http://6ix2o9ine.blogspot.com
Papelong-pelong jeung bulan sapasi
nu mencrong luhureun hateup
nyawalakeun mangsa ka tukang
nu kungsi disorang jeung manehna
Papelong-pelong jeung bulan nu kari sapasi
seukeut neuteup pameunteu
mangsa ramo-ramo patingkarait
aya kecap nu hamo kungsi kedal
Bulan nu kari sapasi ukur bisa nyakseni
mangsa katukang hamo kasorang
di luhur hateup aya nu nyangsaya:
cinta
mangsa ngaliwatan siklus dunya
caang nu serab
jeung peteng nu pohara
01082010
7.31.2010
Bekerja dan Rendah Hati
http://6ix2o9ine.blogspot.com
...
Abu Mawahib As Sya'roni menjelaskan bahwa manusia yang bekerja memiliki kelebihan-kelebihan yang tidak dimiliki oleh manusia yang hanya beribadah saja dalam hidupnya. Pertama, jerih payah usahanya akan dinikmati sendiri. Hal ini karena ia makan dari usahanya sendiri, bukan dari pemberian (sedekah) orang lain, yang konon, dianggap sesuatu yang kotor sehingga Nabi melarang keluarganya memakan barang sedekahan. Kedua, tidak ada kesombongan dan merasa paling pintar dan berilmu atas orang lain. Dengan demikian dalam hal ini ia akan melihat dirinya lebih rendah, dan orang lain lebih tinggi. Rendah hati sangat dianjurkan oleh Nabi. Ingat, rendah hati bukan rendah diri
....
Muhammad KH, dikutip dari Buletin Tafakuran edisi 178 2500 23 Juli 2010
...
Abu Mawahib As Sya'roni menjelaskan bahwa manusia yang bekerja memiliki kelebihan-kelebihan yang tidak dimiliki oleh manusia yang hanya beribadah saja dalam hidupnya. Pertama, jerih payah usahanya akan dinikmati sendiri. Hal ini karena ia makan dari usahanya sendiri, bukan dari pemberian (sedekah) orang lain, yang konon, dianggap sesuatu yang kotor sehingga Nabi melarang keluarganya memakan barang sedekahan. Kedua, tidak ada kesombongan dan merasa paling pintar dan berilmu atas orang lain. Dengan demikian dalam hal ini ia akan melihat dirinya lebih rendah, dan orang lain lebih tinggi. Rendah hati sangat dianjurkan oleh Nabi. Ingat, rendah hati bukan rendah diri
....
Muhammad KH, dikutip dari Buletin Tafakuran edisi 178 2500 23 Juli 2010
6.05.2010
OBITUARI: WULAN DWI KARTIKA (6 JUNI 1983 – 6 JUNI 2010)
http://6ix2o9ine.blogspot.com
Siang itu, Senin 6 Juni 1983, tepat 27 tahun yang lalu. Bandung digegerkan oleh berita pembunuhan terhadap seorang pembantu rumah tangga berumur 46 tahun dan seorang gadis kecil berumur 8 tahun. Kedua korban ditemukan tak bernyawa, tergeletak bersimbah darah dengan sekujur luka bekas senjata tajam dan benda tumpul.Forensik kepolisian menyatakan kedua korban meninggal akibat pembunuhan sadis yang dilakukan beberapa jam sebelumnya.
Gadis kecil yang berusia 8 tahun itu, Wulan Dwi Kartika, adakah siswi SDN Banjarsari IV Jalan Merdeka Bandung. Wulan baru berumur 8 tahun lebih 16 hari. Pada 20 Mei 1983, ia baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke-8. Dalam logika sederhana manusia, Wulan masih terlalu muda untuk meninggal dunia, apalagi dalam kondisi berdarah-darah akibat senjata tajam. Selain beberapa luka tusukan, kedua belah nadinya diiris oleh para pelaku dan jasadnya dibenamkan ke dalam bak mandi. Audzubillahhi min dzalik.
Gadis kecil yang baru berusia 8 tahun itu, meninggal dalam kondisi yang mengenaskan dan di luar akal pikiran kemanusiaan yang sehat. Ia masih mengenakan gaun berwarna biru malam, yang juga ia kenakan pada saat merayakan ulang tahun yang ke-8. Gadis kecil itu adakah adik kandung saya.
Setelah 27 tahun berlalu, peristiwa mengerikan itu masih kami ingat. Bahkan saya menceritakannya juga pada kedua anak saya yang masih balita, bahwa mereka mempunyai seorang bibi, tante, yang sudah meninggal. Tentu saya tidak menceritakan tindak kekerasan dan penganiayaannya. Mereka masih terlalu kecil untuk mencerap berita dan kisah sadis itu.
27 tahun, siang malam, kami selalu berdoa. Terutama ibu dan bapak kami. Berdoa memohon keadilan, berdoa memohon kekuatan dan keimanan dalam menerima takdir tersebut. Seiring waktu yang berjalan, kami bisa menerima takdir dan melepas kepergiannya dengan iklas. Namun, doa-doa itu tak penah lepas dari munajat kami, terutama doa memohon keadilan dunia dan akherat karena selama 27 tahun kasus pembunuhan itu tidak pernah terungkap.
27 tahun peristiwa pembunuhan ini menjadi misteri. Kami tidak pernah tahu siapa pelakunya, siapa dalang di belakangnya, bahkan juga apa motifnya. Semua yang kami terima hanyalah asumsi dan desa-desus. Berita lain dari para orang pintar dan paranormal, tidak bisa dibuktikan karena bukti-bukti yang lemah serta tentu saja hukum positif di negara ini tidak menerima barang bukti dan asumsi dari dunia non logika.
27 tahun hidup dalam misteri membuat saya bertanya-tanya akan fungsi dan kondisi keadilan manusia. Saya mempercayai bahwa memang keadilan hanya milik Alloh SWT, bukan milik manusia. Hukum manusia tidak bisa menjangkau para pelaku dan dalang di balik pembunuhan terkutuk itu, tetapi kekuasaan dan takdir Alloh SWT-lah yang akan menjangkaunya. Bila dunia yang fana ini tidk bisa menunjukkan pada kami, alam baka lah yang akan menunjukkanya, dan itu adalah sebuah kepastian.
Untuk adikku di alam sana, berbahagialah, karena kamu dengan takdirmu, diselamatkan Alloh SWT dari godaan duniawi yang mengerikan. Kamu telah menjelma menjadi bidadari yang akan menjemput orangtua kita kelak, Bapak dan Mamah, di Yaumil Akhir nanti dan menuntunnya ke dalam Jannah karena memiliki anak solehah seperti kamu.
27 tahun bukan waktu yang sebentar dalam penantian menunggu dan mencari keadilan. Tetapi pasti merupakan waktu yang lama dan penuh siksaan dunia bagi para pelaku serta dalangnya, yang mungkin masih berkelana di alam dunia ini. Obituari ini hanyalah i’tibar bagi siapa saja. Karena kejadian seperti ini sangat mungkin dialami oleh siapa saja.
Semoga Alloh SWT senantiasa melindungi kita dari godaan dan gangguan syetan yang terkutuk. Menjauhkan kita dari perilaku manusia-manusia yang dzolim dan tak berperikemanusiaan. Amin.
Ricky N. Sastramihardja
Wulan Dwi Kartika |
Gadis kecil yang berusia 8 tahun itu, Wulan Dwi Kartika, adakah siswi SDN Banjarsari IV Jalan Merdeka Bandung. Wulan baru berumur 8 tahun lebih 16 hari. Pada 20 Mei 1983, ia baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke-8. Dalam logika sederhana manusia, Wulan masih terlalu muda untuk meninggal dunia, apalagi dalam kondisi berdarah-darah akibat senjata tajam. Selain beberapa luka tusukan, kedua belah nadinya diiris oleh para pelaku dan jasadnya dibenamkan ke dalam bak mandi. Audzubillahhi min dzalik.
Gadis kecil yang baru berusia 8 tahun itu, meninggal dalam kondisi yang mengenaskan dan di luar akal pikiran kemanusiaan yang sehat. Ia masih mengenakan gaun berwarna biru malam, yang juga ia kenakan pada saat merayakan ulang tahun yang ke-8. Gadis kecil itu adakah adik kandung saya.
Pesta ulang tahun ke-8, 20 Mei 1983. Beberapa hari menjelang kematiannya. Gaun inilah yang juga dikenakannya saat peristiwa terkutuk itu. |
Setelah 27 tahun berlalu, peristiwa mengerikan itu masih kami ingat. Bahkan saya menceritakannya juga pada kedua anak saya yang masih balita, bahwa mereka mempunyai seorang bibi, tante, yang sudah meninggal. Tentu saya tidak menceritakan tindak kekerasan dan penganiayaannya. Mereka masih terlalu kecil untuk mencerap berita dan kisah sadis itu.
Klipingan koran PR 7 Juni 1983 dan Kompas 8 Juni 1983 |
27 tahun, siang malam, kami selalu berdoa. Terutama ibu dan bapak kami. Berdoa memohon keadilan, berdoa memohon kekuatan dan keimanan dalam menerima takdir tersebut. Seiring waktu yang berjalan, kami bisa menerima takdir dan melepas kepergiannya dengan iklas. Namun, doa-doa itu tak penah lepas dari munajat kami, terutama doa memohon keadilan dunia dan akherat karena selama 27 tahun kasus pembunuhan itu tidak pernah terungkap.
27 tahun peristiwa pembunuhan ini menjadi misteri. Kami tidak pernah tahu siapa pelakunya, siapa dalang di belakangnya, bahkan juga apa motifnya. Semua yang kami terima hanyalah asumsi dan desa-desus. Berita lain dari para orang pintar dan paranormal, tidak bisa dibuktikan karena bukti-bukti yang lemah serta tentu saja hukum positif di negara ini tidak menerima barang bukti dan asumsi dari dunia non logika.
Sekitar tahun 1979-1980an. Kami 3 bersaudara di rumah lama kami di Sekeloa. |
27 tahun hidup dalam misteri membuat saya bertanya-tanya akan fungsi dan kondisi keadilan manusia. Saya mempercayai bahwa memang keadilan hanya milik Alloh SWT, bukan milik manusia. Hukum manusia tidak bisa menjangkau para pelaku dan dalang di balik pembunuhan terkutuk itu, tetapi kekuasaan dan takdir Alloh SWT-lah yang akan menjangkaunya. Bila dunia yang fana ini tidk bisa menunjukkan pada kami, alam baka lah yang akan menunjukkanya, dan itu adalah sebuah kepastian.
Ziarah beberapa waktu lalu |
Untuk adikku di alam sana, berbahagialah, karena kamu dengan takdirmu, diselamatkan Alloh SWT dari godaan duniawi yang mengerikan. Kamu telah menjelma menjadi bidadari yang akan menjemput orangtua kita kelak, Bapak dan Mamah, di Yaumil Akhir nanti dan menuntunnya ke dalam Jannah karena memiliki anak solehah seperti kamu.
27 tahun bukan waktu yang sebentar dalam penantian menunggu dan mencari keadilan. Tetapi pasti merupakan waktu yang lama dan penuh siksaan dunia bagi para pelaku serta dalangnya, yang mungkin masih berkelana di alam dunia ini. Obituari ini hanyalah i’tibar bagi siapa saja. Karena kejadian seperti ini sangat mungkin dialami oleh siapa saja.
Semoga Alloh SWT senantiasa melindungi kita dari godaan dan gangguan syetan yang terkutuk. Menjauhkan kita dari perilaku manusia-manusia yang dzolim dan tak berperikemanusiaan. Amin.
Ricky N. Sastramihardja
5.25.2010
PLAGIAT?
http://6ix2o9ine.blogspot.com
Coba bandingkan foto berikut yang saya dapat di http://binusipc.com/images/IPC%202010%20winners/1st%20Winner%20General.jpg. Foto karya Sutanta Aditya ini adalah pemenang Binus International Photo Contest kategori umum bertajuk "Acces to Health"
Bandingkan dengan foto yang saya dapat di http://www.jamesnachtwey.com/ dengan tajuk "Chechnya, 1996 - Ruins of central Grozny". (thx buat Rico atas infonya)
Terinsipirasi atau plagiat?
Menurut saya mah plagiat, karena konsep dan gagasan, eksekusi gagasan, angle, komposisi, background, foreground, bahkan bentuk kepala subjek yang terpotong (out frame) hingga tone color-na mirip pisan...
Hmmm... ada yang berpendapat lain?
Coba bandingkan foto berikut yang saya dapat di http://binusipc.com/images/IPC%202010%20winners/1st%20Winner%20General.jpg. Foto karya Sutanta Aditya ini adalah pemenang Binus International Photo Contest kategori umum bertajuk "Acces to Health"
Bandingkan dengan foto yang saya dapat di http://www.jamesnachtwey.com/ dengan tajuk "Chechnya, 1996 - Ruins of central Grozny". (thx buat Rico atas infonya)
Terinsipirasi atau plagiat?
Menurut saya mah plagiat, karena konsep dan gagasan, eksekusi gagasan, angle, komposisi, background, foreground, bahkan bentuk kepala subjek yang terpotong (out frame) hingga tone color-na mirip pisan...
Hmmm... ada yang berpendapat lain?
5.19.2010
Wisata Offroad Kota Bandung 2010
http://6ix2o9ine.blogspot.com
Undangan terbuka untuk EO offroad, operator tour & travel, pecinta olahraga offroad, paguyuban montir shockbreaker se-Indonesia, juga dukun pijat dan dukun pijut. Wisata offroad Kota Bandung 2010 ini berhadiah Lurah Bandung Cup beserta uang tunai sebagai santunan.
Diadakan dalam rangka Bandung 200 tahun. 200 tahun dalam keserakahan dan kebodohan...
Undangan terbuka untuk EO offroad, operator tour & travel, pecinta olahraga offroad, paguyuban montir shockbreaker se-Indonesia, juga dukun pijat dan dukun pijut. Wisata offroad Kota Bandung 2010 ini berhadiah Lurah Bandung Cup beserta uang tunai sebagai santunan.
Diadakan dalam rangka Bandung 200 tahun. 200 tahun dalam keserakahan dan kebodohan...
Terusan Jalan Jakarta - Antapani |
Jalan Ciujung
Jalan Babakan Surabaya
Jalan Cisaranten Kulon. Kamana atuh duit pajak kendaraan bermotor teh... maenya warga kudu nambal jalan sorangan. Barieukeun!@#$%^&*()_+
Jalan penghubung Bengawan - Soepratman
Jalan Cingised
Jalan Gatot Soebroto/Gatsu
Terusan Jalan Babakan Sari. Eh ieu jalan tembus ka apartemen gitu lho... Waduk angsa lah...
5.17.2010
Solusi Meredam Overheat Pada Laptop
Panas yang berlebih bagi perangkat elektronik, terutama komputer, adalah momok menakutkan bagi para pemiliknya. Panas berlebih atau overheat, selain bisa menyebabkan sistem crash/hang, juga merusak perangkat keras. Salah satu perangkat komputer yang rentan panas adalah laptop atau notebook. Dari beberapa kasus seringkali panas berlebihan menyebabkan sistem crash atau bahkan membuat laptop mati total.
Kondisi Overheat pada laptop lebih mungkin karena perangkat ini ukurannya kecil dan ringkas, bahkan cenderung padat. Sistem pendinginan laptop tidak bisa maksimal seperti pada komputer deskop karena keterbatasan ruangan. Sehingga tidak memungkinkan menambah sistem pendinginan ekstra seperti kipas tambahan, ice cooling atau water cooling seperti pada komputer desktop (terutama komputer dekstop yang di-overclock)
Salah satu cara populer untuk mendinginkan laptop adalah dengan menggunakan cooling pad. Cooling pad adalah alas laptop dengan satu atau dua kipas yang akan mengurangi panas yang keluar dari bagian bawah laptop. Namun bagi beberapa user, cooling pad ini tidak memuaskan. Terutama bagi user yang sering menggunakan laptop untuk aktivitas full load yang memaksa komputer bekerja sampai ambang maksimal, misalnya video editing atau game 3D. Dalam beberapa kasus lain, laptop yang sudah cukup berumur juga rentan overheat walau dalam kondisi idle. Ini dikarenakan kipas pendingin laptop tidak berfungsi dengan baik karena dipenuhi debu atau kotor.
Solusi untuk laptop yang berumur ini cukup mudah. Kita tingal membuka casing belakang laptop, lalu membersihkan komponen-komponen di dalamnya dengan menggunakan sikat yang lembut serta air blower. Penggunaan air blower yang umum digunakan untuk membersihkan kamera ini cukup efektif. Bersihkan bagian yang rentan panas, terutama kipas dan kisi-kisi pembuangan dari debu. Setelah dibersihkan lalu dengan menggunkan bantuan cooling pad maka laptop akan berjalan lancar lagi. Sebaiknya sisihkan waktu satu atau dua bulan sekali untuk membersihkan laptop, karena investasi yang mahal ini memerlukan perawatan rutin.
Solusi cooling pad ini tidak selalu memuaskan bagi user yang sering menggunakan laptopnya hingga batas maksimal. Solusi yang pernah saya coba adalah memasang cooling pad serta menggunakan kipas angin kecil yang disimpan di belakang laptop. Tentu hal ini akan merepotkan bila laptop kita sangat mobile. Tetapi bagi para user laptop yang stationer atau tidak terlalu mobile, solusi ini cukup ampuh. Udara panas yang keluar dari bagian belakang laptop akan segera didinginkan oleh kipas kecil tersebut. Solusi sederhana, walau agak ribet ini, lumayan ampuh dan murah. Bahkan bila dibandingkan dengan menggunakan cooling pad berkualitas bagus yang harganya mencapai Rp. 100.000 - 200.0000, penggunaan kipas angin lebih murah. Kipas angin kecil dengan konsumsi listrik sekitar 15 watt harganya antara Rp. 50.000 sampai Rp. 100.0000.
Tetapi solusi ini juga pada perkembangannya kembali mengalami masalah karena laptop yang sudah berumur cenderung lebih mudah overheat. Dalam beberapa kesempatan setelah bermain game Modern Warfare 2 dengan resolusi native 1280 X 800 serta setting VGA menengah, laptop saya mengalami overheat serta crash. Kemudian setting resolusi screen pada game diubah ke resolusi minimal yaitu 800 X 600 tanpa anti aliasing. Sistem kembali crash, padahal sudah menggunakan setting minimal dengan kualitas gambar yang menyakitkan mata (jaggy). Hal tersebut juga terjadi saat saya melakukan rendering dan konversi format video dari *.Avi menjadi *,m2p (dvd). Beberapa menit sebelum konversi selesai komputer mengalami overheat dan kemudian crash. Menjadi sangat menyebalkan karena konversi ini membutuhkan waktu berjam-jam, yang tentu harus diulang lagi setelah komputer crash karena file yang dihasilkan tidak dapat dipakai.
Karena latop saya sudah cukup berumur dan tidak bergaransi lagi, saya membuka tutup casing belakang (back cover). Komponen di dalamnya saya bersihkan lalu laptop diletakkan di atas cooling pad. Back cover saya lepas dengan tujuan mempermudah aliran udara panas dari dalam laptop keluar dari dalam laptop. Aliran udara panas ini keluar lalu diserap dan didinginkan oleh cooling pad di bawahnya. Untuk hasil maksimal, saya juga mengganjal bagian belakang laptop dengan potongan sendal jepit bekas setinggi lebih kurang 3 cm yang berfungsi membuat bagian belakang laptop lebih tinggi dan ada ruangan/jarak antara bagian belakang dengan cooling pad. Lalu di bagian belakang laptop saya pasang kipas angin kecil dengan kecepatan maksimal.
Setelah itu diukur menggunakan software Speed Fan 4.0 dan Core Temp 0.0.99.5, suhu prosesor pada saat idle mencapai titik terendah yakni 35 - 40 derajat celcius. Sedangkan suhu VGA card (laptop saya menggunakan VGA card dedicated 512 MB) hanya berkisar pada 50-55 derajat Celcius (Speed Fan 4.0).Sebelum back cover dibuka, dengan metode yang sama hanya diperoleh suhu idle 45-50 derajat celcius. Tetapi setelah back cover dibuka, setelah satu jam bermain game Modern Warfare 2, suhu tertinggi prosesor hanya mencapai angka 65-70 derajat celcius, sedangkan suhu VGA hanya menyentuh angka tertinggi 75-80 derajat celcius. Laptop juga tidak lagi mengalami crash padahal saya menggunakan setting native 1280 X 800 dengan anti aliasing 2X. Hal serupa terjadi saat melakukan konversi video dengan Canopus Procoder 3.0. Pada konversi ini prosesor dipaksa bekerja full load 100% selama sekitar 60-90 menit - 120 menit(untuk video sepanjang 60 menit). Video berhasil dikonversi hingga selesai tanpa crash karena overheat. Suhu prosesor hanya mencapai 65-70 derajat celcius (full load) dan suhu VGA card hanya berada maksimal di angka 65 derajat celcius.Hal ini berbeda, karena sebelum membuka casing, suhu prosesor mencapai 80-90 derajat celsius, dan VGA Card di atas 88 derajat celcius. Sistem menjadi crash saat suhu mencapai 90 - 100 derajat celcius. Suhu yang ideal untuk menggoreng telur, bukan untuk laptop kita.
Tentu saja kekurangan sistem pendingin sederhana ini adalah terbukanya peluang kerusakan pada komponen laptop bila kita tidak hati-hati menyimpannya. Sebaiknya laptop disimpan di atas cooling pad yang bersih dari debu dan digunakan dengan hati-hati. Selain itu bila laptop hendak disimpan/dibawa, kita jangan sampai lupa menutup kembali back cover yang terbuka agar komponen di dalamnya tidak rusak akibat terkena gesekan atau kemasukan benda-benda yang tajam seperti paper clip, pinsil, dll. Selain itu, frekuensi pembersihan pun harus lebih sering, karena bagian yang terbuka tentu mengundang lebih banyak debu ke dalamnya.Usahakan juga meja kerja tetap bersih dari berbagai macam debu dan kotoran, serta benda-benda kecil yang dapat nyelonong masuk ke dalam bodi laptop dan mengakibatkan kerusakan fisik.Kita pun harus sering membersihkan cooling pad dan kipas angin agar tetap berfungsi dalam kondisi optimal tanpa gangguan debu yang menempel.
Mengenai software, CoreTemp 0.0.99.5 berfungsi untuk mengetahui kondisi suhu prosesor serta melakukan soft reset/auto shutdown bila suhu prosesor mencapai batas 90 derajat celcius. Sedangkan softaware gratis Speed Fan 4.40 lebih untuk mengatur kecepatan kipas pada prosesor dan VGA Card. Speed fan juga mengukur suhu VGA Card (CoreTemp tidak) saat idle hingga full load dan menyesuaikan kondisi kecepatan kipas sesuai suhu VGA Card.
Semoga bermanfaat.
Notebook: Acer Aspire 5920 G dengan Windows 7 32 Bit. Core2Duo T7500 (2,2 ghz), RAM 2 GB, VGA Card Dedicated NVIDIA 8600 M GT.
Cooling Pad: M Disk dengan 2 kipas 2400 RPM USB Powered (seharga 130 Ribu)
Kipas angin: Sekai 6 inci 15 watt (Rp 55.000)
Software: CoreTemp 0.0.99.5, Speed Fan 4.40 (freeware).
Kondisi Overheat pada laptop lebih mungkin karena perangkat ini ukurannya kecil dan ringkas, bahkan cenderung padat. Sistem pendinginan laptop tidak bisa maksimal seperti pada komputer deskop karena keterbatasan ruangan. Sehingga tidak memungkinkan menambah sistem pendinginan ekstra seperti kipas tambahan, ice cooling atau water cooling seperti pada komputer desktop (terutama komputer dekstop yang di-overclock)
Salah satu cara populer untuk mendinginkan laptop adalah dengan menggunakan cooling pad. Cooling pad adalah alas laptop dengan satu atau dua kipas yang akan mengurangi panas yang keluar dari bagian bawah laptop. Namun bagi beberapa user, cooling pad ini tidak memuaskan. Terutama bagi user yang sering menggunakan laptop untuk aktivitas full load yang memaksa komputer bekerja sampai ambang maksimal, misalnya video editing atau game 3D. Dalam beberapa kasus lain, laptop yang sudah cukup berumur juga rentan overheat walau dalam kondisi idle. Ini dikarenakan kipas pendingin laptop tidak berfungsi dengan baik karena dipenuhi debu atau kotor.
Solusi untuk laptop yang berumur ini cukup mudah. Kita tingal membuka casing belakang laptop, lalu membersihkan komponen-komponen di dalamnya dengan menggunakan sikat yang lembut serta air blower. Penggunaan air blower yang umum digunakan untuk membersihkan kamera ini cukup efektif. Bersihkan bagian yang rentan panas, terutama kipas dan kisi-kisi pembuangan dari debu. Setelah dibersihkan lalu dengan menggunkan bantuan cooling pad maka laptop akan berjalan lancar lagi. Sebaiknya sisihkan waktu satu atau dua bulan sekali untuk membersihkan laptop, karena investasi yang mahal ini memerlukan perawatan rutin.
Solusi cooling pad ini tidak selalu memuaskan bagi user yang sering menggunakan laptopnya hingga batas maksimal. Solusi yang pernah saya coba adalah memasang cooling pad serta menggunakan kipas angin kecil yang disimpan di belakang laptop. Tentu hal ini akan merepotkan bila laptop kita sangat mobile. Tetapi bagi para user laptop yang stationer atau tidak terlalu mobile, solusi ini cukup ampuh. Udara panas yang keluar dari bagian belakang laptop akan segera didinginkan oleh kipas kecil tersebut. Solusi sederhana, walau agak ribet ini, lumayan ampuh dan murah. Bahkan bila dibandingkan dengan menggunakan cooling pad berkualitas bagus yang harganya mencapai Rp. 100.000 - 200.0000, penggunaan kipas angin lebih murah. Kipas angin kecil dengan konsumsi listrik sekitar 15 watt harganya antara Rp. 50.000 sampai Rp. 100.0000.
Tetapi solusi ini juga pada perkembangannya kembali mengalami masalah karena laptop yang sudah berumur cenderung lebih mudah overheat. Dalam beberapa kesempatan setelah bermain game Modern Warfare 2 dengan resolusi native 1280 X 800 serta setting VGA menengah, laptop saya mengalami overheat serta crash. Kemudian setting resolusi screen pada game diubah ke resolusi minimal yaitu 800 X 600 tanpa anti aliasing. Sistem kembali crash, padahal sudah menggunakan setting minimal dengan kualitas gambar yang menyakitkan mata (jaggy). Hal tersebut juga terjadi saat saya melakukan rendering dan konversi format video dari *.Avi menjadi *,m2p (dvd). Beberapa menit sebelum konversi selesai komputer mengalami overheat dan kemudian crash. Menjadi sangat menyebalkan karena konversi ini membutuhkan waktu berjam-jam, yang tentu harus diulang lagi setelah komputer crash karena file yang dihasilkan tidak dapat dipakai.
Karena latop saya sudah cukup berumur dan tidak bergaransi lagi, saya membuka tutup casing belakang (back cover). Komponen di dalamnya saya bersihkan lalu laptop diletakkan di atas cooling pad. Back cover saya lepas dengan tujuan mempermudah aliran udara panas dari dalam laptop keluar dari dalam laptop. Aliran udara panas ini keluar lalu diserap dan didinginkan oleh cooling pad di bawahnya. Untuk hasil maksimal, saya juga mengganjal bagian belakang laptop dengan potongan sendal jepit bekas setinggi lebih kurang 3 cm yang berfungsi membuat bagian belakang laptop lebih tinggi dan ada ruangan/jarak antara bagian belakang dengan cooling pad. Lalu di bagian belakang laptop saya pasang kipas angin kecil dengan kecepatan maksimal.
Setelah itu diukur menggunakan software Speed Fan 4.0 dan Core Temp 0.0.99.5, suhu prosesor pada saat idle mencapai titik terendah yakni 35 - 40 derajat celcius. Sedangkan suhu VGA card (laptop saya menggunakan VGA card dedicated 512 MB) hanya berkisar pada 50-55 derajat Celcius (Speed Fan 4.0).Sebelum back cover dibuka, dengan metode yang sama hanya diperoleh suhu idle 45-50 derajat celcius. Tetapi setelah back cover dibuka, setelah satu jam bermain game Modern Warfare 2, suhu tertinggi prosesor hanya mencapai angka 65-70 derajat celcius, sedangkan suhu VGA hanya menyentuh angka tertinggi 75-80 derajat celcius. Laptop juga tidak lagi mengalami crash padahal saya menggunakan setting native 1280 X 800 dengan anti aliasing 2X. Hal serupa terjadi saat melakukan konversi video dengan Canopus Procoder 3.0. Pada konversi ini prosesor dipaksa bekerja full load 100% selama sekitar 60-90 menit - 120 menit(untuk video sepanjang 60 menit). Video berhasil dikonversi hingga selesai tanpa crash karena overheat. Suhu prosesor hanya mencapai 65-70 derajat celcius (full load) dan suhu VGA card hanya berada maksimal di angka 65 derajat celcius.Hal ini berbeda, karena sebelum membuka casing, suhu prosesor mencapai 80-90 derajat celsius, dan VGA Card di atas 88 derajat celcius. Sistem menjadi crash saat suhu mencapai 90 - 100 derajat celcius. Suhu yang ideal untuk menggoreng telur, bukan untuk laptop kita.
Tentu saja kekurangan sistem pendingin sederhana ini adalah terbukanya peluang kerusakan pada komponen laptop bila kita tidak hati-hati menyimpannya. Sebaiknya laptop disimpan di atas cooling pad yang bersih dari debu dan digunakan dengan hati-hati. Selain itu bila laptop hendak disimpan/dibawa, kita jangan sampai lupa menutup kembali back cover yang terbuka agar komponen di dalamnya tidak rusak akibat terkena gesekan atau kemasukan benda-benda yang tajam seperti paper clip, pinsil, dll. Selain itu, frekuensi pembersihan pun harus lebih sering, karena bagian yang terbuka tentu mengundang lebih banyak debu ke dalamnya.Usahakan juga meja kerja tetap bersih dari berbagai macam debu dan kotoran, serta benda-benda kecil yang dapat nyelonong masuk ke dalam bodi laptop dan mengakibatkan kerusakan fisik.Kita pun harus sering membersihkan cooling pad dan kipas angin agar tetap berfungsi dalam kondisi optimal tanpa gangguan debu yang menempel.
Mengenai software, CoreTemp 0.0.99.5 berfungsi untuk mengetahui kondisi suhu prosesor serta melakukan soft reset/auto shutdown bila suhu prosesor mencapai batas 90 derajat celcius. Sedangkan softaware gratis Speed Fan 4.40 lebih untuk mengatur kecepatan kipas pada prosesor dan VGA Card. Speed fan juga mengukur suhu VGA Card (CoreTemp tidak) saat idle hingga full load dan menyesuaikan kondisi kecepatan kipas sesuai suhu VGA Card.
Semoga bermanfaat.
Notebook: Acer Aspire 5920 G dengan Windows 7 32 Bit. Core2Duo T7500 (2,2 ghz), RAM 2 GB, VGA Card Dedicated NVIDIA 8600 M GT.
Cooling Pad: M Disk dengan 2 kipas 2400 RPM USB Powered (seharga 130 Ribu)
Kipas angin: Sekai 6 inci 15 watt (Rp 55.000)
Software: CoreTemp 0.0.99.5, Speed Fan 4.40 (freeware).
Solusi Meredam Overheat Pada Laptop (Foto)
http://6ix2o9ine.blogspot.com
Kondisi CPU idle setelah menggunakan metode pendinginan Kipas Angin + Buka Back Cover. Angka merah adalah suhu prosesor idle, angka biru adalah suhu GPU/VGA idle. |
Kondisi CPU idle kondisi normal/tanpa pendinginan. Perhatikan pada kondisi idle prosesor dan GPU/VGA, 7 derajat lebih panas dibanding kondisi buka back cover. |
Pemasangan kipas di balik laptop. Kipas diarahkan ke arah pembuangan panas. |
Ganjal peninggi/extender setinggi 3 cm untuk membuat ruang lebih luas antara bodi laptop dengan cooling pad. |
Inilah kondisi peranti pendingin ekstra tanpa laptop. Cooling pad dengan dari dua kipas dengan bahan dasar logam, ganjal karet dari sendal jepit bekas/matras karet, serta kipas angin kecil.. |
Bagian bawah laptop dalam kondisi utuh. |
Buka back cover dengan hati-hati. Simpan mur di tempat aman jangan sampai hilang. |
Seluruh sistem pendinginan laptop berpusat pada kipas ini. Selain bertugas mendinginkan prosesor, juga untuk mendinginkan seluruh bagian laptop, termasuk panas yang keluar dari GPU/VGA. |
Bersihkan kipas dari debu dengan menggunakan air blower. Bersihkan pula lubang-lubang pembuangan udara panas di bagian lain. |
Komponen heat spreader bawaan laptop. Bersama kipas, komponen ini mendinginkan udara panas laptop. Bagian memanjang berwarna marah tembaga adalah penghantar panas dari prosesor atau GPU (?). |
5.03.2010
PERSIB
http://6ix2o9ine.blogspot.com
Ieu mah carita teh aya patula-patalina jeung Persib Bandung. Najan kajadianana geus lila pisan, jaman kompetisi anyar pindah ka Liga Indonesia.
Harita teh taun 1998. Kuring masih kuliah. Ari karesep teh harita kana nulis sajak. Meureun keur mah lingkungan kuring hirup di antara peminat sastra, katurug-turug sakola oge ngeunaan sastra. Lian ti eta, sajak kungsi jadi ekspresi estetis kuring ngeunaan pulitik di lemah cai di taun 1998 nu keur genting--gentingna. Jadi we nulis sajak teh bagean tina hirup kuring harita. Sabenerna aya hiji alesan deui naha kuring bet remen nulis sajak, nyaeta alantaran keur ticengklak hate. Apanan cenah nulis sajak mah bakal leuwih daria mun keur gandrung asmara atawa keur hate ngoceak.
Di antara loba panyajak, kuring resep pisan ka sajak-sajakna Kang Toto ST. Radik. Dumeh, sajak-sajakna dipikawanoh dina carpon Balada si Roy (Gola Gong) nu dibaca mangsa kuring SMA keneh. Oge lantaran sajak-sajak Kang Toto teh meni plastis, asa bisaan pisan marigelkeun kecap jeung ma'na.
Alatan ku resep tea, kuring harita nyiar alamatna. Nya meunang pisan ti kang Bambang Q. Anees, koleha-na kang Toto sasama urang Serang (mun teu salah mah aktivis di LiSt, Serang). Berengbeng we harita teh leos ka Serang Banten. ka Panancangan, ka bumina kang Toto. Barang tepi teh harita kang Toto keur suwung. Masih keneh di lapangan, da harita mah kang Toto teh masih dines di BKKBN Banten minangka PNS tenaga penyuluh.
Teuing sabaraha lila, panggih we jeung kang Toto. Bari sanduk-sanduk menta hampura alatan teu ngabejaan ti anggangna. Bubuhan harita mah internet jeung hape acan usum. Iwal ti jang nu kaya jeung aktivis we harita mah. Alhamdulillah, kang Toto teu nganaha-naha. Nya ti dinya uplek we ngobrol tepi ka peuting.
Meh bada isya, kuring dianter ka kosan sobat kuring, Ceu Yos. Harita teh Yos geus gawe di Serang da sakolana geus beres. Teuing harita ngobrol naon di imah Yos, ngan nu kuring inget basa rek balik, Yos ngeupeulan duit. "Jang roko" cenah. Harita kuring masih keneh nyandu roko. Teu talangke, diasupkeun we kana pesak duit teh. Lumayan. Keur mah emang duit kuring ge kari saongkoseun pisan ka Bandung.
Memeh balik kang Toto kungsi ngajak dahar heula. Poho deui di mana, ngan harita teh diajak dahar Sate Bandeng, kadahareun has Serang, nu sumpah, tepi ka poe ieu masih inget keneh wae rasana nu gurih tur pelem. Bari dahar teh angger ngobrolkeun su'al sastra, Balada Si Roy, tepi ka proses kreatif kang Toto. Obrolan uplek tepi ka tengah peuting dibarung ku manggelas-gelas cikopi jeung roko.
Lantaran isukanana kuring kudu aya di Jatinangor, nya peuting eta keneh kuring amitan. rek tuluy balik. Kang Toto teu kungsi nganteur ka terminal, ngan ongkos angkot mah dipangmayarkeun. Tepi ka terminal Ciceri, kuring laha-loho neangan beus jurusan Bandung.
Teuing lantaran ku geus tunduh teuing emang caliwera, harita kuring nempo dina kaca hareup beus teh aya stiker badag tulisan PERSIB. "Ah, pasti ieu beus ka Bandung", cekeng teh. Kalacat we naek beus. Diuk teh di tukang da ngarah bisa ngaroko.
Teu lila beus teh maju ngageuleuyeung. Kuring ngadon reup sare da tunduh balas kurang sare sababaraha poe samemehna. Sabot keur ngeunah-ngeunah peureum, di palebah tol, kuring dihudangkeun ku kondektur. "Ongkosna A", cenah.
Song we duit ku kuring diasongkeun, "Ka Bandung Kang. Di Kebon Kalapa gugahkeun nya", cek kuring bari humandeuar. Tunduh keneh.
Ti dinya si kondektur ngaheneg, "Ka Kebon Kalapa?"
"Enya"
"Tapi Kang da ieu mah beus anu jurusan ka Cirebon!"
Cirebon? Cilaka dua belas!! Paingan sabot lilir heran, naha beus teh lempeng wae siga teu kaluar ti tol. Teu asup wae ka Puncak atawa Cianjur. Horeng beus nu nerapkeun tulisan PERSIB teh jurusan...Cirebon! Paingan we malipir make jalur Pantura.
Sajajalan tepi ka Cirebon kuring teu bisa sare, antara hayang seuri ku polah sorangan, oge lantaran gegebegan sieun ongkos kurang. Untung harita dikeupeulan ku Yos, Jadi barang tepi ka Cirebon, kuring bisa nyambung deui beus nu ka Jatinangor.
Duh, gara-gara PERSIB!!!
Ieu mah carita teh aya patula-patalina jeung Persib Bandung. Najan kajadianana geus lila pisan, jaman kompetisi anyar pindah ka Liga Indonesia.
Harita teh taun 1998. Kuring masih kuliah. Ari karesep teh harita kana nulis sajak. Meureun keur mah lingkungan kuring hirup di antara peminat sastra, katurug-turug sakola oge ngeunaan sastra. Lian ti eta, sajak kungsi jadi ekspresi estetis kuring ngeunaan pulitik di lemah cai di taun 1998 nu keur genting--gentingna. Jadi we nulis sajak teh bagean tina hirup kuring harita. Sabenerna aya hiji alesan deui naha kuring bet remen nulis sajak, nyaeta alantaran keur ticengklak hate. Apanan cenah nulis sajak mah bakal leuwih daria mun keur gandrung asmara atawa keur hate ngoceak.
Di antara loba panyajak, kuring resep pisan ka sajak-sajakna Kang Toto ST. Radik. Dumeh, sajak-sajakna dipikawanoh dina carpon Balada si Roy (Gola Gong) nu dibaca mangsa kuring SMA keneh. Oge lantaran sajak-sajak Kang Toto teh meni plastis, asa bisaan pisan marigelkeun kecap jeung ma'na.
Alatan ku resep tea, kuring harita nyiar alamatna. Nya meunang pisan ti kang Bambang Q. Anees, koleha-na kang Toto sasama urang Serang (mun teu salah mah aktivis di LiSt, Serang). Berengbeng we harita teh leos ka Serang Banten. ka Panancangan, ka bumina kang Toto. Barang tepi teh harita kang Toto keur suwung. Masih keneh di lapangan, da harita mah kang Toto teh masih dines di BKKBN Banten minangka PNS tenaga penyuluh.
Teuing sabaraha lila, panggih we jeung kang Toto. Bari sanduk-sanduk menta hampura alatan teu ngabejaan ti anggangna. Bubuhan harita mah internet jeung hape acan usum. Iwal ti jang nu kaya jeung aktivis we harita mah. Alhamdulillah, kang Toto teu nganaha-naha. Nya ti dinya uplek we ngobrol tepi ka peuting.
Meh bada isya, kuring dianter ka kosan sobat kuring, Ceu Yos. Harita teh Yos geus gawe di Serang da sakolana geus beres. Teuing harita ngobrol naon di imah Yos, ngan nu kuring inget basa rek balik, Yos ngeupeulan duit. "Jang roko" cenah. Harita kuring masih keneh nyandu roko. Teu talangke, diasupkeun we kana pesak duit teh. Lumayan. Keur mah emang duit kuring ge kari saongkoseun pisan ka Bandung.
Memeh balik kang Toto kungsi ngajak dahar heula. Poho deui di mana, ngan harita teh diajak dahar Sate Bandeng, kadahareun has Serang, nu sumpah, tepi ka poe ieu masih inget keneh wae rasana nu gurih tur pelem. Bari dahar teh angger ngobrolkeun su'al sastra, Balada Si Roy, tepi ka proses kreatif kang Toto. Obrolan uplek tepi ka tengah peuting dibarung ku manggelas-gelas cikopi jeung roko.
Lantaran isukanana kuring kudu aya di Jatinangor, nya peuting eta keneh kuring amitan. rek tuluy balik. Kang Toto teu kungsi nganteur ka terminal, ngan ongkos angkot mah dipangmayarkeun. Tepi ka terminal Ciceri, kuring laha-loho neangan beus jurusan Bandung.
Teuing lantaran ku geus tunduh teuing emang caliwera, harita kuring nempo dina kaca hareup beus teh aya stiker badag tulisan PERSIB. "Ah, pasti ieu beus ka Bandung", cekeng teh. Kalacat we naek beus. Diuk teh di tukang da ngarah bisa ngaroko.
Teu lila beus teh maju ngageuleuyeung. Kuring ngadon reup sare da tunduh balas kurang sare sababaraha poe samemehna. Sabot keur ngeunah-ngeunah peureum, di palebah tol, kuring dihudangkeun ku kondektur. "Ongkosna A", cenah.
Song we duit ku kuring diasongkeun, "Ka Bandung Kang. Di Kebon Kalapa gugahkeun nya", cek kuring bari humandeuar. Tunduh keneh.
Ti dinya si kondektur ngaheneg, "Ka Kebon Kalapa?"
"Enya"
"Tapi Kang da ieu mah beus anu jurusan ka Cirebon!"
Cirebon? Cilaka dua belas!! Paingan sabot lilir heran, naha beus teh lempeng wae siga teu kaluar ti tol. Teu asup wae ka Puncak atawa Cianjur. Horeng beus nu nerapkeun tulisan PERSIB teh jurusan...Cirebon! Paingan we malipir make jalur Pantura.
Sajajalan tepi ka Cirebon kuring teu bisa sare, antara hayang seuri ku polah sorangan, oge lantaran gegebegan sieun ongkos kurang. Untung harita dikeupeulan ku Yos, Jadi barang tepi ka Cirebon, kuring bisa nyambung deui beus nu ka Jatinangor.
Duh, gara-gara PERSIB!!!
3.10.2010
EKSOTIS: KATA YANG SERING DIPAKAI TAPI TIDAK KITA PAHAMI
http://6ix2o9ine.blogspot.com
Dalam berbagai kesempatan, saya seringkali mendengar atau membaca kata 'eksotis' diterapkan. Mulai dari aktivitas rumahan, pendidikan, hingga iklan. Dalam suatu kesempatan presentasi karya (video) akhir tahun lalu, penyelenggara memberi judul "Exotic Mentawai" untuk presentasi itu. Suatu hal yang sangat saya tidak setuju karena apa yang disajikan bukanlah suatu eksotika, juga karena pandangan ideologi saya akan kata ‘eksotik’ itu sendiri.
Untuk mengetahui apa itu ‘eksotis’, sebaiknya kita membuka kamus. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI 1976), eksotis didefinisikan sebagai: asing; jarang dapat (aneh, ganjil, luar biasa); garib; mis: banyak orang asing merasakan pertunjukan wayang sebagai sesuatu yang eksotis.(KUBI, 1976: 268). Sedangkan menurut Microsoft Encarta Dictionary 2009, kata exotic (adjective) didefinisikan sebagai strikingly different: strikingly unusual and often very colorful and exciting or suggesting distant countries and unfamiliar cultures. Dalam tesaurusnya, exotic (adjective) adalah: 1. unusual, out of the ordinary, striking, interesting, bizarre, mysterious, glamorous, colorful, outlandish, strange, different, exceptional. antonym: ordinary 2. from abroad. from abroad, tropical, alien, foreign antonym: familiar
Dengan memperhatikan definisi/batasan kata dari kamus dan tesaurus di atas kita bisa mendapat pemahaman tentang apa sih eksotika itu sebenarnya. Eksotika ternyata sangat berhubungan dengan cara pandang orang kulit putih (baca: Barat) dalam menilai dan memandang sesuatu yang mereka anggap tidak familiar dengan kehidupan mereka sehari-hari. Sebagai suatu keganjilan, keanehan di dunia tropis (ingat Indonesia berada di wilayah tropis!), dan sangat terasing.
Apa yang mereka rumuskan dalam kata eksotik itu kemudian kita telan utuh tanpa pernah berusaha untuk memahaminya dalam cara pandang timur-barat. Sebagai suatu bangsa yang besar dan beragam, serta kekayaan alam yang sangat banyak, kita dianggap sebagai 'sesuatu yang asing; alien' oleh peradaban barat. Celakanya, banyak di antara kita yang mengenyam pendidikan kemudian menelan mentah semua itu, mengaminini setiap kata yang dijejalkan, dan mengubahnya menajdi identitas kita.
Saya percaya bila memang ada upaya upaya politik pengaburan identitas agar kita lupa pada kekhasan budaya kita, pada identitas kita. Melalui pendidikan, tontotan televisi dan film, ideologi berkesenian tertentu, perlahan-lahan kita dicabut dari peradaban dan identitas kita sendiri.
Jejak-jejak itu, masih tampak dalam wilayah fotografi kita yang masih didominasi logika fotografi salon. Sebagaimana kita tahu, fotografi salon lahir di Indonesia pada era kolonialisme Belanda. Melalui agensi fotografi Woodbury and Page, dicitrakanlah Indonesia (Hindia Belanda) dalam foto-foto dengan label eksotis, yang disebarkan ke seluruh Eropa dalam bentuk foto kenang-kenangan (carte de visite),kartu pos, dan buku foto/photo book. Hal tersebut semakin dikukuhkan saat harga peralatan fotografi semakin murah dengan datangnya produk Kodak Brownie ke Hindia Belanda. Fotografer amatir bermunculan, bahkan terbit juga majalah khusus Fotografi 'De Camera' yang mengutamakan dogma estetika yang tinggi. Dogma estetika tinggi ini juga yang hingga kini masih menguasai benak para pelaku fotografi Indonesia. Mulai dari pelaku, industri, konsumen, dan pasar, kerap kali mengutamakan dogma ini. Dogma ini juga kerapkali menggunakan kata eksotis yang diterapkan pada foto-foto dengan konten komunitas masyarakat adat/lokal, perempuan-perempuan berwajah asia (asiatic), hingga pesona alam tropis.
Dalam dunia seni lukis, sejarah ribut-ribut aliran lukisan Mooi Indie tentu tidak boleh dilupakan. Karena pada aliran itulah Indonesia selalu digambarkan sebagai negeri yang cantik, aman,sentosa, dan sejahtera, yang tentu saja menarik banyak perhatian dan keinginan bangsa lain untuk memiliki (dan menjarahnya)
Di sinilah timbul permasalahan sebenarnya, karena kata eksotis tersebut, kita terapkan juga untuk menilai foto-foto yang sebetulnya berisikan citra masyarakat kita sendiri. Sebagai sesama orang Indonesia yang hidup di alam tropis, kita dengan mudah memberi label kata 'eksotis' pada foto-foto tentang diri kita sendiri. Dengan ketidaktahuan (atau ke-tidak ingin tahu-an?) kita memberi label pada diri kita sebagai 'asing, alien, tidak familiar, sangat berbeda'.
Penjajahan itu masih berlangsung ternyata. Dulu kita dijajah dan diperebutkan bangsa Portugis, Belanda, Inggris, dan Jepang secara fisik, kini kita dijajah melalui kata 'eksotik'. Celakanya, yang menjajah adalah diri kita sendiri. Kita bahkan tidak bisa bersahabat dengan saudara kita sendiri yang masih satu negara, satu wilayah kesatuan, serta satu panji-panji hanya melalui satu kata" eksotik. Kita menjajah saudara-saudara kita dan menaklukkannya dalam foto-foto berlabel eksotis yang kita anggap sebagai trofi kemenangan.
Kita sudah kehilangan sebagian Irian 1) karena Freeport menjadi representasi penjajahan Amerika Serikat di sana. Kita sudah kehilangan Indonesia saat modal asing menguasai jalur telekomunikasi kita melalui kepemilikan saham di operator-operator komunikasi. Kita sejatinya sudah kehilangan kedaulatan saat Jakarta dan kota-kota besar lainnya dikuasai modal asing. Kita juga kehilangan kedaulatan karena kita menjajah saudara-saudara kita sendiri dengan melabeli mereka dengan kata eksotis pada foto-foto yang kita buat. Jadi, masihkah kita mau menilai diri kita sendiri sebagai eksotis?
10 Maret 2010 M/26 Rabiul Awal 1431 H
Ricky N. Sastramihardja
Pecinta Kopi dan Fotografi
==========================================
1) Dengan tanpa mengurangi rasa hormat, saya lebih menyukai memanggil Papua dengan IRIAN. IRIAN adalah akronim dari Ikut Republik Indonesia Anti Nederland, yang diberikan oleh Soekarno dalam upaya pembebasan Papua Barat dari Belanda tahun 1969.
Referensi:
1. Michael Risdianto. Kantor Berita Foto Indonesian Press Photo Service (IPPHOS) 1946-1980: Studi Tentang Dinamika Institusi Fotojurnalistik di Indonesia. Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran, Jatinangor. Tidak Dipublikasikan.
2. Yudhi Soerjoatmodjo. The Challenge of Space : Photography in Indonesia, 1841-1999.Tempo, 16 Januari 2000: 172). Dapat dibaca secara online di: http://www.angelfire.com/id/mosista/article1.html
3.Jurnal Kebudayaan Kalam edisi 2 - 1994.
4. W.J.S. Poerwadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI). Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen P dan K. PN Balai Pustaka: Jakarta.
5. Microsoft Encarta 2009 Dictionary versi 16.0.0.1117
Dalam berbagai kesempatan, saya seringkali mendengar atau membaca kata 'eksotis' diterapkan. Mulai dari aktivitas rumahan, pendidikan, hingga iklan. Dalam suatu kesempatan presentasi karya (video) akhir tahun lalu, penyelenggara memberi judul "Exotic Mentawai" untuk presentasi itu. Suatu hal yang sangat saya tidak setuju karena apa yang disajikan bukanlah suatu eksotika, juga karena pandangan ideologi saya akan kata ‘eksotik’ itu sendiri.
Untuk mengetahui apa itu ‘eksotis’, sebaiknya kita membuka kamus. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI 1976), eksotis didefinisikan sebagai: asing; jarang dapat (aneh, ganjil, luar biasa); garib; mis: banyak orang asing merasakan pertunjukan wayang sebagai sesuatu yang eksotis.(KUBI, 1976: 268). Sedangkan menurut Microsoft Encarta Dictionary 2009, kata exotic (adjective) didefinisikan sebagai strikingly different: strikingly unusual and often very colorful and exciting or suggesting distant countries and unfamiliar cultures. Dalam tesaurusnya, exotic (adjective) adalah: 1. unusual, out of the ordinary, striking, interesting, bizarre, mysterious, glamorous, colorful, outlandish, strange, different, exceptional. antonym: ordinary 2. from abroad. from abroad, tropical, alien, foreign antonym: familiar
Dengan memperhatikan definisi/batasan kata dari kamus dan tesaurus di atas kita bisa mendapat pemahaman tentang apa sih eksotika itu sebenarnya. Eksotika ternyata sangat berhubungan dengan cara pandang orang kulit putih (baca: Barat) dalam menilai dan memandang sesuatu yang mereka anggap tidak familiar dengan kehidupan mereka sehari-hari. Sebagai suatu keganjilan, keanehan di dunia tropis (ingat Indonesia berada di wilayah tropis!), dan sangat terasing.
Apa yang mereka rumuskan dalam kata eksotik itu kemudian kita telan utuh tanpa pernah berusaha untuk memahaminya dalam cara pandang timur-barat. Sebagai suatu bangsa yang besar dan beragam, serta kekayaan alam yang sangat banyak, kita dianggap sebagai 'sesuatu yang asing; alien' oleh peradaban barat. Celakanya, banyak di antara kita yang mengenyam pendidikan kemudian menelan mentah semua itu, mengaminini setiap kata yang dijejalkan, dan mengubahnya menajdi identitas kita.
Saya percaya bila memang ada upaya upaya politik pengaburan identitas agar kita lupa pada kekhasan budaya kita, pada identitas kita. Melalui pendidikan, tontotan televisi dan film, ideologi berkesenian tertentu, perlahan-lahan kita dicabut dari peradaban dan identitas kita sendiri.
Jejak-jejak itu, masih tampak dalam wilayah fotografi kita yang masih didominasi logika fotografi salon. Sebagaimana kita tahu, fotografi salon lahir di Indonesia pada era kolonialisme Belanda. Melalui agensi fotografi Woodbury and Page, dicitrakanlah Indonesia (Hindia Belanda) dalam foto-foto dengan label eksotis, yang disebarkan ke seluruh Eropa dalam bentuk foto kenang-kenangan (carte de visite),kartu pos, dan buku foto/photo book. Hal tersebut semakin dikukuhkan saat harga peralatan fotografi semakin murah dengan datangnya produk Kodak Brownie ke Hindia Belanda. Fotografer amatir bermunculan, bahkan terbit juga majalah khusus Fotografi 'De Camera' yang mengutamakan dogma estetika yang tinggi. Dogma estetika tinggi ini juga yang hingga kini masih menguasai benak para pelaku fotografi Indonesia. Mulai dari pelaku, industri, konsumen, dan pasar, kerap kali mengutamakan dogma ini. Dogma ini juga kerapkali menggunakan kata eksotis yang diterapkan pada foto-foto dengan konten komunitas masyarakat adat/lokal, perempuan-perempuan berwajah asia (asiatic), hingga pesona alam tropis.
Dalam dunia seni lukis, sejarah ribut-ribut aliran lukisan Mooi Indie tentu tidak boleh dilupakan. Karena pada aliran itulah Indonesia selalu digambarkan sebagai negeri yang cantik, aman,sentosa, dan sejahtera, yang tentu saja menarik banyak perhatian dan keinginan bangsa lain untuk memiliki (dan menjarahnya)
Di sinilah timbul permasalahan sebenarnya, karena kata eksotis tersebut, kita terapkan juga untuk menilai foto-foto yang sebetulnya berisikan citra masyarakat kita sendiri. Sebagai sesama orang Indonesia yang hidup di alam tropis, kita dengan mudah memberi label kata 'eksotis' pada foto-foto tentang diri kita sendiri. Dengan ketidaktahuan (atau ke-tidak ingin tahu-an?) kita memberi label pada diri kita sebagai 'asing, alien, tidak familiar, sangat berbeda'.
Penjajahan itu masih berlangsung ternyata. Dulu kita dijajah dan diperebutkan bangsa Portugis, Belanda, Inggris, dan Jepang secara fisik, kini kita dijajah melalui kata 'eksotik'. Celakanya, yang menjajah adalah diri kita sendiri. Kita bahkan tidak bisa bersahabat dengan saudara kita sendiri yang masih satu negara, satu wilayah kesatuan, serta satu panji-panji hanya melalui satu kata" eksotik. Kita menjajah saudara-saudara kita dan menaklukkannya dalam foto-foto berlabel eksotis yang kita anggap sebagai trofi kemenangan.
Kita sudah kehilangan sebagian Irian 1) karena Freeport menjadi representasi penjajahan Amerika Serikat di sana. Kita sudah kehilangan Indonesia saat modal asing menguasai jalur telekomunikasi kita melalui kepemilikan saham di operator-operator komunikasi. Kita sejatinya sudah kehilangan kedaulatan saat Jakarta dan kota-kota besar lainnya dikuasai modal asing. Kita juga kehilangan kedaulatan karena kita menjajah saudara-saudara kita sendiri dengan melabeli mereka dengan kata eksotis pada foto-foto yang kita buat. Jadi, masihkah kita mau menilai diri kita sendiri sebagai eksotis?
10 Maret 2010 M/26 Rabiul Awal 1431 H
Ricky N. Sastramihardja
Pecinta Kopi dan Fotografi
==========================================
1) Dengan tanpa mengurangi rasa hormat, saya lebih menyukai memanggil Papua dengan IRIAN. IRIAN adalah akronim dari Ikut Republik Indonesia Anti Nederland, yang diberikan oleh Soekarno dalam upaya pembebasan Papua Barat dari Belanda tahun 1969.
Referensi:
1. Michael Risdianto. Kantor Berita Foto Indonesian Press Photo Service (IPPHOS) 1946-1980: Studi Tentang Dinamika Institusi Fotojurnalistik di Indonesia. Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran, Jatinangor. Tidak Dipublikasikan.
2. Yudhi Soerjoatmodjo. The Challenge of Space : Photography in Indonesia, 1841-1999.Tempo, 16 Januari 2000: 172). Dapat dibaca secara online di: http://www.angelfire.com/id/mosista/article1.html
3.Jurnal Kebudayaan Kalam edisi 2 - 1994.
4. W.J.S. Poerwadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI). Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen P dan K. PN Balai Pustaka: Jakarta.
5. Microsoft Encarta 2009 Dictionary versi 16.0.0.1117
2.21.2010
MENUNGGU ‘PEMBERONTAKAN’ FOTOGRAFI
http://6ix2o9ine.blogspot.com
Potrét manéhna. Nu katampi minggu kamari.
Dipiguraan.Disimpen dihadé-hadé.
Anteng diteuteup. Jadi batur dina simpé
Aduh éndahna
...
(Potret Si Dia. Diterima minggu lalu.
Diberi figura, disimpan dengan baik.
Terpaku menatapnya. Menjadi teman dalam sepi.
Oh indahnya...
Lagu Potret Manéhna , Ciptaan Adang Céngos & dipopulerkan Nining Méida.
---------------------------------
Teknologi fotografi dewasa ini mencapai puncak evolusinya dengan berkembangnya teknologi fotografi digital. Bila 10 tahun lalu foto tercepat adalah foto yang diproduksi dengan kamera Polaroid, sekarang ini ini foto tersaji cepat melalui ponsel berkamera (atau kamera berponsel). Tinggal klik dan langsung jadi, tidak harus dicuci cetak terlebih dulu. 10 tahun lalu fotografi analog adalah klangenan dan permainan orang dewasa, kini fotografi digital menjadi bagian dari permainan anak-anak, bahkan yang belum bisa membaca sekalipun. Teknologi fotografi dewasa ini memang sebuah pemberontakan yang mungkin tidak pernah terbayangkan oleh Joseph Niépce, Daguerre, atau bahkan Ibnu Al Haitam/Alhazen yang mewarisi dunia dasar-dasar ilmu optik 1).
Fotografi tadinya hanya milik orang dengan kasta dan penghasilan tertentu, kini menjadi sesuatu yang biasa, murah, dan mudah. Biasa, karena bahkan hanya dengan sebuah ponsel berkamera setiap orang bisa memotret apa saja yang ia inginkan. Murah, karena tidak ada lagi pengeluaran untuk membeli rol film serta biaya cuci cetak, selain membeli perangkat kamera. Mudah, karena tanpa harus belajar banyak teori teknis fotografi seseorang bisa memotret. Kapan saja, di mana saja, siapa saja. Sepertinya mengulang impian George Eastman saat melahirkan Kodak Brownie pada tahun 1900 karena menginginkan fotografi yang mudah dan murah 2).
Pada perkembangannya, fotografi sebagai alat, adalah gabungan ilmu tentang mekanika, elektronika, komputer dan informatika, piranti lunak, juga optik. Sebagai sebuah hasil atau konten, fotografi berada di banyak wilayah: dokumentasi, jurnalistik, seni, hingga ilmu kedokteran. Ilmu Fotografi kemudian menemukan jatidirinya bersamaan dengan ilmu-ilmu lain. Bahkan di dunia antropologi, fotografi menjadi salah satu hal yang harus dikuasai para antropolog sebagai metode penelitian 3). Dunia kedokteran pun sangat akrab dengan dunia fotografi, misalnya dengan penggunaan mesin rontgen untuk memotret bagian dalam tubuh manusia. Para peneliti ekologi pun menggunakan perangkat jebakan kamera (camera trap) untuk memastikan keberadaan satwa liar yang hampir punah. Ilmu sejarah yang tergantung pada ilmu-ilmu lain, menggunakan foto sebagai salahsatu cara untuk menafsirkan sejarah masa lalu. Baru-baru ini terbit sebuah buku biografi Sutan Sjahrir yang ditulis oleh wartawan senior Indonesia. Bersama Ignas Kleden, Rosihan Anwar mengurai biografi tokoh pergerakan Indonesia yang tercantum dalam 100 foto yang berhubungan secara kontekstual dengan tokoh dan ketokohan Sutan Sjahrir 4).
Para petinggi militer pun menggunakan fotografi untuk kegiatan intelejen dan mencitrakan wilayah-wilayah tertentu yang dicurigai berkaitan dengan aktivitas musuh. Saya teringat pada film The Great Raid yang diputar sebuah televisi swasta beberapa waktu lalu. Film ini berkisah bagaimana pihak Sekutu pada perang Dunia II mengirimkan satu pasukan penyelamat untuk menyelamatkan tentara Amerika yang menjadi tahanan perang (POW) di Filipina. Keberhasilan pasukan tersebut tidak lepas dari data intelijen yang menyertakan sebuah foto udara (aerial) yang menunjukan lokasi dan posisi penjara militer Jepang yang jadi target penyerbuan.
Seorang Roland Barthes menggunakan medium fotografi sebagai sarana untuk mengembangkan teorinya tentang strukturalisme. Perlu diketahui, sebelum menulis Camera Lucida: Refflection on Photography pada tahun 1980 dengan premis ‘studium’ dan ‘punctum’ untuk menjelaskan ‘the impossible text’ 5) dalam sebuah karya foto, Barthes adalah peneliti dan penulis di bidang Kesusastraan serta Cultural Studies yang sangat berminat dalam pengkajian sinema dan fotografi. Sebelum Camera Lucida, Barthes pernah menuliskan pandangannya mengenai dunia fotografi dan pencitraan dalam ‘Image-Music-Text yang terbit tahun 1977. Nama Barthes dapat disejajarkan sebagai salah satu punggawa Strukturalisme yang bersumber pada Strukturalisme yang dihujahkan oleh Ferdinand de Saussure juga C.S. Pierce dalam ilmu bahasa (linguistik).
***
Pada perkembangan fotografi di tanah air, perkembangan fotografi sebagai ilmu inter-disiplin sepertinya masih belum segempita dengan fotografi sebagai karya dokumentasi atau ekspresi estetika. Masih sangat jarang ditemukan literatur yang membahas fotografi sebagai ilmu inter-disiplin yang tidak hanya melulu berbicara tentang teknis fotografi. Sekolah-sekolah tinggi dan universitas yang mengajarkan fotografi sebagai ilmu pun masih berkutat pada fotografi praktis, yakni cara dan teori memotret yang baik dan benar.
Dengan kata lain, institusi pendidikan masih berorientasi untuk menghasilkan fotografer yang ‘juara’ dalam hal teknis dan teori tentang memotret. Tidak jauh berbeda dengan lembaga pendidikan luar sekolah atau tempat kursus fotografi yang secara praktis memang bertujuan mencetak seorang fotografer. Saya rasa ini sangat berkaitan dengan kenyataan bahwa fotografi Indonesia sangat berkaitan dengan industri pencitraan dan komodifikasi identitas yang secara ekonomi menguntungkan banyak pihak.
Bisa dilihat misalnya dunia internet adalah tempat bertukar foto paling mutakhir bagi para penggunanya. Dalam sebuah jejaring sosial yang memberikan kemudahan dalam berbagi foto, setiap saat menawarkan berbagai foto yang dibuat oleh para penggunanya. Para pengguna situs yang memang berprofesi sebagai fotografer, mengunggah karya foto-fotonya -- yang sebenarnya dapat dikatakan nyaris seragam-- mulai dari foto bergaya jurnalistik, fashion, glamour, landscape, bahkan sekedar foto dokumentasi kongkow dengan sesamanya. Para pengguna situs yang bukan fotografer pun tidak mau kalah dengan mengunggah foto-foto yang sifatnya tergolong foto dokumentasi, bahkan dokumentasi kegiatan yang sangat pribadi.
Kegiatan fotografi yang ditayangkan di televisi pun masih sekedar sebagai penarik rating belaka. Saya masih ingat beberapa waktu lalu ada sebuah stasiun televisi yang menayangkan acara behind the scene-nya pemotretan model untuk sebuah majalah hiburan pria. Acara tersebut sebetulnya sangat menarik dengan hadirnya model-model perempuan yang cantik, berpakaian minim, dan berpose sensual. Akan tetapi, diskursus yang berkembang dari acara itu hanya dua. Pertama adalah diskursus berbagi masalah proses kreatif yang umumnya membicarakan pengolahan ide dan teknis. Diskursus ke dua adalah hal yang tidak tayang yakni pembicaraan para laki-laki di luar konteks fotografi: seksualitas dada dan paha. Kedua diskursus itu menempatkan fotografi hanya sebagai media ‘penggugah’ seksualitas. Program itu juga berhasil menyudutkan fotografi hanya sebagi aktivitas motret model dan landscape saja. Persis seperti yang selalu dirisaukan seorang kolega saya dalam berbagai kesempatan diskusi.
Itulah seperti apa yang saya maksud sebagai fotografi Indonesia masih lekat dengan berkaitan dengan industri pencitraan dan komodifikasi identitas. Fotografi Indonesia memang masih sangat ganjen dengan aktivitas memotret model dan landscape, sementara persoalan-persoalan lain disisihkan karena dianggap tidak komersial. Foto-foto bertema kebudayaan Indonesia pun akhirnya terjebak pada foto yang menampilkan budaya-budaya yang dianggap an sich dan eksotis: memakai baju adat/tradisional, menari, menabuh gamelan, melakukan aktivitas ritual, dan selesai sampai situ. Dengan kata lain, fotografi Indonesia masih menyimpan jejak-jejak kolonialisme yang akut di dalam tubuhnya. Persis seperti yang dilakukan oleh Kolonialis Belanda yang memotret eksotisme Nusantara sebagai upaya menaklukan negara jajahan melalui gambar 6).
Dunia pengkajian fotografi ilmiah pun masih dimarjinalkan. Masih sangat sedikit literatur yang bisa kita temukan yang membahas fotografi dengan keterkaitannya dengan ilmu lain. Bahkan literatur sejarah fotografi di Indonesia pun masih sangat minim. Buku-buku yang sudah pernah terbit tidak pernah dicetak ulang karena nampaknya fotografer Indonesia tidak terlalu suka membaca. Ini bisa kita buktikan dengan gugurnya banyak majalah foto di Indonesia. Sepertinya tidak banyak fotografer atau akademisi di Indonesia yang mau menggali hal-hal lain di luar persoalan teknis dan teknologi fotografi. Majalah-majalah yang masih ada atau situs-situs di internet yang berbahasa Indonesia pun lebih sering mengulas produk peralatan fotografi seolah hendak menjadikan fotografer menjadi mahluk yang konsumeristis dengan jargon teknologi canggih menjanjikan gambar yang baik.
Bila dibandingkan dengan sastra Indonesia misalnya, fotografi Indonesia jauh tertinggal. Sastra dalam evolusinya, hingga dewasa ini berada di dua ranah yang berbeda yang saling berkaitan satu sama lain: sastra sebagai ilmu, dan sastra sebagai karya. Sebagai ilmu, sastra berada di wilayah penelitian dan pengkajian karya dari berbagi sudut pandang manusia. Mulai dari pembahasan bahasa, teknis penulisan, hingga penafsiran makna. Sebagai karya, sastra diproduksi dalam kemasan yang dikenal orang diantaranya sebagai puisi/sajak, cerita pendek, juga novel. Wilayah proses kreatif dalam berkarya yang berhubungan dengan sisi teknis, saya rasa berada di wilayah ini. Dari sisi komersial, sastra juga memiliki tempat tersendiri, walau untuk hal ini masih jarang dibahas. Pembahasan komodifikasi sastra umumnya dibahas sebagai bagian dari cultural studies atau post-modernism yang berada di wilayah sastra sebagai ilmu.
Contoh lain di wilayah seni rupa, seni rupa tidak melulu berkutat pada masalah cara melukis, cara membuat patung dan sebagainya. Tetapi juga menguraikan simbol-simbol dan makna yang terdapat di dalam sebuah karya. Tidak pernah rasanya saya membaca artikel tentang keberhasilan pelukis Basuki Abdullah adalah karena ia melukis menggunakan kuas, cat, dan kanvas merek tertentu. Atau tentang perupa Tisna Sanjaya yang gemilang menciptakan instalasi bambu dengan memakai bambu merek tertentu yang dipotong dengan golok dan gergaji merk tertentu, misalnya.
Sebaliknya dengan dunia fotografi Indonesia. Di dunia fotografi Indonesia merk kamera tertentu dengan jenis lensa tertentu seolah menjadi jaminan kualitas karya foto seseorang. Kualitas fotografer seolah ditentukan dengan alat dan teknis yang digunakan, bukan pada bagaimana karyanya menjadi simbol keberhasilan pengolahan gagasan kreatif. Mengenai hal ini, seorang senior dengan sebal pernah mengatakan bahwa dengan membeli xxxxx (xxxxx: merk kamera sejuta umat di Indonesia) tidak membuat seseorang menjadi fotografer.
Berbeda dengan fotografi Barat sana (baca: Amerika Serikat dan Eropa). Dengan sedikit usaha melalui Google, saya menemukan banyak sekali situs yang membicarakan fotografi sebagai diskursus non-teknikal. Dengan beberapa kali klik di sebuah situs, dalam satu malam saja saya bisa mengunduh ratusan e-book tentang fotografi dan keterkaitannya dengan banyak hal. Mulai buku panduan memotret model bugil hingga memotret bebatuan dan kekayaan mineral. Mulai dari membahas fotografi sebagai media dokumentasi, fotografi dan ideologi, hingga fotografi sebagai piranti komodifikasi dan kapitalisasi. Di dalamnya terselip juga buku-buku yang menjadikan fotografi sebagai cara untuk mengembangkan pemikiran mengenai perkembangan budaya populer dan sistem pertandaan.
***
Masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dalam upaya mengembangkan fotografi sebagai ilmu dan sebagai karya. Dari segi ilmu, dibutuhkan banyak akademisi, penulis, dan pemikir yang mau meluangkan waktunya untuk turut serta mengembangkan fotografi agar bisa berkembang menjadi ilmu dan diskursus seperti yang terjadi di dunia seni lainnya. Dari segi karya, masih sangat terbuka peluang bagi para fotografer untuk melampiaskan kegelisahan estetika dan ideologisnya menjadi karya yang bisa disejajarkan dengan fotografer luar. Tidak sekedar mengekor Ansel Adams, Henri Cartier Bresson, atau Andy Warhol misalnya, tetapi bisa memiliki ciri khas pribadi yang bisa dikenang sepanjang masa. Bagi para fotografer komersial, teknologi fotografi digital telah membuka lapangan kerja yang luas dengan berbagai kemudahan yang memanjakan.
Dari sisi lain, memang diperlukan pula komunitas fotografi yang mendukung terciptanya alam dan atmosfir yang akan menghasilkan semua itu. Komunitas tersebut bisa berupa kelompok hobi, kelompok diskusi fotografi, atau institusi pendidikan fotografi dan seni. Tanpa habitat dan ekosistem yang sesuai, keinginan itu tidak akan pernah terealisasi. Karena bagaimanapun juga, menyitir Ibnu Khaldun, manusia adalah produk yang dikonstruksi oleh pemikiran dan kebiasaan sosial lingkungan tertentu. Harapan terbesar tentu ditujukan untuk lingkungan akademis di perguruan tinggi. Karena institusi pendidikanlah yang bisa melakukan penggodogan terhadap berbagai diskursus fotografi sebagai ilmu inter-disiplin yang bisa memanusiakan manusia, mengembalikan manusia pada khittah kemanusiaanya yang beradab. Para akademisi biasanya memiliki metode yang bisa dikembangkan untuk mendidik fotografer yang mumpuni secara praktis maupun secara akademik. Hal ini perlu dilakukan agar bisa meng-counter tekanan industri dan kapitalisasi yang hanya menempatkan manusia sebagai komoditas ekonomi belaka yang divisualkan dalam foto-foto, yang sebetulnya tidak bermakna apa-apa selain estetika yang semu dan palsu.
21 Februari 2010
Ricky N. Sastramihardja
Pecinta Kopi dan Fotografi
--------------------------
1)Ibnu Al Haitham atau Alhazen (965-1039 M), adalah ilmuwan Mesir yang menemukan dasar-dasar ilmu optik. Eric Renner dalam Pinhole Photography, From Historic Technique to Digital Application (Elsevier inc, London; 2010) menjelaskan bahwa Ibnu Al Haitam ini menulis dasar teori yang kemudian dikembangkan menjadi perangkat fotografi generasi awal, kamera obskura. Teori dasar Ibnu Al Haitam ini juga kemudian dikembangkan oleh Rene Descartes dan Johannes Kepler.
2)George Eastman adalah pendiri perusahaan fotografi KODAK yang sangat berambisi untuk menjadikan fotografi sebagai kegiatan yang mudah dilakukan. Tidak hanya untuk profesional tetapi juga untuk amatir, bahkan kanak-kanak. Kecerdasannya antara lain dengan menciptakan slogan Kodak yang terkenal, “You press the button, we do the rest”, yang kemudian diwujudkannya dalam kamera Kodak Brownie di awal tahun 1900. Baca: Encylopedia of Nineteenth Century Photographs Volume I, A-I. John Hannavy (ed.); Routledge New York; 2008.
3)Baca: Visual Anthropology: Photography As a Research Method. John Collier, Malcom Collier; University of New Mexico; 1986).
4)Sutan Sjahrir: Demokrat sejati, Pejuang Kemanusiaan. H. Rosihan Anwar, Penerbit Buku Kompas, Jakarta; 2010.
5)Dalam sebuah pengkajian mengenai semiotika, ST. Soenardi dalam Semiotika Negativa (Kanal, Yogyakarta; 2002) menyebutkan bahwa Studium adalah kebutuhan kultural akan fantasi, sedangkan punctum atau punctuation adalah identitas imajiner. Perlu diketahui juga, Barthes bukanlah fotografer walau ia memiliki minat khusus terhadap itu. Tidak pernah diketahui apakah ia memiliki karya foto atau tidak. Baca juga: Roland Barthes. Graham Allen, Routledge, New York; 2003.
6)Dalam sejarah panjang Kolonialisme di Indonesia, Yudhi Soerjoatmodjo mengungkapkan bahwa fotografer-fotografer asing dari Woodbbury and Page yang bertugas di Hindia Belanda, selain memotret untuk keperluan bisnis, juga memotret untuk keperluan penaklukan negara jajahan. Foto-foto tersebut dipergunakan sebagai cara untuk mendefinisikan wilayah Nusantara dalam kepentingan Kerajaan Belanda. Di sini mungkin penafsiran fotografi secara non-fotografis melalui ilmu budaya, sosial, dan politik dilakukan untuk memetakan kondisi negara jajahan. Fotografi ini juga melahirkan fotografi salon yang kuat pengaruhnya di Indonesia hingga dewasa ini. Baca: http://www.angelfire.com/id/mosista/article1.html
Potrét manéhna. Nu katampi minggu kamari.
Dipiguraan.Disimpen dihadé-hadé.
Anteng diteuteup. Jadi batur dina simpé
Aduh éndahna
...
(Potret Si Dia. Diterima minggu lalu.
Diberi figura, disimpan dengan baik.
Terpaku menatapnya. Menjadi teman dalam sepi.
Oh indahnya...
Lagu Potret Manéhna , Ciptaan Adang Céngos & dipopulerkan Nining Méida.
---------------------------------
Teknologi fotografi dewasa ini mencapai puncak evolusinya dengan berkembangnya teknologi fotografi digital. Bila 10 tahun lalu foto tercepat adalah foto yang diproduksi dengan kamera Polaroid, sekarang ini ini foto tersaji cepat melalui ponsel berkamera (atau kamera berponsel). Tinggal klik dan langsung jadi, tidak harus dicuci cetak terlebih dulu. 10 tahun lalu fotografi analog adalah klangenan dan permainan orang dewasa, kini fotografi digital menjadi bagian dari permainan anak-anak, bahkan yang belum bisa membaca sekalipun. Teknologi fotografi dewasa ini memang sebuah pemberontakan yang mungkin tidak pernah terbayangkan oleh Joseph Niépce, Daguerre, atau bahkan Ibnu Al Haitam/Alhazen yang mewarisi dunia dasar-dasar ilmu optik 1).
Fotografi tadinya hanya milik orang dengan kasta dan penghasilan tertentu, kini menjadi sesuatu yang biasa, murah, dan mudah. Biasa, karena bahkan hanya dengan sebuah ponsel berkamera setiap orang bisa memotret apa saja yang ia inginkan. Murah, karena tidak ada lagi pengeluaran untuk membeli rol film serta biaya cuci cetak, selain membeli perangkat kamera. Mudah, karena tanpa harus belajar banyak teori teknis fotografi seseorang bisa memotret. Kapan saja, di mana saja, siapa saja. Sepertinya mengulang impian George Eastman saat melahirkan Kodak Brownie pada tahun 1900 karena menginginkan fotografi yang mudah dan murah 2).
Pada perkembangannya, fotografi sebagai alat, adalah gabungan ilmu tentang mekanika, elektronika, komputer dan informatika, piranti lunak, juga optik. Sebagai sebuah hasil atau konten, fotografi berada di banyak wilayah: dokumentasi, jurnalistik, seni, hingga ilmu kedokteran. Ilmu Fotografi kemudian menemukan jatidirinya bersamaan dengan ilmu-ilmu lain. Bahkan di dunia antropologi, fotografi menjadi salah satu hal yang harus dikuasai para antropolog sebagai metode penelitian 3). Dunia kedokteran pun sangat akrab dengan dunia fotografi, misalnya dengan penggunaan mesin rontgen untuk memotret bagian dalam tubuh manusia. Para peneliti ekologi pun menggunakan perangkat jebakan kamera (camera trap) untuk memastikan keberadaan satwa liar yang hampir punah. Ilmu sejarah yang tergantung pada ilmu-ilmu lain, menggunakan foto sebagai salahsatu cara untuk menafsirkan sejarah masa lalu. Baru-baru ini terbit sebuah buku biografi Sutan Sjahrir yang ditulis oleh wartawan senior Indonesia. Bersama Ignas Kleden, Rosihan Anwar mengurai biografi tokoh pergerakan Indonesia yang tercantum dalam 100 foto yang berhubungan secara kontekstual dengan tokoh dan ketokohan Sutan Sjahrir 4).
Para petinggi militer pun menggunakan fotografi untuk kegiatan intelejen dan mencitrakan wilayah-wilayah tertentu yang dicurigai berkaitan dengan aktivitas musuh. Saya teringat pada film The Great Raid yang diputar sebuah televisi swasta beberapa waktu lalu. Film ini berkisah bagaimana pihak Sekutu pada perang Dunia II mengirimkan satu pasukan penyelamat untuk menyelamatkan tentara Amerika yang menjadi tahanan perang (POW) di Filipina. Keberhasilan pasukan tersebut tidak lepas dari data intelijen yang menyertakan sebuah foto udara (aerial) yang menunjukan lokasi dan posisi penjara militer Jepang yang jadi target penyerbuan.
Seorang Roland Barthes menggunakan medium fotografi sebagai sarana untuk mengembangkan teorinya tentang strukturalisme. Perlu diketahui, sebelum menulis Camera Lucida: Refflection on Photography pada tahun 1980 dengan premis ‘studium’ dan ‘punctum’ untuk menjelaskan ‘the impossible text’ 5) dalam sebuah karya foto, Barthes adalah peneliti dan penulis di bidang Kesusastraan serta Cultural Studies yang sangat berminat dalam pengkajian sinema dan fotografi. Sebelum Camera Lucida, Barthes pernah menuliskan pandangannya mengenai dunia fotografi dan pencitraan dalam ‘Image-Music-Text yang terbit tahun 1977. Nama Barthes dapat disejajarkan sebagai salah satu punggawa Strukturalisme yang bersumber pada Strukturalisme yang dihujahkan oleh Ferdinand de Saussure juga C.S. Pierce dalam ilmu bahasa (linguistik).
***
Pada perkembangan fotografi di tanah air, perkembangan fotografi sebagai ilmu inter-disiplin sepertinya masih belum segempita dengan fotografi sebagai karya dokumentasi atau ekspresi estetika. Masih sangat jarang ditemukan literatur yang membahas fotografi sebagai ilmu inter-disiplin yang tidak hanya melulu berbicara tentang teknis fotografi. Sekolah-sekolah tinggi dan universitas yang mengajarkan fotografi sebagai ilmu pun masih berkutat pada fotografi praktis, yakni cara dan teori memotret yang baik dan benar.
Dengan kata lain, institusi pendidikan masih berorientasi untuk menghasilkan fotografer yang ‘juara’ dalam hal teknis dan teori tentang memotret. Tidak jauh berbeda dengan lembaga pendidikan luar sekolah atau tempat kursus fotografi yang secara praktis memang bertujuan mencetak seorang fotografer. Saya rasa ini sangat berkaitan dengan kenyataan bahwa fotografi Indonesia sangat berkaitan dengan industri pencitraan dan komodifikasi identitas yang secara ekonomi menguntungkan banyak pihak.
Bisa dilihat misalnya dunia internet adalah tempat bertukar foto paling mutakhir bagi para penggunanya. Dalam sebuah jejaring sosial yang memberikan kemudahan dalam berbagi foto, setiap saat menawarkan berbagai foto yang dibuat oleh para penggunanya. Para pengguna situs yang memang berprofesi sebagai fotografer, mengunggah karya foto-fotonya -- yang sebenarnya dapat dikatakan nyaris seragam-- mulai dari foto bergaya jurnalistik, fashion, glamour, landscape, bahkan sekedar foto dokumentasi kongkow dengan sesamanya. Para pengguna situs yang bukan fotografer pun tidak mau kalah dengan mengunggah foto-foto yang sifatnya tergolong foto dokumentasi, bahkan dokumentasi kegiatan yang sangat pribadi.
Kegiatan fotografi yang ditayangkan di televisi pun masih sekedar sebagai penarik rating belaka. Saya masih ingat beberapa waktu lalu ada sebuah stasiun televisi yang menayangkan acara behind the scene-nya pemotretan model untuk sebuah majalah hiburan pria. Acara tersebut sebetulnya sangat menarik dengan hadirnya model-model perempuan yang cantik, berpakaian minim, dan berpose sensual. Akan tetapi, diskursus yang berkembang dari acara itu hanya dua. Pertama adalah diskursus berbagi masalah proses kreatif yang umumnya membicarakan pengolahan ide dan teknis. Diskursus ke dua adalah hal yang tidak tayang yakni pembicaraan para laki-laki di luar konteks fotografi: seksualitas dada dan paha. Kedua diskursus itu menempatkan fotografi hanya sebagai media ‘penggugah’ seksualitas. Program itu juga berhasil menyudutkan fotografi hanya sebagi aktivitas motret model dan landscape saja. Persis seperti yang selalu dirisaukan seorang kolega saya dalam berbagai kesempatan diskusi.
Itulah seperti apa yang saya maksud sebagai fotografi Indonesia masih lekat dengan berkaitan dengan industri pencitraan dan komodifikasi identitas. Fotografi Indonesia memang masih sangat ganjen dengan aktivitas memotret model dan landscape, sementara persoalan-persoalan lain disisihkan karena dianggap tidak komersial. Foto-foto bertema kebudayaan Indonesia pun akhirnya terjebak pada foto yang menampilkan budaya-budaya yang dianggap an sich dan eksotis: memakai baju adat/tradisional, menari, menabuh gamelan, melakukan aktivitas ritual, dan selesai sampai situ. Dengan kata lain, fotografi Indonesia masih menyimpan jejak-jejak kolonialisme yang akut di dalam tubuhnya. Persis seperti yang dilakukan oleh Kolonialis Belanda yang memotret eksotisme Nusantara sebagai upaya menaklukan negara jajahan melalui gambar 6).
Dunia pengkajian fotografi ilmiah pun masih dimarjinalkan. Masih sangat sedikit literatur yang bisa kita temukan yang membahas fotografi dengan keterkaitannya dengan ilmu lain. Bahkan literatur sejarah fotografi di Indonesia pun masih sangat minim. Buku-buku yang sudah pernah terbit tidak pernah dicetak ulang karena nampaknya fotografer Indonesia tidak terlalu suka membaca. Ini bisa kita buktikan dengan gugurnya banyak majalah foto di Indonesia. Sepertinya tidak banyak fotografer atau akademisi di Indonesia yang mau menggali hal-hal lain di luar persoalan teknis dan teknologi fotografi. Majalah-majalah yang masih ada atau situs-situs di internet yang berbahasa Indonesia pun lebih sering mengulas produk peralatan fotografi seolah hendak menjadikan fotografer menjadi mahluk yang konsumeristis dengan jargon teknologi canggih menjanjikan gambar yang baik.
Bila dibandingkan dengan sastra Indonesia misalnya, fotografi Indonesia jauh tertinggal. Sastra dalam evolusinya, hingga dewasa ini berada di dua ranah yang berbeda yang saling berkaitan satu sama lain: sastra sebagai ilmu, dan sastra sebagai karya. Sebagai ilmu, sastra berada di wilayah penelitian dan pengkajian karya dari berbagi sudut pandang manusia. Mulai dari pembahasan bahasa, teknis penulisan, hingga penafsiran makna. Sebagai karya, sastra diproduksi dalam kemasan yang dikenal orang diantaranya sebagai puisi/sajak, cerita pendek, juga novel. Wilayah proses kreatif dalam berkarya yang berhubungan dengan sisi teknis, saya rasa berada di wilayah ini. Dari sisi komersial, sastra juga memiliki tempat tersendiri, walau untuk hal ini masih jarang dibahas. Pembahasan komodifikasi sastra umumnya dibahas sebagai bagian dari cultural studies atau post-modernism yang berada di wilayah sastra sebagai ilmu.
Contoh lain di wilayah seni rupa, seni rupa tidak melulu berkutat pada masalah cara melukis, cara membuat patung dan sebagainya. Tetapi juga menguraikan simbol-simbol dan makna yang terdapat di dalam sebuah karya. Tidak pernah rasanya saya membaca artikel tentang keberhasilan pelukis Basuki Abdullah adalah karena ia melukis menggunakan kuas, cat, dan kanvas merek tertentu. Atau tentang perupa Tisna Sanjaya yang gemilang menciptakan instalasi bambu dengan memakai bambu merek tertentu yang dipotong dengan golok dan gergaji merk tertentu, misalnya.
Sebaliknya dengan dunia fotografi Indonesia. Di dunia fotografi Indonesia merk kamera tertentu dengan jenis lensa tertentu seolah menjadi jaminan kualitas karya foto seseorang. Kualitas fotografer seolah ditentukan dengan alat dan teknis yang digunakan, bukan pada bagaimana karyanya menjadi simbol keberhasilan pengolahan gagasan kreatif. Mengenai hal ini, seorang senior dengan sebal pernah mengatakan bahwa dengan membeli xxxxx (xxxxx: merk kamera sejuta umat di Indonesia) tidak membuat seseorang menjadi fotografer.
Berbeda dengan fotografi Barat sana (baca: Amerika Serikat dan Eropa). Dengan sedikit usaha melalui Google, saya menemukan banyak sekali situs yang membicarakan fotografi sebagai diskursus non-teknikal. Dengan beberapa kali klik di sebuah situs, dalam satu malam saja saya bisa mengunduh ratusan e-book tentang fotografi dan keterkaitannya dengan banyak hal. Mulai buku panduan memotret model bugil hingga memotret bebatuan dan kekayaan mineral. Mulai dari membahas fotografi sebagai media dokumentasi, fotografi dan ideologi, hingga fotografi sebagai piranti komodifikasi dan kapitalisasi. Di dalamnya terselip juga buku-buku yang menjadikan fotografi sebagai cara untuk mengembangkan pemikiran mengenai perkembangan budaya populer dan sistem pertandaan.
***
Masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dalam upaya mengembangkan fotografi sebagai ilmu dan sebagai karya. Dari segi ilmu, dibutuhkan banyak akademisi, penulis, dan pemikir yang mau meluangkan waktunya untuk turut serta mengembangkan fotografi agar bisa berkembang menjadi ilmu dan diskursus seperti yang terjadi di dunia seni lainnya. Dari segi karya, masih sangat terbuka peluang bagi para fotografer untuk melampiaskan kegelisahan estetika dan ideologisnya menjadi karya yang bisa disejajarkan dengan fotografer luar. Tidak sekedar mengekor Ansel Adams, Henri Cartier Bresson, atau Andy Warhol misalnya, tetapi bisa memiliki ciri khas pribadi yang bisa dikenang sepanjang masa. Bagi para fotografer komersial, teknologi fotografi digital telah membuka lapangan kerja yang luas dengan berbagai kemudahan yang memanjakan.
Dari sisi lain, memang diperlukan pula komunitas fotografi yang mendukung terciptanya alam dan atmosfir yang akan menghasilkan semua itu. Komunitas tersebut bisa berupa kelompok hobi, kelompok diskusi fotografi, atau institusi pendidikan fotografi dan seni. Tanpa habitat dan ekosistem yang sesuai, keinginan itu tidak akan pernah terealisasi. Karena bagaimanapun juga, menyitir Ibnu Khaldun, manusia adalah produk yang dikonstruksi oleh pemikiran dan kebiasaan sosial lingkungan tertentu. Harapan terbesar tentu ditujukan untuk lingkungan akademis di perguruan tinggi. Karena institusi pendidikanlah yang bisa melakukan penggodogan terhadap berbagai diskursus fotografi sebagai ilmu inter-disiplin yang bisa memanusiakan manusia, mengembalikan manusia pada khittah kemanusiaanya yang beradab. Para akademisi biasanya memiliki metode yang bisa dikembangkan untuk mendidik fotografer yang mumpuni secara praktis maupun secara akademik. Hal ini perlu dilakukan agar bisa meng-counter tekanan industri dan kapitalisasi yang hanya menempatkan manusia sebagai komoditas ekonomi belaka yang divisualkan dalam foto-foto, yang sebetulnya tidak bermakna apa-apa selain estetika yang semu dan palsu.
21 Februari 2010
Ricky N. Sastramihardja
Pecinta Kopi dan Fotografi
--------------------------
1)Ibnu Al Haitham atau Alhazen (965-1039 M), adalah ilmuwan Mesir yang menemukan dasar-dasar ilmu optik. Eric Renner dalam Pinhole Photography, From Historic Technique to Digital Application (Elsevier inc, London; 2010) menjelaskan bahwa Ibnu Al Haitam ini menulis dasar teori yang kemudian dikembangkan menjadi perangkat fotografi generasi awal, kamera obskura. Teori dasar Ibnu Al Haitam ini juga kemudian dikembangkan oleh Rene Descartes dan Johannes Kepler.
2)George Eastman adalah pendiri perusahaan fotografi KODAK yang sangat berambisi untuk menjadikan fotografi sebagai kegiatan yang mudah dilakukan. Tidak hanya untuk profesional tetapi juga untuk amatir, bahkan kanak-kanak. Kecerdasannya antara lain dengan menciptakan slogan Kodak yang terkenal, “You press the button, we do the rest”, yang kemudian diwujudkannya dalam kamera Kodak Brownie di awal tahun 1900. Baca: Encylopedia of Nineteenth Century Photographs Volume I, A-I. John Hannavy (ed.); Routledge New York; 2008.
3)Baca: Visual Anthropology: Photography As a Research Method. John Collier, Malcom Collier; University of New Mexico; 1986).
4)Sutan Sjahrir: Demokrat sejati, Pejuang Kemanusiaan. H. Rosihan Anwar, Penerbit Buku Kompas, Jakarta; 2010.
5)Dalam sebuah pengkajian mengenai semiotika, ST. Soenardi dalam Semiotika Negativa (Kanal, Yogyakarta; 2002) menyebutkan bahwa Studium adalah kebutuhan kultural akan fantasi, sedangkan punctum atau punctuation adalah identitas imajiner. Perlu diketahui juga, Barthes bukanlah fotografer walau ia memiliki minat khusus terhadap itu. Tidak pernah diketahui apakah ia memiliki karya foto atau tidak. Baca juga: Roland Barthes. Graham Allen, Routledge, New York; 2003.
6)Dalam sejarah panjang Kolonialisme di Indonesia, Yudhi Soerjoatmodjo mengungkapkan bahwa fotografer-fotografer asing dari Woodbbury and Page yang bertugas di Hindia Belanda, selain memotret untuk keperluan bisnis, juga memotret untuk keperluan penaklukan negara jajahan. Foto-foto tersebut dipergunakan sebagai cara untuk mendefinisikan wilayah Nusantara dalam kepentingan Kerajaan Belanda. Di sini mungkin penafsiran fotografi secara non-fotografis melalui ilmu budaya, sosial, dan politik dilakukan untuk memetakan kondisi negara jajahan. Fotografi ini juga melahirkan fotografi salon yang kuat pengaruhnya di Indonesia hingga dewasa ini. Baca: http://www.angelfire.com/id/mosista/article1.html
2.05.2010
Menggapai Aqidah di Mentawai
also available on http://rickynsas.blogspot.com
Director's Cut. PSA untuk Badan Wakaf Alquran (BWA) Jakarta (www. wakafquran.org),
mengenai masalah transportasi ke pedalaman Pulau Siberut, Mentawai
korelasinya dengan pengembangan dakwah Islam.
Naskah-Videografi: Ricky N. Sastramihardja.
Narator: Novian Kusmana.
Peluang Dakwah di Kepulauan Seribu
Peluang Dakwah Di Kepulauan Seribu - For more funny videos, click here
Director's Cut. PSA untuk Badan Wakaf Alquran (BWA) Jakarta (www. wakafquran.org), mengenai masalah transportasi di Kabupaten Kepulauan Seribu, Jakarta korelasinya dengan pengembangan dakwah Islam. Videografi: Ricky N. Sastramihardja. Naskah-Narator: Novian Kusmana.
BH ETA X - 2003
Are You Gonna Go My Way? - For more amazing video clips, click here
My early videography project... Long time before I knew and sure that videography certainly will become one of my assignment.
MX Bloopers
MX Bloopers - For more of the funniest videos, click here
MX Blooper at local champhionship held in Bandung Indonesia on 2007. Special thx for Mr. Deni Ceuyah Kadallica. Cameraman: Agung Gumelar, Ricky N. Sastramihardja. Editor: Ricky N. Sastramihardja.
2.04.2010
Menatap Masa Depan - Serial Foto 1
12.07.2009
Saat Kematian Menjadi Pilihan
Catatan Pribadi dari Pementasan “Umang-Umang atawa Orkes Madun 2” Oleh Teater Lakon UPI
Dari pementasan naskah “Umang-umang atawa Orkes Madun 2” (selanjutnya: UUM) yang dipentaskan oleh Teater Lakon UPI pada Sabtu 5 Desember 2009 kemarin, saya akan mengawali catatan ini dengan kritis: Music score-nya OK, tetapi theme song-nya tidak begitu suka. Bukan karena jelek, tetapi karena masih kurang madun, kurang greget. Saya pikir memang harus lebih banyak mengekplorasi musik melayu, bukan dangdut. Mungkin karena kata ‘madun’ yang artinya joget, mengingatkan saya akan meriahnya musik Melayu seperti yang diceritakan seorang kawan yang lahir dan besar dalam kebudayaan Melayu di Sumatera.
Itu memang penilaian subjektif. Tetapi dari keseluruhan saya pikir Dedi Warsana cukup berhasil membawa Teater Lakon UPI ke tataran kelompok teater mahasiswa yang lebih jauh. Saya tahu persis bagaimana sulitnya membangun teater yang penuh gairah di tengah gencarnya godaan menjadi artis sinetron yang bening atau aktor film yang kinclong dengan ribuan fans yang rela melakukan apa saja untuk dekat dengan sang idola. Bahkan dewasa ini, rasanya bukan teater mahasiswa saja yang kepayahan. Kelompok-kelompok teater besar pun sepertinya mengalami fenomena yang sama. Mungkin, Facebook dan sinetron lebih menarik daripada mengeksplorasi seni peran dan berakting di atas pentas. Karena hidup bersama dan di dalam kelompok teater memerlukan aktivitas fisik, jiwa, juga militansi ekstra. Tidak sekedar sebagai penyalur ekspresi dan ideologi berkesenian.
Cukup berhasil karena UUM ini adalah adalah naskah teater yang bisa dibilang klasik dan fenomenal. Ditulis oleh alm. Arifin C. Noer, UUM merupakan sebuah naskah yang memerlukan banyak pemeran. Dari segi jumlah pemeran, UUM adalah naskah kolosal. Tentu saja bukan hal yang mudah menyatukan banyak pemain dalam teater, apalagi teater mahasiswa non-seni seperti halnya UPI. Hal ini juga dirasakan oleh Teater Tetas dalam pementasan naskah yang sama di Jakarta beberapa waktu lalu. Karena seperti saya bilang, teater bukanlah tempat yang gemerlap dan berbintang-bintang seperti sinetron. Tidak ada kelimpahan materi atau sanjungan di dunia ini, bahkan sebaliknya. Sehabis bermain para akor dan aktris teater harus pula membereskan panggung dan set-nya. Membongkar panggung, membongkar dan merapikan instalasi lampu, sampai menerima semprotan dari orangtua para aktris karena anak gadisnya bari tiba di rumah menjelang subuh dalam kedaan lusuh. Itulah mengapa saya katakan juga teater memerlukan aktivitas jiwa, fisik, dan militansi ekstra.
Saya sangat suka berbagai aspek dalam pentas ini. Sungguh. Make-up karakter yang rapi dan sangat membangun karakteristik, tata lampu yang apik, artistik panggung yang imajinatif, koreografi dan bloking yang asyik, serta kualitas akting para aktor dan aktris yang terlibat. Kotak-kotak kayu diubah dan dimanipulasi sedemikian rupa sehingga penonton percaya bahwa kotak-kotak kayu itu bisa menjelma menjadi pulau, gedung, tempat tidur, bahkan bukit yang tinggi. Kostumnya pun menarik. Terlebih kostum Waska yang menurut saya futuristik, kostum Ranggong yang bergaya rocker, atau kostum Bigayah yang sangat lonte.
Padahal, menurut sang Sutradara dalam perbincangan usai pementasan, hampir setengahnya adalah pemain baru. Selain itu seorang pemain kunci tiba-tiba menghilang sebelum gladiresik berlangsung. Walhasil Dedi Warsana terpaksa bekerja keras meringkas beberapa bagian naskah dan terpaksa turut bermain menjadi tokoh Jonathan sang Seniman, menggantikan pemainnya yang menghilang hingga pertunjukan berakhir. Saya bisa membayangkan bagaimana seorang Dedi Warsana, yang selain harus menjadi sutradara juga harus bertindak sebagai pelatih moral dan disiplin yang ketat. Pengalamannya sebagai aktor teater kawakan mampu membuat para aktor dan aktris pemula dalam UUM ini tetap militan hingga saat terakhir. Tentu saja terkecuali aktor yang menghilang itu, yang tidak kuat menahan tekanan mental bahkan jauh sebelum pertunjukan mulai.
Walau demikian, masih ada pertanyaan lain, terutama dari segi make up karakter yang menurut saya masih ‘begitu-begitu juga’. Seolah menjadi suatu stereotip bahwa make-up karakter haruslah selalu seperti itu. Harus coreng-moreng di sana-ini sehingga membuat penampilan para pemeran sangat jauh dengan para aktor-aktris di sinetron atau reality show, yang walaupun jahat, miskin dan marjinal tetapi tetap terlihat ganteng dan cantik. Pada tokoh-tokoh kunci, make up tersebut memang berhasil membangun karakter, tapi pada beberapa peran kecil yang terjadi justru sebaliknya.
Dari segi cerita, UUM adalah naskah yang sangat kontekstual dengan perkembangan dunia nyata dewasa ini. UUM menceritakan fanatisme sekelompok kaum marjinal yang berprofesi sebagi perampok, copet, pelacur, serta sekumpulan masyarakat yang tidak akan pernah masuk dalam sensus negara baik-baik ini; seolah-olah berhadapan dengan kondisi di dunia nyata. Kondisi di mana sistem kleptokrasi (maling menjadi penguasa dan penguasa menjadi maling) menjadi panglima, di mana pencurian dan korupsi adalah sabda yang tak terbantahkan dan diamini banyak orang. Bagaimana sang Pemimpin kelompok marjinal-proletar itu, Waska, begitu berambisi untuk merampok dan merampas semua harta benda orang-orang kaya. Waska menekankan merampok bukan sebagai aktivitas kejahatan demi perut, tetapi sebuah perjuangan ideologis. Waska, sembuh dari sakit kerasnya setelah mengkonsumsi jamu dadar bayi yang disediakan abdinya yang setia, Ranggong dan Borok, kemudian hidup beratus tahun lamanya. Waska pun hidup dalam gelombang demi gelombang kejahatan yang ia ciptakan sendiri.
Namun bukanlah manusia bila tidak merasa bosan. Waska, Ranggong, dan Borok, merasa rindu akan masa lalu. Karena setelah semua teman-teman dan anggota kelompoknya mati, Waska yang hidup abadi setelah mengkonsumsi jamu dadar bayi, merasa sunyi. Waska merasakan bahwa kematian adalah pilihan, bukan takdir maka kemudian ia memilih dan meminta untuk mati. Waska, Ranggong, dan Borok pun akhirnya mati setelah mereka merasa lelah dan putus asa karena tak mati-mati.
Pemeran Waska pun saya pikir cukup baik untuk aktor seusianya. Sebagai karakter sentral, tokoh Waska ini sebetulnya diperankan bersamaan dengan tokoh Semar. Dengan kata lain, sang aktor harus memerankan dua karakter , Waska dan Semar, secara bergantian (double casting). Pemeranan yang berhasil lainnya saya pikir adalah pemeranan tokoh Borok. Borok adalah satir yang secara visual sangat mendukung. Tampang sangar dengan kumis baplang stereotip ala centeng tetapi dialognya cenderung kocak dan ‘nonjok’. Kerapkali tokoh ini mengucapkan kata “modar” di saat yang tepat. Atau aksen Sunda yang tiba-tiba lolos dalam beberapa dialog membuat pentas menjadi lebih hidup dan segar.
Pemeranan tokoh Borok ini juga mampu menutup kelemahan tokoh waska dan Ranggong yang dalam beberapa adegan awal tampak kedodoran karena tempo pementasan yang relatif cepat. Bahkan bisa dibilang sebetulnya tokoh Borok ini adalah tokoh penentu keberhasilan pementasan keseluruhan.
Dedi Warsana, sutradara bermain pun, bisa membuat pertunjukan ini tetap berada di relnya. Tidak lantas terjebak pada gaya pementasan longser atau lenong, walau para pemain kerapkali mengajak interaksi dengan penonton dalam monolognya. Para musisi pun saya dengar merespon para aktor-aktris di panggung dengan celetukan-celetukan yang membuat pertunjukan menjadi meriah. Satu hal yang mungkin cukup menarik adalah Dedi Warsana bisa membuat UUM ini seolah-olah menjadi sangat Sunda. Para aktor dan aktrisnya tampaknya diberi kebebasan untuk melontarkan beberapa joke atau banyolan dan dialog yang khas, yang nyunda banget.
Agak sulit memang untuk menulis opini ini secara objektif karena saya belum pernah membaca naskah atau sinopsis UUM sebelumnya. Pun saat pementasan, saya luput tidak mendapatkan brosur atau apapun itu, yang di dalamnya berisi sinopsis , nama-nama aktor dan aktris, pengantar, atau catatan lain mengenai pementasan ini. Selain itu, secara pribadi sudah lama sekali tidak berkecimpung di kelompok teater. Baik sebagai pemain, penata lampu, atau sekedar menonton. Sepanjang pementasan UUM saya harus membagi fokus antara memotret, mencerna pementasan, juga melamunkan masa lalu. Di sela-sela pementasan tiba-tiba saja merasa rindu pada Teater Bedeng Hunian BH, Tepass Pamass, Lises, juga GSSTF dengan Parade Mei-nya. Di mana hampir 3/4 masa studi di Sastra Unpad saya habiskan untuk hidup dan membina diri di dalam kegiatan kesenian yang diadakan kelompok-kelompok itu.
Kekurangan lain dari pementasan ini adalah saat saya menyadari bahwa kamera saya tak cukup gegas untuk mengambil gambar-gambar cepat di atas panggung yang kerap kurang cahaya. Menaikkan ISO ke 1600 hanya membuat gambar yang dihasilkan tidak memuaskan karena noisenya sangat mengganggu. Memikirkan kamera baru membuat saya tiba-tiba berada di dalam pusaran kelompok rampok yang dipimpin Waska. Saya tiba-tiba merindukan kehadiran tokoh Waska untuk bisa memimpin sebuah gerakan anti moralitas yang jujur. Ingin rasanya menggedor toko untuk mendapatkan kamera yang lebih canggih dan lebih baik, serta lebih mahal. Mungkin saya harus memakan jamu dadar bayi seperti Waska agar bisa bersabar menunggu saat itu tiba. Mungkin...
also available on: http://www.facebook.com/note.php?created&&suggest¬e_id=196920617756#/notes/ricky-n-sastramihardja/saat-kematian-menjadi-pilihan/196920617756
foto: http://www.facebook.com/album.php?aid=127946&id=715618858&saved#/album.php?aid=127946&id=715618858&ref=nf
Dari pementasan naskah “Umang-umang atawa Orkes Madun 2” (selanjutnya: UUM) yang dipentaskan oleh Teater Lakon UPI pada Sabtu 5 Desember 2009 kemarin, saya akan mengawali catatan ini dengan kritis: Music score-nya OK, tetapi theme song-nya tidak begitu suka. Bukan karena jelek, tetapi karena masih kurang madun, kurang greget. Saya pikir memang harus lebih banyak mengekplorasi musik melayu, bukan dangdut. Mungkin karena kata ‘madun’ yang artinya joget, mengingatkan saya akan meriahnya musik Melayu seperti yang diceritakan seorang kawan yang lahir dan besar dalam kebudayaan Melayu di Sumatera.
Itu memang penilaian subjektif. Tetapi dari keseluruhan saya pikir Dedi Warsana cukup berhasil membawa Teater Lakon UPI ke tataran kelompok teater mahasiswa yang lebih jauh. Saya tahu persis bagaimana sulitnya membangun teater yang penuh gairah di tengah gencarnya godaan menjadi artis sinetron yang bening atau aktor film yang kinclong dengan ribuan fans yang rela melakukan apa saja untuk dekat dengan sang idola. Bahkan dewasa ini, rasanya bukan teater mahasiswa saja yang kepayahan. Kelompok-kelompok teater besar pun sepertinya mengalami fenomena yang sama. Mungkin, Facebook dan sinetron lebih menarik daripada mengeksplorasi seni peran dan berakting di atas pentas. Karena hidup bersama dan di dalam kelompok teater memerlukan aktivitas fisik, jiwa, juga militansi ekstra. Tidak sekedar sebagai penyalur ekspresi dan ideologi berkesenian.
Cukup berhasil karena UUM ini adalah adalah naskah teater yang bisa dibilang klasik dan fenomenal. Ditulis oleh alm. Arifin C. Noer, UUM merupakan sebuah naskah yang memerlukan banyak pemeran. Dari segi jumlah pemeran, UUM adalah naskah kolosal. Tentu saja bukan hal yang mudah menyatukan banyak pemain dalam teater, apalagi teater mahasiswa non-seni seperti halnya UPI. Hal ini juga dirasakan oleh Teater Tetas dalam pementasan naskah yang sama di Jakarta beberapa waktu lalu. Karena seperti saya bilang, teater bukanlah tempat yang gemerlap dan berbintang-bintang seperti sinetron. Tidak ada kelimpahan materi atau sanjungan di dunia ini, bahkan sebaliknya. Sehabis bermain para akor dan aktris teater harus pula membereskan panggung dan set-nya. Membongkar panggung, membongkar dan merapikan instalasi lampu, sampai menerima semprotan dari orangtua para aktris karena anak gadisnya bari tiba di rumah menjelang subuh dalam kedaan lusuh. Itulah mengapa saya katakan juga teater memerlukan aktivitas jiwa, fisik, dan militansi ekstra.
Saya sangat suka berbagai aspek dalam pentas ini. Sungguh. Make-up karakter yang rapi dan sangat membangun karakteristik, tata lampu yang apik, artistik panggung yang imajinatif, koreografi dan bloking yang asyik, serta kualitas akting para aktor dan aktris yang terlibat. Kotak-kotak kayu diubah dan dimanipulasi sedemikian rupa sehingga penonton percaya bahwa kotak-kotak kayu itu bisa menjelma menjadi pulau, gedung, tempat tidur, bahkan bukit yang tinggi. Kostumnya pun menarik. Terlebih kostum Waska yang menurut saya futuristik, kostum Ranggong yang bergaya rocker, atau kostum Bigayah yang sangat lonte.
Padahal, menurut sang Sutradara dalam perbincangan usai pementasan, hampir setengahnya adalah pemain baru. Selain itu seorang pemain kunci tiba-tiba menghilang sebelum gladiresik berlangsung. Walhasil Dedi Warsana terpaksa bekerja keras meringkas beberapa bagian naskah dan terpaksa turut bermain menjadi tokoh Jonathan sang Seniman, menggantikan pemainnya yang menghilang hingga pertunjukan berakhir. Saya bisa membayangkan bagaimana seorang Dedi Warsana, yang selain harus menjadi sutradara juga harus bertindak sebagai pelatih moral dan disiplin yang ketat. Pengalamannya sebagai aktor teater kawakan mampu membuat para aktor dan aktris pemula dalam UUM ini tetap militan hingga saat terakhir. Tentu saja terkecuali aktor yang menghilang itu, yang tidak kuat menahan tekanan mental bahkan jauh sebelum pertunjukan mulai.
Walau demikian, masih ada pertanyaan lain, terutama dari segi make up karakter yang menurut saya masih ‘begitu-begitu juga’. Seolah menjadi suatu stereotip bahwa make-up karakter haruslah selalu seperti itu. Harus coreng-moreng di sana-ini sehingga membuat penampilan para pemeran sangat jauh dengan para aktor-aktris di sinetron atau reality show, yang walaupun jahat, miskin dan marjinal tetapi tetap terlihat ganteng dan cantik. Pada tokoh-tokoh kunci, make up tersebut memang berhasil membangun karakter, tapi pada beberapa peran kecil yang terjadi justru sebaliknya.
Dari segi cerita, UUM adalah naskah yang sangat kontekstual dengan perkembangan dunia nyata dewasa ini. UUM menceritakan fanatisme sekelompok kaum marjinal yang berprofesi sebagi perampok, copet, pelacur, serta sekumpulan masyarakat yang tidak akan pernah masuk dalam sensus negara baik-baik ini; seolah-olah berhadapan dengan kondisi di dunia nyata. Kondisi di mana sistem kleptokrasi (maling menjadi penguasa dan penguasa menjadi maling) menjadi panglima, di mana pencurian dan korupsi adalah sabda yang tak terbantahkan dan diamini banyak orang. Bagaimana sang Pemimpin kelompok marjinal-proletar itu, Waska, begitu berambisi untuk merampok dan merampas semua harta benda orang-orang kaya. Waska menekankan merampok bukan sebagai aktivitas kejahatan demi perut, tetapi sebuah perjuangan ideologis. Waska, sembuh dari sakit kerasnya setelah mengkonsumsi jamu dadar bayi yang disediakan abdinya yang setia, Ranggong dan Borok, kemudian hidup beratus tahun lamanya. Waska pun hidup dalam gelombang demi gelombang kejahatan yang ia ciptakan sendiri.
Namun bukanlah manusia bila tidak merasa bosan. Waska, Ranggong, dan Borok, merasa rindu akan masa lalu. Karena setelah semua teman-teman dan anggota kelompoknya mati, Waska yang hidup abadi setelah mengkonsumsi jamu dadar bayi, merasa sunyi. Waska merasakan bahwa kematian adalah pilihan, bukan takdir maka kemudian ia memilih dan meminta untuk mati. Waska, Ranggong, dan Borok pun akhirnya mati setelah mereka merasa lelah dan putus asa karena tak mati-mati.
Pemeran Waska pun saya pikir cukup baik untuk aktor seusianya. Sebagai karakter sentral, tokoh Waska ini sebetulnya diperankan bersamaan dengan tokoh Semar. Dengan kata lain, sang aktor harus memerankan dua karakter , Waska dan Semar, secara bergantian (double casting). Pemeranan yang berhasil lainnya saya pikir adalah pemeranan tokoh Borok. Borok adalah satir yang secara visual sangat mendukung. Tampang sangar dengan kumis baplang stereotip ala centeng tetapi dialognya cenderung kocak dan ‘nonjok’. Kerapkali tokoh ini mengucapkan kata “modar” di saat yang tepat. Atau aksen Sunda yang tiba-tiba lolos dalam beberapa dialog membuat pentas menjadi lebih hidup dan segar.
Pemeranan tokoh Borok ini juga mampu menutup kelemahan tokoh waska dan Ranggong yang dalam beberapa adegan awal tampak kedodoran karena tempo pementasan yang relatif cepat. Bahkan bisa dibilang sebetulnya tokoh Borok ini adalah tokoh penentu keberhasilan pementasan keseluruhan.
Dedi Warsana, sutradara bermain pun, bisa membuat pertunjukan ini tetap berada di relnya. Tidak lantas terjebak pada gaya pementasan longser atau lenong, walau para pemain kerapkali mengajak interaksi dengan penonton dalam monolognya. Para musisi pun saya dengar merespon para aktor-aktris di panggung dengan celetukan-celetukan yang membuat pertunjukan menjadi meriah. Satu hal yang mungkin cukup menarik adalah Dedi Warsana bisa membuat UUM ini seolah-olah menjadi sangat Sunda. Para aktor dan aktrisnya tampaknya diberi kebebasan untuk melontarkan beberapa joke atau banyolan dan dialog yang khas, yang nyunda banget.
Agak sulit memang untuk menulis opini ini secara objektif karena saya belum pernah membaca naskah atau sinopsis UUM sebelumnya. Pun saat pementasan, saya luput tidak mendapatkan brosur atau apapun itu, yang di dalamnya berisi sinopsis , nama-nama aktor dan aktris, pengantar, atau catatan lain mengenai pementasan ini. Selain itu, secara pribadi sudah lama sekali tidak berkecimpung di kelompok teater. Baik sebagai pemain, penata lampu, atau sekedar menonton. Sepanjang pementasan UUM saya harus membagi fokus antara memotret, mencerna pementasan, juga melamunkan masa lalu. Di sela-sela pementasan tiba-tiba saja merasa rindu pada Teater Bedeng Hunian BH, Tepass Pamass, Lises, juga GSSTF dengan Parade Mei-nya. Di mana hampir 3/4 masa studi di Sastra Unpad saya habiskan untuk hidup dan membina diri di dalam kegiatan kesenian yang diadakan kelompok-kelompok itu.
Kekurangan lain dari pementasan ini adalah saat saya menyadari bahwa kamera saya tak cukup gegas untuk mengambil gambar-gambar cepat di atas panggung yang kerap kurang cahaya. Menaikkan ISO ke 1600 hanya membuat gambar yang dihasilkan tidak memuaskan karena noisenya sangat mengganggu. Memikirkan kamera baru membuat saya tiba-tiba berada di dalam pusaran kelompok rampok yang dipimpin Waska. Saya tiba-tiba merindukan kehadiran tokoh Waska untuk bisa memimpin sebuah gerakan anti moralitas yang jujur. Ingin rasanya menggedor toko untuk mendapatkan kamera yang lebih canggih dan lebih baik, serta lebih mahal. Mungkin saya harus memakan jamu dadar bayi seperti Waska agar bisa bersabar menunggu saat itu tiba. Mungkin...
also available on: http://www.facebook.com/note.php?created&&suggest¬e_id=196920617756#/notes/ricky-n-sastramihardja/saat-kematian-menjadi-pilihan/196920617756
foto: http://www.facebook.com/album.php?aid=127946&id=715618858&saved#/album.php?aid=127946&id=715618858&ref=nf