3.25.2009

MERENUNGI KOTA, MENANGISI MANUSIA, MENGUJI REALITAS

http://6ix2o9ine.blogspot.com

:Catatan dari Pameran Foto "Reality, How Does it Go?”

What is “real”. How do you define “real?”.
If you’re talking about what you can feel,
what you can smell, taste, and see,
then the "real" is simply electrical signal
interpreted by your brain.
(dialog Morpheus dan Neo dalam film “Matrix”, 1999).


Realitas, adalah pertanyaan mendasar yang banyak diajukan dalam kerangka pemikiran filsafat. Yasraf Amir Piliang mendefinisikan realitas (reality) sebagai segala kondisi, situasi atau obyek-obyek yang dianggap benar-benar ada di dalam dunia kehidupan, sebagai kebalikan dari apa yang disebut dengan fiksi, ilusi, halusinasi, atau fantasi. 1)

Tentu definisi di atas pun mengundang permasalahan baru, di mana realitas sangat tergantung dari apa dan bagaimana persepsi seseorang terhadap realitas. Terlebih lagi bila kemudian persepsi realitas itu divisualkan dalam sebentuk karya essai foto yang dipublikasikan dalam sebuah pameran bersama. Pameran bersama bertajuk “Reality, How Does it Go?” ini digelar oleh sekelompok fotografer yang tergabung dalam UKM Fotografi “Potret” Universitas Parahiangan Bandung. Pameran ini diikuti oleh 14 fotografer serta digelar di GSG Unpar mulai tanggal 23 hingga 25 Maret 2009 dengan menampilkan 118 foto yang terbagi ke dalam 14 sub judul.

Dalam kuratorial yang ditulis Dik (Ondi Kuswandi) sebagai kurator, ada semacam pernyataan bahwa ...”realitas” dalam pameran ini adalah untuk “...membawa kita ke dalam cara pandang yang melatarbelakangi pemotret ketika melakukan pengambilan gambar pada satu titik ruang kota sebagai obyek foto menjadi sangat personal dan menapikan tata ruang kota Bandung itu sendiri secara fisik...” 2)

Realitas, atau sering kita padankan dengan kata kenyataan, kemudian pada karya-karya foto yang dipamerkan lebih menjadi suatu pertanyaan daripada pernyatan. Tentu saja saya cukup suka di saat berhadapan dengan karya (fotografi) yang melontarkan pernyataan dan permasalahan daripada memberikan pernyataan. Di mana kemudian karya-kaya tersebut lebih terbuka untuk berdialog secara batin dengan saya sebagai seorang penggemar karya foto. Apalagi bila berhadapan dengan permasalahan-permasalahan mengenai kota, tata ruang kota, serta manusianya. Permasalahan di mana manusia dikomodifikasi untuk bisa bertahan hidup di antara tata ruang kota yang tidak sepenuhnya layak. Menjadi absurd, seperti yang dilontarkan Albert Camus atau menjadi “one dimensional man” dalam terminologi Herbet Marcuse.

***

Seperti halnya juga dengan “Lost Paradise”, sekumpulan essay foto karya Nasrul Akbar. Karya yang berjumlah 12 foto ini berusaha berusaha menangkap keseharian warga kota di suatu hari di ruang publik yang bernama taman kota. Wajah-wajah cerah mendominasi pengunjung taman kota (yang saya kenali sebagai Taman Lansia di sepanjang Cilaki), secerah Nasrul Akbar merepersentasikan kenyataan ke dalam bingkai-bingkai yang didominasi warna hijau. Nasrul tampaknya menangkap realitas taman kota sebagai ruang publik yang menjadi oase warga kota yang lelah bergumul dengan kenyataan hidup. Oase untuk berkumpul bersama keluarga, berpacaran, jajan makanan murah meriah, serta menghirup udara segar yang merupakan hak azazi yang kerap terabaikan oleh pengelola kota.

