Beberapa hari yang lalu di status Facebook saya menuliskan "21 T untuk biaya pemilu 2009. Bila dibagi dengan 250 juta WNI maka per orang kena charge Rp. 84 juta". Dalam beberapa saat ada beberapa komentar atas statemen tersebut. Baik mendukung maupun mempertanyakan. Ada juga yang menyarankan agar sebaiknya ikut pemilu. Status tersebut sebetulnya saya comot dari SMS yang dikirimkan seorang pemirsa TV swasta beberapa hari sebelumnya saat membicarakan kesiapan menjelang pemilu 2009.
Ada yang menarik kemudian setelah saya search di internet. Ternyata pada tahun 2007 KPU mengajukan dana sebesar -WOW- sekitar 49 triliun. Lebih dari dua kali lipat dari yang bisa direalisasikan pemerintah pada tahun 2009 ini.
Catatan ini tidak bertendensi untuk menunjukkan kebenaran atau anjuran apapun. Hanya saja bila kembali ke perhitungan awal, yakni 21 triliun yang bila dibagikan ke 250 juta penduduk Indonesia, maka setiap penduduk akan mendapat jatah Rp. 84 juta. Baik itu penduduk dengan KTP, manula, dewasa, remaja, atau bahkan balita. Atau bila logikanya dibalik, maka setiap penduduk telah menyumbang dana pemilu sebesar Rp. 84 juta.
Dengan 84 juta per kepala akan banyak yang bisa dibeli. Saya adalah bapak dengan satu istri dan dua anak. Bila dana pemilu dibagikan maka saya akan bisa mendapat dana segar yang luar biasa besar untuk ukuran kami yang tinggal di kampung. 84 juta X 4 kepala = Rp. 336 juta.... WOOOOOW...
Dengan uang sejumlah itu saya bisa menambah modal usaha, bisa membeli XL2, memakai software orisinal, serta menjauhkan berbagai macam debt collector selama-lamanya. Bisa mengambil sertifikat rumah yang sedang sekolah di sebuah bank. Si Ujang dan Si Nyai bisa mendapat asupan makanan yang sehat dan bergizi serta mendapat jaminan pendidikan yang lebih layak. Bisa membangun perpustakaan multimedia di kampung. Bisa maen Facebook sampai bosen, bisa hidup dengan nyaman sampai pemilu berikutnya di tahun 2013 digelar.
21 Triliun adalah biaya dasar. Belum lagi biaya kampanye dari para caleg atau calon presiden yang mulai hari ini bertebaran di jalan-jalan dalam rangka kampanye pemilu damai. Akan ada pengeluaran ekstra sekian rupiah lagi untuk menghasilkan legislator dan presiden di masa pemilu 2009 ini. Itu yang belum terhitung kecuali pemilu ini telah usai. Sebagai informasi tambahanan, biaya Pilkada Jatim hampir menyentuh angka 1 triliun.
Betapa mahal biaya untuk suatu sistem yang dikatakan demokrasi, sementara ancaman PHK serta pengangguran semakin merajelala menjelang krisis ekonomi global yang puncaknya menurut para ahli akan terjadi di 2010. Beberapa berita di televisi menunjukkan pada 3 bulan pertama di 2009 ini, di Indonesia saja sudah ada 240 ribu orang di-PHK. Serta kemungkinan akan semakin meningkat.
Demokrasi, atau apapun namanya, tentu diharapkan akan menghasilkan pemimpin dan legislator yang peduli rakyat, bebas korupsi, serta mampu membimbing serta mengawal negara ini mencapai kesejahteraan ekonomi, terutama di masa krisis. Biaya yang sangat mahal, bahkan sekian nyawa telah berpulang dalam perjalanan demokrasi bangsa ini. Demokrasi, atau apapun namanya, tidak sepantasnya menghasilkan pencuri-pencuri baru atau kolaborator baru yang tega menguras harta kekayaan bahkan nyawa warga negaranya. Bila setelah Pemilu 2009 hanya akan lahir para maling, koruptor, dan tiran baru, lebih baik anarki saja deh. Gak usah pake pemimpin, gak usah pake legislator, gak usah ada negara.Yang penting rakyat bisa bekerja dengan tenang dan hidup layak sebagai manusia.
Selamat mengikuti kampanye. Selamat mendapat bonus kemacetan baru. Selamat deg-degan. Saya mah mau kembali bermimpi dengan uang 84 juta yang tak akan pernah ada.
3.21.2009
3.05.2009
PAMERAN DISPLAY FOTO
Membaca selembar poster yang terpasang di sudut sebuah toko foto di Jalan Bengawan Bandung, cukup menarik minat saya. Poster tersebut berisi pengumuman pelaksanaan sebuah pameran foto dan workshop di gedung Telkom Bandung. Maka di satu hari ke dua pameran, dengan semangat 45 saya menuju gedung Telkom di Jalan Japati Bandung. Tidak sulit mencapai ruangan pameran. Tentu saja karena terletak di lobby utama yang sejuk dan luas yang mudah diakses dari mana saja.
Begitu tiba di ruang pameran, saya celingukan mencari meja penerima tamu sebagaimana layaknya sebuah pameran. Ternyata tidak ada. Bahkan saat saat itu tidak seorang pun menjaga pameran. Tidak adanya katalog dan informasi lain di sekitar lobby membuat tidak tahu apa yang akan terjadi kemudian. Tidak ada keterangan siapa kurator pameran dan apa pernyataanya. Pameran ini, lagi-lagi, hanya pantas disebut ajang display foto saja. Hanya ada keterangan bahwa pameran foto ini terselenggara oleh Klab Foto135, yang merupakan klab hobiis fotografi di Telkom.
Bahkan, tajuk pameran pun yang merupakan benang merah dialog antara karya dengan tidak terpampang di sudut manapun. Di poster yang saya lihat di hari sebelumnya, ada tajuk "menyambut ulang Tahun SEKAR'. Tadinya berharap akan menemukan foto-foto tentang serikat karyawan Telkom. Tetapi ternyata itu bukan tajuk pameran, melainkan pengumuman mengapa pameran ini diadakan, Hanya untuk menyambut ulang tahun Sekar. Selain beberapa banner sponsor serta sebuah kanvas putih yang menyambut di awal tatapan.
Kanvas putih itu juga bukan berisi sesuatu yang berhubungan dengan karya foto yang dipamerkan. Lebih merupakan semacam seremoni dari gegeden Telkom dan Serikat Karyawan Telkom (Sekar). Baiklah, tidak perlu ditulis apa isinya, cuma saja terheran-heran dan bingung mencari relevansi pernyataan "Kapabilitas fotografi ini adalah untuk memperkaya konten jaringan internet Telkom. Sekarrr!!!". Duh... saya merasa menjadi seorang bodoh yang berada di tempat yang salah.
Di sampingnya terpampang empat bingkai foto pejabat-pejabat Telkom yang juga berfoto bersama dengan anggota-anggota LVRI. Saya pikir masih merupakan bagian dari pameran, ternyata bukan. Foto pertama yang saya yakini kemudian sebagai karya adalah sebuah foto berukuran 16R dengan posisi horisontal. Gambarnya adalah Fly Over Paspati di malam hari dengan yang diambil dengan teknik long exposure.
Foto berikutnya-foto berikutnya adalah mimpi buruk yang menjadi nyata. Beragam jenis foto dengan beragam karakter dan beragam konten tampil seolah saling berebut meminta perhatian dan berteriak, "lihatlah saya, lihatlah saya" . Mulai still life, landscape, infra red, hitam putih, sport, sampai product shot. Beragam, berjejal, dan berteriak. "Lihatlah saya, lihatlah saya". Seperti saat membeli CD MP3 kompilasi dengan bermacam jenis lagu yang bercampur baur dalam satu album. Tidak ada benang antar foto, tidak ada kesesuaian tajuk. Seperti negara yang baru belajar demokrasi: hiruk pikuk dan riuh rendah.
Hal tersebut diperburuk dengan tata penempatan foto yang tidak mengindahkan postur sebagian pengunjung. Banyak di antara foto berformat horisontal yang dipasang lebih tinggi dari eye level. Entah saya yang terlalu pendek atau memang terlalu tinggi. Karena sering kali saya harus tengadah untuk mendapatkan eye level yang baik. Dan tentu saja tidak berhasil kecuali saya 10 cm lebih tinggi. Lebih parah lagi, hampir seluruhnya memakai bingkai berkaca yang membuat silau dan menyulitkan untuk memperhatikan detail.
Bukan kapasitas saya untuk membahas teknik yang dipergunakan. Lagian toh saya tidak terlalu pintar untuk hal-hal yang itu. Saya mencoba fokus pada pesan setiap gambar yang dipamerkan. Tetapi lagi-lagi kesulitan dan hanya bisa berujar, "foto-foto yang bagus. Sangat piktorial, tipikal, tetapi ya, gitu deh...". Beberapa yang bisa diingat adalah di antaranya memiliki cacat teknis yang fatal seperti jaggy/bergerigi, di mana hal tersebut menunjukan piksel foto terlalu sedikit untuk dicetak dalam 16R. Beberapa karya malah lebih tragis. Di bagian atas dan bawah terpampang garis hitam melintang. Persis seperti cinema scope di bioskop. Hanya saja yang ini tidak menambah nilai foto, tetapi malah menguranginya.
Dari segi konten foto yang beragam, serasa merasa melihat kalender yang bervariasi. Foto-foto landscape yang ada, lebih merupakan penanda bahwa sang fotografer pernah berwisata ke tempat itu. Bukan suatu karya yang merupakan hasil kontemplasi atau dialog dengan alam itu sendiri. Tentu saya percaya dengan statemen "Author is Dead" seperti kata Roland Barthes. Tapi, untuk sesuatu yang dikatakan pameran foto, saya rasa cukup keterlaluan. "Sang "Author" masih saja bergentayangan di dalam karya bukan di luarnya. Karyanya tidak bisa berdialog dengan audience. Belum lagi penggunaan fotografi infra merah yang menurut saya serampangan dan tidak menunjang isi foto itu sendiri. Ditambah penggunaan software pengolah foto yang serampangan, walau hanya untuk memperkaya warna, tetapi malah mengganggu keseluruhan karya foto.
Dari 51 karya foto dari beberapa fotografer, OK lah saya harus tertarik pada sebuah foto yang sangat lucky menurut saya. Sangat "The Decisive Moment" lah. Foto yang menggambarkan sebuah sepeda motor yang terjatuh di arena road race. Foto tersebut tampak sangat 'grainny'. 'Grain' yang besar-besar pula. Itu karena butiran air yang menciprat bercampur dengan noise pada ASA tinggi yang membuat foto menjadi dramatis. Ditambah lagi, lagi-lagi jaggy. Untungnya kelemahan-kelemahan secara teknikal itu menunjang konten foto.
Ah.. belum sampai saya pada foto terakhir, saya sudah merasa lelah untuk mencatat. Foto yang terlalu bervariasi dengan jumlah cukup banyak, serta sering tengadah membuat saya 'nyeri beuheung sosonggeten'. Mungkin besok bila bangun pagi, saya akan kembali lagi dengan membawa jojodog agar bisa mendapatkan eye level yang baik. Oh, iya saya lupa. Saya seharusnya mengetik FOTO spasi NOMOR FOTO dan dikirim ke nomer XXXX seperti yang tertera di bagian lain judul foto. Siapa tahu bila menang tagihan internet bulan lalu yang membengkak, mendapat keringanan. Sesuai statemen yang tertera di awal display pameran, fotografi menunjang konten jaringan internet...
=====================
Bandung, 5 Maret 2009
Ricky Nugraha,
Desainer Grafis, Pecinta Kopi dan Fotografi
2.21.2009
FOTOGRAFI SEBAGAI AGEN PERUBAHAN SOSIAL
Menjadikan fotografi sebagai agen perubahan sosial? Mmm, tampaknya muluk-muluk ya. Di era ‘polusi’ visual dewasa ini, fotografi masih saja berada dalam wacana estetika (piktorial), berita, dokumentasi, atau juga pelengkap sarana periklanan semata. Ranah fotografi seolah tidak bisa beranjak dari wacana “jepret dan kenanglah”. Tengok saja Facebook, di mana fotografi secara umum menjadi etalase untuk mengingat dan mengenang masa lalu. Tag sana tag sini dan selesai. Benarkah?
Ternyata tidak. Dari situs jejaring sosial seperti Facebook ini, fotografi dengan sadar (atau tanpa disadari) telah beranjak dari kasta perekam visual atau dokumentasi belaka, naik kasta menjadi agen perubahan sosial. Janganlah muluk-muluk dan berkerut kening dulu dengan istilah agen perubahan sosial atau agent of social change seperti saat penataran P4 di awal masuk universitas tahun 1990-an dulu. Atau jangan lantas sibuk membuka buku “Bunga Rampai Sosiologi” Selo Soemardjan yang tebal itu.
Tapi ingatlah kebiasaan-kebiasaan kita sebagai pengguna aktif Facebook, misalnya. Tentu bila hanya dilakukan sendiri saja namanya sih kayaknya bukan perubahan sosial, tetapi perubahan individu. Ada istilah ‘narsis’ karena seringnya memajang foto diri yang sedemikian banyak di situs tersebut. Tetapi ‘narsis’ yang merupakan gejala psikologi individu itu kemudian berubah menjadi ‘narsis sosial’ karena dilakukan oleh banyak orang. Atau, ambilah asumsi positif, di mana Facebook dengan segala isi di dalamnya, termasuk fotografi, mampu mengerakan berbagai acara reuni. Mulai dari reuni TK sampai reuni tingkat Universitas. Bahkan, secara pribadi, karena foto-foto masa lalu yang di-upload ke Facebook, tahun 2009 ini saja saya harus mengikuti dan menggelar acara reuni SD dan SMA.
***
Ada dinamika dari fotografi, juga ada dampak yang ditimbulkannya. Seperti juga halnya lomba foto “Selamatkan Karst Citatah” yang kemudian diikuti pameran foto pemenang dan nominator lomba dengan judul yang sama. Pada kegiatan yang diadakan KRCB (Kelompok Riset Cekungan Bandung) dan Air Photography Communication ini, kita bisa merasakan emosi yang dahsyat saat fakta temuan-temuan KRCB dirilis dalam bentuk visual yang tidak melulu mengedepankan estetika, tetapi juga dibalut dengan semangat idealisme yang kental.
Pegunungan kapur yang membentang sepanjang 6 km di wilayah Citatah hingga Rajamandala ini adalah rekaman purbakala bagaimana dan mengapa cekungan Bandung terbentuk. Rekaman purbakala bagaimana karuhun urang Sunda hidup di pinggiran danau Bandung Purba di masa 9500 tahun yang lalu. Tetapi, karena keserakahan dan ketidaktahuan (serta ketidakingintahuan alias sikap masa bodoh) lah situs purbakala ini dihancurkan dan dieksploitasi hanya demi kepentingan ekonomi sebagian orang saja.
Kegiatan “Selamatkan Karst Citatah” melalui fotografi ini kemudian mencapai level tertinggi, di mana suatu kegiatan kepedulian lingkungan direspon dengan segera oleh gegeden Jawa Barat. Tercatat kemudian pernyataan Wakil Gubernur Jawa Barat, H. Dede Yusuf, saat membuka pameran yang berlangsung dari tanggal 19 s.d. 21 Februari 2009 di Museum Geologi Bandung, yang dengan tegas menyatakan bahwa pemerintah Propinsi Jawa Barat akan segera menyelamatkan Karst Citatah dari eksploitasi penambangan legal dan ilegal. Bila awalnya menunggu anggaran pemerintah Jawa Barat cair pada 2010, maka Wagub H. Dede Yusuf menegaskan bahwa penyelamatan Karst Citatah tidak bisa menunggu selama itu. Wagub menyatakan bahwa karst Citatah akan diselamatkan mulai sekarang juga.
Pernyataan Wakil Gubenur tersebut yang diucapkan pada saat acara pembukaan Pameran Foto “Selamatkan Karst Citatah” adalah suatu bukti bahwa fotografi mampu mendorong terjadinya perubahan sosial. Bagaimana kemudian sosok pemerintah yang biasanya hare-hare untuk masalah lingkungan hidup di negara ini, menjadi sangat peduli dan berjanji untuk melakukan perubahan secepatnya.
Fotografi, terutama di Bandung, dewasa ini telah mampu bergerak keluar dari frame estetika, berita, atau dokumentasi semata. Bergerak ke ranah sosial politik, di mana akan terjadi perubahan paradigma masyarakat dalam memahami karst Citatah. Membuka mata gegeden Gedong Sate melalui hasil jepretan lensa, yang bila semula ‘hanya untuk’ mendokumentasikan karst yang tersisa untuk diwariskan pda anak cucu kelak, kini berkembang menjadi suatu ‘upaya’ perubahan (perilaku) sosial.
Semoga upaya yang dilakukan KRCB dan Air Photograpy Communication serta segenap insan fotografi Bandung ini bisa secepatnya direalisasikan para gegeden kita. Karena bagaimana pun juga, tanpa campur tangan politik, perubahan sosial tidak akan pernah terjadi. Pun fotografi tidak akan pernah beranjak dari sekedar rekaman dokumentasi semata bila para insan fotografi tidak pernah membekali dirinya dengan berbagai wacana ideologis. Bila pada satu wilayah sejarah fotografi di Bandung pernah berjaya di wilayah fotografi estetika, fotografi berita, fotografi komersial, fotografi dokumentasi, maka wilayah sejarah ke depan akan mencatat bahwa fotografi kita mampu menjelajahi wilayah perubahan-perubahan serta dinamika sosial masyarakat, bahkan mampu mengarahkan suatu perubahan.
======================
Ricky Nugraha
Desainer Grafis, Pecinta Kopi dan Fotografi
Ternyata tidak. Dari situs jejaring sosial seperti Facebook ini, fotografi dengan sadar (atau tanpa disadari) telah beranjak dari kasta perekam visual atau dokumentasi belaka, naik kasta menjadi agen perubahan sosial. Janganlah muluk-muluk dan berkerut kening dulu dengan istilah agen perubahan sosial atau agent of social change seperti saat penataran P4 di awal masuk universitas tahun 1990-an dulu. Atau jangan lantas sibuk membuka buku “Bunga Rampai Sosiologi” Selo Soemardjan yang tebal itu.
Tapi ingatlah kebiasaan-kebiasaan kita sebagai pengguna aktif Facebook, misalnya. Tentu bila hanya dilakukan sendiri saja namanya sih kayaknya bukan perubahan sosial, tetapi perubahan individu. Ada istilah ‘narsis’ karena seringnya memajang foto diri yang sedemikian banyak di situs tersebut. Tetapi ‘narsis’ yang merupakan gejala psikologi individu itu kemudian berubah menjadi ‘narsis sosial’ karena dilakukan oleh banyak orang. Atau, ambilah asumsi positif, di mana Facebook dengan segala isi di dalamnya, termasuk fotografi, mampu mengerakan berbagai acara reuni. Mulai dari reuni TK sampai reuni tingkat Universitas. Bahkan, secara pribadi, karena foto-foto masa lalu yang di-upload ke Facebook, tahun 2009 ini saja saya harus mengikuti dan menggelar acara reuni SD dan SMA.
***
Ada dinamika dari fotografi, juga ada dampak yang ditimbulkannya. Seperti juga halnya lomba foto “Selamatkan Karst Citatah” yang kemudian diikuti pameran foto pemenang dan nominator lomba dengan judul yang sama. Pada kegiatan yang diadakan KRCB (Kelompok Riset Cekungan Bandung) dan Air Photography Communication ini, kita bisa merasakan emosi yang dahsyat saat fakta temuan-temuan KRCB dirilis dalam bentuk visual yang tidak melulu mengedepankan estetika, tetapi juga dibalut dengan semangat idealisme yang kental.
Pegunungan kapur yang membentang sepanjang 6 km di wilayah Citatah hingga Rajamandala ini adalah rekaman purbakala bagaimana dan mengapa cekungan Bandung terbentuk. Rekaman purbakala bagaimana karuhun urang Sunda hidup di pinggiran danau Bandung Purba di masa 9500 tahun yang lalu. Tetapi, karena keserakahan dan ketidaktahuan (serta ketidakingintahuan alias sikap masa bodoh) lah situs purbakala ini dihancurkan dan dieksploitasi hanya demi kepentingan ekonomi sebagian orang saja.
Kegiatan “Selamatkan Karst Citatah” melalui fotografi ini kemudian mencapai level tertinggi, di mana suatu kegiatan kepedulian lingkungan direspon dengan segera oleh gegeden Jawa Barat. Tercatat kemudian pernyataan Wakil Gubernur Jawa Barat, H. Dede Yusuf, saat membuka pameran yang berlangsung dari tanggal 19 s.d. 21 Februari 2009 di Museum Geologi Bandung, yang dengan tegas menyatakan bahwa pemerintah Propinsi Jawa Barat akan segera menyelamatkan Karst Citatah dari eksploitasi penambangan legal dan ilegal. Bila awalnya menunggu anggaran pemerintah Jawa Barat cair pada 2010, maka Wagub H. Dede Yusuf menegaskan bahwa penyelamatan Karst Citatah tidak bisa menunggu selama itu. Wagub menyatakan bahwa karst Citatah akan diselamatkan mulai sekarang juga.
Pernyataan Wakil Gubenur tersebut yang diucapkan pada saat acara pembukaan Pameran Foto “Selamatkan Karst Citatah” adalah suatu bukti bahwa fotografi mampu mendorong terjadinya perubahan sosial. Bagaimana kemudian sosok pemerintah yang biasanya hare-hare untuk masalah lingkungan hidup di negara ini, menjadi sangat peduli dan berjanji untuk melakukan perubahan secepatnya.
Fotografi, terutama di Bandung, dewasa ini telah mampu bergerak keluar dari frame estetika, berita, atau dokumentasi semata. Bergerak ke ranah sosial politik, di mana akan terjadi perubahan paradigma masyarakat dalam memahami karst Citatah. Membuka mata gegeden Gedong Sate melalui hasil jepretan lensa, yang bila semula ‘hanya untuk’ mendokumentasikan karst yang tersisa untuk diwariskan pda anak cucu kelak, kini berkembang menjadi suatu ‘upaya’ perubahan (perilaku) sosial.
Semoga upaya yang dilakukan KRCB dan Air Photograpy Communication serta segenap insan fotografi Bandung ini bisa secepatnya direalisasikan para gegeden kita. Karena bagaimana pun juga, tanpa campur tangan politik, perubahan sosial tidak akan pernah terjadi. Pun fotografi tidak akan pernah beranjak dari sekedar rekaman dokumentasi semata bila para insan fotografi tidak pernah membekali dirinya dengan berbagai wacana ideologis. Bila pada satu wilayah sejarah fotografi di Bandung pernah berjaya di wilayah fotografi estetika, fotografi berita, fotografi komersial, fotografi dokumentasi, maka wilayah sejarah ke depan akan mencatat bahwa fotografi kita mampu menjelajahi wilayah perubahan-perubahan serta dinamika sosial masyarakat, bahkan mampu mengarahkan suatu perubahan.
======================
Ricky Nugraha
Desainer Grafis, Pecinta Kopi dan Fotografi
2.13.2009
DEMOKRASI BUKAN SATU-SATUNYA JALAN
Beberapa hari terakhir ini berita pilkada di Jawa Timur menjadi perhatian saya. Bukan karena konflik berkepanjangan antara Karsa dan Kaji. Atau pilkada ulang di Bangkalan Madura. Tetapi yang menjadi perhatian saya adalah berapa biaya yang dipakai untuk kebutuhan pilkada tersebut. Sampai akhirnya beberapa media elektronik memberitakan bahwa biaya Pilkada Jatim adalah biaya pilkada termahal sepanjang sejarah pilkada di Indonesia: hampir 1 triliun rupiah atau 1000 miliar atau 1.000.000 juta! (punten bilih lepat ngitung, teu tepi kalkulatorna...)
Hampir 1 Triliun biaya masyarakat yang terserap untuk sebuah pesta demokrasi, sebuah pesta representasi, yang katanya dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat. 1 Triliun, sebuah angka fantastis buat seorang buruh tani di kampung Pangatikan yang mendapat upah Rp. 10.000 per hari untuk membersihkan kebun dari jam 6 pagi hingga menjelang magrib. 1 Triliun merupakan angka fantastis untuk seorang buruh pabrik tekstil di Ranca Ekek sana yang hanya mendapat Rp. 30.000 per hari setelah bekerja 8 jam tanpa henti di tengah gemuruh mesin. 1 Triliun adalah angka fantastis untuk seorang guru SD di kaki gunung Manglayang yang saban hari harus naik-turun gunung mencapai sekolah. 1 Triliun adalah angka fantastis bagi seorang wartawan yang setiap liputan yang dimuat di televisi mendapat Rp. 250.000 setelah pontang-panting siang dan malam.
Di kampung saya, di Ciamis, satu pasangan calon bupati dan wakil bupati pada Pilkada 2008 lalu mengelurkan dana minimal Rp. 2 miliar rupiah untuk biaya kampanye saja. Itu biaya yang paling murah. Saat itu ada 4 pasangan cabup-cawabup. Minimal Rp. 8 miliar yang dipakai untuk biaya kampanye saja. Entah itu berbentuk poster, baligo, gaji dan operasional tim sukses, atau sembako dan program dadakan lainnya. Itu baru di Ciamis.
Hasil akhir sebuah demokrasi belum tentu dirasakan. Pemimpin terpilih belum tentu mampu mewujudkan semua janjinya. Rakyat masih harus menunggu sampai pilkada berikutnya untuk memastikan kebenaran pilihannya. Hanya waktu yang bisa membuktikan bahwa pilkada sekarang ini akan menjadi pendidikan politik yang berbiaya sangat mahal. Tetapi dalam pendapat saya, yang paling diuntungkan adalah advertising. Karena merekalah yang menikmati perang antar calon. Orientasi politik menjadi tidak penting saat para calon yang berseteru wacana politik menggunakan jasa printing misalnya, di tempat yang sama. Calon-calon yang berseteru di ranah Pilkada pun muncul di halaman yang sama di surat kabar lokal untuk mengumbar janji dan menarik hati calon pemilih.
Advertising below the line dan above the line adalah pemenang sebenarnya pilkada, pilcaleg, atau pilpres. Katakanlah biaya marketing adalah 1/3 dari biaya produksi dalam teori ekonomi, maka setidaknya 333 Miliar terserap advertising pada Pilkada Jatim saja. Waw.
Coba misalnya yang 333 miliyar itu dikonversi ke dalam bentuk peningkatan mutu dan kualitas pendidikan, sarana dan prasarana umum, atau modal biaya pertanian-perikanan-kelautan. Dipakai untuk memelihara sumber air dan hutan untuk kemaslahatan masyarakat. Dipakai untuk membeli senjata untuk mempertahankan perbatasan. Atau dibelikan kurupuk seperti anekdot urang Sunda bila mengetahui ada penggunaan uang dalam jumlah yang sangat banyak. Kabayang kan meuli kurupuk 333 miliareun... Tong waka ngadaharna, ngagorengna ge lieur...
Demokrasi memang menjadi mimpi indah banyak orang. Tetapi mencapai sebuah mimpi indah harganya ternyata sangat-sangat mahal. Itu baru berupa uang yang secara teori masih bisa diganti. Bagaimana dengan hilangnya nyawa seperti yang terjadi di Medan? Ketua DPRD Sumut pun harus meregang nyawa akibat suatu kegiatan yang disanjung-sanjung sebagai demokrasi. Atau sekian banyak warga masyrakat yang kehilangan nyawa saat pesta pora-demokrasi di jalan raya.
Pertanyaannya, masih bisakah demokrasi dipertahankan? Apakah hanya demokrasi yang menjamin lahirnya kepemimpinan yang bersih dan berwibawa? Apakah masyarakat umum memerlukan demokrasi? Saya pikir, kita memang perlu negara yang kuat dan menjamin hak-hak rakyatnya. Kita perlu negara yang dipimpin oleh orang-orang yang kompeten dan kredibel serta amanah, bermoral dan takut Tuhan. Kita perlu kepemimpinan nasional dan lokal yang bisa membawa masayarakat ke jembatan emas kemakmuran dan kebahagiaan dunia-akhirat. Tetapi saya menolak demokrasi menjadi satu-satunya cara untuk mencapai tujuan itu.
Membuat demokrasi menjadi satu-satunya pilihan adalah hal yang sangat tidak demokratis.
13022009
Hampir 1 Triliun biaya masyarakat yang terserap untuk sebuah pesta demokrasi, sebuah pesta representasi, yang katanya dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat. 1 Triliun, sebuah angka fantastis buat seorang buruh tani di kampung Pangatikan yang mendapat upah Rp. 10.000 per hari untuk membersihkan kebun dari jam 6 pagi hingga menjelang magrib. 1 Triliun merupakan angka fantastis untuk seorang buruh pabrik tekstil di Ranca Ekek sana yang hanya mendapat Rp. 30.000 per hari setelah bekerja 8 jam tanpa henti di tengah gemuruh mesin. 1 Triliun adalah angka fantastis untuk seorang guru SD di kaki gunung Manglayang yang saban hari harus naik-turun gunung mencapai sekolah. 1 Triliun adalah angka fantastis bagi seorang wartawan yang setiap liputan yang dimuat di televisi mendapat Rp. 250.000 setelah pontang-panting siang dan malam.
Di kampung saya, di Ciamis, satu pasangan calon bupati dan wakil bupati pada Pilkada 2008 lalu mengelurkan dana minimal Rp. 2 miliar rupiah untuk biaya kampanye saja. Itu biaya yang paling murah. Saat itu ada 4 pasangan cabup-cawabup. Minimal Rp. 8 miliar yang dipakai untuk biaya kampanye saja. Entah itu berbentuk poster, baligo, gaji dan operasional tim sukses, atau sembako dan program dadakan lainnya. Itu baru di Ciamis.
Hasil akhir sebuah demokrasi belum tentu dirasakan. Pemimpin terpilih belum tentu mampu mewujudkan semua janjinya. Rakyat masih harus menunggu sampai pilkada berikutnya untuk memastikan kebenaran pilihannya. Hanya waktu yang bisa membuktikan bahwa pilkada sekarang ini akan menjadi pendidikan politik yang berbiaya sangat mahal. Tetapi dalam pendapat saya, yang paling diuntungkan adalah advertising. Karena merekalah yang menikmati perang antar calon. Orientasi politik menjadi tidak penting saat para calon yang berseteru wacana politik menggunakan jasa printing misalnya, di tempat yang sama. Calon-calon yang berseteru di ranah Pilkada pun muncul di halaman yang sama di surat kabar lokal untuk mengumbar janji dan menarik hati calon pemilih.
Advertising below the line dan above the line adalah pemenang sebenarnya pilkada, pilcaleg, atau pilpres. Katakanlah biaya marketing adalah 1/3 dari biaya produksi dalam teori ekonomi, maka setidaknya 333 Miliar terserap advertising pada Pilkada Jatim saja. Waw.
Coba misalnya yang 333 miliyar itu dikonversi ke dalam bentuk peningkatan mutu dan kualitas pendidikan, sarana dan prasarana umum, atau modal biaya pertanian-perikanan-kelautan. Dipakai untuk memelihara sumber air dan hutan untuk kemaslahatan masyarakat. Dipakai untuk membeli senjata untuk mempertahankan perbatasan. Atau dibelikan kurupuk seperti anekdot urang Sunda bila mengetahui ada penggunaan uang dalam jumlah yang sangat banyak. Kabayang kan meuli kurupuk 333 miliareun... Tong waka ngadaharna, ngagorengna ge lieur...
Demokrasi memang menjadi mimpi indah banyak orang. Tetapi mencapai sebuah mimpi indah harganya ternyata sangat-sangat mahal. Itu baru berupa uang yang secara teori masih bisa diganti. Bagaimana dengan hilangnya nyawa seperti yang terjadi di Medan? Ketua DPRD Sumut pun harus meregang nyawa akibat suatu kegiatan yang disanjung-sanjung sebagai demokrasi. Atau sekian banyak warga masyrakat yang kehilangan nyawa saat pesta pora-demokrasi di jalan raya.
Pertanyaannya, masih bisakah demokrasi dipertahankan? Apakah hanya demokrasi yang menjamin lahirnya kepemimpinan yang bersih dan berwibawa? Apakah masyarakat umum memerlukan demokrasi? Saya pikir, kita memang perlu negara yang kuat dan menjamin hak-hak rakyatnya. Kita perlu negara yang dipimpin oleh orang-orang yang kompeten dan kredibel serta amanah, bermoral dan takut Tuhan. Kita perlu kepemimpinan nasional dan lokal yang bisa membawa masayarakat ke jembatan emas kemakmuran dan kebahagiaan dunia-akhirat. Tetapi saya menolak demokrasi menjadi satu-satunya cara untuk mencapai tujuan itu.
Membuat demokrasi menjadi satu-satunya pilihan adalah hal yang sangat tidak demokratis.
13022009
2.12.2009
KAU SAJAK ITU
Engkau sajak itu
yang nakal melonjak-lonjak di batinku
menyoraki kekalahan membentengi keangkuhan
Engkaulah rima yang membawa serenada
bertangga bianglala
mencipta irama; yang menggugah, menggairah
Engkaulah musik
pengiring tarian nan cantik
melentikkan api gelora
merasuk, memabuk, di raga dan sukma
Tuhan bisakah kusamarkan rasa
sedang Engkau pemegang semua rahasia
salahkah bila aku lebur
bersama bianglala?
sajak seorang sahabat
yang saya kutip dari
online bulletin di friendster
yang nakal melonjak-lonjak di batinku
menyoraki kekalahan membentengi keangkuhan
Engkaulah rima yang membawa serenada
bertangga bianglala
mencipta irama; yang menggugah, menggairah
Engkaulah musik
pengiring tarian nan cantik
melentikkan api gelora
merasuk, memabuk, di raga dan sukma
Tuhan bisakah kusamarkan rasa
sedang Engkau pemegang semua rahasia
salahkah bila aku lebur
bersama bianglala?
sajak seorang sahabat
yang saya kutip dari
online bulletin di friendster
2.03.2009
PAJAK & NEGARA
Akhirnya, mencoba patuh pada negara...
OK, bila negara ingin rakyatnya membayar pajak, tolong mulai sekarang berantas KORUPSI, karena saya merasa NAJIS bila uang pajak hanya masuk ke kantong pribadi.
Aing mah néangan duit satengah modar, ngabelaan jauh ti anak pamajikan...
Jungkir-jumpalik nahan kasono. Dug hulu pet nyawa. Hulu jadi suku, suku jadi hulu. Nahan kacapé, nahan sagala rupa, kaasup kudu mereketkeun haté ngaladénan jalma nu loba polahna. Kudu ngéléhan dina rupa-rupa pasu'alan séjénna.
TEU RIDLO LILLAHI TA'ALA najan ngan SAPERAK mun duit pajeg di-KORUPSI!!!
Duit pajeg nu dibayar kumaha wé carana kudu balik deui ka rahayat:
pendidikan (atikan) nu murah/ gratis & berkualitas. Layanan keséhatan nu manusiawi & kahontal ku rahayat leutik. Ulah nu loba duit hungkul nu bisa asup rohangan VVIP & layanan dokter kelas t-o-p téh. Ulah barudak beunghar hungkul, nu teu nyaho kanyataan hirup ra'yat leutik, nu bisa ka sakola/universitas nu berkualitas téh.
Kaasup ka Ngarojong Usaha Kecil & Menengah ku dékéngan moral, modal, jaringan, kaamanan, oge pemberdayaan kualitas. Ulah saeutik-eutik pungli, ngurus itu- ieu pungli. Ngadidik guru-guru SD tepi ka Universitas nu manusiawi, katut ngajamin hak-hak aranjeunna nu geus ngatik ieu bangsa. Dipaké ngatik SDM nu bisa bersaing jeung bangsa séjén. Najan jaradi TKI atawa TKW, tapi bangsa urang kudu dilatih jadi bangsa terampil/parigél ngarah teu digunasika di lembur batur jeung ku batur.
Pamaréntah, saprak ayeuna teu kaci cul leos ka warga masarakatna. Duit pajeg KUDU dipake keur ngawangun budaya masarakat Indonesia nu sehat, bersih, beradab, berkualitas, oge parigel dina sagala widang.
Duit pajeg CADU dipake keur meuli pakarang/senjata nu baris ngagunasika rahayatna sorangan.
Duit pajeg LAIN keur dipake mayaran hutang luar negeri, nu sumpah, lolobana dipake keur kapentingan pribadi lain jang balarea.
Duit pajeg MONTONG dipaké keur meulian alat-alat nu teu kapaké ku balarea.
Duit pajeg MONTONG dipake ngawangun bangunan-bangunan nu rayat leutik teu meunang asup ka dinya.
Duit pajeg CADU dipake meuli imah & mobil mewah para gegedén. Komo bari jeung dibikeun ka awéwé simpenan mah.
Duit pajeg TEU MEUNANG dipaké keur ngabangun jalan atawa fasilitas umum mewah nu ngarusak lingkungan hirup.
Duit pajeg LAIN KEUR dipake ngagalaksak leuweung, gunung, laut, jeung sakabeh pangeusina.
Duit pajeg LAIN KEUR nalangan pengusaha-pengusaha bank anu bangkrut alatan ngajalankeun ékonomi ribawi & kapitalistik.
Duit pajeg OGÉ LAIN keur dipake ngamodalan parpol nu eusina saukur avonturir jeung jalma-jalma nu haus kana kakawasaan bari teu maliré rahayat jeung hirup kumbuhna.
Duit pajeg OGÉ LAIN KEUR keur ngagajih anggota dewan nu ngadon sasaré atawa ngadon salingkuh jeung nu lain muhrimna di wanci nu sakuduna mélaan rahayatna. Komo bari jeung dipake mabok INUMAN & NARKOBA mah.
MAMPUH TEU? MUN TEU MAMPUH, EUREUN WE JADI NAGARA TÉH!!!
2.02.2009
Firmware Update Untuk Pengguna Digicam Canon
Berawal dari rasa penasaran, saya mencoba masuk ke situs www.chdk.wikia.com seperti yang disarankan sebuah majalah komputer. Hal ini dilakukan karena saya mulai 'kurang puas' dengan Powershot S51S yang saya miliki. Ternyata di www.chdk.wikia.com saya menemukan harta karun: firmware update untuk digicam Canon berbagai jenis dan tipe. Firmware update ini merupakan semacam unlock' pada prosesor DIGIC III yang terpasang pada Powershot S5IS. Firmware update yang oleh penulisnya dinamakan CHDK atau Canon Hack's Developer Kits, yang merupakan firmware pengayaan (enchanchement) yang berfungsi untuk membuka keterbatasan digicam Canon yang memakai prosesor DIGIC II atau DIGIC III. Mulai Powershot A450 dengan DIGIC II, Digital Ixus 80 dengan DIGIC III, sampai Powershot TXI dengan DIGIC III.
CHDK ini berhasil membuat Powershot S5IS mampu meng-capture gambar dalam format RAW, yang tentu saja lebih kaya warna dan data dan mudah diolah dalam software pengolah foto. Menembus keterbatasan shutter speed dari 1/1600 menjadi hingga 1/80.000 (wow!), dari asalnya 15 s menjadi 64 s. Membuka diafragma dari maksimal f/8.0 hingga menembus f/16.0, memunculkan indikator batere (hal vital yang tidak ada dalam firmware resmi), bahkan dilengkapi dengan Games seperti Sokoban dan Mastermind. Pengayaan ini seolah membuat S5IS menjadi D1 Mark II, seolah menjadi game watch.
Setidaknya, keterbatasan-keterbatasan dalam DIGIC III berhasil dienyahkan sehingga berasa seperti memakai kamera yang 10 kali lipat lebih mahal. Walau tentu saja 'hate mah teu bisa dibohongan'. Seperti meng-upgrade Yamaha Mio menjadi HD Softail 1000 CC. Tetap saja ada kekurangannya. Terutama dari segi interface yang sedikit lebih rumit.
Kelebihan lainnya adalah firmware yang dibuat kelompok open source ini gratis dan tidak merusak firmware bawaan. Karena firmware ini di-install pada SD card, bukan pada BIOS kamera. Sehingga bila ternyata tidak sesuai dengan kemudahan yang ada pada kamera standar, firmare ini bisa dihapus dengan cara memformat SD Card. Jaminan aman ini juga dicetuskan dalam situs yang bersangkutan. Walau tentu saja, penggunaan firmawre non pabrikan mebuat anda kehilangan garansi dan mereka (Developer CHDK) tidak bertanggung jawab atas kerusakan yang mungkin ditimbulkan atas kesalahan penggunan firmware.
Tapi di luar berbagai kekurangan, dengan adanya pilihan RAW pada S5IS dengan firmware update s5is-101b-0.9.5-701, membuat hidup lebih leluasa. Ada pilihan yang asyik yang lebih kaya dan lebih dari sekedar JPG. Minimal, keluhan akan noise yang mengganggu saat menggunakan ISO tinggi bisa dikurangi dengan penggunaan RAW. Apalagi memang firmaware update ini juga bisa memberi pilihan rentang ISO yang lebih luas. Mulai ISO 50 - 64 (default ISO 80), sampai ISO 3200 (default ISO 1600). Setidaknya, bagi fotografer kelas hiburan seperti saya, firmware update ini memang menghibur. Yah namanya juga kamera kelas hiburan.
:D.
Catatan:
Sebelum melakukan update BACA DENGAN SEKSAMA apa yang tercantum di dalam website tersebut, juga di dalam file README.TXT yang terdapat di dalam zip kontainer firmware ybs. Segala kesalahan dan kerusakan menjadi tanggung jawab pribadi masing-masing!!!
12.25.2008
http://6ix2o9ine.blogspot.com
Iklan-Bisnisnya Teman
Iklan-Bisnisnya Teman
Bintang Reload, menyediakan real-time servis yang memungkinkan semua pelanggan prabayar untuk melakukan transaksi pengisian ulang pulsa elektronik kapan pun dan di mana pun selama ada sinyal di handphone. Servis ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat masa kini yang ingin mengurangi keterikatan pada waktu dan tempat. Hanya dengan beberapa kali klik di handphone dan tanpa harus hadir di counter penjual voucher, Anda dapat melakukan transaksi pengisian pulsa.
Kini, hanya dengan uang minimal Rp.100.000,- Anda sudah bisa berjualan berbagai macam pulsa elektrik Kapanpun!!! dan Dimanapun!!!
MAU???
http://www.bintang-reload.com/
11.22.2008
11.18.2008
Cagar Alam Talaga Bodas, Garut
Bagi yang berjiwa petualang (bukan petualang cinta tapinya, apalagi petualang politik...). diantos kasumpinganana di Talaga Bodas Garut.
Sebuah danau kawah yang asyik dan exciting buat berlibur dan hide out dari debt coll, mantan pacar, mantan suami/istri, sekretaris pribadi yang minta dikawin, serta selingkuhan yang hamil duluan...
Danau seluas 5 hektar ini berada di Garut Timur, Kabupaten Garut, Jawa Barat dengan status kawasan taman wisata alam (TWA) seluas 28 hektar. Talaga Bodas sendiri merupakan cagar alam dengan luas total 280 hektar yang dikelilingi pegunungan (gunung Masigit, Gunung Canar) dan berada di ketinggian 1718 m dpl dengan koordinat 07*12''.453 LS dan 108*03.899 BT.
Jarak tempuh dari Wanaraja sekitar 10 km (garis lurus peta) atau sekitar 16 km sesuai kontur. Dapat ditempuh dengan berjalan kaki selama l.k. 5 jam atau menggunakan kendaraan selama 2 jam (bonus:gugurudugan!) dengan permukaan jalan tanah yang berbatu, tipikal jalan perkebunan.
Bagi yang suka mandi air panas, di Talaga Bodas ada sumber air panas yang berkhasiat menyembuhkan segala penyakit kulit. Mengandung sulfur/belerang dosis tinggi serta mineral lainnya. Itulah yang membuat air Talaga Bodas berwarna putih.
Mitos di air panas adalah air panas tersebut dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit. Syaratnya setelah mandi harus membuang celana dalam yang dipakai mandi. Jadi ancaman sampah terbesar di Talaga Bodas adalah sampah celana dalam. Tapi bagi yang berjiwa wiraswasta, mungkin dapat mengolah celana-celana dalam tersebut menjadi sesuatu yang bermanfaat. Selimut atau kaos distro misalnya...
Talaga Bodas juga merupakan ignored gas mining (karaha Field). Jadi di beberapa lokasi sebelum talaga, bisa ditemukan beberapa tambang gas yang terbengkalai.
10.17.2008
Komunitas Sahabat Gunung Sawal Ciamis
Assalamualaikum wr.wb.
Seperti yang telah kita ketahui bersama, kondisi dan kualitas lingkungan hidup yang sehat adalah jaminan bagi kelangsungan hidup manusia yang sehat pula.
Pengelolaan lingkungan hidup yang buruk di masa lalu sekarang mulai menyebabkan banyak masalah khususnya di Indonesia. Kualitas udara yang buruk, meningkatnya suhu udara, serta bencana hanyalah sebagian yang bisa kita ingat sebagai akibat rusaknya lingkungan hidup. Belum lagi ancaman pemanasan global (global warming) dan perubahan musim (climate change), yang mengancam eksistensi umat manusia.
Kita tidak bisa hanya mengeluh dan menyalahkan pemerintah, pelaku kejahatan lingkungan, atau mereka yang kita anggap sebagai perusak lingkungan hidup. Butuh lebih dari sekedar saling menuduh dan menyalahkan. Sebagai warga masyarakat yang sadar akan hak dan kewajibannya, kita harus bergerak keluar dari tataran teori, diskusi tanpa arti dan keluhan berkepanjangan. Kita harus bergerak mewujudkan kualitas lingkungan hidup yang aman dan nyaman yang menjadi impian kita semua.
