4.01.2009

JALAN CAHAYA, JALAN YANG ENTAH KE MANA

http://6ix2o9ine.blogspot.com


:Catatan Pameran Foto “Jalan Cahaya”

Masih dari sebentuk pameran foto. Entah mengapa, kegiatan yang satu ini akhir-akhir ini tampak bergairah sekali. Padahal bila hanya untuk sekedar memajang foto-foto best collection saya fikir tidak memerlukan ruang pamer. Internet rasanya bisa mendekatkan antara karya dengan calon audiens-nya dengan lebih dekat. Banyak penyedia jasa web gratis yang bisa dimanfaatkan untuk men-display foto-foto. Katakanlah Blogspot, Wordpress, bahkan Friendster dan Facebook rasanya bisa dimanfaatkan untuk keperluan itu. Selain akan lebih mudah menjangkau khalayak karena daya jelajahnya yang seolah tanpa batas, juga akan lebih murah karena tidak perlu menyewa galeri, mencetak foto dalam kertas foto, atau membuat katalog. Di galeri digital khalayak juga bisa datang kapan saja tanpa dibatasi waktu dan ruang. Penyelenggara bisa memfokuskan kegiatan pada penyebaran publikasi untuk merengkuh khalayak agar log in dari komputernya masing-masing. Bila masih perlu semacam artist talk, barulah bisa menyewa ruangan untuk datang dan berdiskusi sekaligus kopdar sambil MEOK (Makan Enak Ongkang Kaki).

Seolah-olah dengan telah menyelenggarakan atau dengan mengikuti pameran, seseorang kemudian ditasbihkan sah sebagai seorang fotografer. Pameran tampaknya merupakan suatu arena pentahbisan seseorang dari manusia biasa menjadi seorang ‘toekang potret’. Lengkap dengan karya, biodata, juga sedikit euforia. Hal ini mengingatkan saya akan celoteh seorang teman yang menyatakan bahwa seseorang tidak bisa disebut sebagai fotografer hanya karena ia bisa membeli kamera Nikon.

Tidak ada yang sempurna. Mungkin itu bisa mengawali catatan saya tentang pameran foto “Jalan Cahaya” yang diselenggarakan Jepret Unisba (Universitas Islam Bandung), sebuah kelompok pegiat fotografi yang umumnya terdiri dari mahasiswa Unisba. Pada pameran yang diselenggarakan di Galeri Kita mulai 30 Maret hingga 5 April 2009, Jepret menyajikan 49 karya foto dari 17 orang fotografer yang terhimpun di dalamya. Karyanya pun beragam, mulai cetak berwarna hingga cetak hitam putih (dengan mesin warna) dengan berbagai genre dan teknik berbaur di dalamnya. Mulai yang bergaya jurnalistik yang berusaha jujur, fotografi panggung, hingga penambahan ornamen non-fotografis melalui olah digital. Pameran ini dilaksanakan setelah melalui tahap kurasi oleh tiga kurator, yakni Oji Kurniadi (pembina Jepret), Galih Sedayu, dan Deni Sugandi.

Mungkin sebelum memasuki ruang galeri ekspetasi saya terlalu berlebihan. Saya berharap “Jalan Cahaya” akan memberikan pencerahan melalui cahayanya. Di berbagai budaya dunia, kata cahaya kerap berasosiasi dengan pengertian harapan, keinginan, semangat, pencerahan, atau suatu hasil positif. Katakanlah dalam alegori manusia gua-nya Plato, alegori yang sering dipakai komunitas fotografi dalam berdiskusi. Di mana manusia dihadapkan tinggal dalam kegelapan dan hanya menangkap bayang-bayang sebagai kenyataan atau keluar dari gua untuk mendapatkan kebenaran lain. Kebenaran bayang-bayang adalah hasil persentuhan antara cahaya matahari yang terang benderang di luar yang menyusup ke dalam gua dengan tubuh mereka.

Tetapi harapan itu meleset begitu mencapai ruang pameran. “Jalan Cahaya” rupanya lebih merupakan suatu pameran ‘pajang’ karya daripada suatu pameran yang memberi gagasan atau permasalahan. Mungkin pada 5 buah karya pertama saya tertarik karena karya-karya itu seolah memberikan suatu permasalahan. Foto-foto di sekitar Jalan Layang Paspati yang diambil saat malam menjelang, lengkap dengan cahayanya, memberikan impresi yang bagus. Saya berfikir mungkin pameran ini akan mempersoalkan kegelisahan akan tata ruang sebuah kota yang menyimpan banyak cerita di dalamnya. Kegelisahan seorang warga akan kegiatan pembangunan di kotanya. Atau juga cahaya harapan yang dipahatkan pada aspal jalan layang Paspati yang telah mengorbankan banyak hal.

Ekspetasi itu mulai meleset saat memasuki ruang berikutnya. Persoalan tata ruang, cahaya, kota, manusia, seolah menguap begitu melihat foto-foto selanjutnya. Ternyata “Jalan Cahaya” lebih mengupas ke persoalan ‘cahaya’ dalam artian sesungguhnya. Persis seperti kuratorial yang ditulis Galih Sedayu ataupun dalam pengantar yang terdapat di dalam katalog. “Jalan Cahaya” lebih berpusat pada bagaimana sebuah kamera, menangkap cahaya dalam artian sesungguhnya. Nyaris seperti definisi fotografi pada awalnya, menggambar dengan cahaya. Bahkan lebih sempit, karena hampir seluruh foto yang dipamerkan bertendensi untuk ‘menangkap’ cahaya di malam yang gulita. Baik itu cahaya lampu, sorot lampu kendaraan, kembang api, lampu panggung dan lainnya. Bahkan beberapa di antaranya ‘nekad’ memotret landscape dengan sunset dan sunrise-nya, atau memotret cahaya matahari hangat yang menerobos dedaunan.

Katakanlah sebuah karya Yogi Artha misalnya. Dalam “Balubur Kini #2”, Yogi cukup cerdas dengan menangkap suasana temaram (entah senja entah fajar) di lahan bekas pasar Balubur lama. Foto tersebut seolah menjelma menjadi suatu metafor yang ambigu, di mana tidak jelasnya batas penanda waktu antara sunrise atau sunset yang jingga dan temaram, tataran simbolik cahaya sebagai harapan dan atau menjelang kegelapan. Apakah Yogi berusaha menafsir ulang bahwa pembangunan kembali pasar Balubur lama yang kumuh akan menjanjikan Pasar Balubur Baru yang katanya akan lebih bersih dan modern? Bila merujuk ke tema pameran, saya pikir, ya. Dalam “Balubur Kini#2”, Yogie berhasil melebur imaji dan cahayanya menjadi sebuah metafor yang positive thinking tentang pembangunan.

Sedangkan Atep M, melalui foto human interest-nya berjudul “Permohonan” juga berhasil menangkap cahaya sebagai tataran metafor yang menarik. Seorang penganut agama yang sedang khusyuk berdoa di depan sebatang lilin besar berwarna merah yang menyala. Ada kesyahduan, ada kekhusyukan, ada cahaya yang ingin diraih dalam doa dan pengharapan. Mata yang terpejam yang secara logika optik akan menghalangi masuknya cahaya ke retina mata, justru akan semakin mendekatkan cahaya ke dalam hati umat-Nya yang sedang berdoa itu. Dominasi warna merah pada lilin, pada cahaya sekitarnya, semakin menegaskan bahwa cahaya adalah doa, cahaya adalah harapan, cahaya adalah pembebas manusia dari kegelapan dan kejahiliyahan.

***

Jangan berharap banyak dengan menangkap korelasi antara judul dengan karya. Banyak di antaranya justru abai dengan permasalahan judul dan caption foto. Masih banyak yang terkesima dengan mitos bahwa sebuah gambar lebih bermakna dari sejuta kata. Padahal, sebuah kata yang tepat justru akan mengantarkan kita pada pemahaman akan gambar itu sendiri. Seperti misalnya “Warning” (Yogi Artha), yang mencerminkan suasana sunset di sebuah pantai di Bali, yang dianggap penuh bahaya.

Kembali bila dihubungkan dengan judul pameran secara keseluruhan, pemahaman arti cahaya secara leksikal, saya jadi bertanya: sejak kapan cahaya kemudian dianggap sebagai suatu peringatan bahaya? Mungkin dan pasti ada. Dalam beberapa cerita tradisional misalnya, hadirnya cahaya yang berkelebat kerap diasosikan dengan kejadian buruk yang akan menimpa. Misalnya dalam mitos banas pati, di mana cahaya yang berkelebat di malam hari hari dianggap sebagai pembawa kesialan, pembawa ilmu hitam yang akan mencelakai seseorang.

Tetapi judul “Warning” tidak seperti itu. “Warning” tidak menangkap momen banas pati menyambar seseorang di Bali. Judul itu diilhami oleh sebuah bendera peringatan yang dipasang penjaga pantai menjadi titik fokus gambar . Sementara saya tidak melihat adanya ‘warning’ dalam elemen gambar yang lain, selain ekspresi sebuah foto liburan yang indah yang pantas dipasang di album keluarga atau menjadi wallpaper dekstop komputer, bukan di ruang pamer sebuah galeri yang terhormat.

Begitu pula halnya dengan “Warna-Warni” (Jackson Doddi Priadi). Pada fotonya yang sudah jelas merupakan foto cetak warna saya heran kenapa ia masih memberikan judul “Warna-Warni”? ditambah dengan caption yang semakin sumir. Menurutnya foto itu diambil di Monumen Pancasila Bandung (catatan saya: perasaan mah tidak ada monumen Pancasila di Bandung, yang ada monumen PRJB yang kerap diplesetkan menjadi Monumen Perjuangan Rakyat Sekeloa, seperti yang bisa saya identifikasi pada gambar yang bersangkutan) yang merepresentasikan hanya ada tiga parpol yang berkuasa di masa Orde Baru. Herannya lagi, pada caption foto didapat keterangan bahwa tarikh foto tersebut bertanda tahun 2004. Apa hubungannya, ini kan bukan foto jurnalistik?

Saya sangat tidak puas dengan judul dan argumen Jackson. Bila ingin tampil ekspresif, kenapa tidak membuat judul yang lebih provokatif,-- “Cahaya Pembawa Petaka”, “Cahaya Dusta Indonesia”, atau “Cahaya Bersaudara” misalnya-- itu bila masih keukeuh ingin menghubungkan antara judul dengan isi gambar. Gagasan Jackson tentang warna-warni politik juga digugurkan dengan pencantuman tahun. Sebab, tahun 2004 sudah musimnya multi partai, tentu dengan banyak warna yang tidak hanya merah-kuning-hijau. Sayang, foto yang bagus, teknik yang menarik, dan gagasan yang asyik, terbantahkan justru oleh dirinya sendiri. Oleh satu frasa dan sederet kalimat yang seharusnya mengantar pada proses pemahaman dan penghayatan audiens, bukannya menjerumuskan.

***

Ada yang mencoba untuk bermain cahaya dalam artian yang harfiah, namun hasilnya cukup lumayan. Kali ini Andri B. Nugraha dalam “Pohon Cahaya” berhasil membuat cahaya gemerlapnya pesta kembang api menjadi karya yang cukup imajinatif. Bagaimana kemudian Andri tampak memaksimalkan fasilitas Bulb (B) pada kamera SLR-nya untuk menangkap tahapan sebuah kembang api hingga meledak dan menjelma menjadi menyerupai sebuah pohon kelapa atau pohon palem. Ada upaya untuk bersabar dalam merunut konsepnya. Walau tidak sempurna, tetapi pencapaian itu lumayan berhasil. Seharusnya Andri pun mengatakan terima kasih pada kemajuan teknologi fotografi karena karyanya itu tidak bisa didapat bila menggunakan kamera kelas entry level atau compact saja. Pun pada kamera generasi awal seperti kamera obskura atau daguerreotype misalnya.

Percobaan dengan cahaya juga membuat beberapa foto menjadi seperti tampak carut marut. Mungkin ingin menjadi semacam ekspresi yang abstrak, yang menurut saya bila digolongkan ke dalam penggolongan seni modern, lebih cocok berada di wilayah ekspresionis. Di mana fotografer berusaha untuk meluapkan emosi artistiknya dalam slow shutter (tak jarang di-set di B), dengan lensa yang tidak fokus, lengkap dengan handshake dan goyang-goyang yang disengaja. Sebut saja “AVA Blur” karya Anggi, “Sound of Light” karya Dani R, atau “Untitled” karya Andri B. Nugraha. Cukup menarik walau gagasan yang ingin ditonjolkan justru tidak tampak pada karya-karyanya selain menunjukkan teknik goyang kamera saja. Mungkin bila kelaka akan menjelajahi wilayah ekspresionis ini, mereka harus cukup banyak belajar mengolah dan menjelajahi emosi. Agar foto-foto yang dihasilkan kelak memiliki kedalaman emosi yang artistik, bukan narsisitik. Banyak contoh karya, baik dari seni lukis, ilustrasi, atau fotografi itu sendiri, yang bisa didapat dengan sedikit googling di Internet. Asal jangan belajar goyang kamera pada Julia Perez atau Denada, bisa beda ceritanya nanti.

Pada karya lain, sebut saja “Dream Day with Light” (Dani R), penggunaan cahaya dan warna cahaya justru lebih cerdas dimanfaatkan. Dani cukup gemilang menempatkan judul dengan karyanya sebagai suatu yang solid dan absolut. Bagaiman kemudian seperti tampak dalam gambar, seseorang yang duduk termenung berhadapan dengan cahaya. Bagaimana kemudian cahaya-cahaya berbinar akibat perbedaan ruang tajam (DOF) antara subyek dan background foto menjelma menjadi suatu pengharapan, suatu asa, suatu upaya menggapai jalan cahaya yang simbolik. Ini contoh foto yang berhasil menurut saya. Berhasil keluar dari kecenderungan berfikir literal menjadi lateral, kontekstual, dan simbolik. Nuansa imajinasi subyek foto pun bertambah kuat dengan penggunaan foto berwarna. Entah apa ceritanya bila dibuat dalam hitam-putih, walaupun hal itu memungkinkan dengan mewabahnya penggunaan software pengolah gambar yang dengan mudah membuat berwarna menjadi hitam putih hanya dalam satu klik pada mouse komputer.

***

Penggunaan software pengolah foto juga nampaknya tidak diharamkan pada pameran ini. Cukup membuat saya terhibur walau masih jauh dari puas. Karena penggunaan manipulasi digital masih sebatas tempelan atau trendi saja. Masih jauh dengan karya jama’ah tarekah Al Fotosoffiyah lain di belahan bumi lainnya. “Putri Cahaya” (Andri B. Nugraha) misalnya. Penggunaan software tampak jelas dengan memasang ornamen dekoratif floral pada bidang kosong yang hitam. Ditambah dengan setiap tepi foto yang dibubuhi garis pembatas/border berwarna hitam dengan efek guratan kuas. Membuat foto lebih menarik tetapi masih jauh dari kreatif. Karena hal ini seperti copy-paste dari foto-foto lain yang pernah saya lihat di foto-foto dokumentasi pernikahan/wedding atau foto-foto studio, yang sepertinya tidak ‘pede’ kalau tidak menunjukan pada calon konsumennya bahwa foto-foto mereka sudah digital, sudah computerized, sudah ‘photoshop banget gitu lho’.

Begitu juga penempatan teks di dalam karya foto. Pada jama’ah penganut aliran foto lain, menempatkan teks di dalam karya foto akan dianggap sebagai bid’ah. Sebagai heretic yang akan membuat foto tersebut menanggung dosa yang paling besar dalam kamus dosa fotografi jama’ah yang bersangkutan. Namun masih berjuta sayang, kenapa kebebasan untuk menempatkan teks tersebut tidak dimanfaatkan dengan baik? Mengapa hanya foto-foto Rio Tri Atmaja saja yang nekad membubuhkan teks di atas karyanya? Itupun sekedar tanda tangan saja. “FilmOgraphy Arts” (yap, dengan “O” besar di tengahnya), kata yang tak ada maknanya bila dihubungkan dengan karyanya, dibubuhkan pada semua foto karyanya. Bagus? Mmm... .

Tidak ada relevansi antara teks “FilmOgraphy Arts” dengan foto yang bersangkutan. Bila berani melakukan eksplorasi lebih jauh antara teks dan fotografi, mengapa tidak mencermati karya-karya photomontage seperti yang digelorakan fotografi Dadaisme misalnya? Tengoklah “ABCD” karya Raoul Hausmann (1923) 1) atau atau “Tableau Rastadada” karya Francis Picabia (1920)2). Dadaisme yang dikenal sebagai anak bengal di dunia seni modern, berani seenaknya menempatkan teks di dalam karyanya-karyanya. Puisi dengan kata-kata dan tipografi yang tidak jelas. Puisi di atas foto. Foto diatas lukisan dan drawing, bahkan foto dengan berbagai macam manipulasi yang pada jamannya sangat luar bisa karena dilakukan secara manual di dalam kamar gelap.

Hal ini mengingatkan saya pada saat Ray Bachtiar Drajat, yang ‘budak baong made in Bandung’ menyatakan keheranannya pada masa kini, di saat software pengolah foto (orisinil, bajakan, ataupun gratisan seperti The GIMP sangat mudah didapat), komputer semakin canggih, dan fotografi semakin mudah dan murah, tetapi ternyata sangat minim eksperimen dan eksplorasi. Ray juga menyatakan bahwa dirinya pernah menjadi juri dalam suatu lomba foto kelas bebas. Namun dari 2000 foto yang masuk, ia merasa heran karena ternyata Photoshop telah menyeragamkan ragam fotografi kelas bebas. Kegelisahan Ray kemudian tumpah pada kamera obskura (kamera kaleng, kamera lubang jarum, pinhole camera) di mana cahaya ditangkap dalam arti seharfiah-harfiahnya. 3)

Tanpa bermaksud promosi, bila ingin sekedar menempatkan cahaya dalam karya foto, kenapa tidak memakai kamera lubang jarum (KLJ) saja? Karena dengan KLJ maka judul pameran “Jalan Cahaya” akan menemukan makna yang sebenar-benarnya. Atau cobalah bereksperimen dengan photogram di kamar gelap sungguhan (dengan cairan developer, fixer, stopbath, lembaran film ortho, kertas foto, dan lampu merah serta lainnya). Atau bila ingin lebih praktis, modern dan gaul, pakai saja kamera lomo. Tidak perlu kamera yang berjudul mahal, besar, berat, dan canggih. Tidak perlu sotopop, tidak perlu mesin cetak yang canggih dan mahal, tidak perlu industri berskala besar yang hanya meninabobokan kreativitas dan meliarkan konsemerisme.

***

Masih banyak memang yang perlu dibenahi dari pameran foto ini. Seperti misalnya pemasangan foto yang terkesan buru-buru dan jauh dari rapi. Selain itu pesan sponsor di setiap bingkai cukup mengganggu. Seolah tidak cukup disimpan di spanduk, poster, katalog, atau undangan. Menunjukan bahwa fotografi kita masih lemah dalam soal bargain dengan industri. Mengapa harus disimpan di pigura? Mengapa harus disisipkan di depan foto? Padahal bila mau, tidak selalu yang namanya pameran foto itu dicetak di atas kertas foto dengan mesin yang mahal. Ada solusi lain, misalnya penggunaan printer warna kelas rumahan yang sudah semakin murah dan bagus.

Selain itu, proses kurasi yang melibatkan tiga orang kurator rasanya berlebihan banget deh. Masa untuk mengkurasi foto yang ‘gitu-gitu aja’ diperlukan tiga orang kurator? Apalagi bila membandingkan karya yang lolos kurasi ternyata tidak lebih baik dari karya yang tidak lolos, yang juga dipajang di sudut lain ruang pamer. Seharusnya dengan tiga kurator, foto yang dipamerkan akan lebih selektif, dan lebih sedikit dari sekarang. Sepertinya memang ada pemaksaan kuota entah dengan alasan apa.

Satu-satunya penghiburan adalah adanya katalog, benda yang tidak saya dapatkan dari pameran-pameran sebelumnya. Walaupun dicetak sederhana dengan printer rumahan, saya rasa katalog ini lebih dari memadai karena seluruh hal-ihwal dalam pameran ini tercantum di dalamnya. Namun masih ada lentik cahaya di hati saya, semoga tulisan ini tidak meruntuhkan semangat untuk berkarya. Fotografer boleh datang dan pergi. Patah tumbuh hilang berganti. Tetapi karya yang baik akan tetap dikenang sepanjang sisa peradaban ke depan. Sebab bangsa ini memerlukan karya seni yang baik juga, tidak sekedar indah atau numpang lewat saja. Salah satu arah pencapaian adalah dengan memperbanyak silaturahmi, berdiskusi, bersantai dan bersenda-gurau untuk kemudian didedahkan menjadi suatu karya foto yang layak untuk dikenang.


1.Ades, Dawn. Photomontage, Revised and Enlarged Edition. Thames & Hudson, New York: 2000 (reprinted); Hal. 39
2.Ibid, Hal. 109.
3.Diskusi dalam acara Photo Speak 29 di Sabuga ITB, 26 Maret 2009.


==============================
1 April 2009

Ricky Nugraha
Desainer Grafis, Pecinta Kopi dan Fotografi

www.6ix2o9ine.blogspot.com

3.25.2009

MERENUNGI KOTA, MENANGISI MANUSIA, MENGUJI REALITAS



MERENUNGI KOTA, MENANGISI MANUSIA, MENGUJI REALITAS

http://6ix2o9ine.blogspot.com

:Catatan dari Pameran Foto "Reality, How Does it Go?”

What is “real”. How do you define “real?”.
If you’re talking about what you can feel,
what you can smell, taste, and see,
then the "real" is simply electrical signal
interpreted by your brain.
(dialog Morpheus dan Neo dalam film “Matrix”, 1999).


Realitas, adalah pertanyaan mendasar yang banyak diajukan dalam kerangka pemikiran filsafat. Yasraf Amir Piliang mendefinisikan realitas (reality) sebagai segala kondisi, situasi atau obyek-obyek yang dianggap benar-benar ada di dalam dunia kehidupan, sebagai kebalikan dari apa yang disebut dengan fiksi, ilusi, halusinasi, atau fantasi. 1)

Tentu definisi di atas pun mengundang permasalahan baru, di mana realitas sangat tergantung dari apa dan bagaimana persepsi seseorang terhadap realitas. Terlebih lagi bila kemudian persepsi realitas itu divisualkan dalam sebentuk karya essai foto yang dipublikasikan dalam sebuah pameran bersama. Pameran bersama bertajuk “Reality, How Does it Go?” ini digelar oleh sekelompok fotografer yang tergabung dalam UKM Fotografi “Potret” Universitas Parahiangan Bandung. Pameran ini diikuti oleh 14 fotografer serta digelar di GSG Unpar mulai tanggal 23 hingga 25 Maret 2009 dengan menampilkan 118 foto yang terbagi ke dalam 14 sub judul.

Dalam kuratorial yang ditulis Dik (Ondi Kuswandi) sebagai kurator, ada semacam pernyataan bahwa ...”realitas” dalam pameran ini adalah untuk “...membawa kita ke dalam cara pandang yang melatarbelakangi pemotret ketika melakukan pengambilan gambar pada satu titik ruang kota sebagai obyek foto menjadi sangat personal dan menapikan tata ruang kota Bandung itu sendiri secara fisik...” 2)

Realitas, atau sering kita padankan dengan kata kenyataan, kemudian pada karya-karya foto yang dipamerkan lebih menjadi suatu pertanyaan daripada pernyatan. Tentu saja saya cukup suka di saat berhadapan dengan karya (fotografi) yang melontarkan pernyataan dan permasalahan daripada memberikan pernyataan. Di mana kemudian karya-kaya tersebut lebih terbuka untuk berdialog secara batin dengan saya sebagai seorang penggemar karya foto. Apalagi bila berhadapan dengan permasalahan-permasalahan mengenai kota, tata ruang kota, serta manusianya. Permasalahan di mana manusia dikomodifikasi untuk bisa bertahan hidup di antara tata ruang kota yang tidak sepenuhnya layak. Menjadi absurd, seperti yang dilontarkan Albert Camus atau menjadi “one dimensional man” dalam terminologi Herbet Marcuse.

***

Seperti halnya juga dengan “Lost Paradise”, sekumpulan essay foto karya Nasrul Akbar. Karya yang berjumlah 12 foto ini berusaha berusaha menangkap keseharian warga kota di suatu hari di ruang publik yang bernama taman kota. Wajah-wajah cerah mendominasi pengunjung taman kota (yang saya kenali sebagai Taman Lansia di sepanjang Cilaki), secerah Nasrul Akbar merepersentasikan kenyataan ke dalam bingkai-bingkai yang didominasi warna hijau. Nasrul tampaknya menangkap realitas taman kota sebagai ruang publik yang menjadi oase warga kota yang lelah bergumul dengan kenyataan hidup. Oase untuk berkumpul bersama keluarga, berpacaran, jajan makanan murah meriah, serta menghirup udara segar yang merupakan hak azazi yang kerap terabaikan oleh pengelola kota.

Sementara itu di bagian lain, M. Adnan Luthfi menawarkan realitas yang terjadi di bawah jembatan layang Paspati, terutama di Dago dan Cikapayang – Balubur Lama. Kemiskinan serta kumuhnya tata ruang kota yang tidak bersahabat untuk si miskin direpresentasikan M. Adnan ke dalam 11 foto yang suram dengan tajuk “Di Bawah Atap Beton Beraspal”. Tetapi kesuraman kota tampaknya tidak berlaku bagi anak-anak, di mana M. Adnan mampu menangkap secuil adegan kegembiraaan anak-anak yang sedang bermain di kumuhnya suasana di bawah jalan layang Paspati. Sementara di bingkai lain menunjukan kerasnya perjuangan hidup kaum dewasa dalam bertahan hidup mesti harus beratapkan beton beraspal yang keras.

Keceriaan anak-anak ini juga dimunculkan secara verbal oleh Bagja Rahmatullah dalam “Anak-anak Dengan Keterbatasan Ruang” yang muncil dalam 8 foto. Bagi Bagja, keterbatasan ruang kota tidak menghalangi anak-anak untuk bermain, walau menurutnya cukup sulit untuk menemukan ruang itu. Bagja merekam keceriaan anak-anak yang bermain di taman kota Bagus Rangin serta di Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat, yang hanya beberapa ratus meter dari megahnya kompleks Gedong Sate, tempat para gegeden Jawa Barat berkantor. Di aspal yang panas dan tajam sekalipun, di tembok yang dingin, anak-anak tetaplah anak-anak. Ceria dan bersemangat.

Pada “The Prisoners”, yang terdiri atas 9 karya foto essai Andi Syarief menunjukan kepedihan seorang fotografer di mana ia mendapatkan kenyataan bahwa “...keadaan bintang di kebun binatang Bandung ini. Dari tahun ke tahun tiada perubahan yang berarti...”. Andi Syarief begitu berduka dengan kondisi ‘para tawanan’ di kebun binatang yang terpenjara. Seekor beruang madu Sumatera (Helarctos malayanus malayanus) begitu murung di balik teralis, juga halnya seekor monyet beruk abu-abu (Macaque) berwajah memelas. Sementara di beberapa bingkai lain, Andi juga menangkap momen seorang ibu disaksikan suami dan anaknya tengah memberi makan sekumpulan rusa. Sedangkan di bingkai lain, di balik terali tampak seekor monyet tengah mengendong dan menyuapi anaknya.

Di tempat lain, Andi juga menangkap keceriaan tiga orang anak yang berfoto dengan seekor ular Sanca (Phyton rheticulatus). Kemuraman Andi pun tercermin pada warna foto yang cenderung muram dan gelap, namun sayang letupan emosinya menjadikan karyanya tidak konsisten dengan format. Di mana beberapa foto dipaksa untuk berformat bujursangkar, dan berhasil. Sedangkan sisanya tetap dalam format foto standar. Walau tidak mengurangi esensi, tetapi cukup mengganggu.

***

Dari 14 judul, yang sangat provokatif adalah saat Amaliya Nur Gustyara menampilkan 6 foto berukuran 16 R dengan teknik cetak hitam putih. Di bawah tajuk “Two Love Birds”, Amaliya menangkap sisi lain kehidupan warga kota yang berada di wilayah hitam putih realitas. Amaliya tampak fasih menangkap momen sepasang kekasih sejenis, ya sesama jenis, sedang bermesraan. Suatu tonjokan yang dahsyat bagi moralitas tetapi merupakan realitas yang ada di depan mata kita. “Walau sebagian masih sembunyi-sembunyi”, simpul Amaliya.

Pemilihan teknik cetak hitam-putih menunjukan bahwa dunia kaum Gay menurut Amaliya adalah dunia yang hitam-putih pula. Tinggal masalahnya apa yang hitam dan siapa yang harus menjadi putih. Amaliya juga tidak mau terjebak menjadi si hitam dengan tidak menunjukkan identitas siap sebenarnya “Two Love Birds” itu. Di mana ia tampak mem-blur-kan wajah sepasang kekasih itu dengan memakai kecepatan rana rendah pada subyek gambar yang dinamis bergerak atau membuatnya menjadi siluet dengan backlight yang kontras. Sedangkan pada beberapa bingkai simbolik lainnya, Amaliya tampak terpesona dengan simbolisasi seksualitas kaum gay yang tertangkap kamera sedang memegang, maaf, pantat pasangannya sambil bertelanjang dada. Sungguh suatu dunia hitam putih yang membuat abu-abu berserakan di antara keduanya.

Sementara itu, fotografer lain seperti Rengky Irawan(Bandung, Ekspresi Kami; 14 foto hitam putih), Ariana Hayyulia Rasyid (Tak Perlu Keliling Dunia; 8 foto berwarna) berusaha menangkap realitas kota melalui potret warganya. Rengky memajang 14 foto potret dalam hitam putih yang tegas dan muram tentang beberapa warga kota yang harus berjuang keras untuk hidup dalam extreme close up. Ariana merepresentasikan realitas dalam foto potret berwarna yangmenampilkan wajah-wajah perempuan muda yang segar dan ceria serta dua bingkai foto boneka, yang seolah menjadi anti tesis bagi Rengky.

Anti tesis membuat Ariana menulis bahwa ia merasa bingung saat hendak menangkap realitas sebuah kota dalam foto, namun ia merasa enggan meninggalkan Bandung dan merasa tidak perlu keliling dunia karena ‘dunia’ lah yang mengelilinginya. Bagi Ariana, dunianya adalah sahabat-sahabatnya, sedangkan dunia bagi Rengky adalah wraga kota yang berjuang keras mensiasati hidup.

Hal ini juga muncul pada “Persahabatan” karya Adhi Prianarizki (5 foto), yang merepresentasikan permasalahan realitas sebagai suatu persahabatan. Lengkap dengan syair lagu “Persahabatan Bagai Kepompong” yang dikutip utuh sebagai bagian dari essainya.

Kemuraman kota di pun tampak pada “Alien in Town” (Dhea Aditya; 8 Foto), “Braga The Under Exposed” (I Gusti Ngurah Krisna Maruti; 10 foto hitam putih), serta pada “Steal The Freedom” (Aulia Fitriasari; 10 foto hitam putih). Foto-foto yang dibuat dalam kecepatan rendah seperti menggambarkan terpenjaranya manusia Bandung dalam tata ruang yang, sekali lagi, tidak bersahabat bagi sebagian orang. Bahkan Aulia menulis perlunya mencuri kemerdekaan sekedar untuk mengekspresikan keinginan anak-anak muda untuk bermusik.

Tidak selalu kemuraman yang menonjol dalam permasalahan yang diusung pameran ini. Dalam “Lautze” (10 foto), Rizki Irawan mengungkap sisi relijius Bandung dalam tata ruang yang kejam dengan mengambil momen sholat Jum’at di mesjid Lautze. Sebagai informasi, mesjid Lautze adalah mesjid yang didirikan warga Bandung keturunan Cina. Mungkin satu-satunya rumah ibadah yang harus ‘ngontrak’ di lingkungan pertokoan.

Perjuangan hidup si kecil juga muncul dalam kerasnya warna-warna pada karya M. Gita Fazryan (Hidup Dalam Goresan Putih; 9 foto). Perjuangan hidup para penambang kapur di pinggiran kota Bandung yang tidak seputih kapur yang ditambangnya. Kontras yang tinggi serta tonal foto yang gelap mempertegas kerasnya kehidupan para penambang itu.

Ada juga karya yang culup menonjol bagi saya, yaitu di saat dalam “Ibrahim” (judul asli ditulis dalam huruf Arab Gundul; 8 foto) merasakan kesepian luar biasa yang berkorelasi dengan “Alien in Town”-nya Dhea Aditya. Astrid merekam beberapa sudut kota yang lengang dalam hiruk-pikuknya kota. Jalanan yang lengang di siang hari, jembatan penyeberangan yang tidak digunakan warga kota, parkiran di basement yang tanpa kendaraan, serta bioskop yang kehilangan penontonnya. Namun sayang, kesepian kota yang direpresentasikan Astrid, terganggu dengan hadirnya foto seorang laki-laki –entah siapa, mungkin kekasihnya-- di akhir essai fotonya. Tidak ada statemen apapun mengenai foto terakhir, sehingga membuat saya merasa harus meminta pertanggungjawaban kurator yang meloloskan foto tersebut, yang tentu tidak relevan dengan kuratorialnya.

***

Pada segi penyajian, pameran ini mampu memuaskan dahaga saya akan foto-foto yang melontarkan permasahan dan dialog batin pada audiens-nya. Dari segi lay out pameran yang digelar di ruang GSG Unpar yang cukup luas juga memuaskan, walau masih saja saya dan banyak audiens lain harus tatanggahan guna mendapat pemahaman yang utuh atas foto-foto yang dipajang jauh di atas kepala. Cetak foto pun cukup bagus terlebih dengan melapisi foto dengan doff coating yang selain mampu meredam silau, juga akan membuat foto relatif aman dari dampak sentuhan atau goresan. Bahkan saya sangat berharap, bahwa foto-foto ini bisa disimpan dengan baik, baik printing maupun file aslinya, mengingat foto-foto ini akan menjadi dokumentasi yang berharga 10 atau 20 tahun kemudian. Seperti halnya saya menyukai foto-foto Bandung “tempo doeloe” yang lahir pada tahun 1900-an dan terdapat dalam buku-buku Haryoto Kunto (alm.).

Lepas dari segala kekurangan penguasan teknik dan pengolahan gagasan , secara umum para fotografer, yang rata-rata berusia muda ini, berani menawarkan bentuk-bentuk visual simbolik, yang akan mengernyikan dahi audiens-nya. Gagasan-gagasan akan realitas tidak saja ditonjolkan dengan pemahaman yang verbal, tetapi juga simbolik. Makna foto pun tidak hanya denotatif, tetapi konotatif. Serta makna kemudian tidak hanya diproduksi oleh fotografer, tetapi juga oleh audiens. Suatu keberanian yang menarik menurut saya, yang akan membuat karya fotografi tidak hanya akan menjadi karya yang WYSIWYG (What You See is What You Get), tetapi menjadi WYSIWYFT (What You See is What You Feel and Think).

Namun sayang, lagi-lagi masalah tidak hadirnya katalog, bahkan dalam selembar kertas pun membuat saya menelan kekecewaan. Karena dari katalog itulah saya bisa mendapat teks kuratorial yang utuh dan bisa dikonfrontir kapan saja. Pun essai-essai yang menyertai di setiap judul. Saya pun sedikit abai dalam mencatat essai-essai yang ditulis para fotografer karena berharap akan mendapatkannya dalam katalog atau di website pameran.

Dari segi penulisan essai, yang bisa saya catat memang perlu banyak dibenahi, terutama agar gagasan tekstual tetap sinkron dengan hasil visual. Agar essai yang dibuat tidak merupakan justifikasi atau pembenaran atas karya foto, atau letupan emosional jiwa muda semata. Tetapi essai yang mampu membuat audiense luruh, cair, dan berdialog dengan permasalahan-permasalahan yang ditawarkan fotografer secara visual. Tentu saya juga mencatat beberapa essai bahkan menggunakan kutipan penggalan lagu sebagai statemen karyanya. Tidak ada salahnya mengutip dan terinspirasi syair lagu, tetapi akan lebih baik bila fotografer juga belajar menuliskan statemennya dalam bahasanya sendiri, dalam diksi dan gayanya sendiri.

Saran saya yang lain, sebaiknya semua foto dan teks dari pameran ini di-broadcast di internet sebagai blog atau apalah. Tentu agar karya-karya essai foto ini terus dapat ditafsirkan oleh banyak orang dalam jangkauan yang lebih luas, dalam daya jelajah waktu yang lebih panjang dan lebih menawarkan dialog . Selain itu, agar kegiatan fotografi yang dilakukan ini juga terdokumentasikan secara digital di internet. Sebab, tanpa dokumentasi, pameran ini akan lenyap saat waktu pameran berakhir dan dilupakan sehingga kita tidak dapat belajar apa-apa darinya.


1.) Yasraf Amir Piliang. Posrealitas, Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika; Jalasutra: 2004
2.) Dik (Ondi Kuswandi). Menangkap Fragmen Kota Melalui Foto; Pamflet Kuratorial Pameran: 2009

===================================

Bandung, 24 Maret 2009
Ricky Nugraha
Desainer Grafis, Pecinta Kopi dan Fotografi

Foto Suasana Pameran:
Ricky Nugraha
Ivan Arsiandi

http://www.facebook.com/note.php?saved&&suggest&note_id=63183087756#/editnote.php?note_id=63183087756

3.21.2009

PEMILU 2009, PEMILU 21 TRILIUN RUPIAH

Beberapa hari yang lalu di status Facebook saya menuliskan "21 T untuk biaya pemilu 2009. Bila dibagi dengan 250 juta WNI maka per orang kena charge Rp. 84 juta". Dalam beberapa saat ada beberapa komentar atas statemen tersebut. Baik mendukung maupun mempertanyakan. Ada juga yang menyarankan agar sebaiknya ikut pemilu. Status tersebut sebetulnya saya comot dari SMS yang dikirimkan seorang pemirsa TV swasta beberapa hari sebelumnya saat membicarakan kesiapan menjelang pemilu 2009.

Ada yang menarik kemudian setelah saya search di internet. Ternyata pada tahun 2007 KPU mengajukan dana sebesar -WOW- sekitar 49 triliun. Lebih dari dua kali lipat dari yang bisa direalisasikan pemerintah pada tahun 2009 ini.

Catatan ini tidak bertendensi untuk menunjukkan kebenaran atau anjuran apapun. Hanya saja bila kembali ke perhitungan awal, yakni 21 triliun yang bila dibagikan ke 250 juta penduduk Indonesia, maka setiap penduduk akan mendapat jatah Rp. 84 juta. Baik itu penduduk dengan KTP, manula, dewasa, remaja, atau bahkan balita. Atau bila logikanya dibalik, maka setiap penduduk telah menyumbang dana pemilu sebesar Rp. 84 juta.

Dengan 84 juta per kepala akan banyak yang bisa dibeli. Saya adalah bapak dengan satu istri dan dua anak. Bila dana pemilu dibagikan maka saya akan bisa mendapat dana segar yang luar biasa besar untuk ukuran kami yang tinggal di kampung. 84 juta X 4 kepala = Rp. 336 juta.... WOOOOOW...

Dengan uang sejumlah itu saya bisa menambah modal usaha, bisa membeli XL2, memakai software orisinal, serta menjauhkan berbagai macam debt collector selama-lamanya. Bisa mengambil sertifikat rumah yang sedang sekolah di sebuah bank. Si Ujang dan Si Nyai bisa mendapat asupan makanan yang sehat dan bergizi serta mendapat jaminan pendidikan yang lebih layak. Bisa membangun perpustakaan multimedia di kampung. Bisa maen Facebook sampai bosen, bisa hidup dengan nyaman sampai pemilu berikutnya di tahun 2013 digelar.

21 Triliun adalah biaya dasar. Belum lagi biaya kampanye dari para caleg atau calon presiden yang mulai hari ini bertebaran di jalan-jalan dalam rangka kampanye pemilu damai. Akan ada pengeluaran ekstra sekian rupiah lagi untuk menghasilkan legislator dan presiden di masa pemilu 2009 ini. Itu yang belum terhitung kecuali pemilu ini telah usai. Sebagai informasi tambahanan, biaya Pilkada Jatim hampir menyentuh angka 1 triliun.

Betapa mahal biaya untuk suatu sistem yang dikatakan demokrasi, sementara ancaman PHK serta pengangguran semakin merajelala menjelang krisis ekonomi global yang puncaknya menurut para ahli akan terjadi di 2010. Beberapa berita di televisi menunjukkan pada 3 bulan pertama di 2009 ini, di Indonesia saja sudah ada 240 ribu orang di-PHK. Serta kemungkinan akan semakin meningkat.

Demokrasi, atau apapun namanya, tentu diharapkan akan menghasilkan pemimpin dan legislator yang peduli rakyat, bebas korupsi, serta mampu membimbing serta mengawal negara ini mencapai kesejahteraan ekonomi, terutama di masa krisis. Biaya yang sangat mahal, bahkan sekian nyawa telah berpulang dalam perjalanan demokrasi bangsa ini. Demokrasi, atau apapun namanya, tidak sepantasnya menghasilkan pencuri-pencuri baru atau kolaborator baru yang tega menguras harta kekayaan bahkan nyawa warga negaranya. Bila setelah Pemilu 2009 hanya akan lahir para maling, koruptor, dan tiran baru, lebih baik anarki saja deh. Gak usah pake pemimpin, gak usah pake legislator, gak usah ada negara.Yang penting rakyat bisa bekerja dengan tenang dan hidup layak sebagai manusia.

Selamat mengikuti kampanye. Selamat mendapat bonus kemacetan baru. Selamat deg-degan. Saya mah mau kembali bermimpi dengan uang 84 juta yang tak akan pernah ada.

3.05.2009

PAMERAN DISPLAY FOTO


Membaca selembar poster yang terpasang di sudut sebuah toko foto di Jalan Bengawan Bandung, cukup menarik minat saya. Poster tersebut berisi pengumuman pelaksanaan sebuah pameran foto dan workshop di gedung Telkom Bandung. Maka di satu hari ke dua pameran, dengan semangat 45 saya menuju gedung Telkom di Jalan Japati Bandung. Tidak sulit mencapai ruangan pameran. Tentu saja karena terletak di lobby utama yang sejuk dan luas yang mudah diakses dari mana saja.

Begitu tiba di ruang pameran, saya celingukan mencari meja penerima tamu sebagaimana layaknya sebuah pameran. Ternyata tidak ada. Bahkan saat saat itu tidak seorang pun menjaga pameran. Tidak adanya katalog dan informasi lain di sekitar lobby membuat tidak tahu apa yang akan terjadi kemudian. Tidak ada keterangan siapa kurator pameran dan apa pernyataanya. Pameran ini, lagi-lagi, hanya pantas disebut ajang display foto saja. Hanya ada keterangan bahwa pameran foto ini terselenggara oleh Klab Foto135, yang merupakan klab hobiis fotografi di Telkom.

Bahkan, tajuk pameran pun yang merupakan benang merah dialog antara karya dengan tidak terpampang di sudut manapun. Di poster yang saya lihat di hari sebelumnya, ada tajuk "menyambut ulang Tahun SEKAR'. Tadinya berharap akan menemukan foto-foto tentang serikat karyawan Telkom. Tetapi ternyata itu bukan tajuk pameran, melainkan pengumuman mengapa pameran ini diadakan, Hanya untuk menyambut ulang tahun Sekar. Selain beberapa banner sponsor serta sebuah kanvas putih yang menyambut di awal tatapan.

Kanvas putih itu juga bukan berisi sesuatu yang berhubungan dengan karya foto yang dipamerkan. Lebih merupakan semacam seremoni dari gegeden Telkom dan Serikat Karyawan Telkom (Sekar). Baiklah, tidak perlu ditulis apa isinya, cuma saja terheran-heran dan bingung mencari relevansi pernyataan "Kapabilitas fotografi ini adalah untuk memperkaya konten jaringan internet Telkom. Sekarrr!!!". Duh... saya merasa menjadi seorang bodoh yang berada di tempat yang salah.

Di sampingnya terpampang empat bingkai foto pejabat-pejabat Telkom yang juga berfoto bersama dengan anggota-anggota LVRI. Saya pikir masih merupakan bagian dari pameran, ternyata bukan. Foto pertama yang saya yakini kemudian sebagai karya adalah sebuah foto berukuran 16R dengan posisi horisontal. Gambarnya adalah Fly Over Paspati di malam hari dengan yang diambil dengan teknik long exposure.

Foto berikutnya-foto berikutnya adalah mimpi buruk yang menjadi nyata. Beragam jenis foto dengan beragam karakter dan beragam konten tampil seolah saling berebut meminta perhatian dan berteriak, "lihatlah saya, lihatlah saya" . Mulai still life, landscape, infra red, hitam putih, sport, sampai product shot. Beragam, berjejal, dan berteriak. "Lihatlah saya, lihatlah saya". Seperti saat membeli CD MP3 kompilasi dengan bermacam jenis lagu yang bercampur baur dalam satu album. Tidak ada benang antar foto, tidak ada kesesuaian tajuk. Seperti negara yang baru belajar demokrasi: hiruk pikuk dan riuh rendah.

Hal tersebut diperburuk dengan tata penempatan foto yang tidak mengindahkan postur sebagian pengunjung. Banyak di antara foto berformat horisontal yang dipasang lebih tinggi dari eye level. Entah saya yang terlalu pendek atau memang terlalu tinggi. Karena sering kali saya harus tengadah untuk mendapatkan eye level yang baik. Dan tentu saja tidak berhasil kecuali saya 10 cm lebih tinggi. Lebih parah lagi, hampir seluruhnya memakai bingkai berkaca yang membuat silau dan menyulitkan untuk memperhatikan detail.

Bukan kapasitas saya untuk membahas teknik yang dipergunakan. Lagian toh saya tidak terlalu pintar untuk hal-hal yang itu. Saya mencoba fokus pada pesan setiap gambar yang dipamerkan. Tetapi lagi-lagi kesulitan dan hanya bisa berujar, "foto-foto yang bagus. Sangat piktorial, tipikal, tetapi ya, gitu deh...". Beberapa yang bisa diingat adalah di antaranya memiliki cacat teknis yang fatal seperti jaggy/bergerigi, di mana hal tersebut menunjukan piksel foto terlalu sedikit untuk dicetak dalam 16R. Beberapa karya malah lebih tragis. Di bagian atas dan bawah terpampang garis hitam melintang. Persis seperti cinema scope di bioskop. Hanya saja yang ini tidak menambah nilai foto, tetapi malah menguranginya.

Dari segi konten foto yang beragam, serasa merasa melihat kalender yang bervariasi. Foto-foto landscape yang ada, lebih merupakan penanda bahwa sang fotografer pernah berwisata ke tempat itu. Bukan suatu karya yang merupakan hasil kontemplasi atau dialog dengan alam itu sendiri. Tentu saya percaya dengan statemen "Author is Dead" seperti kata Roland Barthes. Tapi, untuk sesuatu yang dikatakan pameran foto, saya rasa cukup keterlaluan. "Sang "Author" masih saja bergentayangan di dalam karya bukan di luarnya. Karyanya tidak bisa berdialog dengan audience. Belum lagi penggunaan fotografi infra merah yang menurut saya serampangan dan tidak menunjang isi foto itu sendiri. Ditambah penggunaan software pengolah foto yang serampangan, walau hanya untuk memperkaya warna, tetapi malah mengganggu keseluruhan karya foto.

Dari 51 karya foto dari beberapa fotografer, OK lah saya harus tertarik pada sebuah foto yang sangat lucky menurut saya. Sangat "The Decisive Moment" lah. Foto yang menggambarkan sebuah sepeda motor yang terjatuh di arena road race. Foto tersebut tampak sangat 'grainny'. 'Grain' yang besar-besar pula. Itu karena butiran air yang menciprat bercampur dengan noise pada ASA tinggi yang membuat foto menjadi dramatis. Ditambah lagi, lagi-lagi jaggy. Untungnya kelemahan-kelemahan secara teknikal itu menunjang konten foto.

Ah.. belum sampai saya pada foto terakhir, saya sudah merasa lelah untuk mencatat. Foto yang terlalu bervariasi dengan jumlah cukup banyak, serta sering tengadah membuat saya 'nyeri beuheung sosonggeten'. Mungkin besok bila bangun pagi, saya akan kembali lagi dengan membawa jojodog agar bisa mendapatkan eye level yang baik. Oh, iya saya lupa. Saya seharusnya mengetik FOTO spasi NOMOR FOTO dan dikirim ke nomer XXXX seperti yang tertera di bagian lain judul foto. Siapa tahu bila menang tagihan internet bulan lalu yang membengkak, mendapat keringanan. Sesuai statemen yang tertera di awal display pameran, fotografi menunjang konten jaringan internet...


=====================
Bandung, 5 Maret 2009
Ricky Nugraha,
Desainer Grafis, Pecinta Kopi dan Fotografi

2.21.2009

FOTOGRAFI SEBAGAI AGEN PERUBAHAN SOSIAL

Menjadikan fotografi sebagai agen perubahan sosial? Mmm, tampaknya muluk-muluk ya. Di era ‘polusi’ visual dewasa ini, fotografi masih saja berada dalam wacana estetika (piktorial), berita, dokumentasi, atau juga pelengkap sarana periklanan semata. Ranah fotografi seolah tidak bisa beranjak dari wacana “jepret dan kenanglah”. Tengok saja Facebook, di mana fotografi secara umum menjadi etalase untuk mengingat dan mengenang masa lalu. Tag sana tag sini dan selesai. Benarkah?

Ternyata tidak. Dari situs jejaring sosial seperti Facebook ini, fotografi dengan sadar (atau tanpa disadari) telah beranjak dari kasta perekam visual atau dokumentasi belaka, naik kasta menjadi agen perubahan sosial. Janganlah muluk-muluk dan berkerut kening dulu dengan istilah agen perubahan sosial atau agent of social change seperti saat penataran P4 di awal masuk universitas tahun 1990-an dulu. Atau jangan lantas sibuk membuka buku “Bunga Rampai Sosiologi” Selo Soemardjan yang tebal itu.

Tapi ingatlah kebiasaan-kebiasaan kita sebagai pengguna aktif Facebook, misalnya. Tentu bila hanya dilakukan sendiri saja namanya sih kayaknya bukan perubahan sosial, tetapi perubahan individu. Ada istilah ‘narsis’ karena seringnya memajang foto diri yang sedemikian banyak di situs tersebut. Tetapi ‘narsis’ yang merupakan gejala psikologi individu itu kemudian berubah menjadi ‘narsis sosial’ karena dilakukan oleh banyak orang. Atau, ambilah asumsi positif, di mana Facebook dengan segala isi di dalamnya, termasuk fotografi, mampu mengerakan berbagai acara reuni. Mulai dari reuni TK sampai reuni tingkat Universitas. Bahkan, secara pribadi, karena foto-foto masa lalu yang di-upload ke Facebook, tahun 2009 ini saja saya harus mengikuti dan menggelar acara reuni SD dan SMA.

***
Ada dinamika dari fotografi, juga ada dampak yang ditimbulkannya. Seperti juga halnya lomba foto “Selamatkan Karst Citatah” yang kemudian diikuti pameran foto pemenang dan nominator lomba dengan judul yang sama. Pada kegiatan yang diadakan KRCB (Kelompok Riset Cekungan Bandung) dan Air Photography Communication ini, kita bisa merasakan emosi yang dahsyat saat fakta temuan-temuan KRCB dirilis dalam bentuk visual yang tidak melulu mengedepankan estetika, tetapi juga dibalut dengan semangat idealisme yang kental.

Pegunungan kapur yang membentang sepanjang 6 km di wilayah Citatah hingga Rajamandala ini adalah rekaman purbakala bagaimana dan mengapa cekungan Bandung terbentuk. Rekaman purbakala bagaimana karuhun urang Sunda hidup di pinggiran danau Bandung Purba di masa 9500 tahun yang lalu. Tetapi, karena keserakahan dan ketidaktahuan (serta ketidakingintahuan alias sikap masa bodoh) lah situs purbakala ini dihancurkan dan dieksploitasi hanya demi kepentingan ekonomi sebagian orang saja.

Kegiatan “Selamatkan Karst Citatah” melalui fotografi ini kemudian mencapai level tertinggi, di mana suatu kegiatan kepedulian lingkungan direspon dengan segera oleh gegeden Jawa Barat. Tercatat kemudian pernyataan Wakil Gubernur Jawa Barat, H. Dede Yusuf, saat membuka pameran yang berlangsung dari tanggal 19 s.d. 21 Februari 2009 di Museum Geologi Bandung, yang dengan tegas menyatakan bahwa pemerintah Propinsi Jawa Barat akan segera menyelamatkan Karst Citatah dari eksploitasi penambangan legal dan ilegal. Bila awalnya menunggu anggaran pemerintah Jawa Barat cair pada 2010, maka Wagub H. Dede Yusuf menegaskan bahwa penyelamatan Karst Citatah tidak bisa menunggu selama itu. Wagub menyatakan bahwa karst Citatah akan diselamatkan mulai sekarang juga.

Pernyataan Wakil Gubenur tersebut yang diucapkan pada saat acara pembukaan Pameran Foto “Selamatkan Karst Citatah” adalah suatu bukti bahwa fotografi mampu mendorong terjadinya perubahan sosial. Bagaimana kemudian sosok pemerintah yang biasanya hare-hare untuk masalah lingkungan hidup di negara ini, menjadi sangat peduli dan berjanji untuk melakukan perubahan secepatnya.

Fotografi, terutama di Bandung, dewasa ini telah mampu bergerak keluar dari frame estetika, berita, atau dokumentasi semata. Bergerak ke ranah sosial politik, di mana akan terjadi perubahan paradigma masyarakat dalam memahami karst Citatah. Membuka mata gegeden Gedong Sate melalui hasil jepretan lensa, yang bila semula ‘hanya untuk’ mendokumentasikan karst yang tersisa untuk diwariskan pda anak cucu kelak, kini berkembang menjadi suatu ‘upaya’ perubahan (perilaku) sosial.

Semoga upaya yang dilakukan KRCB dan Air Photograpy Communication serta segenap insan fotografi Bandung ini bisa secepatnya direalisasikan para gegeden kita. Karena bagaimana pun juga, tanpa campur tangan politik, perubahan sosial tidak akan pernah terjadi. Pun fotografi tidak akan pernah beranjak dari sekedar rekaman dokumentasi semata bila para insan fotografi tidak pernah membekali dirinya dengan berbagai wacana ideologis. Bila pada satu wilayah sejarah fotografi di Bandung pernah berjaya di wilayah fotografi estetika, fotografi berita, fotografi komersial, fotografi dokumentasi, maka wilayah sejarah ke depan akan mencatat bahwa fotografi kita mampu menjelajahi wilayah perubahan-perubahan serta dinamika sosial masyarakat, bahkan mampu mengarahkan suatu perubahan.

======================
Ricky Nugraha
Desainer Grafis, Pecinta Kopi dan Fotografi

2.13.2009

DEMOKRASI BUKAN SATU-SATUNYA JALAN

Beberapa hari terakhir ini berita pilkada di Jawa Timur menjadi perhatian saya. Bukan karena konflik berkepanjangan antara Karsa dan Kaji. Atau pilkada ulang di Bangkalan Madura. Tetapi yang menjadi perhatian saya adalah berapa biaya yang dipakai untuk kebutuhan pilkada tersebut. Sampai akhirnya beberapa media elektronik memberitakan bahwa biaya Pilkada Jatim adalah biaya pilkada termahal sepanjang sejarah pilkada di Indonesia: hampir 1 triliun rupiah atau 1000 miliar atau 1.000.000 juta! (punten bilih lepat ngitung, teu tepi kalkulatorna...)

Hampir 1 Triliun biaya masyarakat yang terserap untuk sebuah pesta demokrasi, sebuah pesta representasi, yang katanya dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat. 1 Triliun, sebuah angka fantastis buat seorang buruh tani di kampung Pangatikan yang mendapat upah Rp. 10.000 per hari untuk membersihkan kebun dari jam 6 pagi hingga menjelang magrib. 1 Triliun merupakan angka fantastis untuk seorang buruh pabrik tekstil di Ranca Ekek sana yang hanya mendapat Rp. 30.000 per hari setelah bekerja 8 jam tanpa henti di tengah gemuruh mesin. 1 Triliun adalah angka fantastis untuk seorang guru SD di kaki gunung Manglayang yang saban hari harus naik-turun gunung mencapai sekolah. 1 Triliun adalah angka fantastis bagi seorang wartawan yang setiap liputan yang dimuat di televisi mendapat Rp. 250.000 setelah pontang-panting siang dan malam.

Di kampung saya, di Ciamis, satu pasangan calon bupati dan wakil bupati pada Pilkada 2008 lalu mengelurkan dana minimal Rp. 2 miliar rupiah untuk biaya kampanye saja. Itu biaya yang paling murah. Saat itu ada 4 pasangan cabup-cawabup. Minimal Rp. 8 miliar yang dipakai untuk biaya kampanye saja. Entah itu berbentuk poster, baligo, gaji dan operasional tim sukses, atau sembako dan program dadakan lainnya. Itu baru di Ciamis.

Hasil akhir sebuah demokrasi belum tentu dirasakan. Pemimpin terpilih belum tentu mampu mewujudkan semua janjinya. Rakyat masih harus menunggu sampai pilkada berikutnya untuk memastikan kebenaran pilihannya. Hanya waktu yang bisa membuktikan bahwa pilkada sekarang ini akan menjadi pendidikan politik yang berbiaya sangat mahal. Tetapi dalam pendapat saya, yang paling diuntungkan adalah advertising. Karena merekalah yang menikmati perang antar calon. Orientasi politik menjadi tidak penting saat para calon yang berseteru wacana politik menggunakan jasa printing misalnya, di tempat yang sama. Calon-calon yang berseteru di ranah Pilkada pun muncul di halaman yang sama di surat kabar lokal untuk mengumbar janji dan menarik hati calon pemilih.

Advertising below the line dan above the line adalah pemenang sebenarnya pilkada, pilcaleg, atau pilpres. Katakanlah biaya marketing adalah 1/3 dari biaya produksi dalam teori ekonomi, maka setidaknya 333 Miliar terserap advertising pada Pilkada Jatim saja. Waw.

Coba misalnya yang 333 miliyar itu dikonversi ke dalam bentuk peningkatan mutu dan kualitas pendidikan, sarana dan prasarana umum, atau modal biaya pertanian-perikanan-kelautan. Dipakai untuk memelihara sumber air dan hutan untuk kemaslahatan masyarakat. Dipakai untuk membeli senjata untuk mempertahankan perbatasan. Atau dibelikan kurupuk seperti anekdot urang Sunda bila mengetahui ada penggunaan uang dalam jumlah yang sangat banyak. Kabayang kan meuli kurupuk 333 miliareun... Tong waka ngadaharna, ngagorengna ge lieur...

Demokrasi memang menjadi mimpi indah banyak orang. Tetapi mencapai sebuah mimpi indah harganya ternyata sangat-sangat mahal. Itu baru berupa uang yang secara teori masih bisa diganti. Bagaimana dengan hilangnya nyawa seperti yang terjadi di Medan? Ketua DPRD Sumut pun harus meregang nyawa akibat suatu kegiatan yang disanjung-sanjung sebagai demokrasi. Atau sekian banyak warga masyrakat yang kehilangan nyawa saat pesta pora-demokrasi di jalan raya.

Pertanyaannya, masih bisakah demokrasi dipertahankan? Apakah hanya demokrasi yang menjamin lahirnya kepemimpinan yang bersih dan berwibawa? Apakah masyarakat umum memerlukan demokrasi? Saya pikir, kita memang perlu negara yang kuat dan menjamin hak-hak rakyatnya. Kita perlu negara yang dipimpin oleh orang-orang yang kompeten dan kredibel serta amanah, bermoral dan takut Tuhan. Kita perlu kepemimpinan nasional dan lokal yang bisa membawa masayarakat ke jembatan emas kemakmuran dan kebahagiaan dunia-akhirat. Tetapi saya menolak demokrasi menjadi satu-satunya cara untuk mencapai tujuan itu.

Membuat demokrasi menjadi satu-satunya pilihan adalah hal yang sangat tidak demokratis.

13022009

2.12.2009

KAU SAJAK ITU

Engkau sajak itu
yang nakal melonjak-lonjak di batinku
menyoraki kekalahan membentengi keangkuhan
Engkaulah rima yang membawa serenada
bertangga bianglala
mencipta irama; yang menggugah, menggairah
Engkaulah musik
pengiring tarian nan cantik
melentikkan api gelora
merasuk, memabuk, di raga dan sukma
Tuhan bisakah kusamarkan rasa
sedang Engkau pemegang semua rahasia
salahkah bila aku lebur
bersama bianglala?

sajak seorang sahabat
yang saya  kutip dari
online bulletin di friendster

2.03.2009

PAJAK & NEGARA


Akhirnya, mencoba patuh pada negara...


OK, bila negara ingin rakyatnya membayar pajak, tolong mulai sekarang berantas KORUPSI, karena saya merasa NAJIS bila uang pajak hanya masuk ke kantong pribadi.

Aing mah néangan duit satengah modar, ngabelaan jauh ti anak pamajikan...
Jungkir-jumpalik nahan kasono. Dug hulu pet nyawa. Hulu jadi suku, suku jadi hulu. Nahan kacapé, nahan sagala rupa, kaasup kudu mereketkeun haté ngaladénan jalma nu loba polahna. Kudu ngéléhan dina rupa-rupa pasu'alan séjénna.

TEU RIDLO LILLAHI TA'ALA najan ngan SAPERAK mun duit pajeg di-KORUPSI!!!

Duit pajeg nu dibayar kumaha wé carana kudu balik deui ka rahayat:
pendidikan (atikan) nu murah/ gratis & berkualitas. Layanan keséhatan nu manusiawi & kahontal ku rahayat leutik. Ulah nu loba duit hungkul nu bisa asup rohangan VVIP & layanan dokter kelas t-o-p téh. Ulah barudak beunghar hungkul, nu teu nyaho kanyataan hirup ra'yat leutik, nu bisa ka sakola/universitas nu berkualitas téh.

Kaasup ka Ngarojong Usaha Kecil & Menengah ku dékéngan moral, modal, jaringan, kaamanan, oge pemberdayaan kualitas. Ulah saeutik-eutik pungli, ngurus itu- ieu pungli. Ngadidik guru-guru SD tepi ka Universitas nu manusiawi, katut ngajamin hak-hak aranjeunna nu geus ngatik ieu bangsa. Dipaké ngatik SDM nu bisa bersaing jeung bangsa séjén. Najan jaradi TKI atawa TKW, tapi bangsa urang kudu dilatih jadi bangsa terampil/parigél ngarah teu digunasika di lembur batur jeung ku batur.

Pamaréntah, saprak ayeuna teu kaci cul leos ka warga masarakatna. Duit pajeg KUDU dipake keur ngawangun budaya masarakat Indonesia nu sehat, bersih, beradab, berkualitas, oge parigel dina sagala widang.

Duit pajeg CADU dipake keur meuli pakarang/senjata nu baris ngagunasika rahayatna sorangan.

Duit pajeg LAIN keur dipake mayaran hutang luar negeri, nu sumpah, lolobana dipake keur kapentingan pribadi lain jang balarea.

Duit pajeg MONTONG dipaké keur meulian alat-alat nu teu kapaké ku balarea.

Duit pajeg MONTONG dipake ngawangun bangunan-bangunan nu rayat leutik teu meunang asup ka dinya.

Duit pajeg CADU dipake meuli imah & mobil mewah para gegedén. Komo bari jeung dibikeun ka awéwé simpenan mah.

Duit pajeg TEU MEUNANG dipaké keur ngabangun jalan atawa fasilitas umum mewah nu ngarusak lingkungan hirup.

Duit pajeg LAIN KEUR dipake ngagalaksak leuweung, gunung, laut, jeung sakabeh pangeusina.

Duit pajeg LAIN KEUR nalangan pengusaha-pengusaha bank anu bangkrut alatan ngajalankeun ékonomi ribawi & kapitalistik.

Duit pajeg OGÉ LAIN keur dipake ngamodalan parpol nu eusina saukur avonturir jeung jalma-jalma nu haus kana kakawasaan bari teu maliré rahayat jeung hirup kumbuhna.

Duit pajeg OGÉ LAIN KEUR keur ngagajih anggota dewan nu ngadon sasaré atawa ngadon salingkuh jeung nu lain muhrimna di wanci nu sakuduna mélaan rahayatna. Komo bari jeung dipake mabok INUMAN & NARKOBA mah.

MAMPUH TEU? MUN TEU MAMPUH, EUREUN WE JADI NAGARA TÉH!!!

2.02.2009

Firmware Update Untuk Pengguna Digicam Canon


Berawal dari rasa penasaran, saya mencoba masuk ke situs www.chdk.wikia.com seperti yang disarankan sebuah majalah komputer. Hal ini dilakukan karena saya mulai 'kurang puas' dengan Powershot S51S yang saya miliki. Ternyata di www.chdk.wikia.com saya menemukan harta karun: firmware update untuk digicam Canon berbagai jenis dan tipe. Firmware update ini merupakan semacam unlock' pada prosesor DIGIC III yang terpasang pada Powershot S5IS. Firmware update yang oleh penulisnya dinamakan CHDK atau Canon Hack's Developer Kits, yang merupakan firmware pengayaan (enchanchement) yang berfungsi untuk membuka keterbatasan digicam Canon yang memakai prosesor DIGIC II atau DIGIC III. Mulai Powershot A450 dengan DIGIC II, Digital Ixus 80 dengan DIGIC III, sampai Powershot TXI dengan DIGIC III.

CHDK ini berhasil membuat Powershot S5IS mampu meng-capture gambar dalam format RAW, yang tentu saja lebih kaya warna dan data dan mudah diolah dalam software pengolah foto. Menembus keterbatasan shutter speed dari 1/1600 menjadi hingga 1/80.000 (wow!), dari asalnya 15 s menjadi 64 s. Membuka diafragma dari maksimal f/8.0 hingga menembus f/16.0, memunculkan indikator batere (hal vital yang tidak ada dalam firmware resmi), bahkan dilengkapi dengan Games seperti Sokoban dan Mastermind. Pengayaan ini seolah membuat S5IS menjadi D1 Mark II, seolah menjadi game watch.

Setidaknya, keterbatasan-keterbatasan dalam DIGIC III berhasil dienyahkan sehingga berasa seperti memakai kamera yang 10 kali lipat lebih mahal. Walau tentu saja 'hate mah teu bisa dibohongan'. Seperti meng-upgrade Yamaha Mio menjadi HD Softail 1000 CC. Tetap saja ada kekurangannya. Terutama dari segi interface yang sedikit lebih rumit.

Kelebihan lainnya adalah firmware yang dibuat kelompok open source ini gratis dan tidak merusak firmware bawaan. Karena firmware ini di-install pada SD card, bukan pada BIOS kamera. Sehingga bila ternyata tidak sesuai dengan kemudahan yang ada pada kamera standar, firmare ini bisa dihapus dengan cara memformat SD Card. Jaminan aman ini juga dicetuskan dalam situs yang bersangkutan. Walau tentu saja, penggunaan firmawre non pabrikan mebuat anda kehilangan garansi dan mereka (Developer CHDK) tidak bertanggung jawab atas kerusakan yang mungkin ditimbulkan atas kesalahan penggunan firmware.

Tapi di luar berbagai kekurangan, dengan adanya pilihan RAW pada S5IS dengan firmware update s5is-101b-0.9.5-701, membuat hidup lebih leluasa. Ada pilihan yang asyik yang lebih kaya dan lebih dari sekedar JPG. Minimal, keluhan akan noise yang mengganggu saat menggunakan ISO tinggi bisa dikurangi dengan penggunaan RAW. Apalagi memang firmaware update ini juga bisa memberi pilihan rentang ISO yang lebih luas. Mulai ISO 50 - 64 (default ISO 80), sampai ISO 3200 (default ISO 1600). Setidaknya, bagi fotografer kelas hiburan seperti saya, firmware update ini memang menghibur. Yah namanya juga kamera kelas hiburan.

:D.

Catatan:
Sebelum melakukan update BACA DENGAN SEKSAMA apa yang tercantum di dalam website tersebut, juga di dalam file README.TXT yang terdapat di dalam zip kontainer firmware ybs. Segala kesalahan dan kerusakan menjadi tanggung jawab pribadi masing-masing!!!

12.25.2008

http://6ix2o9ine.blogspot.com

Iklan-Bisnisnya Teman

Bintang Reload, menyediakan real-time servis yang memungkinkan semua pelanggan prabayar untuk melakukan transaksi pengisian ulang pulsa elektronik kapan pun dan di mana pun selama ada sinyal di handphone. Servis ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat masa kini yang ingin mengurangi keterikatan pada waktu dan tempat. Hanya dengan beberapa kali klik di handphone dan tanpa harus hadir di counter penjual voucher, Anda dapat melakukan transaksi pengisian pulsa.

Kini, hanya dengan uang minimal Rp.100.000,- Anda sudah bisa berjualan berbagai macam pulsa elektrik Kapanpun!!! dan Dimanapun!!!
MAU???

http://www.bintang-reload.com/

11.18.2008

Cagar Alam Talaga Bodas, Garut











Bagi yang berjiwa petualang (bukan petualang cinta tapinya, apalagi petualang politik...). diantos kasumpinganana di Talaga Bodas Garut.

Sebuah danau kawah yang asyik dan exciting buat berlibur dan hide out dari debt coll, mantan pacar, mantan suami/istri, sekretaris pribadi yang minta dikawin, serta selingkuhan yang hamil duluan...

Danau seluas 5 hektar ini berada di Garut Timur, Kabupaten Garut, Jawa Barat dengan status kawasan taman wisata alam (TWA) seluas 28 hektar. Talaga Bodas sendiri merupakan cagar alam dengan luas total 280 hektar yang dikelilingi pegunungan (gunung Masigit, Gunung Canar) dan berada di ketinggian 1718 m dpl dengan koordinat 07*12''.453 LS dan 108*03.899 BT.

Jarak tempuh dari Wanaraja sekitar 10 km (garis lurus peta) atau sekitar 16 km sesuai kontur. Dapat ditempuh dengan berjalan kaki selama l.k. 5 jam atau menggunakan kendaraan selama 2 jam (bonus:gugurudugan!) dengan permukaan jalan tanah yang berbatu, tipikal jalan perkebunan.

Bagi yang suka mandi air panas, di Talaga Bodas ada sumber air panas yang berkhasiat menyembuhkan segala penyakit kulit. Mengandung sulfur/belerang dosis tinggi serta mineral lainnya. Itulah yang membuat air Talaga Bodas berwarna putih.

Mitos di air panas adalah air panas tersebut dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit. Syaratnya setelah mandi harus membuang celana dalam yang dipakai mandi. Jadi ancaman sampah terbesar di Talaga Bodas adalah sampah celana dalam. Tapi bagi yang berjiwa wiraswasta, mungkin dapat mengolah celana-celana dalam tersebut menjadi sesuatu yang bermanfaat. Selimut atau kaos distro misalnya...

Talaga Bodas juga merupakan ignored gas mining (karaha Field). Jadi di beberapa lokasi sebelum talaga, bisa ditemukan beberapa tambang gas yang terbengkalai.

10.17.2008

Komunitas Sahabat Gunung Sawal Ciamis


Assalamualaikum wr.wb.

Seperti yang telah kita ketahui bersama, kondisi dan kualitas lingkungan hidup yang sehat adalah jaminan bagi kelangsungan hidup manusia yang sehat pula.

Pengelolaan lingkungan hidup yang buruk di masa lalu sekarang mulai menyebabkan banyak masalah khususnya di Indonesia. Kualitas udara yang buruk, meningkatnya suhu udara, serta bencana hanyalah sebagian yang bisa kita ingat sebagai akibat rusaknya lingkungan hidup. Belum lagi ancaman pemanasan global (global warming) dan perubahan musim (climate change), yang mengancam eksistensi umat manusia.

Kita tidak bisa hanya mengeluh dan menyalahkan pemerintah, pelaku kejahatan lingkungan, atau mereka yang kita anggap sebagai perusak lingkungan hidup. Butuh lebih dari sekedar saling menuduh dan menyalahkan. Sebagai warga masyarakat yang sadar akan hak dan kewajibannya, kita harus bergerak keluar dari tataran teori, diskusi tanpa arti dan keluhan berkepanjangan. Kita harus bergerak mewujudkan kualitas lingkungan hidup yang aman dan nyaman yang menjadi impian kita semua.

Untuk itu, sebagai suatu langkah awal, bersama beberapa teman kami berada dalam tahap pembentukan Komunitas Sahabat Gunung Sawal Ciamis (KSGS), yang bertujuan untuk menuntut pengelolaan gunung Sawal yang lebih baik oleh semua pihak. Pengelolaan yang dibentuk dari berbagai unsur masayarakat, LSM, pemerintah, pribadi-pribadi yang handal dan kompeten. Pengelolaan yang seharusnya mampu melindungi Gunung Sawal dari kerusakan lebih parah.

Pengelolaan Gunung Sawal yang baik diharapkan dapat memperbaiki kualitas lingkungan hidup khusunya di sekitar kabupaten Ciamis. Udara yang bersih, sehat, dan sejuk. Ketersediaan air bersih untuk minum-makan-mandi-wudlu dan keperluan lain. Ketersediaan habitat yang sehat untuk berbagai flora dan fauna di Kawasan Gunung Sawal, tersedianya lahan dan lapangan pekerjaan bagi masyarakat yang tinggal di sekitar Gunung Sawal tanpa harus merusak hutan. Serta terjaganya warisan karuhun urang Sunda yang diwariskan dari semenjak masa Kerajaan Sunda-Galuh.


Komunitas ini bersifat nirlaba, tidak mengikat, dan dapat diikuti semua fihak. Tidak bersifat politik praktis, tidak untuk menggalang massa agar berafiliasi dengan partai atau kelompok tertentu atau untuk memilih caleg atau calon kepala daerah tertentu. Komunitas ini berdasarkan gerakan moral, niat baik serta keinginan untuk mewujudkan kualitas hidup yang sehat di dalam ekosistem yang sehat pula.

Bagi seluruh warga Ciamis, baik yang masih bermukim di Ciamis, atau yang 'ngumbara di lembur batur' diharapkan dapat berpartisipasi dalam komunitas ini. Turut serta dalam upaya-upaya konservasi Gunung Sawal serta pengelolaan yang transparan, akuntabel, serta berorientasi kepada rasa keadilan sosial untuk seluruh masyarakat.

Untuk dukungan, pertanyaan, kritik, saran, serta informasi tambahan dapat dilayangkan ke: sahabatgunungsawal@gmail.com.

Hayu Warga Ciamis. Kanyaah Ka Gunung Sawal Urang Pedarkeun Jadi Tarekah Nu Nyata.

...aya nu mapandeuri pakena gawe ring hayu pakeun heubeul jaya dina buana... (Prasasti Kawali)

Wassalamualaikum wr.wb.

Ricky Nugraha
a.n. Komunitas Sahabat Gunung Sawal Ciamis

Halal bi Halal dan Dies Natalis ke-14 Blue Hikers FSUP

10.14.2008

SALAH NGAGEMBOK MOTOR

http://6ix2o9ine.blogspot.com

Harita téh poé Jumaah. Teuing ku naon, poé éta rarasaan téh loba pisan kacowna. Mimiti basa pabeubeurang dompét ngadon ragrag di Hoka-Hoka Bénto Antapani. Sabot keur jumaahan aya nelepon ka nu di imah yén inyana manggihan dompét nu ragrag di kolong méja. Tayohna mah satutasna mayar, dompét Avtéch beureum nu asalna disimpen dina saku jékét téh ngadon ragrag.Lantaran paciweuh bari ngahuapan si Kaka, harita téh kuring dahar ngan duaan jeung si Cikal, ogé hayang motrét. Antukna basa dompet merejel teu kanyahoan. Untung muragna di jero réstoran. Dompét teh bisa balik deui dina kaayaan weuteuh, teu kurang sapérak-pérak acan.

Soréna, si Kaka hayang dipangmeulikeun momobilan."Hoyong mobil polisi téa Bi", cenah ngarenghik. Atuh jeung ninina, kaburitnakeun ngahajakeun nyiar momobilan nu dipikahayang ku si Ujang. Mimitina ka Carrefour Kiaracondong nu di Bypass/Samsat. Suwung. Lain euweuh barangna, tapi hargana teu asup. Ti dinya tuluy ka BSM, da ceuk ninina aya di Giant BSM.

Satepina di BSM, lantaran geus maju ka wanci magrib, rada rusuh ngonci motor téh. Teu alak-ilik heula, da rarasaan mah geus bener ngagembok si Mio maké gembok palebah disc brake nu hareup. Jongjon wé harita mah nyiar momobilan téa ka Giant. Suwung. Sarua hargana teu cocog. Nya ngarah kabébénjokeun, Si Ujang téh diajak heula ulin di Kota Fantasi. Maké tumpak Bianglala, Kakapalan, jeung kakarétaapian sagala.

Kaluar ti BSM téh kurang leuwih jam 8 peuting. Basa di parkiran kuring nempo bapa-bapa keur culang-cileung hareupeun motorna, nu parkirna sabelah motor kuring. Katempo ogé dua urang petugas parkiran BSM keur ngetrokan gembok. Tayohna mah kagembok motorna téh. "Leungit konci tayohna mah", gerentes haté bari muru motor. Rék muka gembok.


Na barang nempo ban hareup, gebeg, reuwas! Naha motor kuring teu digembok? Rarasaan mah da tadi burit digembok. Dina kaayaan nu remeng-remeng, rét kana gembok nu keur ditakolan téa, rek dilaan, da diragaji mah teu teurak, gebeg.... Anjir geuning gembok kuring bet ngonci motor batur...

Buru-buru konci gembok dibikeun ka tukang parkir. Polonyon we gembok nu tadina pageuh 'ngeukeupan' motor Yamaha Véga téh leupas. Puguh wé da ku koncina. Tayohna mah, bakating ku rusuh, kuring kalahka ngagembok motor batur, lain motor sorangan. Jeung ngérakeunana teh, motorna téh beda jinis. Najan sarua mérekna Yamaha, tapi motor kuring mah Yamaha Mio, nu si Bapa mah Yamaha Véga...

Singet carita: mun rek ngagembok motor, turutan kuring make gembok mérek ABUS, luyu jeung foto nu dipasang. Teu teurak diragaji, teu teurak digedor, cacakan dipocél gé teu teurak kénéh. Dina teurakna gé butuh waktu jam-jaman + gandeng kacida...

Ka Bapa-bapa nu maké Yamaha Véga + Tukang Parkir di BSM: Hampura, da lain dihaja....

Untung teu digebugan gé 😆

9.28.2008

Kaka & Ifa


Kaka & Ifa

Kalifa 1 Tahun


One Year Old Kalifa Ayu Ramadhanti

Ifa 1 Tahun


Alhamdulillah... tanggal 27 September 2008 ini Kalifa Ayu Ramadhanti tepat 1 tahun... Wilujeng tepang taun neng Ifa. Sing janten istri nu sholehah nya, janten budak nu bageur - bener - pinter - cageur. Didu'akeun ku Abi, ku Umi, ku Kaka...

9.20.2008

Helarctos malayanus



Beruang madu merupakan jenis paling kecil dari delapan jenis beruang yang ada di dunia. Beruang madu yang ada di Pulau Borneo merupakan yang paling kecil dan kemungkinan dapat digolongkan sebagai sub-jenis (sub-species) dengan nama H.malayanus eurispylus. Berat badannya berkisar antara 30 sampai dengan 65 kilogram untuk beruang madu di Borneo, kalau di Asia Tenggara dan Sumatra beruang madu agak lebih besar (50-90 kg-walaupun tidak ada data dari alam).

Beruang madu berbulu hitam, pendek, dan tebal. Hampir setiap beruang madu mempunyai tanda di dada yang unik (warnanya biasanya kuning, oranye atau putih, dan kadang-kadang bertitik-titik) dalam bentuk ’V’, ’U’ atau bundar.

Lengan beruang madu melengkung ke dalam, telapak tangannya yang tidak berbulu, dan kukunya panjang-panjang.

Beruang madu hidup hanya di Asia Tenggara dari ujung timur India dan bagian utara Burma sampai ke Laos, Kamboja, Vietnam dan Thailand sampai ke selatan di Malaysia, dan Pulau Sumatra dan pulau Borneo. Ada catatan historis yang menunjukkan bahwa beruang madu dulu terdapat di Tibet, Bangladesh, bagian selatan dari Cina, dan di Pulau Jawa.

Hutan hujan tropis merupakan habitat utama beruang madu. Makanan utamanya adalah serangga (terutama rayap, semut, larva kumbang dan kecoa hutan). Selain itu beruang madu makan berbagai jenis buah-buahan, apabila tersedia. Sesuai namanya, beruang madu sangat suka madu dari jenis kelulut.


Beruang madu pada umumnya tinggal soliter di hutan terkecuali induk dengan anak (pada umunya hanya 1 anak).

Musim kawin diperkirakan setahun penuh karena tidak ada musim dingin atau makanan yang khusus. Beruang madu sangat aktif dan sehari penuh mencari makanan. Di hutan tropis yang habitatnya, bisa ditemukan makanan setahun penuh, makanya beruang madu tidak perlu hibernasi.

Beruang madu saat ini dianggap rentan terhadap kepunahan (Vulnerable) karena habitatnya (hutan tropis) begitu banyak menyusut dan dibabat dalam 30 tahun terakhir ini. Selain habitatnya yang hilang, beruang madu juga diburu untuk mendapat empedunya atau bagian lain dari tubuhnya.

kunjungi saja beruangmadu.org

text by Gaby
pic by Ricky