http://6ix2o9ine.blogspot.com
Potrét manéhna. Nu katampi minggu kamari.
Dipiguraan.Disimpen dihadé-hadé.
Anteng diteuteup. Jadi batur dina simpé
Aduh éndahna
...
(Potret Si Dia. Diterima minggu lalu.
Diberi figura, disimpan dengan baik.
Terpaku menatapnya. Menjadi teman dalam sepi.
Oh indahnya...
Lagu Potret Manéhna , Ciptaan Adang Céngos & dipopulerkan Nining Méida.
---------------------------------
Teknologi fotografi dewasa ini mencapai puncak evolusinya dengan berkembangnya teknologi fotografi digital. Bila 10 tahun lalu foto tercepat adalah foto yang diproduksi dengan kamera Polaroid, sekarang ini ini foto tersaji cepat melalui ponsel berkamera (atau kamera berponsel). Tinggal klik dan langsung jadi, tidak harus dicuci cetak terlebih dulu. 10 tahun lalu fotografi analog adalah klangenan dan permainan orang dewasa, kini fotografi digital menjadi bagian dari permainan anak-anak, bahkan yang belum bisa membaca sekalipun. Teknologi fotografi dewasa ini memang sebuah pemberontakan yang mungkin tidak pernah terbayangkan oleh Joseph Niépce, Daguerre, atau bahkan Ibnu Al Haitam/Alhazen yang mewarisi dunia dasar-dasar ilmu optik 1).
Fotografi tadinya hanya milik orang dengan kasta dan penghasilan tertentu, kini menjadi sesuatu yang biasa, murah, dan mudah. Biasa, karena bahkan hanya dengan sebuah ponsel berkamera setiap orang bisa memotret apa saja yang ia inginkan. Murah, karena tidak ada lagi pengeluaran untuk membeli rol film serta biaya cuci cetak, selain membeli perangkat kamera. Mudah, karena tanpa harus belajar banyak teori teknis fotografi seseorang bisa memotret. Kapan saja, di mana saja, siapa saja. Sepertinya mengulang impian George Eastman saat melahirkan Kodak Brownie pada tahun 1900 karena menginginkan fotografi yang mudah dan murah 2).
Pada perkembangannya, fotografi sebagai alat, adalah gabungan ilmu tentang mekanika, elektronika, komputer dan informatika, piranti lunak, juga optik. Sebagai sebuah hasil atau konten, fotografi berada di banyak wilayah: dokumentasi, jurnalistik, seni, hingga ilmu kedokteran. Ilmu Fotografi kemudian menemukan jatidirinya bersamaan dengan ilmu-ilmu lain. Bahkan di dunia antropologi, fotografi menjadi salah satu hal yang harus dikuasai para antropolog sebagai metode penelitian 3). Dunia kedokteran pun sangat akrab dengan dunia fotografi, misalnya dengan penggunaan mesin rontgen untuk memotret bagian dalam tubuh manusia. Para peneliti ekologi pun menggunakan perangkat jebakan kamera (camera trap) untuk memastikan keberadaan satwa liar yang hampir punah. Ilmu sejarah yang tergantung pada ilmu-ilmu lain, menggunakan foto sebagai salahsatu cara untuk menafsirkan sejarah masa lalu. Baru-baru ini terbit sebuah buku biografi Sutan Sjahrir yang ditulis oleh wartawan senior Indonesia. Bersama Ignas Kleden, Rosihan Anwar mengurai biografi tokoh pergerakan Indonesia yang tercantum dalam 100 foto yang berhubungan secara kontekstual dengan tokoh dan ketokohan Sutan Sjahrir 4).
Para petinggi militer pun menggunakan fotografi untuk kegiatan intelejen dan mencitrakan wilayah-wilayah tertentu yang dicurigai berkaitan dengan aktivitas musuh. Saya teringat pada film The Great Raid yang diputar sebuah televisi swasta beberapa waktu lalu. Film ini berkisah bagaimana pihak Sekutu pada perang Dunia II mengirimkan satu pasukan penyelamat untuk menyelamatkan tentara Amerika yang menjadi tahanan perang (POW) di Filipina. Keberhasilan pasukan tersebut tidak lepas dari data intelijen yang menyertakan sebuah foto udara (aerial) yang menunjukan lokasi dan posisi penjara militer Jepang yang jadi target penyerbuan.
Seorang Roland Barthes menggunakan medium fotografi sebagai sarana untuk mengembangkan teorinya tentang strukturalisme. Perlu diketahui, sebelum menulis Camera Lucida: Refflection on Photography pada tahun 1980 dengan premis ‘studium’ dan ‘punctum’ untuk menjelaskan ‘the impossible text’ 5) dalam sebuah karya foto, Barthes adalah peneliti dan penulis di bidang Kesusastraan serta Cultural Studies yang sangat berminat dalam pengkajian sinema dan fotografi. Sebelum Camera Lucida, Barthes pernah menuliskan pandangannya mengenai dunia fotografi dan pencitraan dalam ‘Image-Music-Text yang terbit tahun 1977. Nama Barthes dapat disejajarkan sebagai salah satu punggawa Strukturalisme yang bersumber pada Strukturalisme yang dihujahkan oleh Ferdinand de Saussure juga C.S. Pierce dalam ilmu bahasa (linguistik).
***
Pada perkembangan fotografi di tanah air, perkembangan fotografi sebagai ilmu inter-disiplin sepertinya masih belum segempita dengan fotografi sebagai karya dokumentasi atau ekspresi estetika. Masih sangat jarang ditemukan literatur yang membahas fotografi sebagai ilmu inter-disiplin yang tidak hanya melulu berbicara tentang teknis fotografi. Sekolah-sekolah tinggi dan universitas yang mengajarkan fotografi sebagai ilmu pun masih berkutat pada fotografi praktis, yakni cara dan teori memotret yang baik dan benar.
Dengan kata lain, institusi pendidikan masih berorientasi untuk menghasilkan fotografer yang ‘juara’ dalam hal teknis dan teori tentang memotret. Tidak jauh berbeda dengan lembaga pendidikan luar sekolah atau tempat kursus fotografi yang secara praktis memang bertujuan mencetak seorang fotografer. Saya rasa ini sangat berkaitan dengan kenyataan bahwa fotografi Indonesia sangat berkaitan dengan industri pencitraan dan komodifikasi identitas yang secara ekonomi menguntungkan banyak pihak.
Bisa dilihat misalnya dunia internet adalah tempat bertukar foto paling mutakhir bagi para penggunanya. Dalam sebuah jejaring sosial yang memberikan kemudahan dalam berbagi foto, setiap saat menawarkan berbagai foto yang dibuat oleh para penggunanya. Para pengguna situs yang memang berprofesi sebagai fotografer, mengunggah karya foto-fotonya -- yang sebenarnya dapat dikatakan nyaris seragam-- mulai dari foto bergaya jurnalistik, fashion, glamour, landscape, bahkan sekedar foto dokumentasi kongkow dengan sesamanya. Para pengguna situs yang bukan fotografer pun tidak mau kalah dengan mengunggah foto-foto yang sifatnya tergolong foto dokumentasi, bahkan dokumentasi kegiatan yang sangat pribadi.
Kegiatan fotografi yang ditayangkan di televisi pun masih sekedar sebagai penarik rating belaka. Saya masih ingat beberapa waktu lalu ada sebuah stasiun televisi yang menayangkan acara behind the scene-nya pemotretan model untuk sebuah majalah hiburan pria. Acara tersebut sebetulnya sangat menarik dengan hadirnya model-model perempuan yang cantik, berpakaian minim, dan berpose sensual. Akan tetapi, diskursus yang berkembang dari acara itu hanya dua. Pertama adalah diskursus berbagi masalah proses kreatif yang umumnya membicarakan pengolahan ide dan teknis. Diskursus ke dua adalah hal yang tidak tayang yakni pembicaraan para laki-laki di luar konteks fotografi: seksualitas dada dan paha. Kedua diskursus itu menempatkan fotografi hanya sebagai media ‘penggugah’ seksualitas. Program itu juga berhasil menyudutkan fotografi hanya sebagi aktivitas motret model dan landscape saja. Persis seperti yang selalu dirisaukan seorang kolega saya dalam berbagai kesempatan diskusi.
Itulah seperti apa yang saya maksud sebagai fotografi Indonesia masih lekat dengan berkaitan dengan industri pencitraan dan komodifikasi identitas. Fotografi Indonesia memang masih sangat ganjen dengan aktivitas memotret model dan landscape, sementara persoalan-persoalan lain disisihkan karena dianggap tidak komersial. Foto-foto bertema kebudayaan Indonesia pun akhirnya terjebak pada foto yang menampilkan budaya-budaya yang dianggap an sich dan eksotis: memakai baju adat/tradisional, menari, menabuh gamelan, melakukan aktivitas ritual, dan selesai sampai situ. Dengan kata lain, fotografi Indonesia masih menyimpan jejak-jejak kolonialisme yang akut di dalam tubuhnya. Persis seperti yang dilakukan oleh Kolonialis Belanda yang memotret eksotisme Nusantara sebagai upaya menaklukan negara jajahan melalui gambar 6).
Dunia pengkajian fotografi ilmiah pun masih dimarjinalkan. Masih sangat sedikit literatur yang bisa kita temukan yang membahas fotografi dengan keterkaitannya dengan ilmu lain. Bahkan literatur sejarah fotografi di Indonesia pun masih sangat minim. Buku-buku yang sudah pernah terbit tidak pernah dicetak ulang karena nampaknya fotografer Indonesia tidak terlalu suka membaca. Ini bisa kita buktikan dengan gugurnya banyak majalah foto di Indonesia. Sepertinya tidak banyak fotografer atau akademisi di Indonesia yang mau menggali hal-hal lain di luar persoalan teknis dan teknologi fotografi. Majalah-majalah yang masih ada atau situs-situs di internet yang berbahasa Indonesia pun lebih sering mengulas produk peralatan fotografi seolah hendak menjadikan fotografer menjadi mahluk yang konsumeristis dengan jargon teknologi canggih menjanjikan gambar yang baik.
Bila dibandingkan dengan sastra Indonesia misalnya, fotografi Indonesia jauh tertinggal. Sastra dalam evolusinya, hingga dewasa ini berada di dua ranah yang berbeda yang saling berkaitan satu sama lain: sastra sebagai ilmu, dan sastra sebagai karya. Sebagai ilmu, sastra berada di wilayah penelitian dan pengkajian karya dari berbagi sudut pandang manusia. Mulai dari pembahasan bahasa, teknis penulisan, hingga penafsiran makna. Sebagai karya, sastra diproduksi dalam kemasan yang dikenal orang diantaranya sebagai puisi/sajak, cerita pendek, juga novel. Wilayah proses kreatif dalam berkarya yang berhubungan dengan sisi teknis, saya rasa berada di wilayah ini. Dari sisi komersial, sastra juga memiliki tempat tersendiri, walau untuk hal ini masih jarang dibahas. Pembahasan komodifikasi sastra umumnya dibahas sebagai bagian dari cultural studies atau post-modernism yang berada di wilayah sastra sebagai ilmu.
Contoh lain di wilayah seni rupa, seni rupa tidak melulu berkutat pada masalah cara melukis, cara membuat patung dan sebagainya. Tetapi juga menguraikan simbol-simbol dan makna yang terdapat di dalam sebuah karya. Tidak pernah rasanya saya membaca artikel tentang keberhasilan pelukis Basuki Abdullah adalah karena ia melukis menggunakan kuas, cat, dan kanvas merek tertentu. Atau tentang perupa Tisna Sanjaya yang gemilang menciptakan instalasi bambu dengan memakai bambu merek tertentu yang dipotong dengan golok dan gergaji merk tertentu, misalnya.
Sebaliknya dengan dunia fotografi Indonesia. Di dunia fotografi Indonesia merk kamera tertentu dengan jenis lensa tertentu seolah menjadi jaminan kualitas karya foto seseorang. Kualitas fotografer seolah ditentukan dengan alat dan teknis yang digunakan, bukan pada bagaimana karyanya menjadi simbol keberhasilan pengolahan gagasan kreatif. Mengenai hal ini, seorang senior dengan sebal pernah mengatakan bahwa dengan membeli xxxxx (xxxxx: merk kamera sejuta umat di Indonesia) tidak membuat seseorang menjadi fotografer.
Berbeda dengan fotografi Barat sana (baca: Amerika Serikat dan Eropa). Dengan sedikit usaha melalui Google, saya menemukan banyak sekali situs yang membicarakan fotografi sebagai diskursus non-teknikal. Dengan beberapa kali klik di sebuah situs, dalam satu malam saja saya bisa mengunduh ratusan e-book tentang fotografi dan keterkaitannya dengan banyak hal. Mulai buku panduan memotret model bugil hingga memotret bebatuan dan kekayaan mineral. Mulai dari membahas fotografi sebagai media dokumentasi, fotografi dan ideologi, hingga fotografi sebagai piranti komodifikasi dan kapitalisasi. Di dalamnya terselip juga buku-buku yang menjadikan fotografi sebagai cara untuk mengembangkan pemikiran mengenai perkembangan budaya populer dan sistem pertandaan.
***
Masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dalam upaya mengembangkan fotografi sebagai ilmu dan sebagai karya. Dari segi ilmu, dibutuhkan banyak akademisi, penulis, dan pemikir yang mau meluangkan waktunya untuk turut serta mengembangkan fotografi agar bisa berkembang menjadi ilmu dan diskursus seperti yang terjadi di dunia seni lainnya. Dari segi karya, masih sangat terbuka peluang bagi para fotografer untuk melampiaskan kegelisahan estetika dan ideologisnya menjadi karya yang bisa disejajarkan dengan fotografer luar. Tidak sekedar mengekor Ansel Adams, Henri Cartier Bresson, atau Andy Warhol misalnya, tetapi bisa memiliki ciri khas pribadi yang bisa dikenang sepanjang masa. Bagi para fotografer komersial, teknologi fotografi digital telah membuka lapangan kerja yang luas dengan berbagai kemudahan yang memanjakan.
Dari sisi lain, memang diperlukan pula komunitas fotografi yang mendukung terciptanya alam dan atmosfir yang akan menghasilkan semua itu. Komunitas tersebut bisa berupa kelompok hobi, kelompok diskusi fotografi, atau institusi pendidikan fotografi dan seni. Tanpa habitat dan ekosistem yang sesuai, keinginan itu tidak akan pernah terealisasi. Karena bagaimanapun juga, menyitir Ibnu Khaldun, manusia adalah produk yang dikonstruksi oleh pemikiran dan kebiasaan sosial lingkungan tertentu. Harapan terbesar tentu ditujukan untuk lingkungan akademis di perguruan tinggi. Karena institusi pendidikanlah yang bisa melakukan penggodogan terhadap berbagai diskursus fotografi sebagai ilmu inter-disiplin yang bisa memanusiakan manusia, mengembalikan manusia pada khittah kemanusiaanya yang beradab. Para akademisi biasanya memiliki metode yang bisa dikembangkan untuk mendidik fotografer yang mumpuni secara praktis maupun secara akademik. Hal ini perlu dilakukan agar bisa meng-counter tekanan industri dan kapitalisasi yang hanya menempatkan manusia sebagai komoditas ekonomi belaka yang divisualkan dalam foto-foto, yang sebetulnya tidak bermakna apa-apa selain estetika yang semu dan palsu.
21 Februari 2010
Ricky N. Sastramihardja
Pecinta Kopi dan Fotografi
--------------------------
1)Ibnu Al Haitham atau Alhazen (965-1039 M), adalah ilmuwan Mesir yang menemukan dasar-dasar ilmu optik. Eric Renner dalam Pinhole Photography, From Historic Technique to Digital Application (Elsevier inc, London; 2010) menjelaskan bahwa Ibnu Al Haitam ini menulis dasar teori yang kemudian dikembangkan menjadi perangkat fotografi generasi awal, kamera obskura. Teori dasar Ibnu Al Haitam ini juga kemudian dikembangkan oleh Rene Descartes dan Johannes Kepler.
2)George Eastman adalah pendiri perusahaan fotografi KODAK yang sangat berambisi untuk menjadikan fotografi sebagai kegiatan yang mudah dilakukan. Tidak hanya untuk profesional tetapi juga untuk amatir, bahkan kanak-kanak. Kecerdasannya antara lain dengan menciptakan slogan Kodak yang terkenal, “You press the button, we do the rest”, yang kemudian diwujudkannya dalam kamera Kodak Brownie di awal tahun 1900. Baca: Encylopedia of Nineteenth Century Photographs Volume I, A-I. John Hannavy (ed.); Routledge New York; 2008.
3)Baca: Visual Anthropology: Photography As a Research Method. John Collier, Malcom Collier; University of New Mexico; 1986).
4)Sutan Sjahrir: Demokrat sejati, Pejuang Kemanusiaan. H. Rosihan Anwar, Penerbit Buku Kompas, Jakarta; 2010.
5)Dalam sebuah pengkajian mengenai semiotika, ST. Soenardi dalam Semiotika Negativa (Kanal, Yogyakarta; 2002) menyebutkan bahwa Studium adalah kebutuhan kultural akan fantasi, sedangkan punctum atau punctuation adalah identitas imajiner. Perlu diketahui juga, Barthes bukanlah fotografer walau ia memiliki minat khusus terhadap itu. Tidak pernah diketahui apakah ia memiliki karya foto atau tidak. Baca juga: Roland Barthes. Graham Allen, Routledge, New York; 2003.
6)Dalam sejarah panjang Kolonialisme di Indonesia, Yudhi Soerjoatmodjo mengungkapkan bahwa fotografer-fotografer asing dari Woodbbury and Page yang bertugas di Hindia Belanda, selain memotret untuk keperluan bisnis, juga memotret untuk keperluan penaklukan negara jajahan. Foto-foto tersebut dipergunakan sebagai cara untuk mendefinisikan wilayah Nusantara dalam kepentingan Kerajaan Belanda. Di sini mungkin penafsiran fotografi secara non-fotografis melalui ilmu budaya, sosial, dan politik dilakukan untuk memetakan kondisi negara jajahan. Fotografi ini juga melahirkan fotografi salon yang kuat pengaruhnya di Indonesia hingga dewasa ini. Baca: http://www.angelfire.com/id/mosista/article1.html
2.21.2010
2.05.2010
Menggapai Aqidah di Mentawai
also available on http://rickynsas.blogspot.com
Director's Cut. PSA untuk Badan Wakaf Alquran (BWA) Jakarta (www. wakafquran.org),
mengenai masalah transportasi ke pedalaman Pulau Siberut, Mentawai
korelasinya dengan pengembangan dakwah Islam.
Naskah-Videografi: Ricky N. Sastramihardja.
Narator: Novian Kusmana.
Peluang Dakwah di Kepulauan Seribu
Peluang Dakwah Di Kepulauan Seribu - For more funny videos, click here
Director's Cut. PSA untuk Badan Wakaf Alquran (BWA) Jakarta (www. wakafquran.org), mengenai masalah transportasi di Kabupaten Kepulauan Seribu, Jakarta korelasinya dengan pengembangan dakwah Islam. Videografi: Ricky N. Sastramihardja. Naskah-Narator: Novian Kusmana.
BH ETA X - 2003
Are You Gonna Go My Way? - For more amazing video clips, click here
My early videography project... Long time before I knew and sure that videography certainly will become one of my assignment.
MX Bloopers
MX Bloopers - For more of the funniest videos, click here
MX Blooper at local champhionship held in Bandung Indonesia on 2007. Special thx for Mr. Deni Ceuyah Kadallica. Cameraman: Agung Gumelar, Ricky N. Sastramihardja. Editor: Ricky N. Sastramihardja.
2.04.2010
Menatap Masa Depan - Serial Foto 1
12.07.2009
Saat Kematian Menjadi Pilihan
Catatan Pribadi dari Pementasan “Umang-Umang atawa Orkes Madun 2” Oleh Teater Lakon UPI
Dari pementasan naskah “Umang-umang atawa Orkes Madun 2” (selanjutnya: UUM) yang dipentaskan oleh Teater Lakon UPI pada Sabtu 5 Desember 2009 kemarin, saya akan mengawali catatan ini dengan kritis: Music score-nya OK, tetapi theme song-nya tidak begitu suka. Bukan karena jelek, tetapi karena masih kurang madun, kurang greget. Saya pikir memang harus lebih banyak mengekplorasi musik melayu, bukan dangdut. Mungkin karena kata ‘madun’ yang artinya joget, mengingatkan saya akan meriahnya musik Melayu seperti yang diceritakan seorang kawan yang lahir dan besar dalam kebudayaan Melayu di Sumatera.
Itu memang penilaian subjektif. Tetapi dari keseluruhan saya pikir Dedi Warsana cukup berhasil membawa Teater Lakon UPI ke tataran kelompok teater mahasiswa yang lebih jauh. Saya tahu persis bagaimana sulitnya membangun teater yang penuh gairah di tengah gencarnya godaan menjadi artis sinetron yang bening atau aktor film yang kinclong dengan ribuan fans yang rela melakukan apa saja untuk dekat dengan sang idola. Bahkan dewasa ini, rasanya bukan teater mahasiswa saja yang kepayahan. Kelompok-kelompok teater besar pun sepertinya mengalami fenomena yang sama. Mungkin, Facebook dan sinetron lebih menarik daripada mengeksplorasi seni peran dan berakting di atas pentas. Karena hidup bersama dan di dalam kelompok teater memerlukan aktivitas fisik, jiwa, juga militansi ekstra. Tidak sekedar sebagai penyalur ekspresi dan ideologi berkesenian.
Cukup berhasil karena UUM ini adalah adalah naskah teater yang bisa dibilang klasik dan fenomenal. Ditulis oleh alm. Arifin C. Noer, UUM merupakan sebuah naskah yang memerlukan banyak pemeran. Dari segi jumlah pemeran, UUM adalah naskah kolosal. Tentu saja bukan hal yang mudah menyatukan banyak pemain dalam teater, apalagi teater mahasiswa non-seni seperti halnya UPI. Hal ini juga dirasakan oleh Teater Tetas dalam pementasan naskah yang sama di Jakarta beberapa waktu lalu. Karena seperti saya bilang, teater bukanlah tempat yang gemerlap dan berbintang-bintang seperti sinetron. Tidak ada kelimpahan materi atau sanjungan di dunia ini, bahkan sebaliknya. Sehabis bermain para akor dan aktris teater harus pula membereskan panggung dan set-nya. Membongkar panggung, membongkar dan merapikan instalasi lampu, sampai menerima semprotan dari orangtua para aktris karena anak gadisnya bari tiba di rumah menjelang subuh dalam kedaan lusuh. Itulah mengapa saya katakan juga teater memerlukan aktivitas jiwa, fisik, dan militansi ekstra.
Saya sangat suka berbagai aspek dalam pentas ini. Sungguh. Make-up karakter yang rapi dan sangat membangun karakteristik, tata lampu yang apik, artistik panggung yang imajinatif, koreografi dan bloking yang asyik, serta kualitas akting para aktor dan aktris yang terlibat. Kotak-kotak kayu diubah dan dimanipulasi sedemikian rupa sehingga penonton percaya bahwa kotak-kotak kayu itu bisa menjelma menjadi pulau, gedung, tempat tidur, bahkan bukit yang tinggi. Kostumnya pun menarik. Terlebih kostum Waska yang menurut saya futuristik, kostum Ranggong yang bergaya rocker, atau kostum Bigayah yang sangat lonte.
Padahal, menurut sang Sutradara dalam perbincangan usai pementasan, hampir setengahnya adalah pemain baru. Selain itu seorang pemain kunci tiba-tiba menghilang sebelum gladiresik berlangsung. Walhasil Dedi Warsana terpaksa bekerja keras meringkas beberapa bagian naskah dan terpaksa turut bermain menjadi tokoh Jonathan sang Seniman, menggantikan pemainnya yang menghilang hingga pertunjukan berakhir. Saya bisa membayangkan bagaimana seorang Dedi Warsana, yang selain harus menjadi sutradara juga harus bertindak sebagai pelatih moral dan disiplin yang ketat. Pengalamannya sebagai aktor teater kawakan mampu membuat para aktor dan aktris pemula dalam UUM ini tetap militan hingga saat terakhir. Tentu saja terkecuali aktor yang menghilang itu, yang tidak kuat menahan tekanan mental bahkan jauh sebelum pertunjukan mulai.
Walau demikian, masih ada pertanyaan lain, terutama dari segi make up karakter yang menurut saya masih ‘begitu-begitu juga’. Seolah menjadi suatu stereotip bahwa make-up karakter haruslah selalu seperti itu. Harus coreng-moreng di sana-ini sehingga membuat penampilan para pemeran sangat jauh dengan para aktor-aktris di sinetron atau reality show, yang walaupun jahat, miskin dan marjinal tetapi tetap terlihat ganteng dan cantik. Pada tokoh-tokoh kunci, make up tersebut memang berhasil membangun karakter, tapi pada beberapa peran kecil yang terjadi justru sebaliknya.
Dari segi cerita, UUM adalah naskah yang sangat kontekstual dengan perkembangan dunia nyata dewasa ini. UUM menceritakan fanatisme sekelompok kaum marjinal yang berprofesi sebagi perampok, copet, pelacur, serta sekumpulan masyarakat yang tidak akan pernah masuk dalam sensus negara baik-baik ini; seolah-olah berhadapan dengan kondisi di dunia nyata. Kondisi di mana sistem kleptokrasi (maling menjadi penguasa dan penguasa menjadi maling) menjadi panglima, di mana pencurian dan korupsi adalah sabda yang tak terbantahkan dan diamini banyak orang. Bagaimana sang Pemimpin kelompok marjinal-proletar itu, Waska, begitu berambisi untuk merampok dan merampas semua harta benda orang-orang kaya. Waska menekankan merampok bukan sebagai aktivitas kejahatan demi perut, tetapi sebuah perjuangan ideologis. Waska, sembuh dari sakit kerasnya setelah mengkonsumsi jamu dadar bayi yang disediakan abdinya yang setia, Ranggong dan Borok, kemudian hidup beratus tahun lamanya. Waska pun hidup dalam gelombang demi gelombang kejahatan yang ia ciptakan sendiri.
Namun bukanlah manusia bila tidak merasa bosan. Waska, Ranggong, dan Borok, merasa rindu akan masa lalu. Karena setelah semua teman-teman dan anggota kelompoknya mati, Waska yang hidup abadi setelah mengkonsumsi jamu dadar bayi, merasa sunyi. Waska merasakan bahwa kematian adalah pilihan, bukan takdir maka kemudian ia memilih dan meminta untuk mati. Waska, Ranggong, dan Borok pun akhirnya mati setelah mereka merasa lelah dan putus asa karena tak mati-mati.
Pemeran Waska pun saya pikir cukup baik untuk aktor seusianya. Sebagai karakter sentral, tokoh Waska ini sebetulnya diperankan bersamaan dengan tokoh Semar. Dengan kata lain, sang aktor harus memerankan dua karakter , Waska dan Semar, secara bergantian (double casting). Pemeranan yang berhasil lainnya saya pikir adalah pemeranan tokoh Borok. Borok adalah satir yang secara visual sangat mendukung. Tampang sangar dengan kumis baplang stereotip ala centeng tetapi dialognya cenderung kocak dan ‘nonjok’. Kerapkali tokoh ini mengucapkan kata “modar” di saat yang tepat. Atau aksen Sunda yang tiba-tiba lolos dalam beberapa dialog membuat pentas menjadi lebih hidup dan segar.
Pemeranan tokoh Borok ini juga mampu menutup kelemahan tokoh waska dan Ranggong yang dalam beberapa adegan awal tampak kedodoran karena tempo pementasan yang relatif cepat. Bahkan bisa dibilang sebetulnya tokoh Borok ini adalah tokoh penentu keberhasilan pementasan keseluruhan.
Dedi Warsana, sutradara bermain pun, bisa membuat pertunjukan ini tetap berada di relnya. Tidak lantas terjebak pada gaya pementasan longser atau lenong, walau para pemain kerapkali mengajak interaksi dengan penonton dalam monolognya. Para musisi pun saya dengar merespon para aktor-aktris di panggung dengan celetukan-celetukan yang membuat pertunjukan menjadi meriah. Satu hal yang mungkin cukup menarik adalah Dedi Warsana bisa membuat UUM ini seolah-olah menjadi sangat Sunda. Para aktor dan aktrisnya tampaknya diberi kebebasan untuk melontarkan beberapa joke atau banyolan dan dialog yang khas, yang nyunda banget.
Agak sulit memang untuk menulis opini ini secara objektif karena saya belum pernah membaca naskah atau sinopsis UUM sebelumnya. Pun saat pementasan, saya luput tidak mendapatkan brosur atau apapun itu, yang di dalamnya berisi sinopsis , nama-nama aktor dan aktris, pengantar, atau catatan lain mengenai pementasan ini. Selain itu, secara pribadi sudah lama sekali tidak berkecimpung di kelompok teater. Baik sebagai pemain, penata lampu, atau sekedar menonton. Sepanjang pementasan UUM saya harus membagi fokus antara memotret, mencerna pementasan, juga melamunkan masa lalu. Di sela-sela pementasan tiba-tiba saja merasa rindu pada Teater Bedeng Hunian BH, Tepass Pamass, Lises, juga GSSTF dengan Parade Mei-nya. Di mana hampir 3/4 masa studi di Sastra Unpad saya habiskan untuk hidup dan membina diri di dalam kegiatan kesenian yang diadakan kelompok-kelompok itu.
Kekurangan lain dari pementasan ini adalah saat saya menyadari bahwa kamera saya tak cukup gegas untuk mengambil gambar-gambar cepat di atas panggung yang kerap kurang cahaya. Menaikkan ISO ke 1600 hanya membuat gambar yang dihasilkan tidak memuaskan karena noisenya sangat mengganggu. Memikirkan kamera baru membuat saya tiba-tiba berada di dalam pusaran kelompok rampok yang dipimpin Waska. Saya tiba-tiba merindukan kehadiran tokoh Waska untuk bisa memimpin sebuah gerakan anti moralitas yang jujur. Ingin rasanya menggedor toko untuk mendapatkan kamera yang lebih canggih dan lebih baik, serta lebih mahal. Mungkin saya harus memakan jamu dadar bayi seperti Waska agar bisa bersabar menunggu saat itu tiba. Mungkin...
also available on: http://www.facebook.com/note.php?created&&suggest¬e_id=196920617756#/notes/ricky-n-sastramihardja/saat-kematian-menjadi-pilihan/196920617756
foto: http://www.facebook.com/album.php?aid=127946&id=715618858&saved#/album.php?aid=127946&id=715618858&ref=nf
Dari pementasan naskah “Umang-umang atawa Orkes Madun 2” (selanjutnya: UUM) yang dipentaskan oleh Teater Lakon UPI pada Sabtu 5 Desember 2009 kemarin, saya akan mengawali catatan ini dengan kritis: Music score-nya OK, tetapi theme song-nya tidak begitu suka. Bukan karena jelek, tetapi karena masih kurang madun, kurang greget. Saya pikir memang harus lebih banyak mengekplorasi musik melayu, bukan dangdut. Mungkin karena kata ‘madun’ yang artinya joget, mengingatkan saya akan meriahnya musik Melayu seperti yang diceritakan seorang kawan yang lahir dan besar dalam kebudayaan Melayu di Sumatera.
Itu memang penilaian subjektif. Tetapi dari keseluruhan saya pikir Dedi Warsana cukup berhasil membawa Teater Lakon UPI ke tataran kelompok teater mahasiswa yang lebih jauh. Saya tahu persis bagaimana sulitnya membangun teater yang penuh gairah di tengah gencarnya godaan menjadi artis sinetron yang bening atau aktor film yang kinclong dengan ribuan fans yang rela melakukan apa saja untuk dekat dengan sang idola. Bahkan dewasa ini, rasanya bukan teater mahasiswa saja yang kepayahan. Kelompok-kelompok teater besar pun sepertinya mengalami fenomena yang sama. Mungkin, Facebook dan sinetron lebih menarik daripada mengeksplorasi seni peran dan berakting di atas pentas. Karena hidup bersama dan di dalam kelompok teater memerlukan aktivitas fisik, jiwa, juga militansi ekstra. Tidak sekedar sebagai penyalur ekspresi dan ideologi berkesenian.
Cukup berhasil karena UUM ini adalah adalah naskah teater yang bisa dibilang klasik dan fenomenal. Ditulis oleh alm. Arifin C. Noer, UUM merupakan sebuah naskah yang memerlukan banyak pemeran. Dari segi jumlah pemeran, UUM adalah naskah kolosal. Tentu saja bukan hal yang mudah menyatukan banyak pemain dalam teater, apalagi teater mahasiswa non-seni seperti halnya UPI. Hal ini juga dirasakan oleh Teater Tetas dalam pementasan naskah yang sama di Jakarta beberapa waktu lalu. Karena seperti saya bilang, teater bukanlah tempat yang gemerlap dan berbintang-bintang seperti sinetron. Tidak ada kelimpahan materi atau sanjungan di dunia ini, bahkan sebaliknya. Sehabis bermain para akor dan aktris teater harus pula membereskan panggung dan set-nya. Membongkar panggung, membongkar dan merapikan instalasi lampu, sampai menerima semprotan dari orangtua para aktris karena anak gadisnya bari tiba di rumah menjelang subuh dalam kedaan lusuh. Itulah mengapa saya katakan juga teater memerlukan aktivitas jiwa, fisik, dan militansi ekstra.
Saya sangat suka berbagai aspek dalam pentas ini. Sungguh. Make-up karakter yang rapi dan sangat membangun karakteristik, tata lampu yang apik, artistik panggung yang imajinatif, koreografi dan bloking yang asyik, serta kualitas akting para aktor dan aktris yang terlibat. Kotak-kotak kayu diubah dan dimanipulasi sedemikian rupa sehingga penonton percaya bahwa kotak-kotak kayu itu bisa menjelma menjadi pulau, gedung, tempat tidur, bahkan bukit yang tinggi. Kostumnya pun menarik. Terlebih kostum Waska yang menurut saya futuristik, kostum Ranggong yang bergaya rocker, atau kostum Bigayah yang sangat lonte.
Padahal, menurut sang Sutradara dalam perbincangan usai pementasan, hampir setengahnya adalah pemain baru. Selain itu seorang pemain kunci tiba-tiba menghilang sebelum gladiresik berlangsung. Walhasil Dedi Warsana terpaksa bekerja keras meringkas beberapa bagian naskah dan terpaksa turut bermain menjadi tokoh Jonathan sang Seniman, menggantikan pemainnya yang menghilang hingga pertunjukan berakhir. Saya bisa membayangkan bagaimana seorang Dedi Warsana, yang selain harus menjadi sutradara juga harus bertindak sebagai pelatih moral dan disiplin yang ketat. Pengalamannya sebagai aktor teater kawakan mampu membuat para aktor dan aktris pemula dalam UUM ini tetap militan hingga saat terakhir. Tentu saja terkecuali aktor yang menghilang itu, yang tidak kuat menahan tekanan mental bahkan jauh sebelum pertunjukan mulai.
Walau demikian, masih ada pertanyaan lain, terutama dari segi make up karakter yang menurut saya masih ‘begitu-begitu juga’. Seolah menjadi suatu stereotip bahwa make-up karakter haruslah selalu seperti itu. Harus coreng-moreng di sana-ini sehingga membuat penampilan para pemeran sangat jauh dengan para aktor-aktris di sinetron atau reality show, yang walaupun jahat, miskin dan marjinal tetapi tetap terlihat ganteng dan cantik. Pada tokoh-tokoh kunci, make up tersebut memang berhasil membangun karakter, tapi pada beberapa peran kecil yang terjadi justru sebaliknya.
Dari segi cerita, UUM adalah naskah yang sangat kontekstual dengan perkembangan dunia nyata dewasa ini. UUM menceritakan fanatisme sekelompok kaum marjinal yang berprofesi sebagi perampok, copet, pelacur, serta sekumpulan masyarakat yang tidak akan pernah masuk dalam sensus negara baik-baik ini; seolah-olah berhadapan dengan kondisi di dunia nyata. Kondisi di mana sistem kleptokrasi (maling menjadi penguasa dan penguasa menjadi maling) menjadi panglima, di mana pencurian dan korupsi adalah sabda yang tak terbantahkan dan diamini banyak orang. Bagaimana sang Pemimpin kelompok marjinal-proletar itu, Waska, begitu berambisi untuk merampok dan merampas semua harta benda orang-orang kaya. Waska menekankan merampok bukan sebagai aktivitas kejahatan demi perut, tetapi sebuah perjuangan ideologis. Waska, sembuh dari sakit kerasnya setelah mengkonsumsi jamu dadar bayi yang disediakan abdinya yang setia, Ranggong dan Borok, kemudian hidup beratus tahun lamanya. Waska pun hidup dalam gelombang demi gelombang kejahatan yang ia ciptakan sendiri.
Namun bukanlah manusia bila tidak merasa bosan. Waska, Ranggong, dan Borok, merasa rindu akan masa lalu. Karena setelah semua teman-teman dan anggota kelompoknya mati, Waska yang hidup abadi setelah mengkonsumsi jamu dadar bayi, merasa sunyi. Waska merasakan bahwa kematian adalah pilihan, bukan takdir maka kemudian ia memilih dan meminta untuk mati. Waska, Ranggong, dan Borok pun akhirnya mati setelah mereka merasa lelah dan putus asa karena tak mati-mati.
Pemeran Waska pun saya pikir cukup baik untuk aktor seusianya. Sebagai karakter sentral, tokoh Waska ini sebetulnya diperankan bersamaan dengan tokoh Semar. Dengan kata lain, sang aktor harus memerankan dua karakter , Waska dan Semar, secara bergantian (double casting). Pemeranan yang berhasil lainnya saya pikir adalah pemeranan tokoh Borok. Borok adalah satir yang secara visual sangat mendukung. Tampang sangar dengan kumis baplang stereotip ala centeng tetapi dialognya cenderung kocak dan ‘nonjok’. Kerapkali tokoh ini mengucapkan kata “modar” di saat yang tepat. Atau aksen Sunda yang tiba-tiba lolos dalam beberapa dialog membuat pentas menjadi lebih hidup dan segar.
Pemeranan tokoh Borok ini juga mampu menutup kelemahan tokoh waska dan Ranggong yang dalam beberapa adegan awal tampak kedodoran karena tempo pementasan yang relatif cepat. Bahkan bisa dibilang sebetulnya tokoh Borok ini adalah tokoh penentu keberhasilan pementasan keseluruhan.
Dedi Warsana, sutradara bermain pun, bisa membuat pertunjukan ini tetap berada di relnya. Tidak lantas terjebak pada gaya pementasan longser atau lenong, walau para pemain kerapkali mengajak interaksi dengan penonton dalam monolognya. Para musisi pun saya dengar merespon para aktor-aktris di panggung dengan celetukan-celetukan yang membuat pertunjukan menjadi meriah. Satu hal yang mungkin cukup menarik adalah Dedi Warsana bisa membuat UUM ini seolah-olah menjadi sangat Sunda. Para aktor dan aktrisnya tampaknya diberi kebebasan untuk melontarkan beberapa joke atau banyolan dan dialog yang khas, yang nyunda banget.
Agak sulit memang untuk menulis opini ini secara objektif karena saya belum pernah membaca naskah atau sinopsis UUM sebelumnya. Pun saat pementasan, saya luput tidak mendapatkan brosur atau apapun itu, yang di dalamnya berisi sinopsis , nama-nama aktor dan aktris, pengantar, atau catatan lain mengenai pementasan ini. Selain itu, secara pribadi sudah lama sekali tidak berkecimpung di kelompok teater. Baik sebagai pemain, penata lampu, atau sekedar menonton. Sepanjang pementasan UUM saya harus membagi fokus antara memotret, mencerna pementasan, juga melamunkan masa lalu. Di sela-sela pementasan tiba-tiba saja merasa rindu pada Teater Bedeng Hunian BH, Tepass Pamass, Lises, juga GSSTF dengan Parade Mei-nya. Di mana hampir 3/4 masa studi di Sastra Unpad saya habiskan untuk hidup dan membina diri di dalam kegiatan kesenian yang diadakan kelompok-kelompok itu.
Kekurangan lain dari pementasan ini adalah saat saya menyadari bahwa kamera saya tak cukup gegas untuk mengambil gambar-gambar cepat di atas panggung yang kerap kurang cahaya. Menaikkan ISO ke 1600 hanya membuat gambar yang dihasilkan tidak memuaskan karena noisenya sangat mengganggu. Memikirkan kamera baru membuat saya tiba-tiba berada di dalam pusaran kelompok rampok yang dipimpin Waska. Saya tiba-tiba merindukan kehadiran tokoh Waska untuk bisa memimpin sebuah gerakan anti moralitas yang jujur. Ingin rasanya menggedor toko untuk mendapatkan kamera yang lebih canggih dan lebih baik, serta lebih mahal. Mungkin saya harus memakan jamu dadar bayi seperti Waska agar bisa bersabar menunggu saat itu tiba. Mungkin...
also available on: http://www.facebook.com/note.php?created&&suggest¬e_id=196920617756#/notes/ricky-n-sastramihardja/saat-kematian-menjadi-pilihan/196920617756
foto: http://www.facebook.com/album.php?aid=127946&id=715618858&saved#/album.php?aid=127946&id=715618858&ref=nf
11.27.2009
Catatan dari Pedalaman Siberut
Alhamdulillah, setelah lama mengidamkan sebuah perjalanan ke Kep. Mentawai di Sumatra Barat sana, akhirnya keinginan itu terkabul juga. Memang bukan perjalanan pelesir, tetapi lebih sebagai sebuah pekerjaan, assignment. Perjalanan ini merupakan suatu rangkaian perjalanan setelah sebelumnya melakukan observasi dan dokumentasi permasalah-permasalahan yang terdapat di Kepulauan Seribu (Jakarta), TPA Bantar Gebang (Bekasi), Kabupaten Padang Pariaman (Sumatra Barat) dan berakhir di Kepulauan Mentawai (Sumatera Barat).
Observasi dan dokumentasi khususnya yang dilakukan di Kep. Mentawai difokuskan pada masalah sarana dan prasarana transportasi, pembinaan dan dakwah Islam, serta permasalahan lainnya yang mungkin berkaitan dengan kedua permasalahan utama tersebut. Assignment ini mengharuskan saya merekam berbagai aspek permasalahan tersebut ke dalam format video semi dokumenter untuk kepentingan lembaga yang menugaskan saya, Badan Wakaf Al Qur'an Jakarta (BWA). Observasi ini difokuskan di Kecamatan Siberut Selatan, Pulau Siberut Kep. Mentawai. Pembatasan wilayah ini dilakukan mengingat luasnya wilayah observasi yang tidak bisa dijangkau dengan mudah mengingat keterbatasan sarana transportasi, faktor cuaca, waktu dan biaya yang tersedia.
Dari hasil observasi, ada beberapa catatan mengenai masalah dalam upaya pengembangan dakwah dan pembinaan umat Islam di Mentawai. Pada observasi ini juga dilakukan beberapa interview dengan tokoh masyarakat, tokoh agama, serta warga masyarakat lainnya, yang direkam ke dalam videotape. Sebagai resume awal, masalah dalam pengembangan dan pembinaan umat Islam di Kep. Mentawai umumnya meliputi minimnya dan mahalnya biaya transportasi, rendahnya kesejahteraan para da'i di pedalaman, serta tidak optimalnya pembinaan umat Islam di pedalaman.
Secara umum, di Pulau Siberut terdapat dua kelompok masyarakat, yakni masyarakat asli Suku Mentawai dan masyarakat pendatang. Masyarakat suku Mentawai ini umumnya berdiam di desa-desa di pedalaman. Masyarakat pendatang umumnya berasal dari suku Minang, Jawa, Nias, Batak atau suku lainnya. Dari segi keagamaan,mereka menganut agama Islam, Protestan, Katolik, serta kelompok kecil penganut agama Baha'i. Agama asli Mentawai,Sabulungan, pun masih banyak penganutnya. Sabulungan lebih merupakan animisme-dinamisme yang diwariskan dari nenek-moyang suku Mentawai.
Mahalnya biaya transportasi disebabkan oleh belum adanya jalan darat yang menuju ke pedalaman. Untuk menuju pedalaman dipergunakan sarana transportasi air berupa sampan dan perahu dengan mengikuti aliran sungai yang berasal dari hulu atau menyusuri garis pantai. Dengan demikian biaya bahan bakar yang dipergunakan juga menjadi sangat mahal. Sebagai misal, untuk menempuh perjalanan pergi pulang ke sebuah desa yang berada di pedalaman dengan waktu tempuh l.k. 2 jam, diperlukan BBM sebanyak 40 liter senilai Rp. 280.000. Biaya tersebut tidak termasuk sewa perahu dan upah dua orang kru (pengemudi dan navigator). Dapat terhitung berapa banyak biaya bila dalam dua kali sebulan misalnya, para da'i di pedalaman ini harus turun ke Muara Siberut yang berada di pantai Timur untuk mengakses informasi, berbelanja kebutuhan hidup seperti sembako, atau keperluan dakwah lainnya. Itu baru desa yang dekat. Belum lagi bila desa yang berada di pantai barat Pulau Siberut, yang berada di balik hutan dan perbukitan yang jarang tersentuh manusia.
Selain faktor biaya, transportasi juga sangat dipengaruhi cuaca dan pasang-surut air laut serta sungai. Dengan kata lain, tersedianya alat dan biaya transporasi juga tidak menjamin dapat terlaksananya perjalanan ke pedalaman. Sebab di saat air surut, perahu tidak dapat melewati terusan (sodetan) sungai yang menjadi jalan pintas transportasi dari dan ke pedalaman. Kalaupun harus mengikuti jalur utama sungai, maka waktu tempuh akan semakin lama dan jarak tempuh akan semakin panjang. Biaya transportasi pun akan meningkat drastis. Belum lagi tak jarang mereka harus kembali lagi ke titik awal perjalanan karena perahu mereka tidak dapat menembus cuaca yang buruk serta ombak yang besar.
Begitu pula dengan komunikasi. Sampai saat tulisan ini dibuat, baru ada satu BTS milik satu operator telekomunikasi di desa Muara Siberut. Itupun kadang-kadang mengalami gangguan sehingga tidak dapat dilakukan komunikasi. Pancaran sinyal pun terbatas, tidak menjangkau ke pedalaman yang rata-rata berada di balik perbukitan. Sehingga komunikasi hanya dapat dilakukan dalam wilayah yang sangat terbatas. Saluran telepon Telkom pun hanya menjangkau desa Mailepet dan Muara Siberut saja.
Kondisi keuangan dan kesejahteraan para da'i di pedalaman juga tidak kalah menyedihkannya. Para da'i di pedalaman rata-rata hanya mendapat honor Rp. 700.000 rupiah per bulan, yang tentu sangat jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka. Bisa saja para da'i tersebut harus bekerja atau berdagang untuk mendapat tambahan dana untuk kelangsungan hidupnya. Tetapi akibatnya pembinaan umat menjadi terbengkalai dan umat Islam di pedalaman yang rata-rata mualaf itu menjadi kehilangan pegangan.
Dengan sistem dan sarana transportasi yang ada, sulitnya komunikasi, serta rendahnya kesejahteraan da'i, maka dampak yang paling terasa adalah pada pembinaan umat. Umat yang dimaksud di sini adalah umat Islam yang berada di pedalaman yang rata-rata merupakan penduduk asli suku Mentawai dan tergolong mualaf. Indikatornya sulitnya pembinaan ini antara lain adalah masih banyaknya umat Islam di pedalaman yang memelihara dan mengkonsumsi daging babi. Hal ini disebabkan karena adat-istiadat yang diwariskan nenek-moyang mereka memang seperti itu. Selain itu, masih bercampur-baurnya ajaran agama Islam dengan pemahaman agama leluhur mereka, Sabulungan. Umat Islam di pedalaman masih mempercayai Sikerei sebagai orang yang dapat berhubungan dengan roh-roh nenek moyang, berkomunikasi dengan mereka, serta memberikan kesembuhan atas berbagai penyakit melalui mantera-manteranya. Bla ada seseorang yang sakit, maka diadakanlah upacara turuk yang dipimpin oleh Sikerei. Pada upacara ini Sikerei memberi pengobatan secara fisik dengan obat-obatan herbal serta memanggil roh-roh nenek-moyang mereka untuk meminta kesembuhan atas penyakit yang diderita pasiennya.
Permasalahan di atas sebetulnya dapat diringankan bila kita sebagai umat Islam yang lebih 'civilized' tergerak hati dan mau membantu mereka. Peluang beribadah melalui harta ini dapat disalurkan pada lembaga-lembaga agama Islam yang memiliki program pengiriman da'i dan pembinaan umat di Kepulaun Mentawai. Salah satu lembaga ini adalah BWA atau Badan Wakaf Al Qur'an (www.wakafquran.org) yang beralamat di Jalan Tebet Timur Dalam 1 no. 1 Jakarta, telepon 021-8350084 (hunting).BWA adalah lembaga pengumpul wakaf dan donasi yang akan disalurkan guna pengembangan dan pembinaan umat Islam di berbagai pelosok di tanah air.
Untuk Kep. Seribu dan Kep. Mentawai, BWA merasa salah satu solusi untuk permasalahan minim dan mahalnya sarana transportasi air adalah dengan mewakafkan kapal atau perahu. Kapal atau perahu yang sesuai dengan perairan kepulauan ini akan menjadi transportasi para da'i yang bertugas di pedalaman. Dengan demikian pembinaan umat dapat berjalan lebih lancar karena tidak harus menumpang kapal atau perahu reguler yang jadwalnya terbatas. Selain itu BWA juga berupaya untuk mengembangkan wakaf produktif, sehingga dapat digunakan sebagai modal usaha para da'i atau umat Islam, terutama yang tinggal di pedalaman atau di pulau-pulau yang jauh terpencil.Untuk lengkapnya dapat menghubungi BWA dengan alamat tersebut. Informasi mengenai BWA bisa didapat dari website mereka di www.wakafquran.org. Di mana BWA ini memiliki pengalaman dalam mewakafkan kapal yang digunakan untuk pembinaan umat Islam di Papua/Irian Jaya.
Kita bisa berjihad memerangi kebodohan dan kejahilan, dapat berjihad dengan dengan mewakafkan sebagian dari harta kita. Saudara-saudara muslim kita yang tinggal jauh di pedalaman sangat memerlukan perhatian dan bantuan agar dapat menjadi umat Islam yang khaffah dan mulia. Mari kita mudahkan perjalanan spiritual mereka agar mereka tetap berada di jalan Alloh SWT untuk mengamalkan Al Quran dan menjalankan sunah Rasulullah SAW.
Informasi lengkap:
BADAN WAKAF AL QUR'AN (BWA) JAKARTA
Jalan Tebet Timur Dalam 1 no. 1 Jakarta, telepon 021-8350084 (hunting)
website: www.wakafquran.org
e-mail: admin@wakafquran.org
Foto-foto observasi dan dokumentasi Mentawai dapat diakses di http://www.facebook.com/ricky.bapanasikaka?ref=profile#/photo.php?pid=2911480&id=715618858
Observasi dan dokumentasi khususnya yang dilakukan di Kep. Mentawai difokuskan pada masalah sarana dan prasarana transportasi, pembinaan dan dakwah Islam, serta permasalahan lainnya yang mungkin berkaitan dengan kedua permasalahan utama tersebut. Assignment ini mengharuskan saya merekam berbagai aspek permasalahan tersebut ke dalam format video semi dokumenter untuk kepentingan lembaga yang menugaskan saya, Badan Wakaf Al Qur'an Jakarta (BWA). Observasi ini difokuskan di Kecamatan Siberut Selatan, Pulau Siberut Kep. Mentawai. Pembatasan wilayah ini dilakukan mengingat luasnya wilayah observasi yang tidak bisa dijangkau dengan mudah mengingat keterbatasan sarana transportasi, faktor cuaca, waktu dan biaya yang tersedia.
Dari hasil observasi, ada beberapa catatan mengenai masalah dalam upaya pengembangan dakwah dan pembinaan umat Islam di Mentawai. Pada observasi ini juga dilakukan beberapa interview dengan tokoh masyarakat, tokoh agama, serta warga masyarakat lainnya, yang direkam ke dalam videotape. Sebagai resume awal, masalah dalam pengembangan dan pembinaan umat Islam di Kep. Mentawai umumnya meliputi minimnya dan mahalnya biaya transportasi, rendahnya kesejahteraan para da'i di pedalaman, serta tidak optimalnya pembinaan umat Islam di pedalaman.
Secara umum, di Pulau Siberut terdapat dua kelompok masyarakat, yakni masyarakat asli Suku Mentawai dan masyarakat pendatang. Masyarakat suku Mentawai ini umumnya berdiam di desa-desa di pedalaman. Masyarakat pendatang umumnya berasal dari suku Minang, Jawa, Nias, Batak atau suku lainnya. Dari segi keagamaan,mereka menganut agama Islam, Protestan, Katolik, serta kelompok kecil penganut agama Baha'i. Agama asli Mentawai,Sabulungan, pun masih banyak penganutnya. Sabulungan lebih merupakan animisme-dinamisme yang diwariskan dari nenek-moyang suku Mentawai.
Mahalnya biaya transportasi disebabkan oleh belum adanya jalan darat yang menuju ke pedalaman. Untuk menuju pedalaman dipergunakan sarana transportasi air berupa sampan dan perahu dengan mengikuti aliran sungai yang berasal dari hulu atau menyusuri garis pantai. Dengan demikian biaya bahan bakar yang dipergunakan juga menjadi sangat mahal. Sebagai misal, untuk menempuh perjalanan pergi pulang ke sebuah desa yang berada di pedalaman dengan waktu tempuh l.k. 2 jam, diperlukan BBM sebanyak 40 liter senilai Rp. 280.000. Biaya tersebut tidak termasuk sewa perahu dan upah dua orang kru (pengemudi dan navigator). Dapat terhitung berapa banyak biaya bila dalam dua kali sebulan misalnya, para da'i di pedalaman ini harus turun ke Muara Siberut yang berada di pantai Timur untuk mengakses informasi, berbelanja kebutuhan hidup seperti sembako, atau keperluan dakwah lainnya. Itu baru desa yang dekat. Belum lagi bila desa yang berada di pantai barat Pulau Siberut, yang berada di balik hutan dan perbukitan yang jarang tersentuh manusia.
Selain faktor biaya, transportasi juga sangat dipengaruhi cuaca dan pasang-surut air laut serta sungai. Dengan kata lain, tersedianya alat dan biaya transporasi juga tidak menjamin dapat terlaksananya perjalanan ke pedalaman. Sebab di saat air surut, perahu tidak dapat melewati terusan (sodetan) sungai yang menjadi jalan pintas transportasi dari dan ke pedalaman. Kalaupun harus mengikuti jalur utama sungai, maka waktu tempuh akan semakin lama dan jarak tempuh akan semakin panjang. Biaya transportasi pun akan meningkat drastis. Belum lagi tak jarang mereka harus kembali lagi ke titik awal perjalanan karena perahu mereka tidak dapat menembus cuaca yang buruk serta ombak yang besar.
Begitu pula dengan komunikasi. Sampai saat tulisan ini dibuat, baru ada satu BTS milik satu operator telekomunikasi di desa Muara Siberut. Itupun kadang-kadang mengalami gangguan sehingga tidak dapat dilakukan komunikasi. Pancaran sinyal pun terbatas, tidak menjangkau ke pedalaman yang rata-rata berada di balik perbukitan. Sehingga komunikasi hanya dapat dilakukan dalam wilayah yang sangat terbatas. Saluran telepon Telkom pun hanya menjangkau desa Mailepet dan Muara Siberut saja.
Kondisi keuangan dan kesejahteraan para da'i di pedalaman juga tidak kalah menyedihkannya. Para da'i di pedalaman rata-rata hanya mendapat honor Rp. 700.000 rupiah per bulan, yang tentu sangat jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka. Bisa saja para da'i tersebut harus bekerja atau berdagang untuk mendapat tambahan dana untuk kelangsungan hidupnya. Tetapi akibatnya pembinaan umat menjadi terbengkalai dan umat Islam di pedalaman yang rata-rata mualaf itu menjadi kehilangan pegangan.
Dengan sistem dan sarana transportasi yang ada, sulitnya komunikasi, serta rendahnya kesejahteraan da'i, maka dampak yang paling terasa adalah pada pembinaan umat. Umat yang dimaksud di sini adalah umat Islam yang berada di pedalaman yang rata-rata merupakan penduduk asli suku Mentawai dan tergolong mualaf. Indikatornya sulitnya pembinaan ini antara lain adalah masih banyaknya umat Islam di pedalaman yang memelihara dan mengkonsumsi daging babi. Hal ini disebabkan karena adat-istiadat yang diwariskan nenek-moyang mereka memang seperti itu. Selain itu, masih bercampur-baurnya ajaran agama Islam dengan pemahaman agama leluhur mereka, Sabulungan. Umat Islam di pedalaman masih mempercayai Sikerei sebagai orang yang dapat berhubungan dengan roh-roh nenek moyang, berkomunikasi dengan mereka, serta memberikan kesembuhan atas berbagai penyakit melalui mantera-manteranya. Bla ada seseorang yang sakit, maka diadakanlah upacara turuk yang dipimpin oleh Sikerei. Pada upacara ini Sikerei memberi pengobatan secara fisik dengan obat-obatan herbal serta memanggil roh-roh nenek-moyang mereka untuk meminta kesembuhan atas penyakit yang diderita pasiennya.
Permasalahan di atas sebetulnya dapat diringankan bila kita sebagai umat Islam yang lebih 'civilized' tergerak hati dan mau membantu mereka. Peluang beribadah melalui harta ini dapat disalurkan pada lembaga-lembaga agama Islam yang memiliki program pengiriman da'i dan pembinaan umat di Kepulaun Mentawai. Salah satu lembaga ini adalah BWA atau Badan Wakaf Al Qur'an (www.wakafquran.org) yang beralamat di Jalan Tebet Timur Dalam 1 no. 1 Jakarta, telepon 021-8350084 (hunting).BWA adalah lembaga pengumpul wakaf dan donasi yang akan disalurkan guna pengembangan dan pembinaan umat Islam di berbagai pelosok di tanah air.
Untuk Kep. Seribu dan Kep. Mentawai, BWA merasa salah satu solusi untuk permasalahan minim dan mahalnya sarana transportasi air adalah dengan mewakafkan kapal atau perahu. Kapal atau perahu yang sesuai dengan perairan kepulauan ini akan menjadi transportasi para da'i yang bertugas di pedalaman. Dengan demikian pembinaan umat dapat berjalan lebih lancar karena tidak harus menumpang kapal atau perahu reguler yang jadwalnya terbatas. Selain itu BWA juga berupaya untuk mengembangkan wakaf produktif, sehingga dapat digunakan sebagai modal usaha para da'i atau umat Islam, terutama yang tinggal di pedalaman atau di pulau-pulau yang jauh terpencil.Untuk lengkapnya dapat menghubungi BWA dengan alamat tersebut. Informasi mengenai BWA bisa didapat dari website mereka di www.wakafquran.org. Di mana BWA ini memiliki pengalaman dalam mewakafkan kapal yang digunakan untuk pembinaan umat Islam di Papua/Irian Jaya.
Kita bisa berjihad memerangi kebodohan dan kejahilan, dapat berjihad dengan dengan mewakafkan sebagian dari harta kita. Saudara-saudara muslim kita yang tinggal jauh di pedalaman sangat memerlukan perhatian dan bantuan agar dapat menjadi umat Islam yang khaffah dan mulia. Mari kita mudahkan perjalanan spiritual mereka agar mereka tetap berada di jalan Alloh SWT untuk mengamalkan Al Quran dan menjalankan sunah Rasulullah SAW.
Informasi lengkap:
BADAN WAKAF AL QUR'AN (BWA) JAKARTA
Jalan Tebet Timur Dalam 1 no. 1 Jakarta, telepon 021-8350084 (hunting)
website: www.wakafquran.org
e-mail: admin@wakafquran.org
Foto-foto observasi dan dokumentasi Mentawai dapat diakses di http://www.facebook.com/ricky.bapanasikaka?ref=profile#/photo.php?pid=2911480&id=715618858
10.30.2009
Mainan Anak Pemikiran Bapak
Mainan anak-anak adalah hal yang lumrah hadir di dalam setiap rumah tangga. Mainan juga merupakan stimulan positif agar anak-anak dapat mengembangkan kepribadian, keterampilan, juga wawasan dan pola pemikirannya. Dengan demikian mainan anak-anak yang baik dan sehat memang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan anak. Pemberian mainan kepada anak juga merupakan salah satu bentuk kasih sayang orang tua terhadap anak-anaknya.
Tetapi, bagaimana bila sang Bapak, melihat sisi lain dalam mainan itu? Dalam kerangka pemikiran fotografis, mainan anak-anak itu kemudian menemukan makna dan simbol yang lain dalam benak si Bapak...
Tetapi, bagaimana bila sang Bapak, melihat sisi lain dalam mainan itu? Dalam kerangka pemikiran fotografis, mainan anak-anak itu kemudian menemukan makna dan simbol yang lain dalam benak si Bapak...
8.14.2009
PUISI KEMERDEKAAN
http://6ix2o9ine.blogspot.com
Mari rayakan kemerdekaan
berpawai, arak-arakan keliling kota
memakai kostum warna-warni
kupilih baju pahlawan bertopeng, Spiderman
dan beberapa teman memakai baju Batman juga Superman
Saat haus mendera, minum saja Coca Cola atau Fanta
sambil mengepulkan asap Marlboro juga Lucky Strike
di telingaku kupasang earphone agar bisa
mendengarkan lagu-lagu Metallica
dengan mp3 player buatan Cina
saat lapar kubuka bekal dari mama
sepotong ayam Kentucky Fried Chicken
dan setangkup burger Mc Donald
kulanjutkan perjalanan memakai Yamaha lalu naik Toyota
bahagianya hari ini
teriknya matahari menerpa kulit yang menghitam
namun tak perlu khawatir
karena telah kulapisi Johnson dengan 'n Johnson juga Nivea
Sore hari usai sudah keramaian
melepas lelah di Starbucks sambil chatting via Yahoo Messenger
ke teman-teman seluruh Indonesia
di laptop Toshiba yang memakai OS Windows Vista
membaca e-mail masuk di Gmail
browsing berita meriahnya kemerdekaan di CNN.com
terkadang tertawa terbahak melihat kelakuan
Bart Simpson di channel Cartoon Networks
di televisi plama 27 inci buatan Korea
Malam menjelang
kemeriahan berlanjut di tempat hiburan malam
berdisko hingga pagi di Embassy
dan mabuk berbotol-botol whisky, vodka, juga sedikit mariyuana
berakhir dengan ngesex bersama perempuan pirang asal Belanda
dengan berbagai gaya yang kudapat dari Kamasutra
ah, nikmatnya kemerdekaan
Merdeka
Merdeka
Merdeka!!!
(bahkan sebetulnya kita tak pernah
tahu bagaimana cara mengeja kata
M-E-R-D-E-K-A...)
180807
Mari rayakan kemerdekaan
berpawai, arak-arakan keliling kota
memakai kostum warna-warni
kupilih baju pahlawan bertopeng, Spiderman
dan beberapa teman memakai baju Batman juga Superman
Saat haus mendera, minum saja Coca Cola atau Fanta
sambil mengepulkan asap Marlboro juga Lucky Strike
di telingaku kupasang earphone agar bisa
mendengarkan lagu-lagu Metallica
dengan mp3 player buatan Cina
saat lapar kubuka bekal dari mama
sepotong ayam Kentucky Fried Chicken
dan setangkup burger Mc Donald
kulanjutkan perjalanan memakai Yamaha lalu naik Toyota
bahagianya hari ini
teriknya matahari menerpa kulit yang menghitam
namun tak perlu khawatir
karena telah kulapisi Johnson dengan 'n Johnson juga Nivea
Sore hari usai sudah keramaian
melepas lelah di Starbucks sambil chatting via Yahoo Messenger
ke teman-teman seluruh Indonesia
di laptop Toshiba yang memakai OS Windows Vista
membaca e-mail masuk di Gmail
browsing berita meriahnya kemerdekaan di CNN.com
terkadang tertawa terbahak melihat kelakuan
Bart Simpson di channel Cartoon Networks
di televisi plama 27 inci buatan Korea
Malam menjelang
kemeriahan berlanjut di tempat hiburan malam
berdisko hingga pagi di Embassy
dan mabuk berbotol-botol whisky, vodka, juga sedikit mariyuana
berakhir dengan ngesex bersama perempuan pirang asal Belanda
dengan berbagai gaya yang kudapat dari Kamasutra
ah, nikmatnya kemerdekaan
Merdeka
Merdeka
Merdeka!!!
(bahkan sebetulnya kita tak pernah
tahu bagaimana cara mengeja kata
M-E-R-D-E-K-A...)
180807
8.07.2009
Tribute to Si Burung Merak, W.S. Rendra: Sepenggal Kenangan
Innalillahi wa innalillahi roji'un
Sepenggal doa itu terlintas saat beberapa saat lalu saya mendengar berita berpulangnya Oom Willy a.k.a W.S. Rendra. Berita meninggalnya Oom Willy sangat mengagetkan. Saya sedang menyaksikan Trans7, menonton "Bukan Empat Mata"-nya Tukul. Pada acara itu ditayangkan lokasi pemakaman Mbah Surip di sekitaran Bengkel Teater-nya Oom Willy, Saat jemari iseng menekan tombol remote berpindah channel ke MetroTV, berita duka tersebut merasuk ke rumah mungil kami melalui breaking news.
Sungguh, secara pribadi saya mengenal Oom Willy hanya dari puisi, tulisan, karya, dan berita-berita yang meliput dirinya. Dua kali saya bertemu beliau. Pertama saat beliau diundang untuk membaca puisi ke kampus kami di Jatinangor. Saat itu saya masih kuliah semester VIII. Saat itu saya sangat gelisah karena bertepatan dengan pertunjukan Oom Willy saya harus mengikuti ujian Bahasa Sansekerta untuk kedua kalinya setelah gagal di semester sebelumnya. Bila saya mengikuti ujian, maka saya tidak akan bisa menonton Oom Willy baca puisi. Tapi bila menonton, maka saya harus mengulang lagi mata kuliah bahasa Sansekerta yang mengerikan itu untuk ke-3 kalinya..
Saya pilih opsi kedua. Dengan berpura-pura hendak ke belakang, saya minta izin pada Ibu Dosen untuk keluar kelas. Syukurlah, diizinkan. Alih-alih ke toilet, saya bergegas ke parkiran depan Dekanat Fak. Sastra untuk menonton pertunjukan yang belum lama mulai. Suatu keputusan yang tidak pernah saya sesali.
Saya memang kemudian harus mengulang kembali mata kuliah itu. Tapi saya tidak pernah menyesal. Bagi saya, bisa menonton langsung pertunjukan Oom Willy lebih berharga karena kesempatan itu mungkin tidak akan pernah ada lagi. Dan memang, pertunjukan oom Willy di Sastra Unpad hanya terjadi satu kali, di tahun 1996 itu. Syangnya, dua buku puisinya yang mendapat bubuhan tandatangannya, hilang dipinjam teman yang tak bertanggungjawab.
Kali kedua datang tahun 1998. Tapi saat itu Oom Willy hadir sebagai pembicara utama dalam diskusi Politik dan Seni di STISI Bandung. Suasana saat itu masih panas mengingat belum lama rezim Soeharto jatuh dan keadaan negara masih dalam keadan genting. Masih dengan operandi yang sama: saya bolos kuliah, untungnya tapi saat itu bukan musim ujian.
Oom Willy... Selamat jalan. Biarlah yang lain menuliskan tentang dirimu. Tetapi bagi saya, kehadiran Oom akan selalu dirasakan. Karena setiap pemberontakan, setiap pekik kesedihan, setiap pekik keinginan untuk bebas dan merdeka, keinginan untuk mendapat keadilan, keinginan untuk mendapat pengakuan sebagi manusia yang selama ini menjadi bagian hidup saya, sedikit banyak dipengaruhi oleh karya-karya Oom Willy.
Selamat jalan OOm Willy. Selamat Jalan oom Rendra. Semoga Alloh SWT menerima semua amal ibadah Oom. Bagi Indonesia, Oom adalah puisi itu sendiri. Teater itu sendiri. Oom adalah seni itu senditi...
Innalillahi wa inna illaihi roji'un. Semua yang berasal dari Alloh akan kembali pada-Nya.
Sepenggal doa itu terlintas saat beberapa saat lalu saya mendengar berita berpulangnya Oom Willy a.k.a W.S. Rendra. Berita meninggalnya Oom Willy sangat mengagetkan. Saya sedang menyaksikan Trans7, menonton "Bukan Empat Mata"-nya Tukul. Pada acara itu ditayangkan lokasi pemakaman Mbah Surip di sekitaran Bengkel Teater-nya Oom Willy, Saat jemari iseng menekan tombol remote berpindah channel ke MetroTV, berita duka tersebut merasuk ke rumah mungil kami melalui breaking news.
Sungguh, secara pribadi saya mengenal Oom Willy hanya dari puisi, tulisan, karya, dan berita-berita yang meliput dirinya. Dua kali saya bertemu beliau. Pertama saat beliau diundang untuk membaca puisi ke kampus kami di Jatinangor. Saat itu saya masih kuliah semester VIII. Saat itu saya sangat gelisah karena bertepatan dengan pertunjukan Oom Willy saya harus mengikuti ujian Bahasa Sansekerta untuk kedua kalinya setelah gagal di semester sebelumnya. Bila saya mengikuti ujian, maka saya tidak akan bisa menonton Oom Willy baca puisi. Tapi bila menonton, maka saya harus mengulang lagi mata kuliah bahasa Sansekerta yang mengerikan itu untuk ke-3 kalinya..
Saya pilih opsi kedua. Dengan berpura-pura hendak ke belakang, saya minta izin pada Ibu Dosen untuk keluar kelas. Syukurlah, diizinkan. Alih-alih ke toilet, saya bergegas ke parkiran depan Dekanat Fak. Sastra untuk menonton pertunjukan yang belum lama mulai. Suatu keputusan yang tidak pernah saya sesali.
Saya memang kemudian harus mengulang kembali mata kuliah itu. Tapi saya tidak pernah menyesal. Bagi saya, bisa menonton langsung pertunjukan Oom Willy lebih berharga karena kesempatan itu mungkin tidak akan pernah ada lagi. Dan memang, pertunjukan oom Willy di Sastra Unpad hanya terjadi satu kali, di tahun 1996 itu. Syangnya, dua buku puisinya yang mendapat bubuhan tandatangannya, hilang dipinjam teman yang tak bertanggungjawab.
Kali kedua datang tahun 1998. Tapi saat itu Oom Willy hadir sebagai pembicara utama dalam diskusi Politik dan Seni di STISI Bandung. Suasana saat itu masih panas mengingat belum lama rezim Soeharto jatuh dan keadaan negara masih dalam keadan genting. Masih dengan operandi yang sama: saya bolos kuliah, untungnya tapi saat itu bukan musim ujian.