Sementara itu di bagian lain, M. Adnan Luthfi menawarkan realitas yang terjadi di bawah jembatan layang Paspati, terutama di Dago dan Cikapayang – Balubur Lama. Kemiskinan serta kumuhnya tata ruang kota yang tidak bersahabat untuk si miskin direpresentasikan M. Adnan ke dalam 11 foto yang suram dengan tajuk “Di Bawah Atap Beton Beraspal”. Tetapi kesuraman kota tampaknya tidak berlaku bagi anak-anak, di mana M. Adnan mampu menangkap secuil adegan kegembiraaan anak-anak yang sedang bermain di kumuhnya suasana di bawah jalan layang Paspati. Sementara di bingkai lain menunjukan kerasnya perjuangan hidup kaum dewasa dalam bertahan hidup mesti harus beratapkan beton beraspal yang keras.

Keceriaan anak-anak ini juga dimunculkan secara verbal oleh Bagja Rahmatullah dalam “Anak-anak Dengan Keterbatasan Ruang” yang muncil dalam 8 foto. Bagi Bagja, keterbatasan ruang kota tidak menghalangi anak-anak untuk bermain, walau menurutnya cukup sulit untuk menemukan ruang itu. Bagja merekam keceriaan anak-anak yang bermain di taman kota Bagus Rangin serta di Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat, yang hanya beberapa ratus meter dari megahnya kompleks Gedong Sate, tempat para gegeden Jawa Barat berkantor. Di aspal yang panas dan tajam sekalipun, di tembok yang dingin, anak-anak tetaplah anak-anak. Ceria dan bersemangat.

Pada “The Prisoners”, yang terdiri atas 9 karya foto essai Andi Syarief menunjukan kepedihan seorang fotografer di mana ia mendapatkan kenyataan bahwa “...keadaan bintang di kebun binatang Bandung ini. Dari tahun ke tahun tiada perubahan yang berarti...”. Andi Syarief begitu berduka dengan kondisi ‘para tawanan’ di kebun binatang yang terpenjara. Seekor beruang madu Sumatera (Helarctos malayanus malayanus) begitu murung di balik teralis, juga halnya seekor monyet beruk abu-abu (Macaque) berwajah memelas. Sementara di beberapa bingkai lain, Andi juga menangkap momen seorang ibu disaksikan suami dan anaknya tengah memberi makan sekumpulan rusa. Sedangkan di bingkai lain, di balik terali tampak seekor monyet tengah mengendong dan menyuapi anaknya.

Di tempat lain, Andi juga menangkap keceriaan tiga orang anak yang berfoto dengan seekor ular Sanca (Phyton rheticulatus). Kemuraman Andi pun tercermin pada warna foto yang cenderung muram dan gelap, namun sayang letupan emosinya menjadikan karyanya tidak konsisten dengan format. Di mana beberapa foto dipaksa untuk berformat bujursangkar, dan berhasil. Sedangkan sisanya tetap dalam format foto standar. Walau tidak mengurangi esensi, tetapi cukup mengganggu.

***

Dari 14 judul, yang sangat provokatif adalah saat Amaliya Nur Gustyara menampilkan 6 foto berukuran 16 R dengan teknik cetak hitam putih. Di bawah tajuk “Two Love Birds”, Amaliya menangkap sisi lain kehidupan warga kota yang berada di wilayah hitam putih realitas. Amaliya tampak fasih menangkap momen sepasang kekasih sejenis, ya sesama jenis, sedang bermesraan. Suatu tonjokan yang dahsyat bagi moralitas tetapi merupakan realitas yang ada di depan mata kita. “Walau sebagian masih sembunyi-sembunyi”, simpul Amaliya.

Pemilihan teknik cetak hitam-putih menunjukan bahwa dunia kaum Gay menurut Amaliya adalah dunia yang hitam-putih pula. Tinggal masalahnya apa yang hitam dan siapa yang harus menjadi putih. Amaliya juga tidak mau terjebak menjadi si hitam dengan tidak menunjukkan identitas siap sebenarnya “Two Love Birds” itu. Di mana ia tampak mem-blur-kan wajah sepasang kekasih itu dengan memakai kecepatan rana rendah pada subyek gambar yang dinamis bergerak atau membuatnya menjadi siluet dengan backlight yang kontras. Sedangkan pada beberapa bingkai simbolik lainnya, Amaliya tampak terpesona dengan simbolisasi seksualitas kaum gay yang tertangkap kamera sedang memegang, maaf, pantat pasangannya sambil bertelanjang dada. Sungguh suatu dunia hitam putih yang membuat abu-abu berserakan di antara keduanya.

Sementara itu, fotografer lain seperti Rengky Irawan(Bandung, Ekspresi Kami; 14 foto hitam putih), Ariana Hayyulia Rasyid (Tak Perlu Keliling Dunia; 8 foto berwarna) berusaha menangkap realitas kota melalui potret warganya. Rengky memajang 14 foto potret dalam hitam putih yang tegas dan muram tentang beberapa warga kota yang harus berjuang keras untuk hidup dalam extreme close up. Ariana merepresentasikan realitas dalam foto potret berwarna yangmenampilkan wajah-wajah perempuan muda yang segar dan ceria serta dua bingkai foto boneka, yang seolah menjadi anti tesis bagi Rengky.

Anti tesis membuat Ariana menulis bahwa ia merasa bingung saat hendak menangkap realitas sebuah kota dalam foto, namun ia merasa enggan meninggalkan Bandung dan merasa tidak perlu keliling dunia karena ‘dunia’ lah yang mengelilinginya. Bagi Ariana, dunianya adalah sahabat-sahabatnya, sedangkan dunia bagi Rengky adalah wraga kota yang berjuang keras mensiasati hidup.

Hal ini juga muncul pada “Persahabatan” karya Adhi Prianarizki (5 foto), yang merepresentasikan permasalahan realitas sebagai suatu persahabatan. Lengkap dengan syair lagu “Persahabatan Bagai Kepompong” yang dikutip utuh sebagai bagian dari essainya.

Kemuraman kota di pun tampak pada “Alien in Town” (Dhea Aditya; 8 Foto), “Braga The Under Exposed” (I Gusti Ngurah Krisna Maruti; 10 foto hitam putih), serta pada “Steal The Freedom” (Aulia Fitriasari; 10 foto hitam putih). Foto-foto yang dibuat dalam kecepatan rendah seperti menggambarkan terpenjaranya manusia Bandung dalam tata ruang yang, sekali lagi, tidak bersahabat bagi sebagian orang. Bahkan Aulia menulis perlunya mencuri kemerdekaan sekedar untuk mengekspresikan keinginan anak-anak muda untuk bermusik.

Tidak selalu kemuraman yang menonjol dalam permasalahan yang diusung pameran ini. Dalam “Lautze” (10 foto), Rizki Irawan mengungkap sisi relijius Bandung dalam tata ruang yang kejam dengan mengambil momen sholat Jum’at di mesjid Lautze. Sebagai informasi, mesjid Lautze adalah mesjid yang didirikan warga Bandung keturunan Cina. Mungkin satu-satunya rumah ibadah yang harus ‘ngontrak’ di lingkungan pertokoan.

Perjuangan hidup si kecil juga muncul dalam kerasnya warna-warna pada karya M. Gita Fazryan (Hidup Dalam Goresan Putih; 9 foto). Perjuangan hidup para penambang kapur di pinggiran kota Bandung yang tidak seputih kapur yang ditambangnya. Kontras yang tinggi serta tonal foto yang gelap mempertegas kerasnya kehidupan para penambang itu.

Ada juga karya yang culup menonjol bagi saya, yaitu di saat dalam “Ibrahim” (judul asli ditulis dalam huruf Arab Gundul; 8 foto) merasakan kesepian luar biasa yang berkorelasi dengan “Alien in Town”-nya Dhea Aditya. Astrid merekam beberapa sudut kota yang lengang dalam hiruk-pikuknya kota. Jalanan yang lengang di siang hari, jembatan penyeberangan yang tidak digunakan warga kota, parkiran di basement yang tanpa kendaraan, serta bioskop yang kehilangan penontonnya. Namun sayang, kesepian kota yang direpresentasikan Astrid, terganggu dengan hadirnya foto seorang laki-laki –entah siapa, mungkin kekasihnya-- di akhir essai fotonya. Tidak ada statemen apapun mengenai foto terakhir, sehingga membuat saya merasa harus meminta pertanggungjawaban kurator yang meloloskan foto tersebut, yang tentu tidak relevan dengan kuratorialnya.

***

Pada segi penyajian, pameran ini mampu memuaskan dahaga saya akan foto-foto yang melontarkan permasahan dan dialog batin pada audiens-nya. Dari segi lay out pameran yang digelar di ruang GSG Unpar yang cukup luas juga memuaskan, walau masih saja saya dan banyak audiens lain harus tatanggahan guna mendapat pemahaman yang utuh atas foto-foto yang dipajang jauh di atas kepala. Cetak foto pun cukup bagus terlebih dengan melapisi foto dengan doff coating yang selain mampu meredam silau, juga akan membuat foto relatif aman dari dampak sentuhan atau goresan. Bahkan saya sangat berharap, bahwa foto-foto ini bisa disimpan dengan baik, baik printing maupun file aslinya, mengingat foto-foto ini akan menjadi dokumentasi yang berharga 10 atau 20 tahun kemudian. Seperti halnya saya menyukai foto-foto Bandung “tempo doeloe” yang lahir pada tahun 1900-an dan terdapat dalam buku-buku Haryoto Kunto (alm.).

Lepas dari segala kekurangan penguasan teknik dan pengolahan gagasan , secara umum para fotografer, yang rata-rata berusia muda ini, berani menawarkan bentuk-bentuk visual simbolik, yang akan mengernyikan dahi audiens-nya. Gagasan-gagasan akan realitas tidak saja ditonjolkan dengan pemahaman yang verbal, tetapi juga simbolik. Makna foto pun tidak hanya denotatif, tetapi konotatif. Serta makna kemudian tidak hanya diproduksi oleh fotografer, tetapi juga oleh audiens. Suatu keberanian yang menarik menurut saya, yang akan membuat karya fotografi tidak hanya akan menjadi karya yang WYSIWYG (What You See is What You Get), tetapi menjadi WYSIWYFT (What You See is What You Feel and Think).

Namun sayang, lagi-lagi masalah tidak hadirnya katalog, bahkan dalam selembar kertas pun membuat saya menelan kekecewaan. Karena dari katalog itulah saya bisa mendapat teks kuratorial yang utuh dan bisa dikonfrontir kapan saja. Pun essai-essai yang menyertai di setiap judul. Saya pun sedikit abai dalam mencatat essai-essai yang ditulis para fotografer karena berharap akan mendapatkannya dalam katalog atau di website pameran.

Dari segi penulisan essai, yang bisa saya catat memang perlu banyak dibenahi, terutama agar gagasan tekstual tetap sinkron dengan hasil visual. Agar essai yang dibuat tidak merupakan justifikasi atau pembenaran atas karya foto, atau letupan emosional jiwa muda semata. Tetapi essai yang mampu membuat audiense luruh, cair, dan berdialog dengan permasalahan-permasalahan yang ditawarkan fotografer secara visual. Tentu saya juga mencatat beberapa essai bahkan menggunakan kutipan penggalan lagu sebagai statemen karyanya. Tidak ada salahnya mengutip dan terinspirasi syair lagu, tetapi akan lebih baik bila fotografer juga belajar menuliskan statemennya dalam bahasanya sendiri, dalam diksi dan gayanya sendiri.

Saran saya yang lain, sebaiknya semua foto dan teks dari pameran ini di-broadcast di internet sebagai blog atau apalah. Tentu agar karya-karya essai foto ini terus dapat ditafsirkan oleh banyak orang dalam jangkauan yang lebih luas, dalam daya jelajah waktu yang lebih panjang dan lebih menawarkan dialog . Selain itu, agar kegiatan fotografi yang dilakukan ini juga terdokumentasikan secara digital di internet. Sebab, tanpa dokumentasi, pameran ini akan lenyap saat waktu pameran berakhir dan dilupakan sehingga kita tidak dapat belajar apa-apa darinya.


1.) Yasraf Amir Piliang. Posrealitas, Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika; Jalasutra: 2004
2.) Dik (Ondi Kuswandi). Menangkap Fragmen Kota Melalui Foto; Pamflet Kuratorial Pameran: 2009

===================================

Bandung, 24 Maret 2009
Ricky Nugraha
Desainer Grafis, Pecinta Kopi dan Fotografi

Foto Suasana Pameran:
Ricky Nugraha
Ivan Arsiandi

http://www.facebook.com/note.php?saved&&suggest&note_id=63183087756#/editnote.php?note_id=63183087756

No comments: