2.05.2010
Peluang Dakwah di Kepulauan Seribu
Peluang Dakwah Di Kepulauan Seribu - For more funny videos, click here
Director's Cut. PSA untuk Badan Wakaf Alquran (BWA) Jakarta (www. wakafquran.org), mengenai masalah transportasi di Kabupaten Kepulauan Seribu, Jakarta korelasinya dengan pengembangan dakwah Islam. Videografi: Ricky N. Sastramihardja. Naskah-Narator: Novian Kusmana.
BH ETA X - 2003
Are You Gonna Go My Way? - For more amazing video clips, click here
My early videography project... Long time before I knew and sure that videography certainly will become one of my assignment.
MX Bloopers
MX Bloopers - For more of the funniest videos, click here
MX Blooper at local champhionship held in Bandung Indonesia on 2007. Special thx for Mr. Deni Ceuyah Kadallica. Cameraman: Agung Gumelar, Ricky N. Sastramihardja. Editor: Ricky N. Sastramihardja.
2.04.2010
Menatap Masa Depan - Serial Foto 1
12.07.2009
Saat Kematian Menjadi Pilihan
Catatan Pribadi dari Pementasan “Umang-Umang atawa Orkes Madun 2” Oleh Teater Lakon UPI
Dari pementasan naskah “Umang-umang atawa Orkes Madun 2” (selanjutnya: UUM) yang dipentaskan oleh Teater Lakon UPI pada Sabtu 5 Desember 2009 kemarin, saya akan mengawali catatan ini dengan kritis: Music score-nya OK, tetapi theme song-nya tidak begitu suka. Bukan karena jelek, tetapi karena masih kurang madun, kurang greget. Saya pikir memang harus lebih banyak mengekplorasi musik melayu, bukan dangdut. Mungkin karena kata ‘madun’ yang artinya joget, mengingatkan saya akan meriahnya musik Melayu seperti yang diceritakan seorang kawan yang lahir dan besar dalam kebudayaan Melayu di Sumatera.
Itu memang penilaian subjektif. Tetapi dari keseluruhan saya pikir Dedi Warsana cukup berhasil membawa Teater Lakon UPI ke tataran kelompok teater mahasiswa yang lebih jauh. Saya tahu persis bagaimana sulitnya membangun teater yang penuh gairah di tengah gencarnya godaan menjadi artis sinetron yang bening atau aktor film yang kinclong dengan ribuan fans yang rela melakukan apa saja untuk dekat dengan sang idola. Bahkan dewasa ini, rasanya bukan teater mahasiswa saja yang kepayahan. Kelompok-kelompok teater besar pun sepertinya mengalami fenomena yang sama. Mungkin, Facebook dan sinetron lebih menarik daripada mengeksplorasi seni peran dan berakting di atas pentas. Karena hidup bersama dan di dalam kelompok teater memerlukan aktivitas fisik, jiwa, juga militansi ekstra. Tidak sekedar sebagai penyalur ekspresi dan ideologi berkesenian.
Cukup berhasil karena UUM ini adalah adalah naskah teater yang bisa dibilang klasik dan fenomenal. Ditulis oleh alm. Arifin C. Noer, UUM merupakan sebuah naskah yang memerlukan banyak pemeran. Dari segi jumlah pemeran, UUM adalah naskah kolosal. Tentu saja bukan hal yang mudah menyatukan banyak pemain dalam teater, apalagi teater mahasiswa non-seni seperti halnya UPI. Hal ini juga dirasakan oleh Teater Tetas dalam pementasan naskah yang sama di Jakarta beberapa waktu lalu. Karena seperti saya bilang, teater bukanlah tempat yang gemerlap dan berbintang-bintang seperti sinetron. Tidak ada kelimpahan materi atau sanjungan di dunia ini, bahkan sebaliknya. Sehabis bermain para akor dan aktris teater harus pula membereskan panggung dan set-nya. Membongkar panggung, membongkar dan merapikan instalasi lampu, sampai menerima semprotan dari orangtua para aktris karena anak gadisnya bari tiba di rumah menjelang subuh dalam kedaan lusuh. Itulah mengapa saya katakan juga teater memerlukan aktivitas jiwa, fisik, dan militansi ekstra.
Saya sangat suka berbagai aspek dalam pentas ini. Sungguh. Make-up karakter yang rapi dan sangat membangun karakteristik, tata lampu yang apik, artistik panggung yang imajinatif, koreografi dan bloking yang asyik, serta kualitas akting para aktor dan aktris yang terlibat. Kotak-kotak kayu diubah dan dimanipulasi sedemikian rupa sehingga penonton percaya bahwa kotak-kotak kayu itu bisa menjelma menjadi pulau, gedung, tempat tidur, bahkan bukit yang tinggi. Kostumnya pun menarik. Terlebih kostum Waska yang menurut saya futuristik, kostum Ranggong yang bergaya rocker, atau kostum Bigayah yang sangat lonte.
Padahal, menurut sang Sutradara dalam perbincangan usai pementasan, hampir setengahnya adalah pemain baru. Selain itu seorang pemain kunci tiba-tiba menghilang sebelum gladiresik berlangsung. Walhasil Dedi Warsana terpaksa bekerja keras meringkas beberapa bagian naskah dan terpaksa turut bermain menjadi tokoh Jonathan sang Seniman, menggantikan pemainnya yang menghilang hingga pertunjukan berakhir. Saya bisa membayangkan bagaimana seorang Dedi Warsana, yang selain harus menjadi sutradara juga harus bertindak sebagai pelatih moral dan disiplin yang ketat. Pengalamannya sebagai aktor teater kawakan mampu membuat para aktor dan aktris pemula dalam UUM ini tetap militan hingga saat terakhir. Tentu saja terkecuali aktor yang menghilang itu, yang tidak kuat menahan tekanan mental bahkan jauh sebelum pertunjukan mulai.
Walau demikian, masih ada pertanyaan lain, terutama dari segi make up karakter yang menurut saya masih ‘begitu-begitu juga’. Seolah menjadi suatu stereotip bahwa make-up karakter haruslah selalu seperti itu. Harus coreng-moreng di sana-ini sehingga membuat penampilan para pemeran sangat jauh dengan para aktor-aktris di sinetron atau reality show, yang walaupun jahat, miskin dan marjinal tetapi tetap terlihat ganteng dan cantik. Pada tokoh-tokoh kunci, make up tersebut memang berhasil membangun karakter, tapi pada beberapa peran kecil yang terjadi justru sebaliknya.
Dari segi cerita, UUM adalah naskah yang sangat kontekstual dengan perkembangan dunia nyata dewasa ini. UUM menceritakan fanatisme sekelompok kaum marjinal yang berprofesi sebagi perampok, copet, pelacur, serta sekumpulan masyarakat yang tidak akan pernah masuk dalam sensus negara baik-baik ini; seolah-olah berhadapan dengan kondisi di dunia nyata. Kondisi di mana sistem kleptokrasi (maling menjadi penguasa dan penguasa menjadi maling) menjadi panglima, di mana pencurian dan korupsi adalah sabda yang tak terbantahkan dan diamini banyak orang. Bagaimana sang Pemimpin kelompok marjinal-proletar itu, Waska, begitu berambisi untuk merampok dan merampas semua harta benda orang-orang kaya. Waska menekankan merampok bukan sebagai aktivitas kejahatan demi perut, tetapi sebuah perjuangan ideologis. Waska, sembuh dari sakit kerasnya setelah mengkonsumsi jamu dadar bayi yang disediakan abdinya yang setia, Ranggong dan Borok, kemudian hidup beratus tahun lamanya. Waska pun hidup dalam gelombang demi gelombang kejahatan yang ia ciptakan sendiri.
Namun bukanlah manusia bila tidak merasa bosan. Waska, Ranggong, dan Borok, merasa rindu akan masa lalu. Karena setelah semua teman-teman dan anggota kelompoknya mati, Waska yang hidup abadi setelah mengkonsumsi jamu dadar bayi, merasa sunyi. Waska merasakan bahwa kematian adalah pilihan, bukan takdir maka kemudian ia memilih dan meminta untuk mati. Waska, Ranggong, dan Borok pun akhirnya mati setelah mereka merasa lelah dan putus asa karena tak mati-mati.
Pemeran Waska pun saya pikir cukup baik untuk aktor seusianya. Sebagai karakter sentral, tokoh Waska ini sebetulnya diperankan bersamaan dengan tokoh Semar. Dengan kata lain, sang aktor harus memerankan dua karakter , Waska dan Semar, secara bergantian (double casting). Pemeranan yang berhasil lainnya saya pikir adalah pemeranan tokoh Borok. Borok adalah satir yang secara visual sangat mendukung. Tampang sangar dengan kumis baplang stereotip ala centeng tetapi dialognya cenderung kocak dan ‘nonjok’. Kerapkali tokoh ini mengucapkan kata “modar” di saat yang tepat. Atau aksen Sunda yang tiba-tiba lolos dalam beberapa dialog membuat pentas menjadi lebih hidup dan segar.
Pemeranan tokoh Borok ini juga mampu menutup kelemahan tokoh waska dan Ranggong yang dalam beberapa adegan awal tampak kedodoran karena tempo pementasan yang relatif cepat. Bahkan bisa dibilang sebetulnya tokoh Borok ini adalah tokoh penentu keberhasilan pementasan keseluruhan.
Dedi Warsana, sutradara bermain pun, bisa membuat pertunjukan ini tetap berada di relnya. Tidak lantas terjebak pada gaya pementasan longser atau lenong, walau para pemain kerapkali mengajak interaksi dengan penonton dalam monolognya. Para musisi pun saya dengar merespon para aktor-aktris di panggung dengan celetukan-celetukan yang membuat pertunjukan menjadi meriah. Satu hal yang mungkin cukup menarik adalah Dedi Warsana bisa membuat UUM ini seolah-olah menjadi sangat Sunda. Para aktor dan aktrisnya tampaknya diberi kebebasan untuk melontarkan beberapa joke atau banyolan dan dialog yang khas, yang nyunda banget.
Agak sulit memang untuk menulis opini ini secara objektif karena saya belum pernah membaca naskah atau sinopsis UUM sebelumnya. Pun saat pementasan, saya luput tidak mendapatkan brosur atau apapun itu, yang di dalamnya berisi sinopsis , nama-nama aktor dan aktris, pengantar, atau catatan lain mengenai pementasan ini. Selain itu, secara pribadi sudah lama sekali tidak berkecimpung di kelompok teater. Baik sebagai pemain, penata lampu, atau sekedar menonton. Sepanjang pementasan UUM saya harus membagi fokus antara memotret, mencerna pementasan, juga melamunkan masa lalu. Di sela-sela pementasan tiba-tiba saja merasa rindu pada Teater Bedeng Hunian BH, Tepass Pamass, Lises, juga GSSTF dengan Parade Mei-nya. Di mana hampir 3/4 masa studi di Sastra Unpad saya habiskan untuk hidup dan membina diri di dalam kegiatan kesenian yang diadakan kelompok-kelompok itu.
Kekurangan lain dari pementasan ini adalah saat saya menyadari bahwa kamera saya tak cukup gegas untuk mengambil gambar-gambar cepat di atas panggung yang kerap kurang cahaya. Menaikkan ISO ke 1600 hanya membuat gambar yang dihasilkan tidak memuaskan karena noisenya sangat mengganggu. Memikirkan kamera baru membuat saya tiba-tiba berada di dalam pusaran kelompok rampok yang dipimpin Waska. Saya tiba-tiba merindukan kehadiran tokoh Waska untuk bisa memimpin sebuah gerakan anti moralitas yang jujur. Ingin rasanya menggedor toko untuk mendapatkan kamera yang lebih canggih dan lebih baik, serta lebih mahal. Mungkin saya harus memakan jamu dadar bayi seperti Waska agar bisa bersabar menunggu saat itu tiba. Mungkin...
also available on: http://www.facebook.com/note.php?created&&suggest¬e_id=196920617756#/notes/ricky-n-sastramihardja/saat-kematian-menjadi-pilihan/196920617756
foto: http://www.facebook.com/album.php?aid=127946&id=715618858&saved#/album.php?aid=127946&id=715618858&ref=nf
Dari pementasan naskah “Umang-umang atawa Orkes Madun 2” (selanjutnya: UUM) yang dipentaskan oleh Teater Lakon UPI pada Sabtu 5 Desember 2009 kemarin, saya akan mengawali catatan ini dengan kritis: Music score-nya OK, tetapi theme song-nya tidak begitu suka. Bukan karena jelek, tetapi karena masih kurang madun, kurang greget. Saya pikir memang harus lebih banyak mengekplorasi musik melayu, bukan dangdut. Mungkin karena kata ‘madun’ yang artinya joget, mengingatkan saya akan meriahnya musik Melayu seperti yang diceritakan seorang kawan yang lahir dan besar dalam kebudayaan Melayu di Sumatera.
Itu memang penilaian subjektif. Tetapi dari keseluruhan saya pikir Dedi Warsana cukup berhasil membawa Teater Lakon UPI ke tataran kelompok teater mahasiswa yang lebih jauh. Saya tahu persis bagaimana sulitnya membangun teater yang penuh gairah di tengah gencarnya godaan menjadi artis sinetron yang bening atau aktor film yang kinclong dengan ribuan fans yang rela melakukan apa saja untuk dekat dengan sang idola. Bahkan dewasa ini, rasanya bukan teater mahasiswa saja yang kepayahan. Kelompok-kelompok teater besar pun sepertinya mengalami fenomena yang sama. Mungkin, Facebook dan sinetron lebih menarik daripada mengeksplorasi seni peran dan berakting di atas pentas. Karena hidup bersama dan di dalam kelompok teater memerlukan aktivitas fisik, jiwa, juga militansi ekstra. Tidak sekedar sebagai penyalur ekspresi dan ideologi berkesenian.
Cukup berhasil karena UUM ini adalah adalah naskah teater yang bisa dibilang klasik dan fenomenal. Ditulis oleh alm. Arifin C. Noer, UUM merupakan sebuah naskah yang memerlukan banyak pemeran. Dari segi jumlah pemeran, UUM adalah naskah kolosal. Tentu saja bukan hal yang mudah menyatukan banyak pemain dalam teater, apalagi teater mahasiswa non-seni seperti halnya UPI. Hal ini juga dirasakan oleh Teater Tetas dalam pementasan naskah yang sama di Jakarta beberapa waktu lalu. Karena seperti saya bilang, teater bukanlah tempat yang gemerlap dan berbintang-bintang seperti sinetron. Tidak ada kelimpahan materi atau sanjungan di dunia ini, bahkan sebaliknya. Sehabis bermain para akor dan aktris teater harus pula membereskan panggung dan set-nya. Membongkar panggung, membongkar dan merapikan instalasi lampu, sampai menerima semprotan dari orangtua para aktris karena anak gadisnya bari tiba di rumah menjelang subuh dalam kedaan lusuh. Itulah mengapa saya katakan juga teater memerlukan aktivitas jiwa, fisik, dan militansi ekstra.
Saya sangat suka berbagai aspek dalam pentas ini. Sungguh. Make-up karakter yang rapi dan sangat membangun karakteristik, tata lampu yang apik, artistik panggung yang imajinatif, koreografi dan bloking yang asyik, serta kualitas akting para aktor dan aktris yang terlibat. Kotak-kotak kayu diubah dan dimanipulasi sedemikian rupa sehingga penonton percaya bahwa kotak-kotak kayu itu bisa menjelma menjadi pulau, gedung, tempat tidur, bahkan bukit yang tinggi. Kostumnya pun menarik. Terlebih kostum Waska yang menurut saya futuristik, kostum Ranggong yang bergaya rocker, atau kostum Bigayah yang sangat lonte.
Padahal, menurut sang Sutradara dalam perbincangan usai pementasan, hampir setengahnya adalah pemain baru. Selain itu seorang pemain kunci tiba-tiba menghilang sebelum gladiresik berlangsung. Walhasil Dedi Warsana terpaksa bekerja keras meringkas beberapa bagian naskah dan terpaksa turut bermain menjadi tokoh Jonathan sang Seniman, menggantikan pemainnya yang menghilang hingga pertunjukan berakhir. Saya bisa membayangkan bagaimana seorang Dedi Warsana, yang selain harus menjadi sutradara juga harus bertindak sebagai pelatih moral dan disiplin yang ketat. Pengalamannya sebagai aktor teater kawakan mampu membuat para aktor dan aktris pemula dalam UUM ini tetap militan hingga saat terakhir. Tentu saja terkecuali aktor yang menghilang itu, yang tidak kuat menahan tekanan mental bahkan jauh sebelum pertunjukan mulai.
Walau demikian, masih ada pertanyaan lain, terutama dari segi make up karakter yang menurut saya masih ‘begitu-begitu juga’. Seolah menjadi suatu stereotip bahwa make-up karakter haruslah selalu seperti itu. Harus coreng-moreng di sana-ini sehingga membuat penampilan para pemeran sangat jauh dengan para aktor-aktris di sinetron atau reality show, yang walaupun jahat, miskin dan marjinal tetapi tetap terlihat ganteng dan cantik. Pada tokoh-tokoh kunci, make up tersebut memang berhasil membangun karakter, tapi pada beberapa peran kecil yang terjadi justru sebaliknya.
Dari segi cerita, UUM adalah naskah yang sangat kontekstual dengan perkembangan dunia nyata dewasa ini. UUM menceritakan fanatisme sekelompok kaum marjinal yang berprofesi sebagi perampok, copet, pelacur, serta sekumpulan masyarakat yang tidak akan pernah masuk dalam sensus negara baik-baik ini; seolah-olah berhadapan dengan kondisi di dunia nyata. Kondisi di mana sistem kleptokrasi (maling menjadi penguasa dan penguasa menjadi maling) menjadi panglima, di mana pencurian dan korupsi adalah sabda yang tak terbantahkan dan diamini banyak orang. Bagaimana sang Pemimpin kelompok marjinal-proletar itu, Waska, begitu berambisi untuk merampok dan merampas semua harta benda orang-orang kaya. Waska menekankan merampok bukan sebagai aktivitas kejahatan demi perut, tetapi sebuah perjuangan ideologis. Waska, sembuh dari sakit kerasnya setelah mengkonsumsi jamu dadar bayi yang disediakan abdinya yang setia, Ranggong dan Borok, kemudian hidup beratus tahun lamanya. Waska pun hidup dalam gelombang demi gelombang kejahatan yang ia ciptakan sendiri.
Namun bukanlah manusia bila tidak merasa bosan. Waska, Ranggong, dan Borok, merasa rindu akan masa lalu. Karena setelah semua teman-teman dan anggota kelompoknya mati, Waska yang hidup abadi setelah mengkonsumsi jamu dadar bayi, merasa sunyi. Waska merasakan bahwa kematian adalah pilihan, bukan takdir maka kemudian ia memilih dan meminta untuk mati. Waska, Ranggong, dan Borok pun akhirnya mati setelah mereka merasa lelah dan putus asa karena tak mati-mati.
Pemeran Waska pun saya pikir cukup baik untuk aktor seusianya. Sebagai karakter sentral, tokoh Waska ini sebetulnya diperankan bersamaan dengan tokoh Semar. Dengan kata lain, sang aktor harus memerankan dua karakter , Waska dan Semar, secara bergantian (double casting). Pemeranan yang berhasil lainnya saya pikir adalah pemeranan tokoh Borok. Borok adalah satir yang secara visual sangat mendukung. Tampang sangar dengan kumis baplang stereotip ala centeng tetapi dialognya cenderung kocak dan ‘nonjok’. Kerapkali tokoh ini mengucapkan kata “modar” di saat yang tepat. Atau aksen Sunda yang tiba-tiba lolos dalam beberapa dialog membuat pentas menjadi lebih hidup dan segar.
Pemeranan tokoh Borok ini juga mampu menutup kelemahan tokoh waska dan Ranggong yang dalam beberapa adegan awal tampak kedodoran karena tempo pementasan yang relatif cepat. Bahkan bisa dibilang sebetulnya tokoh Borok ini adalah tokoh penentu keberhasilan pementasan keseluruhan.
