Minggu, Desember 15, 2024

GUNUNG SANGAR: SESANGAR NAMANYA DI MUSIM HUJAN


Jangan menilai buku dari sampulnya. Demikian sebuah pepatah lama yang sepertinya disadur utuh dari pepatah dalam bahasa Inggris: don't judge the book by it's cover.

Begitu juga saat mendaki gunung. Jangan pernah menilai tingkat kesulitan dari tinggi rendahnya sebuah gunung. Atau bukit (basa Sunda: Pasir). Akan cukup 'menyesatkan' menilai dan mengkategorikan 'gunung untuk pemula' bagi gunung yang tingginya kurang dari 2000 m dpl.

Seperti halnya menilai Gunung Sangar yang terletak di Bandung Selatan. Gunung yang saat ini populer didaki berbagai kalangan terutama remaja dan muda usia karena aksesnya mudah dan tingginya 'hanya' 1690 mdpl (1655 m dpl di altimeter berbasis GPS, 1660 m dpl di peta aplikasi Mapy CZ yang berbasis pada peta Rupa Bumi Indonesia/RBI).



Pada pendakian kemarin, Sabtu 14 Desember 2024, cuaca buruk di kawasan Arjasari Kabupaten Bandung, tidak menyurutkan ratusan pendaki pemula maupun bangkotan untuk mendaki gunung Sangar yang sering dianggap 'ramah pemula'. 

Diperhatikan, sedikit sekali mereka menggunakan sepatu hiking, umumnya sepatu running atau sneaker casual. Padahal jalur mulai pos 1 hingga puncak licin parah. Bahkan tidak sedikit yang memakai sendal tali atau sendal jepit.

Jalur pendakian Gunung Sangar memang tidak terlalu terjal, cenderung landai. Bagi yang pernah mendaki Gunung Manglayang di timur Bandung (1818 m dpl), tentu akan tahu bedanya.

Tetapi guyuran hujan membuat jalur landai itu menjadi berbahaya. Tepat di depan mata, seorang ibu terlontar nyaris masuk jurang saat terpeleset. Beruntung sebagian tubuhnya tertahan semak di pinggiran jurang, dan kakinya dipegangi seorang pendaki lain yang masih satu rombongan.

Saat diperhatikan: memakai sneaker running/kasual dengan outsole datar tak bergerigi.



Menjelang puncak, seorang gadis remaja terpaksa harus melepas sepatunya yang jebol. Ngeri rasanya berjalan mendaki dan turun gunung tanpa alas kaki. Selain lebih licin, bebatuan yang tajam, akar serta batang pohon bisa melukai kaki.

Di saat turun, di pos 3 dua orang pendaki senior/master bercerita bila ia terhambat ke puncak karena harus mengevakuasi dulu seorang remaja usia SMP yang patah tangan akibat jatuh terpeleset saat turun dari puncak di antara pos 3 dan pos 2 /tanjakan Ebel.

Itulah beberapa kisah yang seharusnya membuat kita berfikir untuk tidak meremehkan gunung yang tidak terlalu tinggi. Apalagi di waktu musim hujan dengan cuaca buruk yang membuat jalur menjadi sangat licin.

Dari pos pendakian, jalur menuju ke puncak hanya sekitar 2,5 km dengan elevation gain/penambahan ketinggian ±500 m tapi membutuhkan waktu sekitar 2 jam 30 menit. Hal ini disebabkan antrian di beberapa ruas yang licin akibat banyak pendaki yang kesulitan melangkah. 

Bisa dibayangkan jalan setapak yang baru diguyur air hujan kemudian diinjak ratusan pasang kaki. Licin dan berbahaya saat menanjak atau menurun. Bahkan untuk mereka yang menggunakan sepatu hiking atau trail running dengan outsole bergerigi.

Jadi, memang jangan mengganggap enteng sebuah gunung hanya karena ketinggiannya. Cuaca bisa mengubah segalanya. Terlebih  tidak menggunakan sepatu khusus yang lebih layak, tidak berdoa dan melakukan pemanasan/stretching sebelum pendakian.

Ricky N. Sastramihardja

Tim: Mang Deni, Mang Yana Martin May, Mang Umar, Kang Nanang APGI

Tidak ada komentar: