Senin, April 21, 2025

MITOS KARTINI DAN REKAYASA SEJARAH - DR. ADIAN HUSAINI



Mitos Kartini dan Rekayasa Sejarah

Oleh: Dr. Adian Husaini

Ada yang menarik pada Jurnal Islamia (INSISTS -Republika) edisi 9 April 2009 lalu. Dari empat halaman jurnal berbentuk koran yang membahas tema utama tentang Kesetaraan Gender, ada tulisan sejarawan Persis Tiar Anwar Bahtiar tentang Kartini. Judulnya: “Mengapa Harus Kartini?”

Sejarawan yang menamatkan magister bidang sejarah di Universitas Indonesia ini mempertanyakan: Mengapa Harus Kartini? Mengapa setiap 21 April bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini? Apakah tidak ada wanita Indonesia lain yang lebih layak ditokohkan dan diteladani dibandingkan Kartini?

Menyongsong tanggal 21 April 2009 kali ini, sangatlah relevan untuk membaca dan merenungkan artikel yang ditulis oleh Tiar Anwar Bahtiar tersebut. Tentu saja, pertanyaan bernada gugatan seperti itu bukan pertama kali dilontarkan sejarawan. Pada tahun 1970-an, di saat kuat-kuatnya pemerintahan Orde Baru, guru besar Universitas Indonesia, Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar pernah menggugat masalah ini. Ia mengkritik ‘pengkultusan’ R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia.

Dalam buku Satu Abad Kartini (1879-1979), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990, cetakan ke-4), Harsja W. Bahtiar menulis sebuah artikel berjudul “Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita”. Tulisan ini bernada gugatan terhadap penokohan Kartini. “Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut,” tulis Harsja W. Bachtiar, yang menamatkan doktor sosiologinya di Harvard University.

Harsja juga menggugat dengan halus, mengapa harus Kartini yang dijadikan sebagai simbol kemajuan wanita Indonesia. Ia menunjuk dua sosok wanita yang hebat dalam sejarah Indonesia. Pertama, Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari Aceh dan kedua, Siti Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan. Anehnya, tulis Harsja, dua wanita itu tidak masuk dalam buku Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1978), terbitan resmi Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Tentu saja Kartini masuk dalam buku tersebut.

Padahal, papar Harsja, kehebatan dua wanita itu sangat luar biasa. Sultanah Safiatudin dikenal sebagai sosok yang sangat pintar dan aktif mengembangkan ilmu pengatetahuan. Selain bahasa Aceh dan Melayu, dia menguasai bahasa Arab, Persia, Spanyol dan Urdu. Di masa pemerintahannya, ilmu dan kesusastraan berkembang pesat. Ketika itulah lahir karya-karya besar dari Nuruddin ar-Raniry, Hamzah Fansuri, dan Abdur Rauf. Ia juga berhasil menampik usaha-usaha Belanda untuk menempatkan diri di daerah Aceh.

VOC pun tidak berhasil memperoleh monopoli atas perdagangan timah dan komoditi lainnya. Sultanah memerintah Aceh cukup lama, yaitu 1644-1675. Ia dikenal sangat memajukan pendidikan, baik untuk pria maupun untuk wanita.

Tokoh wanita kedua yang disebut Harsja Bachriar adalah Siti Aisyah We Tenriolle. Wanita ini bukan hanya dikenal ahli dalam pemerintahan, tetapi juga mahir dalam kesusastraan. B.F. Matthes, orang Belanda yang ahli sejarah Sulawesi Selatan, mengaku mendapat manfaat besar dari sebuah epos La-Galigo, yang mencakup lebih dari 7.000 halaman folio. Ikhtisar epos besar itu dibuat sendiri oleh We Tenriolle. Pada tahun 1908, wanita ini mendirikan sekolah pertama di Tanette, tempat pendidikan modern pertama yang dibuka baik untuk anak-anak pria maupun untuk wanita.

Penelusuran Prof. Harsja W. Bachtiar terhadap penokohan Kartini akhirnya menemukan kenyataan, bahwa Kartini memang dipilih oleh orang Belanda untuk ditampilkan ke depan sebagai pendekar kemajuan wanita pribumi di Indonesia. Mula-mula Kartini bergaul dengan Asisten-Residen Ovink suami istri. Adalah Cristiaan Snouck Hurgronje, penasehat pemerintah Hindia Belanda, yang mendorong J.H. Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Agama dan Kerajinan, agar memberikan perhatian pada Kartini tiga bersaudara.

Harsja menulis tentang kisah ini: “Abendanon mengunjungi mereka dan kemudian menjadi semacam sponsor bagi Kartini. Kartini berkenalan dengan Hilda de Booy-Boissevain, istri ajudan Gubernur Jendral, pada suatu resepsi di Istana Bogor, suatu pertemuan yang sangat mengesankan kedua belah pihak.”

Ringkasnya, Kartini kemudian berkenalan dengan Estella Zeehandelaar, seorang wanita aktivis gerakan Sociaal Democratische Arbeiderspartij (SDAP). Wanita Belanda ini kemudian mengenalkan Kartini pada berbagai ide modern, terutama mengenai perjuangan wanita dan sosialisme. Tokoh sosialisme H.H. van Kol dan penganjur “Haluan Etika” C.Th. van Deventer adalah orang-orang yang menampilkan Kartini sebagai pendekar wanita Indonesia.

Lebih dari enam tahun setelah Kartini wafat pada umur 25 tahun, pada tahun 1911, Abendanon menerbitkan kumpulan surat-surat Kartini dengan judul Door Duisternis tot Lich. Kemudian terbit juga edisi bahasa Inggrisnya dengan judul Letters of a Javaness Princess. Beberapa tahun kemudian, terbit terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran (1922).

Dua tahun setelah penerbitan buku Kartini, Hilda de Booy-Boissevain mengadakan prakarsa pengumpulan dana yang memungkinkan pembiayaan sejumlah sekolah di Jawa Tengah. Tanggal 27 Juni 1913, didirikan Komite Kartini Fonds, yang diketuai C.Th. van Deventer. Usaha pengumpulan dana ini lebih memperkenalkan nama Kartini, serta ide-idenya pada orang-orang di Belanda. Harsja Bachtriar kemudian mencatat: “Orang-orang Indonesia di luar lingkungan terbatas Kartini sendiri, dalam masa kehidupan Kartini hampir tidak mengenal Kartini dan mungkin tidak akan mengenal Kartini bilamana orang-orang Belanda ini tidak menampilkan Kartini ke depan dalam tulisan-tulisan, percakapan-percakapan maupun tindakan-tindakan mereka.”

Karena itulah, simpul guru besar UI tersebut: “Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut.”

Harsja mengimbau agar informasi tentang wanita-wanita Indonesia yang hebat-hebat dibuka seluas-luasnya, sehingga menjadi pengetahuan suri tauladan banyak orang. Ia secara halus berusaha meruntuhkan mitos Kartini: “Dan, bilamana ternyata bahwa dalam berbagai hal wanita-wanita ini lebih mulia, lebih berjasa daripada R.A. Kartini, kita harus berbangga bahwa wanita-wanita kita lebih hebat daripada dikira sebelumnya, tanpa memperkecil penghargaan kita pada RA Kartini.”

Dalam artikelnya di Jurnal Islamia (INSISTS-Republika, 9/4/2009), Tiar Anwar Bahtiar juga menyebut sejumlah sosok wanita yang sangat layak dimunculkan, seperti Dewi Sartika di Bandung dan Rohana Kudus di Padang (kemudian pindah ke Medan). Dua wanita ini pikiran-pikirannya memang tidak sengaja dipublikasikan. Tapi yang mereka lakukan lebih dari yang dilakukan Kartini. Berikut ini paparan tentang dua sosok wanita itu, sebagaimana dikutip dari artikel Tiar Bahtiar.

Dewi Sartika (1884-1947) bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum wanita. Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah yang belakangan dinamakan Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung. Rohana Kudus (1884-1972) melakukan hal yang sama di kampung halamannya. Selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amal Setia (1911) dan Rohana School (1916), Rohana Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang sampai saat ia mengungsi ke Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini.

Kalau Kartini hanya menyampaikan ide-idenya dalam surat, mereka sudah lebih jauh melangkah: mewujudkan ide-ide dalam tindakan nyata. Jika Kartini dikenalkan oleh Abendanon yang berinisiatif menerbitkan surat-suratnya, Rohana menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan).

Bahkan kalau melirik kisah-kisah Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia, Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fatimah dari Aceh, klaim-klaim keterbelakangan kaum wanita di negeri pada masa Kartini hidup ini harus segera digugurkan. Mereka adalah wanita-wanita hebat yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda.

Tengku Fakinah, selain ikut berperang juga adalah seorang ulama-wanita. Di Aceh, kisah wanita ikut berperang atau menjadi pemimpin pasukan perang bukan sesuatu yang aneh. Bahkan jauh-jauh hari sebelum era Cut Nyak Dien dan sebelum Belanda datang ke Indonesia, Kerajaan Aceh sudah memiliki Panglima Angkatan Laut wanita pertama, yakni Malahayati.

Jadi, ada baiknya bangsa Indonesia bisa berpikir lebih jernih: Mengapa Kartini? Mengapa bukan Rohana Kudus? Mengapa bukan Cut Nyak Dien? Mengapa Abendanon memilih Kartini? Dan mengapa kemudian bangsa Indonesia juga mengikuti kebijakan itu? Cut Nyak Dien tidak pernah mau tunduk kepada Belanda. Ia tidak pernah menyerah dan berhenti menentang penjajahan Belanda atas negeri ini.

Meskipun aktif berkiprah di tengah masyarakat, Rohana Kudus juga memiliki visi keislaman yang tegas. “Perputaran zaman tidak akan pernah membuat wanita menyamai laki-laki. Wanita tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah wanita harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Wanita harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan,” begitu kata Rohana Kudus.

Seperti diungkapkan oleh Prof. Harsja W. Bachtiar dan Tiar Anwar Bahtiar, penokohan Kartini tidak terlepas dari peran Belanda. Harsja W. Bachtiar bahkan menyinggung nama Snouck Hurgronje dalam rangkaian penokohan Kartini oleh Abendanon. Padahal, Snouck adalah seorang orientalis Belanda yang memiliki kebijakan sistematis untuk meminggirkan Islam dari bumi Nusantara. Pakar sejarah Melayu, Prof. Naquib al-Attas sudah lama mengingatkan adanya upaya yang sistematis dari orientalis Belanda untuk memperkecil peran Islam dalam sejarah Kepulauan Nusantara.

Dalam bukunya, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu ((Bandung: Mizan, 1990, cet. Ke-4), Prof. Naquib al-Attas menulis tentang masalah ini:

“Kecenderungan ke arah memperkecil peranan Islam dalam sejarah Kepulauan ini, sudah nyata pula, misalnya dalam tulisan-tulisan Snouck Hurgronje pada akhir abad yang lalu. Kemudian hampir semua sarjana-sarjana yang menulis selepas Hurgronje telah terpengaruh kesan pemikirannya yang meluas dan mendalam di kalangan mereka, sehingga tidak mengherankan sekiranya pengaruh itu masih berlaku sampai dewasa ini.”

Apa hubungan Kartini dengan Snouck Hurgronje? Dalam sejumlah suratnya kepada Ny. Abendanon, Kartini memang beberapa kali menyebut nama Snouck. Tampaknya, Kartini memandang orientalis-kolonialis Balanda itu sebagai orang hebat yang sangat pakar dalam soal Islam. Dalam suratnya kepada Ny. Abendanon tertanggal 18 Februari 1902, Kartini menulis:

”Salam, Bidadariku yang manis dan baik!… Masih ada lagi suatu permintaan penting yang hendak saya ajukan kepada Nyonya. Apabila Nyonya bertemu dengan teman Nyonya Dr. Snouck Hurgronje, sudikah Nyonya bertanya kepada beliau tentang hal berikut: ”Apakah dalam agama Islam juga ada hukum akil balig seperti yang terdapat dalam undang-undang bangsa Barat?” Ataukah sebaiknya saya memberanikan diri langsung bertanya kepada beliau? Saya ingin sekali mengetahui sesuatu tentang hak dan kewajiban perempuan Islam serta anak perempuannya.” (Lihat, buku Kartini: Surat-surat kepada Ny. R.M. Abendanon-Mandri dan Suaminya, (penerjemah: Sulastin Sutrisno), (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2000), hal. 234-235).

Melalui bukunya, Snouck Hurgronje en Islam (Diindonesiakan oleh Girimukti Pusaka, dengan judul Snouck Hurgronje dan Islam, tahun 1989), P.SJ. Van Koningsveld memaparkan sosok dan kiprah Snouck Hurgronje dalam upaya membantu penjajah Belanda untuk ’menaklukkan Islam’. Mengikuti jejak orientalis Yahudi, Ignaz Goldziher, yang menjadi murid para Syaikh al-Azhar Kairo, Snouck sampai merasa perlu untuk menyatakan diri sebagai seorang muslim (1885) dan mengganti nama menjadi Abdul Ghaffar. Dengan itu dia bisa diterima menjadi murid para ulama Mekkah. Posisi dan pengalaman ini nantinya memudahkan langkah Snouck dalam menembus daerah-daerah Muslim di berbagai wilayah di Indonesia.

Menurut Van Koningsveld, pemerintah kolonial mengerti benar sepak terjang Snouck dalam ’penyamarannya’ sebagai Muslim. Snouck dianggap oleh banyak kaum Muslim di Nusantara ini sebagai ’ulama’. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai ”Mufti Hindia Belanda’. Juga ada yang memanggilnya ”Syaikhul Islam Jawa”. Padahal, Snouck sendiri menulis tentang Islam: ”Sesungguhnya agama ini meskipun cocok untuk membiasakan ketertiban kepada orang-orang biadab, tetapi tidak dapat berdamai dengan peradaban modern, kecuali dengan suatu perubahan radikal, namun tidak sesuatu pun memberi kita hak untuk mengharapkannya.” (hal. 116).

Snouck Hurgronje (lahir: 1857) adalah adviseur pada Kantoor voor Inlandsche zaken pada periode 1899-1906. Kantor inilah yang bertugas memberikan nasehat kepada pemerintah kolonial dalam masalah pribumi. Dalam bukunya, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), Dr. Aqib Suminto mengupas panjang lebar pemikiran dan nasehat-nasehat Snouck Hurgronje kepada pemerintah kolonial Belanda. Salah satu strateginya, adalah melakukan ‘pembaratan’ kaum elite pribumi melalui dunia pendidikan, sehingga mereka jauh dari Islam.

Menurut Snouck, lapisan pribumi yang berkebudayaan lebih tinggi relatif jauh dari pengaruh Islam. Sedangkan pengaruh Barat yang mereka miliki akan mempermudah mempertemukannya dengan pemerintahan Eropa. Snouck optimis, rakyat banyak akan mengikuti jejak pemimpin tradisional mereka. Menurutnya, Islam Indonesia akan mengalami kekalahan akhir melalui asosiasi pemeluk agama ini ke dalam kebudayaan Belanda. Dalam perlombaan bersaing melawan Islam bisa dipastikan bahwa asosiasi kebudayaan yang ditopang oleh pendidikan Barat akan keluar sebagai pemenangnya. Apalagi, jika didukung oleh kristenisasi dan pemanfaatan adat. (hal. 43).

Aqib Suminto mengupas beberapa strategi Snouck Hurgronje dalam menaklukkan Islam di Indonesia: “Terhadap daerah yang Islamnya kuat semacam Aceh misalnya, Snouck Hurgronje tidak merestui dilancarkan kristenisasi. Untuk menghadapi Islam ia cenderung memilih jalan halus, yaitu dengan menyalurkan semangat mereka kearah yang menjauhi agamanya (Islam) melalui asosiasi kebudayaan.” (hal. 24).

Itulah strategi dan taktik penjajah untuk menaklukkan Islam. Kita melihat, strategi dan taktik itu pula yang sekarang masih banyak digunakan untuk ‘menaklukkan’ Islam. Bahkan, jika kita cermati, strategi itu kini semakin canggih dilakukan. Kader-kader Snouck dari kalangan ‘pribumi Muslim’ sudah berjubel. 

Biasanya, berawal dari perasaan ‘minder’ sebagai Muslim dan silau dengan peradaban Barat, banyak ‘anak didik Snouck’ – langsung atau pun tidak – yang sibuk menyeret Islam ke bawah orbit peradaban Barat. Tentu, sangat ironis, jika ada yang tidak sadar, bahwa yang mereka lakukan adalah merusak Islam, dan pada saat yang sama tetap merasa telah berbuat kebaikan.

Dari Mustanir Online - Facebook

21 April 2025

Mitos Kartini dan Rekayasa Sejarah Oleh: Dr. Adian Husaini Ada yang menarik pada Jurnal Islamia (INSISTS -Republika)...

Posted by Mustanir Online on Sunday, April 20, 2025

Kamis, April 17, 2025

MOBIL PENYOK ADALAH SUATU KENISCAYAAN


Suatu waktu dulu kala, saya pernah mengunjungi Medan untuk alasan pekerjaan. Lalu lintasnya meriah karena lampu merah pun dianggap hanya sebagai hiasan. Dalam satu trip, setidaknya dua kali mobil travel yang saya tumpangi menuju Sibolga dicegat polisi karena melanggar lalu lintas. Itu masih di dalam kota Medan belum sampai luar kota.

Tetapi sesemrawut-semrawutnya Kota Medan saat itu di sekitar tahun 2007 silam, saya tidak melihat banyak mobil yang penyok-penyok atau tergores-gores. Umumnya masih sangat mulus minus bekas pemakaian saja.

Tetapi di Mekkah, Medinah, atau Jeddah yang lalu lintasnya masih lebih tertib dibanding Medan, seringkali terlihat mobil penyok. Baik itu mobil lama bahkan mobil baru. Dari gambaran sekilas itu saya berusaha menebak perilaku pengemudi kendaraan roda empat di Arab Saudi.

Rupanya di sana senggolan atau tabrakan ringan sudah menjadi hal biasa. Entah siapa yang memulai namun yang jelas tidak sampai terjadi perkelahian. Biasanya hanya sampai adu mulut berkepanjangan sampai akhirnya bubar sendiri.

Tahu lah ya kenapa sampai tidak terjadi adu jotos, hukum di Arab Saudi berbeda dengan di Indonesia. Itu saja penjelasan paling ringkas. YTTA.

Perilaku pengendara di Saudi ini menjadi kesan yang melekat saat pertama kali melintasi jalan Jeddah menuju Mekkah. Bis yang kami tumpangi nyaris bersenggolan dengan sebuah mobil SUV yang seenaknya memotong jalur bus. 

Anehnya mereka, pengemudi dan penumpang SUV tersebut yang marah-marah. Bukannya menghindar, mereka mengeluarkan ponselnya dan merekam bis yang melaju di sampingnya. 

Jadi bila sehari setelah itu ada kejadian kecelakaan di jalur yang sama yang menewaskan empat orang jamaah umroh Indonesia, saya bisa meraba penyebabnya dan memperkirakan siapa yang seharusnya bertanggung jawab. Peristiwa di jalan tol Jeddah - Mekkah sore itu memberi sedikit gambaran bagaimana perilaku para pengemudi di Saudi.

Jadi bila sehari setelah itu ada kejadian kecelakaan di jalur yang sama yang menewaskan empat orang jamaah umroh Indonesia, saya bisa meraba penyebabnya dan memperkirakan siapa yang seharusnya bertanggung jawab. Peristiwa di jalan tol Jeddah - Mekkah sore itu memberi sedikit gambaran bagaimana perilaku pengemudi di Saudi.

Jadi jangan heran bila melihat banyak mobil bagus yang penyok di beberapa bagian. Bagi orang Arab, senggolan mobil adalah suatu keniscayaan, bahkan mungkin hal yang sudah sangat biasa.

Bandung, 17 April 2025

Ricky N. Sastramihardja


Rabu, April 16, 2025

CATATAN DARI JEDDAH: UMROH ITU UPGRADE CARDIO


Umroh itu ibadah, bukan olahraga. Tetapi untuk melaksanakannya, kita butuh fisik dan stamina yang prima.

Tapi pandangan ini tidak selalu tepat. Selama melakukan thowaf dan sa'i, ternyata realitasnya ada di antara jamaah umroh mereka memiliki keterbatasan fungsi fisik/disablitas atau sedang sakit.

Ada yang di kursi roda karena sedang sakit atau karena jasmaninya memiliki keterbatasan dan kekurangan, ada yang berjalan terpincang karena bentuk kaki yang ditakdirkan sejak lahir berbeda. Begitu juga ada yang ngesot karena bentuk tubuh yang tidak seperti orang lainnya.

Umroh itu undangan Alloh SWT. Bila sudah dipanggil, tak ada alasan untuk mengelak. Lagi bokek dan pengangguran pun bisa berangkat. Mereka yang fisiknya tidak sempurna pun bisa melaksanakan thowaf dan sa'i yang memerlukan daya tahan jasmani.

Bila sudah soal hati yang dirindu Sang Kholik, ketidaksempurnaan tubuh bukan penghalang. Vice versa.

Kembali lagi ke soal cardio, mudah-mudahan (seharusnya) sepulang perjalanan umroh jantung kita lebih sehat. Karena selama di Mekkah dan di Madinah kita selalu dipaksa untuk berjalan kaki dari dan ke mesjid, atau mencari makanan dan jajanan, atau berbelanja.

Mengitari Masjidil Haram yang luasnya lebih 35 ha dengan berjalan kaki tentu butuh effort. Begitu juga mengelilingi Masjidil Nabawi seluas lebih dari 24 ha.

Belum lagi yang doyan belanja-belanja. Mulai belanja serba 1 riyal hingga beli parfum ratusan riyal mengitari banyak kios dan pertokoan alias thowaf shopping.

Untuk thowaf dan sa'i, berdasar pedometer dari hotel hingga ke hotel lagi, tercatat sekitar 15.000 langkah atau bila dikonversi sekitar 10 km.

Jadi umroh tidak selalu soal kekuatan fisik, tetapi juga keteguhan mental. Serta insya Alloh sepulang berumroh, jantung kita lebih sehat dan kuat karena seringnya kita berjalan kaki

Jeddah 7 Syawal 2025/6 April 2025

Ricky N. Sastramihardja 


Semula ditulis di Facebook 6 April 2025

Senin, April 14, 2025

CATATAN DARI MADINAH: SEPATU ATAU SANDAL?


Saya lebih memilih sepatu saat melakukan perjalanan umroh dibanding sandal. Alasannya sederhana saja: lebih nyaman dan aman untuk dipakai berjalan di aspal yang panas dan keras.

Tentu saja di saat umroh telanjang kaki saat thowaf dan memakai sandal saat sa'i. Karena salah satu syarat umroh adalah tIdak mengenakan alas kaki yang menutupi mata kaki. Tapi setelah selesai tahalul, saya memilih menggunakan sepatu untuk berjalan pulang ke hotel.

Jadi bawa sepatu dan sandal sekaligus. Lebih repot tapi nyaman.

Tapi memakai dan melepaskan sepatu cukup memakan waktu. Apalagi sepatu bertali. Harus sedikit bergegas saat melepas-pasang sepatu. Tidak bisa blas-blus seperti sandal atau sepatu jenis loaf in atau selop.

Sepatu akan sangat berguna saat berjalan dengan jarak cukup jauh. Di Mekkah dan Madinah tidak ada angkot apalagi ojeg. Bagi saya berjalan kaki dengan bersepatu di saat terik matahari terasa lebih nyaman.

Apalagi kalau sempat salah jalan atau terpaksa harus berputar. Kaki tidak mudah lelah dan pegal.

Sepatu juga mengurangi resiko kaki tidak kekeringan dan pecah-pecah alias rorombeuheun. Aspal jalanan di Mekkah dan Madinah di siang hari akan sangat menyakitkan dan membahayakan bila dilewati tanpa alas kaki.

Seorang teman jamaah umroh kakinya pecah dan berdarah setelah tanpa sengaja berjalan memutari Masjidil Haram. Ia terpaksa harus berjalan memutar dan lebih jauh sepulang sholat dhuhur karena pengaturan jalan masuk dan jelan keluar oleh otoritas setempat. Ia hanya memakai sendal.

Memakai sepatu juga membuat saya bisa berjalan lebih cepat dibanding saat bersandal.

Perlu diketahui, hampir setiap hari di Mekkah atau Madinah saya berjalan cukup jauh. Pedometer di pergelangan tangan mencatat, sekurangnya berjalan minimal 8000 langkah atau kurleb 6 km per hari. Tentu hal ini tergantung jarak hotel kita dengan masjid.

Berjalan kaki berkilometer tentu lebih nyaman bersepatu daripada sandal. Mengitari masjid Nabawi seluas 24 ha pun lebih bebas pegal, bebas lecet, dan bebas rorombeuheun...

Madinah 6 Syawal 1446H/5 April 2025

Ricky N. Sastramihardja

Semula ditulis di akun pribadi di Facebook 5 April 2025

CATATAN 2 SYAWAL DI MEKKAH: MEKKAH KOTA YANG TAK PERNAH TIDUR


Bila ada pernyataan yang menyebut New York sebagai kota yang tak pernah tidur, mungkin harus berkunjung ke Mekkah.

Selepas romadhon, ternyata settingan Mekkah kembali ke setelan pabrik: semrawut dan padat. Setidaknya di sepanjang Misfalah/Al Hajlah tempat kami menginap yang merupakan salah satu jalan mencapai Masjidil Haram.

Pedagang kaki lima dan pengemis yang tidak terlihat di 10 hari Romadhon, muncul saat 1 Syawal resmi diumumkan. Jalan yang semula digunakan untuk menampung jamaah, kini kembali ke fungsi asal: menjadi akses berbagai macam kendaraan.

Masjidil Harom pun tetap penuh. Setidaknya satu jam sebelum adzan kita harus sudah menuju masjid. Tentu agar dapat tempat sholat di dalam masjid, setidaknya di bagian yang diberi karpet.

Bila di kampung, ke masjid itu menjelang iqomah masih bisa dapat shaf pertama, di Masjidil Haram pasti tidak. Kita harus bersiap sholat di jalan atau di trotoar. Dapat di pelataran/halaman masjid itu sudah sangat beruntung.


Area Kabah pun masih dipenuhi jamaah yang thowaf semenjak setelah sholat ied. Jadi bila ada yang bilang Mekkah/Kabah sepi saat lebaran, mungkin itu cerita di masa lalu. Di 1 dan 2 Syawal 1446 H, tetap full house.

Mencium Hajar Aswad pun pasti tetap penuh perjuangan. Untung saja tidak menjadi rukun umroh/haji.

Denyut kehidupan di Kota Mekkah ini berkaitan dengan data yang dirilis Presidensi Umum Urusan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Dirilis oleh Republika dari Saudigazette, Senin (31/3/2025), CEO Otoritas Umum untuk Urusan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, Ghazi Al-Shahrani mengatakan, jumlah jamaah umrah mencapai 16.558.241. Sementara, umat Islam yang beribadah di Masjidil Haram berjumlah 92.132.169 orang dan di Masjid Nabawi 30.154.543 orang.

Kehidupan berdenyut selama 24 jam di Mekkah. Mulai antrian masuk masjid, pedagang kaki lima, teriakan askar mengatur jamaah umroh, razia satpol PP Mekkah terhadap PKL & pengemis, restoran dan toko yang tak pernah tutup, serta hilir mudik kendaraan masuk dan keluar Mekkah

Ricky N. Sastramihardja

Semula ditulis di akun pribadi di Facebook 31 Maret 2025

CATATAN 1 SYAWAL DI MEKKAH: MALAM LEBARAN TANPA TAKBIRAN


Berbeda dengan di Indonesia, malam lebaran atau malam takbiran di Mekkah tidak dirayakan dengan takbir berkumandang sepanjang malam hingga pagi.

Takbiran baru berkumandang setelah sholat subuh hingga menjelang sholat idul fitri.

Sedangkan sholat ied terpusat di Masjidil Haram. Bagi yang ingin merayakan di dalam Masjidil Haram, harus sudah berangkat sejak pukul 02.00 dinihari.

Bersama puluhan ribu jamaah lainnya, saya lebih memilih sholat di jalanan Al Hajlah yang menjadi salah satu jalan masuk ke Masjidil Haram.

Tadi malam setelah magrib, bersama teman sekamar saya menyempatkan diri beritikaf sebentar di Masjidil Haram. Masjid yang biasanya dipenuhi jamaah selama 10 hari terakhir romadhon itu suasananya lebih lengang.

Kami diarahkan ke lantai 4 masjid lalu sholat isya berjamaah di sana. Setelah sholat isya, ya selesai. Tidak ada takbiran seperti yang biasa dilakukan di Tanah Air.

Pagi ini, setelah sholat subuh, menjadi kali pertama saya berlebaran jauh dari keluarga, jauh dari tanah air. Suasana yang berbeda yang pertama kali didapat seumur hidup.

Sejak jam 05.00 jalanan sudah penuh dengan jamaah umroh maupun warga Mekkah yang hendak melaksanakan sholat iedul fitri pada jam 06.30 waktu setempat. Begitu juga dengan Masjidil Haram.

Oh iya, 1 syawal di Saudi Arabia dan di Jazirah Arabia tepat jatuh pada tanggal 30 Maret 2025. Hilal terlihat lebih awal dibandingkan di Indonesia.

Taqoballohu minna wa mingkum. Shiyamana wa shiyamakum.

Wilujeng Boboran Siam 1 Syawal 1446H.

Ricky N. Sastramihardja

Semula ditulis di akun pribadi di Facebook 30 Maret 2025

CATATAN JELANG MALAM KE-30 ROMADHON: PORSI JUMBO MAKANAN ARAB


Alhamdulillah tidak ada kendala dengan rasa makanan selama di Mekkah. Terbiasa adaptasi dengan berbagai rasa makanan di tanah air, membuat saya tidak terlalu pilih-pilih soal makanan.

Beberapa rasa yang kurang cocok masih bisa 'dikoreksi' dengan saos sambal yang dibawa dari Indonesia. Sayang saya tidak jadi membawa garam gurih karena khawatir diperiksa bea cukai akibat mirip serbuk 'assoy' alias narkoba.

Tapi tentu masalahnya ada di ukuran makanan yang duh Gusti, meni baradag enjum. Beli nasi putih yang mirip nasi uduk seharga 7 riyal, jumlahnya luar biasa. Bisa untuk 4-5x makan. Dimakan berdua dengan teman sekamar pun enggak habis, akhirnya sisanya terpaksa dibuang setelah 2 hari.

Beli sejenis semur daging, diberi 2 lembar roti yang ukurannya juga over size. Sagede-gede telebug sigana mah...

Pernah sesaat setelah tiba di Mekkah, oleh tim Khidmat travel jamaah diberi sajian ayam Albaik. Buset, itu satu kotak Albaik, kayaknya cukup buat 3 orang.

Ada 3 potong ayam, 1 besar banget segede kepalan tangan Mike Tyson, yang dua lagi seukuran ayam krispi di Indonesia. Sajian itu baru habis setelah 3x makan. Itupun sebagian dibuang karena goreng ayam yang sudah dingin rasanya tidak sip.

Heran dengan porsi makanan yang oversize seperti motor Mio balap 200 cc, ternyata menurut ustad pendamping jamaah, orang Arab pun sering kali tak bisa habiskan makanan.

"Mereka (orang Arab) juga gak bisa habiskan porsi nasi sebanyak itu. Kebanyakan sisanya berakhir di tempat sampah."

Tapi berbeda dengan roti, roti pasti akan selalu dimakan habis karena berkaitan dengan masa lalu. Di mana konon nenek moyang mereka pernah mengalami kesulitan mendapat makanan hingga harus mengais remah-remah roti untuk makan.

Ricky N. Sastramihardja

Semula ditulis di akun pribadi di Facebook 29 Maret 2025

CATATAN DARI MALAM KE-29 ROMADHON: ADA BALA-BALA DI MEKKAH


Pertama kali lihat bala-bala di Mekkah adalah di Cafetaria Al Bahary di samping hotel. Kantin yang mungkin masih franchisenya warteg Bahari ini menyiskan sebiji bala-bala di etalase.

"What's that?," tanya saya pada penjaga kantin.

"Bala-bala," jawabnya.

"What? That bala-bala is from my country", balas saya sambil tertawa.

Bala-bala itu harganya 1 riyal (± Rp. 4500). Ukurannya tunggu kiris, eh tinggi kurus, sudah dingin dan tanpa cengek. Itu masih lebih murah dibanding di Damba, restoran Indonesia di Zamzam Tower. 4 Riyal per biji atau 10 riyal per 3 biji. Gehu alias tahu isi juga dijual di Damba dengan harga yang sama.

Bala-bala ini dijual di beberapa warung makan di Al Hajlah, terutama warung makan Bangladesh seperty Cafetaria Al Bahary, atau di warung makan Pakistan. 

Bahkan di hotel tempat kami menginap, pengelola restoran Indonesia sempat juga menyajikan bala-bala sebagai menu. Rasanya lebih enak daripada bala-bala buatan chef Bangladesh atau Pakistan. Namun tetap tanpa cengek.

Menarik juga saat para penjual makanan ini menyebut nama bala-bala, karena bala-bala mah penamaan khas Sunda. Tidak disebut dengan bakwan, membuat saya curiga bila juru masak yang mengenalkan bala-bala di Tanah Mekkah adalah orang Sunda.😅

Ricky N. Sastramihardja

Semula ditulis di akun pribadi di Facebook 29 Maret 2025

CATATAN DARI MALAM KE-28 ROMADHON DI MEKKAH


Sholat qiyamul lail di sini itu 10 rokaat untuk taraweh (20.30 - 22.00). Dilanjut tahajud berjamaah 10 rokaat dan 3 rokaat witir (bisa 2+1, bisa langsung 3).

Selain jamaah umroh, warga Mekkah dan warga KSA berbondong-bondong sholat berjamaah walau luber hingga ke jalan raya karena tidak mungkin semua tertampung di Masjidil Haram.

Berjamaah sholat dengan jutaan muslim dari berbagai penjuru dunia itu sungguh luar biasa.

Enggak ada yang 'berantem' soal jumlah taraweh, apalagi bila dijumlah-jamleh jadi 23 rokaat. Persis seperti yang dilakukan banyak umat Islam di Indonesia.

Dalam riwayat Rosullulloh tidak mewajibkan taraweh berjamaah. Tetapi di Mekkah, taraweh dan tahajud dilakukan berjamaah.

Aneh aja di lingkungan kita di Indonesia ada yang mendebat soal taraweh dan tahajud berjamaah ini. Di Mekkah aja di bulan ramadhan, amal-amalan sunat dilakukan berjamaah kok, di Indonesia malah jadi bahan debat kusir dengan berbagai macam dalih.

Beberapa kali di dalam qunut Imam sholat bersholawat dengan menyebut nama Sayiddina Muhammad. Sedangkan di Indonesia, ada juga kelompok yang bilang 'tidak kaci' bila menyebut nama Sayiddina Muhammad. 

Banyak pula jamaah yang isbal, gulung celana, atau gulung lengan baju agar lebih nyaman. Kalau dari perawakan dan bahasanya mereka orang Arab. Tapi tidak dibid'ah-bidah'kan oleh jamaah lain. Enggak kayak di onoh yang soal celana aja bisa berantem berabad lamanya 😅

Ricky N. Sastramihardja

Semula ditulis di akun pribadi di Facebook 28 Maret 2025

Sabtu, April 12, 2025

PERANG UHUD DAN PERANG BUBAT


Jabal Uhud. Di tempat ini pernah terjadi pertempuran antara kaum Muslimin di Madinah dengan kaum Quraisy Mekkah. Terjadi di tahun ke-3 hijriah, tepatnya 7 Syawal 3 H/23 Maret 625 M. Pada pertempuran ini umat Islam yang dipimpin oleh Nabi SAW mengalami kekalahan.

Di tempat ini juga ada pemakaman 70 orang sahabat yang syahid pada pertempuran ini. 

Kisah Perang Uhud ini terdokumentasi dengan terperinci sampai sekarang setelah 1400 tahun lebih lamanya. Kekuatan ingatan orang Arab membuat kisah ini tetap terverifikasi kebenarannya hingga sekarang. Tidak hanya lisan tetapi sudah terdokumentasi dalam berbagai naskah tulisan.

Kita bandingkan dengan Perang Bubat antara Majapahit dan Kerajaan Sunda di tahun 1357 M atau 668 tahun lalu. Perang Bubat ini disebutkan terbatas hanya di beberapa naskah kuno. Salahsatunya naskah Carita Parahiangan yang diperkirakan ditulis di akhir abad ke-16.

Perang Bubat ini sampai sekarang menuai pro dan kontra. Sebagian menganggapnya benar terjadi, sebagian menganggapnya dusta. Banyak juga yang skeptis, dan tidak ambil pusing dengan alasan demi keutuhan NKRI.

Menariknya, di tengah pro kontra kisah sejarah ini, ada sekelompok masyarakat fasis yang menganggap dia dan leluhurnya adalah orang-orang hebat.  Saking hebatnya, sekelompok fasis yang sering disebut kaum rahayu ini semakin terang-terangan menghina Kaum Muslimin di Indonesia, juga menghina orang Arab.

Pemakaman 70 syuhada Uhud

Heran saja mengaku lebih hebat dari orang Arab, mengakui ajaran agama leluhurnya lebih benar daripada Islam, tetapi buta akan sejarahnya sendiri yang berjarak hanya 668 tahun. Sedangkan tradisi Islam, mengingat setiap detail peristiwa sejarah agamanya lengkap dengan nama, tahun, tempat dan perincian-perincian lainnya yang sulit dibandingkan dengan sejarah Nusantara dalam kurun waktu yang sama.

Ah jangankan Perang Bubat yang terjadi hampir 7 abad silam, sejarah Persib Bandung yang terjadi di dunia yang sudah tertulis, pun ternyata 'gelap'.

Paling lama sejarah Persib itu dimulai 106 tahun lalu (1919, versi PT. PBB) atau 1933 (versi tradisi historikal-lisan), atau 1934 (versi naskah akademis sumber tertulis satu-satunya).

Bagaimana bisa kaum rahayu ini mengaku diri bangsa Nusantara adalah bangsa yang hebat bila ternyata kita hanyalah bangsa amnesia yang mudah lupa dan abai peristiwa sejarah?

Bandung, 12 April 2025/13 Syawal 1446H

Ricky N. Sastramihardja

Jumat, Maret 14, 2025

KEMBALI MENYOAL KELAHIRAN PERSIB: MENOLAK 14 MARET 1933


Apakah benar Persib lahir 14 Maret 1933? Dari penelusuran Anggalarang dan Atep Kurnia, bukan.

Berdasar arsip koran Sipatahoenan, Atep dan Anggalarang menyebut bila Persib dilahirkan 18 Maret 1934 sebagai hasil fusi (penggabungan) PSIB (Persatuan Sepakraga Indonesia Bandoeng) dengan NVB (National Voetbal Bond).

Tanggalan ini juga tercantum dalam opsi yang disampaikan tim peneliti dari Jurusan Sejarah Unpad seperti dalam Naskah Akademik Hari Jadi Persib hasil riset mereka yang dibiayai Persib di tahun 2023.

"Tanggal 18 Maret 1934 bisa dipertimbangkan sebagai harijadi Persib apabila merujuk pada penggunaan PERSIB sebagainama perserikatan dan/atau klub," demikian tercantum dalam Naskah Akademik Hari Lahir Persib yang ditulis oleh Prof. Kunto Sofianto, Ph.d et.al.

Lalu darimana tahun lahir 14 Maret 1933? Anggalarang menyebut bila kemungkinan berasal dari tulisan R. Ibrahim Iskandar di tahun 1973.

"Satu-satunya keterangan yang menyebutkan bahwa Persib lahir di 14 Maret 1933 adalah berdasarkan keterangan R. Ibrahim Iskandar di “Pasang Surut 40 Tahun Persib” yang dirilis tahun 1973 atau 2 tahun sebelum beliau meninggal dunia," ungkap Anggalarang (Tjatatan Ketjil, 2020).

Kunto juga menyebut bila.."Apa yang diberitakan oleh Sipatahoenan edisi 19 Maret 1934 adalah berita atas peristiwa yang "baru saja terjadi" (kelahiran Persib) sehari sebelum diangkat menjadi berita (disebarluaskan) oleh surat kabar tersebut. Dengan demikian, informasi yang menyebutkan kelahiran Persib pada Maret 1933, terbantahkan oleh fakta yang terdapat pada surat kabar Sipatahoenan edisi 19 Maret 1934."

Jadi jelas bila Persib memang tidak lahir 14 Maret 1933. 
Lalu darimana tanggalan 5 Januari 1919 muncul? Tanggalan ini muncul dalam alternatif kedua yang disampaikan para peneliti dari Jurusan Sejarah Unpad dalam naskah akademiknya itu.

"Alternatif kedua ini merujuk pada tahun kelahiran Bandoengsch Inlansch Voetbal Bond pada 5 Januari 1919. Tanggal tersebut muncul dari analisis terhadap berita Kaoem Moeda, 7 Januari 1919 dan Kaoem Moeda, 30 Desember 1918. Pertimbangan tersebut merupakan kali pertama penyebutan suatu bond atau perserikatan sepakbola bumiputera di Bandung dengan nama Bandoengsch Inlansch Voetbal Bond (BIVB). Sebelum tanggal itu, tidak ditemukan adanya bond atau perserikatan sepakbola bumiputera serupa di Bandung."

Jelas tahun lahir 1919 yang kemudian diklaim PT. PBB sebagai tanggal lahir Persib yang shoheh, justru tidak shoheh (valid). Hanya sebagai klaim untuk melegitimasi Persib sebagai klub yang lahir lebih awal dari PSSI. Agar teori bila Persib sebagai pendiri PSSI di 11 April 1930 terpenuhi.

Jelas BIVB 5 Januari 1919 tidak berhubungan dengan Persib sebagai klub. Tetapi hanya sebagai penanda kelahiran klub sepakbola pribumi (inlansch) di Gemeente (Kotamadya) Bandoeng. 

Bila kemudian disangkutpautkan dengan Persib Bandung sangat wajar karena BIVB ini kemudian menginspirasi lahirnya klub-klub sepakbola pribumi di Bandung dari periode 1919 hingga 1934.

BIVB yang inlansch bukanlah BIVB yang berubah jadi Persib. Hubungan mereka hanyalah sebatas dalam runutan linimasa sejarah perkembangan sebuah kota dan masyarakatnya. Bukan perubahan sebuah klub sepakbola. Teu hil walahir.

Lalu kenapa kemudian PT. PBB mengklaim 5 Januari 1919 sebagai hari lahir Persib? Selain alasan retoris mengambil dari akar sejarah sepak bola pribumi, sebagai pendiri PSSI, juga ditengarai untuk kepentingan bisnis atau ekonomi.

PT. PBB sepertinya merasa akan lebih menguntungkan untuk memonetisasi tahun lahir 1919, karena menjadi menjadi klub 'tua' yang sejajar dengan PSM Makassar (1915) yang sudah berumur lebih dari 100 tahun. 

Kata centenial terasa lebih bernilai jual karena sudah hidup lebih dari 100 tahun lamanya.

Tentu saja kita Bobotoh mendukung apapun yang dilakukan PT. PBB untuk menjaga roda ekonomi klub. Tetapi memanipulasi sejarah demi ekonomi dan gengsi klub, rasanya tidak elok. 

Barieukeun!

Ricky N. Sastramihardja
14 Romadon 1446 H
14 Maret 2025

📷 Visualisasi ringkasan sejarah PERSIB Bandung yang dibuat Hary G. Budiman di X @hgbudiman 5 Januari 1919.

Selasa, Februari 25, 2025

History of Persib: 21 Tahun Mengumpulkan Data Persib!


Liputan khusus Bobotoh.id kali ini adalah bertemu dan mewawancarai sosok di balik akun Twitter @HistoryofPersib. Sosok yang dipanggil 'Abah' di Twitter ini begitu fenomenal karena memiliki data pertandingan Persib sejak tahun 1933 atau 87 tahun lalu.

Dalam rilis data pertandingan Persib dengan update terakhir November 2019 lalu, tercatat bila Persib sudah melakukan 1768 pertandingan. Pertandingan yang dilalui Persib selain  di masa Perserikatan dan Liga Indonesia, termasuk pertandingan resmi LCA dan AFC, turnamen-turnamen lokal, turnamen internasional, persahabatan, latih tanding, termasuk ujicoba internasional.

Pertandingan pertama Persib Bandung yang berhasil ditelusuri dan dicatat History of Persib adalah tanggal 2 Juni 1933. Pertandingan itu adalah pertandingan tandang  Persib Bandung vs SIVB Surabaya yang dilakukan di Surabaya dalam rangka kejuaraan nasional PSSI tahun 1933.

***

Pertanyaan yang menggelitik adalah bagaimana kemudian History of Persib bisa mengumpulkan data yang yang sangat jarang diketahui itu. Ternyata Abah melakukan riset dengan meneliti koran-koran lokal maupun nasional yang terbit sejak tahun 1933 silam.

"Sengaja riset ke Perpustakaan Daerah Jawa Barat yang dulu mah di Bypass (Soekarno-Hatta, Red.), ke Pikiran Rakyat yang di Kopo, Balai Iklan. Ke Jakarta juga ke Perpustakaan Nasional," sebut Abah kepada Bobotoh.id di kediamannya di bilangan Gede Bage Bandung Timur, Ahad (13/1/2020).

Kegiatan mencari dan mengumpulkan data pertandingan Persib ini ternyata dilakukan sudah sejak tahun 1998 atau sekitar 21 tahun yang lalu. Tentu ini menjadi suatu upaya yang luar biasa yang dilakukan Abah.

Terlebih untuk riset yang dilakukannya ini sebagian besar dilakukan dengan dana dari kantong sendiri. "Dulu sebelum beralih bentuk menjadi akun Twitter dan Instagram, History of Persib adalah proyek yang dilakukan untuk website persibhistory.com," kisah Abah sambil sesekali menghirup rokok kreteknya. 

***

"Pada tahun 1998 saya dan beberapa teman-teman yang bergabung di Viking, mulai tertarik untuk mengumpulkan sejarah tentang Persib Bandung. Kami mulai dari kliping yang dimiliki  salah seorang dari kami. Rencananya dari kliping itu akan menjadi bahan website yang akan mereka bangun.

Namun karena suatu dan lain hal, kliping yang berharga itu malah hilang tak tentu rimbanya. Website yang hendak dibangun pun tidak pernah jadi karena developer website yang turut menghilang bersama kliping tersebut.

Tentu Bobotoh milenial perlu tahu bila tahun 1998 lalu koneksi intenet saat itu adalah berkisar 33-56 kbps (KILOBIT bukan MEGABIT)  yang setara dengan koneksi 1G. Belum ada internet broadband 4G,  koneksi masih terbatas di wilayah-wilayah kota-kota besar saja. Ponsel atau hape juga masih terbatas dan baru terbatas pada layanan suara dan sms saja, belum terkoneksi dengan internet.

Setelah kliping itu hilang, Abah tidak putus asa. Ia pun mengunjungi perpustakaan-perpustakaan hingga bagian arsip koran Pikiran Rakyat. Tantangannya tidak hanya selesai di situ.

Menurutnya di koran-koran jaman dulu belum ada pemberitaan atau rubrik khusus tentang Persib Bandung. "Kadang terselip di pemberitaan klub lain, hanya ada sekitar satu paragraf, tapi saya sudah luar biasa senangnya. Bagaikan menemukan harta karun," kenangnya.

Selain itu mengingat rubrikasi dan redaksional di koran masa lalu sangat terbatas, seringkali datanya tidak utuh atau hanya sekilas. "Tidak ada data nama pelatih, tidak ada nama-nama starter, paling ada misalnya siapa yang membobol gawang."

***

Lebih lanjut Abah menyebut bila hobi yang dilakukannya selama 20 tahun lebih ini bagaikan bermain puzzle. "Seperti mengumpulkan potongan-potongan puzzle. Begitu menemukan suatu data yang mungkin tidak terlalu penting bagi orang lain, tetapi bisa melengkapi kumpulan data lain yang sudah berhasil dikumpulkan, senangnya luar biasa. Bagaikan menemukan harta karun."

Sebagai periset data independen yang tidak berada di bawah naungan lembaga apapun, Abah menyebut sudah berhasil mengumpulkan sekitar 80% data pertandingan dari tahun 1933. Tentu saja ini menjadi upaya yang luar biasa yang dilakukan Abah karena melakukannya hanya demi sebuah hobi.

Silahkan pakai data yang sudah ada, lanjutkan pekerjaan saya, jangan sampai mulai dari nol lagi. Saling sharing saja, silahkan dipakai tanpa kompensasi biaya apapun. Kebayang kan saya mengumpulkan data selama 20 tahun, jangan sampai mengulang dari awal lagi.

Tentu hobi ini juga harus dibayar mahal, apalagi dilakukan dalam durasi berpuluhtahun. "Ekonomi sempat gonjang-ganjing karena ngagugulung Persib. Bebeakanlah dikomplen kantor, dikomplen keluarga. Walau mungkin saat itu nilainya kecil tetapi karena sering dan juga tidak ada pemasukan dari hobi ini ya sempat masalah juga, " tutur Abah yang mengakui mendapat warisan darah Bobotoh dari almarhum kakek dan ibunya.

Selain mengumpulkan data tentang Persib Bandung, Abah juga mengumpulkan data-data pertandingan tim lain yang berada di kompetisi yang sama sebagai ekosistemnya. Untuk Persib ia bahkan memiliki data pertandingan ujicoba atau laga-laga tidak resmi.

Sedangkan untuk metodologinya Abah mengakui tidak terlalu mementingkan bukti-bukti fisik kliping koran atau potongan berita atau informasi yang ia dapat. Walau demikian ia menyebut bisa mempertanggungjawabkan data yang dimilikinya.

***

Apalagi menurutnya, banyak data fisik yang berceceran kemudian hilang saat berpindah kantor maupun tempat tinggal. Apalagi saat website HistoryofPersib.com yang dibangun bersama 6 rekannya pada tahun 2013 kemudian kolaps.

"Banyak data di server yang belum terselamatkan, karena otomatis saat hosting tidak dibayar maka data di web pun dihapus. Domain HistoryofPersib.com pun tidak terselamatkan karena memang tidak kita perpanjang," sesalnya.

Untuk rencana selanjutnya History of Persib tetap akan memperluas konten yang dimilikinya dalam bentuk komik dalam waktu dekat ini. Hal ini juga sejalan untuk menutupi biaya riset dan operasional yang menurutnya harusnya bisa terpenuhi dan menunjang keberlangsungan risetnya itu.

"Dulu kan ada RAF (Rahmatullah Ading Affandie, sastrawan Sunda yang juga eks pengurus Komisi Teknik Persib Bandung 1955-1964) yang membuat novel berbahasa Sunda 'Bentang Lapang' (1961). 

"Nah komik ini akan menjadi cerita fiksi dengan berlatarbelakang sejarah Persib Bandung," sebut Abah.

Abah juga mempersilahkan Bobotoh generasi sekarang yang berminat untuk melanjutkan hasil kerjakerasnya selama ini .

"Silahkan pakai data yang sudah ada, lanjutkan pekerjaan saya, jangan sampai mulai dari nol lagi. Saling sharing saja, silahkan dipakai tanpa kompensasi biaya apapun. Kebayang kan saya mengumpulkan data selama 20 tahun, jangan sampai mengulang dari awal lagi." (Bobotoh.id/RCK. Foto: Ist/Twitter HistoryofPersib).

Ricky N. Sastramihardja

Tulisan ini semula dimuat di bobotoh.id, 13 Januari 2020

Ditayangulang untuk pangeling-eling Abah Anggalarang, admin historyofpersib yang wafat hari Senin, 24 Februari 2025 pukul 15:48 WIB di Bandung.

History of Persib: Dari Dulu Bobotoh Itu Tukang 'Ribut'!


Bobotoh Persib memiliki karakteristik yang khas. Salah satunya adalah 'ribut' atau gaduh, baik di dalam dan di luar lapangan pertandingan. '

Bobotoh juga tidak pernah malu mengakui kekurangan klubnya. Bahkan saat Persib terpaksa harus degradasi di tahun 1978, ada buku khusus yang membahas masalah tersebut.

Matak tong heran mun ayeuna nu jaman internet, bobotoh merajai sosmed. Mun aya nu ngomong "bacot di sosmed doang", jawab weh "sia kamana wae?" geus puguh karakter bobotoh mah kieu tibaheula, ribut! Pedah weh ayeuna mah jaman sosmed

Kisah ini diulas oleh akun @HistoryofPersib, Kamis, 20/12/2018. Akun yang sangat detail membahas sejarah Persib Bandung dari masa ke masa itu memulai thread-nya dengan mengatakan bila Persib tidak pernah kehilangan penonton, seburuk apapun kondisinya.

Ribut, da emang kitu nu ngarana pelajo bola mah. Ngan ribut na bobotoh mah cenderung ka kritis. Butut nya butut. Tuluy nyarita topik Persib mah teu saukur dijero tribun, obrolan2 di warkop, tukang cukur dll pasti rame wae mun nyarita Persib, walau teu pada2 wawuh.
History of Persib juga mengulas, salah satu ciri lain Bobotoh adalah sifat kritisnya yang terbangun dari masa ke masa. Tidak hanya di era setelah media sosial dikenal, juga dari puluhan tahun sebelumnya. Di mana komunikasi antar Bobotoh terjalin natural di warung kopi, tukang cukur, dan banyak tempat lainnya.

"Matak tong heran mun ayeuna nu jaman internet, bobotoh merajai sosmed. Mun aya nu ngomong "bacot di sosmed doang", jawab weh "sia kamana wae?" geus puguh karakter bobotoh mah kieu tibaheula, ribut! Pedah weh ayeuna mah jaman sosmed," ulas @HistoryofPersib.


Dalam thread sebanyak 14 tweet itu juga diuraikan bahwa menulis sejarah itu harus benar dan tidak menyembunyikan fakta sejarah. 

"Mun nulis sejarah, nya ditulis apa adanya.. jujur. Teu disumput2, walaupun nu ditulis aib klub sorangan. Tadina loba nu teu apal match fixing nu ngalibatkeun pemaen Persib di 60'an. Walau di jaman eta rame, tapi barudak ayeuna teu pada apal. Dibuka deui ku bobotoh jadi weh arapal," kisahnya. (Bobotoh.ID/RCK. Foto: AH)

Ricky N. Sastramihardja

📷 Adam S. Husein/Arsip

Tulisan ini semula dimuat di bobotoh.id, 20 Desember 2018.

