Senin, April 14, 2025

CATATAN DARI MADINAH: SEPATU ATAU SANDAL?


Saya lebih memilih sepatu saat melakukan perjalanan umroh dibanding sandal. Alasannya sederhana saja: lebih nyaman dan aman untuk dipakai berjalan di aspal yang panas dan keras.

Tentu saja di saat umroh telanjang kaki saat thowaf dan memakai sandal saat sa'i. Karena salah satu syarat umroh adalah tIdak mengenakan alas kaki yang menutupi mata kaki. Tapi setelah selesai tahalul, saya memilih menggunakan sepatu untuk berjalan pulang ke hotel.

Jadi bawa sepatu dan sandal sekaligus. Lebih repot tapi nyaman.

Tapi memakai dan melepaskan sepatu cukup memakan waktu. Apalagi sepatu bertali. Harus sedikit bergegas saat melepas-pasang sepatu. Tidak bisa blas-blus seperti sandal atau sepatu jenis loaf in atau selop.

Sepatu akan sangat berguna saat berjalan dengan jarak cukup jauh. Di Mekkah dan Madinah tidak ada angkot apalagi ojeg. Bagi saya berjalan kaki dengan bersepatu di saat terik matahari terasa lebih nyaman.

Apalagi kalau sempat salah jalan atau terpaksa harus berputar. Kaki tidak mudah lelah dan pegal.

Sepatu juga mengurangi resiko kaki tidak kekeringan dan pecah-pecah alias rorombeuheun. Aspal jalanan di Mekkah dan Madinah di siang hari akan sangat menyakitkan dan membahayakan bila dilewati tanpa alas kaki.

Seorang teman jamaah umroh kakinya pecah dan berdarah setelah tanpa sengaja berjalan memutari Masjidil Haram. Ia terpaksa harus berjalan memutar dan lebih jauh sepulang sholat dhuhur karena pengaturan jalan masuk dan jelan keluar oleh otoritas setempat. Ia hanya memakai sendal.

Memakai sepatu juga membuat saya bisa berjalan lebih cepat dibanding saat bersandal.

Perlu diketahui, hampir setiap hari di Mekkah atau Madinah saya berjalan cukup jauh. Pedometer di pergelangan tangan mencatat, sekurangnya berjalan minimal 8000 langkah atau kurleb 6 km per hari. Tentu hal ini tergantung jarak hotel kita dengan masjid.

Berjalan kaki berkilometer tentu lebih nyaman bersepatu daripada sandal. Mengitari masjid Nabawi seluas 24 ha pun lebih bebas pegal, bebas lecet, dan bebas rorombeuheun...

Madinah 6 Syawal 1446H/5 April 2025

Ricky N. Sastramihardja

Semula ditulis di akun pribadi di Facebook 5 April 2025

CATATAN 2 SYAWAL DI MEKKAH: MEKKAH KOTA YANG TAK PERNAH TIDUR


Bila ada pernyataan yang menyebut New York sebagai kota yang tak pernah tidur, mungkin harus berkunjung ke Mekkah.

Selepas romadhon, ternyata settingan Mekkah kembali ke setelan pabrik: semrawut dan padat. Setidaknya di sepanjang Misfalah/Al Hajlah tempat kami menginap yang merupakan salah satu jalan mencapai Masjidil Haram.

Pedagang kaki lima dan pengemis yang tidak terlihat di 10 hari Romadhon, muncul saat 1 Syawal resmi diumumkan. Jalan yang semula digunakan untuk menampung jamaah, kini kembali ke fungsi asal: menjadi akses berbagai macam kendaraan.

Masjidil Harom pun tetap penuh. Setidaknya satu jam sebelum adzan kita harus sudah menuju masjid. Tentu agar dapat tempat sholat di dalam masjid, setidaknya di bagian yang diberi karpet.

Bila di kampung, ke masjid itu menjelang iqomah masih bisa dapat shaf pertama, di Masjidil Haram pasti tidak. Kita harus bersiap sholat di jalan atau di trotoar. Dapat di pelataran/halaman masjid itu sudah sangat beruntung.


Area Kabah pun masih dipenuhi jamaah yang thowaf semenjak setelah sholat ied. Jadi bila ada yang bilang Mekkah/Kabah sepi saat lebaran, mungkin itu cerita di masa lalu. Di 1 dan 2 Syawal 1446 H, tetap full house.

Mencium Hajar Aswad pun pasti tetap penuh perjuangan. Untung saja tidak menjadi rukun umroh/haji.

Denyut kehidupan di Kota Mekkah ini berkaitan dengan data yang dirilis Presidensi Umum Urusan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Dirilis oleh Republika dari Saudigazette, Senin (31/3/2025), CEO Otoritas Umum untuk Urusan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, Ghazi Al-Shahrani mengatakan, jumlah jamaah umrah mencapai 16.558.241. Sementara, umat Islam yang beribadah di Masjidil Haram berjumlah 92.132.169 orang dan di Masjid Nabawi 30.154.543 orang.

Kehidupan berdenyut selama 24 jam di Mekkah. Mulai antrian masuk masjid, pedagang kaki lima, teriakan askar mengatur jamaah umroh, razia satpol PP Mekkah terhadap PKL & pengemis, restoran dan toko yang tak pernah tutup, serta hilir mudik kendaraan masuk dan keluar Mekkah

Ricky N. Sastramihardja

Semula ditulis di akun pribadi di Facebook 31 Maret 2025

CATATAN 1 SYAWAL DI MEKKAH: MALAM LEBARAN TANPA TAKBIRAN


Berbeda dengan di Indonesia, malam lebaran atau malam takbiran di Mekkah tidak dirayakan dengan takbir berkumandang sepanjang malam hingga pagi.

Takbiran baru berkumandang setelah sholat subuh hingga menjelang sholat idul fitri.

Sedangkan sholat ied terpusat di Masjidil Haram. Bagi yang ingin merayakan di dalam Masjidil Haram, harus sudah berangkat sejak pukul 02.00 dinihari.

Bersama puluhan ribu jamaah lainnya, saya lebih memilih sholat di jalanan Al Hajlah yang menjadi salah satu jalan masuk ke Masjidil Haram.

Tadi malam setelah magrib, bersama teman sekamar saya menyempatkan diri beritikaf sebentar di Masjidil Haram. Masjid yang biasanya dipenuhi jamaah selama 10 hari terakhir romadhon itu suasananya lebih lengang.

Kami diarahkan ke lantai 4 masjid lalu sholat isya berjamaah di sana. Setelah sholat isya, ya selesai. Tidak ada takbiran seperti yang biasa dilakukan di Tanah Air.

Pagi ini, setelah sholat subuh, menjadi kali pertama saya berlebaran jauh dari keluarga, jauh dari tanah air. Suasana yang berbeda yang pertama kali didapat seumur hidup.

Sejak jam 05.00 jalanan sudah penuh dengan jamaah umroh maupun warga Mekkah yang hendak melaksanakan sholat iedul fitri pada jam 06.30 waktu setempat. Begitu juga dengan Masjidil Haram.

Oh iya, 1 syawal di Saudi Arabia dan di Jazirah Arabia tepat jatuh pada tanggal 30 Maret 2025. Hilal terlihat lebih awal dibandingkan di Indonesia.

Taqoballohu minna wa mingkum. Shiyamana wa shiyamakum.

Wilujeng Boboran Siam 1 Syawal 1446H.

Ricky N. Sastramihardja

Semula ditulis di akun pribadi di Facebook 30 Maret 2025

CATATAN JELANG MALAM KE-30 ROMADHON: PORSI JUMBO MAKANAN ARAB


Alhamdulillah tidak ada kendala dengan rasa makanan selama di Mekkah. Terbiasa adaptasi dengan berbagai rasa makanan di tanah air, membuat saya tidak terlalu pilih-pilih soal makanan.

Beberapa rasa yang kurang cocok masih bisa 'dikoreksi' dengan saos sambal yang dibawa dari Indonesia. Sayang saya tidak jadi membawa garam gurih karena khawatir diperiksa bea cukai akibat mirip serbuk 'assoy' alias narkoba.

Tapi tentu masalahnya ada di ukuran makanan yang duh Gusti, meni baradag enjum. Beli nasi putih yang mirip nasi uduk seharga 7 riyal, jumlahnya luar biasa. Bisa untuk 4-5x makan. Dimakan berdua dengan teman sekamar pun enggak habis, akhirnya sisanya terpaksa dibuang setelah 2 hari.

Beli sejenis semur daging, diberi 2 lembar roti yang ukurannya juga over size. Sagede-gede telebug sigana mah...

Pernah sesaat setelah tiba di Mekkah, oleh tim Khidmat travel jamaah diberi sajian ayam Albaik. Buset, itu satu kotak Albaik, kayaknya cukup buat 3 orang.

Ada 3 potong ayam, 1 besar banget segede kepalan tangan Mike Tyson, yang dua lagi seukuran ayam krispi di Indonesia. Sajian itu baru habis setelah 3x makan. Itupun sebagian dibuang karena goreng ayam yang sudah dingin rasanya tidak sip.

Heran dengan porsi makanan yang oversize seperti motor Mio balap 200 cc, ternyata menurut ustad pendamping jamaah, orang Arab pun sering kali tak bisa habiskan makanan.

"Mereka (orang Arab) juga gak bisa habiskan porsi nasi sebanyak itu. Kebanyakan sisanya berakhir di tempat sampah."

Tapi berbeda dengan roti, roti pasti akan selalu dimakan habis karena berkaitan dengan masa lalu. Di mana konon nenek moyang mereka pernah mengalami kesulitan mendapat makanan hingga harus mengais remah-remah roti untuk makan.

Ricky N. Sastramihardja

Semula ditulis di akun pribadi di Facebook 29 Maret 2025

CATATAN DARI MALAM KE-29 ROMADHON: ADA BALA-BALA DI MEKKAH


Pertama kali lihat bala-bala di Mekkah adalah di Cafetaria Al Bahary di samping hotel. Kantin yang mungkin masih franchisenya warteg Bahari ini menyiskan sebiji bala-bala di etalase.

"What's that?," tanya saya pada penjaga kantin.

"Bala-bala," jawabnya.

"What? That bala-bala is from my country", balas saya sambil tertawa.

Bala-bala itu harganya 1 riyal (± Rp. 4500). Ukurannya tunggu kiris, eh tinggi kurus, sudah dingin dan tanpa cengek. Itu masih lebih murah dibanding di Damba, restoran Indonesia di Zamzam Tower. 4 Riyal per biji atau 10 riyal per 3 biji. Gehu alias tahu isi juga dijual di Damba dengan harga yang sama.

Bala-bala ini dijual di beberapa warung makan di Al Hajlah, terutama warung makan Bangladesh seperty Cafetaria Al Bahary, atau di warung makan Pakistan. 

Bahkan di hotel tempat kami menginap, pengelola restoran Indonesia sempat juga menyajikan bala-bala sebagai menu. Rasanya lebih enak daripada bala-bala buatan chef Bangladesh atau Pakistan. Namun tetap tanpa cengek.

Menarik juga saat para penjual makanan ini menyebut nama bala-bala, karena bala-bala mah penamaan khas Sunda. Tidak disebut dengan bakwan, membuat saya curiga bila juru masak yang mengenalkan bala-bala di Tanah Mekkah adalah orang Sunda.😅

Ricky N. Sastramihardja

Semula ditulis di akun pribadi di Facebook 29 Maret 2025

CATATAN DARI MALAM KE-28 ROMADHON DI MEKKAH


Sholat qiyamul lail di sini itu 10 rokaat untuk taraweh (20.30 - 22.00). Dilanjut tahajud berjamaah 10 rokaat dan 3 rokaat witir (bisa 2+1, bisa langsung 3).

Selain jamaah umroh, warga Mekkah dan warga KSA berbondong-bondong sholat berjamaah walau luber hingga ke jalan raya karena tidak mungkin semua tertampung di Masjidil Haram.

Berjamaah sholat dengan jutaan muslim dari berbagai penjuru dunia itu sungguh luar biasa.

Enggak ada yang 'berantem' soal jumlah taraweh, apalagi bila dijumlah-jamleh jadi 23 rokaat. Persis seperti yang dilakukan banyak umat Islam di Indonesia.

Dalam riwayat Rosullulloh tidak mewajibkan taraweh berjamaah. Tetapi di Mekkah, taraweh dan tahajud dilakukan berjamaah.

Aneh aja di lingkungan kita di Indonesia ada yang mendebat soal taraweh dan tahajud berjamaah ini. Di Mekkah aja di bulan ramadhan, amal-amalan sunat dilakukan berjamaah kok, di Indonesia malah jadi bahan debat kusir dengan berbagai macam dalih.

Beberapa kali di dalam qunut Imam sholat bersholawat dengan menyebut nama Sayiddina Muhammad. Sedangkan di Indonesia, ada juga kelompok yang bilang 'tidak kaci' bila menyebut nama Sayiddina Muhammad. 

Banyak pula jamaah yang isbal, gulung celana, atau gulung lengan baju agar lebih nyaman. Kalau dari perawakan dan bahasanya mereka orang Arab. Tapi tidak dibid'ah-bidah'kan oleh jamaah lain. Enggak kayak di onoh yang soal celana aja bisa berantem berabad lamanya 😅

Ricky N. Sastramihardja

Semula ditulis di akun pribadi di Facebook 28 Maret 2025

Sabtu, April 12, 2025

PERANG UHUD DAN PERANG BUBAT


Jabal Uhud. Di tempat ini pernah terjadi pertempuran antara kaum Muslimin di Madinah dengan kaum Quraisy Mekkah. Terjadi di tahun ke-3 hijriah, tepatnya 7 Syawal 3 H/23 Maret 625 M. Pada pertempuran ini umat Islam yang dipimpin oleh Nabi SAW mengalami kekalahan.

Di tempat ini juga ada pemakaman 70 orang sahabat yang syahid pada pertempuran ini. 

Kisah Perang Uhud ini terdokumentasi dengan terperinci sampai sekarang setelah 1400 tahun lebih lamanya. Kekuatan ingatan orang Arab membuat kisah ini tetap terverifikasi kebenarannya hingga sekarang. Tidak hanya lisan tetapi sudah terdokumentasi dalam berbagai naskah tulisan.

Kita bandingkan dengan Perang Bubat antara Majapahit dan Kerajaan Sunda di tahun 1357 M atau 668 tahun lalu. Perang Bubat ini disebutkan terbatas hanya di beberapa naskah kuno. Salahsatunya naskah Carita Parahiangan yang diperkirakan ditulis di akhir abad ke-16.

Perang Bubat ini sampai sekarang menuai pro dan kontra. Sebagian menganggapnya benar terjadi, sebagian menganggapnya dusta. Banyak juga yang skeptis, dan tidak ambil pusing dengan alasan demi keutuhan NKRI.

Menariknya, di tengah pro kontra kisah sejarah ini, ada sekelompok masyarakat fasis yang menganggap dia dan leluhurnya adalah orang-orang hebat.  Saking hebatnya, sekelompok fasis yang sering disebut kaum rahayu ini semakin terang-terangan menghina Kaum Muslimin di Indonesia, juga menghina orang Arab.

Pemakaman 70 syuhada Uhud

Heran saja mengaku lebih hebat dari orang Arab, mengakui ajaran agama leluhurnya lebih benar daripada Islam, tetapi buta akan sejarahnya sendiri yang berjarak hanya 668 tahun. Sedangkan tradisi Islam, mengingat setiap detail peristiwa sejarah agamanya lengkap dengan nama, tahun, tempat dan perincian-perincian lainnya yang sulit dibandingkan dengan sejarah Nusantara dalam kurun waktu yang sama.

Ah jangankan Perang Bubat yang terjadi hampir 7 abad silam, sejarah Persib Bandung yang terjadi di dunia yang sudah tertulis, pun ternyata 'gelap'.

Paling lama sejarah Persib itu dimulai 106 tahun lalu (1919, versi PT. PBB) atau 1933 (versi tradisi historikal-lisan), atau 1934 (versi naskah akademis sumber tertulis satu-satunya).

Bagaimana bisa kaum rahayu ini mengaku diri bangsa Nusantara adalah bangsa yang hebat bila ternyata kita hanyalah bangsa amnesia yang mudah lupa dan abai peristiwa sejarah?

Bandung, 12 April 2025/13 Syawal 1446H

Ricky N. Sastramihardja