INILAH.COM, Bandung -
Kendati tidak ada pelarangan bagi restoran dan rumah makan untuk menutup
usahanya di bulan suci Ramadan, Pemkot Bandung tetap berharap para pengusaha
kuliner itu untuk menghargai umat muslim yang tengah menjalankan ibadah shaum.
Sekertaris Daerah Kota
Bandung, Edi Siswadi menuturkan, penutupan rumah makan dan resto tidak bisa
dilakukan di wilayah Kota Bandung, karena banyak dikunjungi warga non muslim,
dan keberadaan mereka disini dipastikan harus didukung sarana kuliner.
"Kalau mereka mau makan bagaimana? Harus cari kemana kalau tidak ada yang
jualan," tegas Edi disela acara Musda VII Angkatan Muda Pembaharuan
Indonesia (AMPI) di Jalan Maskumambang, Sabtu (7/7/2012).
Walaupun diperbolehkan tetap
berjualan, lanjutnya, Pemkot Bandung akan membahas aturan operasionalnya.
"Nanti kita atur, jam mulai buka dan tutupnya nanti jam berapa, terus kita
juga himbau agar tidak terlalu vulgar," paparnya. Aturan itu misalnya,
sebuah rumah makan buka namun tidak terlalu terlihat buka, bisa ditutup gorden
namun di jendela ada tulisan buka.[ang]
Berita yang saya kutip
utuh di atas adalah berita yang dimuat media online www.inilah.com pada Sabtu, 7 Juli 2012, 15:38 WIB yang ditulis
oleh Evi Damayanti seperti terdapat dalam tautan berikut: http://m/inilah.com/read/detail/1880188/bulan-puasa-rumah-makan-tak-dilarang-buka
.
Menurut saya,
pernyataan Edi Siswadi sebagai Sekretaris Kota sungguhlah mengherankan.
Bagaimana bisa ia, yang muslim, haji pula, mengatakan bahwa pemerintah kota
Bandung tidak bisa menutup rumah makan . Setidaknya agar tidak buka di siang
hari di saat sebagian besar, mayoritas warga kota Bandung menjalankan ibadah
shaum?
Mengapa Pemerintah kota
lebih melindungi kepentingan wisatawan yang jumlahnya lebih sedikit dibanding
warga kota Bandung? Apakah karena mereka membawa rupiah, dolar, euro, lantas
difasilitasi untuk berbuat semaunya di kota Bandung? Makan minum seenaknya di
di saat banyak muslim sedang bershaum?
Menurut pemberitan di
media massa, pada Hari Raya Nyepi, seluruh pulau Bali dinyatakan nyepi. Hanya
pecalang, petugas keamanan, dan petugas medis saja yang mendapat dispensasi.
Wisatawan, tidak bisa keluar kamar, menyalakan api, atau melakukan aktivitas
apapun. Bandara, pelabuhan, terminal bis ditutup. Tidak ada kendaraan
berlalu-lalang. Bahkan Kaum muslimin dan muslimat pun turut menghormati dengan
tidak menggunakan pengeras suara untuk menyerukan panggilan sholat/adzan.
Selama 24 jam Bali betul-betul sepi, hening.
Tidak ada protes,
bahkan wisatawan pun menikmatinya. Umat Islam tidak menyatakan INTOLERAN pada
saudara-saudaranya yang beragama Hindu. Sebagai minoritas, mereka tunduk dan
patuh pada aturan adat setempat sepanjang tidak mengganggu tauhid dan aqidah
mereka.
Lantas, kenapa
Pemerintah Kota Bandung bergegas menyatakan tidak bisa menutup rumah makan, dan
hanya mengatur jam operasionalnya saja dengan alasan untuk kepentingan
wisatawan? Bukankan hotel Bandung ini dibangun dan ditinggali oleh warga
Bandung, bukan oleh wisatawan? Di mana keadilan untuk warga mayoritas?
***
Negara ini dibangun
atas dasar demokrasi. Demokrasi sederhananya berarti pemilik suara
mayoritas/terbanyak adalah suara pemenang. Suara yang jumlahnya lebih kecil,
harus mengikuti mereka yang jumlah suaranya lebih banyak. Demokrasi negara kita
pun digadang-gadang sebagai demokrasi Pancasila, bukan demokrasi liberal atau
demokrasi terpimpin.
Tetapi pada setiap
bulan Romadhon, ummat Islam dengan suara mayoritas, yang seharusnya memiliki
daya tawar atas peraturan kota, malah termarginalkan. Umat Islam kota Bandung
dipaksa menerima kemenangan suara minoritas yang memandulkan pemerintahan kota
agar tunduk pada keinginan mereka.
Seharusnya, Bandung
juga bisa mengikuti Bali. Bali tidak takut kehilangan uang dari wisatawan di
hari raya Nyepi. Apalagi Bandung bisa memiliki regulasi untuk melarang warung,
rumah makan, cafe buka di siang hari. Regulasi yang bisa dibuat dan
disosialisasikan jauh sebelum bulan Romadhon tiba.
Apabila ada alasan
non-muslim, ibu hamil, anak-anak, orang sakit, pekerja keras yang tidak wajib
bershaum, yang harus membeli makanan,
itu bisa diatur dengan mudah. Beli, bungkus, dan bawa tidak untuk dimakan di
tempat. Bahasa kerennya take away.
Atau mungkin bisa melalui layanan pesan-antar/delivery. Resto, cafe, warung makan hanya boleh buka setelah waktu
Ashar. Itu pun untuk persiapan penjualan menjelang buka shaum, bukan untuk
dimakan di tempat.
Hal-hal seperti ini
yang sebetulnya memancing kegeraman ummat. Maka dengan menggunakan kendaraan ormas,
entah itu FPI, FUI, atau apapun, ummat yang geram akhirnya melakukan sweeping yang pada prakteknya sering
diikuti tindak kekerasan. Ormas-ormas ini menyatakan kegeraman ummat yang hanya
bisa diam, dengan melakukan tindakan-tindakan
yang tidak elok, apalagi dilakukan di bulan Romadhon. Tetapi tindakan ini,
menurut saya, akhirnya mendapat pembenaran bila ternyata pemerintah kota
yang seharusnya bersikap adil mau berfikir dan bertindak. Tidak sebatas
mengeluarkan statemen omong kosong. seperti statemen yang dinyatakan oleh Edi
Siswadi seperti itu. Itu statemen cari aman dan ingin mudahnya saja. Enggak
usah jadi pemerintah kota kalau hanya bisa mengeluarkan statemen seperti itu. Anak
TK juga bisa kalau cuma ngomong “Marilah saling menghormati sesama masyarakat di
bulan puasa”.
Seharusnya jauh hari sebelumnya pemerintah kota duduk
bersama DPRD membicarakan masalah ini. Menyusun, menyiapkan, serta membuat
kebijakan baku yang bisa dipergunakan setiap tahun di saat bulan romadhon
mengenai jam buka warung, rumah makan, cafe serta resto. Toh kebijakan itu
tidak perlu dibuat setiap tahun. Karena bulan Romadhon itu sudah pasti hadir, jadi
kebijakan yang dibuat bisa dipakai berulang-ulang untuk romadhon tahun
berikutnya.
Ini mah pemerintah dan DPRD hanya bisa mengeluarkan perda yang tidak
penting seperti kewajiban berbahasa Sunda di hari Rabu. Perda yang tidak ada mengenakan
sanksi apapun bagi yang pelanggar. Suatu perda yang konyol, buat apa bikin
peraturan daerah bila tidak ada sanksi? Bila
sekedar sanksi moral, tak perlu pakai perda. Hanya buang-buang biaya dan
tenaga. Sebagai Urang Sunda pituin,
tanpa perda pun saya sudah berbahasa Sunda. Bahkan di saat bermimpi dan
bercinta. Perda bahasa Sunda itu mirip
Liga Premier Indonesia (LPI), kompetisi sepakbola ‘aneh’ yang dijalankan
tanpa mengenal logika kompetisi, yakni
promosi-degradasi.
Saya merasa semakin
tidak yakin dengan pelaksanaan demokrasi yang terjadi di Indonesia akan memberi
banyak manfaat bagi ummat Islam sebagai mayoritas, khususnya di Bandung. Ummat
Islam ditekan oleh peraturan perundangan yang sama sekali tidak menguntungkan. Bila
Undang-Undang Dasar 1945 serta Pancasila selalu menyatakan bahwa setiap warga
negara berhak memeluk dan melaksanakan ibadah berdasar agama dan kepercayaannya
masing-masing, maka saya yakin dewasa ini pasal-pasal dan ayat-ayat tersebut TIDAK
BERLAKU untuk ummat Islam.
Tidak berlaku, sebab bila
memang ummat Islam diperbolehkan menjalankan ibadah berdasar tuntutan agamanya,
maka seharusnya pemerintah kota berani bersikap tegas dengan membuat regulasi
jam operasional bagi warung, rumah makan, dan cafe. Berani pula memberikan
sanksi pidana bagi yang melanggar. Bukan sekedar denda atau peringatan moral.
Sanksi ini diperuntukan pula bagi mereka, terutama yang mengaku Islam, yang
dengan sengaja tidak menghormati yang bershaum seperti merokok, makan – minum
di ruang publik seperti yang sering kita saksikan. Bukan lantas melindungi
mereka dengan alasan yang dibuat-buat. Ironis sekali Pemerintah Kota ternyata lebih
membela mereka yang TIDAK MELAKSANAKAN IBADAH, padahal jelas melanggar Undang-Undang
Dasar 1945 sebagai sumber hukum tertinggi di Indonesia.
Seharusnya pemerintah
kota tahu bila bisnis kuliner di bulan Romadhon itu menguntungkan, bahkan bagi
mereka yang hanya khusus berjualan ta’jil saja. Setiap buka bersama cafe-cafe,
warung selalu penuh oleh mereka yang berbuka. Acara buka bersama diadakan dimana-mana. Bahkan menjadi suatu
ironi, di mana bulan Romadhon pengeluaran seharusnya bisa ditekan, tetapi pada
kenyataannya malah membengkak karena ummat Islam malah berfoya-foya di acara
buka shaum bersama. Katakanlah, di tahun lalu saya mendapat 4 undangan buka
shaum bersama. Mulai dari teman-teman SMA, perhimpunan, organisasi alumni unit
kesenian dan teman-teman satu profesi. Bila satu buka bersama saja saya
diharuskan mengeluarkan biaya tambahan Rp. 75.000, maka untuk empat acara akan
menjadi Rp. 300.000. Sama dengan biaya makan selama 2 minggu untuk keluarga
dengan dua anak kecil. Itu belum dikalikan dengan sekian ratus atau ribu orang
yang berbuka puasa bersama. Jadi sebetulnya dengan regulasi yang tepat,
pemerintah kota tidak harus tunduk pada para pengusaha kuliner. Toh laba mereka
dari buka bersama pun sangat besar, bisa melebihi omset reguler di hari biasa!
Dikaitkan dengan
tuduhan INTOLERAN terhadap ummat Islam seperti yang digadang-gadang oleh pihak
yang membenci Islam (bahkan sebagai agamanya sendiri), kita bisa menilai
sendiri. Siapa yang sebetulnya toleran, siapa yang intoleran. Jelasnya, bila
kita toleran terhadap kemaksiatan dan penyimpangan atas hukum-hukum Alloh SWT,
maka kita hanya tinggal menunggu azab dan siksa yang teramat pedih. Terutama
bila kita hanya diam dan berlalu tidak mau tahu saat kemaksiatan terjadi di
depan mata kita. Padahal kita tahu bila kita bersatu, kita bisa mencegahnya.
Audzubillah tsumma naudzubillahimindzalik.
08 Juli 2012
Ricky N. Sastramihardja
Warga Bandung Yang Datang dan Pergi di Banyak
Kota
Pecinta Kopi, Fotografi, dan Bobotoh Persib
Bandung
Aktivis #IndonesiaTanpaJIL chapter Bandung
T: @RickyNSas
No comments:
Post a Comment