http://6ix2o9ine.blogspot.com
Mari rayakan kemerdekaan
berpawai, arak-arakan keliling kota
memakai kostum warna-warni
kupilih baju pahlawan bertopeng, Spiderman
dan beberapa teman memakai baju Batman juga Superman
Saat haus mendera, minum saja Coca Cola atau Fanta
sambil mengepulkan asap Marlboro juga Lucky Strike
di telingaku kupasang earphone agar bisa
mendengarkan lagu-lagu Metallica
dengan mp3 player buatan Cina
saat lapar kubuka bekal dari mama
sepotong ayam Kentucky Fried Chicken
dan setangkup burger Mc Donald
kulanjutkan perjalanan memakai Yamaha lalu naik Toyota
bahagianya hari ini
teriknya matahari menerpa kulit yang menghitam
namun tak perlu khawatir
karena telah kulapisi Johnson dengan 'n Johnson juga Nivea
Sore hari usai sudah keramaian
melepas lelah di Starbucks sambil chatting via Yahoo Messenger
ke teman-teman seluruh Indonesia
di laptop Toshiba yang memakai OS Windows Vista
membaca e-mail masuk di Gmail
browsing berita meriahnya kemerdekaan di CNN.com
terkadang tertawa terbahak melihat kelakuan
Bart Simpson di channel Cartoon Networks
di televisi plama 27 inci buatan Korea
Malam menjelang
kemeriahan berlanjut di tempat hiburan malam
berdisko hingga pagi di Embassy
dan mabuk berbotol-botol whisky, vodka, juga sedikit mariyuana
berakhir dengan ngesex bersama perempuan pirang asal Belanda
dengan berbagai gaya yang kudapat dari Kamasutra
ah, nikmatnya kemerdekaan
Merdeka
Merdeka
Merdeka!!!
(bahkan sebetulnya kita tak pernah
tahu bagaimana cara mengeja kata
M-E-R-D-E-K-A...)
180807
8.14.2009
8.07.2009
Tribute to Si Burung Merak, W.S. Rendra: Sepenggal Kenangan
Innalillahi wa innalillahi roji'un
Sepenggal doa itu terlintas saat beberapa saat lalu saya mendengar berita berpulangnya Oom Willy a.k.a W.S. Rendra. Berita meninggalnya Oom Willy sangat mengagetkan. Saya sedang menyaksikan Trans7, menonton "Bukan Empat Mata"-nya Tukul. Pada acara itu ditayangkan lokasi pemakaman Mbah Surip di sekitaran Bengkel Teater-nya Oom Willy, Saat jemari iseng menekan tombol remote berpindah channel ke MetroTV, berita duka tersebut merasuk ke rumah mungil kami melalui breaking news.
Sungguh, secara pribadi saya mengenal Oom Willy hanya dari puisi, tulisan, karya, dan berita-berita yang meliput dirinya. Dua kali saya bertemu beliau. Pertama saat beliau diundang untuk membaca puisi ke kampus kami di Jatinangor. Saat itu saya masih kuliah semester VIII. Saat itu saya sangat gelisah karena bertepatan dengan pertunjukan Oom Willy saya harus mengikuti ujian Bahasa Sansekerta untuk kedua kalinya setelah gagal di semester sebelumnya. Bila saya mengikuti ujian, maka saya tidak akan bisa menonton Oom Willy baca puisi. Tapi bila menonton, maka saya harus mengulang lagi mata kuliah bahasa Sansekerta yang mengerikan itu untuk ke-3 kalinya..
Saya pilih opsi kedua. Dengan berpura-pura hendak ke belakang, saya minta izin pada Ibu Dosen untuk keluar kelas. Syukurlah, diizinkan. Alih-alih ke toilet, saya bergegas ke parkiran depan Dekanat Fak. Sastra untuk menonton pertunjukan yang belum lama mulai. Suatu keputusan yang tidak pernah saya sesali.
Saya memang kemudian harus mengulang kembali mata kuliah itu. Tapi saya tidak pernah menyesal. Bagi saya, bisa menonton langsung pertunjukan Oom Willy lebih berharga karena kesempatan itu mungkin tidak akan pernah ada lagi. Dan memang, pertunjukan oom Willy di Sastra Unpad hanya terjadi satu kali, di tahun 1996 itu. Syangnya, dua buku puisinya yang mendapat bubuhan tandatangannya, hilang dipinjam teman yang tak bertanggungjawab.
Kali kedua datang tahun 1998. Tapi saat itu Oom Willy hadir sebagai pembicara utama dalam diskusi Politik dan Seni di STISI Bandung. Suasana saat itu masih panas mengingat belum lama rezim Soeharto jatuh dan keadaan negara masih dalam keadan genting. Masih dengan operandi yang sama: saya bolos kuliah, untungnya tapi saat itu bukan musim ujian.
