Kamis, Januari 30, 2025

WAJAH INDONESIA DALAM SENYUM DAN PERILAKU BUDAYA


Perjalanan melanjutkan aktivitas bertualang bersama GeoUrban setelah melihat pohon kopi tua berusia ratusan tahun di Curug Cipanoli  nampaknya harus berhenti sementara. Siang itu hujan lebat melanda kawasan Cisalak Subang padahal baru sekitar 15 menit rombongan bermotor GeoUrban 30 mengunjungi curug tersebut pada Sabtu 27 Januari 2025.

Rombongan yang dipimpin el presidente PGW Indonesia, 'Al Habib' Deni Sugandi itu lalu menunggu hujan reda di warung yang juga merangkap pengelola curug. Ditemani menu khas Indonesia -mie instan, kopi, gorengan, dan pastinya kerupuk- perbincangan hangat pun terjadi. Andi Lala, salah seorang peserta yang juga adik kelas saya sewaktu di SMA, mengatakan bila mie instan sudah ia pesan sewaktu saya melaksanakan ibadah sholat dzuhur tadi.

Saya juga menyempatkan berbincang dengan Monsieur Christope Deyer, Direktur Institut Français Indonésie IFI Bandung yang untuk ke-2 kalinya menjadi peserta. 

"Saya sudah mengunjungi banyak negara di Asia, terutama Jepang dan Cina. Mereka semua baik, semua ramah. tetapi tidak sehangat seperti di Indonesia," kisahnya saat mengisahkan kesannya mengikuti GeoUrban untuk kedua kalinya. 

"Di sini terlihat santai, banyak senyum, dan juga bercanda," tambah pria bule yang sering disebut Kang Asep oleh para koleganya di IFI, juga oleh kami

"iya, wajar," timpal saya. 

"Hampir di seluruh Indonesia ya seperti ini, bahkan di luar Jawa, di komunitas masyarakat yang terlihat 'galak' dan 'kasar', suasananya selalu hangat seperti ini."

Saya menimpali perbincangan itu dengan selintas ingatan saat mengunjungi beberapa pulau di luar Jawa di masa lalu. Misalnya saat beberapa minggu di Pandan Tapanuli Tengah, Sumatera Utara di 2007 silam.

Ada pandangan stereotip di masyarakat Sunda bila orang Batak (demikian urang Sunda menyebut warga Sumatera Utara yang sebetuknya multi etnis) itu galak-galak yang tampak dari intonasi dan nada bicaranya. Tetapi dua minggu di Pandan, mengkoreksi pandangan itu.

Pengendara sepeda motor melintasi jalan padati yang dirintis pengusaha Belanda P.W. Hofland dan Bupati Rd. Rangga Martanegara pada tahun 1847. 

Mereka, orang-orang Batak itu, ramah-ramah, full senyum, dan bicaranya pun santai. Tidak ada intonasi yang berat, tegas, dan keras seperti yang terdengar dari orang Batak totok yang belum lama tinggal di Bandung.

"Itu kan teknik survival aja Bang, namanya juga orang merantau. Mereka lebih defensif," jelas Con sambil terkekeh saat berbincang soal pandangan saya terhadap kebisaan perantauan Batak di tanah Sunda. Con atau Robinson, adalah pengemudi yayasan yang memperkerjakan saya saat itu. Con  lahir besar di Pulau Nias, pulau di laut Selatan pantai Sibolga yang indah dan mempesona.

Perbincangan dengan Christope yang ngaler ngidul, terhenti saat hujan reda. Kami bergegas untuk melanjutkan perjalanan GeoUrban yang masih panjang. 

Sepanjang perjalanan, perbincangan  itu masih  terngiang. Soal keramahan orang Indonesia dalam kesan Christope yang sudah melanglang buana ke banyak tempat di benua Asia. Saya tiba-tiba teringat dengan perbincangan entah kapan bersama Mang Ayod alias Aom Prima, sahabat saya di ITJ Bandung.

Mata air Cipabeasan di kaki gunung Bukit Tunggul yang mengalir menjadi anak sungai di DAS Cipunegara

"Nya heueuh atuh Mang, urang Sunda mah teu kudu ngumbara. Teu kudu perang jeung batur parebut sumber daya. Nanaonan atuh, sagala geus aya, geus nyampak," ujar menak Sumedang jebolan ISIP Unpad itu.

Tiga perbincangan di tiga waktu berbeda, dengan orang berbeda, tempat berbeda, dan tema yang berbeda itu mengantarkan saya pada suatu perspektif yang lebih menjelaskan apa yang disampaikan Christope soal orang keramahan orang Indonesia yang tercipta karena dukungan geologi dan alamnya.

Sumber daya alam yang melimpah, sumber daya manusia yang banyak, cuaca dan iklim yang hangat, minimnya konflik membuat bangsa Indonesia berbeda dengan bangsa-bangsa lainnya di Asia. seringkali kita dianggap malas dan terbelakang oleh bangsa lain yang tampaknya lebih tangguh, lebih sering berperang, lebih sering konflik perebutan wilayah dan sumber daya alam.

Padahal kita sebetulnya tidak malas seperti yang diklaim Mochtar Lubis dalam pidato kebudayannya di TIM Jakarta tahun 1977.  Kita dikaruniai banyak kemudahan oleh Alloh SWT melalui alam ciptaan-Nya di alam tropis ini yang membutuhkan sedikit usaha saja untuk menggunakannya.

Berbagai jenis varietas tanaman tumbuh subur di tanah Indonesia berbagai fauna hidup dan berkembang biak di Indonesia.Suatu hal yang harus kita syukuri, walau gejolak politik selalu ada, bangsa Indonesia terbilang minim konflik.

Bentuk syukur atas karunia Alloh SWT itu tercermin dalam wajah dan perilaku orang Indonesia seperti yang digambarkan Christope dalam perbincangan di warung Curug Cipanoli. Keramahan dan kebaikan orang Indonesia, senyum yang selalu menghiasi wajah adalah karunia itu tersendiri.

Kita mungkin tidak superior bukan karena kita tidak mampu, tetapi karena kita mensyukuri semua nikmat yang diberkahi di bumi ini. Di bumi yang diberkahi ini kita diajarkan untuk tidak agresif dan rakus karena semua tersedia, semua terpenuhi.

📷 Panorama Subang dari ketinggian 1260 M DPL Bukanagara

Ricky N. Sastramihardja

Tidak ada komentar: