3.10.2010

EKSOTIS: KATA YANG SERING DIPAKAI TAPI TIDAK KITA PAHAMI

http://6ix2o9ine.blogspot.com

Dalam berbagai kesempatan, saya seringkali mendengar atau membaca kata 'eksotis' diterapkan. Mulai dari aktivitas rumahan, pendidikan, hingga iklan. Dalam suatu kesempatan presentasi karya (video) akhir tahun lalu, penyelenggara memberi judul "Exotic Mentawai" untuk presentasi itu. Suatu hal yang sangat saya tidak setuju karena apa yang disajikan bukanlah suatu eksotika, juga karena pandangan ideologi saya akan kata ‘eksotik’ itu sendiri.

Untuk mengetahui apa itu ‘eksotis’, sebaiknya kita membuka kamus. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI 1976), eksotis didefinisikan sebagai: asing; jarang dapat (aneh, ganjil, luar biasa); garib; mis: banyak orang asing merasakan pertunjukan wayang sebagai sesuatu yang eksotis.(KUBI, 1976: 268). Sedangkan menurut Microsoft Encarta Dictionary 2009, kata exotic (adjective) didefinisikan sebagai strikingly different: strikingly unusual and often very colorful and exciting or suggesting distant countries and unfamiliar cultures. Dalam tesaurusnya, exotic (adjective) adalah: 1. unusual, out of the ordinary, striking, interesting, bizarre, mysterious, glamorous, colorful, outlandish, strange, different, exceptional. antonym: ordinary 2. from abroad. from abroad, tropical, alien, foreign antonym: familiar

Dengan memperhatikan definisi/batasan kata dari kamus dan tesaurus di atas kita bisa mendapat pemahaman tentang apa sih eksotika itu sebenarnya. Eksotika ternyata sangat berhubungan dengan cara pandang orang kulit putih (baca: Barat) dalam menilai dan memandang sesuatu yang mereka anggap tidak familiar dengan kehidupan mereka sehari-hari. Sebagai suatu keganjilan, keanehan di dunia tropis (ingat Indonesia berada di wilayah tropis!), dan sangat terasing.

Apa yang mereka rumuskan dalam kata eksotik itu kemudian kita telan utuh tanpa pernah berusaha untuk memahaminya dalam cara pandang timur-barat. Sebagai suatu bangsa yang besar dan beragam, serta kekayaan alam yang sangat banyak, kita dianggap sebagai 'sesuatu yang asing; alien' oleh peradaban barat. Celakanya, banyak di antara kita yang mengenyam pendidikan kemudian menelan mentah semua itu, mengaminini setiap kata yang dijejalkan, dan mengubahnya menajdi identitas kita.

Saya percaya bila memang ada upaya upaya politik pengaburan identitas agar kita lupa pada kekhasan budaya kita, pada identitas kita. Melalui pendidikan, tontotan televisi dan film, ideologi berkesenian tertentu, perlahan-lahan kita dicabut dari peradaban dan identitas kita sendiri.

Jejak-jejak itu, masih tampak dalam wilayah fotografi kita yang masih didominasi logika fotografi salon. Sebagaimana kita tahu, fotografi salon lahir di Indonesia pada era kolonialisme Belanda. Melalui agensi fotografi Woodbury and Page, dicitrakanlah Indonesia (Hindia Belanda) dalam foto-foto dengan label eksotis, yang disebarkan ke seluruh Eropa dalam bentuk foto kenang-kenangan (carte de visite),kartu pos, dan buku foto/photo book. Hal tersebut semakin dikukuhkan saat harga peralatan fotografi semakin murah dengan datangnya produk Kodak Brownie ke Hindia Belanda. Fotografer amatir bermunculan, bahkan terbit juga majalah khusus Fotografi 'De Camera' yang mengutamakan dogma estetika yang tinggi. Dogma estetika tinggi ini juga yang hingga kini masih menguasai benak para pelaku fotografi Indonesia. Mulai dari pelaku, industri, konsumen, dan pasar, kerap kali mengutamakan dogma ini. Dogma ini juga kerapkali menggunakan kata eksotis yang diterapkan pada foto-foto dengan konten komunitas masyarakat adat/lokal, perempuan-perempuan berwajah asia (asiatic), hingga pesona alam tropis.

Dalam dunia seni lukis, sejarah ribut-ribut aliran lukisan Mooi Indie tentu tidak boleh dilupakan. Karena pada aliran itulah Indonesia selalu digambarkan sebagai negeri yang cantik, aman,sentosa, dan sejahtera, yang tentu saja menarik banyak perhatian dan keinginan bangsa lain untuk memiliki (dan menjarahnya)

Di sinilah timbul permasalahan sebenarnya, karena kata eksotis tersebut, kita terapkan juga untuk menilai foto-foto yang sebetulnya berisikan citra masyarakat kita sendiri. Sebagai sesama orang Indonesia yang hidup di alam tropis, kita dengan mudah memberi label kata 'eksotis' pada foto-foto tentang diri kita sendiri. Dengan ketidaktahuan (atau ke-tidak ingin tahu-an?) kita memberi label pada diri kita sebagai 'asing, alien, tidak familiar, sangat berbeda'.

Penjajahan itu masih berlangsung ternyata. Dulu kita dijajah dan diperebutkan bangsa Portugis, Belanda, Inggris, dan Jepang secara fisik, kini kita dijajah melalui kata 'eksotik'. Celakanya, yang menjajah adalah diri kita sendiri. Kita bahkan tidak bisa bersahabat dengan saudara kita sendiri yang masih satu negara, satu wilayah kesatuan, serta satu panji-panji hanya melalui satu kata" eksotik. Kita menjajah saudara-saudara kita dan menaklukkannya dalam foto-foto berlabel eksotis yang kita anggap sebagai trofi kemenangan.

Kita sudah kehilangan sebagian Irian 1) karena Freeport menjadi representasi penjajahan Amerika Serikat di sana. Kita sudah kehilangan Indonesia saat modal asing menguasai jalur telekomunikasi kita melalui kepemilikan saham di operator-operator komunikasi. Kita sejatinya sudah kehilangan kedaulatan saat Jakarta dan kota-kota besar lainnya dikuasai modal asing. Kita juga kehilangan kedaulatan karena kita menjajah saudara-saudara kita sendiri dengan melabeli mereka dengan kata eksotis pada foto-foto yang kita buat. Jadi, masihkah kita mau menilai diri kita sendiri sebagai eksotis?

10 Maret 2010 M/26 Rabiul Awal 1431 H

Ricky N. Sastramihardja
Pecinta Kopi dan Fotografi

==========================================

1) Dengan tanpa mengurangi rasa hormat, saya lebih menyukai memanggil Papua dengan IRIAN. IRIAN adalah akronim dari Ikut Republik Indonesia Anti Nederland, yang diberikan oleh Soekarno dalam upaya pembebasan Papua Barat dari Belanda tahun 1969.


Referensi:
1. Michael Risdianto. Kantor Berita Foto Indonesian Press Photo Service (IPPHOS) 1946-1980: Studi Tentang Dinamika Institusi Fotojurnalistik di Indonesia. Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran, Jatinangor. Tidak Dipublikasikan.
2. Yudhi Soerjoatmodjo. The Challenge of Space : Photography in Indonesia, 1841-1999.Tempo, 16 Januari 2000: 172). Dapat dibaca secara online di: http://www.angelfire.com/id/mosista/article1.html
3.Jurnal Kebudayaan Kalam edisi 2 - 1994.
4. W.J.S. Poerwadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI). Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen P dan K. PN Balai Pustaka: Jakarta.
5. Microsoft Encarta 2009 Dictionary versi 16.0.0.1117

2.21.2010

MENUNGGU ‘PEMBERONTAKAN’ FOTOGRAFI

http://6ix2o9ine.blogspot.com

Potrét manéhna. Nu katampi minggu kamari.
Dipiguraan.Disimpen dihadé-hadé.
Anteng diteuteup. Jadi batur dina simpé
Aduh éndahna

...

(Potret Si Dia. Diterima minggu lalu.
Diberi figura, disimpan dengan baik.
Terpaku menatapnya. Menjadi teman dalam sepi.
Oh indahnya...

Lagu Potret Manéhna , Ciptaan Adang Céngos & dipopulerkan Nining Méida.

---------------------------------

Teknologi fotografi dewasa ini mencapai puncak evolusinya dengan berkembangnya teknologi fotografi digital. Bila 10 tahun lalu foto tercepat adalah foto yang diproduksi dengan kamera Polaroid, sekarang ini ini foto tersaji cepat melalui ponsel berkamera (atau kamera berponsel). Tinggal klik dan langsung jadi, tidak harus dicuci cetak terlebih dulu. 10 tahun lalu fotografi analog adalah klangenan dan permainan orang dewasa, kini fotografi digital menjadi bagian dari permainan anak-anak, bahkan yang belum bisa membaca sekalipun. Teknologi fotografi dewasa ini memang sebuah pemberontakan yang mungkin tidak pernah terbayangkan oleh Joseph Niépce, Daguerre, atau bahkan Ibnu Al Haitam/Alhazen yang mewarisi dunia dasar-dasar ilmu optik 1).

Fotografi tadinya hanya milik orang dengan kasta dan penghasilan tertentu, kini menjadi sesuatu yang biasa, murah, dan mudah. Biasa, karena bahkan hanya dengan sebuah ponsel berkamera setiap orang bisa memotret apa saja yang ia inginkan. Murah, karena tidak ada lagi pengeluaran untuk membeli rol film serta biaya cuci cetak, selain membeli perangkat kamera. Mudah, karena tanpa harus belajar banyak teori teknis fotografi seseorang bisa memotret. Kapan saja, di mana saja, siapa saja. Sepertinya mengulang impian George Eastman saat melahirkan Kodak Brownie pada tahun 1900 karena menginginkan fotografi yang mudah dan murah 2).

Pada perkembangannya, fotografi sebagai alat, adalah gabungan ilmu tentang mekanika, elektronika, komputer dan informatika, piranti lunak, juga optik. Sebagai sebuah hasil atau konten, fotografi berada di banyak wilayah: dokumentasi, jurnalistik, seni, hingga ilmu kedokteran. Ilmu Fotografi kemudian menemukan jatidirinya bersamaan dengan ilmu-ilmu lain. Bahkan di dunia antropologi, fotografi menjadi salah satu hal yang harus dikuasai para antropolog sebagai metode penelitian 3). Dunia kedokteran pun sangat akrab dengan dunia fotografi, misalnya dengan penggunaan mesin rontgen untuk memotret bagian dalam tubuh manusia. Para peneliti ekologi pun menggunakan perangkat jebakan kamera (camera trap) untuk memastikan keberadaan satwa liar yang hampir punah. Ilmu sejarah yang tergantung pada ilmu-ilmu lain, menggunakan foto sebagai salahsatu cara untuk menafsirkan sejarah masa lalu. Baru-baru ini terbit sebuah buku biografi Sutan Sjahrir yang ditulis oleh wartawan senior Indonesia. Bersama Ignas Kleden, Rosihan Anwar mengurai biografi tokoh pergerakan Indonesia yang tercantum dalam 100 foto yang berhubungan secara kontekstual dengan tokoh dan ketokohan Sutan Sjahrir 4).

Para petinggi militer pun menggunakan fotografi untuk kegiatan intelejen dan mencitrakan wilayah-wilayah tertentu yang dicurigai berkaitan dengan aktivitas musuh. Saya teringat pada film The Great Raid yang diputar sebuah televisi swasta beberapa waktu lalu. Film ini berkisah bagaimana pihak Sekutu pada perang Dunia II mengirimkan satu pasukan penyelamat untuk menyelamatkan tentara Amerika yang menjadi tahanan perang (POW) di Filipina. Keberhasilan pasukan tersebut tidak lepas dari data intelijen yang menyertakan sebuah foto udara (aerial) yang menunjukan lokasi dan posisi penjara militer Jepang yang jadi target penyerbuan.

Seorang Roland Barthes menggunakan medium fotografi sebagai sarana untuk mengembangkan teorinya tentang strukturalisme. Perlu diketahui, sebelum menulis Camera Lucida: Refflection on Photography pada tahun 1980 dengan premis ‘studium’ dan ‘punctum’ untuk menjelaskan ‘the impossible text’ 5) dalam sebuah karya foto, Barthes adalah peneliti dan penulis di bidang Kesusastraan serta Cultural Studies yang sangat berminat dalam pengkajian sinema dan fotografi. Sebelum Camera Lucida, Barthes pernah menuliskan pandangannya mengenai dunia fotografi dan pencitraan dalam ‘Image-Music-Text yang terbit tahun 1977. Nama Barthes dapat disejajarkan sebagai salah satu punggawa Strukturalisme yang bersumber pada Strukturalisme yang dihujahkan oleh Ferdinand de Saussure juga C.S. Pierce dalam ilmu bahasa (linguistik).

***

Pada perkembangan fotografi di tanah air, perkembangan fotografi sebagai ilmu inter-disiplin sepertinya masih belum segempita dengan fotografi sebagai karya dokumentasi atau ekspresi estetika. Masih sangat jarang ditemukan literatur yang membahas fotografi sebagai ilmu inter-disiplin yang tidak hanya melulu berbicara tentang teknis fotografi. Sekolah-sekolah tinggi dan universitas yang mengajarkan fotografi sebagai ilmu pun masih berkutat pada fotografi praktis, yakni cara dan teori memotret yang baik dan benar.

Dengan kata lain, institusi pendidikan masih berorientasi untuk menghasilkan fotografer yang ‘juara’ dalam hal teknis dan teori tentang memotret. Tidak jauh berbeda dengan lembaga pendidikan luar sekolah atau tempat kursus fotografi yang secara praktis memang bertujuan mencetak seorang fotografer. Saya rasa ini sangat berkaitan dengan kenyataan bahwa fotografi Indonesia sangat berkaitan dengan industri pencitraan dan komodifikasi identitas yang secara ekonomi menguntungkan banyak pihak.

Bisa dilihat misalnya dunia internet adalah tempat bertukar foto paling mutakhir bagi para penggunanya. Dalam sebuah jejaring sosial yang memberikan kemudahan dalam berbagi foto, setiap saat menawarkan berbagai foto yang dibuat oleh para penggunanya. Para pengguna situs yang memang berprofesi sebagai fotografer, mengunggah karya foto-fotonya -- yang sebenarnya dapat dikatakan nyaris seragam-- mulai dari foto bergaya jurnalistik, fashion, glamour, landscape, bahkan sekedar foto dokumentasi kongkow dengan sesamanya. Para pengguna situs yang bukan fotografer pun tidak mau kalah dengan mengunggah foto-foto yang sifatnya tergolong foto dokumentasi, bahkan dokumentasi kegiatan yang sangat pribadi.

Kegiatan fotografi yang ditayangkan di televisi pun masih sekedar sebagai penarik rating belaka. Saya masih ingat beberapa waktu lalu ada sebuah stasiun televisi yang menayangkan acara behind the scene-nya pemotretan model untuk sebuah majalah hiburan pria. Acara tersebut sebetulnya sangat menarik dengan hadirnya model-model perempuan yang cantik, berpakaian minim, dan berpose sensual. Akan tetapi, diskursus yang berkembang dari acara itu hanya dua. Pertama adalah diskursus berbagi masalah proses kreatif yang umumnya membicarakan pengolahan ide dan teknis. Diskursus ke dua adalah hal yang tidak tayang yakni pembicaraan para laki-laki di luar konteks fotografi: seksualitas dada dan paha. Kedua diskursus itu menempatkan fotografi hanya sebagai media ‘penggugah’ seksualitas. Program itu juga berhasil menyudutkan fotografi hanya sebagi aktivitas motret model dan landscape saja. Persis seperti yang selalu dirisaukan seorang kolega saya dalam berbagai kesempatan diskusi.

Itulah seperti apa yang saya maksud sebagai fotografi Indonesia masih lekat dengan berkaitan dengan industri pencitraan dan komodifikasi identitas. Fotografi Indonesia memang masih sangat ganjen dengan aktivitas memotret model dan landscape, sementara persoalan-persoalan lain disisihkan karena dianggap tidak komersial. Foto-foto bertema kebudayaan Indonesia pun akhirnya terjebak pada foto yang menampilkan budaya-budaya yang dianggap an sich dan eksotis: memakai baju adat/tradisional, menari, menabuh gamelan, melakukan aktivitas ritual, dan selesai sampai situ. Dengan kata lain, fotografi Indonesia masih menyimpan jejak-jejak kolonialisme yang akut di dalam tubuhnya. Persis seperti yang dilakukan oleh Kolonialis Belanda yang memotret eksotisme Nusantara sebagai upaya menaklukan negara jajahan melalui gambar 6).

Dunia pengkajian fotografi ilmiah pun masih dimarjinalkan. Masih sangat sedikit literatur yang bisa kita temukan yang membahas fotografi dengan keterkaitannya dengan ilmu lain. Bahkan literatur sejarah fotografi di Indonesia pun masih sangat minim. Buku-buku yang sudah pernah terbit tidak pernah dicetak ulang karena nampaknya fotografer Indonesia tidak terlalu suka membaca. Ini bisa kita buktikan dengan gugurnya banyak majalah foto di Indonesia. Sepertinya tidak banyak fotografer atau akademisi di Indonesia yang mau menggali hal-hal lain di luar persoalan teknis dan teknologi fotografi. Majalah-majalah yang masih ada atau situs-situs di internet yang berbahasa Indonesia pun lebih sering mengulas produk peralatan fotografi seolah hendak menjadikan fotografer menjadi mahluk yang konsumeristis dengan jargon teknologi canggih menjanjikan gambar yang baik.

Bila dibandingkan dengan sastra Indonesia misalnya, fotografi Indonesia jauh tertinggal. Sastra dalam evolusinya, hingga dewasa ini berada di dua ranah yang berbeda yang saling berkaitan satu sama lain: sastra sebagai ilmu, dan sastra sebagai karya. Sebagai ilmu, sastra berada di wilayah penelitian dan pengkajian karya dari berbagi sudut pandang manusia. Mulai dari pembahasan bahasa, teknis penulisan, hingga penafsiran makna. Sebagai karya, sastra diproduksi dalam kemasan yang dikenal orang diantaranya sebagai puisi/sajak, cerita pendek, juga novel. Wilayah proses kreatif dalam berkarya yang berhubungan dengan sisi teknis, saya rasa berada di wilayah ini. Dari sisi komersial, sastra juga memiliki tempat tersendiri, walau untuk hal ini masih jarang dibahas. Pembahasan komodifikasi sastra umumnya dibahas sebagai bagian dari cultural studies atau post-modernism yang berada di wilayah sastra sebagai ilmu.

Contoh lain di wilayah seni rupa, seni rupa tidak melulu berkutat pada masalah cara melukis, cara membuat patung dan sebagainya. Tetapi juga menguraikan simbol-simbol dan makna yang terdapat di dalam sebuah karya. Tidak pernah rasanya saya membaca artikel tentang keberhasilan pelukis Basuki Abdullah adalah karena ia melukis menggunakan kuas, cat, dan kanvas merek tertentu. Atau tentang perupa Tisna Sanjaya yang gemilang menciptakan instalasi bambu dengan memakai bambu merek tertentu yang dipotong dengan golok dan gergaji merk tertentu, misalnya.

Sebaliknya dengan dunia fotografi Indonesia. Di dunia fotografi Indonesia merk kamera tertentu dengan jenis lensa tertentu seolah menjadi jaminan kualitas karya foto seseorang. Kualitas fotografer seolah ditentukan dengan alat dan teknis yang digunakan, bukan pada bagaimana karyanya menjadi simbol keberhasilan pengolahan gagasan kreatif. Mengenai hal ini, seorang senior dengan sebal pernah mengatakan bahwa dengan membeli xxxxx (xxxxx: merk kamera sejuta umat di Indonesia) tidak membuat seseorang menjadi fotografer.

Berbeda dengan fotografi Barat sana (baca: Amerika Serikat dan Eropa). Dengan sedikit usaha melalui Google, saya menemukan banyak sekali situs yang membicarakan fotografi sebagai diskursus non-teknikal. Dengan beberapa kali klik di sebuah situs, dalam satu malam saja saya bisa mengunduh ratusan e-book tentang fotografi dan keterkaitannya dengan banyak hal. Mulai buku panduan memotret model bugil hingga memotret bebatuan dan kekayaan mineral. Mulai dari membahas fotografi sebagai media dokumentasi, fotografi dan ideologi, hingga fotografi sebagai piranti komodifikasi dan kapitalisasi. Di dalamnya terselip juga buku-buku yang menjadikan fotografi sebagai cara untuk mengembangkan pemikiran mengenai perkembangan budaya populer dan sistem pertandaan.

***

Masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dalam upaya mengembangkan fotografi sebagai ilmu dan sebagai karya. Dari segi ilmu, dibutuhkan banyak akademisi, penulis, dan pemikir yang mau meluangkan waktunya untuk turut serta mengembangkan fotografi agar bisa berkembang menjadi ilmu dan diskursus seperti yang terjadi di dunia seni lainnya. Dari segi karya, masih sangat terbuka peluang bagi para fotografer untuk melampiaskan kegelisahan estetika dan ideologisnya menjadi karya yang bisa disejajarkan dengan fotografer luar. Tidak sekedar mengekor Ansel Adams, Henri Cartier Bresson, atau Andy Warhol misalnya, tetapi bisa memiliki ciri khas pribadi yang bisa dikenang sepanjang masa. Bagi para fotografer komersial, teknologi fotografi digital telah membuka lapangan kerja yang luas dengan berbagai kemudahan yang memanjakan.

Dari sisi lain, memang diperlukan pula komunitas fotografi yang mendukung terciptanya alam dan atmosfir yang akan menghasilkan semua itu. Komunitas tersebut bisa berupa kelompok hobi, kelompok diskusi fotografi, atau institusi pendidikan fotografi dan seni. Tanpa habitat dan ekosistem yang sesuai, keinginan itu tidak akan pernah terealisasi. Karena bagaimanapun juga, menyitir Ibnu Khaldun, manusia adalah produk yang dikonstruksi oleh pemikiran dan kebiasaan sosial lingkungan tertentu. Harapan terbesar tentu ditujukan untuk lingkungan akademis di perguruan tinggi. Karena institusi pendidikanlah yang bisa melakukan penggodogan terhadap berbagai diskursus fotografi sebagai ilmu inter-disiplin yang bisa memanusiakan manusia, mengembalikan manusia pada khittah kemanusiaanya yang beradab. Para akademisi biasanya memiliki metode yang bisa dikembangkan untuk mendidik fotografer yang mumpuni secara praktis maupun secara akademik. Hal ini perlu dilakukan agar bisa meng-counter tekanan industri dan kapitalisasi yang hanya menempatkan manusia sebagai komoditas ekonomi belaka yang divisualkan dalam foto-foto, yang sebetulnya tidak bermakna apa-apa selain estetika yang semu dan palsu.


21 Februari 2010
Ricky N. Sastramihardja
Pecinta Kopi dan Fotografi

--------------------------
1)Ibnu Al Haitham atau Alhazen (965-1039 M), adalah ilmuwan Mesir yang menemukan dasar-dasar ilmu optik. Eric Renner dalam Pinhole Photography, From Historic Technique to Digital Application (Elsevier inc, London; 2010) menjelaskan bahwa Ibnu Al Haitam ini menulis dasar teori yang kemudian dikembangkan menjadi perangkat fotografi generasi awal, kamera obskura. Teori dasar Ibnu Al Haitam ini juga kemudian dikembangkan oleh Rene Descartes dan Johannes Kepler.
2)George Eastman adalah pendiri perusahaan fotografi KODAK yang sangat berambisi untuk menjadikan fotografi sebagai kegiatan yang mudah dilakukan. Tidak hanya untuk profesional tetapi juga untuk amatir, bahkan kanak-kanak. Kecerdasannya antara lain dengan menciptakan slogan Kodak yang terkenal, “You press the button, we do the rest”, yang kemudian diwujudkannya dalam kamera Kodak Brownie di awal tahun 1900. Baca: Encylopedia of Nineteenth Century Photographs Volume I, A-I. John Hannavy (ed.); Routledge New York; 2008.
3)Baca: Visual Anthropology: Photography As a Research Method. John Collier, Malcom Collier; University of New Mexico; 1986).
4)Sutan Sjahrir: Demokrat sejati, Pejuang Kemanusiaan. H. Rosihan Anwar, Penerbit Buku Kompas, Jakarta; 2010.
5)Dalam sebuah pengkajian mengenai semiotika, ST. Soenardi dalam Semiotika Negativa (Kanal, Yogyakarta; 2002) menyebutkan bahwa Studium adalah kebutuhan kultural akan fantasi, sedangkan punctum atau punctuation adalah identitas imajiner. Perlu diketahui juga, Barthes bukanlah fotografer walau ia memiliki minat khusus terhadap itu. Tidak pernah diketahui apakah ia memiliki karya foto atau tidak. Baca juga: Roland Barthes. Graham Allen, Routledge, New York; 2003.
6)Dalam sejarah panjang Kolonialisme di Indonesia, Yudhi Soerjoatmodjo mengungkapkan bahwa fotografer-fotografer asing dari Woodbbury and Page yang bertugas di Hindia Belanda, selain memotret untuk keperluan bisnis, juga memotret untuk keperluan penaklukan negara jajahan. Foto-foto tersebut dipergunakan sebagai cara untuk mendefinisikan wilayah Nusantara dalam kepentingan Kerajaan Belanda. Di sini mungkin penafsiran fotografi secara non-fotografis melalui ilmu budaya, sosial, dan politik dilakukan untuk memetakan kondisi negara jajahan. Fotografi ini juga melahirkan fotografi salon yang kuat pengaruhnya di Indonesia hingga dewasa ini. Baca: http://www.angelfire.com/id/mosista/article1.html

2.05.2010

Menggapai Aqidah di Mentawai

also available on http://rickynsas.blogspot.com


Director's Cut. PSA untuk Badan Wakaf Alquran (BWA) Jakarta (www. wakafquran.org), 
mengenai masalah transportasi ke pedalaman Pulau Siberut, Mentawai 
korelasinya dengan pengembangan dakwah Islam. 
Naskah-Videografi: Ricky N. Sastramihardja. 
Narator: Novian Kusmana.

Peluang Dakwah di Kepulauan Seribu


Peluang Dakwah Di Kepulauan Seribu - For more funny videos, click here

Director's Cut. PSA untuk Badan Wakaf Alquran (BWA) Jakarta (www. wakafquran.org), mengenai masalah transportasi di Kabupaten Kepulauan Seribu, Jakarta korelasinya dengan pengembangan dakwah Islam. Videografi: Ricky N. Sastramihardja. Naskah-Narator: Novian Kusmana.

BH ETA X - 2003


Are You Gonna Go My Way? - For more amazing video clips, click here

My early videography project... Long time before I knew and sure that videography certainly will become one of my assignment.

MX Bloopers


MX Bloopers - For more of the funniest videos, click here

MX Blooper at local champhionship held in Bandung Indonesia on 2007. Special thx for Mr. Deni Ceuyah Kadallica. Cameraman: Agung Gumelar, Ricky N. Sastramihardja. Editor: Ricky N. Sastramihardja.

2.04.2010

Menatap Masa Depan - Serial Foto 1



http://6ix2o9ine.blogspot.com



Kematian Tidak Memisahkan Kami. #1


Kematian Tidak Memisahkan Kami.  #2


Kematian Tidak Memisahkan Kami. #3


Kematian Tidak Memisahkan Kami.  #4

Menatap Masa Depan - Serial Foto 2


Kematian Tidak Memisahkan Kami.  #5

Kematian Tidak Memisahkan Kami. Happy  #6

Mendekati Surga

Tetap Berkibar Karena Jasamu

Menatap Masa Depan - Serial Foto 3

Tetap Ceria

Simetri #2

Simetri #1


Bolos Sekolah Demi Masa Depan

Menatap Masa Depan - Serial Foto 4

Rumah Adikku Setelah Renovasi

Duka Ibunda

Membincangkan Masa Depan


SAE - Silent Activity Everyday

12.07.2009

Saat Kematian Menjadi Pilihan - Foto





Saat Kematian Menjadi Pilihan

Catatan Pribadi dari Pementasan “Umang-Umang atawa Orkes Madun 2” Oleh Teater Lakon UPI

Dari pementasan naskah “Umang-umang atawa Orkes Madun 2” (selanjutnya: UUM) yang dipentaskan oleh Teater Lakon UPI pada Sabtu 5 Desember 2009 kemarin, saya akan mengawali catatan ini dengan kritis: Music score-nya OK, tetapi theme song-nya tidak begitu suka. Bukan karena jelek, tetapi karena masih kurang madun, kurang greget. Saya pikir memang harus lebih banyak mengekplorasi musik melayu, bukan dangdut. Mungkin karena kata ‘madun’ yang artinya joget, mengingatkan saya akan meriahnya musik Melayu seperti yang diceritakan seorang kawan yang lahir dan besar dalam kebudayaan Melayu di Sumatera.

Itu memang penilaian subjektif. Tetapi dari keseluruhan saya pikir Dedi Warsana cukup berhasil membawa Teater Lakon UPI ke tataran kelompok teater mahasiswa yang lebih jauh. Saya tahu persis bagaimana sulitnya membangun teater yang penuh gairah di tengah gencarnya godaan menjadi artis sinetron yang bening atau aktor film yang kinclong dengan ribuan fans yang rela melakukan apa saja untuk dekat dengan sang idola. Bahkan dewasa ini, rasanya bukan teater mahasiswa saja yang kepayahan. Kelompok-kelompok teater besar pun sepertinya mengalami fenomena yang sama. Mungkin, Facebook dan sinetron lebih menarik daripada mengeksplorasi seni peran dan berakting di atas pentas. Karena hidup bersama dan di dalam kelompok teater memerlukan aktivitas fisik, jiwa, juga militansi ekstra. Tidak sekedar sebagai penyalur ekspresi dan ideologi berkesenian.

Cukup berhasil karena UUM ini adalah adalah naskah teater yang bisa dibilang klasik dan fenomenal. Ditulis oleh alm. Arifin C. Noer, UUM merupakan sebuah naskah yang memerlukan banyak pemeran. Dari segi jumlah pemeran, UUM adalah naskah kolosal. Tentu saja bukan hal yang mudah menyatukan banyak pemain dalam teater, apalagi teater mahasiswa non-seni seperti halnya UPI. Hal ini juga dirasakan oleh Teater Tetas dalam pementasan naskah yang sama di Jakarta beberapa waktu lalu. Karena seperti saya bilang, teater bukanlah tempat yang gemerlap dan berbintang-bintang seperti sinetron. Tidak ada kelimpahan materi atau sanjungan di dunia ini, bahkan sebaliknya. Sehabis bermain para akor dan aktris teater harus pula membereskan panggung dan set-nya. Membongkar panggung, membongkar dan merapikan instalasi lampu, sampai menerima semprotan dari orangtua para aktris karena anak gadisnya bari tiba di rumah menjelang subuh dalam kedaan lusuh. Itulah mengapa saya katakan juga teater memerlukan aktivitas jiwa, fisik, dan militansi ekstra.


Saya sangat suka berbagai aspek dalam pentas ini. Sungguh. Make-up karakter yang rapi dan sangat membangun karakteristik, tata lampu yang apik, artistik panggung yang imajinatif, koreografi dan bloking yang asyik, serta kualitas akting para aktor dan aktris yang terlibat. Kotak-kotak kayu diubah dan dimanipulasi sedemikian rupa sehingga penonton percaya bahwa kotak-kotak kayu itu bisa menjelma menjadi pulau, gedung, tempat tidur, bahkan bukit yang tinggi. Kostumnya pun menarik. Terlebih kostum Waska yang menurut saya futuristik, kostum Ranggong yang bergaya rocker, atau kostum Bigayah yang sangat lonte.

Padahal, menurut sang Sutradara dalam perbincangan usai pementasan, hampir setengahnya adalah pemain baru. Selain itu seorang pemain kunci tiba-tiba menghilang sebelum gladiresik berlangsung. Walhasil Dedi Warsana terpaksa bekerja keras meringkas beberapa bagian naskah dan terpaksa turut bermain menjadi tokoh Jonathan sang Seniman, menggantikan pemainnya yang menghilang hingga pertunjukan berakhir. Saya bisa membayangkan bagaimana seorang Dedi Warsana, yang selain harus menjadi sutradara juga harus bertindak sebagai pelatih moral dan disiplin yang ketat. Pengalamannya sebagai aktor teater kawakan mampu membuat para aktor dan aktris pemula dalam UUM ini tetap militan hingga saat terakhir. Tentu saja terkecuali aktor yang menghilang itu, yang tidak kuat menahan tekanan mental bahkan jauh sebelum pertunjukan mulai.

Walau demikian, masih ada pertanyaan lain, terutama dari segi make up karakter yang menurut saya masih ‘begitu-begitu juga’. Seolah menjadi suatu stereotip bahwa make-up karakter haruslah selalu seperti itu. Harus coreng-moreng di sana-ini sehingga membuat penampilan para pemeran sangat jauh dengan para aktor-aktris di sinetron atau reality show, yang walaupun jahat, miskin dan marjinal tetapi tetap terlihat ganteng dan cantik. Pada tokoh-tokoh kunci, make up tersebut memang berhasil membangun karakter, tapi pada beberapa peran kecil yang terjadi justru sebaliknya.

Dari segi cerita, UUM adalah naskah yang sangat kontekstual dengan perkembangan dunia nyata dewasa ini. UUM menceritakan fanatisme sekelompok kaum marjinal yang berprofesi sebagi perampok, copet, pelacur, serta sekumpulan masyarakat yang tidak akan pernah masuk dalam sensus negara baik-baik ini; seolah-olah berhadapan dengan kondisi di dunia nyata. Kondisi di mana sistem kleptokrasi (maling menjadi penguasa dan penguasa menjadi maling) menjadi panglima, di mana pencurian dan korupsi adalah sabda yang tak terbantahkan dan diamini banyak orang. Bagaimana sang Pemimpin kelompok marjinal-proletar itu, Waska, begitu berambisi untuk merampok dan merampas semua harta benda orang-orang kaya. Waska menekankan merampok bukan sebagai aktivitas kejahatan demi perut, tetapi sebuah perjuangan ideologis. Waska, sembuh dari sakit kerasnya setelah mengkonsumsi jamu dadar bayi yang disediakan abdinya yang setia, Ranggong dan Borok, kemudian hidup beratus tahun lamanya. Waska pun hidup dalam gelombang demi gelombang kejahatan yang ia ciptakan sendiri.

Namun bukanlah manusia bila tidak merasa bosan. Waska, Ranggong, dan Borok, merasa rindu akan masa lalu. Karena setelah semua teman-teman dan anggota kelompoknya mati, Waska yang hidup abadi setelah mengkonsumsi jamu dadar bayi, merasa sunyi. Waska merasakan bahwa kematian adalah pilihan, bukan takdir maka kemudian ia memilih dan meminta untuk mati. Waska, Ranggong, dan Borok pun akhirnya mati setelah mereka merasa lelah dan putus asa karena tak mati-mati.

Pemeran Waska pun saya pikir cukup baik untuk aktor seusianya. Sebagai karakter sentral, tokoh Waska ini sebetulnya diperankan bersamaan dengan tokoh Semar. Dengan kata lain, sang aktor harus memerankan dua karakter , Waska dan Semar, secara bergantian (double casting). Pemeranan yang berhasil lainnya saya pikir adalah pemeranan tokoh Borok. Borok adalah satir yang secara visual sangat mendukung. Tampang sangar dengan kumis baplang stereotip ala centeng tetapi dialognya cenderung kocak dan ‘nonjok’. Kerapkali tokoh ini mengucapkan kata “modar” di saat yang tepat. Atau aksen Sunda yang tiba-tiba lolos dalam beberapa dialog membuat pentas menjadi lebih hidup dan segar.

Pemeranan tokoh Borok ini juga mampu menutup kelemahan tokoh waska dan Ranggong yang dalam beberapa adegan awal tampak kedodoran karena tempo pementasan yang relatif cepat. Bahkan bisa dibilang sebetulnya tokoh Borok ini adalah tokoh penentu keberhasilan pementasan keseluruhan.

Dedi Warsana, sutradara bermain pun, bisa membuat pertunjukan ini tetap berada di relnya. Tidak lantas terjebak pada gaya pementasan longser atau lenong, walau para pemain kerapkali mengajak interaksi dengan penonton dalam monolognya. Para musisi pun saya dengar merespon para aktor-aktris di panggung dengan celetukan-celetukan yang membuat pertunjukan menjadi meriah. Satu hal yang mungkin cukup menarik adalah Dedi Warsana bisa membuat UUM ini seolah-olah menjadi sangat Sunda. Para aktor dan aktrisnya tampaknya diberi kebebasan untuk melontarkan beberapa joke atau banyolan dan dialog yang khas, yang nyunda banget.

Agak sulit memang untuk menulis opini ini secara objektif karena saya belum pernah membaca naskah atau sinopsis UUM sebelumnya. Pun saat pementasan, saya luput tidak mendapatkan brosur atau apapun itu, yang di dalamnya berisi sinopsis , nama-nama aktor dan aktris, pengantar, atau catatan lain mengenai pementasan ini. Selain itu, secara pribadi sudah lama sekali tidak berkecimpung di kelompok teater. Baik sebagai pemain, penata lampu, atau sekedar menonton. Sepanjang pementasan UUM saya harus membagi fokus antara memotret, mencerna pementasan, juga melamunkan masa lalu. Di sela-sela pementasan tiba-tiba saja merasa rindu pada Teater Bedeng Hunian BH, Tepass Pamass, Lises, juga GSSTF dengan Parade Mei-nya. Di mana hampir 3/4 masa studi di Sastra Unpad saya habiskan untuk hidup dan membina diri di dalam kegiatan kesenian yang diadakan kelompok-kelompok itu.

Kekurangan lain dari pementasan ini adalah saat saya menyadari bahwa kamera saya tak cukup gegas untuk mengambil gambar-gambar cepat di atas panggung yang kerap kurang cahaya. Menaikkan ISO ke 1600 hanya membuat gambar yang dihasilkan tidak memuaskan karena noisenya sangat mengganggu. Memikirkan kamera baru membuat saya tiba-tiba berada di dalam pusaran kelompok rampok yang dipimpin Waska. Saya tiba-tiba merindukan kehadiran tokoh Waska untuk bisa memimpin sebuah gerakan anti moralitas yang jujur. Ingin rasanya menggedor toko untuk mendapatkan kamera yang lebih canggih dan lebih baik, serta lebih mahal. Mungkin saya harus memakan jamu dadar bayi seperti Waska agar bisa bersabar menunggu saat itu tiba. Mungkin...

also available on: http://www.facebook.com/note.php?created&&suggest¬e_id=196920617756#/notes/ricky-n-sastramihardja/saat-kematian-menjadi-pilihan/196920617756

foto: http://www.facebook.com/album.php?aid=127946&id=715618858&saved#/album.php?aid=127946&id=715618858&ref=nf

11.27.2009

Catatan dari Pedalaman Siberut

Alhamdulillah, setelah lama mengidamkan sebuah perjalanan ke Kep. Mentawai di Sumatra Barat sana, akhirnya keinginan itu terkabul juga. Memang bukan perjalanan pelesir, tetapi lebih sebagai sebuah pekerjaan, assignment. Perjalanan ini merupakan suatu rangkaian perjalanan setelah sebelumnya melakukan observasi dan dokumentasi permasalah-permasalahan yang terdapat di Kepulauan Seribu (Jakarta), TPA Bantar Gebang (Bekasi), Kabupaten Padang Pariaman (Sumatra Barat) dan berakhir di Kepulauan Mentawai (Sumatera Barat).

Observasi dan dokumentasi khususnya yang dilakukan di Kep. Mentawai difokuskan pada masalah sarana dan prasarana transportasi, pembinaan dan dakwah Islam, serta permasalahan lainnya yang mungkin berkaitan dengan kedua permasalahan utama tersebut. Assignment ini mengharuskan saya merekam berbagai aspek permasalahan tersebut ke dalam format video semi dokumenter untuk kepentingan lembaga yang menugaskan saya, Badan Wakaf Al Qur'an Jakarta (BWA). Observasi ini difokuskan di Kecamatan Siberut Selatan, Pulau Siberut Kep. Mentawai. Pembatasan wilayah ini dilakukan mengingat luasnya wilayah observasi yang tidak bisa dijangkau dengan mudah mengingat keterbatasan sarana transportasi, faktor cuaca, waktu dan biaya yang tersedia.



Dari hasil observasi, ada beberapa catatan mengenai masalah dalam upaya pengembangan dakwah dan pembinaan umat Islam di Mentawai. Pada observasi ini juga dilakukan beberapa interview dengan tokoh masyarakat, tokoh agama, serta warga masyarakat lainnya, yang direkam ke dalam videotape. Sebagai resume awal, masalah dalam pengembangan dan pembinaan umat Islam di Kep. Mentawai umumnya meliputi minimnya dan mahalnya biaya transportasi, rendahnya kesejahteraan para da'i di pedalaman, serta tidak optimalnya pembinaan umat Islam di pedalaman.

Secara umum, di Pulau Siberut terdapat dua kelompok masyarakat, yakni masyarakat asli Suku Mentawai dan masyarakat pendatang. Masyarakat suku Mentawai ini umumnya berdiam di desa-desa di pedalaman. Masyarakat pendatang umumnya berasal dari suku Minang, Jawa, Nias, Batak atau suku lainnya. Dari segi keagamaan,mereka menganut agama Islam, Protestan, Katolik, serta kelompok kecil penganut agama Baha'i. Agama asli Mentawai,Sabulungan, pun masih banyak penganutnya. Sabulungan lebih merupakan animisme-dinamisme yang diwariskan dari nenek-moyang suku Mentawai.



Mahalnya biaya transportasi disebabkan oleh belum adanya jalan darat yang menuju ke pedalaman. Untuk menuju pedalaman dipergunakan sarana transportasi air berupa sampan dan perahu dengan mengikuti aliran sungai yang berasal dari hulu atau menyusuri garis pantai. Dengan demikian biaya bahan bakar yang dipergunakan juga menjadi sangat mahal. Sebagai misal, untuk menempuh perjalanan pergi pulang ke sebuah desa yang berada di pedalaman dengan waktu tempuh l.k. 2 jam, diperlukan BBM sebanyak 40 liter senilai Rp. 280.000. Biaya tersebut tidak termasuk sewa perahu dan upah dua orang kru (pengemudi dan navigator). Dapat terhitung berapa banyak biaya bila dalam dua kali sebulan misalnya, para da'i di pedalaman ini harus turun ke Muara Siberut yang berada di pantai Timur untuk mengakses informasi, berbelanja kebutuhan hidup seperti sembako, atau keperluan dakwah lainnya. Itu baru desa yang dekat. Belum lagi bila desa yang berada di pantai barat Pulau Siberut, yang berada di balik hutan dan perbukitan yang jarang tersentuh manusia.

Selain faktor biaya, transportasi juga sangat dipengaruhi cuaca dan pasang-surut air laut serta sungai. Dengan kata lain, tersedianya alat dan biaya transporasi juga tidak menjamin dapat terlaksananya perjalanan ke pedalaman. Sebab di saat air surut, perahu tidak dapat melewati terusan (sodetan) sungai yang menjadi jalan pintas transportasi dari dan ke pedalaman. Kalaupun harus mengikuti jalur utama sungai, maka waktu tempuh akan semakin lama dan jarak tempuh akan semakin panjang. Biaya transportasi pun akan meningkat drastis. Belum lagi tak jarang mereka harus kembali lagi ke titik awal perjalanan karena perahu mereka tidak dapat menembus cuaca yang buruk serta ombak yang besar.

Begitu pula dengan komunikasi. Sampai saat tulisan ini dibuat, baru ada satu BTS milik satu operator telekomunikasi di desa Muara Siberut. Itupun kadang-kadang mengalami gangguan sehingga tidak dapat dilakukan komunikasi. Pancaran sinyal pun terbatas, tidak menjangkau ke pedalaman yang rata-rata berada di balik perbukitan. Sehingga komunikasi hanya dapat dilakukan dalam wilayah yang sangat terbatas. Saluran telepon Telkom pun hanya menjangkau desa Mailepet dan Muara Siberut saja.

Kondisi keuangan dan kesejahteraan para da'i di pedalaman juga tidak kalah menyedihkannya. Para da'i di pedalaman rata-rata hanya mendapat honor Rp. 700.000 rupiah per bulan, yang tentu sangat jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka. Bisa saja para da'i tersebut harus bekerja atau berdagang untuk mendapat tambahan dana untuk kelangsungan hidupnya. Tetapi akibatnya pembinaan umat menjadi terbengkalai dan umat Islam di pedalaman yang rata-rata mualaf itu menjadi kehilangan pegangan.



Dengan sistem dan sarana transportasi yang ada, sulitnya komunikasi, serta rendahnya kesejahteraan da'i, maka dampak yang paling terasa adalah pada pembinaan umat. Umat yang dimaksud di sini adalah umat Islam yang berada di pedalaman yang rata-rata merupakan penduduk asli suku Mentawai dan tergolong mualaf. Indikatornya sulitnya pembinaan ini antara lain adalah masih banyaknya umat Islam di pedalaman yang memelihara dan mengkonsumsi daging babi. Hal ini disebabkan karena adat-istiadat yang diwariskan nenek-moyang mereka memang seperti itu. Selain itu, masih bercampur-baurnya ajaran agama Islam dengan pemahaman agama leluhur mereka, Sabulungan. Umat Islam di pedalaman masih mempercayai Sikerei sebagai orang yang dapat berhubungan dengan roh-roh nenek moyang, berkomunikasi dengan mereka, serta memberikan kesembuhan atas berbagai penyakit melalui mantera-manteranya. Bla ada seseorang yang sakit, maka diadakanlah upacara turuk yang dipimpin oleh Sikerei. Pada upacara ini Sikerei memberi pengobatan secara fisik dengan obat-obatan herbal serta memanggil roh-roh nenek-moyang mereka untuk meminta kesembuhan atas penyakit yang diderita pasiennya.



Permasalahan di atas sebetulnya dapat diringankan bila kita sebagai umat Islam yang lebih 'civilized' tergerak hati dan mau membantu mereka. Peluang beribadah melalui harta ini dapat disalurkan pada lembaga-lembaga agama Islam yang memiliki program pengiriman da'i dan pembinaan umat di Kepulaun Mentawai. Salah satu lembaga ini adalah BWA atau Badan Wakaf Al Qur'an (www.wakafquran.org) yang beralamat di Jalan Tebet Timur Dalam 1 no. 1 Jakarta, telepon 021-8350084 (hunting).BWA adalah lembaga pengumpul wakaf dan donasi yang akan disalurkan guna pengembangan dan pembinaan umat Islam di berbagai pelosok di tanah air.



Untuk Kep. Seribu dan Kep. Mentawai, BWA merasa salah satu solusi untuk permasalahan minim dan mahalnya sarana transportasi air adalah dengan mewakafkan kapal atau perahu. Kapal atau perahu yang sesuai dengan perairan kepulauan ini akan menjadi transportasi para da'i yang bertugas di pedalaman. Dengan demikian pembinaan umat dapat berjalan lebih lancar karena tidak harus menumpang kapal atau perahu reguler yang jadwalnya terbatas. Selain itu BWA juga berupaya untuk mengembangkan wakaf produktif, sehingga dapat digunakan sebagai modal usaha para da'i atau umat Islam, terutama yang tinggal di pedalaman atau di pulau-pulau yang jauh terpencil.Untuk lengkapnya dapat menghubungi BWA dengan alamat tersebut. Informasi mengenai BWA bisa didapat dari website mereka di www.wakafquran.org. Di mana BWA ini memiliki pengalaman dalam mewakafkan kapal yang digunakan untuk pembinaan umat Islam di Papua/Irian Jaya.

Kita bisa berjihad memerangi kebodohan dan kejahilan, dapat berjihad dengan dengan mewakafkan sebagian dari harta kita. Saudara-saudara muslim kita yang tinggal jauh di pedalaman sangat memerlukan perhatian dan bantuan agar dapat menjadi umat Islam yang khaffah dan mulia. Mari kita mudahkan perjalanan spiritual mereka agar mereka tetap berada di jalan Alloh SWT untuk mengamalkan Al Quran dan menjalankan sunah Rasulullah SAW.


Informasi lengkap:
BADAN WAKAF AL QUR'AN (BWA) JAKARTA
Jalan Tebet Timur Dalam 1 no. 1 Jakarta, telepon 021-8350084 (hunting)
website: www.wakafquran.org
e-mail: admin@wakafquran.org

Foto-foto observasi dan dokumentasi Mentawai dapat diakses di http://www.facebook.com/ricky.bapanasikaka?ref=profile#/photo.php?pid=2911480&id=715618858

10.30.2009

Mainan Anak Pemikiran Bapak

Mainan anak-anak adalah hal yang lumrah hadir di dalam setiap rumah tangga. Mainan juga merupakan stimulan positif agar anak-anak dapat mengembangkan kepribadian, keterampilan, juga wawasan dan pola pemikirannya. Dengan demikian mainan anak-anak yang baik dan sehat memang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan anak. Pemberian mainan kepada anak juga merupakan salah satu bentuk kasih sayang orang tua terhadap anak-anaknya.

Tetapi, bagaimana bila sang Bapak, melihat sisi lain dalam mainan itu? Dalam kerangka pemikiran fotografis, mainan anak-anak itu kemudian menemukan makna dan simbol yang lain dalam benak si Bapak...

Mainan Anak Pemikiran Bapak, 1 dari 7 Foto

Mainan Anak Pemikiran Bapak, 2 dari 7 Foto

Mainan Anak Pemikiran Bapak, 3 dari 7 Foto

Mainan Anak Pemikiran Bapak, 4 dari 7 Foto

Mainan Anak Pemikiran Bapak, 5 dari 7 Foto

Mainan Anak Pemikiran Bapak, 6 dari 7 Foto