Senin, April 21, 2025

MITOS KARTINI DAN REKAYASA SEJARAH - DR. ADIAN HUSAINI



Mitos Kartini dan Rekayasa Sejarah

Oleh: Dr. Adian Husaini

Ada yang menarik pada Jurnal Islamia (INSISTS -Republika) edisi 9 April 2009 lalu. Dari empat halaman jurnal berbentuk koran yang membahas tema utama tentang Kesetaraan Gender, ada tulisan sejarawan Persis Tiar Anwar Bahtiar tentang Kartini. Judulnya: “Mengapa Harus Kartini?”

Sejarawan yang menamatkan magister bidang sejarah di Universitas Indonesia ini mempertanyakan: Mengapa Harus Kartini? Mengapa setiap 21 April bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini? Apakah tidak ada wanita Indonesia lain yang lebih layak ditokohkan dan diteladani dibandingkan Kartini?

Menyongsong tanggal 21 April 2009 kali ini, sangatlah relevan untuk membaca dan merenungkan artikel yang ditulis oleh Tiar Anwar Bahtiar tersebut. Tentu saja, pertanyaan bernada gugatan seperti itu bukan pertama kali dilontarkan sejarawan. Pada tahun 1970-an, di saat kuat-kuatnya pemerintahan Orde Baru, guru besar Universitas Indonesia, Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar pernah menggugat masalah ini. Ia mengkritik ‘pengkultusan’ R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia.

Dalam buku Satu Abad Kartini (1879-1979), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990, cetakan ke-4), Harsja W. Bahtiar menulis sebuah artikel berjudul “Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita”. Tulisan ini bernada gugatan terhadap penokohan Kartini. “Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut,” tulis Harsja W. Bachtiar, yang menamatkan doktor sosiologinya di Harvard University.

Harsja juga menggugat dengan halus, mengapa harus Kartini yang dijadikan sebagai simbol kemajuan wanita Indonesia. Ia menunjuk dua sosok wanita yang hebat dalam sejarah Indonesia. Pertama, Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari Aceh dan kedua, Siti Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan. Anehnya, tulis Harsja, dua wanita itu tidak masuk dalam buku Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1978), terbitan resmi Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Tentu saja Kartini masuk dalam buku tersebut.

Padahal, papar Harsja, kehebatan dua wanita itu sangat luar biasa. Sultanah Safiatudin dikenal sebagai sosok yang sangat pintar dan aktif mengembangkan ilmu pengatetahuan. Selain bahasa Aceh dan Melayu, dia menguasai bahasa Arab, Persia, Spanyol dan Urdu. Di masa pemerintahannya, ilmu dan kesusastraan berkembang pesat. Ketika itulah lahir karya-karya besar dari Nuruddin ar-Raniry, Hamzah Fansuri, dan Abdur Rauf. Ia juga berhasil menampik usaha-usaha Belanda untuk menempatkan diri di daerah Aceh.

VOC pun tidak berhasil memperoleh monopoli atas perdagangan timah dan komoditi lainnya. Sultanah memerintah Aceh cukup lama, yaitu 1644-1675. Ia dikenal sangat memajukan pendidikan, baik untuk pria maupun untuk wanita.

Tokoh wanita kedua yang disebut Harsja Bachriar adalah Siti Aisyah We Tenriolle. Wanita ini bukan hanya dikenal ahli dalam pemerintahan, tetapi juga mahir dalam kesusastraan. B.F. Matthes, orang Belanda yang ahli sejarah Sulawesi Selatan, mengaku mendapat manfaat besar dari sebuah epos La-Galigo, yang mencakup lebih dari 7.000 halaman folio. Ikhtisar epos besar itu dibuat sendiri oleh We Tenriolle. Pada tahun 1908, wanita ini mendirikan sekolah pertama di Tanette, tempat pendidikan modern pertama yang dibuka baik untuk anak-anak pria maupun untuk wanita.

Penelusuran Prof. Harsja W. Bachtiar terhadap penokohan Kartini akhirnya menemukan kenyataan, bahwa Kartini memang dipilih oleh orang Belanda untuk ditampilkan ke depan sebagai pendekar kemajuan wanita pribumi di Indonesia. Mula-mula Kartini bergaul dengan Asisten-Residen Ovink suami istri. Adalah Cristiaan Snouck Hurgronje, penasehat pemerintah Hindia Belanda, yang mendorong J.H. Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Agama dan Kerajinan, agar memberikan perhatian pada Kartini tiga bersaudara.

Harsja menulis tentang kisah ini: “Abendanon mengunjungi mereka dan kemudian menjadi semacam sponsor bagi Kartini. Kartini berkenalan dengan Hilda de Booy-Boissevain, istri ajudan Gubernur Jendral, pada suatu resepsi di Istana Bogor, suatu pertemuan yang sangat mengesankan kedua belah pihak.”