Dedi Warsana, sutradara bermain pun, bisa membuat pertunjukan ini tetap berada di relnya. Tidak lantas terjebak pada gaya pementasan longser atau lenong, walau para pemain kerapkali mengajak interaksi dengan penonton dalam monolognya. Para musisi pun saya dengar merespon para aktor-aktris di panggung dengan celetukan-celetukan yang membuat pertunjukan menjadi meriah. Satu hal yang mungkin cukup menarik adalah Dedi Warsana bisa membuat UUM ini seolah-olah menjadi sangat Sunda. Para aktor dan aktrisnya tampaknya diberi kebebasan untuk melontarkan beberapa joke atau banyolan dan dialog yang khas, yang nyunda banget.
Agak sulit memang untuk menulis opini ini secara objektif karena saya belum pernah membaca naskah atau sinopsis UUM sebelumnya. Pun saat pementasan, saya luput tidak mendapatkan brosur atau apapun itu, yang di dalamnya berisi sinopsis , nama-nama aktor dan aktris, pengantar, atau catatan lain mengenai pementasan ini. Selain itu, secara pribadi sudah lama sekali tidak berkecimpung di kelompok teater. Baik sebagai pemain, penata lampu, atau sekedar menonton. Sepanjang pementasan UUM saya harus membagi fokus antara memotret, mencerna pementasan, juga melamunkan masa lalu. Di sela-sela pementasan tiba-tiba saja merasa rindu pada Teater Bedeng Hunian BH, Tepass Pamass, Lises, juga GSSTF dengan Parade Mei-nya. Di mana hampir 3/4 masa studi di Sastra Unpad saya habiskan untuk hidup dan membina diri di dalam kegiatan kesenian yang diadakan kelompok-kelompok itu.
Kekurangan lain dari pementasan ini adalah saat saya menyadari bahwa kamera saya tak cukup gegas untuk mengambil gambar-gambar cepat di atas panggung yang kerap kurang cahaya. Menaikkan ISO ke 1600 hanya membuat gambar yang dihasilkan tidak memuaskan karena noisenya sangat mengganggu. Memikirkan kamera baru membuat saya tiba-tiba berada di dalam pusaran kelompok rampok yang dipimpin Waska. Saya tiba-tiba merindukan kehadiran tokoh Waska untuk bisa memimpin sebuah gerakan anti moralitas yang jujur. Ingin rasanya menggedor toko untuk mendapatkan kamera yang lebih canggih dan lebih baik, serta lebih mahal. Mungkin saya harus memakan jamu dadar bayi seperti Waska agar bisa bersabar menunggu saat itu tiba. Mungkin...
also available on: http://www.facebook.com/note.php?created&&suggest¬e_id=196920617756#/notes/ricky-n-sastramihardja/saat-kematian-menjadi-pilihan/196920617756
foto: http://www.facebook.com/album.php?aid=127946&id=715618858&saved#/album.php?aid=127946&id=715618858&ref=nf
11.27.2009
Catatan dari Pedalaman Siberut
Alhamdulillah, setelah lama mengidamkan sebuah perjalanan ke Kep. Mentawai di Sumatra Barat sana, akhirnya keinginan itu terkabul juga. Memang bukan perjalanan pelesir, tetapi lebih sebagai sebuah pekerjaan, assignment. Perjalanan ini merupakan suatu rangkaian perjalanan setelah sebelumnya melakukan observasi dan dokumentasi permasalah-permasalahan yang terdapat di Kepulauan Seribu (Jakarta), TPA Bantar Gebang (Bekasi), Kabupaten Padang Pariaman (Sumatra Barat) dan berakhir di Kepulauan Mentawai (Sumatera Barat).
Observasi dan dokumentasi khususnya yang dilakukan di Kep. Mentawai difokuskan pada masalah sarana dan prasarana transportasi, pembinaan dan dakwah Islam, serta permasalahan lainnya yang mungkin berkaitan dengan kedua permasalahan utama tersebut. Assignment ini mengharuskan saya merekam berbagai aspek permasalahan tersebut ke dalam format video semi dokumenter untuk kepentingan lembaga yang menugaskan saya, Badan Wakaf Al Qur'an Jakarta (BWA). Observasi ini difokuskan di Kecamatan Siberut Selatan, Pulau Siberut Kep. Mentawai. Pembatasan wilayah ini dilakukan mengingat luasnya wilayah observasi yang tidak bisa dijangkau dengan mudah mengingat keterbatasan sarana transportasi, faktor cuaca, waktu dan biaya yang tersedia.
Dari hasil observasi, ada beberapa catatan mengenai masalah dalam upaya pengembangan dakwah dan pembinaan umat Islam di Mentawai. Pada observasi ini juga dilakukan beberapa interview dengan tokoh masyarakat, tokoh agama, serta warga masyarakat lainnya, yang direkam ke dalam videotape. Sebagai resume awal, masalah dalam pengembangan dan pembinaan umat Islam di Kep. Mentawai umumnya meliputi minimnya dan mahalnya biaya transportasi, rendahnya kesejahteraan para da'i di pedalaman, serta tidak optimalnya pembinaan umat Islam di pedalaman.
Secara umum, di Pulau Siberut terdapat dua kelompok masyarakat, yakni masyarakat asli Suku Mentawai dan masyarakat pendatang. Masyarakat suku Mentawai ini umumnya berdiam di desa-desa di pedalaman. Masyarakat pendatang umumnya berasal dari suku Minang, Jawa, Nias, Batak atau suku lainnya. Dari segi keagamaan,mereka menganut agama Islam, Protestan, Katolik, serta kelompok kecil penganut agama Baha'i. Agama asli Mentawai,Sabulungan, pun masih banyak penganutnya. Sabulungan lebih merupakan animisme-dinamisme yang diwariskan dari nenek-moyang suku Mentawai.
Mahalnya biaya transportasi disebabkan oleh belum adanya jalan darat yang menuju ke pedalaman. Untuk menuju pedalaman dipergunakan sarana transportasi air berupa sampan dan perahu dengan mengikuti aliran sungai yang berasal dari hulu atau menyusuri garis pantai. Dengan demikian biaya bahan bakar yang dipergunakan juga menjadi sangat mahal. Sebagai misal, untuk menempuh perjalanan pergi pulang ke sebuah desa yang berada di pedalaman dengan waktu tempuh l.k. 2 jam, diperlukan BBM sebanyak 40 liter senilai Rp. 280.000. Biaya tersebut tidak termasuk sewa perahu dan upah dua orang kru (pengemudi dan navigator). Dapat terhitung berapa banyak biaya bila dalam dua kali sebulan misalnya, para da'i di pedalaman ini harus turun ke Muara Siberut yang berada di pantai Timur untuk mengakses informasi, berbelanja kebutuhan hidup seperti sembako, atau keperluan dakwah lainnya. Itu baru desa yang dekat. Belum lagi bila desa yang berada di pantai barat Pulau Siberut, yang berada di balik hutan dan perbukitan yang jarang tersentuh manusia.
Selain faktor biaya, transportasi juga sangat dipengaruhi cuaca dan pasang-surut air laut serta sungai. Dengan kata lain, tersedianya alat dan biaya transporasi juga tidak menjamin dapat terlaksananya perjalanan ke pedalaman. Sebab di saat air surut, perahu tidak dapat melewati terusan (sodetan) sungai yang menjadi jalan pintas transportasi dari dan ke pedalaman. Kalaupun harus mengikuti jalur utama sungai, maka waktu tempuh akan semakin lama dan jarak tempuh akan semakin panjang. Biaya transportasi pun akan meningkat drastis. Belum lagi tak jarang mereka harus kembali lagi ke titik awal perjalanan karena perahu mereka tidak dapat menembus cuaca yang buruk serta ombak yang besar.
Begitu pula dengan komunikasi. Sampai saat tulisan ini dibuat, baru ada satu BTS milik satu operator telekomunikasi di desa Muara Siberut. Itupun kadang-kadang mengalami gangguan sehingga tidak dapat dilakukan komunikasi. Pancaran sinyal pun terbatas, tidak menjangkau ke pedalaman yang rata-rata berada di balik perbukitan. Sehingga komunikasi hanya dapat dilakukan dalam wilayah yang sangat terbatas. Saluran telepon Telkom pun hanya menjangkau desa Mailepet dan Muara Siberut saja.
Kondisi keuangan dan kesejahteraan para da'i di pedalaman juga tidak kalah menyedihkannya. Para da'i di pedalaman rata-rata hanya mendapat honor Rp. 700.000 rupiah per bulan, yang tentu sangat jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka. Bisa saja para da'i tersebut harus bekerja atau berdagang untuk mendapat tambahan dana untuk kelangsungan hidupnya. Tetapi akibatnya pembinaan umat menjadi terbengkalai dan umat Islam di pedalaman yang rata-rata mualaf itu menjadi kehilangan pegangan.
Dengan sistem dan sarana transportasi yang ada, sulitnya komunikasi, serta rendahnya kesejahteraan da'i, maka dampak yang paling terasa adalah pada pembinaan umat. Umat yang dimaksud di sini adalah umat Islam yang berada di pedalaman yang rata-rata merupakan penduduk asli suku Mentawai dan tergolong mualaf. Indikatornya sulitnya pembinaan ini antara lain adalah masih banyaknya umat Islam di pedalaman yang memelihara dan mengkonsumsi daging babi. Hal ini disebabkan karena adat-istiadat yang diwariskan nenek-moyang mereka memang seperti itu. Selain itu, masih bercampur-baurnya ajaran agama Islam dengan pemahaman agama leluhur mereka, Sabulungan. Umat Islam di pedalaman masih mempercayai Sikerei sebagai orang yang dapat berhubungan dengan roh-roh nenek moyang, berkomunikasi dengan mereka, serta memberikan kesembuhan atas berbagai penyakit melalui mantera-manteranya. Bla ada seseorang yang sakit, maka diadakanlah upacara turuk yang dipimpin oleh Sikerei. Pada upacara ini Sikerei memberi pengobatan secara fisik dengan obat-obatan herbal serta memanggil roh-roh nenek-moyang mereka untuk meminta kesembuhan atas penyakit yang diderita pasiennya.
Permasalahan di atas sebetulnya dapat diringankan bila kita sebagai umat Islam yang lebih 'civilized' tergerak hati dan mau membantu mereka. Peluang beribadah melalui harta ini dapat disalurkan pada lembaga-lembaga agama Islam yang memiliki program pengiriman da'i dan pembinaan umat di Kepulaun Mentawai. Salah satu lembaga ini adalah BWA atau Badan Wakaf Al Qur'an (www.wakafquran.org) yang beralamat di Jalan Tebet Timur Dalam 1 no. 1 Jakarta, telepon 021-8350084 (hunting).BWA adalah lembaga pengumpul wakaf dan donasi yang akan disalurkan guna pengembangan dan pembinaan umat Islam di berbagai pelosok di tanah air.
Untuk Kep. Seribu dan Kep. Mentawai, BWA merasa salah satu solusi untuk permasalahan minim dan mahalnya sarana transportasi air adalah dengan mewakafkan kapal atau perahu. Kapal atau perahu yang sesuai dengan perairan kepulauan ini akan menjadi transportasi para da'i yang bertugas di pedalaman. Dengan demikian pembinaan umat dapat berjalan lebih lancar karena tidak harus menumpang kapal atau perahu reguler yang jadwalnya terbatas. Selain itu BWA juga berupaya untuk mengembangkan wakaf produktif, sehingga dapat digunakan sebagai modal usaha para da'i atau umat Islam, terutama yang tinggal di pedalaman atau di pulau-pulau yang jauh terpencil.Untuk lengkapnya dapat menghubungi BWA dengan alamat tersebut. Informasi mengenai BWA bisa didapat dari website mereka di www.wakafquran.org. Di mana BWA ini memiliki pengalaman dalam mewakafkan kapal yang digunakan untuk pembinaan umat Islam di Papua/Irian Jaya.
Kita bisa berjihad memerangi kebodohan dan kejahilan, dapat berjihad dengan dengan mewakafkan sebagian dari harta kita. Saudara-saudara muslim kita yang tinggal jauh di pedalaman sangat memerlukan perhatian dan bantuan agar dapat menjadi umat Islam yang khaffah dan mulia. Mari kita mudahkan perjalanan spiritual mereka agar mereka tetap berada di jalan Alloh SWT untuk mengamalkan Al Quran dan menjalankan sunah Rasulullah SAW.
Informasi lengkap:
BADAN WAKAF AL QUR'AN (BWA) JAKARTA
Jalan Tebet Timur Dalam 1 no. 1 Jakarta, telepon 021-8350084 (hunting)
website: www.wakafquran.org
e-mail: admin@wakafquran.org
Foto-foto observasi dan dokumentasi Mentawai dapat diakses di http://www.facebook.com/ricky.bapanasikaka?ref=profile#/photo.php?pid=2911480&id=715618858
Observasi dan dokumentasi khususnya yang dilakukan di Kep. Mentawai difokuskan pada masalah sarana dan prasarana transportasi, pembinaan dan dakwah Islam, serta permasalahan lainnya yang mungkin berkaitan dengan kedua permasalahan utama tersebut. Assignment ini mengharuskan saya merekam berbagai aspek permasalahan tersebut ke dalam format video semi dokumenter untuk kepentingan lembaga yang menugaskan saya, Badan Wakaf Al Qur'an Jakarta (BWA). Observasi ini difokuskan di Kecamatan Siberut Selatan, Pulau Siberut Kep. Mentawai. Pembatasan wilayah ini dilakukan mengingat luasnya wilayah observasi yang tidak bisa dijangkau dengan mudah mengingat keterbatasan sarana transportasi, faktor cuaca, waktu dan biaya yang tersedia.
Dari hasil observasi, ada beberapa catatan mengenai masalah dalam upaya pengembangan dakwah dan pembinaan umat Islam di Mentawai. Pada observasi ini juga dilakukan beberapa interview dengan tokoh masyarakat, tokoh agama, serta warga masyarakat lainnya, yang direkam ke dalam videotape. Sebagai resume awal, masalah dalam pengembangan dan pembinaan umat Islam di Kep. Mentawai umumnya meliputi minimnya dan mahalnya biaya transportasi, rendahnya kesejahteraan para da'i di pedalaman, serta tidak optimalnya pembinaan umat Islam di pedalaman.
Secara umum, di Pulau Siberut terdapat dua kelompok masyarakat, yakni masyarakat asli Suku Mentawai dan masyarakat pendatang. Masyarakat suku Mentawai ini umumnya berdiam di desa-desa di pedalaman. Masyarakat pendatang umumnya berasal dari suku Minang, Jawa, Nias, Batak atau suku lainnya. Dari segi keagamaan,mereka menganut agama Islam, Protestan, Katolik, serta kelompok kecil penganut agama Baha'i. Agama asli Mentawai,Sabulungan, pun masih banyak penganutnya. Sabulungan lebih merupakan animisme-dinamisme yang diwariskan dari nenek-moyang suku Mentawai.
Mahalnya biaya transportasi disebabkan oleh belum adanya jalan darat yang menuju ke pedalaman. Untuk menuju pedalaman dipergunakan sarana transportasi air berupa sampan dan perahu dengan mengikuti aliran sungai yang berasal dari hulu atau menyusuri garis pantai. Dengan demikian biaya bahan bakar yang dipergunakan juga menjadi sangat mahal. Sebagai misal, untuk menempuh perjalanan pergi pulang ke sebuah desa yang berada di pedalaman dengan waktu tempuh l.k. 2 jam, diperlukan BBM sebanyak 40 liter senilai Rp. 280.000. Biaya tersebut tidak termasuk sewa perahu dan upah dua orang kru (pengemudi dan navigator). Dapat terhitung berapa banyak biaya bila dalam dua kali sebulan misalnya, para da'i di pedalaman ini harus turun ke Muara Siberut yang berada di pantai Timur untuk mengakses informasi, berbelanja kebutuhan hidup seperti sembako, atau keperluan dakwah lainnya. Itu baru desa yang dekat. Belum lagi bila desa yang berada di pantai barat Pulau Siberut, yang berada di balik hutan dan perbukitan yang jarang tersentuh manusia.
Selain faktor biaya, transportasi juga sangat dipengaruhi cuaca dan pasang-surut air laut serta sungai. Dengan kata lain, tersedianya alat dan biaya transporasi juga tidak menjamin dapat terlaksananya perjalanan ke pedalaman. Sebab di saat air surut, perahu tidak dapat melewati terusan (sodetan) sungai yang menjadi jalan pintas transportasi dari dan ke pedalaman. Kalaupun harus mengikuti jalur utama sungai, maka waktu tempuh akan semakin lama dan jarak tempuh akan semakin panjang. Biaya transportasi pun akan meningkat drastis. Belum lagi tak jarang mereka harus kembali lagi ke titik awal perjalanan karena perahu mereka tidak dapat menembus cuaca yang buruk serta ombak yang besar.
Begitu pula dengan komunikasi. Sampai saat tulisan ini dibuat, baru ada satu BTS milik satu operator telekomunikasi di desa Muara Siberut. Itupun kadang-kadang mengalami gangguan sehingga tidak dapat dilakukan komunikasi. Pancaran sinyal pun terbatas, tidak menjangkau ke pedalaman yang rata-rata berada di balik perbukitan. Sehingga komunikasi hanya dapat dilakukan dalam wilayah yang sangat terbatas. Saluran telepon Telkom pun hanya menjangkau desa Mailepet dan Muara Siberut saja.
Kondisi keuangan dan kesejahteraan para da'i di pedalaman juga tidak kalah menyedihkannya. Para da'i di pedalaman rata-rata hanya mendapat honor Rp. 700.000 rupiah per bulan, yang tentu sangat jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka. Bisa saja para da'i tersebut harus bekerja atau berdagang untuk mendapat tambahan dana untuk kelangsungan hidupnya. Tetapi akibatnya pembinaan umat menjadi terbengkalai dan umat Islam di pedalaman yang rata-rata mualaf itu menjadi kehilangan pegangan.
Dengan sistem dan sarana transportasi yang ada, sulitnya komunikasi, serta rendahnya kesejahteraan da'i, maka dampak yang paling terasa adalah pada pembinaan umat. Umat yang dimaksud di sini adalah umat Islam yang berada di pedalaman yang rata-rata merupakan penduduk asli suku Mentawai dan tergolong mualaf. Indikatornya sulitnya pembinaan ini antara lain adalah masih banyaknya umat Islam di pedalaman yang memelihara dan mengkonsumsi daging babi. Hal ini disebabkan karena adat-istiadat yang diwariskan nenek-moyang mereka memang seperti itu. Selain itu, masih bercampur-baurnya ajaran agama Islam dengan pemahaman agama leluhur mereka, Sabulungan. Umat Islam di pedalaman masih mempercayai Sikerei sebagai orang yang dapat berhubungan dengan roh-roh nenek moyang, berkomunikasi dengan mereka, serta memberikan kesembuhan atas berbagai penyakit melalui mantera-manteranya. Bla ada seseorang yang sakit, maka diadakanlah upacara turuk yang dipimpin oleh Sikerei. Pada upacara ini Sikerei memberi pengobatan secara fisik dengan obat-obatan herbal serta memanggil roh-roh nenek-moyang mereka untuk meminta kesembuhan atas penyakit yang diderita pasiennya.
Permasalahan di atas sebetulnya dapat diringankan bila kita sebagai umat Islam yang lebih 'civilized' tergerak hati dan mau membantu mereka. Peluang beribadah melalui harta ini dapat disalurkan pada lembaga-lembaga agama Islam yang memiliki program pengiriman da'i dan pembinaan umat di Kepulaun Mentawai. Salah satu lembaga ini adalah BWA atau Badan Wakaf Al Qur'an (www.wakafquran.org) yang beralamat di Jalan Tebet Timur Dalam 1 no. 1 Jakarta, telepon 021-8350084 (hunting).BWA adalah lembaga pengumpul wakaf dan donasi yang akan disalurkan guna pengembangan dan pembinaan umat Islam di berbagai pelosok di tanah air.
Untuk Kep. Seribu dan Kep. Mentawai, BWA merasa salah satu solusi untuk permasalahan minim dan mahalnya sarana transportasi air adalah dengan mewakafkan kapal atau perahu. Kapal atau perahu yang sesuai dengan perairan kepulauan ini akan menjadi transportasi para da'i yang bertugas di pedalaman. Dengan demikian pembinaan umat dapat berjalan lebih lancar karena tidak harus menumpang kapal atau perahu reguler yang jadwalnya terbatas. Selain itu BWA juga berupaya untuk mengembangkan wakaf produktif, sehingga dapat digunakan sebagai modal usaha para da'i atau umat Islam, terutama yang tinggal di pedalaman atau di pulau-pulau yang jauh terpencil.Untuk lengkapnya dapat menghubungi BWA dengan alamat tersebut. Informasi mengenai BWA bisa didapat dari website mereka di www.wakafquran.org. Di mana BWA ini memiliki pengalaman dalam mewakafkan kapal yang digunakan untuk pembinaan umat Islam di Papua/Irian Jaya.
Kita bisa berjihad memerangi kebodohan dan kejahilan, dapat berjihad dengan dengan mewakafkan sebagian dari harta kita. Saudara-saudara muslim kita yang tinggal jauh di pedalaman sangat memerlukan perhatian dan bantuan agar dapat menjadi umat Islam yang khaffah dan mulia. Mari kita mudahkan perjalanan spiritual mereka agar mereka tetap berada di jalan Alloh SWT untuk mengamalkan Al Quran dan menjalankan sunah Rasulullah SAW.
Informasi lengkap:
BADAN WAKAF AL QUR'AN (BWA) JAKARTA
Jalan Tebet Timur Dalam 1 no. 1 Jakarta, telepon 021-8350084 (hunting)
website: www.wakafquran.org
e-mail: admin@wakafquran.org
Foto-foto observasi dan dokumentasi Mentawai dapat diakses di http://www.facebook.com/ricky.bapanasikaka?ref=profile#/photo.php?pid=2911480&id=715618858
10.30.2009
Mainan Anak Pemikiran Bapak
Mainan anak-anak adalah hal yang lumrah hadir di dalam setiap rumah tangga. Mainan juga merupakan stimulan positif agar anak-anak dapat mengembangkan kepribadian, keterampilan, juga wawasan dan pola pemikirannya. Dengan demikian mainan anak-anak yang baik dan sehat memang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan anak. Pemberian mainan kepada anak juga merupakan salah satu bentuk kasih sayang orang tua terhadap anak-anaknya.
Tetapi, bagaimana bila sang Bapak, melihat sisi lain dalam mainan itu? Dalam kerangka pemikiran fotografis, mainan anak-anak itu kemudian menemukan makna dan simbol yang lain dalam benak si Bapak...
Tetapi, bagaimana bila sang Bapak, melihat sisi lain dalam mainan itu? Dalam kerangka pemikiran fotografis, mainan anak-anak itu kemudian menemukan makna dan simbol yang lain dalam benak si Bapak...
8.14.2009
PUISI KEMERDEKAAN
http://6ix2o9ine.blogspot.com
Mari rayakan kemerdekaan
berpawai, arak-arakan keliling kota
memakai kostum warna-warni
kupilih baju pahlawan bertopeng, Spiderman
dan beberapa teman memakai baju Batman juga Superman
Saat haus mendera, minum saja Coca Cola atau Fanta
sambil mengepulkan asap Marlboro juga Lucky Strike
di telingaku kupasang earphone agar bisa
mendengarkan lagu-lagu Metallica
dengan mp3 player buatan Cina
saat lapar kubuka bekal dari mama
sepotong ayam Kentucky Fried Chicken
dan setangkup burger Mc Donald
kulanjutkan perjalanan memakai Yamaha lalu naik Toyota
bahagianya hari ini
teriknya matahari menerpa kulit yang menghitam
namun tak perlu khawatir
karena telah kulapisi Johnson dengan 'n Johnson juga Nivea
Sore hari usai sudah keramaian
melepas lelah di Starbucks sambil chatting via Yahoo Messenger
ke teman-teman seluruh Indonesia
di laptop Toshiba yang memakai OS Windows Vista
membaca e-mail masuk di Gmail
browsing berita meriahnya kemerdekaan di CNN.com
terkadang tertawa terbahak melihat kelakuan
Bart Simpson di channel Cartoon Networks
di televisi plama 27 inci buatan Korea
Malam menjelang
kemeriahan berlanjut di tempat hiburan malam
berdisko hingga pagi di Embassy
dan mabuk berbotol-botol whisky, vodka, juga sedikit mariyuana
berakhir dengan ngesex bersama perempuan pirang asal Belanda
dengan berbagai gaya yang kudapat dari Kamasutra
ah, nikmatnya kemerdekaan
Merdeka
Merdeka
Merdeka!!!
(bahkan sebetulnya kita tak pernah
tahu bagaimana cara mengeja kata
M-E-R-D-E-K-A...)
180807
Mari rayakan kemerdekaan
berpawai, arak-arakan keliling kota
memakai kostum warna-warni
kupilih baju pahlawan bertopeng, Spiderman
dan beberapa teman memakai baju Batman juga Superman
Saat haus mendera, minum saja Coca Cola atau Fanta
sambil mengepulkan asap Marlboro juga Lucky Strike
di telingaku kupasang earphone agar bisa
mendengarkan lagu-lagu Metallica
dengan mp3 player buatan Cina
saat lapar kubuka bekal dari mama
sepotong ayam Kentucky Fried Chicken
dan setangkup burger Mc Donald
kulanjutkan perjalanan memakai Yamaha lalu naik Toyota
bahagianya hari ini
teriknya matahari menerpa kulit yang menghitam
namun tak perlu khawatir
karena telah kulapisi Johnson dengan 'n Johnson juga Nivea
Sore hari usai sudah keramaian
melepas lelah di Starbucks sambil chatting via Yahoo Messenger
ke teman-teman seluruh Indonesia
di laptop Toshiba yang memakai OS Windows Vista
membaca e-mail masuk di Gmail
browsing berita meriahnya kemerdekaan di CNN.com
terkadang tertawa terbahak melihat kelakuan
Bart Simpson di channel Cartoon Networks
di televisi plama 27 inci buatan Korea
Malam menjelang
kemeriahan berlanjut di tempat hiburan malam
berdisko hingga pagi di Embassy
dan mabuk berbotol-botol whisky, vodka, juga sedikit mariyuana
berakhir dengan ngesex bersama perempuan pirang asal Belanda
dengan berbagai gaya yang kudapat dari Kamasutra
ah, nikmatnya kemerdekaan
Merdeka
Merdeka
Merdeka!!!
(bahkan sebetulnya kita tak pernah
tahu bagaimana cara mengeja kata
M-E-R-D-E-K-A...)
180807
8.07.2009
Tribute to Si Burung Merak, W.S. Rendra: Sepenggal Kenangan
Innalillahi wa innalillahi roji'un
Sepenggal doa itu terlintas saat beberapa saat lalu saya mendengar berita berpulangnya Oom Willy a.k.a W.S. Rendra. Berita meninggalnya Oom Willy sangat mengagetkan. Saya sedang menyaksikan Trans7, menonton "Bukan Empat Mata"-nya Tukul. Pada acara itu ditayangkan lokasi pemakaman Mbah Surip di sekitaran Bengkel Teater-nya Oom Willy, Saat jemari iseng menekan tombol remote berpindah channel ke MetroTV, berita duka tersebut merasuk ke rumah mungil kami melalui breaking news.
Sungguh, secara pribadi saya mengenal Oom Willy hanya dari puisi, tulisan, karya, dan berita-berita yang meliput dirinya. Dua kali saya bertemu beliau. Pertama saat beliau diundang untuk membaca puisi ke kampus kami di Jatinangor. Saat itu saya masih kuliah semester VIII. Saat itu saya sangat gelisah karena bertepatan dengan pertunjukan Oom Willy saya harus mengikuti ujian Bahasa Sansekerta untuk kedua kalinya setelah gagal di semester sebelumnya. Bila saya mengikuti ujian, maka saya tidak akan bisa menonton Oom Willy baca puisi. Tapi bila menonton, maka saya harus mengulang lagi mata kuliah bahasa Sansekerta yang mengerikan itu untuk ke-3 kalinya..
Saya pilih opsi kedua. Dengan berpura-pura hendak ke belakang, saya minta izin pada Ibu Dosen untuk keluar kelas. Syukurlah, diizinkan. Alih-alih ke toilet, saya bergegas ke parkiran depan Dekanat Fak. Sastra untuk menonton pertunjukan yang belum lama mulai. Suatu keputusan yang tidak pernah saya sesali.
Saya memang kemudian harus mengulang kembali mata kuliah itu. Tapi saya tidak pernah menyesal. Bagi saya, bisa menonton langsung pertunjukan Oom Willy lebih berharga karena kesempatan itu mungkin tidak akan pernah ada lagi. Dan memang, pertunjukan oom Willy di Sastra Unpad hanya terjadi satu kali, di tahun 1996 itu. Syangnya, dua buku puisinya yang mendapat bubuhan tandatangannya, hilang dipinjam teman yang tak bertanggungjawab.
Kali kedua datang tahun 1998. Tapi saat itu Oom Willy hadir sebagai pembicara utama dalam diskusi Politik dan Seni di STISI Bandung. Suasana saat itu masih panas mengingat belum lama rezim Soeharto jatuh dan keadaan negara masih dalam keadan genting. Masih dengan operandi yang sama: saya bolos kuliah, untungnya tapi saat itu bukan musim ujian.
Oom Willy... Selamat jalan. Biarlah yang lain menuliskan tentang dirimu. Tetapi bagi saya, kehadiran Oom akan selalu dirasakan. Karena setiap pemberontakan, setiap pekik kesedihan, setiap pekik keinginan untuk bebas dan merdeka, keinginan untuk mendapat keadilan, keinginan untuk mendapat pengakuan sebagi manusia yang selama ini menjadi bagian hidup saya, sedikit banyak dipengaruhi oleh karya-karya Oom Willy.
Selamat jalan OOm Willy. Selamat Jalan oom Rendra. Semoga Alloh SWT menerima semua amal ibadah Oom. Bagi Indonesia, Oom adalah puisi itu sendiri. Teater itu sendiri. Oom adalah seni itu senditi...
Innalillahi wa inna illaihi roji'un. Semua yang berasal dari Alloh akan kembali pada-Nya.
Sepenggal doa itu terlintas saat beberapa saat lalu saya mendengar berita berpulangnya Oom Willy a.k.a W.S. Rendra. Berita meninggalnya Oom Willy sangat mengagetkan. Saya sedang menyaksikan Trans7, menonton "Bukan Empat Mata"-nya Tukul. Pada acara itu ditayangkan lokasi pemakaman Mbah Surip di sekitaran Bengkel Teater-nya Oom Willy, Saat jemari iseng menekan tombol remote berpindah channel ke MetroTV, berita duka tersebut merasuk ke rumah mungil kami melalui breaking news.
Sungguh, secara pribadi saya mengenal Oom Willy hanya dari puisi, tulisan, karya, dan berita-berita yang meliput dirinya. Dua kali saya bertemu beliau. Pertama saat beliau diundang untuk membaca puisi ke kampus kami di Jatinangor. Saat itu saya masih kuliah semester VIII. Saat itu saya sangat gelisah karena bertepatan dengan pertunjukan Oom Willy saya harus mengikuti ujian Bahasa Sansekerta untuk kedua kalinya setelah gagal di semester sebelumnya. Bila saya mengikuti ujian, maka saya tidak akan bisa menonton Oom Willy baca puisi. Tapi bila menonton, maka saya harus mengulang lagi mata kuliah bahasa Sansekerta yang mengerikan itu untuk ke-3 kalinya..
Saya pilih opsi kedua. Dengan berpura-pura hendak ke belakang, saya minta izin pada Ibu Dosen untuk keluar kelas. Syukurlah, diizinkan. Alih-alih ke toilet, saya bergegas ke parkiran depan Dekanat Fak. Sastra untuk menonton pertunjukan yang belum lama mulai. Suatu keputusan yang tidak pernah saya sesali.
Saya memang kemudian harus mengulang kembali mata kuliah itu. Tapi saya tidak pernah menyesal. Bagi saya, bisa menonton langsung pertunjukan Oom Willy lebih berharga karena kesempatan itu mungkin tidak akan pernah ada lagi. Dan memang, pertunjukan oom Willy di Sastra Unpad hanya terjadi satu kali, di tahun 1996 itu. Syangnya, dua buku puisinya yang mendapat bubuhan tandatangannya, hilang dipinjam teman yang tak bertanggungjawab.
Kali kedua datang tahun 1998. Tapi saat itu Oom Willy hadir sebagai pembicara utama dalam diskusi Politik dan Seni di STISI Bandung. Suasana saat itu masih panas mengingat belum lama rezim Soeharto jatuh dan keadaan negara masih dalam keadan genting. Masih dengan operandi yang sama: saya bolos kuliah, untungnya tapi saat itu bukan musim ujian.
Oom Willy... Selamat jalan. Biarlah yang lain menuliskan tentang dirimu. Tetapi bagi saya, kehadiran Oom akan selalu dirasakan. Karena setiap pemberontakan, setiap pekik kesedihan, setiap pekik keinginan untuk bebas dan merdeka, keinginan untuk mendapat keadilan, keinginan untuk mendapat pengakuan sebagi manusia yang selama ini menjadi bagian hidup saya, sedikit banyak dipengaruhi oleh karya-karya Oom Willy.
Selamat jalan OOm Willy. Selamat Jalan oom Rendra. Semoga Alloh SWT menerima semua amal ibadah Oom. Bagi Indonesia, Oom adalah puisi itu sendiri. Teater itu sendiri. Oom adalah seni itu senditi...
Innalillahi wa inna illaihi roji'un. Semua yang berasal dari Alloh akan kembali pada-Nya.