Oom Willy... Selamat jalan. Biarlah yang lain menuliskan tentang dirimu. Tetapi bagi saya, kehadiran Oom akan selalu dirasakan. Karena setiap pemberontakan, setiap pekik kesedihan, setiap pekik keinginan untuk bebas dan merdeka, keinginan untuk mendapat keadilan, keinginan untuk mendapat pengakuan sebagi manusia yang selama ini menjadi bagian hidup saya, sedikit banyak dipengaruhi oleh karya-karya Oom Willy.
Selamat jalan OOm Willy. Selamat Jalan oom Rendra. Semoga Alloh SWT menerima semua amal ibadah Oom. Bagi Indonesia, Oom adalah puisi itu sendiri. Teater itu sendiri. Oom adalah seni itu senditi...
Innalillahi wa inna illaihi roji'un. Semua yang berasal dari Alloh akan kembali pada-Nya.
4.03.2009
MEMIMPIKAN EKSISTENSI MENCITRAKAN KETAKUTAN
http://6ix2o9ine.blogspot.com
:Catatan dari Pameran Foto “Just Kick The Wall”
I
...
It’a never stops dripping. But just try complaining. There must be more than a hundred of them around here. They spend a fortune to set up those big picturesque cirrus. Public relations, they say.
...
(Umberto Eco dalam “The Latest from Heaven”)
Perdebatan tentang apa itu seni berlangsung bahkan jauh sebelum definisi seni itu ditemukan. Berabad-abad lamanya seni diperbincangkan dan didefinisikan. “Seni selalu menolak definisi”, begitu kata Albert Camus. “Dengan demikian seni adalah pemberontakan yang kreatif”, lanjutnya lagi. Begitu pula di saat fotografi yang merupakan new media aesthetic kemudian berkembang dalam banyak wilayah kehidupan manusia. Perdebatan fotografi itu seni atau bukan seni masih mencuat dan menjadi bahan diskusi yang menarik. Sementara itu di dalam fotografi itu sendiri, timbul pula perdebatan tentang apakah karya fotografi itu. Satu pihak menyatakan bahwa fotografi adalah A, satu sisi lain menyatakan fotografi adalah B, dan di sisi lain ada pihak yang mengklaim bahwa fotografi bukan saja A dan B, tetapi juga C.
Michael Risdianto menulis bahwa perdebatan tentang fotografi juga terjadi di awal perkembangannya di Indonesia. Bagaimana seorang karya foto Isidore van Kinsbergen, seorang fotografer yang juga pelukis, ditolak oleh C. Leemans, seorang Kepala Museum Benda Kuno di Leiden yang telah menugaskannya untuk memotret relief di Candi Borobudur pada tahun 1872-1873. Leemans beranggapan bahwa foto-foto relief yang dibuat van Kinsbergen memiliki kesalahan perspektif dan tidak dibuat berdasarkan pandangan keilmuan. Pandangan Leemans yang sempat mematikan karir van Kinsbergen sebagai seorang fotografer, kemudian dibantah oleh Conrad Busken Huet, yang menyatakan bahwa pekerjaan Leemans adalah pekerjaan yang terikat pada aturan formal dan kaku, sedangkan karya van Kinsbergen adalah karya seni.
Perdebatan itu tidak akan berakhir begitu saja, itulah maka kemudian dinyatakan bahwa seni selalu berada dalam tegangan, tension, yang tidak saja berada di wilayah definisi, tetapi juga di wilayah penciptaan dan penafsiran. Wajar saja bila kemudian ada sekelompok anak muda yang merasa perlu melakukan pemberontakan di dalam dunia fotografi dengan meningkatkan tegangan tersebut.
Kelompok itu adalah Brigadepoto#, mirip nama sebuah kelompok gangster jalanan yang sering membuat onar, walau ternyata memang bukan. Pada pameran ke-2 mereka yang bertajuk “Just Kick The Wall”, Brigadefoto# mencoba menawarkan alternatif lain tentang apa itu fotografi menurut mereka. Pameran ini berlangsung 28 Maret s.d. 4 April 2009 di sebuah garasi yang belum selesai di daerah perbukitan di Bandung Utara yang sejuk dan hening.
Sebuah garasi. Betul, keterbatasan nampaknya bukanlah penghalang bagi Brigadefoto# untuk mempresentasikan karya mereka kepada khalayak. Keterbatasan juga adalah hal yang mereka anggap sebagai sebentuk dinding yang perlu ditendang, dan kalau perlu, dihancurkan. “Mari-mari bertarung dengan segala keterbatasan”, demikian teriak mereka.
II
Pertarungan dengan keterbatasan, permasalahan eksistensi, dan keinginan keluar dari keterbatasan adalah wacana besar yang ingin mereka sampaikan. Hal tersebut jelas terpampang dalam leaflet, poster, katalog, juga di ruang pameran. Permasalahan ini tampak pada “Untitled # 1 - #3” karya Sandy ‘Usenk’ J.S. Seri foto yang terdiri dari 3 foto ini dipajang tepat mengawali deretan karya foto lainnya ini. “Untitled#1” adalah foto hitam-putih berbentuk bujur sangkar dengan bingkai hitam dan matte paper. Bentuk foto bujursangkar mungkin didapat dari potongan matte paper putih yang tegas mengelilinginya. Bingkainya sendiri yang berbentuk persegi panjang berukuran lebih besar dari karyanya.
Dalam deskripsinya, Usenk mempersoalkan antara rasa, estetika, dan presisi. Di mana kegalauan hatinya mempertanyakan bagaimana bila ketiga elemen itu muncul sendiri-sendiri. Pada “Untitled #1” Useng memotret sebuah benda, berbahan logam tampaknya, tepat pada sebuah sudut yang simetris. Sesuatu yang berbentuk lonjong dengan alas bulat oval itu dalam fotonya memiliki kedalaman yang dipersepsikan dengan indera mata akan memiliki kedalaman 3 dimensi. Presisi menurut Usenk dalam karyanya itu adalah bentuk-bentuk visual geometris dengan sudut tajam (diwakili oleh sudut-sudut tajam berbentuk siku pada background putih dan foreground hitam yang bersinergi dengan bentuk bujur sangkar).
Pada “Untitled #2” yang merupakan foto warna, Usenk menggunakan bentuk persegi panjang dengan rasio 4:3 seperti bentuk foto pada umumnya. Masih dengan matte paper yang besar sehingga membuat fotonya jauh kecil dari bingkainya. Fotonya sendiri terdiri atas 6 buah catur berselang-seling putih-hitam-putih, mulai dari Menteri Hitam, Menteri Putih, Kuncung/Gajah Hitam, Kuda Putih, pion hitam dan putih . Ke enam buah catur itu berdiri di atas alas berwarna hijau muda yang lembut yang menjadi foreground dengan background berwarna putih.
Sedangkan pada “Untitled #3” yang merupakan foto hitam-putih, Usenk memotret sebagian tajuk pohon sehingga berbentuk siluet. Foto ke tiga ini secara fisik bentuknya sama dengan “Untitled #2”, namun bidang foto ditempatkan beberapa senti meter dari garis tengah imajiner sehingga matte paper atas lebih besar dari bawah.
Mengerutkan kening cukup lama untuk memahami apa yang menjadi fokus karya, sebab “Untitled #1 - #3” berusaha ‘menjebak’ pemahaman audiens dalam deskripsinya yang menyatakan “Antara rasa, estetika, dan presisi: bagaimana bila ketiganya muncul dengan sendiri-sendiri?”. Deskripsi itu seolah mempersilahkan audiens untuk menafsirkan satu per satu fotonya terlepas satu sama lainnya. Padahal karya itu sendiri harus ditafsirkan dalam satu kesatuan sebagai suatu seri yang utuh.
“Untitled #1 - #3” sendiri merupakan representasi dari presisi, estetika, dan rasa yang coba dimunculkan secara terpisah dalam representasi visual yang berbeda. Presisi menurut Usenk adalah bentuk-bentuk geometris yang secara matematis terukur, sedang estetika disimbolkan pada beberapa buah bidak catur, dan rasa dengan bentuk geometris tajuk pepohonan yang tidak beraturan.
“Untitled #1 - #3” lebih merupakan suatu pertanyaan filosofis daripada pernyataan seorang Usenk tentang bagaimana sebuah konsep tentang menjadi. Usenk tidak sedang mengurai sosok manusia di dalam karyanya, tetapi mempertanyakannya. Tataran simbol yang digunakan Usenk adalah simbol yang sehari-hari hadir bersama manusia. Petualangan estetiknya membuat Useng menggunakan simbol-simbol itu untuk hadir dalam makna dan pemahaman baru untuk kemudian dilontarkannya kembali secara fotografis kepada audiens.
Tetapi, pertanyaan Usenk itu mungkin akan menjadi jelas gemanya bila tidak pernah dijawab. Bahkan oleh Usenk sendiri, karena manusia memang dilahirkan ke dunia dengan ketiga elemen itu. Permasalahannya adalah pada komposisi dan cara pemakaiannya yang berbeda pada setiap orang, yang oleh Usenk disimbolkan dengan perbedaan komposisi dan bentuk penyajian karyanya. “Untitled #1 - #3” tampaknya akan menjadi persoalan yang akan dihadapi setiap orang. Itulah yang ingin diutarakan seorang Usenk. Ia melontarkan pertanyaan yang harus dipikirkan setiap orang, dan bukan menjawabnya.
Pada karya berikutnya Erwin G. Zulkarnain menyajikan “Untuk Aku, DIA, dan Mereka”, Sebuah karya foto hitam-putih besar berukuran 20 X 24 inci. “Untuk Aku, DIA, dan Mereka” tampaknya adalah pertanyaan besar Erwin tentang kebenaran, yang di dalam deskripsi karyanya ia menulis “...apakah kebenaran itu bersifat relatif? Atau kebenaran itu bersifat mutlak?”. Fotonya sendiri dapat dideskripsikan sebagai foto 3 buah manekin yang meniru tubuh perempuan, yang dipajang sebagai etalase di sebuah toko pakaian. Manekin-manekin berbentuk setengah badan, dari kaki hingga bawah dada dengan potongan atas berbentuk diagonal. Manekin pertama mengenakan celana panjang, manekin ke dua mengenakan celana pendek sebatas paha, dan manekin ketiga tidak mengenakan apapun selain secarik kertas bertuliskan “diskon 50%” yang dipasang di atas daerah V manekin tersebut.
Karya Erwin bermaksud mempertanyakan kebenaran melalui cara berpakaian perempuan yang menurutnya “Cara berpakaian wanita selalu menjadi hal yang aktual untuk diperdebatkan, karena setiap orang mempunyai alasan masing-masing atas kebenarannya...” Bagi Erwin kebenaran itu relatif atau mutlak seolah dijawab berdasarkan selera berpakaian perempuan. Erwin tidak sedang meluncurkan erotisme dan eksploitasi tubuh perempuan, yang oleh industri fashion didominasi oleh bentuk tubuh yang ramping, jenjang, cantik, dan sensual, yang direpresentasikan dalam manekin-manekin dengan proporsi tubuh yang katanya ideal.
Justru Erwin dalam karyanya mengajak kita untuk merenungi kebenaran yang oleh industri fashion yang mengkomodifikasi perempuan dalam bentuk tubuh tertentu agar bisa menggunakan jenis pakaian tertentu. Atau, bisa jadi Erwin juga sedang menyatakan bahwa kebenaran itu seperti pakaian. Bisa dipakai dan dilepas kapan saja, sesuai dengan selera dan bentuk tubuh masing-masing. Sesuai dengan trend mode yang up to date. Dipakai bila perlu dan dilepas bila ingin.
Karya selanjutnya adalah “The Harmony of Gesticulation” (Harmoni Gestikulasi) judul karya Anitha ‘Tha-tha’ Desyanti. Seperti karya sebelumnya, karya Tha-tha masih berbentuk semacam foto seri yang harus dipahami secara utuh. “The Harmony of Gesticulation” ini terdiri dari dua bagian. Bagian pertama merupakan sebuah seri foto panggung, yang menurut Tha-tha diambil dari adegan-adegan yang terdapat dalam tarian berjudul “Hayati #1 - #3” dengan Chandra Effendi Panatan sebagai koreografernya. Seri foto “Hayati #1 - #3” ini terdiri atas 3 buah foto yang dipasang sedikit curam diurut dari atas ke bawah dengan ukuran masing-masing 12 x 18 inci.
Foto teratas merupakan foto 4 orang penari yang bergerak sejajar dengan bentuk yang berbeda. Penari pertama dari kanan berdiri tegak, penari kedua dan ke tiga sedikit merunduk, dan penari ke empat terlentang di lantai panggung dengan kaki tertekuk diangkat ke atas. Pada foto kedua, ada 6 penari perempuan sedang mangangkat tangannya ke atas dengan kaki sedikit terbuka. Kedua foto ini nyaris berbentuk siluet karena tata cahaya panggungnya yang demikian. Background panggung yang dicahayai sedemikian rupa membuat para penari yang berada di depannya tertangkap kamera menjadi sebuah siluet yang menarik. Pada foto ke-3 kali ini sosok penari lebih jelas karena perubahan tata cahaya panggung dan perubahan sudut pengambilan gambar, di mana Tha-tha menangkap momen formasi tari tertentu.
Pada bagian kedua fotonya yang berjudul “Cerita Dari Dunia Maya #1 - #5”, Tha-tha masih mengambil adegan-adegan tari di atas pentas yang berjudul “Cerita Dari Dunia Maya” yang dikoreografi dan ditarikan oleh Yudistira Syaman. “Cerita Dari Dunia Maya #1 - #5” ini terdiri dari 5 foto, 2 vertikal dan horisontal, yang dipasang dalam satu bingkai yang besar. Dengan menempatkan ke lima foto itu dalam satu bingkai, Tha-tha ingin kita memahami adegan-adegan tari yang dipotretnya dalam satu kesatuan yang utuh. “Cerita Dari Dunia Maya #1 - #5” ini pada masing-masing fotonya menunjukan sang penari dalam berbagai formasi gerak, mulai dari berdiri tegak (foto pertama) hingga duduk kelelahan sambil menyelonjorkan kakinya ke depan dan bersandar pada dinding panggung.
Melalui seri fotonya ini, Tha-tha, satu-satunya perempuan di pameran ini ingin berbagi perasaannya di saat menyaksikan ke dua jenis tarian yang berbeda. Di mana pada tarian pertama di seri foto bertajuk “Hayati #1 - #3” adalah mengenai pergerakan flora dan fauna, dan pada seri foto ke dua “Cerita dari Dunia Maya #1 - #5” adalah tentang penderita skizofrenia. Foto-foto panggung Tha-tha ini lebih dari sekedar foto dokumentasi panggung belaka karena Tha-tha tampaknya tidak puas bila hanya menyajikannya dalam single frame seperti dalam foto-foto salon biasa. Tha-tha ingin menunjukkan pergerakan tubuh manusia yang dieksploitasi dan dimanipulasi sedemikian rupa hingga membentuk rentetan gerak tari yang sangat dinamis. Itu menjelaskan kenapa Tha-tha memakai kata ‘gesticulation’ sebagai judul utamanya serta menempatkan urutan-urutan fotonya berdasar urutan gerak tariannya.
Pada karya selanjutnya, Fana Fadzrikillah mencoba tampil eksentrik dengan “Baratayudha #1 - #3”. Dalam seri foto yang masing-masing berukuran 12 X 16 inci, Fana memulainya justru tidak dengan sebuah foto. Fana memulai karyanya dengan debuah cermin yang dipasang di berhadapan dalam sebuah sudut dengan foto montase seorang laki-laki muda yang membelakangi lensa. Laki-laki itu sedang menatap punggungnya yang ditempeli seekor ikan. Pada foto berikutnya Fana memotret sebuah kemeja berwarna merah yang dibuat menyerupai seseorang lelaki yang sedang duduk di sebuah kursi dengan bunga mawar berawarna merah dan beberapa lembar uang. Melalui karyanya, Fana mengajak kita berperang dengan kita sendiri di mana ia mendeskripsikan dengan “..perang diri saya melawan segala ketakutan yang ada...”.
Mengejutkan karena “Baratayudha #1 - #3” sebetulnya hanya berisi dua foto dan satu cermin. Dengan mengikuti alur karya, pada kali pertama kita dipaksa untuk menatap cermin sebuah cermin. Fana seolah ingin menunjukan ‘foto’ siapa pelaku Barata Yudha melalui cermin tersebut. Cermin itu akan merefleksikan wajah kita sebagai salah satu pelaku Baratayudha. Gagasan Fana menghadirkan sebuah cermin akan menghadapi banyak kontroversi karena cermin bukanlah foto dalam artian sesungguhnya. Cermin, walaupun merepresentasikan diri secara terbalik di dalamnya, bukanlah sebuah foto seperti halnya pas foto yang kita pakai untuk ijazah. Atau bisa jadi sebetulnya Fana mengajak kita untuk menatap foto ke dua (foto montase laki-laki berkaos hitam dengan ikan di punggungnya), membantu laki-laki yang ada di dalam foto untuk melihat ada apa sih yang menempel di punggungnya. Akan menjadi berbeda bila misalnya bila karya ini diletakan sejajar secara bersamaan.
Pada foto ke-empat, hadir single frame karya parodi cerdas Cholid Zain yang berjudul “Apa Kabar Pocong” dengan ukuran 60 x 90 cm. Betul-betul sebuah parodi yang lucu yang mengajak kita menertawakan ketakutan-ketakutan kita sendiri seperti halnya yang dilakukan Cholid. Bagaimana tidak, foto yang berukuran besar ini menampilkan sosok sebentuk Pocong yang hadir tidak hanya dalam cerita dari mulut ke mulut saja. Tetapi juga hadir di bioskop-bioskop dan di rumah kita dalam bentuk film dan sinetron. Herannya lagi, seringkali kita membeli ketakutan akan pocong dengan beramai-ramai antri tiket berjenis film tentang pocong di bioskop. Tidak ada bedanya dengan kita membeli kegembiraan di bioskop yang sama dengan membeli dan menonton film komedi, misalnya, atau membeli dan menonton sebuah pertandingan sepakbola di mana kita bisa tegang, marah, sekaligus gembira di dalamnya.
Lebih komikal lagi karena Cholid memotret pocong tersebut sedang menghadapi mikrofon dan tape recorder yang bertuliskan beberapa nama infotainment televisi, yang juga dipelesetkan. Ada Insect, Goshtsong, juga ada Silat. Persis seperti adegan jumpa pers yang ada di televisi. Cholid sedang melakukan representasi terhadap sosok pocong sebagai selebritis yang patut diwawancarai karena eksploitasi manusia yang kerap menghadirkan pocong sebagai hantu khas Indonesia itu. Dalam deksripsi karyanya yang selanjutnya Cholid menyatakan bahwa karena karena seringnya melihat tayangan film pocong maka ketakutan-ketakutannya akan pocong berangsur sirna.
Apa yang direpresentasikan Cholid dengan pocong sebagai pembawa ketakutan pada dirinya (juga orang Indonesia lainnya) berbeda dengan cara Fana. Mereka sepakat bahwa ketakutan menurut kedua seniman foto itu beranjak dari diri mereka masing-masing. Bila representasi Fana adalah iklan busuk yang menempel di punggung, maka Cholid dengan sosok pocong. Ketakutan pada diri Cholid lebih bersifat eksternal, di mana sumber semua ketakutan ada pada media (film dan televisi yang menjadikan pocong sebagi tokoh utamanya). Representasi ketakutan Cholid adalah pada media yang telah melahirkan pocong dari bentuk lisan (cerita mulut ke mulut) ke dalam bentuk visual (gambar ilustrasi, film, televisi).
Intensitas kehadiran pocong yang tinggi dinyatakan Cholid sebagai selebritas horor adalah dengan adanya elemen foto berupa mikrofon dan tape recoder yang menjadi simbol industri media massa/pers. Secara komikal, Cholid juga seperti menyentil industri media massa yang, bahkan, seringkali bemata dua. Pada satu sisi menyebarkan berita, pada satu sisi lain justru berita itu yang membuat massa menjadi komoditas media itu sendiri.
Saya ingin menghubungkan pernyataan Cholid di akhir deskripsinya sebagai “...membuat saya terbiasa dan dengan sendirinya hilang rasa takut itu” dengan sebuah film yang pernah saya tonton beberapa tahun lalu pada sebuah acara pemutaran film keliling di sebuah kampus. Film “Novel Tanpa Huruf R” yang disutradarai oleh Aria Kusumadewa ini mengetengahkan bagaimana sang tokoh utama yang seorang wartawan kriminal merangkap penulis cerita kriminal-suspense adalah orang yang telah berhasil mengalahkan ketakutannya akan sadisme. Dari kecil ia telah terbiasa melihat darah hewan yang dipotong di rumah potong hewan, dan pengalaman kewartawanannya membuatnya sangat terbiasa dengan darah manusia-manusia akibat korban kekerasan dan penganiayaan. Dengan dingin sang wartawan kriminal mewawancarai dan memotret korban yang megap-megap sekarat, berdarah-darah, seolah tidak ada lagi rasa ngeri di hatinya.
Pada titik ini saya teringat pada “Untitled #1 - #3” di mana Usenk mencoba mempertanyakan eksistensi dirinya sebagai manusia. Saya tiba-tiba memahami bahwa “Untitled #1 - #3” juga merepresentasikan ketakutan. Ketakutan bahwa rasa, estetika, dan presisi akan terlepas dan terpisah satu sama lain. Itulah kenapa di “Untitled #2” hanya ada ‘menteri’ bukannya ‘raja’. Mungkin kehadiran raja adalah legalisasi atas keterpisahan itu. Atau mungkin juga raja yang merupakan simbol kekuasaan tertinggi dalam suatu pemerintahan monarki, jelas dihilangkan, agar tidak ada lagi kekuasaan yang dapat memisahkan rasa-estetika-presisi.
Di sisi lain, setelah sebuah instalasi interaktif, Ricky ‘Emon’ Indrawan hadir melalui karya berjudul “Picture of Me”, sebuah karya foto hitam putih berukuran 20 X 24 inci. “Picture of Me” tampak moderat dengan penyajian yang berbeda dari lainnya. Seolah hendak menyajikan mix media dengan sebuah foto kursi goyang yang simetris berada di tengah. Kursi goyang itu terikat erat ke lima penjuru foto. Background foto dibuat hitam sehitam-hitamnya sehingga kursi goyang rotan dan tali yang mengikatnya tampak kontras dan menonjol dengan memunculkan kedalaman dimensinya. Tetapi rasanya tidak cukup begitu saja. Pada beberapa lima penjuru foto di mana berakhir out of frame, Emon kemudian menyambung seutas tali ‘beneran’ dengan tali pada foto dengan cara menempelkannya. Sehingga akan tercipta kesan bahwa tali tersebut adalah bagian dari sebuah foto. Tak cukup dengan itu, tali-tali tersebut diikat dengan erat dalam beberapa belitan pada bingkai kayu.
Suatu presentasi yang jenial saya rasa. Karya Emon yang merupakan mix media antara foto, kayu, tali, logam, dan dua lapis akrilik lebih dari cukup untuk menggambarkan ketakutan serta harapan untuk lepas darinya. Kehidupan yang penuh guncangan yang disimbolkan dengan kursi goyang --sesuai namanya pasti akan bergoyang-goyang bila diduduki--, tali yang terikat kencang pada kursi hingga seolah menembusnya hingga ke luar kertas foto adalah simbol upaya untuk meredakan guncangan. Kayu bingkai berwarna hitam pun dimanfaatkan untuk menyimbolkan sesuatu yang dianggapnya mampu menahan goyangan sang kursi goyang. Bahkan lebih dari itu, Emon menutupi seluruh area fotonya dengan 2 lapis akrilik bening masing-masing setebal 1 mm yang dipancangnya dengan 4 baut logam.
Emon menginginkan ketenangan dan ketentraman di atas sebuah kursi goyang. “..Petarung sejati yang ingin hidup tentram dan damai tanpa adanya suatu keterikatan”, demikian deskripsi karyanya. “Picture of Me” sepertinya menjadi representasi ketakutan manusia akan hidup. Keinginan untuk tenang, tentram, damai dan merdeka dari segala keterikatan, yang justru membuatnya harus terikat kencang ke mana-mana. Kursi goyang bagi beberapa orang melambangkan kesenangan, ketentraman, sikap yang konservatif setelah melewati berbagai pertarungan hidup, namun masih saja menakutkan. Masih menimbulkan goyangan-goyangan. Oleh karena itu harus diikat seerat mungkin agar kursi goyang tak lagi bergoyang.
Irwan Hakim menyajikan “Aku dan Sebelum Aku”, sebuah kolase foto yang terdiri atas 22 baris dengan 11 kolom. Kolase foto itu berjumlah sebanyak 220 lembar foto 3R dengan dimensi 55 X 77 inci. Pada deskripsinya, dengan mengutip data dari CIFOR (Centre of International Forestry Research-Pusat Penelitian Kehutanan Internasional), karya ini mencoba mengingatkan kita bahwa pohon yang ditebang untuk industri pulp dan kertas diambil dari hutan alam yang semakin berkurang. Dengan memasang ratusan kolase foto pohon yang hendak ditebang, mulai foto tajuk pohon di bagian teratas kolase hingga foto akar di bagian bawah, Irwan menyatakan betapa masifnya manusia dalam menyikapi permasalahan kertas dan hutan. Permasalahan yang dalam karyanya menuntut untuk disikapi. Bahkan secara sadar Irwan melakukan otokritik dan kritik terhadap dunia fotografi yang digelutinya. Di mana fotografi harus dan masih identik dengan mencetak hasilnya di atas kertas. Bagaimana sebetulnya Irwan merasa gamang menghadapi rakusnya industri dan pelaku fotografi –baik itu fotografer pro, media, amatir, hiburan, ataupun fotografi seni—yang terus menggunakan kertas dalam jumlah yang sangat besar.
Pada bagian terakhir, ada Doly Harahap yang mengajak kita untuk merenung dengan “Mencari Alamat #1 - #11), yang terdiri dari 11 foto hitam putih berformat vertikal berukuran 8 X 12 inci yang masing-masing dipasang di atas styrofoam putih dan disusun dalam urutan 3-2-1-2-3. Doly, seperti yang diungkapkan dalam deskripsinya, merasakan kerinduan akan kehadiran seorang ibu.
Doly melakukan eksplorasi yang menarik dengan lukisan tangan (hand drawing) yang dianggapnya mencitrakan sosok Ibu dalam setiap fotonya. Lukisan itu selalu hadir dengan berbagai macam sikap dan keinginan. Misalnya saja Doly merasa bahwa Ibu adalah sosok misterius. Doly menutupi wajah Ibu dengan kain Ulos hingga menyisakan bagian mata ke atas. Doly juga ingin merasakan menyentuh ibu, memotret lukisan itu dengan sebuah tangan hitam yang seolah hendak menjamah wajah sang Ibu. Pada foto lain ia juga merasakan rindu pada sosok Ibu yang akan menciptakan silaturahmi yang dicitrakan Doly dengan melakukan montase dua pasang tangan sedang bersalaman, yang Doly nyatakan sangat kuat dalam 3 buah foto yang mirip.
Tetapi Doly juga tidak menafik kenyataan bahwa sosok Ibu juga telah pernah ia sia-siakan dengan mencitrakan sepasang sepatu boot yang sudah usang yang menjejak di atas lukisan Ibu. “Mencari Alamat #1 - #11” adalah seri yang lirih dan merintih dengan kerinduan yang amat sangat. Tidak ada ketakutan di sini, yang ada hanya kerinduan dan juga mungkin penyesalan. Itu yang membedakannnya dengan karya-karya lainnya.
III
Saya mencoba memahami tajuk “Just Kick The Wall” dengan melakukan ‘thawaf’ mengelilingi galeri Gawir 81 sebanyak 2 atau 3 kali. Pertama kali saya mengikuti arah konvensional dari kiri ke kanan searah putaran jarum jam, yang dimulai dari “Mencari Alamat #1 - #11” dan berakhir di “Untitled#1-#3”. Pada kali kedua dan atau selanjutnya, saya memutar kebalikan jarum jam, yakni dari kanan ke kiri (lihat catatan kaki no. 4). Agak sulit memahami apa sih yang diinginginkan brigadepoto# bila hanya sekedar mengunjungi pameran saja. Saya juga membuat beberapa catatan di buku notes serta memotret hampir semua karya (termasuk instalasi) dengan kamera digital. Mengunjungi pameran selama lebih kurang 1 jam dan kemudian menghabiskan waktu lebih dari 12 jam untuk membaca, mencari referensi, membuka file-file foto karya yang diambil hari sebelumnya dan menuliskan catatan ini serta menyuntingnya.
Membuat saya lebih berkeringat karena apa yang ditawarkan brigadepoto# berbeda dengan foto-foto yang biasa saya lihat selama ini. Dalam bulan Maret yang baru lalu hingga minggu pertama April 2009 ini ada sekitar 4 pameran foto yang saya kunjungi. 3 pameran foto pertama pada umumnya menawarkan foto-foto yang realis, yang struktur simboliknya saya rasa tidak sedalam “Just Kick the Wall”, karena pada umumnya foto-foto tersebut merupakan foto jurnalistik, foto bergaya jurnalistik, hingga semi dokumentasi. Artinya pemahaman maknanya cenderung seperti apa yang terdapat di dalam foto. Pohon ya berarti pohon, merah ya merah. Seperti sedang membaca kumpulan cerpen atau sebuah novel dengan gaya bahasa yang tidak bersayap. Atau semacam jurnal yang ditulis dengan gaya bahasa yang lugas.
Tetapi tidak demikian dengan “Just Kick the Wall”. “Just Kick the Wall” bagi saya adalah membaca puisi dalam bahasa Indian yang ditulis orang Mesir, diterjemahkan oleh orang Batak, lalu dibaca seorang Sunda. Ada struktur yang rumit di dalamnya, yang saya fikir, para fotografernya sendiri mungkin tidak menyadarinya.
Fotografi pada intinya adalah persepsi . Melihat dan ‘membaca’ karya foto juga adalah persepsi atas persepsi. Menuliskan sebuah kritik adalah menuliskan persepsi. Membaca tulisan kritik ini juga pada hakikatnya adalah membaca persepsi atas persepsi. Terjadi beberapa kali decoding dan encoding sehingga kemungkinan terjadi perbedaan penghayatan dan pemahaman. Itulah yang membuat karya seni selalu berada di dalam tegamgan. Berada di dalam tarik-menarik persepsi dan tafsir atas persepsi.
Secara keseluruhan apa yang menjadi kegelisahan dengan ingin ‘menjadi’ dalam “Just Kick the Wall” adalah representasi pertarungan, tidak hanya melawan keterbatasan seperti statemen mereka. Semangat itu kemudian dicitrakan dalam beragam ketakutan, kegamangan, dan juga keraguan. Ketakutan-ketakutan itu mulai tampak pada “Barata Yudha”, “Apa Kabar Pocong”, “Picture of Me” dan “Aku dan Setelah Aku”.
“Untitled #1 - #3” baru kemudian bisa saya dipahami sebagai citraan yang gamang, ragu, serta dalam kecemasan setelah saya mencoba memahami “Untuk aku, DIA, dan Mereka”, “The Harmony of Gesticulation ”, “Baratayudha #1-#3”, dan “Apa Kabar Pocong”. Sedangkan “Picture of Me” baru bisa dipahami setelah saya menafsir ulang “Untitled #1 - #3”. Dari situ saya malah mulai memahami ternyata “Cerita Dari Dunia Maya #1- #5” yang merupakan bagian dari “The Harmony of Gesticulation” karya Tha-tha memang ternyata lebih dari sekedar foto dokumentasi tari.
Tajuk “Just Kick The Wall” bagi saya adalah bagaimana dan mengapa brigadepoto# berusaha keluar dari lingkaran skizofrenia dan ketakutan, yang di dalam Microsoft Encarta 2009 dijelaskan sebagai:
“severe mental illness characterized by a variety of symptoms, including loss of contact with reality, bizarre behavior, disorganized thinking and speech, decreased emotional expressiveness, and social withdrawal. Usually only some of these symptoms occur in any one person”.
Atau, dalam bahasa Yasraf, skizofrenia didefinisikan sebagai
“kekacauan dalam struktur psikis berupa teralienasinya dan tercabutnya seseorang dari realitas: kekacauan dalam struktur bahasa berupa terputusnya rantai pertandaan yang mengaitkan sebuah tanda dengan sebuah makna, sehingga terjadi kekacauan makna”.
Sejauh ini seperti yang tampak dalam pameran, mereka mengartikulasikan berbagai macam simbol keterbatasan dan ketakutan dengan menjadikannya memiliki makna yang saling terikat satu dengan lainnya. Tak ada yang lebih menakutkan selain rasa takut itu sendiri. Simbol bidak catur, logam, manekin, baju, pocong, pohon, atau bahkan kursi goyang tiba-tiba saja menemukan kunci pemahaman dalam tarian seorang Yudistira Syuman yang dipotret oleh Tha-tha. Ketakutan-ketakutan akan keterbatasan itu kemudian tiba-tiba saya rasa bermuara pada konklusi yang terdapat dalam sederetan foto lukisan Ibu karya Doly. Seri foto yang merupakan simulakra (simulacrum) . Simulakra di mana ketakutan-ketakutan itu saling bergaung, memantul sama lain dan lenyap di kerinduan akan seorang Ibu.
Sosok Ibu, di dalam berbagai kebudayaan memiliki posisi yang penting. Di mana selain telah melahirkan, juga ibu selama 1 X 24 jam X 7 hari seminggu X 365 hari setahun hadir untuk merawat anak-anaknya. Ibu juga adalah sosok pelipur lelah seorang anak, yang selalu setia mengusir dan membebaskan anak-anaknya dari ketakutan dan keterbatasan. Mengajari anak merangkak, tengkurap, duduk, berdiri dan berjalan. Tak pernah lelah dan selalu bijak agar anak bisa belajar keluar dari keterbatasan (bergerak terbatas), lepas dari ketakutan (bila jatuh, tetap disemangati agar kembali berdiri). Ibu adalah representasi kasih sayang tanpa akhir, sehingga ada peribahasa Indonesia yang mengungkapkan bahwa “Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang badan”.
“Just Kick The Wall” yang mulanya saya tafsirkan sebagai suatu reaksi atas akan kredo-kredo fotografi yang dirasa mengikat kemudian malah berakhir pada simpulan bahwa semua keterbatasan akan berakhir pada kasih sayang. Lucunya, saya sendiri tidak menyangka bahwa hasil semuanya penafsiran dan analisis akan seperti ini. Semuanya berjalan mengalir begitu saja.
Tentu tidak menutup kemungkinan di lain hari dengan lain pengalaman saya mungkin bisa mendapat tafsir baru yang bukan tidak mungkin akan berbeda dengan penafsiran sekarang. Apalagi tulisan ini tidak berpretensi sebagai tulisan ilmiah yang dikaji secara teoritis, dengan perangkat teori yang canggih, kajian yang mendalam, serta kesimpulan-kesimpulan yang hebat. Walau perlu juga diakui bahwa pengalaman saya mengkaji dan meneliti karya Sastra dengan berlandaskan pada kritik Struktural seperti yang digagas oleh Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Pierce cukup berperan. Yaitu dengan tetap berusaha mengkaji karya berdasar karya fotonya itu sendiri. Berdasarkan unsur-unsur yang ada di dalamnya (warna, komposisi, isi, pencahayaan, teknik, dan lain-lain, termasuk judul, deskripsi, dan cara pengemasan dan presentasi foto yang saya anggap sebagai satu kesatuan). Tanpa bermaksud apapun, saya mengesampingkan semua catatan biografi, catatan pengantar, kuratorial, serta informasi lain yang ada di dalam katalog. Tulisan-tulisan yang saya pakai yang berasal dari pameran ini adalah hanya dari statemen pameran yang ditulis di leaflet/poster/katalog publikasi.
=======================
Bandung, 3 April 2009
Ricky Nugraha
Desainer Grafis, Pecinta Kopi dan Fotografi
:Catatan dari Pameran Foto “Just Kick The Wall”
I
...
It’a never stops dripping. But just try complaining. There must be more than a hundred of them around here. They spend a fortune to set up those big picturesque cirrus. Public relations, they say.
...
(Umberto Eco dalam “The Latest from Heaven”)
Perdebatan tentang apa itu seni berlangsung bahkan jauh sebelum definisi seni itu ditemukan. Berabad-abad lamanya seni diperbincangkan dan didefinisikan. “Seni selalu menolak definisi”, begitu kata Albert Camus. “Dengan demikian seni adalah pemberontakan yang kreatif”, lanjutnya lagi. Begitu pula di saat fotografi yang merupakan new media aesthetic kemudian berkembang dalam banyak wilayah kehidupan manusia. Perdebatan fotografi itu seni atau bukan seni masih mencuat dan menjadi bahan diskusi yang menarik. Sementara itu di dalam fotografi itu sendiri, timbul pula perdebatan tentang apakah karya fotografi itu. Satu pihak menyatakan bahwa fotografi adalah A, satu sisi lain menyatakan fotografi adalah B, dan di sisi lain ada pihak yang mengklaim bahwa fotografi bukan saja A dan B, tetapi juga C.
Michael Risdianto menulis bahwa perdebatan tentang fotografi juga terjadi di awal perkembangannya di Indonesia. Bagaimana seorang karya foto Isidore van Kinsbergen, seorang fotografer yang juga pelukis, ditolak oleh C. Leemans, seorang Kepala Museum Benda Kuno di Leiden yang telah menugaskannya untuk memotret relief di Candi Borobudur pada tahun 1872-1873. Leemans beranggapan bahwa foto-foto relief yang dibuat van Kinsbergen memiliki kesalahan perspektif dan tidak dibuat berdasarkan pandangan keilmuan. Pandangan Leemans yang sempat mematikan karir van Kinsbergen sebagai seorang fotografer, kemudian dibantah oleh Conrad Busken Huet, yang menyatakan bahwa pekerjaan Leemans adalah pekerjaan yang terikat pada aturan formal dan kaku, sedangkan karya van Kinsbergen adalah karya seni.
Perdebatan itu tidak akan berakhir begitu saja, itulah maka kemudian dinyatakan bahwa seni selalu berada dalam tegangan, tension, yang tidak saja berada di wilayah definisi, tetapi juga di wilayah penciptaan dan penafsiran. Wajar saja bila kemudian ada sekelompok anak muda yang merasa perlu melakukan pemberontakan di dalam dunia fotografi dengan meningkatkan tegangan tersebut.
Kelompok itu adalah Brigadepoto#, mirip nama sebuah kelompok gangster jalanan yang sering membuat onar, walau ternyata memang bukan. Pada pameran ke-2 mereka yang bertajuk “Just Kick The Wall”, Brigadefoto# mencoba menawarkan alternatif lain tentang apa itu fotografi menurut mereka. Pameran ini berlangsung 28 Maret s.d. 4 April 2009 di sebuah garasi yang belum selesai di daerah perbukitan di Bandung Utara yang sejuk dan hening.
Sebuah garasi. Betul, keterbatasan nampaknya bukanlah penghalang bagi Brigadefoto# untuk mempresentasikan karya mereka kepada khalayak. Keterbatasan juga adalah hal yang mereka anggap sebagai sebentuk dinding yang perlu ditendang, dan kalau perlu, dihancurkan. “Mari-mari bertarung dengan segala keterbatasan”, demikian teriak mereka.
II
Pertarungan dengan keterbatasan, permasalahan eksistensi, dan keinginan keluar dari keterbatasan adalah wacana besar yang ingin mereka sampaikan. Hal tersebut jelas terpampang dalam leaflet, poster, katalog, juga di ruang pameran. Permasalahan ini tampak pada “Untitled # 1 - #3” karya Sandy ‘Usenk’ J.S. Seri foto yang terdiri dari 3 foto ini dipajang tepat mengawali deretan karya foto lainnya ini. “Untitled#1” adalah foto hitam-putih berbentuk bujur sangkar dengan bingkai hitam dan matte paper. Bentuk foto bujursangkar mungkin didapat dari potongan matte paper putih yang tegas mengelilinginya. Bingkainya sendiri yang berbentuk persegi panjang berukuran lebih besar dari karyanya.
Dalam deskripsinya, Usenk mempersoalkan antara rasa, estetika, dan presisi. Di mana kegalauan hatinya mempertanyakan bagaimana bila ketiga elemen itu muncul sendiri-sendiri. Pada “Untitled #1” Useng memotret sebuah benda, berbahan logam tampaknya, tepat pada sebuah sudut yang simetris. Sesuatu yang berbentuk lonjong dengan alas bulat oval itu dalam fotonya memiliki kedalaman yang dipersepsikan dengan indera mata akan memiliki kedalaman 3 dimensi. Presisi menurut Usenk dalam karyanya itu adalah bentuk-bentuk visual geometris dengan sudut tajam (diwakili oleh sudut-sudut tajam berbentuk siku pada background putih dan foreground hitam yang bersinergi dengan bentuk bujur sangkar).
Pada “Untitled #2” yang merupakan foto warna, Usenk menggunakan bentuk persegi panjang dengan rasio 4:3 seperti bentuk foto pada umumnya. Masih dengan matte paper yang besar sehingga membuat fotonya jauh kecil dari bingkainya. Fotonya sendiri terdiri atas 6 buah catur berselang-seling putih-hitam-putih, mulai dari Menteri Hitam, Menteri Putih, Kuncung/Gajah Hitam, Kuda Putih, pion hitam dan putih . Ke enam buah catur itu berdiri di atas alas berwarna hijau muda yang lembut yang menjadi foreground dengan background berwarna putih.
Sedangkan pada “Untitled #3” yang merupakan foto hitam-putih, Usenk memotret sebagian tajuk pohon sehingga berbentuk siluet. Foto ke tiga ini secara fisik bentuknya sama dengan “Untitled #2”, namun bidang foto ditempatkan beberapa senti meter dari garis tengah imajiner sehingga matte paper atas lebih besar dari bawah.
Mengerutkan kening cukup lama untuk memahami apa yang menjadi fokus karya, sebab “Untitled #1 - #3” berusaha ‘menjebak’ pemahaman audiens dalam deskripsinya yang menyatakan “Antara rasa, estetika, dan presisi: bagaimana bila ketiganya muncul dengan sendiri-sendiri?”. Deskripsi itu seolah mempersilahkan audiens untuk menafsirkan satu per satu fotonya terlepas satu sama lainnya. Padahal karya itu sendiri harus ditafsirkan dalam satu kesatuan sebagai suatu seri yang utuh.
“Untitled #1 - #3” sendiri merupakan representasi dari presisi, estetika, dan rasa yang coba dimunculkan secara terpisah dalam representasi visual yang berbeda. Presisi menurut Usenk adalah bentuk-bentuk geometris yang secara matematis terukur, sedang estetika disimbolkan pada beberapa buah bidak catur, dan rasa dengan bentuk geometris tajuk pepohonan yang tidak beraturan.
“Untitled #1 - #3” lebih merupakan suatu pertanyaan filosofis daripada pernyataan seorang Usenk tentang bagaimana sebuah konsep tentang menjadi. Usenk tidak sedang mengurai sosok manusia di dalam karyanya, tetapi mempertanyakannya. Tataran simbol yang digunakan Usenk adalah simbol yang sehari-hari hadir bersama manusia. Petualangan estetiknya membuat Useng menggunakan simbol-simbol itu untuk hadir dalam makna dan pemahaman baru untuk kemudian dilontarkannya kembali secara fotografis kepada audiens.
Tetapi, pertanyaan Usenk itu mungkin akan menjadi jelas gemanya bila tidak pernah dijawab. Bahkan oleh Usenk sendiri, karena manusia memang dilahirkan ke dunia dengan ketiga elemen itu. Permasalahannya adalah pada komposisi dan cara pemakaiannya yang berbeda pada setiap orang, yang oleh Usenk disimbolkan dengan perbedaan komposisi dan bentuk penyajian karyanya. “Untitled #1 - #3” tampaknya akan menjadi persoalan yang akan dihadapi setiap orang. Itulah yang ingin diutarakan seorang Usenk. Ia melontarkan pertanyaan yang harus dipikirkan setiap orang, dan bukan menjawabnya.
Pada karya berikutnya Erwin G. Zulkarnain menyajikan “Untuk Aku, DIA, dan Mereka”, Sebuah karya foto hitam-putih besar berukuran 20 X 24 inci. “Untuk Aku, DIA, dan Mereka” tampaknya adalah pertanyaan besar Erwin tentang kebenaran, yang di dalam deskripsi karyanya ia menulis “...apakah kebenaran itu bersifat relatif? Atau kebenaran itu bersifat mutlak?”. Fotonya sendiri dapat dideskripsikan sebagai foto 3 buah manekin yang meniru tubuh perempuan, yang dipajang sebagai etalase di sebuah toko pakaian. Manekin-manekin berbentuk setengah badan, dari kaki hingga bawah dada dengan potongan atas berbentuk diagonal. Manekin pertama mengenakan celana panjang, manekin ke dua mengenakan celana pendek sebatas paha, dan manekin ketiga tidak mengenakan apapun selain secarik kertas bertuliskan “diskon 50%” yang dipasang di atas daerah V manekin tersebut.
Karya Erwin bermaksud mempertanyakan kebenaran melalui cara berpakaian perempuan yang menurutnya “Cara berpakaian wanita selalu menjadi hal yang aktual untuk diperdebatkan, karena setiap orang mempunyai alasan masing-masing atas kebenarannya...” Bagi Erwin kebenaran itu relatif atau mutlak seolah dijawab berdasarkan selera berpakaian perempuan. Erwin tidak sedang meluncurkan erotisme dan eksploitasi tubuh perempuan, yang oleh industri fashion didominasi oleh bentuk tubuh yang ramping, jenjang, cantik, dan sensual, yang direpresentasikan dalam manekin-manekin dengan proporsi tubuh yang katanya ideal.
Justru Erwin dalam karyanya mengajak kita untuk merenungi kebenaran yang oleh industri fashion yang mengkomodifikasi perempuan dalam bentuk tubuh tertentu agar bisa menggunakan jenis pakaian tertentu. Atau, bisa jadi Erwin juga sedang menyatakan bahwa kebenaran itu seperti pakaian. Bisa dipakai dan dilepas kapan saja, sesuai dengan selera dan bentuk tubuh masing-masing. Sesuai dengan trend mode yang up to date. Dipakai bila perlu dan dilepas bila ingin.
Karya selanjutnya adalah “The Harmony of Gesticulation” (Harmoni Gestikulasi) judul karya Anitha ‘Tha-tha’ Desyanti. Seperti karya sebelumnya, karya Tha-tha masih berbentuk semacam foto seri yang harus dipahami secara utuh. “The Harmony of Gesticulation” ini terdiri dari dua bagian. Bagian pertama merupakan sebuah seri foto panggung, yang menurut Tha-tha diambil dari adegan-adegan yang terdapat dalam tarian berjudul “Hayati #1 - #3” dengan Chandra Effendi Panatan sebagai koreografernya. Seri foto “Hayati #1 - #3” ini terdiri atas 3 buah foto yang dipasang sedikit curam diurut dari atas ke bawah dengan ukuran masing-masing 12 x 18 inci.
Foto teratas merupakan foto 4 orang penari yang bergerak sejajar dengan bentuk yang berbeda. Penari pertama dari kanan berdiri tegak, penari kedua dan ke tiga sedikit merunduk, dan penari ke empat terlentang di lantai panggung dengan kaki tertekuk diangkat ke atas. Pada foto kedua, ada 6 penari perempuan sedang mangangkat tangannya ke atas dengan kaki sedikit terbuka. Kedua foto ini nyaris berbentuk siluet karena tata cahaya panggungnya yang demikian. Background panggung yang dicahayai sedemikian rupa membuat para penari yang berada di depannya tertangkap kamera menjadi sebuah siluet yang menarik. Pada foto ke-3 kali ini sosok penari lebih jelas karena perubahan tata cahaya panggung dan perubahan sudut pengambilan gambar, di mana Tha-tha menangkap momen formasi tari tertentu.
Pada bagian kedua fotonya yang berjudul “Cerita Dari Dunia Maya #1 - #5”, Tha-tha masih mengambil adegan-adegan tari di atas pentas yang berjudul “Cerita Dari Dunia Maya” yang dikoreografi dan ditarikan oleh Yudistira Syaman. “Cerita Dari Dunia Maya #1 - #5” ini terdiri dari 5 foto, 2 vertikal dan horisontal, yang dipasang dalam satu bingkai yang besar. Dengan menempatkan ke lima foto itu dalam satu bingkai, Tha-tha ingin kita memahami adegan-adegan tari yang dipotretnya dalam satu kesatuan yang utuh. “Cerita Dari Dunia Maya #1 - #5” ini pada masing-masing fotonya menunjukan sang penari dalam berbagai formasi gerak, mulai dari berdiri tegak (foto pertama) hingga duduk kelelahan sambil menyelonjorkan kakinya ke depan dan bersandar pada dinding panggung.
Melalui seri fotonya ini, Tha-tha, satu-satunya perempuan di pameran ini ingin berbagi perasaannya di saat menyaksikan ke dua jenis tarian yang berbeda. Di mana pada tarian pertama di seri foto bertajuk “Hayati #1 - #3” adalah mengenai pergerakan flora dan fauna, dan pada seri foto ke dua “Cerita dari Dunia Maya #1 - #5” adalah tentang penderita skizofrenia. Foto-foto panggung Tha-tha ini lebih dari sekedar foto dokumentasi panggung belaka karena Tha-tha tampaknya tidak puas bila hanya menyajikannya dalam single frame seperti dalam foto-foto salon biasa. Tha-tha ingin menunjukkan pergerakan tubuh manusia yang dieksploitasi dan dimanipulasi sedemikian rupa hingga membentuk rentetan gerak tari yang sangat dinamis. Itu menjelaskan kenapa Tha-tha memakai kata ‘gesticulation’ sebagai judul utamanya serta menempatkan urutan-urutan fotonya berdasar urutan gerak tariannya.
Pada karya selanjutnya, Fana Fadzrikillah mencoba tampil eksentrik dengan “Baratayudha #1 - #3”. Dalam seri foto yang masing-masing berukuran 12 X 16 inci, Fana memulainya justru tidak dengan sebuah foto. Fana memulai karyanya dengan debuah cermin yang dipasang di berhadapan dalam sebuah sudut dengan foto montase seorang laki-laki muda yang membelakangi lensa. Laki-laki itu sedang menatap punggungnya yang ditempeli seekor ikan. Pada foto berikutnya Fana memotret sebuah kemeja berwarna merah yang dibuat menyerupai seseorang lelaki yang sedang duduk di sebuah kursi dengan bunga mawar berawarna merah dan beberapa lembar uang. Melalui karyanya, Fana mengajak kita berperang dengan kita sendiri di mana ia mendeskripsikan dengan “..perang diri saya melawan segala ketakutan yang ada...”.
Mengejutkan karena “Baratayudha #1 - #3” sebetulnya hanya berisi dua foto dan satu cermin. Dengan mengikuti alur karya, pada kali pertama kita dipaksa untuk menatap cermin sebuah cermin. Fana seolah ingin menunjukan ‘foto’ siapa pelaku Barata Yudha melalui cermin tersebut. Cermin itu akan merefleksikan wajah kita sebagai salah satu pelaku Baratayudha. Gagasan Fana menghadirkan sebuah cermin akan menghadapi banyak kontroversi karena cermin bukanlah foto dalam artian sesungguhnya. Cermin, walaupun merepresentasikan diri secara terbalik di dalamnya, bukanlah sebuah foto seperti halnya pas foto yang kita pakai untuk ijazah. Atau bisa jadi sebetulnya Fana mengajak kita untuk menatap foto ke dua (foto montase laki-laki berkaos hitam dengan ikan di punggungnya), membantu laki-laki yang ada di dalam foto untuk melihat ada apa sih yang menempel di punggungnya. Akan menjadi berbeda bila misalnya bila karya ini diletakan sejajar secara bersamaan.
Pada foto ke-empat, hadir single frame karya parodi cerdas Cholid Zain yang berjudul “Apa Kabar Pocong” dengan ukuran 60 x 90 cm. Betul-betul sebuah parodi yang lucu yang mengajak kita menertawakan ketakutan-ketakutan kita sendiri seperti halnya yang dilakukan Cholid. Bagaimana tidak, foto yang berukuran besar ini menampilkan sosok sebentuk Pocong yang hadir tidak hanya dalam cerita dari mulut ke mulut saja. Tetapi juga hadir di bioskop-bioskop dan di rumah kita dalam bentuk film dan sinetron. Herannya lagi, seringkali kita membeli ketakutan akan pocong dengan beramai-ramai antri tiket berjenis film tentang pocong di bioskop. Tidak ada bedanya dengan kita membeli kegembiraan di bioskop yang sama dengan membeli dan menonton film komedi, misalnya, atau membeli dan menonton sebuah pertandingan sepakbola di mana kita bisa tegang, marah, sekaligus gembira di dalamnya.
Lebih komikal lagi karena Cholid memotret pocong tersebut sedang menghadapi mikrofon dan tape recorder yang bertuliskan beberapa nama infotainment televisi, yang juga dipelesetkan. Ada Insect, Goshtsong, juga ada Silat. Persis seperti adegan jumpa pers yang ada di televisi. Cholid sedang melakukan representasi terhadap sosok pocong sebagai selebritis yang patut diwawancarai karena eksploitasi manusia yang kerap menghadirkan pocong sebagai hantu khas Indonesia itu. Dalam deksripsi karyanya yang selanjutnya Cholid menyatakan bahwa karena karena seringnya melihat tayangan film pocong maka ketakutan-ketakutannya akan pocong berangsur sirna.
Apa yang direpresentasikan Cholid dengan pocong sebagai pembawa ketakutan pada dirinya (juga orang Indonesia lainnya) berbeda dengan cara Fana. Mereka sepakat bahwa ketakutan menurut kedua seniman foto itu beranjak dari diri mereka masing-masing. Bila representasi Fana adalah iklan busuk yang menempel di punggung, maka Cholid dengan sosok pocong. Ketakutan pada diri Cholid lebih bersifat eksternal, di mana sumber semua ketakutan ada pada media (film dan televisi yang menjadikan pocong sebagi tokoh utamanya). Representasi ketakutan Cholid adalah pada media yang telah melahirkan pocong dari bentuk lisan (cerita mulut ke mulut) ke dalam bentuk visual (gambar ilustrasi, film, televisi).
Intensitas kehadiran pocong yang tinggi dinyatakan Cholid sebagai selebritas horor adalah dengan adanya elemen foto berupa mikrofon dan tape recoder yang menjadi simbol industri media massa/pers. Secara komikal, Cholid juga seperti menyentil industri media massa yang, bahkan, seringkali bemata dua. Pada satu sisi menyebarkan berita, pada satu sisi lain justru berita itu yang membuat massa menjadi komoditas media itu sendiri.
Saya ingin menghubungkan pernyataan Cholid di akhir deskripsinya sebagai “...membuat saya terbiasa dan dengan sendirinya hilang rasa takut itu” dengan sebuah film yang pernah saya tonton beberapa tahun lalu pada sebuah acara pemutaran film keliling di sebuah kampus. Film “Novel Tanpa Huruf R” yang disutradarai oleh Aria Kusumadewa ini mengetengahkan bagaimana sang tokoh utama yang seorang wartawan kriminal merangkap penulis cerita kriminal-suspense adalah orang yang telah berhasil mengalahkan ketakutannya akan sadisme. Dari kecil ia telah terbiasa melihat darah hewan yang dipotong di rumah potong hewan, dan pengalaman kewartawanannya membuatnya sangat terbiasa dengan darah manusia-manusia akibat korban kekerasan dan penganiayaan. Dengan dingin sang wartawan kriminal mewawancarai dan memotret korban yang megap-megap sekarat, berdarah-darah, seolah tidak ada lagi rasa ngeri di hatinya.
Pada titik ini saya teringat pada “Untitled #1 - #3” di mana Usenk mencoba mempertanyakan eksistensi dirinya sebagai manusia. Saya tiba-tiba memahami bahwa “Untitled #1 - #3” juga merepresentasikan ketakutan. Ketakutan bahwa rasa, estetika, dan presisi akan terlepas dan terpisah satu sama lain. Itulah kenapa di “Untitled #2” hanya ada ‘menteri’ bukannya ‘raja’. Mungkin kehadiran raja adalah legalisasi atas keterpisahan itu. Atau mungkin juga raja yang merupakan simbol kekuasaan tertinggi dalam suatu pemerintahan monarki, jelas dihilangkan, agar tidak ada lagi kekuasaan yang dapat memisahkan rasa-estetika-presisi.
Di sisi lain, setelah sebuah instalasi interaktif, Ricky ‘Emon’ Indrawan hadir melalui karya berjudul “Picture of Me”, sebuah karya foto hitam putih berukuran 20 X 24 inci. “Picture of Me” tampak moderat dengan penyajian yang berbeda dari lainnya. Seolah hendak menyajikan mix media dengan sebuah foto kursi goyang yang simetris berada di tengah. Kursi goyang itu terikat erat ke lima penjuru foto. Background foto dibuat hitam sehitam-hitamnya sehingga kursi goyang rotan dan tali yang mengikatnya tampak kontras dan menonjol dengan memunculkan kedalaman dimensinya. Tetapi rasanya tidak cukup begitu saja. Pada beberapa lima penjuru foto di mana berakhir out of frame, Emon kemudian menyambung seutas tali ‘beneran’ dengan tali pada foto dengan cara menempelkannya. Sehingga akan tercipta kesan bahwa tali tersebut adalah bagian dari sebuah foto. Tak cukup dengan itu, tali-tali tersebut diikat dengan erat dalam beberapa belitan pada bingkai kayu.
Suatu presentasi yang jenial saya rasa. Karya Emon yang merupakan mix media antara foto, kayu, tali, logam, dan dua lapis akrilik lebih dari cukup untuk menggambarkan ketakutan serta harapan untuk lepas darinya. Kehidupan yang penuh guncangan yang disimbolkan dengan kursi goyang --sesuai namanya pasti akan bergoyang-goyang bila diduduki--, tali yang terikat kencang pada kursi hingga seolah menembusnya hingga ke luar kertas foto adalah simbol upaya untuk meredakan guncangan. Kayu bingkai berwarna hitam pun dimanfaatkan untuk menyimbolkan sesuatu yang dianggapnya mampu menahan goyangan sang kursi goyang. Bahkan lebih dari itu, Emon menutupi seluruh area fotonya dengan 2 lapis akrilik bening masing-masing setebal 1 mm yang dipancangnya dengan 4 baut logam.
Emon menginginkan ketenangan dan ketentraman di atas sebuah kursi goyang. “..Petarung sejati yang ingin hidup tentram dan damai tanpa adanya suatu keterikatan”, demikian deskripsi karyanya. “Picture of Me” sepertinya menjadi representasi ketakutan manusia akan hidup. Keinginan untuk tenang, tentram, damai dan merdeka dari segala keterikatan, yang justru membuatnya harus terikat kencang ke mana-mana. Kursi goyang bagi beberapa orang melambangkan kesenangan, ketentraman, sikap yang konservatif setelah melewati berbagai pertarungan hidup, namun masih saja menakutkan. Masih menimbulkan goyangan-goyangan. Oleh karena itu harus diikat seerat mungkin agar kursi goyang tak lagi bergoyang.
Irwan Hakim menyajikan “Aku dan Sebelum Aku”, sebuah kolase foto yang terdiri atas 22 baris dengan 11 kolom. Kolase foto itu berjumlah sebanyak 220 lembar foto 3R dengan dimensi 55 X 77 inci. Pada deskripsinya, dengan mengutip data dari CIFOR (Centre of International Forestry Research-Pusat Penelitian Kehutanan Internasional), karya ini mencoba mengingatkan kita bahwa pohon yang ditebang untuk industri pulp dan kertas diambil dari hutan alam yang semakin berkurang. Dengan memasang ratusan kolase foto pohon yang hendak ditebang, mulai foto tajuk pohon di bagian teratas kolase hingga foto akar di bagian bawah, Irwan menyatakan betapa masifnya manusia dalam menyikapi permasalahan kertas dan hutan. Permasalahan yang dalam karyanya menuntut untuk disikapi. Bahkan secara sadar Irwan melakukan otokritik dan kritik terhadap dunia fotografi yang digelutinya. Di mana fotografi harus dan masih identik dengan mencetak hasilnya di atas kertas. Bagaimana sebetulnya Irwan merasa gamang menghadapi rakusnya industri dan pelaku fotografi –baik itu fotografer pro, media, amatir, hiburan, ataupun fotografi seni—yang terus menggunakan kertas dalam jumlah yang sangat besar.
Pada bagian terakhir, ada Doly Harahap yang mengajak kita untuk merenung dengan “Mencari Alamat #1 - #11), yang terdiri dari 11 foto hitam putih berformat vertikal berukuran 8 X 12 inci yang masing-masing dipasang di atas styrofoam putih dan disusun dalam urutan 3-2-1-2-3. Doly, seperti yang diungkapkan dalam deskripsinya, merasakan kerinduan akan kehadiran seorang ibu.
Doly melakukan eksplorasi yang menarik dengan lukisan tangan (hand drawing) yang dianggapnya mencitrakan sosok Ibu dalam setiap fotonya. Lukisan itu selalu hadir dengan berbagai macam sikap dan keinginan. Misalnya saja Doly merasa bahwa Ibu adalah sosok misterius. Doly menutupi wajah Ibu dengan kain Ulos hingga menyisakan bagian mata ke atas. Doly juga ingin merasakan menyentuh ibu, memotret lukisan itu dengan sebuah tangan hitam yang seolah hendak menjamah wajah sang Ibu. Pada foto lain ia juga merasakan rindu pada sosok Ibu yang akan menciptakan silaturahmi yang dicitrakan Doly dengan melakukan montase dua pasang tangan sedang bersalaman, yang Doly nyatakan sangat kuat dalam 3 buah foto yang mirip.
Tetapi Doly juga tidak menafik kenyataan bahwa sosok Ibu juga telah pernah ia sia-siakan dengan mencitrakan sepasang sepatu boot yang sudah usang yang menjejak di atas lukisan Ibu. “Mencari Alamat #1 - #11” adalah seri yang lirih dan merintih dengan kerinduan yang amat sangat. Tidak ada ketakutan di sini, yang ada hanya kerinduan dan juga mungkin penyesalan. Itu yang membedakannnya dengan karya-karya lainnya.
III
Saya mencoba memahami tajuk “Just Kick The Wall” dengan melakukan ‘thawaf’ mengelilingi galeri Gawir 81 sebanyak 2 atau 3 kali. Pertama kali saya mengikuti arah konvensional dari kiri ke kanan searah putaran jarum jam, yang dimulai dari “Mencari Alamat #1 - #11” dan berakhir di “Untitled#1-#3”. Pada kali kedua dan atau selanjutnya, saya memutar kebalikan jarum jam, yakni dari kanan ke kiri (lihat catatan kaki no. 4). Agak sulit memahami apa sih yang diinginginkan brigadepoto# bila hanya sekedar mengunjungi pameran saja. Saya juga membuat beberapa catatan di buku notes serta memotret hampir semua karya (termasuk instalasi) dengan kamera digital. Mengunjungi pameran selama lebih kurang 1 jam dan kemudian menghabiskan waktu lebih dari 12 jam untuk membaca, mencari referensi, membuka file-file foto karya yang diambil hari sebelumnya dan menuliskan catatan ini serta menyuntingnya.
Membuat saya lebih berkeringat karena apa yang ditawarkan brigadepoto# berbeda dengan foto-foto yang biasa saya lihat selama ini. Dalam bulan Maret yang baru lalu hingga minggu pertama April 2009 ini ada sekitar 4 pameran foto yang saya kunjungi. 3 pameran foto pertama pada umumnya menawarkan foto-foto yang realis, yang struktur simboliknya saya rasa tidak sedalam “Just Kick the Wall”, karena pada umumnya foto-foto tersebut merupakan foto jurnalistik, foto bergaya jurnalistik, hingga semi dokumentasi. Artinya pemahaman maknanya cenderung seperti apa yang terdapat di dalam foto. Pohon ya berarti pohon, merah ya merah. Seperti sedang membaca kumpulan cerpen atau sebuah novel dengan gaya bahasa yang tidak bersayap. Atau semacam jurnal yang ditulis dengan gaya bahasa yang lugas.
Tetapi tidak demikian dengan “Just Kick the Wall”. “Just Kick the Wall” bagi saya adalah membaca puisi dalam bahasa Indian yang ditulis orang Mesir, diterjemahkan oleh orang Batak, lalu dibaca seorang Sunda. Ada struktur yang rumit di dalamnya, yang saya fikir, para fotografernya sendiri mungkin tidak menyadarinya.
Fotografi pada intinya adalah persepsi . Melihat dan ‘membaca’ karya foto juga adalah persepsi atas persepsi. Menuliskan sebuah kritik adalah menuliskan persepsi. Membaca tulisan kritik ini juga pada hakikatnya adalah membaca persepsi atas persepsi. Terjadi beberapa kali decoding dan encoding sehingga kemungkinan terjadi perbedaan penghayatan dan pemahaman. Itulah yang membuat karya seni selalu berada di dalam tegamgan. Berada di dalam tarik-menarik persepsi dan tafsir atas persepsi.
Secara keseluruhan apa yang menjadi kegelisahan dengan ingin ‘menjadi’ dalam “Just Kick the Wall” adalah representasi pertarungan, tidak hanya melawan keterbatasan seperti statemen mereka. Semangat itu kemudian dicitrakan dalam beragam ketakutan, kegamangan, dan juga keraguan. Ketakutan-ketakutan itu mulai tampak pada “Barata Yudha”, “Apa Kabar Pocong”, “Picture of Me” dan “Aku dan Setelah Aku”.
“Untitled #1 - #3” baru kemudian bisa saya dipahami sebagai citraan yang gamang, ragu, serta dalam kecemasan setelah saya mencoba memahami “Untuk aku, DIA, dan Mereka”, “The Harmony of Gesticulation ”, “Baratayudha #1-#3”, dan “Apa Kabar Pocong”. Sedangkan “Picture of Me” baru bisa dipahami setelah saya menafsir ulang “Untitled #1 - #3”. Dari situ saya malah mulai memahami ternyata “Cerita Dari Dunia Maya #1- #5” yang merupakan bagian dari “The Harmony of Gesticulation” karya Tha-tha memang ternyata lebih dari sekedar foto dokumentasi tari.
Tajuk “Just Kick The Wall” bagi saya adalah bagaimana dan mengapa brigadepoto# berusaha keluar dari lingkaran skizofrenia dan ketakutan, yang di dalam Microsoft Encarta 2009 dijelaskan sebagai:
“severe mental illness characterized by a variety of symptoms, including loss of contact with reality, bizarre behavior, disorganized thinking and speech, decreased emotional expressiveness, and social withdrawal. Usually only some of these symptoms occur in any one person”.
Atau, dalam bahasa Yasraf, skizofrenia didefinisikan sebagai
“kekacauan dalam struktur psikis berupa teralienasinya dan tercabutnya seseorang dari realitas: kekacauan dalam struktur bahasa berupa terputusnya rantai pertandaan yang mengaitkan sebuah tanda dengan sebuah makna, sehingga terjadi kekacauan makna”.
Sejauh ini seperti yang tampak dalam pameran, mereka mengartikulasikan berbagai macam simbol keterbatasan dan ketakutan dengan menjadikannya memiliki makna yang saling terikat satu dengan lainnya. Tak ada yang lebih menakutkan selain rasa takut itu sendiri. Simbol bidak catur, logam, manekin, baju, pocong, pohon, atau bahkan kursi goyang tiba-tiba saja menemukan kunci pemahaman dalam tarian seorang Yudistira Syuman yang dipotret oleh Tha-tha. Ketakutan-ketakutan akan keterbatasan itu kemudian tiba-tiba saya rasa bermuara pada konklusi yang terdapat dalam sederetan foto lukisan Ibu karya Doly. Seri foto yang merupakan simulakra (simulacrum) . Simulakra di mana ketakutan-ketakutan itu saling bergaung, memantul sama lain dan lenyap di kerinduan akan seorang Ibu.
Sosok Ibu, di dalam berbagai kebudayaan memiliki posisi yang penting. Di mana selain telah melahirkan, juga ibu selama 1 X 24 jam X 7 hari seminggu X 365 hari setahun hadir untuk merawat anak-anaknya. Ibu juga adalah sosok pelipur lelah seorang anak, yang selalu setia mengusir dan membebaskan anak-anaknya dari ketakutan dan keterbatasan. Mengajari anak merangkak, tengkurap, duduk, berdiri dan berjalan. Tak pernah lelah dan selalu bijak agar anak bisa belajar keluar dari keterbatasan (bergerak terbatas), lepas dari ketakutan (bila jatuh, tetap disemangati agar kembali berdiri). Ibu adalah representasi kasih sayang tanpa akhir, sehingga ada peribahasa Indonesia yang mengungkapkan bahwa “Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang badan”.
“Just Kick The Wall” yang mulanya saya tafsirkan sebagai suatu reaksi atas akan kredo-kredo fotografi yang dirasa mengikat kemudian malah berakhir pada simpulan bahwa semua keterbatasan akan berakhir pada kasih sayang. Lucunya, saya sendiri tidak menyangka bahwa hasil semuanya penafsiran dan analisis akan seperti ini. Semuanya berjalan mengalir begitu saja.
Tentu tidak menutup kemungkinan di lain hari dengan lain pengalaman saya mungkin bisa mendapat tafsir baru yang bukan tidak mungkin akan berbeda dengan penafsiran sekarang. Apalagi tulisan ini tidak berpretensi sebagai tulisan ilmiah yang dikaji secara teoritis, dengan perangkat teori yang canggih, kajian yang mendalam, serta kesimpulan-kesimpulan yang hebat. Walau perlu juga diakui bahwa pengalaman saya mengkaji dan meneliti karya Sastra dengan berlandaskan pada kritik Struktural seperti yang digagas oleh Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Pierce cukup berperan. Yaitu dengan tetap berusaha mengkaji karya berdasar karya fotonya itu sendiri. Berdasarkan unsur-unsur yang ada di dalamnya (warna, komposisi, isi, pencahayaan, teknik, dan lain-lain, termasuk judul, deskripsi, dan cara pengemasan dan presentasi foto yang saya anggap sebagai satu kesatuan). Tanpa bermaksud apapun, saya mengesampingkan semua catatan biografi, catatan pengantar, kuratorial, serta informasi lain yang ada di dalam katalog. Tulisan-tulisan yang saya pakai yang berasal dari pameran ini adalah hanya dari statemen pameran yang ditulis di leaflet/poster/katalog publikasi.
=======================
Bandung, 3 April 2009
Ricky Nugraha
Desainer Grafis, Pecinta Kopi dan Fotografi