Ringkasnya, Kartini kemudian berkenalan dengan Estella Zeehandelaar, seorang wanita aktivis gerakan Sociaal Democratische Arbeiderspartij (SDAP). Wanita Belanda ini kemudian mengenalkan Kartini pada berbagai ide modern, terutama mengenai perjuangan wanita dan sosialisme. Tokoh sosialisme H.H. van Kol dan penganjur “Haluan Etika” C.Th. van Deventer adalah orang-orang yang menampilkan Kartini sebagai pendekar wanita Indonesia.

Lebih dari enam tahun setelah Kartini wafat pada umur 25 tahun, pada tahun 1911, Abendanon menerbitkan kumpulan surat-surat Kartini dengan judul Door Duisternis tot Lich. Kemudian terbit juga edisi bahasa Inggrisnya dengan judul Letters of a Javaness Princess. Beberapa tahun kemudian, terbit terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran (1922).

Dua tahun setelah penerbitan buku Kartini, Hilda de Booy-Boissevain mengadakan prakarsa pengumpulan dana yang memungkinkan pembiayaan sejumlah sekolah di Jawa Tengah. Tanggal 27 Juni 1913, didirikan Komite Kartini Fonds, yang diketuai C.Th. van Deventer. Usaha pengumpulan dana ini lebih memperkenalkan nama Kartini, serta ide-idenya pada orang-orang di Belanda. Harsja Bachtriar kemudian mencatat: “Orang-orang Indonesia di luar lingkungan terbatas Kartini sendiri, dalam masa kehidupan Kartini hampir tidak mengenal Kartini dan mungkin tidak akan mengenal Kartini bilamana orang-orang Belanda ini tidak menampilkan Kartini ke depan dalam tulisan-tulisan, percakapan-percakapan maupun tindakan-tindakan mereka.”

Karena itulah, simpul guru besar UI tersebut: “Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut.”

Harsja mengimbau agar informasi tentang wanita-wanita Indonesia yang hebat-hebat dibuka seluas-luasnya, sehingga menjadi pengetahuan suri tauladan banyak orang. Ia secara halus berusaha meruntuhkan mitos Kartini: “Dan, bilamana ternyata bahwa dalam berbagai hal wanita-wanita ini lebih mulia, lebih berjasa daripada R.A. Kartini, kita harus berbangga bahwa wanita-wanita kita lebih hebat daripada dikira sebelumnya, tanpa memperkecil penghargaan kita pada RA Kartini.”

Dalam artikelnya di Jurnal Islamia (INSISTS-Republika, 9/4/2009), Tiar Anwar Bahtiar juga menyebut sejumlah sosok wanita yang sangat layak dimunculkan, seperti Dewi Sartika di Bandung dan Rohana Kudus di Padang (kemudian pindah ke Medan). Dua wanita ini pikiran-pikirannya memang tidak sengaja dipublikasikan. Tapi yang mereka lakukan lebih dari yang dilakukan Kartini. Berikut ini paparan tentang dua sosok wanita itu, sebagaimana dikutip dari artikel Tiar Bahtiar.

Dewi Sartika (1884-1947) bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum wanita. Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah yang belakangan dinamakan Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung. Rohana Kudus (1884-1972) melakukan hal yang sama di kampung halamannya. Selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amal Setia (1911) dan Rohana School (1916), Rohana Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang sampai saat ia mengungsi ke Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini.

Kalau Kartini hanya menyampaikan ide-idenya dalam surat, mereka sudah lebih jauh melangkah: mewujudkan ide-ide dalam tindakan nyata. Jika Kartini dikenalkan oleh Abendanon yang berinisiatif menerbitkan surat-suratnya, Rohana menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan).

Bahkan kalau melirik kisah-kisah Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia, Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fatimah dari Aceh, klaim-klaim keterbelakangan kaum wanita di negeri pada masa Kartini hidup ini harus segera digugurkan. Mereka adalah wanita-wanita hebat yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda.

Tengku Fakinah, selain ikut berperang juga adalah seorang ulama-wanita. Di Aceh, kisah wanita ikut berperang atau menjadi pemimpin pasukan perang bukan sesuatu yang aneh. Bahkan jauh-jauh hari sebelum era Cut Nyak Dien dan sebelum Belanda datang ke Indonesia, Kerajaan Aceh sudah memiliki Panglima Angkatan Laut wanita pertama, yakni Malahayati.

Jadi, ada baiknya bangsa Indonesia bisa berpikir lebih jernih: Mengapa Kartini? Mengapa bukan Rohana Kudus? Mengapa bukan Cut Nyak Dien? Mengapa Abendanon memilih Kartini? Dan mengapa kemudian bangsa Indonesia juga mengikuti kebijakan itu? Cut Nyak Dien tidak pernah mau tunduk kepada Belanda. Ia tidak pernah menyerah dan berhenti menentang penjajahan Belanda atas negeri ini.

Meskipun aktif berkiprah di tengah masyarakat, Rohana Kudus juga memiliki visi keislaman yang tegas. “Perputaran zaman tidak akan pernah membuat wanita menyamai laki-laki. Wanita tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah wanita harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Wanita harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan,” begitu kata Rohana Kudus.

Seperti diungkapkan oleh Prof. Harsja W. Bachtiar dan Tiar Anwar Bahtiar, penokohan Kartini tidak terlepas dari peran Belanda. Harsja W. Bachtiar bahkan menyinggung nama Snouck Hurgronje dalam rangkaian penokohan Kartini oleh Abendanon. Padahal, Snouck adalah seorang orientalis Belanda yang memiliki kebijakan sistematis untuk meminggirkan Islam dari bumi Nusantara. Pakar sejarah Melayu, Prof. Naquib al-Attas sudah lama mengingatkan adanya upaya yang sistematis dari orientalis Belanda untuk memperkecil peran Islam dalam sejarah Kepulauan Nusantara.

Dalam bukunya, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu ((Bandung: Mizan, 1990, cet. Ke-4), Prof. Naquib al-Attas menulis tentang masalah ini:

“Kecenderungan ke arah memperkecil peranan Islam dalam sejarah Kepulauan ini, sudah nyata pula, misalnya dalam tulisan-tulisan Snouck Hurgronje pada akhir abad yang lalu. Kemudian hampir semua sarjana-sarjana yang menulis selepas Hurgronje telah terpengaruh kesan pemikirannya yang meluas dan mendalam di kalangan mereka, sehingga tidak mengherankan sekiranya pengaruh itu masih berlaku sampai dewasa ini.”

Apa hubungan Kartini dengan Snouck Hurgronje? Dalam sejumlah suratnya kepada Ny. Abendanon, Kartini memang beberapa kali menyebut nama Snouck. Tampaknya, Kartini memandang orientalis-kolonialis Balanda itu sebagai orang hebat yang sangat pakar dalam soal Islam. Dalam suratnya kepada Ny. Abendanon tertanggal 18 Februari 1902, Kartini menulis:

”Salam, Bidadariku yang manis dan baik!… Masih ada lagi suatu permintaan penting yang hendak saya ajukan kepada Nyonya. Apabila Nyonya bertemu dengan teman Nyonya Dr. Snouck Hurgronje, sudikah Nyonya bertanya kepada beliau tentang hal berikut: ”Apakah dalam agama Islam juga ada hukum akil balig seperti yang terdapat dalam undang-undang bangsa Barat?” Ataukah sebaiknya saya memberanikan diri langsung bertanya kepada beliau? Saya ingin sekali mengetahui sesuatu tentang hak dan kewajiban perempuan Islam serta anak perempuannya.” (Lihat, buku Kartini: Surat-surat kepada Ny. R.M. Abendanon-Mandri dan Suaminya, (penerjemah: Sulastin Sutrisno), (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2000), hal. 234-235).

Melalui bukunya, Snouck Hurgronje en Islam (Diindonesiakan oleh Girimukti Pusaka, dengan judul Snouck Hurgronje dan Islam, tahun 1989), P.SJ. Van Koningsveld memaparkan sosok dan kiprah Snouck Hurgronje dalam upaya membantu penjajah Belanda untuk ’menaklukkan Islam’. Mengikuti jejak orientalis Yahudi, Ignaz Goldziher, yang menjadi murid para Syaikh al-Azhar Kairo, Snouck sampai merasa perlu untuk menyatakan diri sebagai seorang muslim (1885) dan mengganti nama menjadi Abdul Ghaffar. Dengan itu dia bisa diterima menjadi murid para ulama Mekkah. Posisi dan pengalaman ini nantinya memudahkan langkah Snouck dalam menembus daerah-daerah Muslim di berbagai wilayah di Indonesia.

Menurut Van Koningsveld, pemerintah kolonial mengerti benar sepak terjang Snouck dalam ’penyamarannya’ sebagai Muslim. Snouck dianggap oleh banyak kaum Muslim di Nusantara ini sebagai ’ulama’. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai ”Mufti Hindia Belanda’. Juga ada yang memanggilnya ”Syaikhul Islam Jawa”. Padahal, Snouck sendiri menulis tentang Islam: ”Sesungguhnya agama ini meskipun cocok untuk membiasakan ketertiban kepada orang-orang biadab, tetapi tidak dapat berdamai dengan peradaban modern, kecuali dengan suatu perubahan radikal, namun tidak sesuatu pun memberi kita hak untuk mengharapkannya.” (hal. 116).

Snouck Hurgronje (lahir: 1857) adalah adviseur pada Kantoor voor Inlandsche zaken pada periode 1899-1906. Kantor inilah yang bertugas memberikan nasehat kepada pemerintah kolonial dalam masalah pribumi. Dalam bukunya, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), Dr. Aqib Suminto mengupas panjang lebar pemikiran dan nasehat-nasehat Snouck Hurgronje kepada pemerintah kolonial Belanda. Salah satu strateginya, adalah melakukan ‘pembaratan’ kaum elite pribumi melalui dunia pendidikan, sehingga mereka jauh dari Islam.

