7.28.2006

HUMAN, ALL TOO HUMAN


Human, all too human 1). Bagaimana tidak, segala hal harus selalu berdasar pada manusia dan kepentingannya. Pola fikir cartesian 2). dan antroposentris yang didedahkan Descartes sebagai cogito ergo sum, selalu menempatkan manusia sebagai subyek-yang-berfikir dan menempatkan selain manusia sebagai obyek-yang-tidak-berfikir. Manusia kemudian menobatkan dirinya sebagai, uh, hell yeah, penguasa alam semesta.

Human, all too human. Cara berfikir demikian memang kemudian melahirkan banyak pemberani. Para pemberani yang demikian rasional, yang selalu menolak apapun yang tidak ada di dalam fikirannya. Cogito ergo sum, aku berfikir maka aku ada. Para pemberani yang ingin menunjukkan pada dunia bahwa mereka ada, eksis, karena merasa telah berfikir dan bertindak benar.


Para pemberani itu menjelajah berbagi pelosok negeri, merasuki dalamnya samudera, mendaki tingginya gunung, menjelajah luasnya angkasa, serta mencari tempat-tempat terpencil yang tidak ada dalam peta untuk berbagai kepentingan. Hutan yang lebat dan angker pun dirambah, untuk kemudian diranjah, dan disulap menjadi negeri yang makmur gemah ripah loh jinawi. Seperti dalam cerita Mahabarata, saat Bima sang perkasa membabat habis Alas Amer untuk menemukan ajian Naga Percona. Lalu, hutan yang telah gundul tersebut lambat laun berubah menjadi suatu negeri yang dikenal sebagai Amartapura.


Tidak pernah diceritakan bagaimana nasib satwa atau berbagai tumbuhan yang terpaksa harus lari atau menjadi martir, sahid, akibat dihajar keperkasaan Bima. Hal yang sama juga terjadi saat berdirinya Athena, Roma, Moskow, Beijing, Washington DC, Jakarta, Bandung, Surabaya, Banda Aceh, Balikpapan, Ciamis, Garut, Tasikmalaya dan sebutlah semua nama kota yang ada di dalam peta atau di ensiklopedia termutakhir. Kota-kota itu dibangun oleh Bima-Bima lain dengan menghancurkan hutan-hutan.


Atau, bermainlah game komputer yang berjudul Age of Empire II dari Microsoft, Warcraft III: Reign Of Chaos dari Blizzard Entertainment, atau game-game strategi lainnya yang mengisahkan betapa rakusnya peradaban manusia akan sumber daya alam. Untuk berperang atau berdagang, manusia perlu biaya. Biaya bisa didapat dari tambang emas atau dengan cara membabat hutan. Kemudian hasil tambang dan hasil hutan dipakai untuk membangun peradaban. Semakin tinggi peradaban semakin kuat perekonomian, dan semakin maju ilmu pengetahuan. Untuk kemudian melahirkan peperangan antar ras antar bangsa atas nama imperialisme.


Tidak pernah diceritakan dalam game-game tersebut bila manusia menanam dan merawat hutan, yang ada hanya menghancurkannya. Perkecualian dalam Warcraft III: Reign of Chaos, hanya bangsa peri (Elf) yang mau merawat hutan. Mereka tidak pernah menebang pohon yang memang menjadi bagian dari dirinya. Mereka bisa memanfaatkan potensi hutan tanpa menghancurkannya. Permasalahannya adalah, peri bukan manusia dan mereka tidak pernah ada di dunia nyata.


Seperti halnya dengan banyak kasus di Kalimantan. Pulau yang ‘dikuasai’ oleh Indonesia, Malaysia, dan Brunai Darussalam ini masih menggemakan dirinya sebagai pulau hutan. Luasnya hutan di Kalimantan masih mengalahkan luas pulau Jawa. Dulu hampir 100% pulau ini merupakan hutan lebat, hutan hujan tropis yang sangat-sangat ‘hutan’. Hutan yang ‘hutan banget gitu lho’.


Tetapi seiring kedatangan para pemberani yang datang untuk mencari sumber minyak dan batubara, para pendakwah agama, para politikus, para penjelajah, para pecinta alam, para peneliti, para petani, transmigran, guru, polisi, tentara, bapak-bapak, ibu-ibu, anak-anak, berkuranglah hutan hujan Kalimantan dengan sangat drastis. Isi hutan yang kaya dengan berbagai satwa dan tumbuhan berubah menjadi desa-desa, ladang-ladang, kebun kelapa sawit, tambang batubara, kota-kota, atau menjadi tanah yang hanya bisa ditumbuhi alang-alang. Kayu-kayu hutan menjadi bagian dari rumah-rumah mewah di Jakarta dan kota-kota lainnya. Bahkan Perhutani, yang seharusnya mengelola hutan sesuai proporsi dan kebutuhan alam, dengan bangga menempatkan tunggul kayu dari hutan jarahannya di Kalimantan sebagai hiasan dan prasasti di gedung mereka yang megah di Jakarta.


Human, all too human. Apapun selalu dilakukan berdasar kepentingan manusia. Tidak pernah dikisahkan kemudian, bagaimana nasib satwa-satwa hutan, yang sebetulnya merupakan ‘pemilik’ asli hutan-hutan tersebut. Bahkan, selain satwa dan tumbuhan, kelompok manusia lainnya pun tergusur dari hutan. Entah apa dan bagaimana nasib orang Dayak, orang Baduy, orang Kubu, orang Anak Dalam, orang Indian tanpa hutan. Apakah mereka akan punah juga seperti Harimau Jawa atau Badak Jawa? Entahlah.


Hal yang pasti, hutan hujan di Kalimantan kini sedang terancam oleh keserakahan dan kerakusan manusia. Sialnya lagi, karakter tanah Kalimantan sangat tidak memungkinkan untuk reboisasi hutan seperti yang selama ini digembar-gemborkan pemerintah. Bila pulau Jawa kini sudah kehilangan hutan, maka Kalimantan terancam mengalami nasib yang sama di masa yang akan datang. Maka bila ada pendapat yang mengatakan bahwa Kalimantan akan berubah menjadi padang pasir, pendapat itu benar. Kecuali bila para manusia mau mengalah untuk kepentingan lain di luar kepentingannya sebagai manusia…


1). Human, too human, adalah istilah yang diperkenalkan filsuf Jerman akhir abad XIX, Nietzsche dalam buku Ecce Homo, saat menyoroti perilaku manusia dan menguatkan konsep Nietzche tentang manusia yang sempurna. Diterjemahkan oleh ST. Sunardi sebagai ‘manusia terlalu manusiawi’.


2). Manusia adalah subyek dan lainnya hanyalah obyek.


No comments: