Tahukah kamu, UU CILAKA sekitar 1000 halaman itu setara dengan 2 rim kertas A4 setinggi ± 10 cm dengan berat ± 2,5 Kg?
Sudahkah kamu membacanya? Kalau sudah, daekan ih membaca #OmnibusLawSampah yang dibuat tanpa memperhatikan aspirasi & melibatkan partisipasi publik.
UU Cilaka dengan ratusan pasal itu adalah UU lintas sektoral yang hendak merangkum ratusan UU yang dianggap bermasalah. Mulai tenaga kerja, investasi, pendidikan, lingkungan, bahkan produk halal.
Alih-alih menyelesaikan masalah, justru berpotensi membuat masalah baru karena isinya bertentangan dengan UUD 1945.
UU Sapu Jagat serupa ini, pernah dibuat di AS pada abad ke-18 untuk melegalisasi perbudakan di AS. UU ini dicabut pada tahun 1865 oleh Abraham Lincoln karena bermasalah.
UU Cilaka di Indonesia dibikin tergesa-gesa dan cacat prosedural dalam pengesahannya. Tidak jelas kajian akademisnya. Hanya menguntungkan segelintir penguasa dan pengusaha serta kroninya.
UU Cilaka ini juga masih memerlukan ratusan turunan peraturan pelaksana, yang justru membuat semakin tidak efisien. Apalagi penyusunan peraturan turunan ini, menurut pemerintah, juga akan dikebut dalam 3 bulan.
Jadi abaikan para Sahabat Halte dan Sahabat Itik yang mengalihkan fokus kita agar lupa substansi masalah. Biarkan kaum Dungu itu menyibukkan diri dengan terbakarnya halte dan kerusakan fasum.
Kita sesalkan aksi ini berakhir rusuh. Tetapi kita harus ingat, aksi 212 yang berjalan damai pun tetap dinyinyiri kaum Londo Ireng untuk mereduksi fakta dan kebenarannya.
Jadi apapun yang terjadi dalam aksi dari tanggal 5-8 Oktober 2020 dan aksi lanjutan, tetap akan dinyinyiri para Londo Ireng.
Kita dorong Si Ceking Tapi Rakus itu agar mencabut UU bermasalah sesegera mungkin sebelum korban berjatuhan. Tidak perlu judicial review ke MK karena kita tahu, MK juga sudah disusupi kepentingan mereka. Ingat RUU KPK atau BPJS yang walau sudah dimenangkan MK tetapi tetap dijalankan oleh Rezim Kodok Merah ini.
Apalagi UU CILAKA ini dibuat dengan menyalahi prosedur.
#TolakOmnibusLaw sampai ke akar-akarnya.
Selamatkan anak cucu kita dari perbudakan di balik UU yang tidak jelas isinya dan cacat prosedural.
Ini bukan tentang kita, tapi demi mereka, anak cucu kita agar jangan sampai menjadi budak di negeri sendiri.
Aksi menolak #OmnibusLawSampah tampaknya tidak mengusung jargon aksi damai. Dari pantauan di Twitter, dalam dua hari ini (5-6/10/2020) aksi di banyak kota selalu berujung bentrok dengan aparat kepolisian
Pun di Bandung, yang dianggap sebagai salah satu patokan sebagai 'kota adem dan santuy'. Hingga ada seloroh bila Bandung sudah 'bergoyang' maka ini adalah tanda bila kondisi negara sedang tidak baik-baik saja.
Taman Dago Cikapayang Selasa kemarin (5/10/2020) dirusak massa yang marah. Gedung DPRD Jawa Barat memanen asap gas air mata. Pentungan polisi bergerak ke sana kemari, menyabet membabi-buta untuk membubarkan massa yang terdiri dari kaum Mahasiswa, pelajar, Buruh, dan banyak lagi.
Di linimasa media sosial juga tak kurang garang. Penolak Omnibus Law sudah tidak segan lagi mengeluarkan makian yang sangat kasar sekalipun. Hal ini dikarenakan pihak pro pemerintah juga mengeluarkan konten yang menolak klaim para penolak.
Seperti biasa, para buzzeRP pro pemerintah selalu menyebut HOAX pada klaim penolak anti kebijakan pemerintah. Pola yang sama yang dilakukan sejak 2013 semenjak kelompok Jasmev melakukan kampanye pemenangan Jokohok di Pilgub DKI.
Artis-artis yang di masa pemerintahan SBY begitu garang mengkritik pemerintah dengan lagu-lagunya, di jaman ini kerongkongannya seperti tersumpal kaos kaki basah. Sebut saja Slank atau Iwan Fals atau band-band underground beraliran kiri.
Tak ada lagu yang mereka nyanyikan untuk mengkritik pemerintah Jokowi. Akun media sosial mereka cenderung sepi.
Beberapa tokoh masih tampak berusaha menjilat. Hingga menurut kang Rihan Handaulah mah "Inilah karamah pak jokowi, semua orang selalu berhusnuzhan ke beliau. Tidak ada habisnya voucher kekaguman org2 padanya yg dimilikinya. Luar biasa," tulisnya mengomentari twit Haidar Bagir yang terus memuji dan enggan menyalahkan Jokowi.
Selain bentrok massa dengan petugas keamanan, di beberapa tempat aksi juga dilakukan dengan menutup jalan nasional. Akibatnya sudah dapat dipastikan bila jalur transportasi terganggu, dan hal ini bisa mengganggu proses distribusi ke pabrik-pabrik.
Aksi yang serentak ini seolah tidak mempedulikan wabah yang sedang terjadi. Karena para pengunjuk rasa anti Omnibus Law tahu, wabah akan berhenti suatu hari nanti. Tetapi Omnibus Law akan semakin merajalela usai wabah. Omnibus Law akan merampas hak dan kemerdekaan manusia Indonesia.
Tidak hanya ancaman perbudakan yang akan mengancam anak cucu. Tetapi lingkungan dan alam sekitar pun akan terampas hak hidupnya oleh kekuasaan dan oligarki yang rakus. Untuk mempercepat investasi, Omnibus Law menghilangkan amdal. Tanah yang subur untuk lahan pertanian bisa dikonversi menjadi lahan industri. Hutan dan gunung dan isi boleh dieksploitasi sesuka hati, terutama oleh pengusaha tambang dan sawit.
Maka menjadi wajar bila aksi dua hari ini dan entah beberapa hari ke depan, diwarnai kekerasan dan bentrok massa. Meminjam komentar Mas Billy Sabil Zaidanezaro, hal ini menjadi logis karena sudah 7 bulan manusia Indonesia didera tekanan berat akibat pandemi.
"Logis dong kalo serentak. Dari Maret orang udah nahan perut laper,nunggak cicilan,susah mikir sehat, dan 7 bulan masih nothing. Ini bicara ttg momentum. Tetap berjuang!", cuit Billy.
Lalu apa yang bisa kita bantu di linimasa media sosial kita? Dukung mereka yang menolak omnibus law. Berpihaklah. Ini bukan tentang kita hari ini. Tapi tentang mereka, anak-anak kita yang terancam menjadi budak.
Gunakan bahasa yang santun dan tidak provokatif, karena polisi mengintai pergerakan media sosial dengan perangkat UU ITE.
Bagi yang mau mengikuti aksi, selalu terkoneksi dengan simpul-simpul massa. Jangan sendirian, usahakan berkelompok minimal ber-3. Terapkan protokol kesehatan. Bawa masker dan pelapisnya, hand sanitizer, air minum dan makanan secukupnya.
Bila perlu siapkan larutan magasida, sarung tangan tebal dan kacamata renang/google. Kita akan berhadapan dengan gas air mata yang dibeli dengan memakai uang pajak yang kita bayarkan pada negara.
Dan buruh bukanlah kata yang hina, karena kita semua umumnya buruh. Siapa saja yang menerima upah dari orang lain, baik itu di pabrik, di toko, di kantoran, di rumah sakit, di ruang kelas, di meja gambar, di balik komputer, di ruang ber-AC, di balik jas dan dasi, adalah buruh.
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan, dituduh subversif dan mengganggu keamanan, maka hanya ada satu kata: LAWAN!
Korban adalah social climber. Demi pengakuan dari komunitasnya, selama perjalanan ke Bandung mengunggah banyak status dan foto di media sosial.
Padahal Persib sudah melarang suporter tamu untuk datang. Persija juga sudah melarang suporternya untuk ke Bandung.
Tidak hanya itu, himbauan juga dikeluarkan PP Jakmania. Bahkan seorang legenda Persija, Bambang Pamungkas, juga memberikan larangannya.
Semua larangan sudah disebar melalui media sosial dan media massa. Larangan itu adalah untuk MENCEGAH ADANYA KORBAN
Tetapi korban (dan banyak suporter Persija lainnya) tetap nekad ke GBLA untuk mendukung Persija dengan cara SEMBUNYI-SEMBUNYI. Melanggar LARANGAN dan KESEPAKATAN antara kedua belah pihak.
Akibatnya, seperti yang sudah terjadi, menyepelekan larangan berakibat fatal KEMATIAN.
Siapa yang bisa mengontrol emosi massa? Siapa yang bisa mencegah amuk massa? Anda berani melerai massa yang sedang diamuk marah?
Tahun lalu almarhum Riko wafat di tribun GBLA saat melindungi Jakmania yang tertangkap MENYUSUP. Riko adalah anggota Viking Frontline.
TIDAK ADA YANG ALASAN APAPUN MEMBENARKAN PENGEROYOKAN INI. Bobotoh pelakunya tetap bersalah dan harus dihukum.
Tetapi menghukum Persib Bandung, Bobotoh lain adalah bukan solusi. Karena Persib sebagai institusi sudah mengoptimalkan segala kemampuannya.
Organisasi-organisasi Bobotoh juga sudah melakukan hal yang sama. Kepolisian juga sudah memberikan yang terbaik.
Jadi daripada memperkeruh suasana, sebaiknya yang tidak mengetahui duduk perkaranya, untuk menahan diri tidak berkomentar.
Kami, kita semua prihatin dan menyesalkan perbuatan ini. Biarkan dan kita bantu kepolisian untuk mengungkap dan menuntaskan kasus ini.
RNS
sebuah catatan lama yang semula ditayangkan di akun Facebook pribadi saya, 24092018. Sehari setelah kejadian berdarah. Tulisan ini sempat viral dengan ribuan shares dan react, ribuan komen, dan juga ribuan cacian. Dicopas dimana-mana dan dihilangkan identitas penulis asalnya :)
Bagaimana bila dunia mendadak kehilangan energi-nya? Kalimat itu sering saya saya simak dalam kajian akhir zaman di Youtube.
"Dunia akan kehilangan energi dan manusia akan kembali ke teknologi manual," demikian salah satu poin yang disampaikan oleh Ust. Rachmat Baequni dalam sebuah kajiannya yang ditayangkan di kanal video tersebut.
Berdasar 'petunjuk' Priyatna Harun, ternyata ada sebuah film Jepang, "Survival Family" yang mengira-ngirakan bagaimana bila manusia hidup tanpa teknologi, tanpa sumber daya energi, dan harus tetap hidup selama berhari-hari, berbulan, bahkan bertahun lamanya.
Alkisah suatu pagi di Tokyo, tiba-tiba listrik mendadak padam. Tidak hanya alat-alat elektronik seperti televisi, radio, komputer, kamera hingga ponsel, kendaraan pun tidak bisa dioperasikan: mobil, motor, kereta api, hingga pesawat terbang.
Penduduk Tokyo yang semula mengira kejadian tersebut hanyalah 'aliran' (pemadaman listrik), mulai kesulitan untuk minum, makan, berkomunikasi, dan beraktivitas seperti biasanya. Alat penunjuk waktu: jam, jam tangan, dan beker pun tidak menyala sama sekali, semua berhenti di pukul 03.30.
Setelah berhari-hari tanpa kejelasan kapan listrik akan kembali menyala, keluarga Yoshiyuki Suzuki, yang terdiri dari empat orang: Ayah, Ibu, dan 2 orang anak berusaha keluar Tokyo.
Suzuki sang ayah, berusaha menyelamatkan keluarganya dengan mengungsi keluar Tokyo menuju Kagoshima, rumah mertuanya, yang berjarak 1357 km dengan bersepeda.
Perjalanan tersebut ditempuh keluarga Suzuki selama lebih dari 100 hari, tentu dengan suka-dukanya. Bagaimana mereka yang terbiasa hidup dengan menggunakan teknologi, harus memeras otak dan tenaga agar bisa bertahan hidup dan sampai di Kagoshima yang merupakan wilayah pedesaan.
Bagaimana mereka yang terbiasa meminum air kemasan atau air bersih, terpaksa harus minum air aki (aki zuur). Atau misalnya kebingungan karena tidak bisa membuat api di saat korek api habis.
Mereka harus bisa membuat api, memasak dengan peralatan sederhana dan seadanya, mengolah air minum, mengolah bahan makanan. Mereka juga dipaksa untuk memiliki stamina dan kondisi tubuh yang prima agar bisa bertahan hidup di tengah terpaan cuaca.
Digambarkan juga uang menjadi tidak berharga dibanding makanan dan air. Uang tidak bernilai, ATM dan pembayaran elektronik tidak bisa dilakukan. Transaksi ekonomi kembali ke sistem barter.
Kebersamaan keluarga juga menjadi hal yang penting, karena sepertinya film karya sutradara Shinobu Yaguchi (2016) ini juga mengingatkan kita akan hal itu.
Film berdurasi 117 menit ini menjadi film yang menarik buat disaksikan bersama keluarga di masa pandemi. Selain untuk mengingatkan tentang kemungkinan yang akan terjadi bila dunia mendadak kehilangan energi, juga untuk pengingat agar kita tidak tergantung dengan teknologi.
Kita bisa mulai belajar hal-hal yang bersifat manual tanpa tergantung peralatan canggih: membaca peta, membaca cuaca, mencari dan mengolah bahan makanan, memasak, berkomunikasi, mengolah raga, dan banyak hal lainnya.
Di akhir cerita yang 'happy ending' tidak disebutkan apa penyebab dunia mendadak kehilangan energi-nya. Setelah dua tahun keluarga Suzuki kembali ke Tokyo dan kemudian terbiasa menggunakan teknologi sederhana untuk beraktivitas sehari-hari.
Tirto.id menulis judul MENGURAI PENYEBARAN COVID-19 KLASTER 'SEMINAR KEAGAMAAN' DI BANDUNG (30/5/2020).
Detik. com menulis IMAM POSITIF NEKAT PIMPIN TARAWIH DI TAMBORA, 9 JEMAAH KENA CORONA
Berita yang rilis di Tirto.id mengurai potensi 2000 jemaah Gereja Bethel Indonesia (GBI) terkena Covid-19.
"Hernawan Widjajanto mengindikasikan bahwa sang pendeta adalah carrier COVID-19--membawa dan menularkan penyakit kepada orang lain. "Perkiraan kami cukup banyak [yang tertular]," kata Hernawan kepada reporter Tirto, Sabtu (28/3/2020). Penularan terjadi dalam acara Pastors Meeting yang diadakan GBI pada 3-5 Maret 2020 di Hotel Lembang Asri, KBB, Jawa Barat. ... Pria yang biasa disapa Emil itu menyebutnya sebagai klaster "seminar keagamaan di Lembang". Ada sekitar 2.000 orang menghadiri acara tersebut. Seluruh jemaah yang hadir pada acara di Hotel Lembang Asri itu ditetapkan sebagai orang dalam pemantauan (ODP) dan diminta segera melapor untuk melakukan rapid test. Bahkan, mantan Wali Kota Bandung itu juga meminta Polda Jawa Barat turun tangan mencari seluruh peserta acara tersebut."
Penjudulan tersebut didapat dari penyataan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil: Seminar Keagaamaan di Lembang.
Lalu bandingkan dengan berita kedua dari Detik. com dengan judul yang langsung menembak ibadah umat Islam.
”Sebanyak 28 warga Tambora, Jakarta Barat, berstatus orang dalam pemantauan (ODP) setelah melaksanakan salat Tarawih berjemaah dengan imam yang positif Corona. Hasil swab menyatakan 9 orang di antaranya positif Corona. "Iya sudah, alhamdulillah sudah ditangani oleh pihak kesehatan. Hasil swab-nya memang kemarin dari informasi dari kesehatan, itu ada 9 yang dinyatakan positif, tapi positif ringan, termasuk ringan, penanganan ringan," kata Camat Tambora Bambang Sutama saat dihubungi, Sabtu (16/5/2020)."
Pertanyaannya adalah umat mana yang beritanya akan lebih renyah untuk digoreng? Yang 2000 peserta "seminar keagamaan di Lembang?" atau yang 28 orang jamaah sholat tarawih di Tambora, Jakarta?
Berhati-hati atau tidak, agama kita akan tetap disudutkan media. Apalagi jika tidak berhati-hati. Dua judul berita di atas secara gamblang menjelaskan kecenderungan media untuk menyudutkan dan melindungi siapa.
Saya belajat cukup banyak soal framing, karena semenjak SMA saya sudah belajar mengelola berbagai publikasi, media dan penerbitan pers.
Yang tinggal di zona hijau dan masih bisa sholat berjamaah, bergembiralah di saat jutaan lainnya menangisi kehilangan kesempatan berjamaah karena mengikuti petunjuk ulama. Nikmati romadhon dan manfaatkan.
Berempatilah. Jangan menekan kami yang kehilangan kesempatan berjamaah di tengah pandemi dengan analisis-analisis dan opini yang justru menimbulkan masalah baru.
Romadhon sebentar lagi usai, doakan kami yang berada di zona merah yang tidak bisa ke mesjid agar bisa segera ke masjid lagi. Doakan mereka yang keluyuran ke mall, pasar, dan tempat lain agar bisa ke mesjid juga.
Bila memang ada 'penumpang gelap' di zona hijau, hajar penumpang gelapnya. Jangan digeneralisir.
Beban jamaah di zona merah sangat kompleks. Mulai tidak ada uang, terancam kelaparan, stress karena tinggal di rumah selama 2 bulan tanpa kejelasan, kehilangan kontak sosial, termasuk kehilangan kesempatan berjamaah di bulan Romadhon.
Saya sendiri harus iklash tidak bertemu anak-anak yang tinggal di kota lain (zona hijau). Harus menahan pergerakan karena bila menjadi carrier, akan membahayakan orangtua saya yang sudah sepuh dan dalam kondisi sakit .
Jarak ke masjid hanya selisih satu rumah. Hanya 10 meter. Masjid itu juga ditutup untuk sementara sampai ada fatwa lanjutan dari MUI.
Mengabaikan fatwa MUI artinya kita mengabaikan otoritas para ulama di dalamnya yang memiliki beragam keahlian. Tidak hanya fiqih, tapi ilmu-ilmu lainnya yang berhubungan dengan fatwa yang akan dikeluarkan.
Bila kita menghormati dan melaksanakan Fatwa MUI yang nenyatakan Ahok melakukan penistaan agama dan melecehkan QS Al Maidah, mengapa tidak bisa mengawal fatwa MUI mengenai pedoman beribadah di tengah wabah?
Jangan sampai perbedaan ini dibenturkan oleh mereka-mereka yang tidak suka dengan agama Islam. Mereka yang ingin memanfaatkan kesempatan untuk membenturkan perbedaan pendapat di tengah umat.
Malam 24 Romadhon 1441H,
fakir ilmu & amal yang rindu berjamaah di masjid
Beberapa hari belakangan, tepatnya menjelang dan sesudah 15 Romadhon 1441H, linimasa media sosial meriah tentang 'terpelesetnya' salah seorang ustadz Akhir Zaman dalam menafsirkan soal dukhon.
Soal Dukhon ini, ada diriwayatkan dalam Al Quran sebagai surat ke-44 Ad Dukhon yang terdiri dari 59 ayat. Terutama QS 44: 10-15.
Sedangkan dalam hadits, dukhon diriwayatkan oleh Ibnu Mas'ud. Haditsh tersebut walau sering dikutip dinyatakan haditsh palsu. Para Ustadz Akhir Zaman juga meyakini haditsh tersebut palsu.
Lalu bagaimana pandangan dunia populer yang 'cocoklogi' tentang dukhon?
Dalam film "Animatrix" (2003, sekuel film The Matrix dalam animasi), episod The Second Renaissance Part 2, dikisahkan manusia gagal memerangi Kaum Mesin (Robot dengan AI: artificial intellegence) yang memberontak pada manusia.
Di bawah kendali PBB, manusia lalu menyelubungi planet bumi dengan asap gelap. Hal ini dilakukan agar Mesin tidak bisa mengambil energi dari matahari.
Manusia terpaksa hidup di bawah tanah, dalam silo-silo yang disebut Zion. Manusia berperang melawan Mesin sambil menunggu penyelamat mereka yang dikenal sebagai The One.
Sedangkan dalam film "How It Ends" (2018), dikisahkan bila dunia disapu asap gelap. Dikatakan peristiwa itu bermula dari goncangan yang menimpa Los Angeles, AS.
Sambungan listrik, telepon, dan satelit mendadak mati. Penerbangan dibatalkan.
Will, berusaha menyelamatkan kekasihnya, Samantha yang berada di Seattle yang harus ditempuhnya dengan jalan darat dari Chicago.
Pada scene akhir digambarkan bagaimana asap gelap membumbung tinggi mengejar Will dan Sam yang berusaha melarikan diri dengan mobilnya.
Jadi untuk soal dukhon ini, Barat berusaha untuk menampilkan imajinasi dan fantasi mereka dalam bentuk kisah dan film, yang tentu sesuai interpretasi mereka. Tidak diketahui darimana mereka mendapat ide dukhon.
Apakah mereka membaca Al Quran? Membaca hadits? Mengikuti kajian akhir zaman?
Wallohu'alam bishowwab.
Malam 22 Romadhon 1441 H
🖼️ Screen capture scene akhir film "How It Ends” (2018).
Wabah membuka mata kita bila seharusnya Indonesia berdikari tidak mengandalkan impor bahan pangan dari luar negeri. Harusnya juga membuka mata bila negara kita adalah negara agraris, bukan industri, yang tentunya bisa memproduksi bahan pangan sendiri.
Puluhan tahun para cukong dan calo impor memaksa kita memamah bahan pangan impor. Mereka juga menekan petani lokal dengan menjual pangan impor dengan harga lebih rendah.
Sindikasinya menjual pupuk pada petani dengan harga tinggi. Mereka juga yang memaksa lumbung-lumbung padi berubah jadi pabrik. Memaksa para petani kehilangan lahan garapan dan menjadi budak di tanah airnya sendiri.
Indonesia akan kesulitan melakukan lockdown total karena tidak ada makanan yang cukup yang bisa dibagikan negara pada 200 juta rakyat Indonesia.
Bila jatah makan satu orang penduduk adalah per hari Rp.10.000, kalikan saja dengan 200 juta. Maka itulah biaya yang harus dikeluarkan negara yang mengagungkan slogan 'kerja-kerja-kerja' ini.
Dalam sebuah berita online tadi pagi (17/3/2020) disebut BULOG memiliki cadangan 1,6 juta ton beras. Apakah 1,6 juta ton beras itu cukup untuk menyumpal 200 juta mulut? Untuk berapa lama?
Impor pangan di saat wabah dipastikan akan sangat mahal, untuk menanami lahan yang ada perlu waktu berbulan bahkan bertahun.
Setelah Covid-19, Indonesia akan dirudung ancaman bahaya yang lain: kelaparan.
Sementara sumber daya dan kekayaan alam Indonesia konon dikuasai hanya oleh 1% penduduk saja. Itupun belum tentu mereka mau mendonasikan sebagian asetnya bila wabah kelaparan menerpa.
Tentunya ke depannya, bila kita selamat dari wabah ini dan wabah lanjutan, berharap negara kembali ke UUD 1945 yang asli. Kembali ke pasal 33 ayat 3. Agar kita mandiri dan berdikari.
Tidak tergantung cukong. Tidak tergantung aseng. Tidak tergantung asing.
Bubarkan industri yang tidak perlu. Kembalilah bertani sebelum terlambat. Bagikan lahan-lahan pertanian yang dikuasai perseorangan/korporasi kepada negara untuk dikelola masyarakat bertani.
Stop impor bahan pangan. Ambil kekayaan berlebih para importir dan cukong, kembalikan pada negara untuk dikelola demi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat semesta.
Tentu, bila harus memilih mati karena Covid-19 atau karena revolusi melawan penjajahan dan perbudakan, saya memilih yang ke-2...
Seperti halnya prosa yang berlatarbelakang sejarah, kita akan menemui banyak tanggal, banyak tempat, banyak nama, dan tentu saja banyak peristiwa yang berhubungan dengan dunia nyata. Begitu pula dengan novel "Sang Pangeran dan Janissary Terakhir," karya Salim A. Fillah (2019).
Tidak hanya itu, novel yang berusaha menceritakan kembali sepenggal sejarah perjuangan Pangeran Diponegoro ini juga dipadati dengan catatan-catatan kaki. Baik itu untuk menjelaskan peristiwa nyata yang berada di lintasan sejarah, istilah, atau transliterasi beberapa bahasa yang digunakan para tokoh dalam novel ini. Mulai bahasa Indonesia (tentunya), Arab, Inggris, Jawa, Prancis, bahkan Turki.
Saya sempat merasa beruntung mendapatkan buku ini hanya beberapa hari setelah resmi diluncurkan di Masjid Jogokariyan, Yogyakarta. Bahkan sebagai warga Kota Bandung, saya beruntung bisa menghadiri bedah bukunya di Hotel Malaka Bandung (14 November 2019) dan mendengar penuturan 'behind the scene' dan proses kreatif ustad muda ini saat menuliskan novel perdananya ini.
Semula saya berharap akan bisa menyelesaikan novel setebal 632 halaman ini dalam waktu paling lama satu minggu. Ternyata ekspetasi itu terlalu berlebihan. Faktanya novel ini baru habis dibaca selama tepat satu bulan, itu pun masih dibaca dengan baca cepat, yang tentu saja mengabaikan banyak detail, pemahaman, juga proses reimajinasi untuk menghayati bagaimana sepenggal kisah perjuangan Pangeran Diponegoro itu.
Tentu saja selain karena liga sepakbola Indonesia yang masih belum selesai, godaan game online, serta kegiatan lain, juga karena novel ini tidak bisa diajak 'santuy'. Penyebabnya ya karena novel ini memang bukan novel yang bisa dibaca di sembarang tempat seperti misalnya saat kita membaca novel-novel hiburan dan percintaan, misalnya.
Ada banyak kutipan ayat al quran dan potongan haditsh yang membuat pembaca harus lebih 'tertib tempat' saat menikmati novel -roman sejarah ini. Tentu membuatnya tidak elok bila kita membacanya seperti saat kita membaca novel hiburan atau sekuler lain di kamar mandi.
Itu menjadi catatan pertama saat saya mulai membuka lembaran-lembaran awal novel ini. Bahkan semenjak prolog, membuat saya yakin novel ini bukan novel yang diperuntukkan bagi pencari hiburan semata. Tetapi lebih diperuntukan bagi penikmat sejarah -khususnya sejarah Islam di Nusantara juga untuk para pembaca serius yang mau berhari-hari bergelut untuk menikmati lembar demi lembar novel ini hingga tuntas.
Novel "Sang Pangeran dan Janissary Terakhir," ini menjadi lintasan banyak peristiwa sejarah yang hendak disampaikan pengarangnya melalui tokoh utama Pangeran Diponegoro. Di mana narasi besarnya salahsatunya adalah menyampaikan bila perjuangan Pangeran Diponegoro itu dipengaruhi atau mempengaruhi peristiwa sejarah di belahan dunia lainnya.
Bagaimana kemudian Kerajaan Kristen Belanda harus kehilangan dana jutaan gulden untuk menundukkan Pangeran Diponegoro. Belum lagi 15 ribu tentaranya mati selama perang 5 tahun yang terjadi di Tanah Jawa itu.
***
Seperti halnya roman sejarah kita akan berhadapan dengan kisah nyata dalam balutan fiksi, (cetak miring dan garis tebal dari saya) bukan kisah fiksi dalam balutan kenyataan. Di mana roman ini dibuka dengan prolog berupa fragmen dimulainya perang suci Pangeran Diponegoro melawan pasukan kolonial Belanda pada 20 Juli 1825 sebagai bagian peperangan besar dunia di ujung keruntuhan Kekhalifahan Ottoman (hal.19).
Dari Yogyakarta pada tahun 1825, pembaca akan dibetot mundur ke Istanbul Turki pada tahun 1808 untuk mengawali premis bahwa perang Jawa yang diinisiasi Pangeran Diponegoro 17 tahun kemudian adalah bagian dari ujung kekhalifahan Utsmany menjelang keruntuhannya. Di mana sebelum kekalifahan Utsmany berakhir, Mustafa Pasha mengirim Janissary terakhir yang dimilikinya untuk menolong para mujahid di Nusantara.
"Utang besar Daulah kita yang jaya pada ummat Nabi di kepulauan itu harus dibayar. Harus, meski Sultan Muhammad Al Fatih tidak sengaja melakukannya...", ujar Mustafa Pasha, Perdana Menteri Daulah Utsmaniyah yang saat itu dipimpin Sultan Mahmud II. (hal. 29).
Pada bagian itu, pengarang menekankan bila Nusantara adalah wilayah yang juga diperebutkan dua kerajaan Kristen: Inggris dan Belanda yang berada di bawah kekuasan Prancis masa Napoleon Bonaparte.
Dalam ratusan halaman selanjutnya pembaca akan diajak bertamasya mengikuti premis itu hingga akhirnya Pangeran Diponegoro ditipu oleh Panglima Tertinggi Tentara Kerajaan di Hindia Belanda, Jendral Hendrik Merkus de Kock di bulan Maret 1830.
***
Salah satu yang menjadi tantangan tersendiri tiga puluh bagian plus prolog dan epilog ini adalah lompatan-lompatan alur waktu. Dimulai dari tahun 1808, melompat ke tahun 1825, surut ke 1823, melaju ke 1830 dan seterusnya.
Belum lagi catatan kaki-catatan kaki yang harus diperhatikan. Atau pembaca dipaksa bolak-balik untuk kembali ke depan ke halaman 11-14 untuk mengetahui latar belakang ringkas tokoh-tokoh yang bermunculan di setiap bab.
Alur waktu yang tidak selalu linear, banyaknya tokoh sejarah, istilah-istilah yang bergantian dalam berbagai bahasa, kutipan-kutipan peristiwa sejarah yang benar terjadi lengkap dengan tanggal dan tahun, serta munculnya tokoh-tokoh fiktif menjadi detail yang harus diperhatikan untuk bisa menikmati novel ini seutuhnya.
Di tengah membaca saya mendadak teringat novel "In The Name of The Rose"-nya Umberto Eco yang tidak selesai saya baca hingga sekarang. Padahal novel itu dibeli sejak tahun 2008 dan baru dibaca sepertiganya sampai saat ini di ujung 2019.
Cara bertutur yang mungkin bisa dikatakan satu tipe, mirip. Banyaknya nama dan peristiwa, belum lagi istilah-istilah dalam bahasa Italia yang tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
"In The Name of the Rose" malah ujug-ujug menghantui saat membaca novel "Sang Pangeran dan Janissary Terakhir" ini. Saya seperti menemukan "In the Name of The Rose" yang merupakan novel fiksi belatar belakang sejarah gereja di abad pertengahan, namun dalam bentuk yang lain di novel Sang Pangeran dan Janissary Terakhir" yang justru merupakan roman sejarah dalam balutan fiksi untuk menghubungkan peristiwa ke peristiwa.
Padahal keduanya berbeda dan bertolak belakang 180 derajat. Persamaannya mungkin karena keduanya menjadi novel yang sulit untuk diselesaikan dengan santuy, karena pembaca akan dipaksa membaca berulang-ulang, tidak linear, maju-mundur agar novel tersebut bisa hidup dalam imajinasi pembaca dengan bebas.
Menjadi istimewa bila kemudian saya saya bisa menyelesaikan membaca novel "Sang Pangeran dan Janissary Terakhir" hingga halaman akhir dengan metode baca cepat, sedangkan "In the Name of The Rose" sampai hari ini belum selesai dibaca, padahal sudah dibaca cepat, sedang, maupun lambaaaaat banget.
Bukan secara kebetulan, saya memfavoritkan juga film "November 1828" karya Teguh Karya yang dibintangi Slamet Rahardjo, Rachmat Hidayat dan Yenny Rachman (1979). Di mana film terbaik Indonesia sepanjang masa ini memang menukil sepotong fragmen kecil perjuangan rakyat Indonesia yang dipimpin Pangeran Diponegoro melawan Kolonial Belanda.
Visualisasi film yang saya tonton puluhan tahun lalu itu membantu saya berimajinasi tentang sosok sebagian tokoh yang ada di novel "Sang Pangeran dan Janissary Terakhir". Tentu tidak seutuhnya, tetapi cukup membantu menghidupkan imajinasi agar novel tersebut bisa larut dalam pembacaan yang (harusnya) khusuk.
Selain itu, membaca novel ini juga mengingatkan saya akan serial silat "Api Di Bukit Menoreh" (SH Mintardja) yang juga pernah dibaca puluhan tahun silam saat taman bacaan menjamur di mana-mana, termasuk di Bandung di era 1990an. Saya kerap me-reimajinasi tokoh-tokoh sisipan dalam novel ini berbusana dan berkelahi seperti Agung Sedayu murid Kiai Grinsing di masa Panembahan Senapati yang hidup tigaratus tahun sebelumnya.
Bila harus menyebut kelebihan-kekurangan, tentu saya harus memastikan untuk membaca buku ini dua atau tiga kali lagi. Belum lagi, misalnya, mencari rujukan/bacaan lain yang bisa memperkaya proses pembacaan dan reimajinasi. Tetapi salah satu catatan yang menurut saya mengganggu adalah kemunculan frasa 'adalah syiap' yang diucapkan tokoh sebagai konfirmasi atas perintah tokoh lain.
"Adalah syiaaapp!" kata Wironegoro sambil meringis. Dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan mengangguk (hal. 207).
Konfirmasi Wironegoro pada Kapitan Joost yang sedang mengejar Basah Nurkandam dan Basah Katib itu dengan frasa 'adalah syiap' malah membuat saya teringat pada Atta Halilintar, Youtuber yang wara-wiri dengan jargon 'ahshiapp'-nya itu.
Lainnya, misalnya para tokoh yang bercanda di tengah ketegangan/konflik yang seharusnya membuat pembaca dalam 'tension' tak berkesudahan seperti saat menaiki roller coaster. Misalnya saja saat Adhi Legowo mempelesetkan 'off course' menjadi 'op kros', saat Syarif Hasan Munadi hendak menciduk Basah Katib. (hal. 494).
Tentu saja pengarang berhak menuliskan hal tersebut untuk menggambarkan bahwa bangsa kita ini, manusia pada umumnya, selalu mencari kesempatan untuk tertawa di tengah himpitan dan kesempitan. Tetapi bagi saya pribadi sebagai pembaca, malah melunturkan 'tegangan' yang mengganggu reimajinasi..
Lalu untuk siapa novel ini sebenarnya? Seperti disebutkan di awal, tentu saja untuk pembaca yang mau serius meluangkan waktunya membaca lembar demi lembar kisah perjuangan Pangeran Diponegoro yang mempengaruhi Nusantara -Indonesia kemudian. Tidak hanya untuk penggemar sejarah, aktivis dakwah, atau jamaah Ustad Salim A. Fillah --yang piawai merangkai lisan dalam kajian Sirrah Nabawiyah di Majelis Jejak Nabi.
Pembaca yang baru mau serius juga tentu saja bisa sebagai upgrade menuju novel-novel 'kelas berat' lainnya. Tapi tentu saja pembaca Dilan atau Harry Potter akan 'termehek-mehek' membaca buku ini, seperti pelari pemula yang terpaksa harus mengikuti lari maraton sejauh 42 KM dengan tiba-tiba. Karena tidak cukup secangkir kopi dan sepiring gorengan untuk menyelesaikan novel yang seharusnya menjadi koleksi pembaca novel dan pembaca buku-buku sejarah.
Saya pun mendadak teringat "In The Name of the Rose"-nya Umberto Eco yang tak pernah selesai dibaca hingga sekarang....
Data Teknis:
Judul: Sang Pangeran dan Janissary Terakhir
Pengarang: Salim A. Fillah
Penerbit: Pro-U Media, Yogyakarta
Tahun: 2019
Cover: Softcover, 15,2 x 23,3 cm
ISBN: 978-623-7490-06-7
Tebal: 632 Halaman
Bukit Punclut, Bandung, 17 Desember 2019 Ricky N. Sastramiharja Pecinta kopi Robusta yang kebetulan suka membaca, nonton film, dan main game Sarjana Sastra Sunda Unpad yang lebih sering bicara Persib Bandung & sepak bola
Upaya Permadi Arya & Jack Lapian mengadu domba ummat beragama kembali gagal. Dengan mengadukan statemen ilmiah Rocky Gerung, sepertinya ada agenda terselubung mereka untuk mengadu domba ummat Islam dengan umat beragama lain. Rocky Gerung, sang filsuf, tidak banyak diketahui agamanya apa. Dari berbagai tulisan, RG adalah umat Nasrani. Tetapi mengapa statemen RG yang mengatakan 'kitab suci itu fiksi' banyak dibela (bahkan dipuji), bahkan oleh mereka yang beragama Islam?
Ini asumsi saya: 1. Statemen RG adalah statemen ilmiah, sesuai bidang keilmuannya: filsafat. Walau tentu tidak banyak juga diterima oleh sebagian ummat Islam yang, menurut saya, agak kurang mau belajar filsafat sebagai cara belajar berlogika & bernalar. 2. RG adalah, bila betul ia beragama Nasrani, adalah simbol kegelisahan WNI atas berbagai kegaduhan di era Rezim Jokowi. Dengan demikian, kehadirannya meruntuhkan klaim sepihak mereka yang pro Istana, bahwa kegaduhan di rezim Jokowi ini disebabkan oleh ummat Islam yang mayoritas. RG adalah representasi kegelisahan warga negara akan kualitas bangsa. Tidak hanya ummat Islam. 3. Dalam beberapa penampilannya di ILC, RG selalu menyoroti kualitas dan sistematika berfikir bangsa yang menurutnya sudah pada tahap 'mengkhawatirkan'. Dengan membahas fiksi & fiktif dari kacamata filsafat & epistemologi ia membongkar bagaimana sebuah rezim membodoh-bodohi warganya melalui bahasa. Sedikit mirip saya rasa, dengan Foucoult yang merekontruksi pemikiran Barat melalui genealogi moral-nya. Atau Jacques Derrida yang mendekonstruksilan makna peradaban Barat Apalagi RG juga dikenal sebagai pembaca & penafsir Juergen Habermas yang ‘berat’.
4. Upaya mempolisikan RG juga akan membuat negara semakin bertingkah lucu. Karena banyak laporan ummat Islam pada pelaku penistaan agama yang tidak diproses.
Contohnya, Ade Armando, yang juga dosen UI yang berulangkali dilaporkan oleh Johan Kahn, tetapi malah diSP3 oleh pihak kepolisian. Akibatnya berulang kali pula Ade Armando menista agama Islam, yang ia akui, sebagai agamanya.
Jadi kita singkat saja urusan RG ini. Kita fokus pada kebohongan-kebohongan yang disembunyikan rezim. Misalnya TKA asing yang bisa kerja di Indonesia, padahal jutaan orang Indonesia juga kesulitan pekerjaan yang layak. Ingat juga Pilkada & Pilpres makin dekat, makin banyak akrobat politik yang membahayakan persatuan & kesatuan.
Jangan terkecoh oleh badut-badut Istana seperti Abu Janda dkk. Mereka hanyalah umpan untuk banyak hal yang ingin ditutupi.
Ingat, negara banyak melakukan sulap. Mengalihkan isu ini itu dengan umpan-umpan yang menjebak.
Untuk menyaksikan sebuah pertunjukan sulap yang utuh sebagai sebuah hiburan, kita dipaksa untuk melihat terlalu dekat sehingga para pesulap mampu menipu mata kita, memanipulasi kenyataan, dan menguatkan hasrat bahwa pada dasarnya manusia senang ditipu (dan menipu). Itulah prinsip dasar sulap.
Cukup lama juga bisa mendapatkan satu unit mainan baru ini. Itupun setelah berwaktu-waktu membandingkan antara Pace dengan BIP berdasarkan user review di Youtube dan situs lainnya.
Tentu ada beberapa alasan menggaet BIP dibanding PACE yang sebetulnya diincar lebih dulu. Salahsatunya adalah karena BIP yang sebelumnya hanya berbahasa Cina, kini resmi dirilis dalam bahasa Inggris di November 2017.
Lainnya: BIP menggandeng IP68 sedang PACE IP67. Chip GPS pada BIP pun lebih baru dan lebih baik dibanding PACE.
Tentu mesin, konstruksi dan kosmetika pada PACE jauh lebih baik dibanding BIP. Resolusi display-nya yang jauh lebih baik, juga bentuknya yang bulat dengan diameter besar. Tetapi dengan berbagai pertimbangan saya pilih BIP mengingat fungsi dasarnya yang sama: activity/sport tracker.
Perbedaan harga juga jadi pertimbangan. Tetapi hanya sekitar 10% dari alasan keseluruhan mengapa akhirnya pilih BIP. Saat memutuskan membeli BIP, harganya sekitar Rp. 1.020.000 (termasuk screen protector dan extra strap). Sedangkan PACE Rp. 1.620.000 di lapak Best Memory Tokopedia.
(Saat review ini selesai ditulis iseng saya nengok Blibli.com, PACE dijual dengan harga Rp. 1.287.000 😞)
Alasan lain yang kuat yang akhirnya tidak pilih PACE adalah fiturnya yang tidak saya perlukan: Alipay, WIFI, running tutorial, beragam olahraga yang tidak saya lakukan dan music player.
1. Kesan Pertama
Bertahun memakai jam bulat dengan diameter minimal 4 sampai 5,5 cm membuat saya merasa 'canggung‘ saat memakai BIP. Bentuknya yang kotak persegi panjang, displaynya yang digital dan berwarna terasa seperti memakai jam mainan.
Bobotnya juga terasa ringan dengan strap yang seolah lebih pendek dibanding jam yang biasa saya pakai. Bila terbiasa memakai jam dengan bezel dan rantai logam, memakai BIP serasa memakai karet gelang. It feel weird.
Padahal bila dibandingkan secara visual dengan jam tangan lama saya, ukuran BIP yang kotak persegi panjang tidak jauh beda saat dikenakan.
Tetapi perasaan itu memudar saat masuk ke fitur utamanya yang membuat saya membongkar celengan: activity tracker.
Dengan GPS di pergelangan tangan yang mampu merekam dan menginformasikan jarak, kecepatan lari, durasi, peta, detak,jantung, dan elevasi, perasaan 'canggung' itu tersisih.
2. Batere
Ada banyak catatan untuk daya tahan batere. Saat pertama,kali menghidupkan BIP, batere tersimpan dari pabriknya sekitar 46%. Saya charge melalui USB dari PC Desktop sampai penuh 100%.
Tetapi setelah seminggu batere tersisa hanya 26%. Artinya selama seminggu habis 74%. Perkiraan dengan cara penggunaan saya, batere akan habis dalam 10-12 hari.
Jauh dari klaimnya bertahan 45 hari. Padahal saya kerap menonaktifkan notifikasi ponsel. Juga dipakai berolahraga dengan GPS menyala hanya sekitar 2 jam per sessi selama 3 hari.
Dari kondisi 24% saya lalu menchargenya lagi dengan menggunakan charger 0,5-1 A dengan arus 100mAH. Diperlukan lebih kurang 2 jam untuk mengisinya hingga penuh.
Dalam panduan, BIP menyarankan menggunakan charger berlekuatan arus tak lebih 500mAh dan input maksimal 1 A. Dari beberapa reviewer, mereka menyarankan menggunakan power bank untuk mencharge BIP. Tentu agar batere BIP tidak cepat rusak karena dicharge dengan arus yang lebih besar dari yang disarankan.
Tetapi untuk urusan batere ini masih harus saya uji lagi kekuatan dan daya tahannya.
Namun yang jelas, konektivitas BIP dengan ponsel, membuat ponsel saya lebih sering di-charge karena bluetooth & GPSnya aktif. Saya memakai ponsel Asus Zenfone 2 Laser 550KL yang berumur kurang lebih 2 tahun.
3. Aplikasi Mi Fit
Untuk aplikasi yang terinstal di ponsel saya adalah versi 3.1.6 per 15 Desember 2017 dengan Algoritma versi 1.1.09. Tidak ada kesulitan saat menginstall aplikasi, juga saat pairing dengan BIP.
Mi Fit yang juga aplikasi untuk smartwatch/sport band Xiaomi lainnya cukup informatif. Sebuah video di Youtube bisa menjadi referensi bagi calon pemakai BIP.
Namun sayang, aplikasi ini tidak bisa dipakai untuk memerintahkan BIP mengukur detak jantung.
Mengenai Mi Fit, akan saya review terpisah. Kalau ingat dan tidak 'hoream' (malas).
4. Watch Face
Tidak terlalu banyak watch face untuk BIP yang terinstall di device atau di aplikasi. Juga tidak semuanya keren menurut saya.
BIP hanya mampu menampung 1 tambahan watch face yang kita install dari aplikasi. Bila kita menggantinya dengan watch face lain dari aplikasi, maka akan menimpa dan menghapus watchface sebelumnya.
Watch face default di device tetap aman karena tersimpan di ROM.
Secara umum saya hanya menyukai beberapa watch face dengan tipografi dan warna tegas untuk memudahkan mengakses informasi yang dibutuhkan.
Watch face jam jarum/analog menjadi yang saya hindarkan. Karena resolusi BIP yang rendah membuatnya kurang sip dilihat (tidak mirip jam analog). Juga karena saya terbiasa memakai jam jarum dengan dial bezel yang bulat. Bentuk BIP yang kotak mungil membuat saya kurang nyaman dengan tampilan jam jarum.
5. Activity Tracker
Dalam empat percobaan hingga ulasan ini ditulis, saya 1 x mencoba fitur Cycling (bersepeda) dan Running (lari).
Untuk cycling pun saya berlaku curang, karena sebetulnya saya memakai sepeda motor karena tidak punya sepeda.
Perjalanan 5,46 km bermotor terekam dengan baik di device maupun di aplikasi. Tidak ada masalah.
Masalah justru terjadi saat saya running. Pada percobaan pertama, saya mencoba berlari sejauh 15 km.
Setelah 13,52 km tiba-tiba entah kenapa tracker mati dan BIP berubah ke tampilan jam. Padahal saat itu saya sedang berhenti beberapa menit untuk minum dan istirahat.
Tracking kembali dilanjut menjadi 2 sessi. Sessi berikutnya sepanjang 1,5 km hanya saya tracking 1 km.
Peta rute yang seharusnya terekam di BIP pun tidak ada. Tetapi data dan informasi lain ada.
Rute yang sudah ditempuh walau hilang di device, tetap terekam di aplikasi dengan utuh.
Begitu juga pada percobaan ke dua. Saya mencobanya dengan mengajaknya berlari 10K. Lagi-lagi setelah selesai diketahui tidak terekam di device. Namun di aplikasi ada.
Pada percobaan ke tiga baru rute bisa terekam utuh seperti video yang saya sajikan. Tracking juga tidak mati seperti saat percobaan lari pertama.
Asumsi mengapa rute tidak tercitrakan di device mungkin saat acquiring belum selesai saya sudah lari. Enggak sabar.
Juga bisa jadi karena karena saya set auto pause saat berhenti. Hingga saat saya istirahat lebih lama, BIP mengira saya menghentikan 'pelarian'.
Pada saat running ke tiga saya sudah me-nonaktifkan auto pause juga notifikasi aplikasi ponsel/Whatsapp.
6. Acquiring GPS
Sesaat setelah menekan tombol aktivitas Outdoor Running, GPS akan melakukan acquiring dengan satelit-satelit yang melintas di atas kita.
Terkadang BIP melakukan dengan cepat < dari 1 menit. Terkadang lama > 3 menit. Padahal posisi berada di luar ruangan serta BIP terkoneksi dengan ponsel.
Acquiring ini pasti menyedot batere juga mengesalkan bila kita memakai tracking ini saat ikut lomba lari. Jadi bila mau memakai saat lomba, sebelum start harus lebih awal acquiring, dan begitu start tinggal tekan tombol start di BIP.
7. Akurasi GPS
Sepertinya akurasi GPS pada BIP layak diacungi jempol. Karena ia mengkoreksi jarak rute yang biasa saya lalui saat running.
Dengan app Endomondo, saya kege-eran karena bisa mendapat pace 6'30 untuk jarak 15 km.
Ternyata setelah pakai BIP, jaraknya cuma 10, 75 km dan pace 9'30... :(
8. Unpair
Iseng saya mencoba unpair BIP dengan ponsel melalui aplikasi Mi Fit. Hasilnya membuat bete. Semua data aktivitas berlari saya hilang tak berbekas dari BIP. Untung sebelumnya sudah saya buat video.
Pesan moral: Iseng tidak selalu baik bagi kesehatan walau jadi pengetahuan.
9. Gadgetbridge
Lupakan Gadgetbridge. Saya menginstall aplikasi ini melalui F Droid. Tadinya agar bisa menginstall watch face keren lain yang bertebaran di internet.
Tapi karena tidak mengerti cara mengekstrak watch face yang sudah didownload ke aplikasi dan mentransfernya ke BIP, saya hapus saja Gadgetbridgenya. Sekalian F Droidnya. Karena isinya dan fungsinya sama saja dengan Mi Fit. Bahkan Mi Fit lebih baik. 10. Kesimpulan
Puas banget memakai BIP -di luar tampilannya yang kotak dan seperti mungil (padahal enggak)
Untuk sport tracker sejutaan, tentu belum seimbang lah kalau dibandingkan dengan Suunto, Samsumg, Garmin, atau Apple Watch (semuanya belum pernah saya pakai. Apalagi saya beli. Mahal Bo!)
Tetapi bagi penggemar olah raga lari pemula seperti saya, BIP banyak membantu. Terutama memotivasi untuk meningkatkan kualitas lari. Juga kualitas tidur.
Sepakat dengan pereview di Youtube, BIP cocok disebut Sport/Activity tracker dengan fitur smartwatch. Bukan smartwatch dengan fitur Sport/Activity tracker.
Jelasnya setelah nebok tabungan buat sekolah anak, puas banget dengan BIP.
Tentu saya masih harus menabung lebih keras agar suatu saat bisa membeli Pace 2 yang rumornya akan segera beredar. Spek-nya lebih dahsyat dari Pace 1 karena waterproof 5 ATM. Yah nunggu murah dulu lah dan diimpor resmi Xiaomi.
Suatu ketika Rasulullah mendapati penduduk Madinah sedang mengawinkan benih kurma dengan penyerbukan. Melihat ini Rasulullah lalu mengomentari apa yang dilakukan oleh penduduk Madinah tersebut dan bertanya mengapa benih kurma itu mesti dikawinkan segala. Mengapa tidak dibiarkan begitu saja secara alamiah. Penduduk Madinah yang petani kurma itu sangat menghormati Nabi Muhammad sebagai pemimpin panutannya. Ia lalu mengikuti saran Rasulullah dan berhenti mengawinkan kurmanya. Kemudian ternyata produksi kurmanya menurun karenanya.
Panennya berkurang karena mengikuti saran Rasulullah. Para petani kurma kemudian melaporkan panen kurma yang menurun itu kepada Rasulullah. Rasulullah kemudian sadar akan keterbatasan pengetahuannya tentang menanam kurma. Maka keluarlah sabda Rasulullah: "Wa Antum A’lamu bi Amri Dunya-kum" (Kamu sekalian lebih mengetahui urusan duniamu).
Ketika Nabi saw memberikan nasihat tentang cara mengawinkan pohon kurma supaya berbuah, ini bisa dianggap bahwa beliau sudah memasukkan otoritas agama untuk urusan duniawi yang di mana beliau tidak mendapatkan wahyu atau kewenangan untuk itu. Untuk manusia setingkat Nabi apa pun perkataannya, sikapnya, dan bahkan diamnya pun bisa dianggap sebagai hukum, aturan, dan ketentuan. Tapi ternyata dalam masalah menanam kurma ini pendapat beliau keliru. Pohon kurma itu malah menjadi mandul.
Maka para petani kurma itu mengadu lagi kepada Nabi SAW, meminta pertanggungjawaban beliau. Beliau menyadari kesalahan waktu itu dan dengan rendah hati berkata, “Kalau itu berkaitan dengan urusan agama ikutilah aku, tapi kalau itu berkaitan dengan urusan dunia kamu.
Rasulullah mengakui keterbatasannya. Bila tidak diwahyukan, untuk urusan dunia di jaman beliau pun beliau bukanlah orang yang paling tahu.
Seorang pemimpin tentu saja harus megetahui banyak hal yang terjadi di wilayah yang dipimpinnya. Baik itu populasi, geografis, demografis, juga kebiasaan-kebiaasaan yang ada. Termasuk di dalamnya hukum-hukum dan peraturan yang tidak tertulis yang berlaku dalam dasar kesepakatan bersama.
Mari kita bayangkan bila seorang pemimpin yang kita hormati, mengajak pemimpin lainnya, dan juga pemimpin lainnya untuk berdiskusi dan memutuskan hal yang sebetulnya tidak mereka ketahui secara jelas. Hal yang seharusnya menghadirkan pihak lain yang dapat menjadi referensi, saran, dan rujukan, tetapi TIDAK dilakukannya. Maka akan seperti yang kanjeng Nabi SAW alami di atas.
Padahal tentu kita tahu, yakin Nabi SAW adalah sebaik-baiknya pemimpin, sebaik-baiknya insan Alloh SWT, sesempurna-sempurnanya mahluk. Tetapi Rosululloh juga tidak luput dari kekhilafan saat memutuskan apa yang memang bukan menjadi pengetahuan beliau. Shollu 'alla nabi.
Apalagi kita, manusia yang derajat moral, ahlak, pengetahuan dan iman tidak seujung kuku Nabi SAW. Kita adalah gudangnya salah, gudangnya khilaf, gudangnya ketidaktahuan.
Tentu hadits di atas bukan untuk membuat kita melakukan pembenaran-pembenaran atas kesalahan yang kita lakukan. Atau mengelak dari keharusan berbuat terbaikdan terbenar. Tetapi kita dituntut untuk menyerahkan segala sesuatu pada ahlinya. Pada orang-orang yang mengerti.
Jangan sampai karena terikat janji lalu berusaha menepati dan kemudian mencederai pihak lain. Mungkin kita ditakdirkan memimpin sebuah kota yang aktif dan dinamis. Mungkin kita berwenang mengelola sebuah kota. Tetapi urusan sepak bola, klab, supporter, dan hal lain yang berkaitan dengan hal lainnya, tanyalah pada mereka.
Apalagi kemudian memberikan janji pada kelompok lain yang jelas-jelas memusuhi warga kotanya. Mengundang dan menjamu kelompok orang yang justru akan merugikan dirinya dan warga yang dipimpinnya. Kejadian di GBK adalah bukti nyata bahwa mereka yang diundang bukanlah orang yang layak datang.
Saya jadi teringat talatah para karuhun Sunda yang isinya mengiyakan perkataan Rosul SAW dengan 'wa antum a’lamu bi amri dunya-kum': tadaga carita hangsa. gajendra carita banem. matsyanem carita sagarem. puspanem carita bangbarem. (artinya: telaga dikisahkan angsa. gajah mengisahkan hutan.ikan mengisahkan laut. bunga dikisahkan kumbang.)
Bila ingin tahu tentang taman yang jernih, danau berair sejuk, tanyalah angsa; bila ingin tahu isi laut, tanyalah ikan; bila ingin tahu isi hutan, tanyalah gajah; bila ingin tahu harum dan manisnya bunga, tanyalah kumbang. Semuanya dapat diartikan agar tidak salah memilih tempat bertanya. Pun Sapun.
Ricky N. Sastramihardja
Bobotoh Persib Bandung, pecinta kopi, fotografi, dan suka main dengan kucing
dimuat di Bobotoh.id 25 Juni 2016
http://bobotoh.id/2016/06/buah-kurma-sepak-bola/
27 Mei 2012. Pada hari itu 3 nyawa meregang dan lepas dari jasadnya di stadion kebanggaan Indonesia Stadion Gelora Bung Karno (GBK), Senayan. Gedung olahraga yang didedikasikan Ir. Soekarno sebagai Presiden Indonesia pertama, untuk menggalang persatuan sesama anak bangsa.
Menjadi suatu ironi bila kemudian, di stadion megah tersebut ada tiga anak bangsa yang ‘gugur’ akibat dikeroyok sesama anak bangsa lain, hanya karena urusan dukung-mendukung sepak bola.
Lebih ironis lagi, dua tahun berselang semenjak kejadian terkutuk itu, tak ada seorang pelaku pun yang mendapat tindakan hukum. Tak ada seorang pun yang mempertanggungjawabkan perbuatannya. Tak ada seorang pun aparat keamanan dan keadilan di negara ini yang bertindak sesuai dengan tanggung jawab dan wewenangnya.
Sempat terdengar melalui kabar media bahwa ada beberapa orang yang ditangkap dan ditahan aparat keamanan dan ditetapkan sebagai tersangka. Akan tetapi kemudian berhenti sampai di situ dan lalu menghilang bagai asap ditelan udara.
Ironis
Kami percaya bahwa jodoh, bagja, pati sudah diatur seadil-adilnya oleh Sang Maha Penyayang. Kematian, adalah awal yang baru bagi ciptaan-Nya yang lemah ini, dalam rangka kembali pulang kepada-Nya.
Kami juga percaya bila Sang Kholik menyimpan rencana indah di balik peristiwa tragis di GBK yang menimpa salah seorang rekan kami, Rangga Cipta Nugraha.
Kami percaya dendam dan amarah, benci dan perilaku anarki bukanlah cara terbaik untuk menyelesaikan amarah. Di hadapan keadilan-Nya, kami terlalu lemah untuk melakukan hal-hal pengecut seperti itu.
Tetapi kami juga percaya bila suatu saat keadilan itu akan datang, dalam berbagai bentuk dan cara yang bisa saja di luar nalar dan logika manusia. Karena kami percaya, apapun yang terjadi hari ini, sudah sesuai dengan skenario yang dituliskan di Lauhl Mahfuz. Kitab yang dituliskan puluhan ribu tahun sebelum semesta ini diciptakan Allah SWT.
Doa kami hari ini, kemarin, dan esok, selalu dipanjatkan pada arasyMu ya Rahmaan Rohiim. Semoga Rangga Cipta Nugraha, senantiasa berada dalam lindungan kasih sayangMu. Beristirahatlah dengan tenang di keabadian kawan.
Begitu pula kami yang masih hidup dan menunggu giliran untuk pulang menuju haribaanMu, selalu dilindungi Sang Kholik dari perbuatan-perbuatan terkutuk. Dari hasrat dan amarah yang tak terkendali. Karena kami percaya, bahwa keadilan itu akan datang suatu saat nanti.
Allohumag fiirlahu warhamhu wa’afihi wafuanhu. (Ricky N. Sastramihardja/SB)
Mengapa harus Kartini? Mengapa setiap 21 April, bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini? Apakah tidak ada wanita Indonesia lain yang lebih layak ditokohkan dan diteladani dibandingkan Kartini?
Pada dekade 1980-an, guru besar Universitas Indonesia, Prof. Dr. Harsya W. Bachtiar pernah menggugat masalah ini. Ia mengkritik pengkultusan R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia. Tahun 1988, masalah ini kembali menghangat, menjelang peringatan hari Kartini 21 April 1988. Ketika itu akan diterbitkan buku Surat-Surat Kartini oleh F.G.P. Jacquet melalui penerbitan Koninklijk Institut voor Tall-Landen Volkenkunde (KITLV).
Tulisan ini bukan untuk menggugat pribadi Kartini. Banyak nilai positif yang bisa kita ambil dari kehidupan seorang Kartini. Tapi, kita bicara tentang Indonesia, sebuah negara yang majemuk. Maka, sangatlah penting untuk mengajak kita berpikir tentang sejarah Indonesia. Sejarah sangatlah penting. Jangan sekali-kali melupakan sejarah, kata Bung Karno. Al-Quran banyak mengungkapkan betapa pentingnya sejarah, demi menatap dan menata masa depan.
Banyak pertanyaan yang bisa diajukan untuk sejarah Indonesia. Mengapa harus Boedi Oetomo, Mengapa bukan Sarekat Islam? Bukankah Sarekat Islam adalah organisasi nasional pertama? Mengapa harus Ki Hajar Dewantoro, Mengapa bukan KH Ahmad Dahlan, untuk menyebut tokoh pendidikan? Mengapa harus dilestarikan ungkapan ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani sebagai jargon pendidikan nasional Indonesia?
Bukankah katanya, kita berbahasa satu: Bahasa Indonesia? Tanyalah kepada semua guru dari Sabang sampai Merauke. Berapa orang yang paham makna slogan pendidikan nasional itu? Mengapa tidak diganti, misalnya, dengan ungkapan Iman, Ilmu, dan amal, sehingga semua orang Indonesia paham maknanya.
Kini, kita juga bisa bertanya, Mengapa harus Kartini? Ada baiknya, kita lihat sekilas asal-muasalnya. Kepopuleran Kartini tidak terlepas dari buku yang memuat surat-surat Kartini kepada sahabat-sahabat Eropanya, Door Duisternis tot Licht, yang oleh Armijn Pane diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang.
Buku ini diterbitkan semasa era Politik Etis oleh Menteri Pengajaran, Ibadah, dan Kerajinan Hindia Belanda Mr. J.H. Abendanon tahun 1911. Buku ini dianggap sebagai grand idea yang layak menempatkan Kartini sebagai orang yang sangat berpikiran maju pada zamannya. Kata mereka, saat itu, tidak ada wanita yang berpikiran sekritis dan semaju itu.
Beberapa sejarawan sudah mengajukan bukti bahwa klaim semacam itu tidak tepat. Ada banyak wanita yang hidup sezamannya juga berpikiran sangat maju. Sebut saja Dewi Sartika di Bandung dan Rohana Kudus di Padang (terakhir pindah ke Medan). Dua wanita ini pikiran-pikirannya memang tidak sengaja dipublikasikan. Tapi yang mereka lakukan lebih dari yang dilakukan Kartini. Dewi Sartika (1884-1947) bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum wanita.
Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah yang belakangan dinamakan Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung. Rohana Kudus (1884-1972) melakukan hal yang sama di kampung halamannya. Selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amai Setia (1911) dan Rohana School (1916), Rohana Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang sampai saat ia mengungsi ke Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini.
Kalau Kartini hanya menyampaikan Sartika dan Rohana dalam surat, mereka sudah lebih jauh melangkah: mewujudkan ide-ide dalam tindakan nyata. Jika Kartini dikenalkan oleh Abendanon yang berinisiatif menerbitkan surat-suratnya, Rohana menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan).
Kalau saja ada yang sempat menerbitkan pikiran-pikiran Rohana dalam berbagai surat kabar itu, apa yang dipikirkan Rohana jauh lebih hebat dari yang dipikirkan Kartini. Bahkan kalau melirik kisah-kisah Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia, Pocut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fatimah dari Aceh, klaim-klaim keterbelakangan kaum wanita di negeri pada masa Kartini hidup ini harus segera digugurkan. Mereka adalah wanita-wanita hebat yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda. Tengku Fakinah, selain ikut berperang juga adalah seorang ulama-wanita.
Di Aceh kisah wanita ikut berperang atau menjadi pemimpin pasukan perang bukan sesuatu yang aneh. Bahkan jauh-jauh hari sebelum era Cut Nyak Dien dan sebelum Belanda datang ke Indonesia, Kerajaan Aceh sudah memiliki Panglima Angkatan Laut wanita pertama, yakni Malahayati. Aceh juga pernah dipimpin oleh Sultanah (sultan wanita) selama empat periode (1641-1699). Posisi sulthanah dan panglima jelas bukan posisi rendahan.
Jadi, ada baiknya bangsa Indonesia bisa berpikir lebih jernih: Mengapa Kartini? Mengapa bukan Rohana Kudus? Mengapa bukan Cut Nyak Dien? Mengapa Abendanon memilih Kartini? — Apa karena Cut Nyak dibenci penjajah?— Dan mengapa kemudian bangsa Indonesia juga mengikuti kebijakan itu? Cut Nyak Dien tidak pernah mau tunduk kepada Belanda. Ia tidak pernah menyerah dan berhenti menentang penjajahan Belanda atas negeri ini.
Meskipun aktif berkiprah di tengah masyarakat, Rohana Kudus juga memiliki visi keislaman yang tegas. Perputaran zaman tidak akan pernah membuat wanita menyamai laki-laki. Wanita tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah wanita harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Wanita harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan, begitu kata Rohana Kudus.
Bayangkan, jika sejak dulu anak-anak kita bernyanyi: Ibu kita Cut Nyak Dien. Putri sejati. Putri Indonesia…, mungkin tidak pernah muncul masalah Gerakan Aceh Merdeka. Tapi, kita bukan meratapi sejarah, Ini takdir. Hanya, kita diwajibkan berjuang untuk menyongsong takdir yang lebih baik di masa depan. Dan itu bisa dimulai dengan bertanya, secara serius: Mengapa Harus Kartini?
*PP Persis, Ketum Pemuda Persis 2010-2015, Peneliti INSISTS dan Doktor Sejarah, Universitas Indonesia Dari Facebook PERSATUAN ISLAM (PERSIS), Kamis 21 April 2016
Menjelang musim kompetisi baru, bursa transfer pemain selalu diramaikan oleh nama-nama pemain yang berpindah dari satu klub ke klub lainnya. Wajah-wajah ‘lama’ yang biasanya berada di kesebelasan rival bisa saja menjadi pemain unggulan di kesebelasan yang kita dukung. Atau muncul nama-nama baru yang terdengar ‘asing’ di telinga kita yang berasal dari negara yang jauh di sebrang lautan.
Walau untuk beberapa pihak yang kritis melakukan studi tentang sepak bola profesional di Indonesia menilai bahwa tidak pernah ada bursa transfer pemain yang sesugguhnya. Bursa transfer yang terjadi di dunia sepakbola Indonesia lebih merupakan bursa ‘kontrak’ karena klub lama yang melepas pemain seringkali tidak mendapat keuntungan finansial.
Umumnya pola migrasi pemain terjadi karena pemain hanya dikontrak satu musim. Perkecualian bisa dikatakan terjadi pada saat Dias Angga Putra ditransfer dari Pelita Bandung Raya (PBR) ke Persib Bandung dengan nilai yang menguntungkan PBR. Di mana menurut manajemen PBR bahwa pihaknya menerima lebih banyak rupiah dari Persib dibandingkan saat mereka mengontraknya untuk pertama kali.
Dari sekian banyak bursa transfer yang dilakukan oleh Persib Bandung, tim redaksi maenbal.co menelusuri pembelian pemain terburuk yang pernah dilakukan Persib Bandung. Cukup menarik mengingat ada lebih dari 16 nama yang kami kategorikan sebagai ‘bangkar buying’.
Siapakah mereka? Mari kita mulai dari tahun yang terdekat.
1. DJIBRIL, COULIBALI
Pemain asal Mali ini begitu ‘ngoncrang’ saat bermain bersama Barito Putra di musim 2012-2013. Bersama koleganya, Makan Konate, Djibril berhasil mengemas 21 gol. Namun saat berkostum Persib Bandung, Djibril lebih banyak menjadi penghangat bangku cadangan karena cedera yang dideritanya. Bahkan di musim 2014-2015 Djibril harus memutuskan kontrak yang baru ditandangani tanpa sempat merumput bersama Semen Padang FC yang menampungnya usai lepas kontrak dari Persib Bandung.
2. EPANDI, HERMAN DZUMAFO
Diboyong dari Arema untuk menjadi striker utama Persib Bandung di musim 2012-2013 bersama Sergio Van Dijk. Sebelumnya bersama PSPS Pekanbaru Dzumafo mengemas 55 gol dari 111 kali bermain sepanjang tahun 2007 – 2011. Tetapi saat merumput bersama Persib Bandung, Dzumafo hanya mengemas 6 gol dari 16 pertandingan. Pada paruh musim, Dzumafo ditukarpinjamkan dengan Hilton Moreira (Sriwijaya FC).
3. SAKYI, MOSES
Pemain berpaspor Ghana ini merumput bersama Persib di musim 2011-2012. Maksud hati pelatih Persib saat itu, Drago Mamic, mendatangkan Sakyi untuk menggantikan Dragicevic yang hanya bermain satu pertandingan (IPL) saja. Namun ternyata selama setengah musim bersama Persib, Sakyi hanya mampu mencetak 3 gol saja dari 9 penampilan.
4. DRAGICEVIC, ZDRAVKO
Dibawa Drago Mamic dari Montenegro untuk menjadi striker, namun kandas pada pertandingan pertamanya bersama Persib Bandung. Penampilannya mengecewakan ketika Persib Bandung dipaksa bemain imbang 1-1 menghadapi Semen Padang pada pertandingan pembuka Liga Premier Indonesia/LPI di Stadion Si Jalak Harupat. Pada pertandingan selanjutnya di Liga Super Indonesia/LSI, Dragicevic tak terlihat lagi dalam jajaran pemain Persib sampai kompetisi usai.
5. M. NASUHA
Penampilan M. Nasuha dengan timnas Indonesia pada Piala AFF 2010 sungguh mengesankan sehingga manajemen Persib Bandung merekrutnya dari Persija Jakarta untuk bermain di musim 2011-2012. Namun sebagai bek kiri Persib Bandung, ia hanya bermain beberapa pertandingan saja karena cedera yang dideritanya sangat parah.
6. FRANCES, PABLO
Bersama Persijap Jepara, Frances mendapat sepatu emas karena menjadi top scorer di gelaran Piala/Copa Indonesia. Prestasinya itu membuat manajemen Persib tak segan-segan memboyongnya untuk merumput di Stadion Siliwangi pada musim 2010-2011. Namun ia tak mendapatkan kembali momen terbaiknya. Pada paruh musim pemain berpaspor Argentina itu harus pasrah turun kasta karena dipinjamkan ke Persikab Kabupaten Bandung yang bermain di Divisi Utama Liga Indonesia.
7. CHITESCU, LEONTIN
Saat berkostum PSM Makassar, Chitescu adalah ‘pembawa sial’ untuk Persib Bandung. Dua golnya di babak semifinal Piala Jusuf 2006, membuat Persib gagal meraih tiket final. Namun penampilan moncernya itu tidak berlanjut saat ia berkostum Persib Bandung di musim 2008-2009. Dimaksudkan untuk menggantikan Eka Ramdani yang harus bermain untuk Timnas Indonesia di Merdeka Games dan SEA GAMES, pemain berpaspor Rumania yang digadang-gadang pelatih Arcan Iurie ini tak mampu memenuhi ekspetasi Bobotoh.
8. ALCANTARA, FABIO LOPEZ
Pemain berpaspor Brazil ini penampilannya sangat cemerlang saat berkostum Happy Valley Hongkong di musim 2005-2006. Ia pun mendapat gelar pencetak gol terbanyak di Divisi Satu Hongkong dan Piala Liga hongkong. Namun ‘life time’ pemain ini sudah habis saat berkostum Persib Bandung di musim ISL 2008-2009. Dari lima pertandingan ia hanya membuat satu gol. Yah namanya juga ‘pemaen ti Hongkong’(Bersambung)
Ricky N. Sastramihardja/Egga Wiradisastra/Roni Kurniawan/SB
pernah dimuat di suarabobotoh.com
03-02-2015
Foto M. Nasuha: Juara.Net
Pada hari Selasa (3/2/2015), redaksi maenbal.co telah menceritakan tentang beberapa pemain yang gagal bersinar ketika membela Persib Bandung. Kali ini, redaksi maenbal.co akan kembali menuliskan dan menceritakan kelanjutan dari artikel sebelumnya yang berjudul “Bangkar Players” Persib Bandung Sepanjang Masa (Bagian 1).
9. BEKAMENGA, CHRISTIAN
Berlabel pemain Tinas Kamerun U-23, pemain berpaspor Kamerun ini dibawa ke Stadion Siliwangi dari Negeri Sembilan FC Malaysia dengan nilai kontrak yang cukup fantastis di masanya, 1,1 Miliar rupiah. Namun godaan bermain di Liga Perancis membuatnya ‘gelap mata’. Bekamenga pergi meninggalkan Persib Bandung tanpa pamit untuk bermain di Nantes FC, Perancis. Padahal publik Bobotoh terlanjur menyukai pemain ‘stylish’ yang membuat Persib sempat merasakan gelar ‘juara paruh musim’ di 2007-2008.
10. TRAORE, BRAHIMA
Segudang pengalamannya bersama Timnas Burkina Faso serta bermain untuk klub-klub yang bermain di Uni Emirat Arab (UAE) dan Liga Prancis membuat manajemen meminangnya untuk merumput bersama Persib Bandung di musim 2006 – 2007. Tetapi pada realitasnya, ia lebih sering duduk manis di bangku pemain cadangan karena kalah bersaing dengan pemain lokal Persib masa itu seperti Zaenal Arief, Eka Ramdani.
11. BERTI, AYOUCK LOUIS
Tidak cukup banyak sumber yang menjelaskan tipikal dan posisi bermainnya. Pemain berpaspor Kamerun ini nasibnya tak jauh beda dengan rekannya, Brahima Traore. Lebih sering duduk manis di pinggir lapangan menyaksikan rekan-rekan satu timnya berjibaku berupaya meloloskan Persib Bandung dari jurang degradasi di musim 2006-2007.
12. TAWEECHAI, PRADITH
Pemain berpaspor negara Gajah putih ini merupakan pemain asing ke empat Persib Bandung musim 2005-2006 bersama Barkaouwi, Ocraenecz, dan ‘Toyo’ Claudio. Pemain belakang ini gagal menunjukkan penampilan terbaiknya di Persib, Taweechai hanya bermain separuh musim saja.
13. KINGSLEY, CHIOMA
Pemain belakang berpaspor Nigeria ini direkrut untuk memperkuat jajaran pemain belakang pasukan persib Bandung du musim 2004-2005. Namun ternyata penampilannya masih kalah jauh dengan Toyo, Usep Munandar, Dadang Hidayat.
14. Untuk nomor 14, 15, 16 ada tiga pemain ‘bangkar’ yang merupakan paketan dari pelatih berpaspor Polandia, Marek Andrejz Sledzianowski. Ke tiga pemain asing ‘legendaris’ berpaspor Polandia itu adalah Maciej Dolega, Piotr Orlinski, dan Mariusz Mucharski. Sepertinya layak disebut ‘legendaris tapi bangkar’ karena ketiganya adalah pemain berpaspor asing angkatan pertama yang bermain untuk Persib Bandung setelah bertahun-tahun lamanya hanya mengandalkan pemain lokal. Namun hasil yang terbaik didapat dari Pelatih dan Trio Polandia ini adalah Persib harus melewati pertandingan play off di musim 2003 – 2004 agar terhindar dari degradasi.
Demikian ‘Bangkar Players’ dari masa ke masa. Selain ke-16 nama tersebut masih ada nama lain yang gagal ‘mencrang’ bersama Persib Bandung seperti Budi ‘Budigol’ Sudarsono, Sandi Pribadi, Jairon Feliciano, Christian Molina, atau Pavel Bocian. Atau juga seperti nama Fortune Udo, Koh Traore dan Nicolas Vigneri. Namun ketiga nama yang disebut belakangan tersebut baru berstatus pemain seleksi.
Tanpa bermaksud mengurangi rasa hormat kami pada para ‘Bangkar Players’ yang bagaimanapun juga pernah basah berkeringat di saat membela klub kebanggaan Bandung dan Indonesia ini. Tulisan yang disusun tim redaksi maenbal.co ini untuk menunjukkan bahwa untuk ‘menjadi’ itu memerlukan proses yang panjang, jatuh bangun, dan menyakitkan.
Tentu harapan ke depannya adalah setiap rekrutmen dan seleksi pemain asing maupun lokal yang akan bergabung dengan pasukan Pangeran Biru ini harus mengedepankan kebutuhan tim akan pemain yang berkualitas. Tidak hanya mengandalkan bisikan agen atau ‘cek beja’ belaka.
Ricky N. Sastramihardja/ Egga Wiradisastra/Roni Kurniawan
Persib Bandung membuka lembaran pertama tahun 2015 ini dengan meraih Piala Wali Kota Padang usai mengalahkan Persiba Balikpapan dengan skor 0-2. Alhamdulilah, suatu pencapaian yang menyenangkan, mengingat para Bobotoh masih dilanda euforia demam juara kompetisi Indonesia Super League (ISL) 2014 yang seolah tak berhenti. Padahal sudah dua bulan lamanya semenjak Piala ISL 2014 dibawa pulang ke Bandung dari Palembang.
Hasil yang sangat pantas disyukuri walau mungkin Piala Walikota Padang ini ‘hanya’ turnamen biasa di luar kalender PSSI/AFC/FIFA. Setidaknya, hal ini menunjukk, persiapan Persib untuk menghadapi pertandingan panjang dan berat di ISL 2015 serta di Liga Champion Asia (LCA) mendatang sudah menunjukkan adanya kerangka tim yang baik. Untuk itu wajib kita ucapkan selamat pada Persib Bandung yang kita cintai ini, karena ada dua piala yang dibawa pulang dalam waktu yang berdekatan.
Di luar urusan sepakbola, ada hal yang menarik dari perhelatan Piala Wali Kota Padang ini. Hal yang sangat mencolok adalah dengan tidak adanya satupun pertandingan Persib maupun tim-tim lain, yang ditayangkan oleh televisi. Padahal keikutsertaan Persib dalam turnamen ini seharusnya menarik minat lembaga penyiaran swasta untuk menyiarkannya ke seluruh pelosok negeri. Entah apa yang menjadi penyebabnya. Apakah memang dianggap tidak menarik minat sponsor, terlalu tinggi biayanya, atau ada sebab lainnya.
Untung saja kita sekarang hidup di jaman kemudahan teknologi informasi. Jaman di mana internet menjadi rujukan utama untuk mengais berbagi macam informasi, termasuk hasil pertandingan sepak bola. Sehingga, para Bobotoh dengan sekejap dapat mengetahui hasil pertandingan melalui internet, terutama dari jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter. Para Bobotoh dewasa ini adalah Bobotoh generasi 2.0 yang mereguk informasi dari samudera Internet yang luas dan seolah tak bertepi. Bobotoh yang tidak lagi menunggu dan berebut koran pagi di keesokan hari, hanya untuk sekedar mengetahui hasil pertandingan Persib.
Sayangnya, informasi penting seperti itu tidak bisa kita dapat langsung dari pihak Persib sendiri. Para Bobotoh mendapatkan informasi tersebut dari pihak Bobotoh yang berada di Stadion H. Agus Salim Padang, atau lembaga penyiaran lain yang bukan lembaga resmi penyiaran yang dikelola oleh PT. Persib Bandung Bermartabat (PT. PBB)
Berkaca misalnya pada tim-tim di Liga Inggris, di mana pada setiap pertandingan resmi atau tidak resmi, latihan atau bahkan sekedar mengucapkan selamat ulang tahun pada pemain, mereka menggunakan Twitter untuk mendistribusikan informasi yang harus diketahui para supporter dan fans di seluruh dunia. Pada setiap pertandingan resmi, para fans di Indonesia bisa mengetahui jalannya pertandingan berikut hasilnya dari live tweet yang disiarkan oleh lembaga penyiaran klub yang bersangkutan. Sehingga walaupun para fans tidak menonton pertandingan yang hanya disiarkan melalui TV Kabel/siaran berbayar (Pay TV), streaming, atau dari siaran free-to-air yang di-relay tv swasta, tapi dapat mengikutinya melalui layar ponsel atau laptopnya.
Begitu juga dengan keberadaan situs resmi klub. Bila kita berkunjung ke situs resmi tim-tim yang pernah berlaga dengan Persib seperti Ajax Amsterdam (Belanda), D.C United (USA) atau Central Coast Marines/CCM (Australia), web site resmi mereka ini sangat aktif mengelola informasi yang harus diketahui para supporter mereka. Mulai dari harga tiket hingga jadwal latihan, bahkan ulasan dan kesan tentang pertandingan pun ditayangkan di web site mereka. Bahkan hampir semua klub yang saya sebut di atas memiliki Youtube channel tersendiri, lengkap dengan liputan pertandingan yang digarap secara profesional. Sehingga kita bisa menyaksikan, misalnya, bagaimana gol jarak jauh lebih dari setengah lapang yang diciptakan Mbida Messi pada pertandingan melawan CCM di tahun 2012.
Klub sekelas Persib memang sudah seharusnya memiliki lembaga penyiaran sendiri yang dikelola dengan lebih baik. Dengan demikian, para Bobotoh dapat dengan mudah menerima informasi. Persib tidak lagi tergantung pada televisi swasta atau media massa untuk menyiarkan informasi pada publik bobotoh. Cukup dengan memainkan jari-jemari di atas ponsel, lalu menyebarkannya via akun twitter resmi Persib, fanspage resmi Persib di Faceboook yang di-like hampir 6 juta bobotoh, atau melalui web site official Persib secara real time.
Ricky N. Sastramihardja Pemimpin Redaksi Suara Bobotoh