Ditayangulang untuk pangeling-eling Abah Anggalarang, admin historyofpersib yang wafat hari Senin, 24 Februari 2025 pukul 15:48 WIB di Bandung.



Kamis, Februari 20, 2025

CERITA DARI PERTANDINGAN PERSIB DI PEKAN KE-23 LIGA 1 2024/2025


Pertandingan melawan Persija Jakarta selalu menyimpan banyak cerita. Pertandingan antara Persib Bandung menghadapi Persija Jakarta memang usai dalam 2x45 menit. Tetapi ceritanya akan bertahan setidaknya hingga pertandingan berikutnya.

Seperti halnya pertandingan putaran ke-2 Liga 1 2024-2025 yang digelar di Stadion Patriot Chandrabaga, Kota Bekasi, 16 Februari 2025 kemarin. Pertandingan tersebut berakhir dengan skor imbang 2-2 (2-0) untuk kedua kesebelasan. Tambahan poin satu angka dari laga tandang membuat Persib semakin nyaman berada di puncak klasemen sementara hingga pekan ke-23. 

Sedangkan Persija Jakarta tertahan di posisi ke-4 setelah di pertandingan lain, Persebaya Surabaya menang tipis 1-0 (0-0) dari PSBS Biak. Sedangkan Dewa United yang di lima pekan sebelumnya meraih kemenangan, tumbang oleh Madura United yang berada di zona degradasi dengan 3-1 (2-0).

Sisa 11 pertandingan membuat Persib Bandung harus semakin bekerja keras dan berfikir cerdas bila ingin mempertahankan gelar juara liga. Badai cedera dipastikan harus dikelola dengan baik oleh coach Bojan Hodak. Dipastikan ia dan staf harus memutar otak untuk memilah dan memilih pemain-pemainnya yang akan akan tampil di 11 pertandingan berikutnya.

***

Lalu apa cerita di balik pertandingan panas Persija vs Persib? Tidak lain adalah adanya tindak kekerasan yang dilakukan 'Begalmania' Jakmania terhadap Bobotoh yang dikabarkan tertangkap menyusup ke dalam stadion. Penyusupan yang dilakukan Bobotoh ini sebetulnya tidak mengherankan karena Stadion Patriot yang digunakan Persija untuk menjamu Persib adalah salah satu kantong Bobotoh Persib di luar Bandung.

Bekasi adalah salah satu kota di Bodetabek yang memiliki jumlah Bobotoh yang banyak.Sehingga bila dikatakan sebagai penyusup rasanya kurang tepat. Sebab Bekasi adalah kota mereka, Stadion Patriot adalah stadion mereka. Menyusup di rumah sendiri akibat regulasi larangan suporter mendukung klub di pertandingan tandang. Apalagi pertandingan dengan tingat rivalitas suporter yang panas, di luar nurul dan di luar prediksi BMKG.

Selain tindak kekerasan di dalam stadion, tindak kekerasan juga terjadi di luar stadion. Sebut saja Asep Abdul Rohman (28 tahun) yang dikeroyok oleh pendukung Persija. Padahal saat itu lelaki asal Sukabumi itu sedang mencari nafkah dengan berjualan tahu Sumedang di sekitaran stadion. Selain menderita luka-luka, Asep juga kehilangan harta bendanya yang dirampok oleh pelaku pengeroyokan.

Hal ini menunjukan sikap rasis yang dilakuan para suporter Persija karena menyangkutpautkan dagangan kuliner khas etnis Sunda dengan dukungan terhadap klub sepak bola. Sudah menjadi rahasia umum bila pendukung Persija umumnya rasis terhadap urang Sunda yang memang hampir 100 % menjadi pendukung Persib Bandung.

Di Stasion Jatinegara, Iwan seorang lelaki paruh baya dikeroyok sejumlah supporter Persija karena ia mengenakan jersey Persib di hari pertandingan itu. Dalam video yang tersebar di media sosial, Iwan berlari menghindari kejaran Begalmania namun tak uruang tertangkap dan dikeroyok. Untung saja petugas keamanan di Stasion Jatinegara sigap melindungi pria berkebutuhan khusus tuna rungu dan tuna wicara itu hingga nyawanya terselamatkan.

Sungguh suatu perilaku yang tidak bisa ditolerir melakukan tindak kekerasan pada kaum disabilitas.

Cerita lainnya: Stadion Patriot Chandrabaga mengalami kerusakan di beberapa tempat. Sebagian pagar pembatas tribun yang rubuh, beberapa kursi stadion yang hilang dan rusak, juga sebagian pagar stadion yang roboh akibat berusaha diterobos oleh Begalmania yang tidak memiliki tiket masuk.

***

Kembali ke pertandingan, keberhasilan Persib Bandung menahan imbang Persija Jakarta dengan skor 2-2 menjadi pertandingan dengan tingkat ketegangan tersendiri bagi para Bobotoh. Betapa tidak, tertinggal 2-0 di babak pertama membuat perasaan menjadi tidak karuan. Apalagi dua gol yang tercipta oleh pemain Persija sepertinya terlalu mudah akibat para pemain Persib yang sepertinya kurang konsentrasi alias malaweung.

Namun gol Nick Kuipers di babak ke-2 membuat asa kembali mekar. Ditambah kemudian, David da Silva berhasil menyeimbangkan kedudukan menjadi 2-2. Skor imbang ini bertahan hingga wasit meniup peluit tanda pertandingan berakhir. Hasil ini menyesakkan Persija dan pendukungnya karena jelas mereka gagal menang setelah sempat unggul. Sedangkan bagi Persib dan para bobotoh, tidak jadi kalah dan malah menambah 1 angka membuat perasaan 'bungah' luar biasa.

Hasil imbang inilah yang membuat kerusuahan terjadi di stadion setelah pertandingan berakhir. Selain menyalakan flare, petasan, dan melempar botol, para Begalmania melukai pemain Persib, Tyronne del Pino . Tyronne terkena lemparan botol di pelipisnya saat hendak menuju ke lorong usai pertandingan.

Dari banyaknya kasus yang terjadi di dalam dan di luar stadion,  sudah seyogyanya Komdis PSSI memberikan sanksi setimpal bagi Persija. Baik itu sanksi denda, maupun sanksi lainnya. Sedangkan peristiwa di luar stadion berupa kerusuhan, pengeroyokan, pemalakan, hingga pencurian harus mendapat sanksi pidana dari aparat penegak hukum.

Jangan biarkan para pelaku kejahatan itu melenggang tanpa tersentuh hukum, karena dampaknya akan berlipat ganda di masa depan. Tanpa adanya efek jera, akan sulit mengontrol perilaku suporter. Apalagi bila sudah mengarah ke tindak kriminal.

Pertanyaanya adalah, apakah  Komsis PSSI berani untuk menjatuhkan sanksi bagi Persija? Juga apakah bisa aparat kepolisian menangkap pelaku pengeroyokan  dan kejahatan atas nama sepak bola yang sebetulnya adalah tindak pidana?

YTTA. Biasanya sih Persija selalu bisa berkelit dari hal-hal seperti ini. Seolah dilindungi, seolah kebal hukum. Pelanggaran-pelanggaran seperti ini yang akhirnya menambah durasi cerita setelah pertandingan sepak bola.

Ditambah masifnya propaganda yang dilakukan di medsos dan media massa oleh para suporternya untuk mengalihkan isu tindak kriminal yang sudah mereka lakukan. Belum lagi pembenaran-pembenaran atas tindak rasisme dan kekerasan, yang memang sudah terbiasa mereka lakukan.

Ricky N. Sastramihardja.

📷Simamaung

Jumat, Februari 07, 2025

PEUYEUM YANG ISTIMEWA


Peuyeum adalah penganan yang istimewa. Hasil fermentasi singkong itu selain bisa dikonsumsi secara 'stand alone' juga bisa dikonsumsi sebagai olahan, atau bagian dari 'mix and match'.

Salah satu olahan yang menjadi favorit saya adalah kolek peuyeum singkong. Apalagi dikonsumsi saat berbuka puasa, duh enaknya tidak terkira. 

Sampai suatu ketika, pernah saya mengkonsumsi kolek peuyeum ini selama 3 hari berturut-turut untuk berbuka puasa dan saat sahur. Walhasil di hari ke -4 lambung dan pencernaan mengalami gangguan akibat terpapar peuyeum yang tingkat keasaman tinggi akibat fermentasi.

Peuyeum juga menjadi bagian dari 'mix and match' minuman segar seperti es doger, atau es krim, atau es teler. Rasanya yang asam manis membuat penganan yang kita makan menjadi lebih kaya rasa.

Salah satu penganan olahan dari peuyeum yang paling terkenal adalah Colenak. Colenak yang merupakan akronim dari 'dicocol enak' adalah peuyeum yang dibakar, kemudian dipotong-potong, lalu dicocolkan pada saus gula kelapa atau kinca.

Di dalam bahasa Sunda, peuyeum selain menjadi kata benda untuk hasil fermentasi pada singkong atau ketan, juga menjadi kata kerja. Memeram atau melakukan fermentasi pada buah-buahan yang belum masak, disebut sebagai 'meuyeum'.

Misalnya pada pisang, alpukat, atau buah lain yang dipetik saat masih hijau dan belum terlalu matang. Pisang biasanya dipeuyeum dengan cara dipendam di tanah dengan mencampukan sejumlah karbit. Alpukat biasanya dipeuyeum di tempayan tempat beras selama baberapa hari sampai matang dan empuk. 

Peuyeum juga menjadi alegori buat pekerjaan yang terlalu sering diotak-atik atau lambat dikerjakan yang akhirnya menjadi sia-sia. Misalnya pada kalimat "Febri mah sok loba meuyeum bal, jadi we karebut ku batur." Kalimat tersebut menunjukan bila seorang Febri dianggap terlalu sering menggocek bola sendirian, kurang memberi umpan pada rekannya pada saat bermain bola.

Lalu apakah peuyeum haram atau halal karena mengandung alkohol hasil fermentasi? Menurut ijma berbagai ulama, peuyeum tidak haram walau mengandung alohol. Karena peuyeum singkong tidaklah memabukan, tidak termasuk khamr. Tetapi sepertinya akan berbeda dengan peuyeum ketan yang bila diperam secara berlebihan bisa mengandung alkohol yang memabukkan.

Coba saja kita konsumsi peuyeum singkong sebanyak-banyaknya. Sepertinya tidak akan mabuk tetapi yang ada malah gangguan lambung. Begitu juga dengan peuyeum ketan yang diprodusi dalam waktu normalnya. Lain soal bila peuyeum ketan itu kita peram lebih lama dari biasanya hingga mengandung alkohol.

Ada panduan agar peuyeum yang dikonsumsi tidak menjadi haram karena mengandung alkohol. Seperti dikutip Republika dari Halalcorner, tape ketan yang harus diwaspadai, sementara tape singkong atau peuyeum usahakan cari yang digantung (minim alkohol). Hindari juga peuyeum yang berair karena pasti kadar alkoholnya tinggi.

Peuyeum termasuk makanan olahan bioteknologi sederhana. Fermentasi mengubah glukosa menjadi alkohol, mengubah tekstur singkong menjadi lunak dan manis.

Disebutkan oleh Ilham Choirul Anwar di Tirto.id 8 Maret 2023, bila makanan yang dihasilkan melalui proses fermentasi, umumnya mempunyai nilai gizi lebih tinggi dibanding bentuk asalnya ketika dikonsumsi.

Mikroba yang terlibat dalam fermentasi memecah berbagai komponen kompleks menjadi zat-zat lebih sederhana sehingga lebih gampang dicerna. Mikroba ini juga bisa melakukan sintesis beberapa vitamin kompleks seperti riboflavin, vitamin b12, dan provitamin A.

Itulah yang membuat peuyeum istimewa. Memiliki nilai gizi yang baik dibanding masih berupa singkong. Dalam bahasa, peuyeum bisa berupa kata benda, bisa juga menjadi kata kerja.

Ricky N. Sastramihardja

Bacaan Pengaya:

1. Tape Mengandung Alkohol, Apakah Haram Dikonsumsi Muslim? Rahma Sulistya/Qommaria Rostanti, Republika.co.id; Ahad 26 November 2023. Diakses 7 Februari 2025. https://ameera.republika.co.id/berita/s4pvex425/tape-mengandung-alkohol-apakah-halal-dikonsumsi-muslim

2. Reaksi Kimia pada Fermentasi Tape Singkong & Ketan Jadi Etanol. Ilham Choirul Anwar, Tirto.id; 8 Maret 2023. Diakses 7 Februari 2023. https://tirto.id/reaksi-kimia-pada-fermentasi-tape-singkong-ketan-jadi-etanol-gDiy

3. Tape, Halalkah dikonsumsi? Chairunnisa Nadha, halalmui.org; 1 Maret 2022. Diakses 7 Februari 2025.https://halalmui.org/tape-halalkah-dikonsumsi/ 


Rabu, Februari 05, 2025

MELACAK JEJAK NAMA-NAMA TEMPAT DI BANDOENG TEMPO DOELOE


Entah darimana dan kapan saya mendapati beberapa peta kuno Bandung Kota peninggalan jaman baheula. Satu bertanda tahun 1910 terbitan Topographische Inrichting, Batavia dengan judul "Bandoeng En Omstreken" (Bandung dan Sekitarnya) dengan skala 1:10.000. Satu lagi tak bertanda waktu mungkin terpotong saat pindai dan unggah, berjudul "Kaart van De Gemeente Bandoeng" dengan skala 1:10.000. 

Bila diperhatikan lebih teliti, peta ke-2 lebih muda bebeberapa tahun dibanding peta pertama. Indikasinya sudah ada pemetaan wilayah Kiara Condong dan pabrik gas. Sedangkan di peta pertama yang bertanda 1910 wilayah Kiara Condong belum terpetakan, masih berupa sawah. 

Peta tersebut berformat *.tiff, sudah berwarna, dan berukuran hampir 300 mb per lembarnya. Sayangnya teledor tidak menyimpan tautan atau situs web mana yang menyediakan peta ini. Seingat saya, informasinya semula dari akun Fanspage di Facebook yang mengunggah peta Jakarta jaman kolonial dulu. 


Menarik sekali bila memperhatikan peta pertama. Sudah berwarna, ukuran dan formatnya yang besar memudahkan untuk membaca teks-teks kecil di laptop. Apalagi bila laptopnya sudah menggunakan layar sentuh, membuat penjelajahan peta semakin menyenangkan seperti saat menggunkan tablet atau ponsel.

Masih ada wilayah yang bernama Doengoesmaoeng atau Dungus Maung di wilayah yang kita kenal sekarang berada di kawasan Ciateul, Moh. Toha, Pasirluyu, Kembar Buah Batu. Dungus adalah basa Sunda untuk semak belukar dengan tanaman merambat rimbun, setara dengan ruyuk, rungkun. Bisa diimajinasikan bila dulu kawasan ini menjadi tempat harimau atau maung bersenang-senang mencari mangsa.

Di peta juga disebut ada Hospitaal voor Inlandeer atau rumah sakit untuk warga pribumi. Posisinya di atas Tjilentah yang bila dikonversi sekarang mungkin di sekitar jalan Karapitan atau Buah Batu.

Kebon Kalapa pun tidak hanya di wilayah yang sekarang kita kenal sebagai Kebon Kalapa yang terminal angkutan umum dalam kota. Tetapi ada di beberapa tempat. Selain di kawasan antara Astana Anyar dan Jalan Otista dekat Tegallega, juga sekitar Babakan Ciamis sekarang. 

Uniknya di kawasan Otista -Astana Anyar ada kampung atau wilayah yang bernama Kandang Sapi. Sepertinya sudah tidak disebutkan demikian di jaman ini. Berbeda dengan nama Boedjoengsoeoerapan yang hingga sekarang masih ada di sekitar kawasan itu, walau hanya menjadi nama gang Bojong Surupan.


Kita mengenal SD Banjarsari di Jalan Merdeka, pertanyaannya adalah mengapa dinamakan SD Banjarsari? Sedangkan satu SD lain di jalan yang sama, dinamakan SD Merdeka? Ternyata, kawasan di mana SD Banjarsari berdiri, dulunya bernama Kampung Bandjarsari Wetan. Sedangkan di seberang rel yang sekarang ada hotel Panghegar dan sekitarnya, disebut kawasan Bandjarsari Kidoel.

Mengulik peta lama adalah kegiatan menyenangkan. Ada banyak pengetahuan dan sejarah yang bisa diteruskan pada kawan, keluarga, sahabat, dan anak-anak kita soal sejarah kota tinggal kita. 

Tentunya tinggal di Bandung sangat menyenangkan karena sebagai kota warisan kolonial yang dibangun penjajah, mereka meninggalkan banyak dokumen menarik walau tidak semuanya tersedia di internet dan bisa kita akses.

Ricky N. Sastramihardja

Jumat, Januari 31, 2025

MEMBUKTIKAN PERANG BUBAT TIDAK PERNAH ADA



Sore tadi selepas ashar, Jumat 31 Januari 2025,  saya berbincang hangat dengan salah seorang senior Lises Unpad. Beliau angkatan 1982, wartawan, orang Jawa, angkatan pendiri di mana di tahun itu NKK/BKK baru diberlakukan dan kegiatan mahasiswa tersentralisasi di pusat universitas. Kami baru bertemu sekali itu setelah Lises Unpad berdiri 43 tahun lamanya.

Perbincangan ngaler ngidul yang kemudian merambat ke bagaimana cara membumikan Sunda di Tatar Sunda. Saya bercerita bila dalam beberapa waktu belakangan ini, walau tidak rutin, mengasuh acara diskusi di platform X (dulu Twitter) dengan menggunakan fasilitas audio broadcast Space

"Temanya beragam, tetapi lebih ke kisah-kisah populer dalam khazanah masyarakat Sunda karena segmen pendengar dan peserta diskusinya juga sangat awam. Misalnya, membagi segmen sejarah masa silam menjadi sub topik yang ringan. Misalnya bagaimana orang Sunda berperang? Senjata apa yang digunakan dalam perang Bubat? Apakah orang Sunda berperang telanjang dada atau sudah menggunakan baju zirah atau body armor," terang saya.

Karena perbincangan santai itu dilakukan di ruang publik, di halaman perpustakaan Ajip Rosidi, menjadikan perbincangan itu seolah menjadi perbincangan publik. Hingga ada seseorang yang duduknya bersebelahan dengan senior saya, ikut berbincang.

"Sebentar Kang," selanya.

"Perang Bubat itu bohong, hanya buatan penjajah untuk membuat bangsa kita terpecah dengan mengadudombakan bangsa Jawa dengan bangsa Sunda," sergahnya lagi.

Saya tersenyum dan berusaha memberikan argumen bahwa Perang Bubat dimuat dalam naskah Kidung Sundayana, Kidung Sunda, dan Carita Parahiangan. Juga Pararaton. Untuk diketahui, perang Bubat terjadi pada tahun 1357 M antara pasukan Kerajaan Sunda yang dipimpin Prabu Linggabuana dengan pasukan Majapahit beserta koalisinya di Trowulan, Mojokerto Jawa Timur sekarang.

Tetapi beliau tetap saja menyampaikan pendapatnya bahwa Perang Bubat itu tidak dikisahkan dalam kurun waktu sejaman. "Bisa jadi ada tekanan politis penjajah pada saat itu pada para penulis lontar untuk mengisahkan peperangan bohong itu untuk memecah belah bangsa Jawa dan Sunda."

"Logika lainnya, bagaimana mungkin Pasukan Sultan Agung yang tidak kembali lagi ke Mataram, bisa diterima dan kemudian bermukim di Tatar Sunda?, sergahnya lagi. 

Memang kegagalan pasukan Mataram menyerbu Batavia di 1628 dan 1629 M membuat Sultan Agung murka. Ia menghukum mati pasukan dan panglima-panglimanya yang gagal menyelesaikan tugas. Alih-alih pulang ke Mataram, disinyalir beberapa pasukan Sultan Agung merembes di Tatar Sunda. Berdomisili dan menjadi masyarakat lokal seperti misalnya dalam kisah yang ditemukan di Babakan Jawa, Kabupaten Majalengka.

***

Salah satunya yang menjadi kisah sejarah adalah pemberontakan Dipati Ukur yang gagal memenuhi keinginan Sultan Agung Mataram.

Bagi Mataram, Dipati Ukur adalah pemberontak. Tetapi bagi urang Sunda, Dipati Ukur adalah pahlawan yang namanya wangi hingga sekarang. Walau ada pendapat yang menyebut Dipati Ukur bukan orang Sunda melainkan orang Jawa. Kepahlawanan Dipati Ukur bagi urang Sunda, melepaskan nasab kesukuan Dipati Ukur. Selama membela tatar Sunda, apapun etnisnya, akan dihargai oleh urang Sunda.

Sampai kemudian di bagian akhirnya, Si Penyergah, sebut saja begitu, mengakhiri statemen dan tuduhannya. "Bagaimana mungkin Perang Bubat terjadi bila kemudian mahkota Hayam Wuruk ditemukan di Majalaya?"

Statemen mahkota Hayam Wuruk ditemukan di Majalaya, membuat saya memilih mengalihkan diskusi dan membahas topik lain. Karena saya yakin informasi tersebut tidak valid, tidak ada bukti dan pengakuan para ahli, bahkan tidak pernah ada di media manapun. 

Sampai kemudian di saat saya menuliskan catatan ini, saya menemukan postingan dengan tema mahkota Majapahit ada di Majalaya di platform berbagi video, Youtube. Tidak ada gambar, tidak ada pendapat ahli, bahkan siapa penyampai informasi pun tidak jelas. Di dalam dunia akademis, fakta haruslah teruji, terbukti. Bukan klaim.

Begitu juga dengan tuduhan perang Bubat tidak pernah terjadi. Tuduhan terhadap penjajah Belanda yang memalsukan (atau mungkin Portugis) tidak pernah berhasil dielaborasi oleh penuduhnya. Bila menuduh pihak penjajah berkepentingan terhadap pemalsuan sejarah bangsa, tuduhan itu harus disertai bukti dan fakta yang kuat, yang terverifikasi, valid dan teruji secara akademis.

