Wacana Gunung Padang adalah piramida tersembunyi kembali menarik perhatian netizen Indonesia. Salah satunya dipantik oleh tayangan "Ancient Apocalypse" yang tayang di Netflix, di mana seorang jurnalis bule, Graham Hancock, merilis tayangan-tayangan spekulasi tentang peradaban manusia yang hilang.
Bagi teman-teman yang baru saja menyimak wacana ini, jangan dulu terkagum-kagum, serta berharap banyak asumsi itu benar adanya. Karena wacana itu sebetulnya sudah lama sekali beredar di masyarakat.
Saya pertama kali mendengar asumsi bila Gunung Padang=piramid, sejak awal 90-an di ruang diskusi terbatas. Kemudian di awal 2000-an, wacana tersebut kembali menggeliat di masyarakat yang baru saja melek internet. Terutama setelah Kaskus dan Facebook menjadi keseharian netizen.
Tidak hanya Gunung Padang di Cianjur yang menjadi 'tersangka'. Gunung Sadahurip, Garut dan Gunung Lalakon, Soreang juga sempat dituduh sebagai persembunyian piramid yang konon sudah ada sejak 25.000 tahun sebelum masehi.
Bayangkan, 25.000 tahun! Padahal peradaban Sumeria yang dianggap peradaban tertua saja, baru mulai 4000 tahun SM. Peradaban Sumeria memenuhi kriteria disebut peradaban karena secara umum sebuah budaya harus mencapai beberapa keunggulan, terutama urbanisme yang meliputi kota, irigasi, dan tulisan. Dari kriteria itu, peradaban Bangsa Sumeria telah memenuhinya.
Nah balik lagi ke Gunung Padang (juga Sadahurip, dan Lalakon), apalah benar ada peradaban maju 25.000 tahun lalu di Tatar Sunda hingga bisa membangun sebuah piramida yang lebih tua dari Piramida Giza yang diperkirakan berumur 4.500 tahun lalu?
Piramida Giza sendiri konon dibangun oleh lebih dari 20.000 orang. Temuan arkelogis misalnya, menyebut banyak artefak dan ekofak di sekitar Giza sebagai bukti di situ pernah ada sekelompok besar manusia hidup dan tinggal di saat membangun piramida tertua tersebut.
Apakah ada arfefak dan ekofak ditemukan pula di sekitar Gunung Padang? Sejauh ini belum ada satu pun bukti yang berhasil diungkap ke publik untuk memperkuat asumsi dan interpretasi tersebut.
Spekulasi-spekulasi yang berkembang pun kemudian dimanfaatkan sekelompok orang untuk pemurtadan dan melecehkan agama Islam. Apalagi sekelompok orang yang bernaung di sebuah kelompok, sebut saja TS, yang dulu wara-wiri di Kaskus atau Facebook. Intinya, mereka mengagung-agungkan 'leluhur' Nusantara sebagai bangsa yang maju dan hebat dan menganggap kemunduran Nusantara adalah karena masuknya peradaban Islam.
Kelompok ini pula, yang sepengetahuan saya dari berbagai diskusi selama ini, menolak fakta sejarah Islamisasi Sunda yang masif di tahun 1500-an setelah Kerajaan Sunda Galuh/Pajajaran membubarkan diri. Di mana tidak bisa dipungkiri, suka atau tidak suka, kekuasaan Mataram di bawah kepemimpinan Sultan Agung, merupakan salah satu tolok ukur Islamisasi masyarakat Sunda.
Padahal, semasa Pajajaran berdiri pun kerajaan bercorak Islam sudah hidup berdampingan, yakni Kerajaan Sumedang Larang.
Kembali menyoal asumsi Gunung Padang sebagai piramida, tentu saja tanpa harus menjadi skeptis, kita tunggu hasil penelitiannya dirilis ke publik. Walau memang tampaknya asumsi dan spekulasi yang berkembang pun sudah menjadi bola liar karena ada banyak pihak yang kemudian mengklaim asumsi itu sebagai kebenaran.
Kalau saya sih merasa aneh saja dengan motif 'karuhun' membangun piramida di Tatar Sunda. Ngapain? Rek naon? Di wilayah yang bergunung-gunung kok membangun piramida. Karena bila melihat di Mesir, Piramida terletak di wilayah dataran rendah, dataran yang cenderung rata sehingga kemunculan piramida boleh lah diinterpretasikan sebagai keinginan manusia pada saat itu untuk mendekati tuhan atau dewa-dewa dalam keyakinannya.
Di kita kan sudah banyak gunung? Ngapain bangun piramid? Yang ada dan menjadi fakta adalah 'karuhun' atau nenek moyang Sunda, membangun makam di puncak-puncak gunung alih-alih membangun piramida. Contohnya saja makam di Puncak Gunung Geulis, Jatinangor dan Gunung Manglayang. Lebih ralistis dan ekonomis.
Tetapi memang tidak dapat dipungkiri bila situs Gunung Padang adalah situs megalitikum di mana pada masa lalu dijadikan tempat ibadah karuhun Sunda. Di mana batu-batu yang terletak di sana besar kemungkinan dibawa dan diletakkan di sana untuk keperluan peribadatan, namun batu-batuan itu murni merupakan bebatuan hasil proses alamiah.
Ricky N. Sastramihardja
📷 Slide dari diskusi di Museum Geologi 3 Februari 2012
No comments:
Post a Comment