Sore tadi selepas ashar, Jumat 31 Januari 2025, saya berbincang hangat dengan salah seorang senior Lises Unpad. Beliau angkatan 1982, wartawan, orang Jawa, angkatan pendiri di mana di tahun itu NKK/BKK baru diberlakukan dan kegiatan mahasiswa tersentralisasi di pusat universitas. Kami baru bertemu sekali itu setelah Lises Unpad berdiri 43 tahun lamanya.
Perbincangan ngaler ngidul yang kemudian merambat ke bagaimana cara membumikan Sunda di Tatar Sunda. Saya bercerita bila dalam beberapa waktu belakangan ini, walau tidak rutin, mengasuh acara diskusi di platform X (dulu Twitter) dengan menggunakan fasilitas audio broadcast Space.
"Temanya beragam, tetapi lebih ke kisah-kisah populer dalam khazanah masyarakat Sunda karena segmen pendengar dan peserta diskusinya juga sangat awam. Misalnya, membagi segmen sejarah masa silam menjadi sub topik yang ringan. Misalnya bagaimana orang Sunda berperang? Senjata apa yang digunakan dalam perang Bubat? Apakah orang Sunda berperang telanjang dada atau sudah menggunakan baju zirah atau body armor," terang saya.
Karena perbincangan santai itu dilakukan di ruang publik, di halaman perpustakaan Ajip Rosidi, menjadikan perbincangan itu seolah menjadi perbincangan publik. Hingga ada seseorang yang duduknya bersebelahan dengan senior saya, ikut berbincang.
"Sebentar Kang," selanya.
"Perang Bubat itu bohong, hanya buatan penjajah untuk membuat bangsa kita terpecah dengan mengadudombakan bangsa Jawa dengan bangsa Sunda," sergahnya lagi.
Saya tersenyum dan berusaha memberikan argumen bahwa Perang Bubat dimuat dalam naskah Kidung Sundayana, Kidung Sunda, dan Carita Parahiangan. Juga Pararaton. Untuk diketahui, perang Bubat terjadi pada tahun 1357 M antara pasukan Kerajaan Sunda yang dipimpin Prabu Linggabuana dengan pasukan Majapahit beserta koalisinya di Trowulan, Mojokerto Jawa Timur sekarang.
Tetapi beliau tetap saja menyampaikan pendapatnya bahwa Perang Bubat itu tidak dikisahkan dalam kurun waktu sejaman. "Bisa jadi ada tekanan politis penjajah pada saat itu pada para penulis lontar untuk mengisahkan peperangan bohong itu untuk memecah belah bangsa Jawa dan Sunda."
"Logika lainnya, bagaimana mungkin Pasukan Sultan Agung yang tidak kembali lagi ke Mataram, bisa diterima dan kemudian bermukim di Tatar Sunda?, sergahnya lagi.
Memang kegagalan pasukan Mataram menyerbu Batavia di 1628 dan 1629 M membuat Sultan Agung murka. Ia menghukum mati pasukan dan panglima-panglimanya yang gagal menyelesaikan tugas. Alih-alih pulang ke Mataram, disinyalir beberapa pasukan Sultan Agung merembes di Tatar Sunda. Berdomisili dan menjadi masyarakat lokal seperti misalnya dalam kisah yang ditemukan di Babakan Jawa, Kabupaten Majalengka.
***
Salah satunya yang menjadi kisah sejarah adalah pemberontakan Dipati Ukur yang gagal memenuhi keinginan Sultan Agung Mataram.
Bagi Mataram, Dipati Ukur adalah pemberontak. Tetapi bagi urang Sunda, Dipati Ukur adalah pahlawan yang namanya wangi hingga sekarang. Walau ada pendapat yang menyebut Dipati Ukur bukan orang Sunda melainkan orang Jawa. Kepahlawanan Dipati Ukur bagi urang Sunda, melepaskan nasab kesukuan Dipati Ukur. Selama membela tatar Sunda, apapun etnisnya, akan dihargai oleh urang Sunda.
Sampai kemudian di bagian akhirnya, Si Penyergah, sebut saja begitu, mengakhiri statemen dan tuduhannya. "Bagaimana mungkin Perang Bubat terjadi bila kemudian mahkota Hayam Wuruk ditemukan di Majalaya?"
Statemen mahkota Hayam Wuruk ditemukan di Majalaya, membuat saya memilih mengalihkan diskusi dan membahas topik lain. Karena saya yakin informasi tersebut tidak valid, tidak ada bukti dan pengakuan para ahli, bahkan tidak pernah ada di media manapun.
Sampai kemudian di saat saya menuliskan catatan ini, saya menemukan postingan dengan tema mahkota Majapahit ada di Majalaya di platform berbagi video, Youtube. Tidak ada gambar, tidak ada pendapat ahli, bahkan siapa penyampai informasi pun tidak jelas. Di dalam dunia akademis, fakta haruslah teruji, terbukti. Bukan klaim.
Begitu juga dengan tuduhan perang Bubat tidak pernah terjadi. Tuduhan terhadap penjajah Belanda yang memalsukan (atau mungkin Portugis) tidak pernah berhasil dielaborasi oleh penuduhnya. Bila menuduh pihak penjajah berkepentingan terhadap pemalsuan sejarah bangsa, tuduhan itu harus disertai bukti dan fakta yang kuat, yang terverifikasi, valid dan teruji secara akademis.
Bila tuduhan itu tanpa bukti dan tidak pernah teruji, ya hanya asumsi. Asumsi itu baru data mentah, bukan fakta. Bagaimana cara penjajah memalsukan sejarah? Apa buktinya penjajah menekan penulis lontar menulis sejarah palsu?
Pun terjadinya Perang Bubat yang ditulis di naskah kuno di rentang 2-3 abad setelah kejadian masih lebih shahih dibanding dengan asumsi yang dibuat di abad ke-21. Selain rentang waktunya sangat jauh, juga tidak pernah sekalipun para penuduh itu menyertakan bukti.
Asisi Suhariyanto di Asisi Channel misalnya, menjelaskan keraguannya akan perang Bubat akibat naskah yang memuatnya berjarak 2 atau 3 abad setelah kejadian.
"Terkait sumber-sumber yang menceritakan peristiwa Perang Bubat, Asisi mengatakan bahwa semua sumber itu bukanlah sumber primer melainkan sekunder. Karena peristiwa itu terjadi pada abad ke-13, sementara Kitab Pararaton diperkirakan ditulis pada abad ke-15, sedangkan Carita Parahyangan pada abad ke-16.
"Tapi sumber yang paling kuat adalah Pararaton, lalu Carita Parahyangan. Lainnya itu sudah sangat sekunder dan sangat pengembangan sekali,” kata Asisi dikutip Merdeka.com, 29 September 2024 dari kanal YouTube Asisi Channel.
***
Sejarah tragedi tentu akan berwajah ganda bagi para pendukung dan penentangnya. Tetapi wajah ganda itu akan menjadi valid bagi ke dua belah pihak bila keduanya mempunyai fakta dan bukti yang bisa terverifikasi. Sumber primer memang lebih valid, tetapi sumber sekunder menjadi layak diperhatikan bila tak ada satupun sumber primer/sejaman.
Sumber tersier yang menjadi cerita lisan di masyarakat, sejauh mana memiliki banyak varian, perbedaan gubahan, hingga kontradiksi antara logika dengan realita pun masih memiliki nilai faktual yang bisa diterapkan walaupun biasanya berupa norma dan etika.
Misalnya, konflik antara dua bersaudara dalam carita legenda Ciung Wanara, yang dipercaya menyimbolkan awal terjadinya bangsa Sunda dan Jawa. Ciung Wanara merupakan sastra lisan yang lebih tua dari naskah-naskah tulis berbahasa Sunda mulai dari abad ke-14.
Tetapi soal Perang Bubat masih harus dianggap terjadi, sampai ada bukti dan fakta lain yang disampaikan para ahli. Bukan asumsi keraguan berdasar logika yang dipaksakan di masa kini dengan alasan demi persatuan dan kesatuan.
Para penolak Perang Bubat, baik bangsa Sunda maupun bangsa Jawa, harus menyajikan data, fakta yang komprehensif yang memperkuat tuduhan mereka. Tidak boleh anonim, harus jelas sebagai pertanggungjawaban pada publik.
Bukan dari kanal Youtube yang entah siapa pemiliknya dan darimana mereka mendapatkan sumber referensi sejarahnya. Mahkota Majapahit ada di Majalaya, kalimat yang membuat saya tersenyum simpul saat ini.
Ricky N. Sastramihardja
📷 Copilot AI
Bacaan pengaya:
1.Disebut Hanya Mitos Ciptaan Belanda, Ini Fakta di Balik Perang Bubat yang Memisahkan Jawa dengan Sunda. Shani Rasyid (reporter) dan Nisa Mutia Sari (editor), Merdeka.com 29 September 2024. https://www.merdeka.com/jateng/disebut-hanya-mitos-ciptaan-belanda-ini-fakta-di-balik-perang-bubat-yang-memisahkan-jawa-dengan-sunda-205662-mvk.html
2. Perang Bubat: Latar Belakang, Lokasi, dan Dampaknya. Widya Lestari Ningsih, Nibras Nada Nailufar, Kompas.com, 5 Mei 2021 diakses 31 Januari 2025. https://www.kompas.com/stori/read/2021/05/05/141749079/perang-bubat-latar-belakang-lokasi-dan-dampaknya.
3. Menggugat Sejarah Perang Bubat, Upaya Menghapus Luka Budaya. As'ad Syamsul Abidin, Aktual.com 14 Juni 2022, diakses 31 Januari 2025. https://aktual.com/menggugat-sejarah-perang-bubat-upaya-menghapus-luka-budaya/
4. CETBANG PAJAJARAN DI PERANG BUBAT. https://6ix2o9ine.blogspot.com/2025/01/cetbang-pajajaran-di-perang-bubat.html