Showing posts with label Arifin C. Noor. Show all posts
Showing posts with label Arifin C. Noor. Show all posts

12.07.2009

Saat Kematian Menjadi Pilihan - Foto





Saat Kematian Menjadi Pilihan

Catatan Pribadi dari Pementasan “Umang-Umang atawa Orkes Madun 2” Oleh Teater Lakon UPI

Dari pementasan naskah “Umang-umang atawa Orkes Madun 2” (selanjutnya: UUM) yang dipentaskan oleh Teater Lakon UPI pada Sabtu 5 Desember 2009 kemarin, saya akan mengawali catatan ini dengan kritis: Music score-nya OK, tetapi theme song-nya tidak begitu suka. Bukan karena jelek, tetapi karena masih kurang madun, kurang greget. Saya pikir memang harus lebih banyak mengekplorasi musik melayu, bukan dangdut. Mungkin karena kata ‘madun’ yang artinya joget, mengingatkan saya akan meriahnya musik Melayu seperti yang diceritakan seorang kawan yang lahir dan besar dalam kebudayaan Melayu di Sumatera.

Itu memang penilaian subjektif. Tetapi dari keseluruhan saya pikir Dedi Warsana cukup berhasil membawa Teater Lakon UPI ke tataran kelompok teater mahasiswa yang lebih jauh. Saya tahu persis bagaimana sulitnya membangun teater yang penuh gairah di tengah gencarnya godaan menjadi artis sinetron yang bening atau aktor film yang kinclong dengan ribuan fans yang rela melakukan apa saja untuk dekat dengan sang idola. Bahkan dewasa ini, rasanya bukan teater mahasiswa saja yang kepayahan. Kelompok-kelompok teater besar pun sepertinya mengalami fenomena yang sama. Mungkin, Facebook dan sinetron lebih menarik daripada mengeksplorasi seni peran dan berakting di atas pentas. Karena hidup bersama dan di dalam kelompok teater memerlukan aktivitas fisik, jiwa, juga militansi ekstra. Tidak sekedar sebagai penyalur ekspresi dan ideologi berkesenian.

Cukup berhasil karena UUM ini adalah adalah naskah teater yang bisa dibilang klasik dan fenomenal. Ditulis oleh alm. Arifin C. Noer, UUM merupakan sebuah naskah yang memerlukan banyak pemeran. Dari segi jumlah pemeran, UUM adalah naskah kolosal. Tentu saja bukan hal yang mudah menyatukan banyak pemain dalam teater, apalagi teater mahasiswa non-seni seperti halnya UPI. Hal ini juga dirasakan oleh Teater Tetas dalam pementasan naskah yang sama di Jakarta beberapa waktu lalu. Karena seperti saya bilang, teater bukanlah tempat yang gemerlap dan berbintang-bintang seperti sinetron. Tidak ada kelimpahan materi atau sanjungan di dunia ini, bahkan sebaliknya. Sehabis bermain para akor dan aktris teater harus pula membereskan panggung dan set-nya. Membongkar panggung, membongkar dan merapikan instalasi lampu, sampai menerima semprotan dari orangtua para aktris karena anak gadisnya bari tiba di rumah menjelang subuh dalam kedaan lusuh. Itulah mengapa saya katakan juga teater memerlukan aktivitas jiwa, fisik, dan militansi ekstra.


Saya sangat suka berbagai aspek dalam pentas ini. Sungguh. Make-up karakter yang rapi dan sangat membangun karakteristik, tata lampu yang apik, artistik panggung yang imajinatif, koreografi dan bloking yang asyik, serta kualitas akting para aktor dan aktris yang terlibat. Kotak-kotak kayu diubah dan dimanipulasi sedemikian rupa sehingga penonton percaya bahwa kotak-kotak kayu itu bisa menjelma menjadi pulau, gedung, tempat tidur, bahkan bukit yang tinggi. Kostumnya pun menarik. Terlebih kostum Waska yang menurut saya futuristik, kostum Ranggong yang bergaya rocker, atau kostum Bigayah yang sangat lonte.

Padahal, menurut sang Sutradara dalam perbincangan usai pementasan, hampir setengahnya adalah pemain baru. Selain itu seorang pemain kunci tiba-tiba menghilang sebelum gladiresik berlangsung. Walhasil Dedi Warsana terpaksa bekerja keras meringkas beberapa bagian naskah dan terpaksa turut bermain menjadi tokoh Jonathan sang Seniman, menggantikan pemainnya yang menghilang hingga pertunjukan berakhir. Saya bisa membayangkan bagaimana seorang Dedi Warsana, yang selain harus menjadi sutradara juga harus bertindak sebagai pelatih moral dan disiplin yang ketat. Pengalamannya sebagai aktor teater kawakan mampu membuat para aktor dan aktris pemula dalam UUM ini tetap militan hingga saat terakhir. Tentu saja terkecuali aktor yang menghilang itu, yang tidak kuat menahan tekanan mental bahkan jauh sebelum pertunjukan mulai.

Walau demikian, masih ada pertanyaan lain, terutama dari segi make up karakter yang menurut saya masih ‘begitu-begitu juga’. Seolah menjadi suatu stereotip bahwa make-up karakter haruslah selalu seperti itu. Harus coreng-moreng di sana-ini sehingga membuat penampilan para pemeran sangat jauh dengan para aktor-aktris di sinetron atau reality show, yang walaupun jahat, miskin dan marjinal tetapi tetap terlihat ganteng dan cantik. Pada tokoh-tokoh kunci, make up tersebut memang berhasil membangun karakter, tapi pada beberapa peran kecil yang terjadi justru sebaliknya.

Dari segi cerita, UUM adalah naskah yang sangat kontekstual dengan perkembangan dunia nyata dewasa ini. UUM menceritakan fanatisme sekelompok kaum marjinal yang berprofesi sebagi perampok, copet, pelacur, serta sekumpulan masyarakat yang tidak akan pernah masuk dalam sensus negara baik-baik ini; seolah-olah berhadapan dengan kondisi di dunia nyata. Kondisi di mana sistem kleptokrasi (maling menjadi penguasa dan penguasa menjadi maling) menjadi panglima, di mana pencurian dan korupsi adalah sabda yang tak terbantahkan dan diamini banyak orang. Bagaimana sang Pemimpin kelompok marjinal-proletar itu, Waska, begitu berambisi untuk merampok dan merampas semua harta benda orang-orang kaya. Waska menekankan merampok bukan sebagai aktivitas kejahatan demi perut, tetapi sebuah perjuangan ideologis. Waska, sembuh dari sakit kerasnya setelah mengkonsumsi jamu dadar bayi yang disediakan abdinya yang setia, Ranggong dan Borok, kemudian hidup beratus tahun lamanya. Waska pun hidup dalam gelombang demi gelombang kejahatan yang ia ciptakan sendiri.

Namun bukanlah manusia bila tidak merasa bosan. Waska, Ranggong, dan Borok, merasa rindu akan masa lalu. Karena setelah semua teman-teman dan anggota kelompoknya mati, Waska yang hidup abadi setelah mengkonsumsi jamu dadar bayi, merasa sunyi. Waska merasakan bahwa kematian adalah pilihan, bukan takdir maka kemudian ia memilih dan meminta untuk mati. Waska, Ranggong, dan Borok pun akhirnya mati setelah mereka merasa lelah dan putus asa karena tak mati-mati.

Pemeran Waska pun saya pikir cukup baik untuk aktor seusianya. Sebagai karakter sentral, tokoh Waska ini sebetulnya diperankan bersamaan dengan tokoh Semar. Dengan kata lain, sang aktor harus memerankan dua karakter , Waska dan Semar, secara bergantian (double casting). Pemeranan yang berhasil lainnya saya pikir adalah pemeranan tokoh Borok. Borok adalah satir yang secara visual sangat mendukung. Tampang sangar dengan kumis baplang stereotip ala centeng tetapi dialognya cenderung kocak dan ‘nonjok’. Kerapkali tokoh ini mengucapkan kata “modar” di saat yang tepat. Atau aksen Sunda yang tiba-tiba lolos dalam beberapa dialog membuat pentas menjadi lebih hidup dan segar.

Pemeranan tokoh Borok ini juga mampu menutup kelemahan tokoh waska dan Ranggong yang dalam beberapa adegan awal tampak kedodoran karena tempo pementasan yang relatif cepat. Bahkan bisa dibilang sebetulnya tokoh Borok ini adalah tokoh penentu keberhasilan pementasan keseluruhan.

Dedi Warsana, sutradara bermain pun, bisa membuat pertunjukan ini tetap berada di relnya. Tidak lantas terjebak pada gaya pementasan longser atau lenong, walau para pemain kerapkali mengajak interaksi dengan penonton dalam monolognya. Para musisi pun saya dengar merespon para aktor-aktris di panggung dengan celetukan-celetukan yang membuat pertunjukan menjadi meriah. Satu hal yang mungkin cukup menarik adalah Dedi Warsana bisa membuat UUM ini seolah-olah menjadi sangat Sunda. Para aktor dan aktrisnya tampaknya diberi kebebasan untuk melontarkan beberapa joke atau banyolan dan dialog yang khas, yang nyunda banget.

Agak sulit memang untuk menulis opini ini secara objektif karena saya belum pernah membaca naskah atau sinopsis UUM sebelumnya. Pun saat pementasan, saya luput tidak mendapatkan brosur atau apapun itu, yang di dalamnya berisi sinopsis , nama-nama aktor dan aktris, pengantar, atau catatan lain mengenai pementasan ini. Selain itu, secara pribadi sudah lama sekali tidak berkecimpung di kelompok teater. Baik sebagai pemain, penata lampu, atau sekedar menonton. Sepanjang pementasan UUM saya harus membagi fokus antara memotret, mencerna pementasan, juga melamunkan masa lalu. Di sela-sela pementasan tiba-tiba saja merasa rindu pada Teater Bedeng Hunian BH, Tepass Pamass, Lises, juga GSSTF dengan Parade Mei-nya. Di mana hampir 3/4 masa studi di Sastra Unpad saya habiskan untuk hidup dan membina diri di dalam kegiatan kesenian yang diadakan kelompok-kelompok itu.

Kekurangan lain dari pementasan ini adalah saat saya menyadari bahwa kamera saya tak cukup gegas untuk mengambil gambar-gambar cepat di atas panggung yang kerap kurang cahaya. Menaikkan ISO ke 1600 hanya membuat gambar yang dihasilkan tidak memuaskan karena noisenya sangat mengganggu. Memikirkan kamera baru membuat saya tiba-tiba berada di dalam pusaran kelompok rampok yang dipimpin Waska. Saya tiba-tiba merindukan kehadiran tokoh Waska untuk bisa memimpin sebuah gerakan anti moralitas yang jujur. Ingin rasanya menggedor toko untuk mendapatkan kamera yang lebih canggih dan lebih baik, serta lebih mahal. Mungkin saya harus memakan jamu dadar bayi seperti Waska agar bisa bersabar menunggu saat itu tiba. Mungkin...

also available on: http://www.facebook.com/note.php?created&&suggest¬e_id=196920617756#/notes/ricky-n-sastramihardja/saat-kematian-menjadi-pilihan/196920617756

foto: http://www.facebook.com/album.php?aid=127946&id=715618858&saved#/album.php?aid=127946&id=715618858&ref=nf