Selasa, Januari 07, 2025

CETBANG PAJAJARAN DI PERANG BUBAT


DURMA

Di kapal amat banyak orang Sunda

bersiap berjaga-jaga

Dan para awak kapal

memasang meriam

Peluru 'nyembur bagai penabur

lepas secepat kilat

menghambur ke mana-mana

(Kidung Sunda II. Terjemahan Haksan Wirasutisna, Balai Pustaka 1980)

Dari naskah Kidung Sunda yang diperkirakan ditulis di akhir abad ke-15, dikisahkan bila pada Perang Bubat antara Majapahit dan Kerajaan Sunda, pasukan Sunda menggunakan meriam yang dipasang di kapal-kapal mereka.

Kidung sunda menyebutkan bila pasukan Sunda memiliki juru-modya ning bedil besar ing Bahitra alias operator meriam besar.

 Meriam Kalantaka koleksi Kerajaan Sumedang Larang yang merupakan hadiah dari VOC di abad ke-16.

Begitu juga pasukan Majapahit dan sekutunya, kedua belah pihak sama-sama telah menggunakan senjata api (meriam/kanon) dalam pertempuran tidak seimbang yang menyebabkan Prabu Linggabuana gugur di tahun 1357 M. 

Lalu sejak kapan mesiu mulai digunakan oleh kerajaan-kerajaan di Nusantara? Diperkirakan mesiu dan meriam mulai digunakan pada saat Raden Wijaya dan Pasukan Mongol bekerja sama untuk menggulingkan Kartanegara dari puncak Kerajaan Singasari pada tahun 1293 M.

Bangsa Cina sendiri diperkirakan sudah menggunkaan mesiu dan amunisi sejak abad ke-10. Pada masa awal perkembangannya, kanon Cina dibuat dari potongan bambu,

Interaksi dengan pasukan Mongol tersebut membuat senjata api yang kemudian dikenal sebagai meriam cetbang (dari asal kata chongtong), menjadi hal yang biasa. Apalagi banyak ahli-ahli logam di Nusantara yang bisa membuat cetbang dari coran perunggu. Bahkan bahan bubuk mesiu pun tersedia antara lain di Lamongan.


Pada perkembangan selanjutnya, cetbang terdiri dari juga jenis, yakni yang pelurunya dimasukkan dari belakang sebagai pengaruh Cina, serta peluru meriam yang dimasukkan dari depan sebagai pengaruh Kekhalifahan Turki Utsmani.

Cetbang pada masa itu bervariasi, mulai berukuran 1 meter yang bisa dijadikan hand cannon, hingga meriam besar sepanjang 3 meter. Pada perkembangan selanjutnya, diperkirakan juga kerajaan-kerajaan mulai menggunakan senapan atau bedil dorlok (semacam flintlock).

Urang Sunda sendiri menyebut meriam sebagai bedil sundut atau lodong. Mungkin berasal dari kata chongtong yang bila diserap ke bahasa Jawa menjadi cetbang.

Ricky N. Sastramihardja

7 Juni 2023, disempurnakan dan diperbaiki 7 Januari 2025

Gambar/foto:

1. Kapal Galai Banten, dengan 4 meriam di satu sisinya. Johann Theodor de Bry  and Johann Israel de Bry 1599.

2. Meriam Kalantaka koleksi Kerajaan Sumedang Larang yang merupakan hadiah dari VOC di abad ke-16.

3. Cetbang yang ditemukan di Sungai Brantas, Jawa Timur. 

4. Cetbang koleksi Kerajaan Sumedang Larang yang terdapat di Museum Geusan Ulun

Referensi:

1. Kidung Sunda II. Penterjemah: Haksan Wirasutisna. DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN PROYEK PENERBITAN BUKU BACAAN SASTRA INDONESIA DAN DAERAH Jakarta. 1980. Berkas digital dari https://repositori.kemdikbud.go.id/23884/1/KIDUNG%20SUNDA%20II.pdf Diunduh 6 Januari 2025

2. Cetbang. Wikipedia. Diakses 6 Januari 2025 https://id.wikipedia.org/wiki/Cetbang

3. Kapal-Kapal Kesultanan Banten yang Canggih dari Kesaksian VOC. Galih Pranata, National Geographic.grid.id, Jumat 1 Juli 2022. Diakses 6 Januari 2023 https://nationalgeographic.grid.id/read/133354258/kapal-kapal-kesultanan-banten-yang-canggih-dari-kesaksian-voc?page=all

4. Ghali (kapal). Wikipedia. Diakses 6 Januari 2025 https://id.wikipedia.org/wiki/Ghali_%28kapal%29 

5. Koleksi Benda Museum. Koleksi Benda Museum Keraton Sumedang Larang. https://virtualtour.sumedangkab.go.id/benda-pusaka/

Tidak ada komentar: