Selasa, Desember 31, 2024

GUNUNG MANGLAYANG: SAAT MULUT BERTEMU LUTUT

Mendaki Manglayang Dari Batu Kuda, November 2008

Gunung Manglayang memang tidak terlalu tinggi, di bawah 2000 M dpl. Tepatnya 1824 M dpl berdasar Peta Rupabumi Indonesia lembar 1209-312 Ujung Berung. Tetapi tetap jangan dianggap enteng walau tingginya di bawah 2000 m dpl.

Saya baru mencapai puncak Manglayang di tahun 2008. Padahal selama 7 tahun lebih 'tinggal' di pekarangan Gunung Manglayang, di Jatinangor dari 1992-1999 sebagai mahasiswa Fakultas Sastra Unpad. 

Entah tahun berapa, mungkin sekitar 1997 atau 1998, pernah mencoba mendaki Manglayang dari Jatinangor.Tetapi pendakian dibatalkan di tengah perjalanan, padahal nyaris mencapai puncak. Penyebabnya ya tidak ada persiapan dan minim pengetahuan.

Jaman segitu masih modal nekad. Berangkat berkelompok dengan sahabat-sahabat Blue Hikers, berangkat bada magrib dari kampus tanpa pengetahuan, peralatan dan perlengkapan layak. Tepatnya lupa melewati jalur mana, tetapi sepertinya via Cadas Gantung dari Puncak Timur atau Baru Beureum.

Pendakian dihentikan setelah d tengah kegelapan batu-batu sebesar kepalan tangan hingga sebesar kepala berguguran. Bahkan seorang anggota rombongan, Yustina, nyaris masuk jurang dan selamat setelah bergelantungan di semak. Dari sekian belas orang, hanya 4 orang yang mencapai puncak. Itupun mereka mempertaruhkan nyawa karena persiapan dan peralatan yang tidak memadai saat melewati jalur Cadas Gantung.

Gunung Manglayang dari Kiara Payung, Oktober 2022

Semenjak itulah akhirnya mengambil keputusan: tidak lagi melakukan pendakian di malam hari karena tingkat bahaya yang berkalilipat tanpa disadari.

Sebelumnya juga pernah mencoba mendaki via Batu Kuda bersama teman-teman seangkatan di Sastra Sunda. Tetapi ternyata baru mencapai Batu Kuda di tengah malam, membuat kami kelelahan. Masa itu, sekitar 1993-1994, kami umumnya belum memiliki kendaraan bermotor. Otomatis harus berjalan kaki menanjak dari Cileunyi ke Batu Kuda selama berjam-jam.

Tahun 2008, mencapai puncak Manglayang dari Batu Kuda setelah ikut rombongan Sekolah Gunung High Camp, Jakarta. Kelompok pendaki yang berkumpul di mailing list dengan tajuk yang sama. Di mana saya bisa berkenalan dengan Bang Hendri Agustin, salah seorang pendaki senior yang sudah mendaki banyak gunung di Indonesia dan banyak gunung di luar negeri, termasuk Everest.

"Walau pendek, Manglayang itu gunung yang bikin mulut ketemu lutut," ujarnya untuk menggambarkan terjalnya Gunung Manglayang. Tenyata benar, walau tidak tinggi tetapi tanjakan di Manglayang memang cukup terjal. Dimana lutut bisa bertemu mulut karena harus menekuk dalam saat bertemu tanjakan.


Bang Hendri, Kang Ori, Kang tatang. Pendakian Manglayang bersama SGHC dengan model simulasi E-SAR, November 2008

Bahkan dari semua jalur yang pernah saya tempuh: Baru Beureum, Batukuda, hingga via Palintang. Manglayang yang disebut Ameng Layaran dalam catatan Bujangga Manik dari akhir abad ke-14 atau awal ke-15 sebagai Gunung Lalayang, tidak bisa diremehkan. Semuanya terjal.

Rekor terbaik pendakian Manglayang mungkin di tahun 2018 saat mempersiapkan diri mengikuti lomba lari trail BDG 100 Ultra kategori 25 km. Start dari Kampus Jatinangor menuju puncak via Barubeureum dan kembali lagi via jalan yang sama, ditempuh selama kurleb 7 jam 3 menit untuk jarak 25 km.


