Bagaimana bila dunia mendadak kehilangan energi-nya? Kalimat itu sering saya saya simak dalam kajian akhir zaman di Youtube.
"Dunia akan kehilangan energi dan manusia akan kembali ke teknologi manual," demikian salah satu poin yang disampaikan oleh Ust. Rachmat Baequni dalam sebuah kajiannya yang ditayangkan di kanal video tersebut.
Berdasar 'petunjuk' Priyatna Harun, ternyata ada sebuah film Jepang, "Survival Family" yang mengira-ngirakan bagaimana bila manusia hidup tanpa teknologi, tanpa sumber daya energi, dan harus tetap hidup selama berhari-hari, berbulan, bahkan bertahun lamanya.
Alkisah suatu pagi di Tokyo, tiba-tiba listrik mendadak padam. Tidak hanya alat-alat elektronik seperti televisi, radio, komputer, kamera hingga ponsel, kendaraan pun tidak bisa dioperasikan: mobil, motor, kereta api, hingga pesawat terbang.
Penduduk Tokyo yang semula mengira kejadian tersebut hanyalah 'aliran' (pemadaman listrik), mulai kesulitan untuk minum, makan, berkomunikasi, dan beraktivitas seperti biasanya. Alat penunjuk waktu: jam, jam tangan, dan beker pun tidak menyala sama sekali, semua berhenti di pukul 03.30.
Setelah berhari-hari tanpa kejelasan kapan listrik akan kembali menyala, keluarga Yoshiyuki Suzuki, yang terdiri dari empat orang: Ayah, Ibu, dan 2 orang anak berusaha keluar Tokyo.
Suzuki sang ayah, berusaha menyelamatkan keluarganya dengan mengungsi keluar Tokyo menuju Kagoshima, rumah mertuanya, yang berjarak 1357 km dengan bersepeda.
Perjalanan tersebut ditempuh keluarga Suzuki selama lebih dari 100 hari, tentu dengan suka-dukanya. Bagaimana mereka yang terbiasa hidup dengan menggunakan teknologi, harus memeras otak dan tenaga agar bisa bertahan hidup dan sampai di Kagoshima yang merupakan wilayah pedesaan.
Bagaimana mereka yang terbiasa meminum air kemasan atau air bersih, terpaksa harus minum air aki (aki zuur). Atau misalnya kebingungan karena tidak bisa membuat api di saat korek api habis.
Mereka harus bisa membuat api, memasak dengan peralatan sederhana dan seadanya, mengolah air minum, mengolah bahan makanan. Mereka juga dipaksa untuk memiliki stamina dan kondisi tubuh yang prima agar bisa bertahan hidup di tengah terpaan cuaca.
Digambarkan juga uang menjadi tidak berharga dibanding makanan dan air. Uang tidak bernilai, ATM dan pembayaran elektronik tidak bisa dilakukan. Transaksi ekonomi kembali ke sistem barter.
Kebersamaan keluarga juga menjadi hal yang penting, karena sepertinya film karya sutradara Shinobu Yaguchi (2016) ini juga mengingatkan kita akan hal itu.
Film berdurasi 117 menit ini menjadi film yang menarik buat disaksikan bersama keluarga di masa pandemi. Selain untuk mengingatkan tentang kemungkinan yang akan terjadi bila dunia mendadak kehilangan energi, juga untuk pengingat agar kita tidak tergantung dengan teknologi.
Kita bisa mulai belajar hal-hal yang bersifat manual tanpa tergantung peralatan canggih: membaca peta, membaca cuaca, mencari dan mengolah bahan makanan, memasak, berkomunikasi, mengolah raga, dan banyak hal lainnya.
Di akhir cerita yang 'happy ending' tidak disebutkan apa penyebab dunia mendadak kehilangan energi-nya. Setelah dua tahun keluarga Suzuki kembali ke Tokyo dan kemudian terbiasa menggunakan teknologi sederhana untuk beraktivitas sehari-hari.