis, tarian ini hanya diikuti oleh satu orang perempuan yang berdiri di tengah lingkaran para lelaki yang menari mengelilinginya. Perempuan lain di lokasi tari ritual adalah sinden. Sisanya laki-laki. Bagi yang ingin melihat tarin ini, mungkin bisa menanyakan dokumentasi videony di UKM Lises yang taun 1997 lalu pernah mendokumentasikannya.
Pandangan Islam sebetrulnya jelas bahwa aktivitas-aktivitas tersebut adalah bid'ah. Namun entah kenapa, banyak juga yang masih mempertahankannya. Yang jelas, kalu du Pesta laut dan Hajat Bumi, biasanya dikelola Dinas Pariwisata setempat untuk menarik wisatawan dan tentu saja rupiah....
Seandainya saja Profesor Robert Langdon beraksi di Indonesia untuk mengungkap jejak pagan pada agama Islam di Indonesia. Bisa berahsilkah dia? Entah juga...
Demikian...
tulisan ini pernah didistribusikan dalam mailing list blue hikers fsup tanggal 6 juni 2006
Namun saya ingin mengemukakan hal lain. Misalnya, bagaimana bial ilmu simbologi a'la Profesor Robert Langdon bisa diaplikasikan oleh ummat Muslim di Indonesia untuk kembali mendebat sejarah panjang tentang fakta dan fiksi dalam penyebaran Agama Islam di Indonesia. Misalnya saja, sepanjang yang saya ketahui di dalam Islam, pagan atau musrik adalah bid'ah (heretic/inggris) bidaah /kristen) yang sangat besar. Makanya ayat pertama surat Al Iklash menyatakan bahwa "Alloh/Tuhan itu Esa" Satu. Mono.Eka.
Perjalanan Islam di Tatar Sunda dan Jawa dan Nusantara pada umumnya, awalnya adalah sebuah penetrasi ke lingkungan masyarakat politheisme Hindu. Hingga saat ini, jejak-jejak politheisme (pagan) masih bersisa pada tarian, kebiasaan, bahkan sinkretis dengan ajaran agama. Di daerah Sumedang, tepatnya di Rancakalong, ada tradisi hajat bumi "ngalaksa" berbentuk pesta panen. Pada awalnya, menurut penuturan, ngalaksa ini ditujukan sebagai penghormatan pada Dewi sri atau Dewi Kesuburan atar keberhasilan panen padi. Penghormatan terhadap Dewi Sri ini juga mungkin salah santu bentuk pagan, yang kemudian sekarang beralih menjadi pesta panen biasa yang merupakan pesta sykuran terhadap Tuhan yang Esa.Simbol Dewi Sri sudah menghilang digantikan pemahaman berdasar agama Islam (yang monotheis), namun bentuk-bentuk ritualnya masih dilaksanakan dengan tertib.
Contoh lain, tradisi wayang kulit atau wayang golek adalah upaya para wali untuk mendistribusikan agama Islam di Jawa melalui media kesenian dan pemahaman masyarakat pada waktu itu. Pada jaman awal penyebarannya, masyarakat di Pulau Jawa umumnya beragama Hindu, Budha, atau kepercayaan terhadap Sanghyang Tunggal (Sunda Wiwitan) yang monotheis, tapi mengenal pula dea-dewi rendahan seperti Pertiwi (ibu bumi, dari khasanah Hindu, Pertevi), Dewi Sri (dewi padi), Mbah Jambrong (penguasa Angin) dll. Sampai sekarang, sinkretisme tersebut masih berjejak dalam kesenian wayang golek atau kulit. Media wayang, walau ditentang juga oleh sebagian umat Islam yang menginginkan kemurnian pengajaran agama, sampai sekarang masih dapat disaksikan di TV-TV atau di pertunjukan-pertunjukan.
Bagi masyarakat nelayan di Pantai selatan misalnya, jejak-jejak sinkretisme agama Islam dengan pagan dapat dilihat pada pesta laut. Biasanya perayaan pesta laut untuk meminta berkah dan keselamatan dari Tuhan via persembahan pada Ratu Laut Kidul. Sedangkan dalam bentuk tarian, masyarakat pesisir Pangandaran mengenal tari ritual Ronggeng Gunung yang pada intinya penghormatan pada ibu bumi seperti yang diceritakan Brown dalam The Da Vinci code. Hanya saja secara teknis, tarian ini hanya diikuti oleh satu orang perempuan yang berdiri di tengah lingkaran para lelaki yang menari mengelilinginya. Perempuan lain di lokasi tari ritual adalah sinden. Sisanya laki-laki. Bagi yang ingin melihat tarin ini, mungkin bisa menanyakan dokumentasi videony di UKM Lises yang taun 1997 lalu pernah mendokumentasikannya.
Pandangan Islam sebetrulnya jelas bahwa aktivitas-aktivitas tersebut adalah bid'ah. Namun entah kenapa, banyak juga yang masih mempertahankannya. Yang jelas, kalu du Pesta laut dan Hajat Bumi, biasanya dikelola Dinas Pariwisata setempat untuk menarik wisatawan dan tentu saja rupiah....
Seandainya saja Profesor Robert Langdon beraksi di Indonesia untuk mengungkap jejak pagan pada agama Islam di Indonesia. Bisa berahsilkah dia? Entah juga...
Demikian...
tulisan ini pernah didistribusikan dalam mailing list blue hikers fsup tanggal 6 juni 2006
HUMAN, ALL TOO HUMAN
Human, all too human 1). Bagaimana tidak, segala hal harus selalu berdasar pada manusia dan kepentingannya. Pola fikir cartesian 2). dan antroposentris yang didedahkan Descartes sebagai cogito ergo sum, selalu menempatkan manusia sebagai subyek-yang-berfikir dan menempatkan selain manusia sebagai obyek-yang-tidak-berfikir. Manusia kemudian menobatkan dirinya sebagai, uh, hell yeah, penguasa alam semesta.
Human, all too human. Cara berfikir demikian memang kemudian melahirkan banyak pemberani. Para pemberani yang demikian rasional, yang selalu menolak apapun yang tidak ada di dalam fikirannya. Cogito ergo sum, aku berfikir maka aku ada. Para pemberani yang ingin menunjukkan pada dunia bahwa mereka ada, eksis, karena merasa telah berfikir dan bertindak benar.
Para pemberani itu menjelajah berbagi pelosok negeri, merasuki dalamnya samudera, mendaki tingginya gunung, menjelajah luasnya angkasa, serta mencari tempat-tempat terpencil yang tidak ada dalam peta untuk berbagai kepentingan. Hutan yang lebat dan angker pun dirambah, untuk kemudian diranjah, dan disulap menjadi negeri yang makmur gemah ripah loh jinawi. Seperti dalam cerita Mahabarata, saat Bima sang perkasa membabat habis Alas Amer untuk menemukan ajian Naga Percona. Lalu, hutan yang telah gundul tersebut lambat laun berubah menjadi suatu negeri yang dikenal sebagai Amartapura.
Tidak pernah diceritakan bagaimana nasib satwa atau berbagai tumbuhan yang terpaksa harus lari atau menjadi martir, sahid, akibat dihajar keperkasaan Bima. Hal yang sama juga terjadi saat berdirinya Athena, Roma, Moskow, Beijing, Washington DC, Jakarta, Bandung, Surabaya, Banda Aceh, Balikpapan, Ciamis, Garut, Tasikmalaya dan sebutlah semua nama kota yang ada di dalam peta atau di ensiklopedia termutakhir. Kota-kota itu dibangun oleh Bima-Bima lain dengan menghancurkan hutan-hutan.
Atau, bermainlah game komputer yang berjudul Age of Empire II dari Microsoft, Warcraft III: Reign Of Chaos dari Blizzard Entertainment, atau game-game strategi lainnya yang mengisahkan betapa rakusnya peradaban manusia akan sumber daya alam. Untuk berperang atau berdagang, manusia perlu biaya. Biaya bisa didapat dari tambang emas atau dengan cara membabat hutan. Kemudian hasil tambang dan hasil hutan dipakai untuk membangun peradaban. Semakin tinggi peradaban semakin kuat perekonomian, dan semakin maju ilmu pengetahuan. Untuk kemudian melahirkan peperangan antar ras antar bangsa atas nama imperialisme.
Tidak pernah diceritakan dalam game-game tersebut bila manusia menanam dan merawat hutan, yang ada hanya menghancurkannya. Perkecualian dalam Warcraft III: Reign of Chaos, hanya bangsa peri (Elf) yang mau merawat hutan. Mereka tidak pernah menebang pohon yang memang menjadi bagian dari dirinya. Mereka bisa memanfaatkan potensi hutan tanpa menghancurkannya. Permasalahannya adalah, peri bukan manusia dan mereka tidak pernah ada di dunia nyata.
Seperti halnya dengan banyak kasus di Kalimantan. Pulau yang ‘dikuasai’ oleh Indonesia, Malaysia, dan Brunai Darussalam ini masih menggemakan dirinya sebagai pulau hutan. Luasnya hutan di Kalimantan masih mengalahkan luas pulau Jawa. Dulu hampir 100% pulau ini merupakan hutan lebat, hutan hujan tropis yang sangat-sangat ‘hutan’. Hutan yang ‘hutan banget gitu lho’.
Tetapi seiring kedatangan para pemberani yang datang untuk mencari sumber minyak dan batubara, para pendakwah agama, para politikus, para penjelajah, para pecinta alam, para peneliti, para petani, transmigran, guru, polisi, tentara, bapak-bapak, ibu-ibu, anak-anak, berkuranglah hutan hujan Kalimantan dengan sangat drastis. Isi hutan yang kaya dengan berbagai satwa dan tumbuhan berubah menjadi desa-desa, ladang-ladang, kebun kelapa sawit, tambang batubara, kota-kota, atau menjadi tanah yang hanya bisa ditumbuhi alang-alang. Kayu-kayu hutan menjadi bagian dari rumah-rumah mewah di Jakarta dan kota-kota lainnya. Bahkan Perhutani, yang seharusnya mengelola hutan sesuai proporsi dan kebutuhan alam, dengan bangga menempatkan tunggul kayu dari hutan jarahannya di Kalimantan sebagai hiasan dan prasasti di gedung mereka yang megah di Jakarta.
Human, all too human. Apapun selalu dilakukan berdasar kepentingan manusia. Tidak pernah dikisahkan kemudian, bagaimana nasib satwa-satwa hutan, yang sebetulnya merupakan ‘pemilik’ asli hutan-hutan tersebut. Bahkan, selain satwa dan tumbuhan, kelompok manusia lainnya pun tergusur dari hutan. Entah apa dan bagaimana nasib orang Dayak, orang Baduy, orang Kubu, orang Anak Dalam, orang Indian tanpa hutan. Apakah mereka akan punah juga seperti Harimau Jawa atau Badak Jawa? Entahlah.
Hal yang pasti, hutan hujan di Kalimantan kini sedang terancam oleh keserakahan dan kerakusan manusia. Sialnya lagi, karakter tanah Kalimantan sangat tidak memungkinkan untuk reboisasi hutan seperti yang selama ini digembar-gemborkan pemerintah. Bila pulau Jawa kini sudah kehilangan hutan, maka Kalimantan terancam mengalami nasib yang sama di masa yang akan datang. Maka bila ada pendapat yang mengatakan bahwa Kalimantan akan berubah menjadi padang pasir, pendapat itu benar. Kecuali bila para manusia mau mengalah untuk kepentingan lain di luar kepentingannya sebagai manusia…
1). Human, too human, adalah istilah yang diperkenalkan filsuf Jerman akhir abad XIX, Nietzsche dalam buku Ecce Homo, saat menyoroti perilaku manusia dan menguatkan konsep Nietzche tentang manusia yang sempurna. Diterjemahkan oleh ST. Sunardi sebagai ‘manusia terlalu manusiawi’.
2). Manusia adalah subyek dan lainnya hanyalah obyek.
Human, all too human 1). Bagaimana tidak, segala hal harus selalu berdasar pada manusia dan kepentingannya. Pola fikir cartesian 2). dan antroposentris yang didedahkan Descartes sebagai cogito ergo sum, selalu menempatkan manusia sebagai subyek-yang-berfikir dan menempatkan selain manusia sebagai obyek-yang-tidak-berfikir. Manusia kemudian menobatkan dirinya sebagai, uh, hell yeah, penguasa alam semesta.
Human, all too human. Cara berfikir demikian memang kemudian melahirkan banyak pemberani. Para pemberani yang demikian rasional, yang selalu menolak apapun yang tidak ada di dalam fikirannya. Cogito ergo sum, aku berfikir maka aku ada. Para pemberani yang ingin menunjukkan pada dunia bahwa mereka ada, eksis, karena merasa telah berfikir dan bertindak benar.
Para pemberani itu menjelajah berbagi pelosok negeri, merasuki dalamnya samudera, mendaki tingginya gunung, menjelajah luasnya angkasa, serta mencari tempat-tempat terpencil yang tidak ada dalam peta untuk berbagai kepentingan. Hutan yang lebat dan angker pun dirambah, untuk kemudian diranjah, dan disulap menjadi negeri yang makmur gemah ripah loh jinawi. Seperti dalam cerita Mahabarata, saat Bima sang perkasa membabat habis Alas Amer untuk menemukan ajian Naga Percona. Lalu, hutan yang telah gundul tersebut lambat laun berubah menjadi suatu negeri yang dikenal sebagai Amartapura.
Tidak pernah diceritakan bagaimana nasib satwa atau berbagai tumbuhan yang terpaksa harus lari atau menjadi martir, sahid, akibat dihajar keperkasaan Bima. Hal yang sama juga terjadi saat berdirinya Athena, Roma, Moskow, Beijing, Washington DC, Jakarta, Bandung, Surabaya, Banda Aceh, Balikpapan, Ciamis, Garut, Tasikmalaya dan sebutlah semua nama kota yang ada di dalam peta atau di ensiklopedia termutakhir. Kota-kota itu dibangun oleh Bima-Bima lain dengan menghancurkan hutan-hutan.
Atau, bermainlah game komputer yang berjudul Age of Empire II dari Microsoft, Warcraft III: Reign Of Chaos dari Blizzard Entertainment, atau game-game strategi lainnya yang mengisahkan betapa rakusnya peradaban manusia akan sumber daya alam. Untuk berperang atau berdagang, manusia perlu biaya. Biaya bisa didapat dari tambang emas atau dengan cara membabat hutan. Kemudian hasil tambang dan hasil hutan dipakai untuk membangun peradaban. Semakin tinggi peradaban semakin kuat perekonomian, dan semakin maju ilmu pengetahuan. Untuk kemudian melahirkan peperangan antar ras antar bangsa atas nama imperialisme.
Tidak pernah diceritakan dalam game-game tersebut bila manusia menanam dan merawat hutan, yang ada hanya menghancurkannya. Perkecualian dalam Warcraft III: Reign of Chaos, hanya bangsa peri (Elf) yang mau merawat hutan. Mereka tidak pernah menebang pohon yang memang menjadi bagian dari dirinya. Mereka bisa memanfaatkan potensi hutan tanpa menghancurkannya. Permasalahannya adalah, peri bukan manusia dan mereka tidak pernah ada di dunia nyata.
Seperti halnya dengan banyak kasus di Kalimantan. Pulau yang ‘dikuasai’ oleh Indonesia, Malaysia, dan Brunai Darussalam ini masih menggemakan dirinya sebagai pulau hutan. Luasnya hutan di Kalimantan masih mengalahkan luas pulau Jawa. Dulu hampir 100% pulau ini merupakan hutan lebat, hutan hujan tropis yang sangat-sangat ‘hutan’. Hutan yang ‘hutan banget gitu lho’.
Tetapi seiring kedatangan para pemberani yang datang untuk mencari sumber minyak dan batubara, para pendakwah agama, para politikus, para penjelajah, para pecinta alam, para peneliti, para petani, transmigran, guru, polisi, tentara, bapak-bapak, ibu-ibu, anak-anak, berkuranglah hutan hujan Kalimantan dengan sangat drastis. Isi hutan yang kaya dengan berbagai satwa dan tumbuhan berubah menjadi desa-desa, ladang-ladang, kebun kelapa sawit, tambang batubara, kota-kota, atau menjadi tanah yang hanya bisa ditumbuhi alang-alang. Kayu-kayu hutan menjadi bagian dari rumah-rumah mewah di Jakarta dan kota-kota lainnya. Bahkan Perhutani, yang seharusnya mengelola hutan sesuai proporsi dan kebutuhan alam, dengan bangga menempatkan tunggul kayu dari hutan jarahannya di Kalimantan sebagai hiasan dan prasasti di gedung mereka yang megah di Jakarta.
Human, all too human. Apapun selalu dilakukan berdasar kepentingan manusia. Tidak pernah dikisahkan kemudian, bagaimana nasib satwa-satwa hutan, yang sebetulnya merupakan ‘pemilik’ asli hutan-hutan tersebut. Bahkan, selain satwa dan tumbuhan, kelompok manusia lainnya pun tergusur dari hutan. Entah apa dan bagaimana nasib orang Dayak, orang Baduy, orang Kubu, orang Anak Dalam, orang Indian tanpa hutan. Apakah mereka akan punah juga seperti Harimau Jawa atau Badak Jawa? Entahlah.
Hal yang pasti, hutan hujan di Kalimantan kini sedang terancam oleh keserakahan dan kerakusan manusia. Sialnya lagi, karakter tanah Kalimantan sangat tidak memungkinkan untuk reboisasi hutan seperti yang selama ini digembar-gemborkan pemerintah. Bila pulau Jawa kini sudah kehilangan hutan, maka Kalimantan terancam mengalami nasib yang sama di masa yang akan datang. Maka bila ada pendapat yang mengatakan bahwa Kalimantan akan berubah menjadi padang pasir, pendapat itu benar. Kecuali bila para manusia mau mengalah untuk kepentingan lain di luar kepentingannya sebagai manusia…
1). Human, too human, adalah istilah yang diperkenalkan filsuf Jerman akhir abad XIX, Nietzsche dalam buku Ecce Homo, saat menyoroti perilaku manusia dan menguatkan konsep Nietzche tentang manusia yang sempurna. Diterjemahkan oleh ST. Sunardi sebagai ‘manusia terlalu manusiawi’.
2). Manusia adalah subyek dan lainnya hanyalah obyek.
surrender mean never go home
surrender mean never go home. jangan menyerah kawan. anak dan istri menunggu kamu pulang dengan cerita keberhasilan. setidaknya, mereka menunggu kamu pulang dengan cerita-cerita pemberontakan melawan nasib dan mungkin takdir.
surrender mean never go home. mari merebut keseimbangan...
surrender mean never go home. mari merebut keseimbangan...