Menurut Snouck, lapisan pribumi yang berkebudayaan lebih tinggi relatif jauh dari pengaruh Islam. Sedangkan pengaruh Barat yang mereka miliki akan mempermudah mempertemukannya dengan pemerintahan Eropa. Snouck optimis, rakyat banyak akan mengikuti jejak pemimpin tradisional mereka. Menurutnya, Islam Indonesia akan mengalami kekalahan akhir melalui asosiasi pemeluk agama ini ke dalam kebudayaan Belanda. Dalam perlombaan bersaing melawan Islam bisa dipastikan bahwa asosiasi kebudayaan yang ditopang oleh pendidikan Barat akan keluar sebagai pemenangnya. Apalagi, jika didukung oleh kristenisasi dan pemanfaatan adat. (hal. 43).

Aqib Suminto mengupas beberapa strategi Snouck Hurgronje dalam menaklukkan Islam di Indonesia: “Terhadap daerah yang Islamnya kuat semacam Aceh misalnya, Snouck Hurgronje tidak merestui dilancarkan kristenisasi. Untuk menghadapi Islam ia cenderung memilih jalan halus, yaitu dengan menyalurkan semangat mereka kearah yang menjauhi agamanya (Islam) melalui asosiasi kebudayaan.” (hal. 24).

Itulah strategi dan taktik penjajah untuk menaklukkan Islam. Kita melihat, strategi dan taktik itu pula yang sekarang masih banyak digunakan untuk ‘menaklukkan’ Islam. Bahkan, jika kita cermati, strategi itu kini semakin canggih dilakukan. Kader-kader Snouck dari kalangan ‘pribumi Muslim’ sudah berjubel. 

Biasanya, berawal dari perasaan ‘minder’ sebagai Muslim dan silau dengan peradaban Barat, banyak ‘anak didik Snouck’ – langsung atau pun tidak – yang sibuk menyeret Islam ke bawah orbit peradaban Barat. Tentu, sangat ironis, jika ada yang tidak sadar, bahwa yang mereka lakukan adalah merusak Islam, dan pada saat yang sama tetap merasa telah berbuat kebaikan.

Dari Mustanir Online - Facebook

21 April 2025

Mitos Kartini dan Rekayasa Sejarah Oleh: Dr. Adian Husaini Ada yang menarik pada Jurnal Islamia (INSISTS -Republika)...

Posted by Mustanir Online on Sunday, April 20, 2025

Kamis, April 17, 2025

MOBIL PENYOK ADALAH SUATU KENISCAYAAN


Suatu waktu dulu kala, saya pernah mengunjungi Medan untuk alasan pekerjaan. Lalu lintasnya meriah karena lampu merah pun dianggap hanya sebagai hiasan. Dalam satu trip, setidaknya dua kali mobil travel yang saya tumpangi menuju Sibolga dicegat polisi karena melanggar lalu lintas. Itu masih di dalam kota Medan belum sampai luar kota.

Tetapi sesemrawut-semrawutnya Kota Medan saat itu di sekitar tahun 2007 silam, saya tidak melihat banyak mobil yang penyok-penyok atau tergores-gores. Umumnya masih sangat mulus minus bekas pemakaian saja.

Tetapi di Mekkah, Medinah, atau Jeddah yang lalu lintasnya masih lebih tertib dibanding Medan, seringkali terlihat mobil penyok. Baik itu mobil lama bahkan mobil baru. Dari gambaran sekilas itu saya berusaha menebak perilaku pengemudi kendaraan roda empat di Arab Saudi.

Rupanya di sana senggolan atau tabrakan ringan sudah menjadi hal biasa. Entah siapa yang memulai namun yang jelas tidak sampai terjadi perkelahian. Biasanya hanya sampai adu mulut berkepanjangan sampai akhirnya bubar sendiri.

Tahu lah ya kenapa sampai tidak terjadi adu jotos, hukum di Arab Saudi berbeda dengan di Indonesia. Itu saja penjelasan paling ringkas. YTTA.

Perilaku pengendara di Saudi ini menjadi kesan yang melekat saat pertama kali melintasi jalan Jeddah menuju Mekkah. Bis yang kami tumpangi nyaris bersenggolan dengan sebuah mobil SUV yang seenaknya memotong jalur bus. 

Anehnya mereka, pengemudi dan penumpang SUV tersebut yang marah-marah. Bukannya menghindar, mereka mengeluarkan ponselnya dan merekam bis yang melaju di sampingnya. 

Jadi bila sehari setelah itu ada kejadian kecelakaan di jalur yang sama yang menewaskan empat orang jamaah umroh Indonesia, saya bisa meraba penyebabnya dan memperkirakan siapa yang seharusnya bertanggung jawab. Peristiwa di jalan tol Jeddah - Mekkah sore itu memberi sedikit gambaran bagaimana perilaku para pengemudi di Saudi.

Jadi bila sehari setelah itu ada kejadian kecelakaan di jalur yang sama yang menewaskan empat orang jamaah umroh Indonesia, saya bisa meraba penyebabnya dan memperkirakan siapa yang seharusnya bertanggung jawab. Peristiwa di jalan tol Jeddah - Mekkah sore itu memberi sedikit gambaran bagaimana perilaku pengemudi di Saudi.

Jadi jangan heran bila melihat banyak mobil bagus yang penyok di beberapa bagian. Bagi orang Arab, senggolan mobil adalah suatu keniscayaan, bahkan mungkin hal yang sudah sangat biasa.

Bandung, 17 April 2025

Ricky N. Sastramihardja


Rabu, April 16, 2025

CATATAN DARI JEDDAH: UMROH ITU UPGRADE CARDIO


Umroh itu ibadah, bukan olahraga. Tetapi untuk melaksanakannya, kita butuh fisik dan stamina yang prima.

Tapi pandangan ini tidak selalu tepat. Selama melakukan thowaf dan sa'i, ternyata realitasnya ada di antara jamaah umroh mereka memiliki keterbatasan fungsi fisik/disablitas atau sedang sakit.

Ada yang di kursi roda karena sedang sakit atau karena jasmaninya memiliki keterbatasan dan kekurangan, ada yang berjalan terpincang karena bentuk kaki yang ditakdirkan sejak lahir berbeda. Begitu juga ada yang ngesot karena bentuk tubuh yang tidak seperti orang lainnya.

Umroh itu undangan Alloh SWT. Bila sudah dipanggil, tak ada alasan untuk mengelak. Lagi bokek dan pengangguran pun bisa berangkat. Mereka yang fisiknya tidak sempurna pun bisa melaksanakan thowaf dan sa'i yang memerlukan daya tahan jasmani.

Bila sudah soal hati yang dirindu Sang Kholik, ketidaksempurnaan tubuh bukan penghalang. Vice versa.

Kembali lagi ke soal cardio, mudah-mudahan (seharusnya) sepulang perjalanan umroh jantung kita lebih sehat. Karena selama di Mekkah dan di Madinah kita selalu dipaksa untuk berjalan kaki dari dan ke mesjid, atau mencari makanan dan jajanan, atau berbelanja.

Mengitari Masjidil Haram yang luasnya lebih 35 ha dengan berjalan kaki tentu butuh effort. Begitu juga mengelilingi Masjidil Nabawi seluas lebih dari 24 ha.

Belum lagi yang doyan belanja-belanja. Mulai belanja serba 1 riyal hingga beli parfum ratusan riyal mengitari banyak kios dan pertokoan alias thowaf shopping.

Untuk thowaf dan sa'i, berdasar pedometer dari hotel hingga ke hotel lagi, tercatat sekitar 15.000 langkah atau bila dikonversi sekitar 10 km.

Jadi umroh tidak selalu soal kekuatan fisik, tetapi juga keteguhan mental. Serta insya Alloh sepulang berumroh, jantung kita lebih sehat dan kuat karena seringnya kita berjalan kaki

Jeddah 7 Syawal 2025/6 April 2025

Ricky N. Sastramihardja 


Semula ditulis di Facebook 6 April 2025

Senin, April 14, 2025

CATATAN DARI MADINAH: SEPATU ATAU SANDAL?


Saya lebih memilih sepatu saat melakukan perjalanan umroh dibanding sandal. Alasannya sederhana saja: lebih nyaman dan aman untuk dipakai berjalan di aspal yang panas dan keras.

Tentu saja di saat umroh telanjang kaki saat thowaf dan memakai sandal saat sa'i. Karena salah satu syarat umroh adalah tIdak mengenakan alas kaki yang menutupi mata kaki. Tapi setelah selesai tahalul, saya memilih menggunakan sepatu untuk berjalan pulang ke hotel.

Jadi bawa sepatu dan sandal sekaligus. Lebih repot tapi nyaman.

Tapi memakai dan melepaskan sepatu cukup memakan waktu. Apalagi sepatu bertali. Harus sedikit bergegas saat melepas-pasang sepatu. Tidak bisa blas-blus seperti sandal atau sepatu jenis loaf in atau selop.

Sepatu akan sangat berguna saat berjalan dengan jarak cukup jauh. Di Mekkah dan Madinah tidak ada angkot apalagi ojeg. Bagi saya berjalan kaki dengan bersepatu di saat terik matahari terasa lebih nyaman.

Apalagi kalau sempat salah jalan atau terpaksa harus berputar. Kaki tidak mudah lelah dan pegal.

Sepatu juga mengurangi resiko kaki tidak kekeringan dan pecah-pecah alias rorombeuheun. Aspal jalanan di Mekkah dan Madinah di siang hari akan sangat menyakitkan dan membahayakan bila dilewati tanpa alas kaki.

Seorang teman jamaah umroh kakinya pecah dan berdarah setelah tanpa sengaja berjalan memutari Masjidil Haram. Ia terpaksa harus berjalan memutar dan lebih jauh sepulang sholat dhuhur karena pengaturan jalan masuk dan jelan keluar oleh otoritas setempat. Ia hanya memakai sendal.

Memakai sepatu juga membuat saya bisa berjalan lebih cepat dibanding saat bersandal.

Perlu diketahui, hampir setiap hari di Mekkah atau Madinah saya berjalan cukup jauh. Pedometer di pergelangan tangan mencatat, sekurangnya berjalan minimal 8000 langkah atau kurleb 6 km per hari. Tentu hal ini tergantung jarak hotel kita dengan masjid.

Berjalan kaki berkilometer tentu lebih nyaman bersepatu daripada sandal. Mengitari masjid Nabawi seluas 24 ha pun lebih bebas pegal, bebas lecet, dan bebas rorombeuheun...

Madinah 6 Syawal 1446H/5 April 2025

Ricky N. Sastramihardja

Semula ditulis di akun pribadi di Facebook 5 April 2025

CATATAN 2 SYAWAL DI MEKKAH: MEKKAH KOTA YANG TAK PERNAH TIDUR


Bila ada pernyataan yang menyebut New York sebagai kota yang tak pernah tidur, mungkin harus berkunjung ke Mekkah.

Selepas romadhon, ternyata settingan Mekkah kembali ke setelan pabrik: semrawut dan padat. Setidaknya di sepanjang Misfalah/Al Hajlah tempat kami menginap yang merupakan salah satu jalan mencapai Masjidil Haram.

Pedagang kaki lima dan pengemis yang tidak terlihat di 10 hari Romadhon, muncul saat 1 Syawal resmi diumumkan. Jalan yang semula digunakan untuk menampung jamaah, kini kembali ke fungsi asal: menjadi akses berbagai macam kendaraan.

Masjidil Harom pun tetap penuh. Setidaknya satu jam sebelum adzan kita harus sudah menuju masjid. Tentu agar dapat tempat sholat di dalam masjid, setidaknya di bagian yang diberi karpet.

Bila di kampung, ke masjid itu menjelang iqomah masih bisa dapat shaf pertama, di Masjidil Haram pasti tidak. Kita harus bersiap sholat di jalan atau di trotoar. Dapat di pelataran/halaman masjid itu sudah sangat beruntung.


Area Kabah pun masih dipenuhi jamaah yang thowaf semenjak setelah sholat ied. Jadi bila ada yang bilang Mekkah/Kabah sepi saat lebaran, mungkin itu cerita di masa lalu. Di 1 dan 2 Syawal 1446 H, tetap full house.

Mencium Hajar Aswad pun pasti tetap penuh perjuangan. Untung saja tidak menjadi rukun umroh/haji.

Denyut kehidupan di Kota Mekkah ini berkaitan dengan data yang dirilis Presidensi Umum Urusan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Dirilis oleh Republika dari Saudigazette, Senin (31/3/2025), CEO Otoritas Umum untuk Urusan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, Ghazi Al-Shahrani mengatakan, jumlah jamaah umrah mencapai 16.558.241. Sementara, umat Islam yang beribadah di Masjidil Haram berjumlah 92.132.169 orang dan di Masjid Nabawi 30.154.543 orang.

Kehidupan berdenyut selama 24 jam di Mekkah. Mulai antrian masuk masjid, pedagang kaki lima, teriakan askar mengatur jamaah umroh, razia satpol PP Mekkah terhadap PKL & pengemis, restoran dan toko yang tak pernah tutup, serta hilir mudik kendaraan masuk dan keluar Mekkah

Ricky N. Sastramihardja

Semula ditulis di akun pribadi di Facebook 31 Maret 2025

CATATAN 1 SYAWAL DI MEKKAH: MALAM LEBARAN TANPA TAKBIRAN


Berbeda dengan di Indonesia, malam lebaran atau malam takbiran di Mekkah tidak dirayakan dengan takbir berkumandang sepanjang malam hingga pagi.

Takbiran baru berkumandang setelah sholat subuh hingga menjelang sholat idul fitri.

Sedangkan sholat ied terpusat di Masjidil Haram. Bagi yang ingin merayakan di dalam Masjidil Haram, harus sudah berangkat sejak pukul 02.00 dinihari.

Bersama puluhan ribu jamaah lainnya, saya lebih memilih sholat di jalanan Al Hajlah yang menjadi salah satu jalan masuk ke Masjidil Haram.

Tadi malam setelah magrib, bersama teman sekamar saya menyempatkan diri beritikaf sebentar di Masjidil Haram. Masjid yang biasanya dipenuhi jamaah selama 10 hari terakhir romadhon itu suasananya lebih lengang.

Kami diarahkan ke lantai 4 masjid lalu sholat isya berjamaah di sana. Setelah sholat isya, ya selesai. Tidak ada takbiran seperti yang biasa dilakukan di Tanah Air.

Pagi ini, setelah sholat subuh, menjadi kali pertama saya berlebaran jauh dari keluarga, jauh dari tanah air. Suasana yang berbeda yang pertama kali didapat seumur hidup.

Sejak jam 05.00 jalanan sudah penuh dengan jamaah umroh maupun warga Mekkah yang hendak melaksanakan sholat iedul fitri pada jam 06.30 waktu setempat. Begitu juga dengan Masjidil Haram.

Oh iya, 1 syawal di Saudi Arabia dan di Jazirah Arabia tepat jatuh pada tanggal 30 Maret 2025. Hilal terlihat lebih awal dibandingkan di Indonesia.

Taqoballohu minna wa mingkum. Shiyamana wa shiyamakum.

Wilujeng Boboran Siam 1 Syawal 1446H.

Ricky N. Sastramihardja

Semula ditulis di akun pribadi di Facebook 30 Maret 2025

CATATAN JELANG MALAM KE-30 ROMADHON: PORSI JUMBO MAKANAN ARAB


Alhamdulillah tidak ada kendala dengan rasa makanan selama di Mekkah. Terbiasa adaptasi dengan berbagai rasa makanan di tanah air, membuat saya tidak terlalu pilih-pilih soal makanan.

Beberapa rasa yang kurang cocok masih bisa 'dikoreksi' dengan saos sambal yang dibawa dari Indonesia. Sayang saya tidak jadi membawa garam gurih karena khawatir diperiksa bea cukai akibat mirip serbuk 'assoy' alias narkoba.

Tapi tentu masalahnya ada di ukuran makanan yang duh Gusti, meni baradag enjum. Beli nasi putih yang mirip nasi uduk seharga 7 riyal, jumlahnya luar biasa. Bisa untuk 4-5x makan. Dimakan berdua dengan teman sekamar pun enggak habis, akhirnya sisanya terpaksa dibuang setelah 2 hari.

Beli sejenis semur daging, diberi 2 lembar roti yang ukurannya juga over size. Sagede-gede telebug sigana mah...

Pernah sesaat setelah tiba di Mekkah, oleh tim Khidmat travel jamaah diberi sajian ayam Albaik. Buset, itu satu kotak Albaik, kayaknya cukup buat 3 orang.

Ada 3 potong ayam, 1 besar banget segede kepalan tangan Mike Tyson, yang dua lagi seukuran ayam krispi di Indonesia. Sajian itu baru habis setelah 3x makan. Itupun sebagian dibuang karena goreng ayam yang sudah dingin rasanya tidak sip.

Heran dengan porsi makanan yang oversize seperti motor Mio balap 200 cc, ternyata menurut ustad pendamping jamaah, orang Arab pun sering kali tak bisa habiskan makanan.

"Mereka (orang Arab) juga gak bisa habiskan porsi nasi sebanyak itu. Kebanyakan sisanya berakhir di tempat sampah."

Tapi berbeda dengan roti, roti pasti akan selalu dimakan habis karena berkaitan dengan masa lalu. Di mana konon nenek moyang mereka pernah mengalami kesulitan mendapat makanan hingga harus mengais remah-remah roti untuk makan.

Ricky N. Sastramihardja

Semula ditulis di akun pribadi di Facebook 29 Maret 2025

CATATAN DARI MALAM KE-29 ROMADHON: ADA BALA-BALA DI MEKKAH


Pertama kali lihat bala-bala di Mekkah adalah di Cafetaria Al Bahary di samping hotel. Kantin yang mungkin masih franchisenya warteg Bahari ini menyiskan sebiji bala-bala di etalase.

"What's that?," tanya saya pada penjaga kantin.

"Bala-bala," jawabnya.

"What? That bala-bala is from my country", balas saya sambil tertawa.

Bala-bala itu harganya 1 riyal (± Rp. 4500). Ukurannya tunggu kiris, eh tinggi kurus, sudah dingin dan tanpa cengek. Itu masih lebih murah dibanding di Damba, restoran Indonesia di Zamzam Tower. 4 Riyal per biji atau 10 riyal per 3 biji. Gehu alias tahu isi juga dijual di Damba dengan harga yang sama.

Bala-bala ini dijual di beberapa warung makan di Al Hajlah, terutama warung makan Bangladesh seperty Cafetaria Al Bahary, atau di warung makan Pakistan. 

Bahkan di hotel tempat kami menginap, pengelola restoran Indonesia sempat juga menyajikan bala-bala sebagai menu. Rasanya lebih enak daripada bala-bala buatan chef Bangladesh atau Pakistan. Namun tetap tanpa cengek.

Menarik juga saat para penjual makanan ini menyebut nama bala-bala, karena bala-bala mah penamaan khas Sunda. Tidak disebut dengan bakwan, membuat saya curiga bila juru masak yang mengenalkan bala-bala di Tanah Mekkah adalah orang Sunda.😅

Ricky N. Sastramihardja

Semula ditulis di akun pribadi di Facebook 29 Maret 2025

CATATAN DARI MALAM KE-28 ROMADHON DI MEKKAH


Sholat qiyamul lail di sini itu 10 rokaat untuk taraweh (20.30 - 22.00). Dilanjut tahajud berjamaah 10 rokaat dan 3 rokaat witir (bisa 2+1, bisa langsung 3).

Selain jamaah umroh, warga Mekkah dan warga KSA berbondong-bondong sholat berjamaah walau luber hingga ke jalan raya karena tidak mungkin semua tertampung di Masjidil Haram.

Berjamaah sholat dengan jutaan muslim dari berbagai penjuru dunia itu sungguh luar biasa.

Enggak ada yang 'berantem' soal jumlah taraweh, apalagi bila dijumlah-jamleh jadi 23 rokaat. Persis seperti yang dilakukan banyak umat Islam di Indonesia.

Dalam riwayat Rosullulloh tidak mewajibkan taraweh berjamaah. Tetapi di Mekkah, taraweh dan tahajud dilakukan berjamaah.

Aneh aja di lingkungan kita di Indonesia ada yang mendebat soal taraweh dan tahajud berjamaah ini. Di Mekkah aja di bulan ramadhan, amal-amalan sunat dilakukan berjamaah kok, di Indonesia malah jadi bahan debat kusir dengan berbagai macam dalih.

Beberapa kali di dalam qunut Imam sholat bersholawat dengan menyebut nama Sayiddina Muhammad. Sedangkan di Indonesia, ada juga kelompok yang bilang 'tidak kaci' bila menyebut nama Sayiddina Muhammad. 

Banyak pula jamaah yang isbal, gulung celana, atau gulung lengan baju agar lebih nyaman. Kalau dari perawakan dan bahasanya mereka orang Arab. Tapi tidak dibid'ah-bidah'kan oleh jamaah lain. Enggak kayak di onoh yang soal celana aja bisa berantem berabad lamanya 😅

Ricky N. Sastramihardja

Semula ditulis di akun pribadi di Facebook 28 Maret 2025

Sabtu, April 12, 2025

PERANG UHUD DAN PERANG BUBAT


Jabal Uhud. Di tempat ini pernah terjadi pertempuran antara kaum Muslimin di Madinah dengan kaum Quraisy Mekkah. Terjadi di tahun ke-3 hijriah, tepatnya 7 Syawal 3 H/23 Maret 625 M. Pada pertempuran ini umat Islam yang dipimpin oleh Nabi SAW mengalami kekalahan.

Di tempat ini juga ada pemakaman 70 orang sahabat yang syahid pada pertempuran ini. 

Kisah Perang Uhud ini terdokumentasi dengan terperinci sampai sekarang setelah 1400 tahun lebih lamanya. Kekuatan ingatan orang Arab membuat kisah ini tetap terverifikasi kebenarannya hingga sekarang. Tidak hanya lisan tetapi sudah terdokumentasi dalam berbagai naskah tulisan.

Kita bandingkan dengan Perang Bubat antara Majapahit dan Kerajaan Sunda di tahun 1357 M atau 668 tahun lalu. Perang Bubat ini disebutkan terbatas hanya di beberapa naskah kuno. Salahsatunya naskah Carita Parahiangan yang diperkirakan ditulis di akhir abad ke-16.

Perang Bubat ini sampai sekarang menuai pro dan kontra. Sebagian menganggapnya benar terjadi, sebagian menganggapnya dusta. Banyak juga yang skeptis, dan tidak ambil pusing dengan alasan demi keutuhan NKRI.

Menariknya, di tengah pro kontra kisah sejarah ini, ada sekelompok masyarakat fasis yang menganggap dia dan leluhurnya adalah orang-orang hebat.  Saking hebatnya, sekelompok fasis yang sering disebut kaum rahayu ini semakin terang-terangan menghina Kaum Muslimin di Indonesia, juga menghina orang Arab.

Pemakaman 70 syuhada Uhud

Heran saja mengaku lebih hebat dari orang Arab, mengakui ajaran agama leluhurnya lebih benar daripada Islam, tetapi buta akan sejarahnya sendiri yang berjarak hanya 668 tahun. Sedangkan tradisi Islam, mengingat setiap detail peristiwa sejarah agamanya lengkap dengan nama, tahun, tempat dan perincian-perincian lainnya yang sulit dibandingkan dengan sejarah Nusantara dalam kurun waktu yang sama.

Ah jangankan Perang Bubat yang terjadi hampir 7 abad silam, sejarah Persib Bandung yang terjadi di dunia yang sudah tertulis, pun ternyata 'gelap'.

Paling lama sejarah Persib itu dimulai 106 tahun lalu (1919, versi PT. PBB) atau 1933 (versi tradisi historikal-lisan), atau 1934 (versi naskah akademis sumber tertulis satu-satunya).

Bagaimana bisa kaum rahayu ini mengaku diri bangsa Nusantara adalah bangsa yang hebat bila ternyata kita hanyalah bangsa amnesia yang mudah lupa dan abai peristiwa sejarah?

Bandung, 12 April 2025/13 Syawal 1446H

Ricky N. Sastramihardja