Sabtu, Januari 11, 2025

MELACAK JEJAK JAMAN JURASSIC DI SUMEDANG

Amber yang ditemukan di Curug Buhud Sumedang

John Hammond berpendapat bila ilmuwan bisa menemukan jejak darah dinosaurus di dalam tubuh nyamuk yang hidup dan mati dalam periode yang sama. Pendapat CEO InGen itu ternyata benar. Para ilmuwan kemudian menemukan cara untuk menghidupkan kembali dinosaurus melalui nyamuk yang terperangkap menjadi fosil di dalam amber atau katilayu.

Tapi tentu saja itu hanya bagian dari cerita dalam film Jurassic Park. Karena pada faktanya, belum pernah ada seorang ilmuwan pun yang mampu memulihkan DNA kuno dari amber dari zaman Mesozoikum (252 juta hingga 66 juta tahun silam). 

Dari laman jurassic-pedia disebut bila perkiraan bahwa amber dapat mengawetkan DNA hingga seratus juta tahun dihitung oleh Bada, Wang, dan Hamilton pada tahun 1999 (Philos Trans R Soc Lond B Vol. 354 hal. 77 – 97). Tetapi pada tahun 2013 Dr. David Penney dan rekan-rekannya di University of Manchester tidak dapat memulihkan DNA dari serangga yang ditemukan dalam holosen kopal yang lebih muda daripada katilayu.

Fosil siput laut Zaria angulata

Lalu di mana saja amber dapat ditemukan? Amber dapat ditemukan di berbagai penjuru dunia. Seperti juga misalnya di Sumedang, tepatnya di Curug Buhud, Cikandung Sumedang. Dalam kegiatan GeoUrban bersama PGWI, Rabu 8 Januari 2025, ditemukan amber di aliran sungai Cikandung Sumedang. Amber adalah resin atau getah kayu yang terfosilkan sejak jaman mesozoikum atau lebih muda.

Amber yang ditemukan berwarna hitam mirip dengan obsidian. Namun lebih ringan dan tidak tajam. Tentu saja tidak ditemukan fosil nyamuk seperti dalam film Jurassic Park. Tetapi keberadaan amber menunjukan bila kawasan Tanjung Medar Sumedang memiliki kekayaan informasi dari jaman 'Jurassic Park' alias Mesozoikum.

Menariknya, di Curug Buhud juga ditemukan fosil moluska dari jaman baheula. Fosil siput laut (Zaria angulata) juga Simping pinggir (Placuna plasenta) dapat ditemukan di lapisan tanah lempung di Curug Buhud.Penemuan dua fosil tersebut tentu saja menjadi menarik karena memberikan petunjuk bila di masa jutaan tahun silam, di masa sebelum jaman mesozoikum, Sumedang adalah lautan dalam. 

Penemuan amber juga memberi petunjuk bila setelah lautan tersebut berubah menjadi daratan yang di atasnya terdapat hutan. Di mana kemudian menjadi lintasan sungai dan dan air terjun dalam proses pembentukan rupa bumi secara geologis.

Curug Buhud Sumedang

Berada di ketinggian sekitar 350 m dpl, Curug Buhud ini merupakan curug bertingkat yang menjadi pertemuan tiga sungai yakni Cikandung, Cipedes, dan Cipicung. Selain tersembunyi, untuk mencapai curug juga harus melewati pekarangan dan lahan milik warga. 

Cukup unik karena harus melewati melalui bangunan milik warga karena pada saat itu tidak (belum) menemukan akses jalan lain. Di mana saat pulang, pintu bangunan terkunci sehingga kami harus meminta pemilik rumah membuka selot pintu.

Curug Buhud juga dimanfaatkan warga sekitar untuk mencari ikan dengan cara menjala (ngecrik). Beberapa lainnya mencari limbah plastik yang mungkin mengalir dari wilayah di atasnya. 

Hal yang harus diperhatikan saat menyusuri sungai di Curug Buhud ini adalah memperhatikan cuaca di hulu. Jangan sampai saat berada di curug sementara di bagian hulu cuaca mendung atau hujan, karena bahaya banjir bandang bisa saja terjadi tanpa diduga. 

Selain itu disarankan untuk memakai sepatu, tidak memakai sendal. Lebih disarankan menggunakan sepatu boot karet yang tingginya menutup betis. Karena potensi gangguan binatang melata yang berbisa cukup tinggi.

Ricky N. Sastramihardja

Referensi:

1.  Katilayu (batu). Wikipedia. Diakses 11 Januari 2025. https://id.wikipedia.org/wiki/Katilayu_(batu) 

2. Amber (film universe). Jurassicwiki.com. Diakses 11 Januari 2025.https://www.jurassicwiki.com/wiki/Amber_(Film_Universe) 

3. Amber (C/N) / (S/F) / (L/M) / (JN) / (CB). jurassic-pedia.com. Diakses 11 Januari 2025. https://www.jurassic-pedia.com/amber/

4. Tanjungmedar Dilalui Cikandung. denidugandi.com. Diakses 11 Januari 2025. https://blog.denisugandi.com/tanjungmedar-dilalui-cikandung/


Selasa, Januari 07, 2025

CETBANG PAJAJARAN DI PERANG BUBAT


DURMA

Di kapal amat banyak orang Sunda

bersiap berjaga-jaga

Dan para awak kapal

memasang meriam

Peluru 'nyembur bagai penabur

lepas secepat kilat

menghambur ke mana-mana

(Kidung Sunda II. Terjemahan Haksan Wirasutisna, Balai Pustaka 1980)

Dari naskah Kidung Sunda yang diperkirakan ditulis di akhir abad ke-15, dikisahkan bila pada Perang Bubat antara Majapahit dan Kerajaan Sunda, pasukan Sunda menggunakan meriam yang dipasang di kapal-kapal mereka.

Kidung sunda menyebutkan bila pasukan Sunda memiliki juru-modya ning bedil besar ing Bahitra alias operator meriam besar.

 Meriam Kalantaka koleksi Kerajaan Sumedang Larang yang merupakan hadiah dari VOC di abad ke-16.

Begitu juga pasukan Majapahit dan sekutunya, kedua belah pihak sama-sama telah menggunakan senjata api (meriam/kanon) dalam pertempuran tidak seimbang yang menyebabkan Prabu Linggabuana gugur di tahun 1357 M. 

Lalu sejak kapan mesiu mulai digunakan oleh kerajaan-kerajaan di Nusantara? Diperkirakan mesiu dan meriam mulai digunakan pada saat Raden Wijaya dan Pasukan Mongol bekerja sama untuk menggulingkan Kartanegara dari puncak Kerajaan Singasari pada tahun 1293 M.

Bangsa Cina sendiri diperkirakan sudah menggunkaan mesiu dan amunisi sejak abad ke-10. Pada masa awal perkembangannya, kanon Cina dibuat dari potongan bambu,

Interaksi dengan pasukan Mongol tersebut membuat senjata api yang kemudian dikenal sebagai meriam cetbang (dari asal kata chongtong), menjadi hal yang biasa. Apalagi banyak ahli-ahli logam di Nusantara yang bisa membuat cetbang dari coran perunggu. Bahkan bahan bubuk mesiu pun tersedia antara lain di Lamongan.


Pada perkembangan selanjutnya, cetbang terdiri dari juga jenis, yakni yang pelurunya dimasukkan dari belakang sebagai pengaruh Cina, serta peluru meriam yang dimasukkan dari depan sebagai pengaruh Kekhalifahan Turki Utsmani.

Cetbang pada masa itu bervariasi, mulai berukuran 1 meter yang bisa dijadikan hand cannon, hingga meriam besar sepanjang 3 meter. Pada perkembangan selanjutnya, diperkirakan juga kerajaan-kerajaan mulai menggunakan senapan atau bedil dorlok (semacam flintlock).

Urang Sunda sendiri menyebut meriam sebagai bedil sundut atau lodong. Mungkin berasal dari kata chongtong yang bila diserap ke bahasa Jawa menjadi cetbang.

Ricky N. Sastramihardja

7 Juni 2023, disempurnakan dan diperbaiki 7 Januari 2025

Gambar/foto:

1. Kapal Galai Banten, dengan 4 meriam di satu sisinya. Johann Theodor de Bry  and Johann Israel de Bry 1599.

2. Meriam Kalantaka koleksi Kerajaan Sumedang Larang yang merupakan hadiah dari VOC di abad ke-16.

3. Cetbang yang ditemukan di Sungai Brantas, Jawa Timur. 

4. Cetbang koleksi Kerajaan Sumedang Larang yang terdapat di Museum Geusan Ulun

Referensi:

1. Kidung Sunda II. Penterjemah: Haksan Wirasutisna. DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN PROYEK PENERBITAN BUKU BACAAN SASTRA INDONESIA DAN DAERAH Jakarta. 1980. Berkas digital dari https://repositori.kemdikbud.go.id/23884/1/KIDUNG%20SUNDA%20II.pdf Diunduh 6 Januari 2025

2. Cetbang. Wikipedia. Diakses 6 Januari 2025 https://id.wikipedia.org/wiki/Cetbang

3. Kapal-Kapal Kesultanan Banten yang Canggih dari Kesaksian VOC. Galih Pranata, National Geographic.grid.id, Jumat 1 Juli 2022. Diakses 6 Januari 2023 https://nationalgeographic.grid.id/read/133354258/kapal-kapal-kesultanan-banten-yang-canggih-dari-kesaksian-voc?page=all

4. Ghali (kapal). Wikipedia. Diakses 6 Januari 2025 https://id.wikipedia.org/wiki/Ghali_%28kapal%29 

5. Koleksi Benda Museum. Koleksi Benda Museum Keraton Sumedang Larang. https://virtualtour.sumedangkab.go.id/benda-pusaka/

Senin, Januari 06, 2025

SKANDAL SEKS RAJA-RAJA SUNDA

Seks menjadi hal yang tabu dibicarakan di masa lalu. Selain karena berhubungan dengan kehormatan, juga bila dilakukan tidak dengan pasangan resmi akan menjadi kisah perzinahan alias skandal. 

Hal tersebut disadari penting oleh penulis naskah kuno Carita Parahiangan. Naskah yang menggunakan huruf Sunda Kuno dan bahasa Sunda Kuno itu dengan gamblang mengungkap perzinahan yang dilakukan raja, juga 'prameswari' permaisuri.  Bahkan anak hasil zina pun turut mewarnai sejarah perebutan kekuasaan di antara urang Sunda di masa ratusan tahun silam.

VI. Ngareungeu tatabeuhan humung gumuruh tanpa parungon, tatabeuhan di Galuh. Pulang ka Galuh teter nu ngigel.

Sadatang ka buruan ageung, carék Rahiyangtang Mandiminyak, "Sang Apatih, na saha éta?" "Béjana nu ngigel di buruan ageung." "Éta bawa sinjang saparagi, iweu kéh pamalaan aing. Téhér bawa ku kita keudeukeudeu!"

Leumpang sang apatih ka buruan ageung, dibaan ka kadatwan na Pwah Rababu. Dipirabi ku Rahiyangtang Mandiminyak, dirabi kasiahan na Pwah rababu. Diseuweu patemuan, dingaranan Sang Salah.

Carék Rahiyang Sempakwaja, "Rababu leumpang! Ku siya bwatkeun budak éta ka Rahiyangtang Mandiminyak. Anteurkeun patemuan siya Sang Salahtwah."

Barang ngadéngé tatabeuhan ngaguruh teu puguh rungukeuneunana, tatabeuhan di Galuh, Pwah Rababu terus mulang ka Galuh di dinya téh taya kendatna nu ngigel.

Sadatangna kaburuan ageung, cek Rahiangtang Mandiminyak: "Patih, na naon éta téh?"

"Béjana nu ngigel di buruan ageung!"

"Éta bawa pakéan awéwé sapangadeg, sina marek ka dieu. Keun tanggungan aing. Geuwat bawa sacara paksa!"

Patih indit ka buruan ageung. Pwah Rababu dibawa ka kadaton. Dipirabi ku Rahiangtang Mandiminyak. Kacida bogohna ka Pwah Rababu. Tina sapatemonna, nya lahir anak lalaki dingaranan Sang Salah.

Carék Rahiang Sempakwaja: "Rababu jig indit. Ku sia bikeun éta budak ka Rahiangtang Mandiminyak, hasil jinah sia, Sang Salahlampah.

Dalam tafsir yang dibuat Oleh Abdurrachman dkk dalam "Carita Parahiangan: Ringkasan, Konteks Sejarah Isi Naskah dan Peta" (1990) disebut bila Mandiminyak menggauli kakak iparnya, Pwah Rababu atau disebut di naskah Wangsakerta sebagai Dewi Wulansari. Adapun suami sah Dewi Wulansari adalah Sempakwaja, kakak kandung Mandiminyak.

Hasil perzinahan itu menyebabkan Dewi Wulansari hamil dan lalu melahirkan seorang anak yang diberi nama Sang Salah atau Sang Sena. 

Perhatikan: Dalam transkripsi naskah disebut Sang Salah atau Salahlampah sedang dalam transliterasi oleh Atja disebut sebagai Sang Sena. 

Begitu juga dalam tafsir Abdurrachman dkk, bila di transkripsi dan transliterasi naskah disebut Pwah Rababu Dalam tafsir disebut Pwah Rababu itu Dewi Wulansari. Kisah ini diperkirakan terjadi di masa kekuasaan Wretikandayun antara 670-702 M.

Kelak Sang Salahlampah atau Sena atau Bratasena ini akan menjadi Raja Galuh dengan gelar Sang Senna Rajaputra Linggabhuwana menggantikan ayahnya, Mandiminyak. 

Sang Sena ini pula yang kelak memiliki seorang anak bernama Sanjaya, yang kelak menjadi pendiri kerajaan Medang Mataram Kuno pada tahun 732 M. Candi Prambanan adalah salah satu peninggalan Wangsa Sanjaya yang beragama Hindu. 

Peta Bogor lama buatan VOC tahun 1701 yang masih memuat lokasi kerajan Pajajaran.

Skandal seks lainnya dalam kronik sejarah Sunda masih berlanjut di keturunan Sanjaya. Disebut bila setelah Sanjaya menjadi Raja Galuh dan Raja sunda, memilih ia berdomisili ibukota karajaan Sunda, di wilayah yang kita kenal sekarang sebagai Bogor. 

Sedangkan Galuh, tepatnya di wilayah yang kita kenal sebagai Kawali Ciamis, dikuasakan pada Prabu Permanadikusumah sebagai raja taklukan. Untuk mengawasi kinerja sang prabu, ditempatkanlah Raden Anom Barmawijaya atau Rahyang Tamperan yang berstatus sebagai duta patih atau wakil raja. 

Ternyata Barmawijaya ini tergoda pada Dewi Pangrenyep, istri kedua Prabu Permanadikusumah. Di suatu hari di saat Prabu Permanadikusumah sedang bertapa, Bramawijaya menggoda Dewi Pangrenyep hingga terjadi perzinahan.

Dari perzinahan itu lahirlah seorang bayi laki-laki yang bernama Raden Kamarasa atau Dang Arya Banga. Atau di dalam naskah Carita Parahiangan disebut sebagai Rahiyang Banga. 

Dalam tradisi lisan masyarakat Sunda Rahiyang Banga ini disebut sebagai Hariang Banga, Ia adalah tokoh antagonis yang bersebrangan dengan Sang Manarah atau dikenal sebagai Ciung Wanara atau Sang Surotama. Sang Manarah ini adalah kakaknya beda ibu, dari istri pertama Prabu Permanadikusumah yakni Dewi Naganingrum.

Tradisi lisan Ciung Wanara ini diperkirakan benar terjadi di abad ke-7 . Yakni perebutan kekuasaan antara kakak beradik, Hariang Banga melawan Ciung Wanara yang kemudian dimenangkan oleh Ciung Wanara.

Hariang Banga kemudian menjadi raja di Kerajaan Sunda, sedangkan Sang Manarah menjadi raja di Kerajaan Galuh. Kisah ini diperkirakan terjadi tahun 723 - 740 M.

XV. Tembey Sang Resi Guru ngayuga taraju Jawadipa, taraju ma inya Gulunggung, Jawa ma ti wétan.

Di pamana Sunda hana pandita sakti, ngaraniya Bagawat Sajalajala, pinejahan tanpa dosa. Mangjanma inya Sang Manarah, anak Rahiyang Tamperan, dwa sapilanceukan denung Rahiyang Banga.

Sang Manarah males hutang; Rahiyang Tamperan sinikep deneng anaknira. Ku Sang Manarah dipanjara wesi na Rahiyang Tamperan. Datang Rahiyang Banga, ceurik, teher mawakeun sekul kana panjara wesi, kanyahoan ku Sang Manarah. Tuluy diprangrang deung Rahiyang Banga. Keuna mukana Rahiyang Banga ku Sang Manarah.

Ti inya Sang Manarah adeg ratu di Jawa pawwatan.

Carék Jawana, Rahiyang Tamperan lawasniya adeg ratu tujuh tahun, kena twah siya bogoh ngarusak nu ditapa, mana siya hanteu heubeul adeg ratu.

Sang Manarah, lawasniya adeg ratu dalapanpuluh tahun, kena rampés na agama. Sang Manisri lawas adeg ratu geneppuluh tahun, kena isis di Sanghiyang Siksa. Sang Tariwulan lawasniya ratu tujuh tahun. Sang Welengan lawasniya ratu tujuh tahun.

Mimiti Sang Resi Guru ngawangun kuta pulo Jawa, kutana téh nya éta Galunggung, ti wétana Jawa.

Di wates Sunda, aya pandita sakti, dipaténi tanpa dosa, ngaranna Bagawat Sajalajala. Atma pandita téh nitis, nya jadi Sang Manarah. Anakna Rahiang Tamperan duaan jeung dulurna Rahiang Banga.

Sang Manarah males pati. Rahiang Tamperan ditangkep ku anakna, ku Sang Manarah. Dipanjara beusi Rahiang Tamperan téh.

Rahiang Banga datang bari ceurik, sarta mawa sangu kana panjara beusi téa. Kanyahoan ku Sang Manarah, tuluy gelut jeung Rahiang Banga. Keuna beungeutna Rahiang Banga ku Sang Manarah.

Ti dinya Sang Manarah ngadeg ratu di Jawa, mangrupa persembahan.

Nurutkeun carita Jawa, Rahiang Tamperan lilana ngadeg raja tujuh taun, lantaran polahna resep ngarusak nu tapa, mana teu lana nyekel kakawasaanana ogé.

Sang Manarah, lilana jadi ratu dalapanpuluh taun, lantaran tabéatna hadé. Sang Manisri lilana jadi ratu genep puluh taun, lantaran pengkuh ngagem Sanghiang Siksa. Sang Tariwulan lawasna jadi ratu tujuh taun.Sang Welengan lawasna jadi ratu tujuh taun.

Tidak hanya itu, skandal juga membuat Raja Galuh jatuh dari kekuasaannya. Raja Galuh yang disebut dalam bagian ke-18 naskah Carita Parahiangan hanya berkuasa 7 tahun saja karena mencintai istri larangan.

XVIII. Tohaan di Galuh, inya nu surup di Gunungtiga. Lawasniya ratu tujuh tahun, kena salah twah bogoh ka éstri larangan ti kaluaran.

Diganti ku Tohaan Galuh, enya éta nu hilang di Gunungtiga. Lawasna jadi ratu tujuh taun, lantaran salah tindak bogoh ka awéwé larangan ti kaluaran.

Kalau disesuaikan dengan tafsir Abduracman dkk yang berdasar Wangsakerta, bila Tohaan di Galuh yang dimaksud sepertinya adalah Prabu Dewa Niskala. "Pada tahun 1404 Saka (1482/1483 Masehi) Kerajaan Galuh berkabung. Raja Galuh Prabhu Dewa Niskala meninggal dunia, setelah berkuasa selama 7 tahun," tulisnya. 

***

Selain itu, masih ada lagi skandal cinta yang terjadi. Kali ini adalah antara Prabu Geusan Ulun, yang memerintah Sumedang selama 23 tahun dari 1578-1601 M, dengan Ratu Harisbaya. Prabu Geusan Ulun pada saat itu sudah memiliki prameswari yakni Nyi Mas Cukang Gedeng Waru. Sedangkan Harisbaya adalah istri ke dua Sultan Cirebon, Panembahan Ratu 1.

Sebelumnya di masa mudanya,  Geusan Ulun atau Pangeran Angkawijaya pernah menjalin hubungan dengan Harisbaya. Yakni saat mereka masih belajar di Kerajaan Pajang menjadi Murid Sultan Hadiwijaya atau Joko Tingkir. Harisbaya adalah putri Madura yang mengabdikan diri dan magang di Kerajaan Pajang.

Usai sebuah pertemuan di Cirebon, Geusan Ulun melarikan Harisbaya yang saat itu sedang hamil muda. Akibatnya terjadi peperangan antara Kerajaan Sumedang Larang dan Kasultanan Cirebon. Perang tersebut berlangsung selama tiga tahun dan baru berhenti setelah adanya ikrar perdamaian. Sumedang Larang akhirnya menyerahkan sebagian wilayahnya, yakni Sindangkasih Majalengka, untuk 'membeli' talak dari Panembahan Ratu 1 untuk Ratu Harisbaya. 

Ricky N. Sastramihardja

📷 Ilustrasi Bing AI Generated, Peta  Cornelis Coops & Michiel Rams/VOC. 1701. Natioonal-Archief

Referensi: 

1. Naskah Carita Parahyangan. Dedi Kusmayadi Soerialaga. Academia.edu, diakses 3 Januari 2025. https://www.academia.edu/45578452/NASKAH_CARITA_PARAHYANGAN

2. CARITA PARAHIANGAN Ringkasan, Konteks Sejarah Isi Naskah dan Peta. Abdurrachman, Eti RS, Edi S. Ekadjati. Yayasan Pembangunan Jawa Barat Tim Pengembangan Naskah Wangsakerta. 1990. Versi digital, diakses 4 Januari 2025. https://sundadigi.com/bacaan/detail/125

3. Perbedaan Wangsa Sanjaya dan Wangsa Syailendra. Verelladevanka Adrymartanino, Tri Indriawati. Kompas.com, 22 Februari 2023. Diakses 6 Januari 2025. https://www.kompas.com/stori/read/2023/02/22/180000979/perbedaan-wangsa-sanjaya-dan-wangsa-syailendra

4. Kisah Prabu Geusan Ulun, Pesonanya Membuat Ratu Harisbaya Rela Mati dan Tinggalkan Takhta. Anicolha. SINDONews, 24 Juni 2022. Diakses 6 Januari 2025. https://daerah.sindonews.com/read/806981/29/kisah-prabu-geusan-ulun-pesonanya-membuat-ratu-harisbaya-rela-mati-dan-tinggalkan-takhta-1655993198

5. Sejarah Singkat Raja Sumedang Larang Prabu Geusan Ulun. Sabtu, 7 Mei 2011. TarungNews, diakses 6 Januari 2025. https://www.tarungnews.com/profile/2497/sejarah-singkat-raja-sumedang-larang-prabu-geusan-ulun.html

6. KISAH CINTA SEGITIGA, Ratu Maha Cantik Harisbaya, Panembahan Ratu dan Geusan Ulun. Rahman Prayitno Sodikin/Portal Majalengka, 26 Mei 2024. Diakses 6 Januari 2025. https://portalmajalengka.pikiran-rakyat.com/khazanah/pr-838133689/kisah-cinta-segitiga-ratu-maha-cantik-harisbaya-panembahan-ratu-dan-geusan-ulun?page=all

Jumat, Januari 03, 2025

BUKIT TUNGGUL ATAU BEUTI TUNGGUL?


Urang Sunda menggunakan kata 'pasir' untuk merujuk ke bukit atau gunung kecil. Tetapi ada perkecualian pada Gunung Bukit Tunggul, Bandung Utara, Gunung Bukit Jarian, Jatinangor Sumedang, serta Gunung Bukit Cula Ciparay. Ke tiga gunung itu menggunakan kata bukit, bukan pasir yang notabene merupakan kata asli dalam basa Sunda. Di seluruh Tatar Sunda, diperkirakan hanya ada tiga gunung  yang menyandang nama bukit.

Urang Sunda menggunakan kata 'pasir' untuk membedakan bukit dengan gunung. Dalam kamus Sunda LBSS, pasir didefinikan sebagai 1. gunung leutik j. handap. 

Sedangkan Rigg mendefinikan Pasir sebagai: a hill, a ridge, something less than a mountain. This word seems to be derived from Pa, the usual prefix, and Sir, the noise made by wind passing over a hill, or past any obstacle. Pare pasir, upland paddy, such as is grown on Pasirs.

Dalam Peta Rupabumi Digital Indonesia  Lembar 1209-314 Lembang, Gunung Bukit Tunggul memiliki ketinggian 2.206 m dpl. Merupakan kawasan hutan montana dan sub montana yang juga memiliki kekayaan budaya berupa situs Babalongan. 

Punden berundak-undak di Situs Babalongan menjadi saksi bisu zaman megalitik. Selain itu Gunung Bukit Tunggul erat kaitannya dengan 'sasakala' Legenda Sangkuriang. Di mana Bukit Tunggul dalam cerita masyarakat Sunda dianggap sebagai tumpukan tunggul kayu yang dibuang Sangkuriang saat membangun danau raksasa untuk 'mahugi' merayu Dayang Sumbi.

Sedangkan Gunung Bukit Jarian berada di 'halaman' Universitas Padjadjaran Jatinangor. Dalam Peta Rupabumi Digital Indonesia 1:25.000 Lembar 1209-321 Cicalengka. Edisi I-2001 Bakorsutanal, tinggi Gunung Bukit Jarian adalah 1173 m dpl, sedikit lebih rendah dibanding Gunung Geulis yang tingginya mencapai 1281 m dpl. 

Adapun Gunung Bukit Cula Ciparay Kabupaten Bandung berada di 1.073 m dpl. Gunung Bukit Cula ini berhubungan erat dengan perjuangan dan pelarian Dipati Ukur dari kejaran pasukan Sultan Agung Mataram pada tahun 1628.

Gunung Bukit Jarian (1173 m dpl)  dari puncak Gunung Geulis (1281 m dpl).
September 2014.

Gunung Bukit Jarian sepertinya sama dengan Gunung Geulis. Mengutip dari denisugandi.com, gunung Geulis merupakan intrusi batuan beku, berwarna abu-abu gelap menandakan komposisi mineralnya andesitik. Dicirikan dengan tekstur porfiritik, struktur amigdaloidal dan mendaung mineral piroksen serta ampibhole. 

Dalam keterangan peta geologi Lembar Bandung (Silitonga, 2003), merupakan intrusi Andesit Gunung Geulis. Umurnya Oligosen (Suhada dkk., 2007), menerobos Anggota Batulempung Formasi Subang yang menjemari dengan Anggota Batupasir Formasi Subang. Di atasnya diendapkan secara tidak selaras Formasi Kaliwangu berumur Miosen Atas.

***

Kembali ke penggunaan kata bukit alih-alih kata pasir, membuat Jonathan Rigg  heran. Penyusun kamus Sunda- Inggris pada tahun 1862 itu menganggap bila kata bukit merupakan serapan dari bahasa Melayu dan itu mengherankannya karena lokasi dua bukit itu berada jauh di pedalaman bukan di pesisir.

Bukit, This word is properly Malay, and means a hill, not a mountain. It occurs in only two solitary instances in the Sunda districts, as applied to mountains, and these are the Bukit Tunggul and Bukit Jarian , two mountains in Bandong. Bukit Tunggul means „Stump Hill"; it is on the boundary line between the Pamanukan Estate and Sumedang. The tradition of the country says that here was felled the tree which was to form the Prahu which is supposed to still exist in the adjoining Tangkuban Prahu, which see. The Bukit Tunggul is a rather conical hill and bears a rude resemblance to the stump of a fallen tree. It is strange that these solitary instances of Bukit should occur in the interior of the Sunda districts, surrounded by otherwise purely Sunda names. Had it been on the coast , we might have imagined some ancient Malay colony settled near it. As it now is, it looks as if the Sunda people had hunted a name out of a foreign language to designate a mountain which it appeared to them anomalous to call a Gunung, with the word Tunggul = stump of a tree, affixed to it. Tulis Rigg dalam "A Dictionary of The Sunda Language of Java".

Anggota Batavian Society of Arts and Sciende itu menuliskan kebingungannya dalam kamus yang lebih mirip dengan ensiklopedi itu. Karena tidak hanya menjelaskan arti kata tetapi memberi sedikit penjelasan pada kata-kata tersebut.

Kebingungan itu juga menjalar pada khalayak di abad setelahnya. Sebut saja misalnya Almarhum Budi Brahmantyo yang di Kompasiana menulis bila nama Bukit Tunggul itu terasa aneh. Ia menemukan fakta bila pada peta-peta lama buatan Belanda sebelum tahun 1960 ditulis sebagai Gunung Bukittunggul (tanpa spasi).

"Jadi mana yang benar? Apakah Bukittunggul itu gunung atau bukit? Dilihat dari ketinggiannya yang mencapai 2209 m di atas permukaan laut rata-rata, jelaslah Bukittunggul merupakan sebuah gunung. Bandingkan dengan Tangkubanparahu 2084 m dpl. atau bahkan Manglayang 1717 m dpl. Keduanya mendapatkan awalan G di depannya, menunjukkan nama gunung," tulis Budi yang merupakan geologis, aktivis, juga Koordinator Riset Cekungan Bandung (KRCB).

Budi akhirnya mendapat pencerahan bila ada kemungkinan Belanda salah menuliskan Bukit Tunggul. Bukan bukit tetapi seharusnya 'beuti' atau umbi. Beuti Tunggul. Dari salah seorang sahabatnya Budi mendapat keterangan melalui tulisan lama M. Purbohadidjojo berjudul “Disekitar Nama Gunung Tangkubanperahu,” halaman 23 – 26 dalam  Majalah Bahasa dan Budaja, tahun III No. 5 Djuni 1955.

"Menurut lit. 5 nama itu tadinja Beuti Tunggul (beuti=umbi), tetapi karena kesalahan pemetaan berubah mendjadi Bukit Tunggul. Lit. 5 pada daftar pustaka merujuk pada: PIJL, L.v.d. Wandelgids voor den Tangkoeban Prahoe, Bandoeng Vooruit, Serie no. 5.," tulis Purbohadidjojo dalam catatan kaki tulisannya yang dikutip Budi.

Pertanyaan kemudian adalah benarkah basa Sunda tidak mengenal kata bukit? Benarkah bukit itu serapan dari bahasa Melayu seperti yang diasumsikan Rigg?

***

Ternyata, Ameng layaran alias Bujangga Manik juga menggunakan kata /bukit/ alih-alih /pasir/. Dalam naskah kuno Bujangga Manik yang diperkirakan ditulis di akhir abad ke-14 atau awal abad ke-15. Kata /bukit/ disebut sebanyak 34 kali misalnya di baris 63 (bukit Ageung), 77 (bukit C(e)remay) 696 (bukit Caru), 675 (bukit Timbun), dan seterusnya.

Menariknya lagi, Bujangga Manik atau Pangeran Jaya Pakuan menyebut bukit itu pada beberapa gunung yang sekarang disebut gunung: Bukit Ceremai, Bukit  Merapi, Bukit Cikuray, Bukit Patuha, Bukit Burangrang.

Sedangkan kata 'pasir' yang sekarang dikenal sebagai bukit, hanya disebutkan dua kali. Yakni di baris 1134 dan 1190 saat menyebut Pasir Batang. Nama Pasir Batang ini juga merupakan nama yang cukup umum di Jawa Barat. Bahkan dalam cerita rakyat Lutung Kasarung, Pasir Batang Anu Girang adalah nama kerajaan yang diperintah oleh Prabu Tapa Agung.

G. Boekit Toenggoel dan G. Bukit Djarian. Oldsmaponline.org

Soal penyebutan bukit alih-alih pasir oleh Bujangga Manik bisa saja karena Bujangga Manik terpengaruh oleh bahasa Melayu. Bujangga Manik tinggal di Pakancilan, di Pakuan yang sekarang dikenal berada di kawasan Bogor,  yang tentunya lebih dekat ke kawasan pesisir (Sunda Kelapa). Di mana memungkinkan Bujangga Manik untuk berinteraksi dengan etnis lain. 

Bujangga Manik sangat mungkin juga bisa berbahasa Melayu, seperti halnya urang Sunda sekarang yang menjadi poliglot. Bahkan bukan tidak mungkin ia juga bisa berbahasa Jawa dan Bali,  mengingat perjalanannya dari Pakuan hingga Bali.

Tetapi bila saat itu ia sudah berinteraksi dengan orang Melayu, menjadi menarik karena dalam naskahnya itu disebut Noorduyn tidak mengandung kata-kata dari bahasa Arab. Padahal di masa itu etnis Melayu dipercaya sudah menganut Islam dan mungkin sudah menyerap banyak kata dari bahasa Arab. Bisa jadi pada saat itu Islam belum masuk ke Tatar Sunda seperti asumsi Noorduyn. 

Walau untuk asumsi Noorduyn ini saya sedikit meragukan mengingat menurut Rokhmin Dahuri seperti dikutip dari historia.id, ada tokoh bernama Haji Purwa yang sudah berislam sejak tahun 1300an di Galuh. Namun pengaruh Hindu yang masih kuat pada masa itu membuat Haji Purwa belum bisa mengislamkan Galuh. Haji Purwa atau Bratalegawa atau Haji Baharuddin Al Jawi kemudian pindah dari Galuh ke Cirebon pada tahun 1337.

Sedangkan naskah Carita Parahiangan yang kemungkinan ditulis setelah Bujangga Manik, menyebut bila keruntuhan Kerajaan Pakuan Pajajaran salah satunya disebabkan karena banyaknya penduduk yang sudah memeluk Islam. Namun menurut Hendra M. Astari, tidak pernah ditemukan jejak peninggalan Islam di kawasan Pakuan Pajajaran walau disebut dalam Carita Parahiangan. 

Bisa jadi bukan Islam yang belum masuk ke Tatar Sunda, tetapi belum masuk ke istana Galuh Pakuan. Mengingat pada masa itu agama Hindu yang dianut Bujangga Manik adalah agama resmi kerajaan. Sedangkan di luar istana, masyarakat dibebaskan memeluk agama apa saja, termasuk Islam.

Tapi tentu saja asumsi-asumsi itu perlu diteliti lebih lanjut, baik oleh para sejarawan, maupun filolog. Sejatinya tulisan ini hanya ingin mengungkap bila sebetulnya urang Sunda juga mengenal kata bukit seperti yang terdapat dalam naskah Bujangga Manik.

 Jadi bisa saja memang nama Bukit Tunggul itu ya Bukit Tunggul, bukan Beuti Tunggul seperti yang dijelaskan oleh Budi Brahmantyo berdasar catatan kaki M. Purbohadidjojo.

Tapi bisa jadi Purbohadidjojo yang betul, yang benar adalah Beuti Tunggul mengingat kecurigaan Rigg juga beralasan dan senada dengan temuan Purbohadidjojo. 

Jadi mau Bukit Tunggul atau Beuti Tunggul? Bukit Jarian atau Pasir Jarian? Bukit Cula atau Pasir Cula?

Ricky N. Sastramihardja

📷 PeakFinder App for Android. 25 Desember 2024.

Referensi:

1. A Dictionary of Sunda Language of Java. Jonathan Rigg, Lange & Co, Batavia, 1862, PDF.

2. Kamus Umum Basa Sunda. LBSS. Geger Sunten Bandung, Citakan ka sapuluh, Oktober 2007.

3. Peta Rupabumi Digital Indonesia 1:25.000 Lembar 1209-321 Cicalengka. Edisi I-2001 Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional/Bakorsutanal.

4. Peta Rupabumi Digital Indonesia 1:25.000 Lembar 1209-314 Lembang. Edisi I-2001 Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional/Bakorsutanal.

5. Muslim Pertama Tatar Sunda. M. Fazil Pamungkas. Historia.id, 27 Juli 2019. Diakses 3 Januari 2025. https://historia.id/agama/articles/muslim-pertama-di-tatar-sunda-DLBBQ/page/1

6. Sejarah Penyebaran Islam di Tatar Sunda: dari Cirebon ke Bogor, hingga Kiprah Pangeran Sake. mui-bogor.org, 1 Oktober 2024. Diakses 3 Januari 2025. https://mui-bogor.org/index.php/berita/sejarah-penyebaran-islam-di-tatar-sunda-dari-cirebon-ke-bogor-hingga-kiprah-pangeran-sake/

7. Bujangga Manik dan Studi Sunda, Hawe Setiawan. Makalah Pdf dari http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BAHASA_DAERAH/HAWE_SETIAWAN/makalah/Bujangga_Manik.pdf. Diakses 3 Januari 2025.

8. Aspek Kebudayaan Dalam Toponimi pada Naskah Bujangga Manik: Kajian Linguistik Antropologi. Salehudin Salehudin, Gugun Gunardi. Metahumaniora April 2022. Diakses 3 Januari 2025. https://www.researchgate.net/publication/367599580_Aspek_Kebudayaan_Dalam_Toponimi_pada_Naskah_Bujangga_Manik_Kajian_Linguistik_Antropologi

9. Beutitunggul: Teka-Teki Toponim Bukittunggul. Budi Brahmantyo, Kompasiana.com 9 Juni 2015. Diakses 3 Januari 2025.

https://www.kompasiana.com/bbrahmantyo/559e27e4d17e61f7060ef000/beutitunggul-teka-teki-toponim-bukittunggul

10. Bujangga Manik (naskah). Wikipedia. https://id.wikipedia.org/wiki/Bujangga_Manik_(naskah)

11. Gunung Bukit Tunggul Mengungkap Pesona dan Sejarahnya. Shelterjelajah.com, 4 Juni 2024. Diakses  3 Januari 2025.

https://shelterjelajah.com/gunung-bukit-tunggul-mengungkap-pesona-dan-sejarahnya/

12. Tabir Lawang Kori dan Curug Buhud Tanjungmedar. Deni Sugandi, www.denisugandi.com. 30 Desember 2024. Diakses 3 Januari 2025. 

https://blog.denisugandi.com/tabir-lawang-kori-dan-curug-buhud-tanjungmedar/

13. Bukit Jarian. SumedangTandang.com. Diakses 3 Januari 2025. https://sumedangtandang.com/direktori/detail/bukit-jarian.htm#:~:text=Bukit%20Jarian%20merupakan%20sebuah%20bukit%20yang%20berada%20di,rangkaian%20perbukitan%20yang%20berada%20di%20deretan%20Gunung%20Geulis.

14. West Java, uit: Atlas van Nederlandsch Oost-Indië / samengest. door Topographisch Bureau te Batavia van 1897-1904.Topographisch Bureau, Batavia.1898. Diakses 3 Januari 2025. https://www.oldmapsonline.org/en/maps/867a8945-d4f6-48fc-841b-52090111e946?gid=0cfae186-ff91-4160-bd74-946d487e2df5#position=9.4764/-6.7838/107.7208&year=1898

PERSIB (HARUS) HANCURKAN MITOS PARUH MUSIM!


Menyisakan satu pertandingan tunda melawan Bali United, Persib Bandung mengunci juara paruh musim Liga 1 musim 2024-2025 ini. Tambahan tiga angka dari Solo setelah menumbangkan tuan rumah Persis Solo pada 29 Desember 2024, membuat Persib menyalip posisi Persebaya Surabaya yang berpekan-pekan sebelumnya berada di puncak klasemen. Persib mengantungi 38 angka dari 16 pertandingan dan menyisakan 1 pertandingan tunda pada tanggal 7 Januari 2025 mendatang.

Menariknya, tidak semua Bobotoh riang dengan raihan juara paruh musim ini. Mereka umumnya Bobotoh senior yang mengalami pedasnya kenyataan di paruh ke dua kompetisi, Persib justru melempem. Padahal sebelumnya menjuarai putaran satu. Sebut saja musim 2006-2007 saat dibesut oleh Arcan Iurie. Begitu juga saat dilatih oleh Mario Gomez di musim 2017-2018.

Mitos yang beredar adalah karena berdasar data siapapun yang menjuarai paruh musim, biasanya melempem di putaran ke-2.Sebut saja yang terdekat, Borneo FC yang menjuarai paruh musim 2023/2024 namun di babak Championship malah melempem dan berakhir di peringkat 3. Begitu juga Bhayangkara FC yang menjuarai paruh musim 2020/2021. Selain melempem di paruh ke-2, tim 'siluman' tersebut kemudian terlempar ke Liga 2 di musim 2023/2024.

* * *

Ada catatan menarik soal juara paruh musim yang kemudian menjadi juara Liga 1. Sebut saja Bali United di musim 2019/2020, juga PSM Makassar di musim 2022/2023. Artinya siapapun yang menjadi juara paruh musim tetap berpeluang menjadi juara liga. Mitos juara paruh musim tidak akan menjadi juara liga, sudah batal dengan torehan Bali United dan PSM Makassar.

Tinggal bagaimana Persib mengelola tim saja di paruh ke-2 kompetisi. Pelajaran dari musim 2006/2007 adalah hati-hati melakukan transfer pemain masuk dan ke luar. Di masa itu Persib malah mendatangkan pemain yang pada putaran ke-2 justru tidak berkontribusi apapun. Sedangkan pemain yang berpengaruh, malah dipinjamkan ke klub lain.

"Mengawali persiapan putaran dua musim 2006, Arcan Iurie sedikit merombak kekuatan Persib Bandung dengan mendatangkan pemain asing berposisi gelandang serang asal Rumania, Leo Chitescu.

Kehadiran Chitescu membuat Persib harus melepas satu pemain asing karena melebihi kuota. Iurie pun meminjamkan pemain bertahan asal Kamerun, Nyeck Nyobe ke Persela Lamongan.

Dengan hadirnya Chitescu, harapannya bisa mendongkrak ketajaman Persib yang sedang memimpin klasemen sementara Liga Indonesia 2007.

Sayang kehadiran Chitescu bukan membuat Persib semakin kukuh. Sebaliknya, Zaenal Arif dkk. justru malah terseok-seok. Harapan untuk menjadi juarapun semakin buyar. Terlebih para bobotoh makin menunjukkan kekecewaanya.

Hilangnya Nyeck, yang diplot sebagai bek tengah bersama Patricio Jimenez, justru membuat lini pertahanan tidak setangguh seperti putaran pertama." demikian tulis Erwin Snaz di Bola.com, 16 Mei 2020. (https://www.bola.com/indonesia/read/4255250/kisah-arcan-iurie-bersama-persib-sempat-melesat-dan-terpuruk-kemudian)

Di musim 2017/2018, Persib gagal meraih juara walau menjadi juara paruh musim. Hal ini ditengarai oleh merosotnya permainan Persib di putaran ke-2 yang dilakukan di luar kandang sebagai imbas kejadian tewasnya seorang suporter Persija di GBLA. Sampai akhir musim Persib harus menjadi musafir jauh dari publiknya yang sepertinya membuat mental pemain jatuh. Belum lagi dicurigai kemungkinan Mario Gomez pada saat itu tidak memaksimalkan pasukannya akibat ada permintaannya tidak dipenuhi manajemen. Terbukti, Gomez tidak diperpanjang kontraknya dan musim berikutnya diganti Robert Rene Alberts.

Tentu saja besar harapan Bobotoh bila Persib bisa mematahkan, bahkan menghancurkan mitos sesat itu. Apalagi Persib di 2024/2025 ini belum terkalahkan atau unbeaten selama 16 pertandingan putaran 1. Bobotoh berharap Persib back to back kembali menjuarai kompetisi liga musim 2024/2025 ini. Karena bila Persib juara lagi, maka ada mitos lain yang ikut hancur: Persib hanya bisa juara bila menggunakan format turnamen di akhir liga seperti musim 2013/2014, atau 2023/2024.

Hayu Sib, bisa. Hancurkan mitos dan kembali juara back to back!

Ricky N. Sastramihardja

📷 IG Persib


Selasa, Desember 31, 2024

GUNUNG MANGLAYANG: SAAT MULUT BERTEMU LUTUT

Mendaki Manglayang Dari Batu Kuda, November 2008

Gunung Manglayang memang tidak terlalu tinggi, di bawah 2000 M dpl. Tepatnya 1824 M dpl berdasar Peta Rupabumi Indonesia lembar 1209-312 Ujung Berung. Tetapi tetap jangan dianggap enteng walau tingginya di bawah 2000 m dpl.

Saya baru mencapai puncak Manglayang di tahun 2008. Padahal selama 7 tahun lebih 'tinggal' di pekarangan Gunung Manglayang, di Jatinangor dari 1992-1999 sebagai mahasiswa Fakultas Sastra Unpad. 

Entah tahun berapa, mungkin sekitar 1997 atau 1998, pernah mencoba mendaki Manglayang dari Jatinangor.Tetapi pendakian dibatalkan di tengah perjalanan, padahal nyaris mencapai puncak. Penyebabnya ya tidak ada persiapan dan minim pengetahuan.

Jaman segitu masih modal nekad. Berangkat berkelompok dengan sahabat-sahabat Blue Hikers, berangkat bada magrib dari kampus tanpa pengetahuan, peralatan dan perlengkapan layak. Tepatnya lupa melewati jalur mana, tetapi sepertinya via Cadas Gantung dari Puncak Timur atau Baru Beureum.

Pendakian dihentikan setelah d tengah kegelapan batu-batu sebesar kepalan tangan hingga sebesar kepala berguguran. Bahkan seorang anggota rombongan, Yustina, nyaris masuk jurang dan selamat setelah bergelantungan di semak. Dari sekian belas orang, hanya 4 orang yang mencapai puncak. Itupun mereka mempertaruhkan nyawa karena persiapan dan peralatan yang tidak memadai saat melewati jalur Cadas Gantung.

Gunung Manglayang dari Kiara Payung, Oktober 2022

Semenjak itulah akhirnya mengambil keputusan: tidak lagi melakukan pendakian di malam hari karena tingkat bahaya yang berkalilipat tanpa disadari.

Sebelumnya juga pernah mencoba mendaki via Batu Kuda bersama teman-teman seangkatan di Sastra Sunda. Tetapi ternyata baru mencapai Batu Kuda di tengah malam, membuat kami kelelahan. Masa itu, sekitar 1993-1994, kami umumnya belum memiliki kendaraan bermotor. Otomatis harus berjalan kaki menanjak dari Cileunyi ke Batu Kuda selama berjam-jam.

Tahun 2008, mencapai puncak Manglayang dari Batu Kuda setelah ikut rombongan Sekolah Gunung High Camp, Jakarta. Kelompok pendaki yang berkumpul di mailing list dengan tajuk yang sama. Di mana saya bisa berkenalan dengan Bang Hendri Agustin, salah seorang pendaki senior yang sudah mendaki banyak gunung di Indonesia dan banyak gunung di luar negeri, termasuk Everest.

"Walau pendek, Manglayang itu gunung yang bikin mulut ketemu lutut," ujarnya untuk menggambarkan terjalnya Gunung Manglayang. Tenyata benar, walau tidak tinggi tetapi tanjakan di Manglayang memang cukup terjal. Dimana lutut bisa bertemu mulut karena harus menekuk dalam saat bertemu tanjakan.


Bang Hendri, Kang Ori, Kang tatang. Pendakian Manglayang bersama SGHC dengan model simulasi E-SAR, November 2008

Bahkan dari semua jalur yang pernah saya tempuh: Baru Beureum, Batukuda, hingga via Palintang. Manglayang yang disebut Ameng Layaran dalam catatan Bujangga Manik dari akhir abad ke-14 atau awal ke-15 sebagai Gunung Lalayang, tidak bisa diremehkan. Semuanya terjal.

Rekor terbaik pendakian Manglayang mungkin di tahun 2018 saat mempersiapkan diri mengikuti lomba lari trail BDG 100 Ultra kategori 25 km. Start dari Kampus Jatinangor menuju puncak via Barubeureum dan kembali lagi via jalan yang sama, ditempuh selama kurleb 7 jam 3 menit untuk jarak 25 km.


Manglayang mungkin jadi gunung yang paling sering dikunjungi hingga 2024 ini.Tentu saja karena kemudahan akses dari dan ke gunung yang terletak di timur laut Bandung itu. 

Selain itu, semenjak perkenalan bersama Bang Hendri itu tumbuh persfektif lain mengenai soal pendakian. Tidak ada gunung yang layak dikategorikan sebagai 'gunung untuk pemula'. Semua gunung memiliki potensi bahaya dan kesulitan masing-masing, terlepas dari jarak tempuhnya yang pendek atau ketinggiannya.

Sebisa mungkin saya membawa peralatan dan perlengkapan yang dibutuhkan, yang disesuaikan dengan kondisi dan objektif pendakian. Minimal selalu membawa pisau, korek api, survival blanket.

Dalam catatan saya, Gunung Sangar yang konon 'ramah pemula' ternyata di musim hujan cukup menyulitkan bahkan berbahaya. 'Gunung' Bukit Guha Walet di Cihea yang hanya 737 m dpl, ternyata cuaca di sekitarnya cukup panas dan membuat saya 'menyerah' di 500 m dpl. Padahal di masa lalu, di bulan Juni 1996 saya pernah tiba di Puncak Rinjani Lombok dengan ketinggian 3726 m dpl dalam pendakian solo. 

Contoh lain: Gunung Tampomas di sebelah timur Kota Bandung tepatnya di Kabupaten Sumedang, tingginya hanya 1648 m dpl. Tetapi ada beberapa kejadian yang menelan korban jiwa. Mulai peziarah yang tersambar petir di puncak Tampomas, hingga 4 remaja yang tewas karena 'diduga' hipotermia. 

Gunung mengajarkan banyak hal. Meyakinkan diri bila persiapan mental, fisik, pengetahuan, peralatan dan perlengkapan yang layak, akan membantu kita mencapai tujuan. Perhitungan waktu, mengenali musim dan iklim juga penting. 

Saya mungkin bisa meninggalkan atau mengurangi trail running karena beberapa alasan, tetapi tak pernah bisa meninggalkan hiking dan trekking. Inilah catatan penutup 2024 mengenai aktivitas petualangan dan kegiatan luar ruang selama ini.

Ricky N. Sastramihardja

MARKING JALUR TREKKING: IHTIAR KECIL SEMOGA BERDAMPAK BESAR


Trekking ke Danau Urugan Lembah Tengkorak pada Rabu 25 Desember 2024 kemarin menjadi salah satu perjalanan yang menarik. Menarik karena dalam perjalanan sepanjang kurleb 14 km tersebut nyaris tidak mengeluarkan ponsel untuk memotret atau merekam video.

Nyaris, kecuali dua buah foto rumput yang diepret di ujung jalan makadam sebelum masuk ke jalan setapak menuju situ.

Pada perjalanan bersama seorang karib, Andi Lala, saya lebih terfokus untuk memasang tag atau marker sebagai petunjuk jalur. Hal tersebut sudah direncankan entah sejak kapan dan baru bisa terealisasi kemarin.

Itupun menggunakan material tag/marker bekas lomba lari ultra BDG100 2024. Pada perhelatan BDG100 2024 bulan September 2024 lalu, saya memang kembali menjadi panitia dan bertugas sebagai marshall di Cikole.


Marker pita plastik merah putih dan reflektor yang disapu tim sweeper yang seharusnya jadi sampah, saya manfaatkan untuk menandai jalur dari dan ke Situ Urugan yang berada di kawasan Perkebunan Kina Bukit Tunggul. Harapannya adalah sebagai ihtiar untuk menjadi petunjuk jalan bagi para trekker atau pengunjung yang berwisata ke Situ Urugan.

Apalagi dalam beberapa waktu terakhir terdengar kabar ada banyak pengunjung yang tersesat di hutan saat mau dan atau saat kembali dari situ. Salah satu kasus terparah adalah hilangnya seorang pengunjung di bulan November 2024 selama kurleb 8 hari.

Menurut Pak Maman, salah seorang petani yang bertemu di Warung Si Teteh sesaat setelah tiba kembali di pos awal, kawasan hutan Gn. Pangparang - Gn. Sanggara memang cukup menyulitkan. Selain karena masih lebat (Basa Sunda: leuweung gerot), juga karena ada banyak jalur pemburu atau pencari kayu. 

"Kirang-kirangna mah urang dieu gé aya wé nu ngadon mondok di leuweung da kalangsu", kisahnya. 

Tentu saja harapan marker yang dipasang bisa membantu siapapun yang melintas menuju dan dari situ. Selain marker, kami juga menambatkan webbing sepanjang 5 meter yang diharapkan bisa digunakan sebagai pegangan di turunan curam sebelum situ.

Tidak cukup memang, tapi mudah-mudahan membantu. Lain waktu semoga masih bisa ke situ, selain untuk aksi bersih-bersih sampah plastik yang banyak ditinggal di hutan, juga memasang webbing di jalur altenatif yang baru kemarin saya lewati. 

Itupun karena di saat pulang, dari semula hanya berdua dengan Mang Andi, menjadi bersembilan dengan pengunjung lain yang bertemu dan kemudian berkenalan, yang mereka kemudian menunjukan jalur pintasan lain.


Jalan pintas itu memang lebih pendek sekitar 1 km, dan meringkas waktu sekitar beberapa menit. Kelebihannya berjalan di tanah, lebih nyaman dan aman dibanding berjalan di bebatuan tajam yang menjadi khas jalan perkebunan.

Kembali ke perjalanan tanpa fotografi atau video, tentu saja karena ada Mang Andi yang rajin merekam perjalanan melalui kameranya. Bahkan dia juga menyempatkan menerbangkan drone setibanya di situ. Saya menikmati perjalanan tanpa foto itu tanpa rasa bersalah. Justru sangat menikmati.

Berpuluh tahun menjadikan foto dan video sebagai profesi, mendokumentasikan banyak kisah orang lain (baca: klien), membuat saya pada hari itu seolah terbebas dari kewajiban menggunakan kamera. Serasa merdeka.

Ricky N. Sastramihardja

📷 Screen Capture video Andi Lala


Minggu, Desember 29, 2024

GUNUNG PALASARI, MENARIK UNTUK DIDAKI BERSAMA KELUARGA

Gunung Palasari dari Perkebunan Kina Bukit Tunggul

Gunung Palasari dengan ketinggian 1852 m dpl. Salah satu nama gunung yang disebut oleh Bujangga Manik dalam naskah Sunda Kuno yang diperkirakan ditulis pada akhir abad ke-14 atau awal abad ke-15.

Sadiri aing ta inya,

leu(m)pang aing ngalér barat

Tehering milangan gunung:

itu ta bukit Karesi

itu ta bukit Langlayang

ti baratna Palasari

Bila Palasari yang disebut Bujangga Manik (Ameng Layaran) itu adalah Gunung Palasari yang berada di kawasan Bandung Timur Laut, tentu menjadi sangat menarik. Dari kutipan naskah di atas, Bujangga Manik sepertinya memandang Palasari dari arah timur, di mana ia bisa memandang juga gunung Lalayang (Manglayang?) dan bukit Karesi.

Apalagi Gunung Palasari kini menjadi gunung yang paling mudah diakses para penggemar kegiatan olahraga luar ruang. Terutama bagi mereka yang ingin merasakan sensasi mendaki gunung dengan biaya ringan, tidak terlalu melelahkan, terutama bagi mereka yang baru mulai suka.

Dari Tenda Biru di ketinggian sekitar 1575 m dpl, bisa didaki dengan memakan waktu tempuh kurang dari 60 menit. Dengan jarak hanya sekitar 1,06 km dan penambahan ketinggian (elevation gain) sekitar 350 m. 


Gunung Palasari yang masih merupakan bagian dari kawasan hutan Bandung Utara, juga bisa dicapai dari Dago Pakar. Jarak menuju puncak dari Bumi Herbal Dago berdasar keterangan para pelari trail yang bertemu di puncak, adalah sekitar 10 km yang ditempuh selama 3 jam.

Gunung Palasari juga merupakan hutan tropis yang masih cukup rapat dengan vegetasi yang beragam. Menjadi salah satu hutan 'beneran' yang masih terawat. Walau pasti terdesak oleh kebutuhan manusia akan lahan pertanian, wisata, atau pemukiman.

Selain itu, Gunung Palasari adalah bagian dari Sesar Lembang yang sedianya memanjang sepanjang kurleb 20 km dari Padalarang hingga Gunung Manglayang.


Bagi para pendaki, tetap disarankan membawa perbekalan yang layak dan secukupnya saat menaiki Gunung Palasari. Terutama air karena tidak ada sumber air di jalur pendakian.

Dari Bandung bisa dicapai melalui jalan Cigending Ujung Berung. Sedangkan dari Lembang, bisa ditempuh melalui jalan Maribaya-Cibodas yang menuju ke arah Cigending.

Jalan sudah hampir 100% dibeton dengan ada perkecualian di beberapa tempat ada sedikit ruas yang rusak akibat longsor atau pergerakan tanah.

Mohon diperhatikan bagi yang membawa kendaraan, kondisi mesin dan rem harus dipastikan prima. Terutama bila hendak turun melalui Tanjakan Panjang dari Palintang ke Cigending.

Ricky N. Sastramihardja

Kamis, Desember 26, 2024

CATATAN DARI PASIR GUHA WALET CIHEA


Panas! Hal itu sangat terasa saat menyusuri jalan mencari Guha Walet yang menjadi destinasi ke dua dalam Geo Urban ke-25, Ahad 22 Desember 2024 kemarin.

Berjalan di tengah hari di perbukitan karst Rajamandala yang terletak di Cihea, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat membuat mood merosot drastis. Saat dicek di altimeter, ketinggiannya sekitar 400 m dpl.

Lebih rendah dari Bandung yang berada di ketinggian 700 m dpl. 

Selain cuaca panas, hawa sekitar juga panas. Mungkin karena berada di kawasan kapur yang pada jaman dahulu kala merupakan lautan. Sepaket dengan Karst Citatah di Kabupaten Bandung Barat  yang menjadi tetangganya.



Apalagi Habib Deni mendadak mengubah destinasi, dari tujuan caving ke gua Walet, diubah menjadi mencari puncak bukit yang ternyata tidak ada jalurnya alias harus mencari jalur sendiri. Padahal saya mendadak sudah membeli helm yang menjadi syarat untuk melakukan kegiatan di dalam gua (speologi/caving).

Sempat salah jalan ke sisi lain tebing yang sama sekali tidak ada jalan setapak menuju gua apalagi puncak. Kecuali mau membuat jalur pemanjatan melewati tebing yang berdiri 90°, yang tentu saja memerlukan skill dan peralatan khusus. 



Beruntung bertemu Bah Ahim, warga setempat yang hendak ke kampung sebelah. 'Dibajak' oleh Habib Deni untuk mengantarkan ke puncak.

Lelaki yang berusia lebih dari 65 tahun itu dengan sigap membawa sebagian kecil rombongan. Termasuk di dalamnya ibu Vin, salah seorang peserta GeoUrban yang juga pelari Bandung Explorer. 

Wanita yang usianya sebaya Abah Ahim itu memang batere alkaline. Ngabret terus, enggak ada habis-habisnya. Saat di Gunung Sangar sepekan sebelumnya, beliau sendiri yang mencapai puncak Mega dari Puncak Sangar dan lalu bertemu di pos 3 saat pulang.



Hanya beberapa orang yang mencapai puncak Guha Walet di ketinggian sekitar 737 m dpl (Peta RBI 1999). Saya, Zarin dan Mang Odik memilih dikerubungi nyamuk di rumpun kebun pisang di lereng di ketinggian sekitar 500 m dpl. Sebagian lainnya balik ke kanan kembali ke titik awal pemberangkatan.

Puncak Guha Walet memang tidak tinggi, lebih cocok disebut pasir atau bukit. Tetapi ia bisa mematahkan semangat, nyali dan motivasi untuk mencapai puncaknya. Selain hawa panas, juga pada siang itu tidak ada angin bertiup sama sekali.


Bahkan hingga di puncak, menurut Mang Andi Layau,  "Euweuh angin-angin acan di luhur gé," katanya. Mang Andi, Bu Vin, Mang Deni, Adira, Baros, Mang Deden, Mang Askur dan Abah Ahim lah yang bisa mencapai puncak tinggi di Cihea itu. Mereka berhasil mengalahkan rasa malas dan udara panas yang membuat keringat deras mengucur tak berhenti.

GeoUrban ke-25 Ahad 22 Desember 2024 kemarin sebelum ke Cihea, adalah mengupas seulas soal Karst Citatah. Bertempat di Tebing 125 bersamaaan dengan kegiatan bersama antara APGI (Asosiasi Pemandu Gunung Indonesia) juga PGWI (Pemandu geo Wisata Indonesia).

Ricky N. Sastramihardja

📷 Deni Sugandi, Ibu Vin
🎥 Andi Lala

Minggu, Desember 15, 2024

BENDA YANG HARUS DIBAWA SAAT TEKTOKAN


Mendaki gunung atau menjelajah kawasan hutan pergi pulang dalam satu hari kini dikenal sebagai tektokan. Entah dari mana istilah itu, tapi kata tektok cukup berima: tek dan tok.

Tapi  kita abaikan saja asal kata tektok. Tapi jelas bukan dari kata Tiktok. Lebih ingin bercerita apa yang harus dibawa saat tektokan. Lengkap dengan alasannya.

Disclaimer: tentu saja ini preferensi pribadi berdasar pengalaman dan kebutuhan. Setiap orang tentu memiliki kebutuhan berbeda.

1. Senter/headlamp. Benda ini sering diabaikan dengan alasan "ah sebentar aja kok, bakal udah nyampe lagi kok sebelum gelap". Padahal yang namanya aktivitas luar ruang, selalu ada resiko terlambat keluar hutan atau turun gunung sebelum gelap. 

2. Pisau lipat multifungsi.

3. Gunting kuku. Seringkali enggak sadar kalau kuku kaki sudah terlampau panjang hingga baru terasa mengganggu saat dipakai jalan kaki.

4. Peluit. Lebih menghemat tenaga daripada berteriak saat ada kejadian atau peristiwa yang berbahaya dan membutuhkan perhatian. Lebih nyaring juga lebih jauh frekuensi jangkauannya.

5. Pisau belati/bowie. 

6. Tali pita/webbing atau tali berjaket/kernmantel atau tali statik. 5 atau 10 meter, selalu berguna dalam banyak kesempatan. Rapia juga boleh. Bawa secukupnya.

7. Jas hujan sekali pakai atau disposable atau goresek. Bawa dua sekaligus. Lebih ringan daripada membawa raincoat, dan menghemat ruang di daypack.

8. Termos kecil untuk kopi/air panas (bila tidak membawa kompor lapangan).

9. Botol air 600 ml.

10. Water bladder 2 l.

11. Sunglasses

12. P3K dengan obat luka, plester/band aid, panadol, polysilene, juga  perban gulung elastis/elastic bandage.

13. Survival water filter straw.

14. Survival blanket.

15. Garam himalaya. Berguna untuk meredakan kram karena tubuh mengeluarkan natrium lebih banyak melalui keringat saat berkegiatan luar ruang berjam-jam.

16. Korek api gas. Di kondisi survival, api lebih dibutuhkan daripada kuota internet.

17. Power bank dan kabel.

18. Makanan ringan, permen, dan makanan berat.

19. Trekking pole.

20. Notes dan Alat tulis.

21. Topi dan bandana.

22. Keresek untuk membawa sampah kembali pulang ke peradaban.

23. Semuanya dikemas di running vest 10 lt. Bila tidak muat, bisa membawa tambahan daypack kecil 10 l atau tas pinggang 10 liter. Bisa juga dikemas di daypack 30 liter biar lebih ringkas. Bila masih muat bisa ditambahkan flysheet, tripod kecil, gimbal untuk ponsel.

24. Jangan lupa untuk mengunduh peta google offline sesuai kawasan yang dituju di ponsel kita. Tambahkan juga aplikasi Peakfinder (berbayar) dan Mapy.cz (ad ware). Aplikasi-aplikasi itu bisa digunakan tanpa sambungan internet.

Ricky N. Sastramihardja

📷 Mang Umar




GUNUNG SANGAR: SESANGAR NAMANYA DI MUSIM HUJAN


Jangan menilai buku dari sampulnya. Demikian sebuah pepatah lama yang sepertinya disadur utuh dari pepatah dalam bahasa Inggris: don't judge the book by it's cover.

Begitu juga saat mendaki gunung. Jangan pernah menilai tingkat kesulitan dari tinggi rendahnya sebuah gunung. Atau bukit (basa Sunda: Pasir). Akan cukup 'menyesatkan' menilai dan mengkategorikan 'gunung untuk pemula' bagi gunung yang tingginya kurang dari 2000 m dpl.

Seperti halnya menilai Gunung Sangar yang terletak di Bandung Selatan. Gunung yang saat ini populer didaki berbagai kalangan terutama remaja dan muda usia karena aksesnya mudah dan tingginya 'hanya' 1690 mdpl (1655 m dpl di altimeter berbasis GPS, 1660 m dpl di peta aplikasi Mapy CZ yang berbasis pada peta Rupa Bumi Indonesia/RBI).



Pada pendakian kemarin, Sabtu 14 Desember 2024, cuaca buruk di kawasan Arjasari Kabupaten Bandung, tidak menyurutkan ratusan pendaki pemula maupun bangkotan untuk mendaki gunung Sangar yang sering dianggap 'ramah pemula'. 

Diperhatikan, sedikit sekali mereka menggunakan sepatu hiking, umumnya sepatu running atau sneaker casual. Padahal jalur mulai pos 1 hingga puncak licin parah. Bahkan tidak sedikit yang memakai sendal tali atau sendal jepit.

Jalur pendakian Gunung Sangar memang tidak terlalu terjal, cenderung landai. Bagi yang pernah mendaki Gunung Manglayang di timur Bandung (1818 m dpl), tentu akan tahu bedanya.

Tetapi guyuran hujan membuat jalur landai itu menjadi berbahaya. Tepat di depan mata, seorang ibu terlontar nyaris masuk jurang saat terpeleset. Beruntung sebagian tubuhnya tertahan semak di pinggiran jurang, dan kakinya dipegangi seorang pendaki lain yang masih satu rombongan.

Saat diperhatikan: memakai sneaker running/kasual dengan outsole datar tak bergerigi.



Menjelang puncak, seorang gadis remaja terpaksa harus melepas sepatunya yang jebol. Ngeri rasanya berjalan mendaki dan turun gunung tanpa alas kaki. Selain lebih licin, bebatuan yang tajam, akar serta batang pohon bisa melukai kaki.

Di saat turun, di pos 3 dua orang pendaki senior/master bercerita bila ia terhambat ke puncak karena harus mengevakuasi dulu seorang remaja usia SMP yang patah tangan akibat jatuh terpeleset saat turun dari puncak di antara pos 3 dan pos 2 /tanjakan Ebel.

Itulah beberapa kisah yang seharusnya membuat kita berfikir untuk tidak meremehkan gunung yang tidak terlalu tinggi. Apalagi di waktu musim hujan dengan cuaca buruk yang membuat jalur menjadi sangat licin.

Dari pos pendakian, jalur menuju ke puncak hanya sekitar 2,5 km dengan elevation gain/penambahan ketinggian ±500 m tapi membutuhkan waktu sekitar 2 jam 30 menit. Hal ini disebabkan antrian di beberapa ruas yang licin akibat banyak pendaki yang kesulitan melangkah. 

Bisa dibayangkan jalan setapak yang baru diguyur air hujan kemudian diinjak ratusan pasang kaki. Licin dan berbahaya saat menanjak atau menurun. Bahkan untuk mereka yang menggunakan sepatu hiking atau trail running dengan outsole bergerigi.

Jadi, memang jangan mengganggap enteng sebuah gunung hanya karena ketinggiannya. Cuaca bisa mengubah segalanya. Terlebih  tidak menggunakan sepatu khusus yang lebih layak, tidak berdoa dan melakukan pemanasan/stretching sebelum pendakian.

Ricky N. Sastramihardja

Tim: Mang Deni, Mang Yana Martin May, Mang Umar, Kang Nanang APGI

Sabtu, Desember 07, 2024

JAM MEKANIK: MASA LALU YANG MASIH BANYAK DIBURU


Setelah menggunakan jam tangan digital, quartz, dan smart watch akhirnya kembali mencicipi jam analog mekanik otomatis dengan rotor sebagai sumber energinya.

Bagaimanapun juga, jam mekanik memiliki banyak keajaiban tersendiri di mana di era smart watch yang semakin canggih, jam mekanik harganya malah semakin gila-gilaan, semakin banyak jenamanya (termasuk micro brand), dan semakin mengesankan. Padahal teknologinya tertinggal 100 tahun.

Jam tangan mekanik adalah salah satu keajaiban teknologi di mana manusia berusaha mensiasati dan mengenali waktu. Jenama-jenama dari Cina hadir untuk berbagai kalangan dengan harga dan kualitas bervariasi untuk kantong yang tipis (namun loba kahayang).

Bila beruntung bisa mendapatkan jam mekanik otomatis homage jenama Patek Phillipe Nautilus seharga kurang dari Rp. 150.000 di market place online. Beberapa homage Rolex, Breitling, dll dengan kualitas dan build quality yang bagus bisa didapat mulai dari harga Rp. 400.000 saja.

Memandang mesin jam mekanik otomatis bekerja itu menyenangkan dan menenangkan. Menerawang dalam alam pikiran, bagaimana tenaga kinetik diubah menjadi tenaga mekanik oleh rotor dan membuat mekanisme jam tangan bekerja selama 24 jam ke depan tanpa tenaga listrik seperti pada jam quartz atau digital atau smart watch.

Seperti memasuki dimensi lorong waktu tersendiri.

Beberapa jenama jam mekanik terkenal seperti Rolex, Patek Phillipe, Audemar Piguets, Breitling, dll memasang harga gila-gilaan untuk teknologi yang tertinggal 100 tahun dibanding smart watch.

Dengan bajet minimal di kisaran 1 sampai 10 jutaan, beberapa merk Jepang dengan akurasi yang sebetulnya tidak jauh berbeda bisa didapatkan dengan mudah. Di bawah itu ada beberapa jenama Cina dengan kualitas sesuai harga, bisa didapatkan si kantong tipis.

Menariknya, di dunia jam tangan atau horology, jiplak-menjiplak desain mendapat tempat tersendiri dan tidak merusak pasar desain jam yang dijiplaknya. Sebut saja Rolex Submariner yang desainnya banyak dijiplak jenama lain. Baik secara utuh atau per bagian.

Jiplakan yang umumnya menjiplak bentuk casing dan display itu disebut homage. Homage itu umumnya meniru desain-desain jam mewah (luxury) yang legendaris.