Manglayang mungkin jadi gunung yang paling sering dikunjungi hingga 2024 ini.Tentu saja karena kemudahan akses dari dan ke gunung yang terletak di timur laut Bandung itu. 

Selain itu, semenjak perkenalan bersama Bang Hendri itu tumbuh persfektif lain mengenai soal pendakian. Tidak ada gunung yang layak dikategorikan sebagai 'gunung untuk pemula'. Semua gunung memiliki potensi bahaya dan kesulitan masing-masing, terlepas dari jarak tempuhnya yang pendek atau ketinggiannya.

Sebisa mungkin saya membawa peralatan dan perlengkapan yang dibutuhkan, yang disesuaikan dengan kondisi dan objektif pendakian. Minimal selalu membawa pisau, korek api, survival blanket.

Dalam catatan saya, Gunung Sangar yang konon 'ramah pemula' ternyata di musim hujan cukup menyulitkan bahkan berbahaya. 'Gunung' Bukit Guha Walet di Cihea yang hanya 737 m dpl, ternyata cuaca di sekitarnya cukup panas dan membuat saya 'menyerah' di 500 m dpl. Padahal di masa lalu, di bulan Juni 1996 saya pernah tiba di Puncak Rinjani Lombok dengan ketinggian 3726 m dpl dalam pendakian solo. 

Contoh lain: Gunung Tampomas di sebelah timur Kota Bandung tepatnya di Kabupaten Sumedang, tingginya hanya 1648 m dpl. Tetapi ada beberapa kejadian yang menelan korban jiwa. Mulai peziarah yang tersambar petir di puncak Tampomas, hingga 4 remaja yang tewas karena 'diduga' hipotermia. 

Gunung mengajarkan banyak hal. Meyakinkan diri bila persiapan mental, fisik, pengetahuan, peralatan dan perlengkapan yang layak, akan membantu kita mencapai tujuan. Perhitungan waktu, mengenali musim dan iklim juga penting. 

Saya mungkin bisa meninggalkan atau mengurangi trail running karena beberapa alasan, tetapi tak pernah bisa meninggalkan hiking dan trekking. Inilah catatan penutup 2024 mengenai aktivitas petualangan dan kegiatan luar ruang selama ini.

Ricky N. Sastramihardja

MARKING JALUR TREKKING: IHTIAR KECIL SEMOGA BERDAMPAK BESAR


Trekking ke Danau Urugan Lembah Tengkorak pada Rabu 25 Desember 2024 kemarin menjadi salah satu perjalanan yang menarik. Menarik karena dalam perjalanan sepanjang kurleb 14 km tersebut nyaris tidak mengeluarkan ponsel untuk memotret atau merekam video.

Nyaris, kecuali dua buah foto rumput yang diepret di ujung jalan makadam sebelum masuk ke jalan setapak menuju situ.

Pada perjalanan bersama seorang karib, Andi Lala, saya lebih terfokus untuk memasang tag atau marker sebagai petunjuk jalur. Hal tersebut sudah direncankan entah sejak kapan dan baru bisa terealisasi kemarin.

Itupun menggunakan material tag/marker bekas lomba lari ultra BDG100 2024. Pada perhelatan BDG100 2024 bulan September 2024 lalu, saya memang kembali menjadi panitia dan bertugas sebagai marshall di Cikole.


Marker pita plastik merah putih dan reflektor yang disapu tim sweeper yang seharusnya jadi sampah, saya manfaatkan untuk menandai jalur dari dan ke Situ Urugan yang berada di kawasan Perkebunan Kina Bukit Tunggul. Harapannya adalah sebagai ihtiar untuk menjadi petunjuk jalan bagi para trekker atau pengunjung yang berwisata ke Situ Urugan.

Apalagi dalam beberapa waktu terakhir terdengar kabar ada banyak pengunjung yang tersesat di hutan saat mau dan atau saat kembali dari situ. Salah satu kasus terparah adalah hilangnya seorang pengunjung di bulan November 2024 selama kurleb 8 hari.

Menurut Pak Maman, salah seorang petani yang bertemu di Warung Si Teteh sesaat setelah tiba kembali di pos awal, kawasan hutan Gn. Pangparang - Gn. Sanggara memang cukup menyulitkan. Selain karena masih lebat (Basa Sunda: leuweung gerot), juga karena ada banyak jalur pemburu atau pencari kayu. 

"Kirang-kirangna mah urang dieu gé aya wé nu ngadon mondok di leuweung da kalangsu", kisahnya. 

Tentu saja harapan marker yang dipasang bisa membantu siapapun yang melintas menuju dan dari situ. Selain marker, kami juga menambatkan webbing sepanjang 5 meter yang diharapkan bisa digunakan sebagai pegangan di turunan curam sebelum situ.

Tidak cukup memang, tapi mudah-mudahan membantu. Lain waktu semoga masih bisa ke situ, selain untuk aksi bersih-bersih sampah plastik yang banyak ditinggal di hutan, juga memasang webbing di jalur altenatif yang baru kemarin saya lewati. 

Itupun karena di saat pulang, dari semula hanya berdua dengan Mang Andi, menjadi bersembilan dengan pengunjung lain yang bertemu dan kemudian berkenalan, yang mereka kemudian menunjukan jalur pintasan lain.


Jalan pintas itu memang lebih pendek sekitar 1 km, dan meringkas waktu sekitar beberapa menit. Kelebihannya berjalan di tanah, lebih nyaman dan aman dibanding berjalan di bebatuan tajam yang menjadi khas jalan perkebunan.

Kembali ke perjalanan tanpa fotografi atau video, tentu saja karena ada Mang Andi yang rajin merekam perjalanan melalui kameranya. Bahkan dia juga menyempatkan menerbangkan drone setibanya di situ. Saya menikmati perjalanan tanpa foto itu tanpa rasa bersalah. Justru sangat menikmati.

Berpuluh tahun menjadikan foto dan video sebagai profesi, mendokumentasikan banyak kisah orang lain (baca: klien), membuat saya pada hari itu seolah terbebas dari kewajiban menggunakan kamera. Serasa merdeka.

Ricky N. Sastramihardja

📷 Screen Capture video Andi Lala


Minggu, Desember 29, 2024

GUNUNG PALASARI, MENARIK UNTUK DIDAKI BERSAMA KELUARGA

Gunung Palasari dari Perkebunan Kina Bukit Tunggul

Gunung Palasari dengan ketinggian 1852 m dpl. Salah satu nama gunung yang disebut oleh Bujangga Manik dalam naskah Sunda Kuno yang diperkirakan ditulis pada akhir abad ke-14 atau awal abad ke-15.

Sadiri aing ta inya,

leu(m)pang aing ngalér barat

Tehering milangan gunung:

itu ta bukit Karesi

itu ta bukit Langlayang

ti baratna Palasari

Bila Palasari yang disebut Bujangga Manik (Ameng Layaran) itu adalah Gunung Palasari yang berada di kawasan Bandung Timur Laut, tentu menjadi sangat menarik. Dari kutipan naskah di atas, Bujangga Manik sepertinya memandang Palasari dari arah timur, di mana ia bisa memandang juga gunung Lalayang (Manglayang?) dan bukit Karesi.

Apalagi Gunung Palasari kini menjadi gunung yang paling mudah diakses para penggemar kegiatan olahraga luar ruang. Terutama bagi mereka yang ingin merasakan sensasi mendaki gunung dengan biaya ringan, tidak terlalu melelahkan, terutama bagi mereka yang baru mulai suka.

Dari Tenda Biru di ketinggian sekitar 1575 m dpl, bisa didaki dengan memakan waktu tempuh kurang dari 60 menit. Dengan jarak hanya sekitar 1,06 km dan penambahan ketinggian (elevation gain) sekitar 350 m. 


Gunung Palasari yang masih merupakan bagian dari kawasan hutan Bandung Utara, juga bisa dicapai dari Dago Pakar. Jarak menuju puncak dari Bumi Herbal Dago berdasar keterangan para pelari trail yang bertemu di puncak, adalah sekitar 10 km yang ditempuh selama 3 jam.

Gunung Palasari juga merupakan hutan tropis yang masih cukup rapat dengan vegetasi yang beragam. Menjadi salah satu hutan 'beneran' yang masih terawat. Walau pasti terdesak oleh kebutuhan manusia akan lahan pertanian, wisata, atau pemukiman.

Selain itu, Gunung Palasari adalah bagian dari Sesar Lembang yang sedianya memanjang sepanjang kurleb 20 km dari Padalarang hingga Gunung Manglayang.


Bagi para pendaki, tetap disarankan membawa perbekalan yang layak dan secukupnya saat menaiki Gunung Palasari. Terutama air karena tidak ada sumber air di jalur pendakian.

Dari Bandung bisa dicapai melalui jalan Cigending Ujung Berung. Sedangkan dari Lembang, bisa ditempuh melalui jalan Maribaya-Cibodas yang menuju ke arah Cigending.

Jalan sudah hampir 100% dibeton dengan ada perkecualian di beberapa tempat ada sedikit ruas yang rusak akibat longsor atau pergerakan tanah.

Mohon diperhatikan bagi yang membawa kendaraan, kondisi mesin dan rem harus dipastikan prima. Terutama bila hendak turun melalui Tanjakan Panjang dari Palintang ke Cigending.

Ricky N. Sastramihardja

Kamis, Desember 26, 2024

CATATAN DARI PASIR GUHA WALET CIHEA


Panas! Hal itu sangat terasa saat menyusuri jalan mencari Guha Walet yang menjadi destinasi ke dua dalam Geo Urban ke-25, Ahad 22 Desember 2024 kemarin.

Berjalan di tengah hari di perbukitan karst Rajamandala yang terletak di Cihea, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat membuat mood merosot drastis. Saat dicek di altimeter, ketinggiannya sekitar 400 m dpl.

Lebih rendah dari Bandung yang berada di ketinggian 700 m dpl. 

Selain cuaca panas, hawa sekitar juga panas. Mungkin karena berada di kawasan kapur yang pada jaman dahulu kala merupakan lautan. Sepaket dengan Karst Citatah di Kabupaten Bandung Barat  yang menjadi tetangganya.



Apalagi Habib Deni mendadak mengubah destinasi, dari tujuan caving ke gua Walet, diubah menjadi mencari puncak bukit yang ternyata tidak ada jalurnya alias harus mencari jalur sendiri. Padahal saya mendadak sudah membeli helm yang menjadi syarat untuk melakukan kegiatan di dalam gua (speologi/caving).

Sempat salah jalan ke sisi lain tebing yang sama sekali tidak ada jalan setapak menuju gua apalagi puncak. Kecuali mau membuat jalur pemanjatan melewati tebing yang berdiri 90°, yang tentu saja memerlukan skill dan peralatan khusus. 



Beruntung bertemu Bah Ahim, warga setempat yang hendak ke kampung sebelah. 'Dibajak' oleh Habib Deni untuk mengantarkan ke puncak.

Lelaki yang berusia lebih dari 65 tahun itu dengan sigap membawa sebagian kecil rombongan. Termasuk di dalamnya ibu Vin, salah seorang peserta GeoUrban yang juga pelari Bandung Explorer. 

Wanita yang usianya sebaya Abah Ahim itu memang batere alkaline. Ngabret terus, enggak ada habis-habisnya. Saat di Gunung Sangar sepekan sebelumnya, beliau sendiri yang mencapai puncak Mega dari Puncak Sangar dan lalu bertemu di pos 3 saat pulang.



Hanya beberapa orang yang mencapai puncak Guha Walet di ketinggian sekitar 737 m dpl (Peta RBI 1999). Saya, Zarin dan Mang Odik memilih dikerubungi nyamuk di rumpun kebun pisang di lereng di ketinggian sekitar 500 m dpl. Sebagian lainnya balik ke kanan kembali ke titik awal pemberangkatan.

Puncak Guha Walet memang tidak tinggi, lebih cocok disebut pasir atau bukit. Tetapi ia bisa mematahkan semangat, nyali dan motivasi untuk mencapai puncaknya. Selain hawa panas, juga pada siang itu tidak ada angin bertiup sama sekali.


Bahkan hingga di puncak, menurut Mang Andi Layau,  "Euweuh angin-angin acan di luhur gé," katanya. Mang Andi, Bu Vin, Mang Deni, Adira, Baros, Mang Deden, Mang Askur dan Abah Ahim lah yang bisa mencapai puncak tinggi di Cihea itu. Mereka berhasil mengalahkan rasa malas dan udara panas yang membuat keringat deras mengucur tak berhenti.

GeoUrban ke-25 Ahad 22 Desember 2024 kemarin sebelum ke Cihea, adalah mengupas seulas soal Karst Citatah. Bertempat di Tebing 125 bersamaaan dengan kegiatan bersama antara APGI (Asosiasi Pemandu Gunung Indonesia) juga PGWI (Pemandu geo Wisata Indonesia).

Ricky N. Sastramihardja

📷 Deni Sugandi, Ibu Vin
🎥 Andi Lala

Minggu, Desember 15, 2024

BENDA YANG HARUS DIBAWA SAAT TEKTOKAN


Mendaki gunung atau menjelajah kawasan hutan pergi pulang dalam satu hari kini dikenal sebagai tektokan. Entah dari mana istilah itu, tapi kata tektok cukup berima: tek dan tok.

Tapi  kita abaikan saja asal kata tektok. Tapi jelas bukan dari kata Tiktok. Lebih ingin bercerita apa yang harus dibawa saat tektokan. Lengkap dengan alasannya.

Disclaimer: tentu saja ini preferensi pribadi berdasar pengalaman dan kebutuhan. Setiap orang tentu memiliki kebutuhan berbeda.

1. Senter/headlamp. Benda ini sering diabaikan dengan alasan "ah sebentar aja kok, bakal udah nyampe lagi kok sebelum gelap". Padahal yang namanya aktivitas luar ruang, selalu ada resiko terlambat keluar hutan atau turun gunung sebelum gelap. 

2. Pisau lipat multifungsi.

3. Gunting kuku. Seringkali enggak sadar kalau kuku kaki sudah terlampau panjang hingga baru terasa mengganggu saat dipakai jalan kaki.

4. Peluit. Lebih menghemat tenaga daripada berteriak saat ada kejadian atau peristiwa yang berbahaya dan membutuhkan perhatian. Lebih nyaring juga lebih jauh frekuensi jangkauannya.

5. Pisau belati/bowie. 

6. Tali pita/webbing atau tali berjaket/kernmantel atau tali statik. 5 atau 10 meter, selalu berguna dalam banyak kesempatan. Rapia juga boleh. Bawa secukupnya.

7. Jas hujan sekali pakai atau disposable atau goresek. Bawa dua sekaligus. Lebih ringan daripada membawa raincoat, dan menghemat ruang di daypack.

8. Termos kecil untuk kopi/air panas (bila tidak membawa kompor lapangan).

9. Botol air 600 ml.

10. Water bladder 2 l.

11. Sunglasses

12. P3K dengan obat luka, plester/band aid, panadol, polysilene, juga  perban gulung elastis/elastic bandage.

13. Survival water filter straw.

14. Survival blanket.

15. Garam himalaya. Berguna untuk meredakan kram karena tubuh mengeluarkan natrium lebih banyak melalui keringat saat berkegiatan luar ruang berjam-jam.

16. Korek api gas. Di kondisi survival, api lebih dibutuhkan daripada kuota internet.

17. Power bank dan kabel.

18. Makanan ringan, permen, dan makanan berat.

19. Trekking pole.

20. Notes dan Alat tulis.

21. Topi dan bandana.

22. Keresek untuk membawa sampah kembali pulang ke peradaban.

23. Semuanya dikemas di running vest 10 lt. Bila tidak muat, bisa membawa tambahan daypack kecil 10 l atau tas pinggang 10 liter. Bisa juga dikemas di daypack 30 liter biar lebih ringkas. Bila masih muat bisa ditambahkan flysheet, tripod kecil, gimbal untuk ponsel.

24. Jangan lupa untuk mengunduh peta google offline sesuai kawasan yang dituju di ponsel kita. Tambahkan juga aplikasi Peakfinder (berbayar) dan Mapy.cz (ad ware). Aplikasi-aplikasi itu bisa digunakan tanpa sambungan internet.

Ricky N. Sastramihardja

📷 Mang Umar




GUNUNG SANGAR: SESANGAR NAMANYA DI MUSIM HUJAN


Jangan menilai buku dari sampulnya. Demikian sebuah pepatah lama yang sepertinya disadur utuh dari pepatah dalam bahasa Inggris: don't judge the book by it's cover.

Begitu juga saat mendaki gunung. Jangan pernah menilai tingkat kesulitan dari tinggi rendahnya sebuah gunung. Atau bukit (basa Sunda: Pasir). Akan cukup 'menyesatkan' menilai dan mengkategorikan 'gunung untuk pemula' bagi gunung yang tingginya kurang dari 2000 m dpl.

Seperti halnya menilai Gunung Sangar yang terletak di Bandung Selatan. Gunung yang saat ini populer didaki berbagai kalangan terutama remaja dan muda usia karena aksesnya mudah dan tingginya 'hanya' 1690 mdpl (1655 m dpl di altimeter berbasis GPS, 1660 m dpl di peta aplikasi Mapy CZ yang berbasis pada peta Rupa Bumi Indonesia/RBI).



Pada pendakian kemarin, Sabtu 14 Desember 2024, cuaca buruk di kawasan Arjasari Kabupaten Bandung, tidak menyurutkan ratusan pendaki pemula maupun bangkotan untuk mendaki gunung Sangar yang sering dianggap 'ramah pemula'. 

Diperhatikan, sedikit sekali mereka menggunakan sepatu hiking, umumnya sepatu running atau sneaker casual. Padahal jalur mulai pos 1 hingga puncak licin parah. Bahkan tidak sedikit yang memakai sendal tali atau sendal jepit.

Jalur pendakian Gunung Sangar memang tidak terlalu terjal, cenderung landai. Bagi yang pernah mendaki Gunung Manglayang di timur Bandung (1818 m dpl), tentu akan tahu bedanya.

Tetapi guyuran hujan membuat jalur landai itu menjadi berbahaya. Tepat di depan mata, seorang ibu terlontar nyaris masuk jurang saat terpeleset. Beruntung sebagian tubuhnya tertahan semak di pinggiran jurang, dan kakinya dipegangi seorang pendaki lain yang masih satu rombongan.

Saat diperhatikan: memakai sneaker running/kasual dengan outsole datar tak bergerigi.



Menjelang puncak, seorang gadis remaja terpaksa harus melepas sepatunya yang jebol. Ngeri rasanya berjalan mendaki dan turun gunung tanpa alas kaki. Selain lebih licin, bebatuan yang tajam, akar serta batang pohon bisa melukai kaki.

Di saat turun, di pos 3 dua orang pendaki senior/master bercerita bila ia terhambat ke puncak karena harus mengevakuasi dulu seorang remaja usia SMP yang patah tangan akibat jatuh terpeleset saat turun dari puncak di antara pos 3 dan pos 2 /tanjakan Ebel.

Itulah beberapa kisah yang seharusnya membuat kita berfikir untuk tidak meremehkan gunung yang tidak terlalu tinggi. Apalagi di waktu musim hujan dengan cuaca buruk yang membuat jalur menjadi sangat licin.

Dari pos pendakian, jalur menuju ke puncak hanya sekitar 2,5 km dengan elevation gain/penambahan ketinggian ±500 m tapi membutuhkan waktu sekitar 2 jam 30 menit. Hal ini disebabkan antrian di beberapa ruas yang licin akibat banyak pendaki yang kesulitan melangkah. 

Bisa dibayangkan jalan setapak yang baru diguyur air hujan kemudian diinjak ratusan pasang kaki. Licin dan berbahaya saat menanjak atau menurun. Bahkan untuk mereka yang menggunakan sepatu hiking atau trail running dengan outsole bergerigi.

Jadi, memang jangan mengganggap enteng sebuah gunung hanya karena ketinggiannya. Cuaca bisa mengubah segalanya. Terlebih  tidak menggunakan sepatu khusus yang lebih layak, tidak berdoa dan melakukan pemanasan/stretching sebelum pendakian.

Ricky N. Sastramihardja

Tim: Mang Deni, Mang Yana Martin May, Mang Umar, Kang Nanang APGI

Sabtu, Desember 07, 2024

JAM MEKANIK: MASA LALU YANG MASIH BANYAK DIBURU


Setelah menggunakan jam tangan digital, quartz, dan smart watch akhirnya kembali mencicipi jam analog mekanik otomatis dengan rotor sebagai sumber energinya.

Bagaimanapun juga, jam mekanik memiliki banyak keajaiban tersendiri di mana di era smart watch yang semakin canggih, jam mekanik harganya malah semakin gila-gilaan, semakin banyak jenamanya (termasuk micro brand), dan semakin mengesankan. Padahal teknologinya tertinggal 100 tahun.

Jam tangan mekanik adalah salah satu keajaiban teknologi di mana manusia berusaha mensiasati dan mengenali waktu. Jenama-jenama dari Cina hadir untuk berbagai kalangan dengan harga dan kualitas bervariasi untuk kantong yang tipis (namun loba kahayang).

Bila beruntung bisa mendapatkan jam mekanik otomatis homage jenama Patek Phillipe Nautilus seharga kurang dari Rp. 150.000 di market place online. Beberapa homage Rolex, Breitling, dll dengan kualitas dan build quality yang bagus bisa didapat mulai dari harga Rp. 400.000 saja.

Memandang mesin jam mekanik otomatis bekerja itu menyenangkan dan menenangkan. Menerawang dalam alam pikiran, bagaimana tenaga kinetik diubah menjadi tenaga mekanik oleh rotor dan membuat mekanisme jam tangan bekerja selama 24 jam ke depan tanpa tenaga listrik seperti pada jam quartz atau digital atau smart watch.

Seperti memasuki dimensi lorong waktu tersendiri.

Beberapa jenama jam mekanik terkenal seperti Rolex, Patek Phillipe, Audemar Piguets, Breitling, dll memasang harga gila-gilaan untuk teknologi yang tertinggal 100 tahun dibanding smart watch.

Dengan bajet minimal di kisaran 1 sampai 10 jutaan, beberapa merk Jepang dengan akurasi yang sebetulnya tidak jauh berbeda bisa didapatkan dengan mudah. Di bawah itu ada beberapa jenama Cina dengan kualitas sesuai harga, bisa didapatkan si kantong tipis.

Menariknya, di dunia jam tangan atau horology, jiplak-menjiplak desain mendapat tempat tersendiri dan tidak merusak pasar desain jam yang dijiplaknya. Sebut saja Rolex Submariner yang desainnya banyak dijiplak jenama lain. Baik secara utuh atau per bagian.

Jiplakan yang umumnya menjiplak bentuk casing dan display itu disebut homage. Homage itu umumnya meniru desain-desain jam mewah (luxury) yang legendaris.

Homage itu bukan barang palsu, tetapi jam dengan jenama tersendiri yang desainnya menjiplak atau terinspirasi dari jenama lainnya. Seiko merilis SKX301 sebagai homage untuk Rolex Submariner. Begitu pula Casio yang merilis Duro MDV-106-1AVCF.

Bila untuk akurasi, jam digital atau jam quartz tentu sangat akurat dibanding jam mekanik. Apalagi smart watch yang dilengkapi banyak fitur yang berguna: mulai sensor cuaca hingga pengukur detak jantung sampai koneksi dengan satelit.

Tetapi jam mekanik dengan segala keterbatasan teknologinya, dengan akurasinya yang payah, tetap memanjakan hati, juga menguras dompet penggemarnya.

Jam mekanik otomatis seolah mengingatkan bila manusia adalah mahluk yang sebetulnya sulit untuk bisa tepat waktu. Mahluk yang tidak akan pernah bisa mengalahkan waktu.

📷Jam tangan Chen Xi, homage Patek Phillipe Nautilus