Untuk itu, sebagai suatu langkah awal, bersama beberapa teman kami berada dalam tahap pembentukan Komunitas Sahabat Gunung Sawal Ciamis (KSGS), yang bertujuan untuk menuntut pengelolaan gunung Sawal yang lebih baik oleh semua pihak. Pengelolaan yang dibentuk dari berbagai unsur masayarakat, LSM, pemerintah, pribadi-pribadi yang handal dan kompeten. Pengelolaan yang seharusnya mampu melindungi Gunung Sawal dari kerusakan lebih parah.
Pengelolaan Gunung Sawal yang baik diharapkan dapat memperbaiki kualitas lingkungan hidup khusunya di sekitar kabupaten Ciamis. Udara yang bersih, sehat, dan sejuk. Ketersediaan air bersih untuk minum-makan-mandi-wudlu dan keperluan lain. Ketersediaan habitat yang sehat untuk berbagai flora dan fauna di Kawasan Gunung Sawal, tersedianya lahan dan lapangan pekerjaan bagi masyarakat yang tinggal di sekitar Gunung Sawal tanpa harus merusak hutan. Serta terjaganya warisan karuhun urang Sunda yang diwariskan dari semenjak masa Kerajaan Sunda-Galuh.
Komunitas ini bersifat nirlaba, tidak mengikat, dan dapat diikuti semua fihak. Tidak bersifat politik praktis, tidak untuk menggalang massa agar berafiliasi dengan partai atau kelompok tertentu atau untuk memilih caleg atau calon kepala daerah tertentu. Komunitas ini berdasarkan gerakan moral, niat baik serta keinginan untuk mewujudkan kualitas hidup yang sehat di dalam ekosistem yang sehat pula.
Bagi seluruh warga Ciamis, baik yang masih bermukim di Ciamis, atau yang 'ngumbara di lembur batur' diharapkan dapat berpartisipasi dalam komunitas ini. Turut serta dalam upaya-upaya konservasi Gunung Sawal serta pengelolaan yang transparan, akuntabel, serta berorientasi kepada rasa keadilan sosial untuk seluruh masyarakat.
Untuk dukungan, pertanyaan, kritik, saran, serta informasi tambahan dapat dilayangkan ke: sahabatgunungsawal@gmail.com.
Hayu Warga Ciamis. Kanyaah Ka Gunung Sawal Urang Pedarkeun Jadi Tarekah Nu Nyata.
...aya nu mapandeuri pakena gawe ring hayu pakeun heubeul jaya dina buana... (Prasasti Kawali)
Wassalamualaikum wr.wb.
Ricky Nugraha
a.n. Komunitas Sahabat Gunung Sawal Ciamis
10.14.2008
SALAH NGAGEMBOK MOTOR
http://6ix2o9ine.blogspot.com
Harita téh poé Jumaah. Teuing ku naon, poé éta rarasaan téh loba pisan kacowna. Mimiti basa pabeubeurang dompét ngadon ragrag di Hoka-Hoka Bénto Antapani. Sabot keur jumaahan aya nelepon ka nu di imah yén inyana manggihan dompét nu ragrag di kolong méja. Tayohna mah satutasna mayar, dompét Avtéch beureum nu asalna disimpen dina saku jékét téh ngadon ragrag.Lantaran paciweuh bari ngahuapan si Kaka, harita téh kuring dahar ngan duaan jeung si Cikal, ogé hayang motrét. Antukna basa dompet merejel teu kanyahoan. Untung muragna di jero réstoran. Dompét teh bisa balik deui dina kaayaan weuteuh, teu kurang sapérak-pérak acan.
Soréna, si Kaka hayang dipangmeulikeun momobilan."Hoyong mobil polisi téa Bi", cenah ngarenghik. Atuh jeung ninina, kaburitnakeun ngahajakeun nyiar momobilan nu dipikahayang ku si Ujang. Mimitina ka Carrefour Kiaracondong nu di Bypass/Samsat. Suwung. Lain euweuh barangna, tapi hargana teu asup. Ti dinya tuluy ka BSM, da ceuk ninina aya di Giant BSM.
Satepina di BSM, lantaran geus maju ka wanci magrib, rada rusuh ngonci motor téh. Teu alak-ilik heula, da rarasaan mah geus bener ngagembok si Mio maké gembok palebah disc brake nu hareup. Jongjon wé harita mah nyiar momobilan téa ka Giant. Suwung. Sarua hargana teu cocog. Nya ngarah kabébénjokeun, Si Ujang téh diajak heula ulin di Kota Fantasi. Maké tumpak Bianglala, Kakapalan, jeung kakarétaapian sagala.
Kaluar ti BSM téh kurang leuwih jam 8 peuting. Basa di parkiran kuring nempo bapa-bapa keur culang-cileung hareupeun motorna, nu parkirna sabelah motor kuring. Katempo ogé dua urang petugas parkiran BSM keur ngetrokan gembok. Tayohna mah kagembok motorna téh. "Leungit konci tayohna mah", gerentes haté bari muru motor. Rék muka gembok.
Na barang nempo ban hareup, gebeg, reuwas! Naha motor kuring teu digembok? Rarasaan mah da tadi burit digembok. Dina kaayaan nu remeng-remeng, rét kana gembok nu keur ditakolan téa, rek dilaan, da diragaji mah teu teurak, gebeg.... Anjir geuning gembok kuring bet ngonci motor batur...
Buru-buru konci gembok dibikeun ka tukang parkir. Polonyon we gembok nu tadina pageuh 'ngeukeupan' motor Yamaha Véga téh leupas. Puguh wé da ku koncina. Tayohna mah, bakating ku rusuh, kuring kalahka ngagembok motor batur, lain motor sorangan. Jeung ngérakeunana teh, motorna téh beda jinis. Najan sarua mérekna Yamaha, tapi motor kuring mah Yamaha Mio, nu si Bapa mah Yamaha Véga...
Singet carita: mun rek ngagembok motor, turutan kuring make gembok mérek ABUS, luyu jeung foto nu dipasang. Teu teurak diragaji, teu teurak digedor, cacakan dipocél gé teu teurak kénéh. Dina teurakna gé butuh waktu jam-jaman + gandeng kacida...
Ka Bapa-bapa nu maké Yamaha Véga + Tukang Parkir di BSM: Hampura, da lain dihaja....
Untung teu digebugan gé 😆
9.28.2008
Ifa 1 Tahun
9.20.2008
Helarctos malayanus
Beruang madu merupakan jenis paling kecil dari delapan jenis beruang yang ada di dunia. Beruang madu yang ada di Pulau Borneo merupakan yang paling kecil dan kemungkinan dapat digolongkan sebagai sub-jenis (sub-species) dengan nama H.malayanus eurispylus. Berat badannya berkisar antara 30 sampai dengan 65 kilogram untuk beruang madu di Borneo, kalau di Asia Tenggara dan Sumatra beruang madu agak lebih besar (50-90 kg-walaupun tidak ada data dari alam).
Beruang madu berbulu hitam, pendek, dan tebal. Hampir setiap beruang madu mempunyai tanda di dada yang unik (warnanya biasanya kuning, oranye atau putih, dan kadang-kadang bertitik-titik) dalam bentuk ’V’, ’U’ atau bundar.
Lengan beruang madu melengkung ke dalam, telapak tangannya yang tidak berbulu, dan kukunya panjang-panjang.
Beruang madu hidup hanya di Asia Tenggara dari ujung timur India dan bagian utara Burma sampai ke Laos, Kamboja, Vietnam dan Thailand sampai ke selatan di Malaysia, dan Pulau Sumatra dan pulau Borneo. Ada catatan historis yang menunjukkan bahwa beruang madu dulu terdapat di Tibet, Bangladesh, bagian selatan dari Cina, dan di Pulau Jawa.
Hutan hujan tropis merupakan habitat utama beruang madu. Makanan utamanya adalah serangga (terutama rayap, semut, larva kumbang dan kecoa hutan). Selain itu beruang madu makan berbagai jenis buah-buahan, apabila tersedia. Sesuai namanya, beruang madu sangat suka madu dari jenis kelulut.
Beruang madu pada umumnya tinggal soliter di hutan terkecuali induk dengan anak (pada umunya hanya 1 anak).
Musim kawin diperkirakan setahun penuh karena tidak ada musim dingin atau makanan yang khusus. Beruang madu sangat aktif dan sehari penuh mencari makanan. Di hutan tropis yang habitatnya, bisa ditemukan makanan setahun penuh, makanya beruang madu tidak perlu hibernasi.
Beruang madu saat ini dianggap rentan terhadap kepunahan (Vulnerable) karena habitatnya (hutan tropis) begitu banyak menyusut dan dibabat dalam 30 tahun terakhir ini. Selain habitatnya yang hilang, beruang madu juga diburu untuk mendapat empedunya atau bagian lain dari tubuhnya.
kunjungi saja beruangmadu.org
text by Gaby
pic by Ricky
Kaka 3 Taun
Alhamdulillah, tanggal 03092008 teh si Ujang jejeg 3 taun... Yap didu'akeun ku Abi + Umi, sing jadi budak soleh, bangeur-bener-pinter-cageur, sehat jasmani-rohani, iman islam taqwa ka Alloh Ta'alla. Parek rezeki panjang umurna.... Nyaah ka sasama dipikanyaah ku balarea. Sing jadi conto tuladan nu hade keur neng Ifa, kulawarga, oge balarea... Amin.
9.17.2008
GIGI Ngabuburit di Ciamis
Ciamis yang biasanya sunyi sepi, hari ini, 17 September 2008 kedatangan GIGI. Tentu saja, alun-alun Ciamis yang biasanya lengang kali ini penuh sesak.... Jelema ti suklakna ti sikulakna ngaliud ngaheurinan alun-alun... Edun, rebuan jelma ti mana-mana.... Begitu asup waktu magrib. Pesss we, pareum deui :D
2.13.2008
MAUT DI TENGAH KONSER MUSIK METAL
MAUT DI TENGAH KONSER MUSIK METAL
Betapa kagetnya saat browsing berita di internet saya mengetahui bahwa ada tragedi yang mengakibatkan 11 anak manusia meregang nyawa di geduang AACC Bandung. Lagi-lagi nyawa harus diregang paksa hanya karena suatu hal yang menurut saya sepele: kesenangan. Musik yang mengantar pada euforia dan kesenangan juga ternyata menjadi melodi pengiring saat malaikat maut menjemput.
Dari pemberitaan yang terdapat di media massa, saya menarik beberapa simpul masalah penyebab terjadinya tragedi konser maut tersebut:
1. Penonton membludak melebihi kapasitas gedung,
2. Tidak adanya gedung kesenian yang representatif untuk menampung kegiatan kesenian anak muda di Bandung,
3. Pemerintah Daerah tidak peduli pada kegiatan kesenian anak muda di Bandung. Padahal Bandung dikenal sebagai barometer musik Indonesia,
4. Alkoholisme. Yep, gak mabok gak metal dong...
5. Pengamanan dari panitia dan kepolisian tidak antisipatif,
Saya sepakat dengan apa yang dilansir Gustaff Hariman dalam pertemuan pascakonser maut (PR, 11 Februari 2008) yang mengatakan bukan alirann musik yang menjadi penyebab kerusuhan. Sebab, grup band ‘adem ayem’ seperti Ungu pun ternyata mengundang maut pada slah satu konsernya di tahun 2007 yang lalu.
Tapi, ini Cuma pertanyaan, apakah aliran musik metal grup metal Beside, yang tampil di acara konser tersebut? Thrash metal, hop metal, atau mungkin black metal? Bila yang terakhir, cukup patut dicurigai, apakah Beside menggelar ‘ritual’ tertentu? Soalnya, yang saya tahu, black metal ditengarai menyuarakan pemujaan terhadap setan. Seperti misalnya band Koil. Dalam lagu ‘Peluk Diriku’, saya menangkap sisi gelap yang secara eksplisit mengungkapkan pemujaan terhadap ‘kegelapan’. ...peluklah diriku//kegelapan abadi//berdoalah saudara-saudara//supaya persembahan kita//diterima olehnya, yang maka kuasa, yang maha kuasa...
Meureun ieu mah, si setan minta korban, soalnya dipuja-puja sih...
Euh berarti saya harus cari mp3-nya Beside untuk ‘mengurai’ liriknya...
Tetapi, apapun itu, semoga maut tidak kembali terulang di tengah konser musik di manapun juga. Harga yang harus dibayar untuk suatu kesenangan yang profan, sangatlah terlalu mahal. Terlalu mahal...
Ciamis, 12 Februari 2008
Betapa kagetnya saat browsing berita di internet saya mengetahui bahwa ada tragedi yang mengakibatkan 11 anak manusia meregang nyawa di geduang AACC Bandung. Lagi-lagi nyawa harus diregang paksa hanya karena suatu hal yang menurut saya sepele: kesenangan. Musik yang mengantar pada euforia dan kesenangan juga ternyata menjadi melodi pengiring saat malaikat maut menjemput.
Dari pemberitaan yang terdapat di media massa, saya menarik beberapa simpul masalah penyebab terjadinya tragedi konser maut tersebut:
1. Penonton membludak melebihi kapasitas gedung,
2. Tidak adanya gedung kesenian yang representatif untuk menampung kegiatan kesenian anak muda di Bandung,
3. Pemerintah Daerah tidak peduli pada kegiatan kesenian anak muda di Bandung. Padahal Bandung dikenal sebagai barometer musik Indonesia,
4. Alkoholisme. Yep, gak mabok gak metal dong...
5. Pengamanan dari panitia dan kepolisian tidak antisipatif,
Saya sepakat dengan apa yang dilansir Gustaff Hariman dalam pertemuan pascakonser maut (PR, 11 Februari 2008) yang mengatakan bukan alirann musik yang menjadi penyebab kerusuhan. Sebab, grup band ‘adem ayem’ seperti Ungu pun ternyata mengundang maut pada slah satu konsernya di tahun 2007 yang lalu.
Tapi, ini Cuma pertanyaan, apakah aliran musik metal grup metal Beside, yang tampil di acara konser tersebut? Thrash metal, hop metal, atau mungkin black metal? Bila yang terakhir, cukup patut dicurigai, apakah Beside menggelar ‘ritual’ tertentu? Soalnya, yang saya tahu, black metal ditengarai menyuarakan pemujaan terhadap setan. Seperti misalnya band Koil. Dalam lagu ‘Peluk Diriku’, saya menangkap sisi gelap yang secara eksplisit mengungkapkan pemujaan terhadap ‘kegelapan’. ...peluklah diriku//kegelapan abadi//berdoalah saudara-saudara//supaya persembahan kita//diterima olehnya, yang maka kuasa, yang maha kuasa...
Meureun ieu mah, si setan minta korban, soalnya dipuja-puja sih...
Euh berarti saya harus cari mp3-nya Beside untuk ‘mengurai’ liriknya...
Tetapi, apapun itu, semoga maut tidak kembali terulang di tengah konser musik di manapun juga. Harga yang harus dibayar untuk suatu kesenangan yang profan, sangatlah terlalu mahal. Terlalu mahal...
Ciamis, 12 Februari 2008