Homage itu bukan barang palsu, tetapi jam dengan jenama tersendiri yang desainnya menjiplak atau terinspirasi dari jenama lainnya. Seiko merilis SKX301 sebagai homage untuk Rolex Submariner. Begitu pula Casio yang merilis Duro MDV-106-1AVCF.

Bila untuk akurasi, jam digital atau jam quartz tentu sangat akurat dibanding jam mekanik. Apalagi smart watch yang dilengkapi banyak fitur yang berguna: mulai sensor cuaca hingga pengukur detak jantung sampai koneksi dengan satelit.

Tetapi jam mekanik dengan segala keterbatasan teknologinya, dengan akurasinya yang payah, tetap memanjakan hati, juga menguras dompet penggemarnya.

Jam mekanik otomatis seolah mengingatkan bila manusia adalah mahluk yang sebetulnya sulit untuk bisa tepat waktu. Mahluk yang tidak akan pernah bisa mengalahkan waktu.

📷Jam tangan Chen Xi, homage Patek Phillipe Nautilus 

Senin, Agustus 26, 2024

CATATAN RINGKAS DARI DISKUSI PUBLIK BAROEANG KA NOE NGARORA


Daeng Kanduruan Ardiwinata namanya. Dari susunan namanya kita menangkap ada perpaduan dua budaya yang berbeda: budaya Makassar dan budaya Sunda, karena D.K. Ardiwinata, demikian ia dikenal, adalah keturunan Makassar- Sunda.

D.K Ardiwinata merupakan seorang sastrawan Sunda yang menjadi tonggak penulisan novel atau roman (prosa) berbahasa Sunda. Pada tahun 1914, terbit sebuah buku novel berbahasa Sunda dengan judul "Baruang Ka Nu Ngarora" (Racun Masa Muda) yang enam tahun terbit lebih awal dibanding novel berbahasa Melayu/Indonesia, "Azab dan Sengsara" karya Merari Siregar (1920).

Dalam penelitian awal saya untuk keperluan skripsi sarjana di prodi sastra Sunda Unpad tahun 1997 silam, saya berasumsi (dan menyimpulkan dari awal) bila novel ini sangat mempengaruhi novel-novel berbahasa Sunda yang terbit selanjutnya. Tentu dengan tidak mengesampingkan novel "Gogoda Ka Nu Ngarora" (Godaan Untuk Kaum Muda) karya M.A. Salmun (1966) yang diklaim sebagai 'sekuel' "Baruang Ka Nu Ngarora".

Dengan metode kajian intertekstualitas, saat itu saya berharap menemukan banyak jejak dari novel "Baruang Ka Nu Ngarora" (selanjutnya: BKN) dalam teks novel yang lain. Secara ringkas, intertekstualitas memandang bahwa sebuah teks yang ditulis lebih kemudian mendasarkan diri pada teks-teks lain yang telah ditulis orang sebelumnya. 

Intertekstualitas merupakan salah satu sarana pemberian makna kepada sebuah teks sastra. Intertekstualitas dalam karya sastra adalah keterkaitan antara dua atau lebih teks sastra. Hubungan ini dapat mencakup kiasan, kutipan, parodi, terjemahan, dan lainnya.

Sebagai naskah pembanding lain, saya memilih beberapa novel dari beberapa periode yang berbeda. Novel "Rusiah Nu Goreng Patut" (Sukria-Yuhana 1930), "Dedeh" (Yus Rusamsi 1966) dan "Asmaramurka jeung Si Bedog Rajapati" (Ahmad Bakri, 1988). Dalam pengamatan saya, ketiga novel ini dicurigai memiliki banyak jejak dari novel BKN, terutama dari sisi tema yang dominan: percintaan dan permasalah dalam rumah tangga.

Dalam novel "Rusiah Nu Goreng Patut" (selanjutnya RNGP) , misalnya, jejak itu terdapat dalam penokohan tokoh utama, terutama tokoh lelaki. Digambarkan dalam BKN, tokoh utama protagonis (Ujang Kusen) adalah lelaki yang gagah, tampan, kaya raya. Sedangkan antagonisnya (Aom Usman) selain tampan dan berwibawa, kaya, juga anak atau keturunan bangsawan. Sangat bertolak belakang dengan tokoh Karnadi di dalam RNGP: jelek, miskin, tak berpendidikan, dan kurang adab. 

Sedangkan untuk semua protagonis perempuan yang digambarkan para pengarang di semua novel sepertinya adakah tipe perempuan ideal yang menjadi idaman semua lelaki: cantik, ramah, berharta, dan muda.

Bila BKN diterbitkan oleh Balai Pustaka atau Commisie voor de Inlandsche School en Volkslectuur, yang kemudian dianggap sebagai agen kolonialisme Belanda, RNGP diterbitkan oleh penerbit swasta Dachlan Bekti. Bahasan cukup mendetail mengenai hal ini ditulis Ajip Rosidi dalam "Manusia Sunda" (Inti Idayu Press, 1984).


Menariknya, setelah 25 tahun kemudian, setelah tidak menggeluti dunia penelitian sastra dengan intensif karena kesibukan yang berbeda dengan masa studi, novel BKN dan 'varian' interteksnya itu seolah tak bisa lepas dari kepala. Penelitian yang tak usai di masa skripsi karena mendadak harus berganti judul menjelang masa 'injury time' studi di tahun 1999, serasa meninggalkan utang pemikiran di kepala yang tak akan pernah bisa lunas.

Bahkan beberapa tahun setelah lulus saya berkesempatan bertemu dan berkawan dengan salah seorang buyut D.K Ardiwinata: Daeng Tata. Daeng Tata, yang sangat nyunda walau namanya bergelar nama Makassar. 

Tak disangka, Lopian, program yang digelar PDPBS (Pusat Digitalisasi dan Pengembangan Budaya Sunda) Unpad mengelar diskusi pertamanya tentang sastra dengan subyek bahasan utama novel BKN pada hari Rabu, 21 Agustus 2024 pekan lalu. Saya tidak bisa melewatkan diskusi ini dan alhamdulilah bisa hadir dan menyampaikan sedikit pandangan mengenai novel istimewa ini. Tentu tidak secara mendetail dan menyeluruh mengingat keterbatasan waktu, juga waktu yang nyaris mengubur semua sisa ingatan tentang penelitian novel ini.

Karena memang menjadi diskusi pertama dari serangkaian diskusi yang direncanakan, diskusi masih tidak terlalu fokus dengan novel yang menjadi subyek utama bahasan. Masih melebar ke mana-mana, termasuk ngaret 30 menit. Namun sepertinya masih dalam batas yang bisa dimaklumi.

Apalagi sebagai diskusi pemantik, saya rasa memang sangat perlu diadakan pertemuan semacam ini terutama melibatkan masyarakat umum yang bukan kalangan akademis maupun dari komunitas sastrawan. Di mana pengalaman pembaca menjadi kritik yang sangat otentik karena penilaian ini bersifat pragmatik, subjektif dan tidak bisa didikte teori apapun.

Novel BKN ini menjadi novel yang tidak boleh dilewatkan oleh para pembaca sastra Sunda. Di dalamnya terekam bagaimana bahasa Sunda yang digunakan pada masa 110 tahun silam. Bagaimana pandangan normatif pengarang, mewakili masyarakat pada jamannya, tentang banyak hal. Bagaimana kemudian novel ini diantisipasi dalam novel-novel selanjutnya dalam bentuk parodi, antitesis, bahkan upaya imitasi.

Dari sisi perkembangan bahasa Sunda, novel ini juga memberi petunjuk bahwa bahasa Sunda dalam 110 tahun ini tidak berubah struktur tata bahasa, kaidah, dan kosa katanya. Bila ada banyak kosa kata yang dirasa 'asing' bukan berarti menggunakan bahsa Sunda lama.

Bahasa Sunda pada BKN, tidaklah seperti 'old english' dalam sejarah perkembangan bahasa Inggris. Bahasa Sunda pada BKN adalah bahasa Sunda yang dirumuskan pos Mataramisasi Tatar Sunda. Bila ingin mengetahui kosa kata Sunda lama, merujuklah pada naskah-naskah sebelum abad ke-16 sebelum Pajajaran membubarkan diri atau di masa peralihan dari Pajajaran ke Mataram.

Ricky N. Sastramihardja

📷 Enna Ernawati Sutarna


Rabu, Juli 24, 2024

KOMPLEKS CANDI BATUJAYA, TERTUA DI INDONESIA



Kompleks Candi Batujaya di Karawang. Ditemukan pada tahun 1984 oleh tim arkeologi Fak. Sastra UI. Candi-candi ini diperkirakan berasal dari masa kerajaan Tarumanegara yang beragama hindu.

Kompleks candi budha yang didominasi dengan batu bata ini adalah kompleks candi tertua di Indonesia. Menurut kronologi carbon dating, artefak tertua berasal dari abad ke-2. 

Corak candi budha ini menurut beberapa ahli menunjukan ada pengaruh kerajaan budha terbesar masa itu, yakni Kerajaan Sriwijaya.

Keseluruhan kompleks candi Batujaya ini diperkirakan dibangun hingga abad ke-7 dan ditinggalkan karena tersapu banjir bandang dari Sungai Citarum.

Penemuan candi ini juga menunjukkan hal lain, yakni pada masa itu masyarakat Sunda sudah menanam padi dan tidak berpindah-pindah. Pada batu bata yang digunakan sebagai material utama candi, ditemukan bekas sekam yang digunakan untuk membakar batu bata.

Semenjak awal penelitian dari tahun 1992 sampai dengan tahun 2006 telah ditemukan 31 tapak situs sisa-sisa bangunan. Penamaan tapak-tapak itu mengikuti nama desa tempat suatu tapak berlokasi, seperti Segaran 1, Segaran 2, Telagajaya 1, dan seterusnya. 

Sampai pada penelitian tahun 2000 baru 11 buah candi yang diteliti (ekskavasi). Laporan Balai Penelitian Cagar Budaya (BPCB) Serang pada tahun 2014 menyebutkan ada 40 situs sisa bangunan (candi) yang ada di kawasan Batujaya.

Hingga tahun 2016 diketahui terdapat 62 unur dan 51 di antaranya terkonfirmasi memiliki sisa-sisa bangunan. 

Banyaknya temuan ini menyisakan banyak pertanyaan yang belum terungkap secara pasti mengenai kronologi, sifat keagamaan, bentuk, dan pola percandian.

dari berbagai sumber

📷 Facebook