Menjadikan fotografi sebagai agen perubahan sosial? Mmm, tampaknya muluk-muluk ya. Di era ‘polusi’ visual dewasa ini, fotografi masih saja berada dalam wacana estetika (piktorial), berita, dokumentasi, atau juga pelengkap sarana periklanan semata. Ranah fotografi seolah tidak bisa beranjak dari wacana “jepret dan kenanglah”. Tengok saja Facebook, di mana fotografi secara umum menjadi etalase untuk mengingat dan mengenang masa lalu. Tag sana tag sini dan selesai. Benarkah?
Ternyata tidak. Dari situs jejaring sosial seperti Facebook ini, fotografi dengan sadar (atau tanpa disadari) telah beranjak dari kasta perekam visual atau dokumentasi belaka, naik kasta menjadi agen perubahan sosial. Janganlah muluk-muluk dan berkerut kening dulu dengan istilah agen perubahan sosial atau agent of social change seperti saat penataran P4 di awal masuk universitas tahun 1990-an dulu. Atau jangan lantas sibuk membuka buku “Bunga Rampai Sosiologi” Selo Soemardjan yang tebal itu.
Tapi ingatlah kebiasaan-kebiasaan kita sebagai pengguna aktif Facebook, misalnya. Tentu bila hanya dilakukan sendiri saja namanya sih kayaknya bukan perubahan sosial, tetapi perubahan individu. Ada istilah ‘narsis’ karena seringnya memajang foto diri yang sedemikian banyak di situs tersebut. Tetapi ‘narsis’ yang merupakan gejala psikologi individu itu kemudian berubah menjadi ‘narsis sosial’ karena dilakukan oleh banyak orang. Atau, ambilah asumsi positif, di mana Facebook dengan segala isi di dalamnya, termasuk fotografi, mampu mengerakan berbagai acara reuni. Mulai dari reuni TK sampai reuni tingkat Universitas. Bahkan, secara pribadi, karena foto-foto masa lalu yang di-upload ke Facebook, tahun 2009 ini saja saya harus mengikuti dan menggelar acara reuni SD dan SMA.
***
Ada dinamika dari fotografi, juga ada dampak yang ditimbulkannya. Seperti juga halnya lomba foto “Selamatkan Karst Citatah” yang kemudian diikuti pameran foto pemenang dan nominator lomba dengan judul yang sama. Pada kegiatan yang diadakan KRCB (Kelompok Riset Cekungan Bandung) dan Air Photography Communication ini, kita bisa merasakan emosi yang dahsyat saat fakta temuan-temuan KRCB dirilis dalam bentuk visual yang tidak melulu mengedepankan estetika, tetapi juga dibalut dengan semangat idealisme yang kental.
Pegunungan kapur yang membentang sepanjang 6 km di wilayah Citatah hingga Rajamandala ini adalah rekaman purbakala bagaimana dan mengapa cekungan Bandung terbentuk. Rekaman purbakala bagaimana karuhun urang Sunda hidup di pinggiran danau Bandung Purba di masa 9500 tahun yang lalu. Tetapi, karena keserakahan dan ketidaktahuan (serta ketidakingintahuan alias sikap masa bodoh) lah situs purbakala ini dihancurkan dan dieksploitasi hanya demi kepentingan ekonomi sebagian orang saja.
Kegiatan “Selamatkan Karst Citatah” melalui fotografi ini kemudian mencapai level tertinggi, di mana suatu kegiatan kepedulian lingkungan direspon dengan segera oleh gegeden Jawa Barat. Tercatat kemudian pernyataan Wakil Gubernur Jawa Barat, H. Dede Yusuf, saat membuka pameran yang berlangsung dari tanggal 19 s.d. 21 Februari 2009 di Museum Geologi Bandung, yang dengan tegas menyatakan bahwa pemerintah Propinsi Jawa Barat akan segera menyelamatkan Karst Citatah dari eksploitasi penambangan legal dan ilegal. Bila awalnya menunggu anggaran pemerintah Jawa Barat cair pada 2010, maka Wagub H. Dede Yusuf menegaskan bahwa penyelamatan Karst Citatah tidak bisa menunggu selama itu. Wagub menyatakan bahwa karst Citatah akan diselamatkan mulai sekarang juga.
Pernyataan Wakil Gubenur tersebut yang diucapkan pada saat acara pembukaan Pameran Foto “Selamatkan Karst Citatah” adalah suatu bukti bahwa fotografi mampu mendorong terjadinya perubahan sosial. Bagaimana kemudian sosok pemerintah yang biasanya hare-hare untuk masalah lingkungan hidup di negara ini, menjadi sangat peduli dan berjanji untuk melakukan perubahan secepatnya.
Fotografi, terutama di Bandung, dewasa ini telah mampu bergerak keluar dari frame estetika, berita, atau dokumentasi semata. Bergerak ke ranah sosial politik, di mana akan terjadi perubahan paradigma masyarakat dalam memahami karst Citatah. Membuka mata gegeden Gedong Sate melalui hasil jepretan lensa, yang bila semula ‘hanya untuk’ mendokumentasikan karst yang tersisa untuk diwariskan pda anak cucu kelak, kini berkembang menjadi suatu ‘upaya’ perubahan (perilaku) sosial.
Semoga upaya yang dilakukan KRCB dan Air Photograpy Communication serta segenap insan fotografi Bandung ini bisa secepatnya direalisasikan para gegeden kita. Karena bagaimana pun juga, tanpa campur tangan politik, perubahan sosial tidak akan pernah terjadi. Pun fotografi tidak akan pernah beranjak dari sekedar rekaman dokumentasi semata bila para insan fotografi tidak pernah membekali dirinya dengan berbagai wacana ideologis. Bila pada satu wilayah sejarah fotografi di Bandung pernah berjaya di wilayah fotografi estetika, fotografi berita, fotografi komersial, fotografi dokumentasi, maka wilayah sejarah ke depan akan mencatat bahwa fotografi kita mampu menjelajahi wilayah perubahan-perubahan serta dinamika sosial masyarakat, bahkan mampu mengarahkan suatu perubahan.
======================
Ricky Nugraha
Desainer Grafis, Pecinta Kopi dan Fotografi
No comments:
Post a Comment