Showing posts with label cultural studies. Show all posts
Showing posts with label cultural studies. Show all posts

3.30.2023

CURRENT CIRCUMSTANCES-NYA FIFA

 


Bagaimana bisa FIFA mempercayakan event besarnya pada Indonesia yang tidak becus mengelola keamanan sebuah gelaran sepak bola?

Selepas tragedi Kanjuruhan bulan Oktober 2022 silam, tidak ada perbaikan sistem keamanan secara menyeluruh dan komprehensif. Malah banyak terjadi pertandingan usiran dan tanpa penonton. 

Padahal sebagai bentuk transformasi yang disyaratkan FIFA, menurut hemat saya pertandingan liga lokal bisa digunakan sebagai sarana simulasi keamanan jelang Pildun U-20.

Soal respons Indonesia terhadap Israel, sepertinya juga sudah FIFA perkirakan. Karena Israel lolos kualifikasi bulan Juni 2022 silam. FIFA, jelas berstandar ganda, kita tahu itu.

Bila kemudian penolakan terhadap Israel baru meriah di dua bulan jelang pelaksanaan, anggap saja itu sebagai serangan di menit akhir pertandingan. Kegolan di menit-menit injury time pasti bikin nyesek dan enggak setiap pihak bisa menerima dengan lapang dada.

Penolakan tidak hanya dilakukan netizen dan aktivis ANTI ISRAEL saja, tetapi oleh ormas, dan partai politik dengan alasan berpedoman pada konstitusi. Lagi-lagi dalam opini saya, bergabungnya mereka (ormas, parpol, tokoh masyarakat) bagaikan super sub yang mengubah permainan di menit-menit akhir dan banyak menciptakan peluang berbahaya di depan gawang.

Pembatalan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 2023, adalah pertamakalinya sepanjang sejarah. Itu adalah gol menit akhir pertandingan yang tak sempat dibalaskan saat wasit meniup peluit panjang tanda permainan usai.

Meminjam dugaan yang tayang di akun Twitter Fahmi Agustian, diduga FIFA memang dengan sengaja menyimpan Tragedi Kanjuruhan sebagai kartu truf. FIFA sudah memprediksi kehadiran Israel bakalan ditolak sedangkan FIFA sendiri enggak punya power untuk mencoret Israel. Padahal, di Pildun 2022 Qatar, FIFA berani mencoret Rusia sejak babak kualifikasi.

Itulah 'current circumstances' yang disiratkan dalam press release FIFA 29 Maret 2023 yang menyatakan pembatalan Indonesia sebagai tuan rumah Pildun U-20. 

Bila sudah seperti ini, mari kita adukan saja pada angin. Angin yang sama seperti angin yang divonis oleh hakim PN Surabaya sebagai pelaku pembunuhan 135 nyawa di Stadion Kanjuruhan Malang.

Ricky N. Sastramihardja

3.28.2023

TOLAK TIMNAS ISRAEL!


Masih soal Pildun U-20 yang konon terancam batal digelar di Indonesia.

🐵Belain bangsa lain (🇵🇸) sampai tega ngorbanin anak bangsa (🇮🇩)!

🧔‍♂️ Lah kamu juga kan belain 🇮🇱?

🐒 Banyak bacot Lu, tolol. Jangan campurkan politik dengan sepak bola!

🧔‍♂️ Eh kutil 🐷, FIFA juga campurin sepakbola sama kaum 🏳️‍🌈 😂

🐷 Jangan cuma kritik kasih solusi dong bgsd!

🧔‍♂️ Boa edan, ada orang-orang yang dapet duit dari bola, mereka dong yang kasih solusi. Masa minta solusi ke netizen? 🤣

Disclaimer:
Di Indonesia seperti ini realitasnya, solusi gratis diharapkan datang dari pengkritik bukan dari mereka yang wajib cari solusi dan dapat upah dari situ.

Padahal solusinya FIFA tinggal lakukan sanksi bagi 🇮🇱, seperti yang mereka lakukan pada Russia di Pildun 2022.

Bagi Indonesia menolak kehadiran
🇮🇱 adalah sesuai dengan amanah UUD 45, sesuai konstitusi negara yang harusnya dihormati FIFA.

Qatar yang menolak kehadiran kaum 🏳️‍🌈 dan simbol-simbolnya sebagai perwujudan konstitusinya, tidak disanksi FIFA. Bahkan perhelatan Pildun 2022 jadi perhelatan terbaik sepanjang masa.

Rumor lain:
Kemungkinan semua venue belum sesuai standar FIFA hingga target waktu yang ditentukan. Hingga ada pihak-pihak yang memanfaatkan penolakan terhadap timnas 🇮🇱 untuk menutupi kebobrokannya.

Bila Indonesia di-banned, apakah akan rugi? Seharusnya tidak rugi-rugi amat karena liga lokal masih bisa berjalan dengan sistem sendiri.

Tak ada pemain asing, jadi bisa memaksimalkan potensi pemain lokal dan menyiapkan sistem yang lebih baik, yang melahirkan pemain-pemain unggulan saat sanksi FIFA selesai.

Enggak perlu cari pemain naturalisasi yang biasanya lebih sering merepotkan dan merugikan mereka sendiri.

Enggak perlu repot dengan pertandingan Internasional. Toh di Piala AFF yang sebetulnya turnamen kelas Tarkam se-Asia Tenggara aja, paling bagus kita cuma dapat runner up.

#TolakTimnasIsrael 🇵🇸🇮🇩


Ricky N. Sastramihardja

9.13.2022

PAHITNYA SEJARAH KOPI HARUS BERGANTI


Deungkleung, déngdék

Buah kopi raranggeuyan

Ingkeun anu déwék, 

Ulah pati diheureuyan


Sejarah kopi di awal masuknya ke Tatar Sunda di jaman Cultuure Steelsel (tanam paksa) di tahun 1830-an meninggalkan duka sejarah yang mendalam.


Kopi Priangan, yang dikenal sebagai Java Coffee, laku keras di pasar dunia. Mengalahkan kopi Mokha dari Yaman. Keuntungan besar diraup Kerajaan Belanda, tapi kesengsaraan mendalam dialami masyarakat Priangan, terutama di wilayah Cianjur.


"Dari tanam paksa, Kerajaan Belanda bisa meraup untung hingga 832 juta gulden (setara dengan USD 75,5 miliar hari ini)," ujar sejarawan Peter Carey, seperti dirilis Merdeka.com 7 Juli 2022.


M. C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern menyebut  disebut keuntungan sistem tanam paksa menjadikan perekonomian dalam negeri Belanda kembali stabil: utang-utang luar negeri Belanda terlunasi, pajak-pajak diturunkan, kubu-kubu pertahanan dibangun, terusan-terusan diciptakan, dan jalan-jalan kereta api negara dibangun.


"Hal yang sebaliknya terjadi pada masyarakat Jawa yang diperas: penyakit dan kelaparan bertambah merajalela dan kaum miskin melonjak tinggi jumlahnya di desa-desa Jawa)," ungkapnya.


Jawa yang dimaksud Ricklefs adalah Priangan. Tatar Sunda. Di mana kemudian lahir gerakan Politik Balas Budi yang diinisiasi Douwes Dekker atau Multatuli.


Kini, semenjak 2008 masyarakat terutama di pegunungan di sekitar Bandung Raya, kembali menanam kopi. Umumnya masih jenis kopi Arabica Java Preanger, kopi yang ditanam nenek moyang dulu. 


Dari wilayah Layangsari (Manglayang - Palintang - Palasari, Bandung Timur) entah berapa ratus ton buah kopi basah (ceri)  yang bisa dikumpulkan pengepul dari  petani kopi di wilayah itu saja. 


Belum dari tempat lain di wilayah Bandung Selatan.


Semoga 'booming' kopi kembali terjadi seperti di abad ke-18 namun membuat petani dan siapapun yang berada di lingkaran industri kopi, makmur dan sejahtera.


Bila di abad ke-18 kopi bisa membuat kerajaan Belanda kaya raya, insya Alloh di abad ke-21 ini bisa membuat warga Tatar Sunda kaya raya.


Ricky N. Sastramihardja

4.21.2016

MENGAPA HARUS KARTINI?



Oleh: Tiar Anwar Bachtiar*

Mengapa harus Kartini? Mengapa setiap 21 April, bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini? Apakah tidak ada wanita Indonesia lain yang lebih layak ditokohkan dan diteladani dibandingkan Kartini?

Pada dekade 1980-an, guru besar Universitas Indonesia, Prof. Dr. Harsya W. Bachtiar pernah menggugat masalah ini. Ia mengkritik pengkultusan R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia. Tahun 1988, masalah ini kembali menghangat, menjelang peringatan hari Kartini 21 April 1988. Ketika itu akan diterbitkan buku Surat-Surat Kartini oleh F.G.P. Jacquet melalui penerbitan Koninklijk Institut voor Tall-Landen Volkenkunde (KITLV).

Tulisan ini bukan untuk menggugat pribadi Kartini. Banyak nilai positif yang bisa kita ambil dari kehidupan seorang Kartini. Tapi, kita bicara tentang Indonesia, sebuah negara yang majemuk. Maka, sangatlah penting untuk mengajak kita berpikir tentang sejarah Indonesia. Sejarah sangatlah penting. Jangan sekali-kali melupakan sejarah, kata Bung Karno. Al-Quran banyak mengungkapkan betapa pentingnya sejarah, demi menatap dan menata masa depan.

Banyak pertanyaan yang bisa diajukan untuk sejarah Indonesia. Mengapa harus Boedi Oetomo, Mengapa bukan Sarekat Islam? Bukankah Sarekat Islam adalah organisasi nasional pertama? Mengapa harus Ki Hajar Dewantoro, Mengapa bukan KH Ahmad Dahlan, untuk menyebut tokoh pendidikan? Mengapa harus dilestarikan ungkapan ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani sebagai jargon pendidikan nasional Indonesia?

Bukankah katanya, kita berbahasa satu: Bahasa Indonesia? Tanyalah kepada semua guru dari Sabang sampai Merauke. Berapa orang yang paham makna slogan pendidikan nasional itu? Mengapa tidak diganti, misalnya, dengan ungkapan Iman, Ilmu, dan amal, sehingga semua orang Indonesia paham maknanya.

Kini, kita juga bisa bertanya, Mengapa harus Kartini? Ada baiknya, kita lihat sekilas asal-muasalnya. Kepopuleran Kartini tidak terlepas dari buku yang memuat surat-surat Kartini kepada sahabat-sahabat Eropanya, Door Duisternis tot Licht, yang oleh Armijn Pane diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang.

Buku ini diterbitkan semasa era Politik Etis oleh Menteri Pengajaran, Ibadah, dan Kerajinan Hindia Belanda Mr. J.H. Abendanon tahun 1911. Buku ini dianggap sebagai grand idea yang layak menempatkan Kartini sebagai orang yang sangat berpikiran maju pada zamannya. Kata mereka, saat itu, tidak ada wanita yang berpikiran sekritis dan semaju itu.

Beberapa sejarawan sudah mengajukan bukti bahwa klaim semacam itu tidak tepat. Ada banyak wanita yang hidup sezamannya juga berpikiran sangat maju. Sebut saja Dewi Sartika di Bandung dan Rohana Kudus di Padang (terakhir pindah ke Medan). Dua wanita ini pikiran-pikirannya memang tidak sengaja dipublikasikan. Tapi yang mereka lakukan lebih dari yang dilakukan Kartini. Dewi Sartika (1884-1947) bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum wanita.

Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah yang belakangan dinamakan Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung. Rohana Kudus (1884-1972) melakukan hal yang sama di kampung halamannya. Selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amai Setia (1911) dan Rohana School (1916), Rohana Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang sampai saat ia mengungsi ke Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini.

Kalau Kartini hanya menyampaikan Sartika dan Rohana dalam surat, mereka sudah lebih jauh melangkah: mewujudkan ide-ide dalam tindakan nyata. Jika Kartini dikenalkan oleh Abendanon yang berinisiatif menerbitkan surat-suratnya, Rohana menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan).

Kalau saja ada yang sempat menerbitkan pikiran-pikiran Rohana dalam berbagai surat kabar itu, apa yang dipikirkan Rohana jauh lebih hebat dari yang dipikirkan Kartini. Bahkan kalau melirik kisah-kisah Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia, Pocut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fatimah dari Aceh, klaim-klaim keterbelakangan kaum wanita di negeri pada masa Kartini hidup ini harus segera digugurkan. Mereka adalah wanita-wanita hebat yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda. Tengku Fakinah, selain ikut berperang juga adalah seorang ulama-wanita.

Di Aceh kisah wanita ikut berperang atau menjadi pemimpin pasukan perang bukan sesuatu yang aneh. Bahkan jauh-jauh hari sebelum era Cut Nyak Dien dan sebelum Belanda datang ke Indonesia, Kerajaan Aceh sudah memiliki Panglima Angkatan Laut wanita pertama, yakni Malahayati. Aceh juga pernah dipimpin oleh Sultanah (sultan wanita) selama empat periode (1641-1699). Posisi sulthanah dan panglima jelas bukan posisi rendahan.

Jadi, ada baiknya bangsa Indonesia bisa berpikir lebih jernih: Mengapa Kartini? Mengapa bukan Rohana Kudus? Mengapa bukan Cut Nyak Dien? Mengapa Abendanon memilih Kartini? — Apa karena Cut Nyak dibenci penjajah?— Dan mengapa kemudian bangsa Indonesia juga mengikuti kebijakan itu? Cut Nyak Dien tidak pernah mau tunduk kepada Belanda. Ia tidak pernah menyerah dan berhenti menentang penjajahan Belanda atas negeri ini.

Meskipun aktif berkiprah di tengah masyarakat, Rohana Kudus juga memiliki visi keislaman yang tegas. Perputaran zaman tidak akan pernah membuat wanita menyamai laki-laki. Wanita tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah wanita harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Wanita harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan, begitu kata Rohana Kudus.

Bayangkan, jika sejak dulu anak-anak kita bernyanyi: Ibu kita Cut Nyak Dien. Putri sejati. Putri Indonesia…, mungkin tidak pernah muncul masalah Gerakan Aceh Merdeka. Tapi, kita bukan meratapi sejarah, Ini takdir. Hanya, kita diwajibkan berjuang untuk menyongsong takdir yang lebih baik di masa depan. Dan itu bisa dimulai dengan bertanya, secara serius: Mengapa Harus Kartini?

*PP Persis, Ketum Pemuda Persis 2010-2015, Peneliti INSISTS dan Doktor Sejarah, Universitas Indonesia
Dari Facebook PERSATUAN ISLAM (PERSIS), Kamis 21 April 2016

12.02.2014

Ngadu Muncang


Seorang anak sedang 'nakolan' buah muncang yang diambilnya dari sebatang pohon kemiri di kaki Gunung Geulis, Jatinangor Sumedang. Buah muncang yang sudah terkupas kulit dan dagingnya, kemudian diambil bijinya. Biji muncang tersebut kemudian dipakai dalam permainan 'ngadu muncang'.

Permainan ngadu muncang (kemiri, candlenut, Aleurites moluccana) adalah permainan tradisonal urang Sunda yang hingga dewasa ini masih banyak ditemui di berbagai pelosok Jawa Barat. Dimainkan oleh anak-anak sebagai permainan, dan oleh orang dewasa kerap dijadikan media perjudian.

2.21.2010

MENUNGGU ‘PEMBERONTAKAN’ FOTOGRAFI

http://6ix2o9ine.blogspot.com

Potrét manéhna. Nu katampi minggu kamari.
Dipiguraan.Disimpen dihadé-hadé.
Anteng diteuteup. Jadi batur dina simpé
Aduh éndahna

...

(Potret Si Dia. Diterima minggu lalu.
Diberi figura, disimpan dengan baik.
Terpaku menatapnya. Menjadi teman dalam sepi.
Oh indahnya...

Lagu Potret Manéhna , Ciptaan Adang Céngos & dipopulerkan Nining Méida.

---------------------------------

Teknologi fotografi dewasa ini mencapai puncak evolusinya dengan berkembangnya teknologi fotografi digital. Bila 10 tahun lalu foto tercepat adalah foto yang diproduksi dengan kamera Polaroid, sekarang ini ini foto tersaji cepat melalui ponsel berkamera (atau kamera berponsel). Tinggal klik dan langsung jadi, tidak harus dicuci cetak terlebih dulu. 10 tahun lalu fotografi analog adalah klangenan dan permainan orang dewasa, kini fotografi digital menjadi bagian dari permainan anak-anak, bahkan yang belum bisa membaca sekalipun. Teknologi fotografi dewasa ini memang sebuah pemberontakan yang mungkin tidak pernah terbayangkan oleh Joseph Niépce, Daguerre, atau bahkan Ibnu Al Haitam/Alhazen yang mewarisi dunia dasar-dasar ilmu optik 1).

Fotografi tadinya hanya milik orang dengan kasta dan penghasilan tertentu, kini menjadi sesuatu yang biasa, murah, dan mudah. Biasa, karena bahkan hanya dengan sebuah ponsel berkamera setiap orang bisa memotret apa saja yang ia inginkan. Murah, karena tidak ada lagi pengeluaran untuk membeli rol film serta biaya cuci cetak, selain membeli perangkat kamera. Mudah, karena tanpa harus belajar banyak teori teknis fotografi seseorang bisa memotret. Kapan saja, di mana saja, siapa saja. Sepertinya mengulang impian George Eastman saat melahirkan Kodak Brownie pada tahun 1900 karena menginginkan fotografi yang mudah dan murah 2).

Pada perkembangannya, fotografi sebagai alat, adalah gabungan ilmu tentang mekanika, elektronika, komputer dan informatika, piranti lunak, juga optik. Sebagai sebuah hasil atau konten, fotografi berada di banyak wilayah: dokumentasi, jurnalistik, seni, hingga ilmu kedokteran. Ilmu Fotografi kemudian menemukan jatidirinya bersamaan dengan ilmu-ilmu lain. Bahkan di dunia antropologi, fotografi menjadi salah satu hal yang harus dikuasai para antropolog sebagai metode penelitian 3). Dunia kedokteran pun sangat akrab dengan dunia fotografi, misalnya dengan penggunaan mesin rontgen untuk memotret bagian dalam tubuh manusia. Para peneliti ekologi pun menggunakan perangkat jebakan kamera (camera trap) untuk memastikan keberadaan satwa liar yang hampir punah. Ilmu sejarah yang tergantung pada ilmu-ilmu lain, menggunakan foto sebagai salahsatu cara untuk menafsirkan sejarah masa lalu. Baru-baru ini terbit sebuah buku biografi Sutan Sjahrir yang ditulis oleh wartawan senior Indonesia. Bersama Ignas Kleden, Rosihan Anwar mengurai biografi tokoh pergerakan Indonesia yang tercantum dalam 100 foto yang berhubungan secara kontekstual dengan tokoh dan ketokohan Sutan Sjahrir 4).

Para petinggi militer pun menggunakan fotografi untuk kegiatan intelejen dan mencitrakan wilayah-wilayah tertentu yang dicurigai berkaitan dengan aktivitas musuh. Saya teringat pada film The Great Raid yang diputar sebuah televisi swasta beberapa waktu lalu. Film ini berkisah bagaimana pihak Sekutu pada perang Dunia II mengirimkan satu pasukan penyelamat untuk menyelamatkan tentara Amerika yang menjadi tahanan perang (POW) di Filipina. Keberhasilan pasukan tersebut tidak lepas dari data intelijen yang menyertakan sebuah foto udara (aerial) yang menunjukan lokasi dan posisi penjara militer Jepang yang jadi target penyerbuan.

Seorang Roland Barthes menggunakan medium fotografi sebagai sarana untuk mengembangkan teorinya tentang strukturalisme. Perlu diketahui, sebelum menulis Camera Lucida: Refflection on Photography pada tahun 1980 dengan premis ‘studium’ dan ‘punctum’ untuk menjelaskan ‘the impossible text’ 5) dalam sebuah karya foto, Barthes adalah peneliti dan penulis di bidang Kesusastraan serta Cultural Studies yang sangat berminat dalam pengkajian sinema dan fotografi. Sebelum Camera Lucida, Barthes pernah menuliskan pandangannya mengenai dunia fotografi dan pencitraan dalam ‘Image-Music-Text yang terbit tahun 1977. Nama Barthes dapat disejajarkan sebagai salah satu punggawa Strukturalisme yang bersumber pada Strukturalisme yang dihujahkan oleh Ferdinand de Saussure juga C.S. Pierce dalam ilmu bahasa (linguistik).

***

Pada perkembangan fotografi di tanah air, perkembangan fotografi sebagai ilmu inter-disiplin sepertinya masih belum segempita dengan fotografi sebagai karya dokumentasi atau ekspresi estetika. Masih sangat jarang ditemukan literatur yang membahas fotografi sebagai ilmu inter-disiplin yang tidak hanya melulu berbicara tentang teknis fotografi. Sekolah-sekolah tinggi dan universitas yang mengajarkan fotografi sebagai ilmu pun masih berkutat pada fotografi praktis, yakni cara dan teori memotret yang baik dan benar.

Dengan kata lain, institusi pendidikan masih berorientasi untuk menghasilkan fotografer yang ‘juara’ dalam hal teknis dan teori tentang memotret. Tidak jauh berbeda dengan lembaga pendidikan luar sekolah atau tempat kursus fotografi yang secara praktis memang bertujuan mencetak seorang fotografer. Saya rasa ini sangat berkaitan dengan kenyataan bahwa fotografi Indonesia sangat berkaitan dengan industri pencitraan dan komodifikasi identitas yang secara ekonomi menguntungkan banyak pihak.

Bisa dilihat misalnya dunia internet adalah tempat bertukar foto paling mutakhir bagi para penggunanya. Dalam sebuah jejaring sosial yang memberikan kemudahan dalam berbagi foto, setiap saat menawarkan berbagai foto yang dibuat oleh para penggunanya. Para pengguna situs yang memang berprofesi sebagai fotografer, mengunggah karya foto-fotonya -- yang sebenarnya dapat dikatakan nyaris seragam-- mulai dari foto bergaya jurnalistik, fashion, glamour, landscape, bahkan sekedar foto dokumentasi kongkow dengan sesamanya. Para pengguna situs yang bukan fotografer pun tidak mau kalah dengan mengunggah foto-foto yang sifatnya tergolong foto dokumentasi, bahkan dokumentasi kegiatan yang sangat pribadi.

Kegiatan fotografi yang ditayangkan di televisi pun masih sekedar sebagai penarik rating belaka. Saya masih ingat beberapa waktu lalu ada sebuah stasiun televisi yang menayangkan acara behind the scene-nya pemotretan model untuk sebuah majalah hiburan pria. Acara tersebut sebetulnya sangat menarik dengan hadirnya model-model perempuan yang cantik, berpakaian minim, dan berpose sensual. Akan tetapi, diskursus yang berkembang dari acara itu hanya dua. Pertama adalah diskursus berbagi masalah proses kreatif yang umumnya membicarakan pengolahan ide dan teknis. Diskursus ke dua adalah hal yang tidak tayang yakni pembicaraan para laki-laki di luar konteks fotografi: seksualitas dada dan paha. Kedua diskursus itu menempatkan fotografi hanya sebagai media ‘penggugah’ seksualitas. Program itu juga berhasil menyudutkan fotografi hanya sebagi aktivitas motret model dan landscape saja. Persis seperti yang selalu dirisaukan seorang kolega saya dalam berbagai kesempatan diskusi.

Itulah seperti apa yang saya maksud sebagai fotografi Indonesia masih lekat dengan berkaitan dengan industri pencitraan dan komodifikasi identitas. Fotografi Indonesia memang masih sangat ganjen dengan aktivitas memotret model dan landscape, sementara persoalan-persoalan lain disisihkan karena dianggap tidak komersial. Foto-foto bertema kebudayaan Indonesia pun akhirnya terjebak pada foto yang menampilkan budaya-budaya yang dianggap an sich dan eksotis: memakai baju adat/tradisional, menari, menabuh gamelan, melakukan aktivitas ritual, dan selesai sampai situ. Dengan kata lain, fotografi Indonesia masih menyimpan jejak-jejak kolonialisme yang akut di dalam tubuhnya. Persis seperti yang dilakukan oleh Kolonialis Belanda yang memotret eksotisme Nusantara sebagai upaya menaklukan negara jajahan melalui gambar 6).

Dunia pengkajian fotografi ilmiah pun masih dimarjinalkan. Masih sangat sedikit literatur yang bisa kita temukan yang membahas fotografi dengan keterkaitannya dengan ilmu lain. Bahkan literatur sejarah fotografi di Indonesia pun masih sangat minim. Buku-buku yang sudah pernah terbit tidak pernah dicetak ulang karena nampaknya fotografer Indonesia tidak terlalu suka membaca. Ini bisa kita buktikan dengan gugurnya banyak majalah foto di Indonesia. Sepertinya tidak banyak fotografer atau akademisi di Indonesia yang mau menggali hal-hal lain di luar persoalan teknis dan teknologi fotografi. Majalah-majalah yang masih ada atau situs-situs di internet yang berbahasa Indonesia pun lebih sering mengulas produk peralatan fotografi seolah hendak menjadikan fotografer menjadi mahluk yang konsumeristis dengan jargon teknologi canggih menjanjikan gambar yang baik.

Bila dibandingkan dengan sastra Indonesia misalnya, fotografi Indonesia jauh tertinggal. Sastra dalam evolusinya, hingga dewasa ini berada di dua ranah yang berbeda yang saling berkaitan satu sama lain: sastra sebagai ilmu, dan sastra sebagai karya. Sebagai ilmu, sastra berada di wilayah penelitian dan pengkajian karya dari berbagi sudut pandang manusia. Mulai dari pembahasan bahasa, teknis penulisan, hingga penafsiran makna. Sebagai karya, sastra diproduksi dalam kemasan yang dikenal orang diantaranya sebagai puisi/sajak, cerita pendek, juga novel. Wilayah proses kreatif dalam berkarya yang berhubungan dengan sisi teknis, saya rasa berada di wilayah ini. Dari sisi komersial, sastra juga memiliki tempat tersendiri, walau untuk hal ini masih jarang dibahas. Pembahasan komodifikasi sastra umumnya dibahas sebagai bagian dari cultural studies atau post-modernism yang berada di wilayah sastra sebagai ilmu.

Contoh lain di wilayah seni rupa, seni rupa tidak melulu berkutat pada masalah cara melukis, cara membuat patung dan sebagainya. Tetapi juga menguraikan simbol-simbol dan makna yang terdapat di dalam sebuah karya. Tidak pernah rasanya saya membaca artikel tentang keberhasilan pelukis Basuki Abdullah adalah karena ia melukis menggunakan kuas, cat, dan kanvas merek tertentu. Atau tentang perupa Tisna Sanjaya yang gemilang menciptakan instalasi bambu dengan memakai bambu merek tertentu yang dipotong dengan golok dan gergaji merk tertentu, misalnya.

Sebaliknya dengan dunia fotografi Indonesia. Di dunia fotografi Indonesia merk kamera tertentu dengan jenis lensa tertentu seolah menjadi jaminan kualitas karya foto seseorang. Kualitas fotografer seolah ditentukan dengan alat dan teknis yang digunakan, bukan pada bagaimana karyanya menjadi simbol keberhasilan pengolahan gagasan kreatif. Mengenai hal ini, seorang senior dengan sebal pernah mengatakan bahwa dengan membeli xxxxx (xxxxx: merk kamera sejuta umat di Indonesia) tidak membuat seseorang menjadi fotografer.

Berbeda dengan fotografi Barat sana (baca: Amerika Serikat dan Eropa). Dengan sedikit usaha melalui Google, saya menemukan banyak sekali situs yang membicarakan fotografi sebagai diskursus non-teknikal. Dengan beberapa kali klik di sebuah situs, dalam satu malam saja saya bisa mengunduh ratusan e-book tentang fotografi dan keterkaitannya dengan banyak hal. Mulai buku panduan memotret model bugil hingga memotret bebatuan dan kekayaan mineral. Mulai dari membahas fotografi sebagai media dokumentasi, fotografi dan ideologi, hingga fotografi sebagai piranti komodifikasi dan kapitalisasi. Di dalamnya terselip juga buku-buku yang menjadikan fotografi sebagai cara untuk mengembangkan pemikiran mengenai perkembangan budaya populer dan sistem pertandaan.

***

Masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dalam upaya mengembangkan fotografi sebagai ilmu dan sebagai karya. Dari segi ilmu, dibutuhkan banyak akademisi, penulis, dan pemikir yang mau meluangkan waktunya untuk turut serta mengembangkan fotografi agar bisa berkembang menjadi ilmu dan diskursus seperti yang terjadi di dunia seni lainnya. Dari segi karya, masih sangat terbuka peluang bagi para fotografer untuk melampiaskan kegelisahan estetika dan ideologisnya menjadi karya yang bisa disejajarkan dengan fotografer luar. Tidak sekedar mengekor Ansel Adams, Henri Cartier Bresson, atau Andy Warhol misalnya, tetapi bisa memiliki ciri khas pribadi yang bisa dikenang sepanjang masa. Bagi para fotografer komersial, teknologi fotografi digital telah membuka lapangan kerja yang luas dengan berbagai kemudahan yang memanjakan.

Dari sisi lain, memang diperlukan pula komunitas fotografi yang mendukung terciptanya alam dan atmosfir yang akan menghasilkan semua itu. Komunitas tersebut bisa berupa kelompok hobi, kelompok diskusi fotografi, atau institusi pendidikan fotografi dan seni. Tanpa habitat dan ekosistem yang sesuai, keinginan itu tidak akan pernah terealisasi. Karena bagaimanapun juga, menyitir Ibnu Khaldun, manusia adalah produk yang dikonstruksi oleh pemikiran dan kebiasaan sosial lingkungan tertentu. Harapan terbesar tentu ditujukan untuk lingkungan akademis di perguruan tinggi. Karena institusi pendidikanlah yang bisa melakukan penggodogan terhadap berbagai diskursus fotografi sebagai ilmu inter-disiplin yang bisa memanusiakan manusia, mengembalikan manusia pada khittah kemanusiaanya yang beradab. Para akademisi biasanya memiliki metode yang bisa dikembangkan untuk mendidik fotografer yang mumpuni secara praktis maupun secara akademik. Hal ini perlu dilakukan agar bisa meng-counter tekanan industri dan kapitalisasi yang hanya menempatkan manusia sebagai komoditas ekonomi belaka yang divisualkan dalam foto-foto, yang sebetulnya tidak bermakna apa-apa selain estetika yang semu dan palsu.


21 Februari 2010
Ricky N. Sastramihardja
Pecinta Kopi dan Fotografi

--------------------------
1)Ibnu Al Haitham atau Alhazen (965-1039 M), adalah ilmuwan Mesir yang menemukan dasar-dasar ilmu optik. Eric Renner dalam Pinhole Photography, From Historic Technique to Digital Application (Elsevier inc, London; 2010) menjelaskan bahwa Ibnu Al Haitam ini menulis dasar teori yang kemudian dikembangkan menjadi perangkat fotografi generasi awal, kamera obskura. Teori dasar Ibnu Al Haitam ini juga kemudian dikembangkan oleh Rene Descartes dan Johannes Kepler.
2)George Eastman adalah pendiri perusahaan fotografi KODAK yang sangat berambisi untuk menjadikan fotografi sebagai kegiatan yang mudah dilakukan. Tidak hanya untuk profesional tetapi juga untuk amatir, bahkan kanak-kanak. Kecerdasannya antara lain dengan menciptakan slogan Kodak yang terkenal, “You press the button, we do the rest”, yang kemudian diwujudkannya dalam kamera Kodak Brownie di awal tahun 1900. Baca: Encylopedia of Nineteenth Century Photographs Volume I, A-I. John Hannavy (ed.); Routledge New York; 2008.
3)Baca: Visual Anthropology: Photography As a Research Method. John Collier, Malcom Collier; University of New Mexico; 1986).
4)Sutan Sjahrir: Demokrat sejati, Pejuang Kemanusiaan. H. Rosihan Anwar, Penerbit Buku Kompas, Jakarta; 2010.
5)Dalam sebuah pengkajian mengenai semiotika, ST. Soenardi dalam Semiotika Negativa (Kanal, Yogyakarta; 2002) menyebutkan bahwa Studium adalah kebutuhan kultural akan fantasi, sedangkan punctum atau punctuation adalah identitas imajiner. Perlu diketahui juga, Barthes bukanlah fotografer walau ia memiliki minat khusus terhadap itu. Tidak pernah diketahui apakah ia memiliki karya foto atau tidak. Baca juga: Roland Barthes. Graham Allen, Routledge, New York; 2003.
6)Dalam sejarah panjang Kolonialisme di Indonesia, Yudhi Soerjoatmodjo mengungkapkan bahwa fotografer-fotografer asing dari Woodbbury and Page yang bertugas di Hindia Belanda, selain memotret untuk keperluan bisnis, juga memotret untuk keperluan penaklukan negara jajahan. Foto-foto tersebut dipergunakan sebagai cara untuk mendefinisikan wilayah Nusantara dalam kepentingan Kerajaan Belanda. Di sini mungkin penafsiran fotografi secara non-fotografis melalui ilmu budaya, sosial, dan politik dilakukan untuk memetakan kondisi negara jajahan. Fotografi ini juga melahirkan fotografi salon yang kuat pengaruhnya di Indonesia hingga dewasa ini. Baca: http://www.angelfire.com/id/mosista/article1.html