Oom Willy... Selamat jalan. Biarlah yang lain menuliskan tentang dirimu. Tetapi bagi saya, kehadiran Oom akan selalu dirasakan. Karena setiap pemberontakan, setiap pekik kesedihan, setiap pekik keinginan untuk bebas dan merdeka, keinginan untuk mendapat keadilan, keinginan untuk mendapat pengakuan sebagi manusia yang selama ini menjadi bagian hidup saya, sedikit banyak dipengaruhi oleh karya-karya Oom Willy.
Selamat jalan OOm Willy. Selamat Jalan oom Rendra. Semoga Alloh SWT menerima semua amal ibadah Oom. Bagi Indonesia, Oom adalah puisi itu sendiri. Teater itu sendiri. Oom adalah seni itu senditi...
Innalillahi wa inna illaihi roji'un. Semua yang berasal dari Alloh akan kembali pada-Nya.
Sepenggal doa itu terlintas saat beberapa saat lalu saya mendengar berita berpulangnya Oom Willy a.k.a W.S. Rendra. Berita meninggalnya Oom Willy sangat mengagetkan. Saya sedang menyaksikan Trans7, menonton "Bukan Empat Mata"-nya Tukul. Pada acara itu ditayangkan lokasi pemakaman Mbah Surip di sekitaran Bengkel Teater-nya Oom Willy, Saat jemari iseng menekan tombol remote berpindah channel ke MetroTV, berita duka tersebut merasuk ke rumah mungil kami melalui breaking news.
Sungguh, secara pribadi saya mengenal Oom Willy hanya dari puisi, tulisan, karya, dan berita-berita yang meliput dirinya. Dua kali saya bertemu beliau. Pertama saat beliau diundang untuk membaca puisi ke kampus kami di Jatinangor. Saat itu saya masih kuliah semester VIII. Saat itu saya sangat gelisah karena bertepatan dengan pertunjukan Oom Willy saya harus mengikuti ujian Bahasa Sansekerta untuk kedua kalinya setelah gagal di semester sebelumnya. Bila saya mengikuti ujian, maka saya tidak akan bisa menonton Oom Willy baca puisi. Tapi bila menonton, maka saya harus mengulang lagi mata kuliah bahasa Sansekerta yang mengerikan itu untuk ke-3 kalinya..
Saya pilih opsi kedua. Dengan berpura-pura hendak ke belakang, saya minta izin pada Ibu Dosen untuk keluar kelas. Syukurlah, diizinkan. Alih-alih ke toilet, saya bergegas ke parkiran depan Dekanat Fak. Sastra untuk menonton pertunjukan yang belum lama mulai. Suatu keputusan yang tidak pernah saya sesali.
Saya memang kemudian harus mengulang kembali mata kuliah itu. Tapi saya tidak pernah menyesal. Bagi saya, bisa menonton langsung pertunjukan Oom Willy lebih berharga karena kesempatan itu mungkin tidak akan pernah ada lagi. Dan memang, pertunjukan oom Willy di Sastra Unpad hanya terjadi satu kali, di tahun 1996 itu. Syangnya, dua buku puisinya yang mendapat bubuhan tandatangannya, hilang dipinjam teman yang tak bertanggungjawab.
Kali kedua datang tahun 1998. Tapi saat itu Oom Willy hadir sebagai pembicara utama dalam diskusi Politik dan Seni di STISI Bandung. Suasana saat itu masih panas mengingat belum lama rezim Soeharto jatuh dan keadaan negara masih dalam keadan genting. Masih dengan operandi yang sama: saya bolos kuliah, untungnya tapi saat itu bukan musim ujian.
Oom Willy... Selamat jalan. Biarlah yang lain menuliskan tentang dirimu. Tetapi bagi saya, kehadiran Oom akan selalu dirasakan. Karena setiap pemberontakan, setiap pekik kesedihan, setiap pekik keinginan untuk bebas dan merdeka, keinginan untuk mendapat keadilan, keinginan untuk mendapat pengakuan sebagi manusia yang selama ini menjadi bagian hidup saya, sedikit banyak dipengaruhi oleh karya-karya Oom Willy.
Selamat jalan OOm Willy. Selamat Jalan oom Rendra. Semoga Alloh SWT menerima semua amal ibadah Oom. Bagi Indonesia, Oom adalah puisi itu sendiri. Teater itu sendiri. Oom adalah seni itu senditi...
Innalillahi wa inna illaihi roji'un. Semua yang berasal dari Alloh akan kembali pada-Nya.