Bila tuduhan itu tanpa bukti dan tidak pernah teruji, ya hanya asumsi. Asumsi itu baru data mentah, bukan fakta. Bagaimana cara penjajah memalsukan sejarah? Apa buktinya penjajah menekan penulis lontar menulis sejarah palsu? 

Pun terjadinya Perang Bubat yang ditulis di naskah kuno di rentang 2-3 abad setelah kejadian masih lebih shahih dibanding dengan asumsi yang dibuat di abad ke-21. Selain rentang waktunya sangat jauh, juga tidak pernah sekalipun para penuduh itu menyertakan bukti.

Asisi Suhariyanto di Asisi Channel misalnya, menjelaskan keraguannya akan perang Bubat akibat naskah yang memuatnya berjarak 2 atau 3 abad setelah kejadian. 

"Terkait sumber-sumber yang menceritakan peristiwa Perang Bubat, Asisi mengatakan bahwa semua sumber itu bukanlah sumber primer melainkan sekunder. Karena peristiwa itu terjadi pada abad ke-13, sementara Kitab Pararaton diperkirakan ditulis pada abad ke-15, sedangkan Carita Parahyangan pada abad ke-16.

"Tapi sumber yang paling kuat adalah Pararaton, lalu Carita Parahyangan. Lainnya itu sudah sangat sekunder dan sangat pengembangan sekali,” kata Asisi dikutip Merdeka.com, 29 September 2024 dari kanal YouTube Asisi Channel. 

***

Sejarah tragedi tentu akan berwajah ganda bagi para pendukung dan penentangnya. Tetapi wajah ganda itu akan menjadi valid bagi ke dua belah pihak bila keduanya mempunyai fakta dan bukti yang bisa terverifikasi. Sumber primer memang lebih valid, tetapi sumber sekunder menjadi layak diperhatikan bila tak ada satupun sumber primer/sejaman.

Sumber tersier yang menjadi cerita lisan di masyarakat, sejauh mana memiliki banyak varian, perbedaan gubahan, hingga kontradiksi antara logika dengan realita pun masih memiliki nilai faktual yang bisa diterapkan walaupun biasanya berupa norma dan etika. 

Misalnya, konflik antara dua bersaudara dalam carita legenda Ciung Wanara, yang dipercaya menyimbolkan awal terjadinya bangsa Sunda dan Jawa.  Ciung Wanara merupakan sastra lisan yang lebih tua dari naskah-naskah tulis berbahasa Sunda mulai dari abad ke-14.

Tetapi soal Perang Bubat masih harus dianggap terjadi, sampai ada bukti dan fakta lain yang disampaikan para ahli. Bukan asumsi keraguan berdasar logika yang dipaksakan di masa kini dengan alasan demi persatuan dan kesatuan.

Para penolak Perang Bubat, baik bangsa Sunda maupun bangsa Jawa, harus menyajikan data, fakta yang komprehensif yang memperkuat tuduhan mereka. Tidak boleh anonim, harus jelas sebagai pertanggungjawaban pada publik.

Bukan dari kanal Youtube yang entah siapa pemiliknya dan darimana mereka mendapatkan sumber referensi sejarahnya. Mahkota Majapahit ada di Majalaya, kalimat yang membuat saya tersenyum simpul saat ini.

Ricky N. Sastramihardja

📷 Copilot AI

Bacaan pengaya:

1.Disebut Hanya Mitos Ciptaan Belanda, Ini Fakta di Balik Perang Bubat yang Memisahkan Jawa dengan Sunda. Shani Rasyid (reporter) dan Nisa Mutia Sari (editor), Merdeka.com 29 September 2024.  https://www.merdeka.com/jateng/disebut-hanya-mitos-ciptaan-belanda-ini-fakta-di-balik-perang-bubat-yang-memisahkan-jawa-dengan-sunda-205662-mvk.html

2. Perang Bubat: Latar Belakang, Lokasi, dan Dampaknya. Widya Lestari Ningsih, Nibras Nada Nailufar, Kompas.com, 5 Mei 2021 diakses 31 Januari 2025.   https://www.kompas.com/stori/read/2021/05/05/141749079/perang-bubat-latar-belakang-lokasi-dan-dampaknya.

3. Menggugat Sejarah Perang Bubat, Upaya Menghapus Luka Budaya. As'ad Syamsul Abidin, Aktual.com 14 Juni 2022, diakses 31 Januari 2025. https://aktual.com/menggugat-sejarah-perang-bubat-upaya-menghapus-luka-budaya/

4. CETBANG PAJAJARAN DI PERANG BUBAT. https://6ix2o9ine.blogspot.com/2025/01/cetbang-pajajaran-di-perang-bubat.html


Kamis, Januari 30, 2025

WAJAH INDONESIA DALAM SENYUM DAN PERILAKU BUDAYA


Perjalanan melanjutkan aktivitas bertualang bersama GeoUrban setelah melihat pohon kopi tua berusia ratusan tahun di Curug Cipanoli  nampaknya harus berhenti sementara. Siang itu hujan lebat melanda kawasan Cisalak Subang padahal baru sekitar 15 menit rombongan bermotor GeoUrban 30 mengunjungi curug tersebut pada Sabtu 27 Januari 2025.

Rombongan yang dipimpin el presidente PGW Indonesia, 'Al Habib' Deni Sugandi itu lalu menunggu hujan reda di warung yang juga merangkap pengelola curug. Ditemani menu khas Indonesia -mie instan, kopi, gorengan, dan pastinya kerupuk- perbincangan hangat pun terjadi. Andi Lala, salah seorang peserta yang juga adik kelas saya sewaktu di SMA, mengatakan bila mie instan sudah ia pesan sewaktu saya melaksanakan ibadah sholat dzuhur tadi.

Saya juga menyempatkan berbincang dengan Monsieur Christope Deyer, Direktur Institut Français Indonésie IFI Bandung yang untuk ke-2 kalinya menjadi peserta. 

"Saya sudah mengunjungi banyak negara di Asia, terutama Jepang dan Cina. Mereka semua baik, semua ramah. tetapi tidak sehangat seperti di Indonesia," kisahnya saat mengisahkan kesannya mengikuti GeoUrban untuk kedua kalinya. 

"Di sini terlihat santai, banyak senyum, dan juga bercanda," tambah pria bule yang sering disebut Kang Asep oleh para koleganya di IFI, juga oleh kami

"iya, wajar," timpal saya. 

"Hampir di seluruh Indonesia ya seperti ini, bahkan di luar Jawa, di komunitas masyarakat yang terlihat 'galak' dan 'kasar', suasananya selalu hangat seperti ini."

Saya menimpali perbincangan itu dengan selintas ingatan saat mengunjungi beberapa pulau di luar Jawa di masa lalu. Misalnya saat beberapa minggu di Pandan Tapanuli Tengah, Sumatera Utara di 2007 silam.

Ada pandangan stereotip di masyarakat Sunda bila orang Batak (demikian urang Sunda menyebut warga Sumatera Utara yang sebetuknya multi etnis) itu galak-galak yang tampak dari intonasi dan nada bicaranya. Tetapi dua minggu di Pandan, mengkoreksi pandangan itu.

Pengendara sepeda motor melintasi jalan padati yang dirintis pengusaha Belanda P.W. Hofland dan Bupati Rd. Rangga Martanegara pada tahun 1847. 

Mereka, orang-orang Batak itu, ramah-ramah, full senyum, dan bicaranya pun santai. Tidak ada intonasi yang berat, tegas, dan keras seperti yang terdengar dari orang Batak totok yang belum lama tinggal di Bandung.

"Itu kan teknik survival aja Bang, namanya juga orang merantau. Mereka lebih defensif," jelas Con sambil terkekeh saat berbincang soal pandangan saya terhadap kebisaan perantauan Batak di tanah Sunda. Con atau Robinson, adalah pengemudi yayasan yang memperkerjakan saya saat itu. Con  lahir besar di Pulau Nias, pulau di laut Selatan pantai Sibolga yang indah dan mempesona.

Perbincangan dengan Christope yang ngaler ngidul, terhenti saat hujan reda. Kami bergegas untuk melanjutkan perjalanan GeoUrban yang masih panjang. 

Sepanjang perjalanan, perbincangan  itu masih  terngiang. Soal keramahan orang Indonesia dalam kesan Christope yang sudah melanglang buana ke banyak tempat di benua Asia. Saya tiba-tiba teringat dengan perbincangan entah kapan bersama Mang Ayod alias Aom Prima, sahabat saya di ITJ Bandung.

Mata air Cipabeasan di kaki gunung Bukit Tunggul yang mengalir menjadi anak sungai di DAS Cipunegara

"Nya heueuh atuh Mang, urang Sunda mah teu kudu ngumbara. Teu kudu perang jeung batur parebut sumber daya. Nanaonan atuh, sagala geus aya, geus nyampak," ujar menak Sumedang jebolan ISIP Unpad itu.

Tiga perbincangan di tiga waktu berbeda, dengan orang berbeda, tempat berbeda, dan tema yang berbeda itu mengantarkan saya pada suatu perspektif yang lebih menjelaskan apa yang disampaikan Christope soal orang keramahan orang Indonesia yang tercipta karena dukungan geologi dan alamnya.

Sumber daya alam yang melimpah, sumber daya manusia yang banyak, cuaca dan iklim yang hangat, minimnya konflik membuat bangsa Indonesia berbeda dengan bangsa-bangsa lainnya di Asia. seringkali kita dianggap malas dan terbelakang oleh bangsa lain yang tampaknya lebih tangguh, lebih sering berperang, lebih sering konflik perebutan wilayah dan sumber daya alam.

Padahal kita sebetulnya tidak malas seperti yang diklaim Mochtar Lubis dalam pidato kebudayannya di TIM Jakarta tahun 1977.  Kita dikaruniai banyak kemudahan oleh Alloh SWT melalui alam ciptaan-Nya di alam tropis ini yang membutuhkan sedikit usaha saja untuk menggunakannya.

Berbagai jenis varietas tanaman tumbuh subur di tanah Indonesia berbagai fauna hidup dan berkembang biak di Indonesia.Suatu hal yang harus kita syukuri, walau gejolak politik selalu ada, bangsa Indonesia terbilang minim konflik.

Bentuk syukur atas karunia Alloh SWT itu tercermin dalam wajah dan perilaku orang Indonesia seperti yang digambarkan Christope dalam perbincangan di warung Curug Cipanoli. Keramahan dan kebaikan orang Indonesia, senyum yang selalu menghiasi wajah adalah karunia itu tersendiri.

Kita mungkin tidak superior bukan karena kita tidak mampu, tetapi karena kita mensyukuri semua nikmat yang diberkahi di bumi ini. Di bumi yang diberkahi ini kita diajarkan untuk tidak agresif dan rakus karena semua tersedia, semua terpenuhi.

📷 Panorama Subang dari ketinggian 1260 M DPL Bukanagara

Ricky N. Sastramihardja