Showing posts with label Ricky N. Sastramihardja. Show all posts
Showing posts with label Ricky N. Sastramihardja. Show all posts

9.08.2023

Ary Juliyant: Lagu dan Pertunjukan Yang Tak Pernah Sama, Walau Serupa


Suatu waktu di pertemuan pertama dengan Ary Juliyant di pentasnya setahun silam di Gedung Putih Taman Pramuka (25 September 2022). Tour gerilya-nya yang ke-12 dengan tajuk "Bunyi, Rupa, dan Semesta" ini membawa penyanyi yang bermukim di Mataram Lombok NTB itu kembali ke Bandung diantaranya untuk adalah membawakan dua lagu yang paling populer: "Giri Sancang Sendiri" dan "Overhang" dari album Gairsh Boys yang rilis secara indie di tahun 90an.

Sedikit asing rasanya, pada saat itu, mendengar lagu yang pertama kali saya dengar sering di-cover Abah Donny sambil gitaran di Kampus Sastra 30 tahun lalu silam atau saat berkemah di Oray Tapa. Sedikit lain. 

Begitu saya mencoba mencari lagu tersebut di Youtube, juga Spotify, tambah merasa aneh: dua lagu tersebut tidak pernah dibawakan dengan cara yang sama.

Pengalaman ini berlanjut pula dari beberapa pertunjukan ke pertunjukan Ary Juliyant di Bandung yang berhasil saya dokumentasikan hingga tadi malam, Kamis 7 September 2023. 

***

Dari beberapa lagu lawas yang pernah saya dengarkan:  "Giri Sancang Sendiri, Overhang, Pernah Ada Sang Braga Stone", hingga anthem "Blues Kumaha Aing" yang ikonik dan menjadi semacam lagu wajib yang mengajak audiens untuk sing a long, tidak pernah sama dari pertunjukan ke pertunjukan, dari tur ke tur, dari panggung ke panggung. 

Juga beberapa lagu baru yang diujidengar pada penggemar di Layar.an Cafe dan IjiSociopetal Space: "Kerontang Malang Melintang" dan "Puncak Tak Bergeming". Dari dua pertunjukan yang digelar malam dan hari berbeda, dua lagu tersebut dibawakan dengan cara yang tidak sama, berbeda.

Suatu waktu pernah saya berbincang dengan Ary di sore hari sambil menikmati gorengan. "Kang mengapa setiap pertunjukan selalu berbeda? Bahkan saya merasa 'aneh' dengan lagu Giri Sancang Sendiri dan Overhang, karena berbeda dengan yang saya dengar melalui versi Abah Donny?"

Ary Juliyant tidak menjawab dengan tegas, namun ia menyebut bila setiap lagu memiliki cara untuk disampaikan ke pendengar. Diimprovisasi dan disesuaikan dengan apa yang ada dalam pikiran dan perasaannya saat itu.

"Giri Sancang Sendiri dan Overhang versi Abah Donny ya itu hasil interpretasi Abah. Saya juga memberikan interpretasi ulang terhadap (lagu-lagu saya) di setiap pertunjukkan." Demikian kurang lebih penjelasan Ary dalam perbincangan santai sore itu di sela hujan bulan November 2022 silam.

Dengan demikian memang menjadi menarik bila mengapresiasi karya Ary Juliyant adalah bukan hanya mendengar versi rekaman -live record atau studio- yang beredar via kaset atau vesi digital (Youtube, Spotify, atau platform lain). Tetapi juga dengan menyaksikan pertunjukkannya secara langsung. 

***

Ary yang seringkali tampil solo perform, memainkan berbgai alat musik yang dibawanya. Gitar, banjo, harmonika, tamborin, bahkan irish flute. Kolaborasinya dengan musisi lain, Abah Donny, Ammy Kurniawan, atau bahkan dengan rekan-rekannya di Gairsh Boys (Trihadi dan Jim Moniung) seringkali berlangsung spontan. 

Para musisi yang menjadi rekan bermainnya di panggung seringkali tidak tahu akan membawakan lagu apa. Bahkan beberapa diantaranya yang baru mereka dengar saat di panggung. Improvisasi, kata itu memang layak disematkan di setiap pertunjukkan Ary Juliyant, menjadi ciri khas yang penuh elemen kejutan, tidak hanya bagi musisi yang menemaninya bermain, juga para pendengarnya.

Apalagi salah satu kelebihan lain dari sisi musikalitas adalah seringnya Ary menggunakan teknik 'scatting' seperti yang sering dilakukan George Benson atau Mus Mujiono. Dalam definisi Wikipedia, scatting yang berasal dari musik Jazz adalah improvisasi vokal dengan 'vocable' tanpa kata, suku kata omong kosong atau tanpa kata-kata sama sekali. 

Dalam scatting singing, penyanyi berimprovisasi  menjadi melodi dan ritme menggunakan suara sebagai instrumen musik. Berbeda dari vokal, yang menggunakan lirik yang dapat dikenali yang dinyanyikan untuk solo instrumental yang sudah ada sebelumnya.

Seingat saya tidak banyak musisi Indonesia yang menggunakan teknik scatting singing ini, apalagi dalam live perform mereka. Hanya dua yang bisa saya sebut: Mus Mujiono dan Ary Juliyant. Mungkin masih ada yang lainnya yang saya tidak tahu. 



Seorang Ferry Curtis yang juga musisi, yang tadi malam berkesempatan hadir di pertunjukan Ary Juliyant yang masih bersinggungan dengan tur terbaru Troubadour's Trail 2023, menulis di akun instagramnya:

"Pertunjukan semalam keren, gradasi pertunjukannya terasa sekali.Masing-masing penampil menyajikan karya yang berbeda, mereka mewakili karya sesuai dengan jaman, cara pandang, lingkungan perkawanan di mana mereka hidup dan dilahirkan. Cara bagaimana mereka mengungkapkan isi dan gagasan, pemanggungan, dan gaya penyampaian pun semuanya menjadi khas dari masing-masing penyaji".

Ferry menuntaskan dengan pujiannya pada Ary sebagai sesi pertunjukan yang tanpa sekat. "Suasana tambah malam terus tambah hidup, guyub, atraktif, komunikatif, akrab disertai guyonan antara penyaji dan penonton tanpa sekat."

Ciri khas, ya cara Ary berimprovisasi dengan karya-karyanya, cara berkolaborasi dengan rekan-rekan musisi, juga dengan audiensnya adalah hal yang unik disamping karya-karyanya itu sendiri. Makanya menjadi penting untuk menyaksikan pertunjukan Ary Juliyant secara langsung/live adalah karena setiap pertunjukan, tidak pernah sama. Selalu unik, bahkan selalu ada hal yang baru di karya-karya lamanya.

Hal ini tentu sulit dilakukan pada pertunjukan musik populer yang diinisiasi industri rekaman dan industri pertunjukkan yang komersial. Di mana ada standarisasi bermusik, partitur, repertoar, jadwal dan playlist yang harus disajikan. Yang setiap lagunya harus dibawakan mendekati versi rekaman dan minim improvisasi. 

Pertunjukan Ary Juliyant yang hangat dan tentu saja selalu menarik untuk ditunggu dari pertunjukan ke pertunjukkan karena selalu ada element of suprise-nya.

Ricky N. Sastramihardja

09092023

9.11.2014

Sarang Burung Puyuh di Gn. Geulis

Sambil ngarengkol di dalam tenda menahan dingin kemarau yang menembus hingga sleeping bag, Puncak Gunung Geulis saat itu dinginnya minta ampun. Terdengar di sekeliling, dari dalam semak dan ilalang seperti ini, suara burung puyuh berciak-ciak.

Suprise. Ternyata semak dan ilalang di sekitar tenda dan bivak adalah sarang, mungkin, burung puyuh. Saya tidak melihat penampakan mereka selain suaranya saja yang berciak-ciak dari terbit matahari sampai kami sarapan dan berbenah untuk meninggalkan shelter.

Suatu keajaiban alam yang baru ini saya rasakan. Pengalaman yang mengasyikan yang sulit dinilai dengan uang.


9.09.2014

Nanjak (lagi) ke Gn. Geulis Jatinangor

Lanskap Tj. Sari dan sekitarnya dari Puncak Gn. Geulis, Jatinangor (1281 m dpl). Di kejauhan tampak Gunung Tampomas (Sumedang, 1684 m dpl). Gunung terdekat dengan Gn. Geulis adalah Gn. Bukit Jarian (1173 m dpl).

Gn. Geulis ini cukup assoy juga. Jaman kuliah dulu di tahun 1992-1997, puncak  gunung ini masih lenglang, terbuka. Tak banyak tetumbuhan. Tapi setelah lebih dari 15 tahun, mulai ketinggian sekitar 900 m cukup banyak pepohonan yang tumbuh di lereng hingga ke puncaknya. Terutama didominasi oleh pohon Lamtoro dan pohon bambu. Di puncaknya pun semak belukar dan rerumputan tumbuh tinggi. Tingginya semak belukar dan rerumputan membuat kami kesulitan untuk mendapatkan pemandangan langsung ke arah Bandung, Cicalengka, Tj. Sari dan sekitarnya.


8.28.2014

Pemandangan interaktif dari Danau Kawah Gunung Galunggung

Pemandangan interaktif dari Danau Kawah Gunung Galunggung.

Coba tekan "click to view" untuk merasakan sensasi berada di dalam Danau Kawah Gunung Galunggung. 

Pemandangan interaktif Puncak Manglayang 360°

Pemandangan interaktif Puncak Manglayang 360° . Coba tekan "click to view" untuk 'merasakan' keadaan di puncak Gunung Manglayang (1824 m dpl), Sumedang Jawa Barat.


8.25.2014

Berkah Galunggung



Gunung Galunggung meletus pada tahun 1982. Tetapi sampai hari ini limpahan material vulkanik-nya masih bisa dimanfaatkan sebagai komoditas ekonomi bagi warga sekitar. Seolah tak habis padahal sudah lebih dari 25 tahun ditambang dan dimanfaatkan manusia.


8.22.2014

Nanjak (Lagi) Ke Manglayang

Kabita ku juragan Bobby Victorio Novarro, Rabu kemarin saya nanjak ke Manglayang via jalur barat/Palintang. Rencananya sendiri, akhirnya berdua bareng GugĂșn Kurniawan.

Dalam ekspetasi, jalur menuju puncak utama dari dinding Barat masih seperti tahun 2010. Saat itu saya dan Donnie D'daam Arie mudun dari puncak Manglayang setelah nanjak dari jalur Baru Beureum.

Ternyata empat tahun berselang di bulan yang sama, Agustus, jalan setapak menuju puncak Manglayang dari Barat sudah menghilang. Beruntung kami menemukan jalur rintisan baru, yang sepertinya belum lama dibuat. Mungkin baru sekitar dua - tiga minggu. Itupun setelah sebelumnya jalur itu diabaikan karena saya pikir merupakan jalur pencari kayu/pemburu.

Setelah mengikuti tag berwarna merah yang dipasang di pepohonan dan semak belukar, akhirnya kami mencapai puncak Manglayang pada sekitar 16.55. Itupun dengan susah payah mengingat kemiringan mencapai 45-60° serta energi kami yang sudah terkuras setelah sebelumnya sempat salah mengambil jalur selama dua jam.

Tiba di puncak puncak pun kami tidak bisa ke pelataran utama (yang ada makamnya). Lagi-lagi karena 'bala', sudah tertup semak belukar. Jalan setapak yang kami ikuti setibanya di puncak akhirnya berbelok ke kiri ke arah Baru Beureum. Tadinya saya ingin mengajak Ugun ke pelataran utama walau harus menerabas semak, tapi karena waktu semakin samporet dan menuju gelap niat itu dibatalkan.



Kami pun turun dari puncak sekitar 17.15 agar tidak terjebak gelap di kemiringan  dinding barat Manglayang.

Manglayang memang tidak terlalu tinggi, hanya 1824 M dpl (berdasar Peta Rupabumi Indonesia lembar 1209-312 Ujung Berung), tapi dari jalur manapun, tanjakannya cukup menantang. Di Manglayang, kita akan merasakan bagaimana betapa dekatnya lutut kita dengan mulut saat menanjak. Cocok banget buat trial bagi teman-teman sebelum mencapai puncak gunung lain yang lebih tinggi.

Selamat buat Ugun yang sukses muncak di  Manglayang pertama kalinya. Ulah kapok ya, engke deui mah disapatu. Ulah disendal :D

8.28.2011

Anakronik di Serial X-Men

Film besar pun tidak luput dari Anakronik.

Perhatikan screenshoot berikut dari X-Men 3 - The Last Stand (2006):



Pada adegan ini Charles Xavier a.k.a Professor X bersama Erik Leshnerr a.k.a Magneto sedang berjalan menuju tempat tinggal Norma Jean Grey.

Screenshoot berikutnya adalah dari X-Men 5 - The First Class (2011):


Pada adegan ini Charles Xavier sudah duduk di kursi roda setelah dinyatakan lumpuh setengah badan akibat tertembak peluru nyasar pada pertempuran X-Men melawan Shaw.


X-Men 5 dinyatakan sebagai prekuel pelengkap X-Men Trilogy yang dinyatakan 'selesai' pada X-Men 3. X-Men 4, Wolverine Origins (2009) dan X-Men 5 - First Class (2011) adalah kisah dengan plot alur balik/flashback untuk menjelaskan asal muasal X-Men, menjelaskan siapa itu Profesor X, Magneto, Wolverine, serta tokoh-tokoh sentral lainnya yang terdapat pada X-Men 1 s.d. 3. Tetapi menjadi anakronik karena ternyata kesalahan fatal terjadi (atau disengaja?) di mana Professor X yang dinyatakan lumpuh setelah tertembak dan telah menggunakan kursi roda, tapi pada X-Men 3 (yang dibuat lebih dulu dari X-Men 5), ia muncul dengan bugar. hanya rambutnya saja yang berbeda.


Selain itu, di X-Men 5 diceritakan bahwa Professor X dan Magneto berpisah setelah pertempuran melawan Shaw. Tetapi di X-Men 3, X dan Magneto masih bersahabat, bahkan bersama-sama membangun sekolah khusus para mutant.

Catatan ini sekedar pengingat saja kalau nama besar Hollywood. Marvel Comics dan 21 Century Fox Studios bisa melakukan kesalahan yang sangat fatal dan memalukan. :)

sumber tambahan: http://en.wikipedia.org/wiki/X-Men_(film_series)

6.12.2011

My QR Code: can you decode this one?

DINAMIKA AKTIVIS MAHASISWA I

Iyeuh,
kudu aktif organisasi
ngarah apal birokrasi
pikeun ngumpulkeun koneksi
jaganing geto nyiar posisi

Iyeuh,
ulah tinggaleun demonstrasi
ngarah nyaho kondisi
sanajan saukur aksi
ngarah batur kataji

Iyeuh,
geuwat rengsekeun skripsi
ngarah gancang meunang korsi
nu gampil keur korupsi
hasilna beulikeun mersi
(ulah poho, bagi-bagi!)

Serang 31 Desember 1993
================
kungsi dimuat dina kumpulan sajak Diari, (1998) & Antologi Sajak Sunda Pamass Unpad (1995)
dihaturanan keur aktivis  mahasiswa 1990-an...

sigana loba nu geus baroga mersi yeuh, bari poho teu bagi-bagi ^_^

1.03.2011

Against All Odds: Menggerayangi Puncak Tertinggi Garut dalam 24 Jam

Berikut ini adalah tulisan sahabat saya, Adhi Pramudya, yang dipublikasikan di Facebook (http://www.facebook.com/note.php?note_id=490407143258). Spesial di awal tahun ini saya mengutip (baca: menyalin utuh) catatan perjalanan yang kami lakukan di penghujung tahun 2010 yang lalu, untuk mengawali blog ini.

Hak cipta dan publikasi foto, memang milik  saya, tetapi seluruh tulisan (kecuali beberapa 'caption' photo) adalah milik karib saya.

Selamat membaca.

==========================

Di akhir 2009 saya mengajak Ricky N. Sastramihardja untuk melakukan pendakian besar di 2010. Saya sebut pendakian besar karena secara pribadi saya tak pernah lagi melakukan pendakian sejak 4 tahun sebelumnya dan sepanjang 3 tahun terakhir saya total berhenti berolahraga. Bagi saya pendakian besar ini akan menjadi tolok ukur sekaligus titik tolak aktualisasi diri. Apakah setelah sekian lama tidak mendaki, tubuh, pikiran, jiwa saya telah berkarat ataukah masih tetap bisa diandalkan untuk waktu-waktu mendatang? 

Untuk itu saya merencanakan target besar pula, target yang tidak boleh terlalu mudah. Saya menunjuk Gunung Tambora di daerah Sumbawa. Kawah dengan radius 7 km terus menggelitik pikiran saya sepanjang tahun 2009. Namun musim kemarau yang tak kunjung datang di negeri ini sepanjang lebih dari 1,5 tahun, waktu persiapan yang minim, dan biaya perjalanan yang tidak sedikit membuat saya mengurungkan rencana ini. 

Memasuki medio 2010 rencana saya ubah dengan tujuan baru, yaitu Pulau Sempu di Malang Selatan. Ajakan teman dan pemandangan laguna yang terperangkap dalam pulau telah memukau imajinasi saya. Namun rencana ini lagi-lagi gagal akibat ketidakjelasan rencana teman tersebut. Padatnya jadwal kerja juga membuat saya harus mengurungkan niat melakukan perjalanan entah sampai kapan.

Akhirnya memasuki Desember 2010, saya bertekad melawan semua rintangan yang ada. Kembali mengajak Ricky, saya menetapkan target baru yang paling mungkin untuk dicapai dari segala aspek. Namun sekali lagi target ini tidak boleh terlalu mudah. Saya harus memilih tujuan yang sama sekali belum pernah saya kunjungi. Pilihan jatuh pada Gunung Cikuray, 2.821 mdpl, sebuah titik tertinggi di wilayah Garut. 

Walaupun tertinggi di wilayah Garut, Gunung Cikuray adalah gunung yang kurang populer di kalangan pendaki. Puncak Cikuray yang misterius, hampir selalu tertutup kabut, dan ketiadaan mitos-mitos lokal membuat Cikuray tidak lebih kondang dari Gunung Guntur yang berpasir dan terlihat masif, apalagi jika dibandingkan dengan Gunung Papandayan yang relatif mudah dicapai dengan kendaraan bermotor dan memiliki pemandangan eksotik di sana sini, dan dipuja sejak zaman penjajahan. 

Niat mendaki Cikuray terus saya pelihara di dalam benak saya sepanjang bulan ini. Dibayang-bayangi pikiran takut gagal lagi akhirnya kami berketetapan hati untuk berangkat dan menemukan momen yang dianggap tepat, yaitu waktu di antara Final Leg 1 dan 2  Piala AFF, antara Indonesia melawan Malaysia. Dengan waktu persiapan logistik dan peralatan yang tidak lebih dari 1 malam di tanggal 26, kami akhirnya berhasil mengajak satu lagi rekan, Donnie Arie, untuk bergabung melakukan perjalanan keesokan harinya.

Kami berangkat menggunakan bus dari terminal Cicaheum, Bandung pada pukul 10.30 menuju terminal Guntur, Garut. Tiba di sana kami makan siang dan melengkapi beberapa logistik  yang masih kurang. Setelah itu kami melanjutkan perjalanan ke daerah Cilawu dengan angkot. Tiba di Cilawu kami melanjutkan dengan ojek melewati perkebunan teh PTPN VIII Dayeuh Manggung menuju Stasiun Relay, yang terletak tepat diantara batas perkebunan dan hutan Cikuray. Di pintu gerbang perkebunan Ricky diminta untuk menitipkan kartu identitas dan dikutip uang Rp. 10.000,- oleh satpam perkebunan.

Perjalanan menuju Stasiun Relay ini sama sekali jauh dari kata mudah. Jika menempuhnya dengan berjalan kaki, Stasiun Relay akan dicapai setelah 3-5 jam melewati perkebunan teh yang sangat-sangat luas. Dengan ojek pun perjalanan cukup menantang. Dengan waktu tempuh 40-60 menit Anda akan melewati jalan berbatu-batu kasar, kubangan air, naik turun yang tiada henti, dan percabangan jalan yang begitu memusingkan. Namun dengan jarak tempuh sekitar 12 km, ongkos yang ditetapkan terasa sangat sepadan. 

Namun tidak hanya itu tantangan yang kami hadapi. Setengah perjalanan melewati perkebunan teh, Cikuray menyambut kami dengan hujan yang cukup deras. Dengan laju ojek yang mirip roller coaster dan kecepatan angin pegunungan yang tidak ramah, kami tak bisa membayangkan jika kami harus menempuh perkebunan super luas ini dengan berjalan kaki. Angin yang  berputar bahkan bersuara keras seperti deru angin pantai. Inilah ketidakramahan pertama Cikuray yang kami rasakan. Namun lagi-lagi tantangan tidak berhenti sampai di situ. 

Saking derasnya hujan, pengemudi ojek akhirnya memakai jas hujan untuk menutupi badan. Sebagai penumpang kami juga ikut kebagian tertutupi oleh lembaran belakang jas hujan, namun justru di situlah masalahnya. Kami tidak bisa melihat apapun yang ada di depan dan sekitar kami. Saat itu kami hanya menyerahkan keselamatan kami pada Tuhan dan percaya sepenuhnya pada kemampuan pengemudi ojek dalam mengendalikan tunggangannya. Akhirnya sekitar pukul 15.00 kami tiba di Stasiun Relay dengan keadaan basah kuyup. 

Stasiun Relay ini dihuni beberapa stasiun televisi nasional. Dari titik inilah biasanya para pendaki menetapkan waktu permulaan dan akhir perjalanan. Di StasiunRelay ini kami menumpang istirahat, mengepak ulang, dan mengisi air bersih, karena memang Cikuray tidak memiliki sungai atau aliran air yang mudah dimanfaatkan. Inilah ketidakramahan Cikuray yang kedua. Tepat pukul 16.00 kami berangkat menuju punggungan gunung dengan satu doa sebelum perjalanan: semoga kami mendaki dalam keadaan cerah.


Tuhan mengabulkan doa kami, cuaca mendadak cerah. Tantangannya sekarang adalah pembuktian yang sebenarnya: mampukah kaki-kaki kami mendaki seperti tahun-tahun yang lewat? Di pinggiran perkebunan teh menuju hutan Cikuray kami disajikan jalan menanjak dengan kemiringan 30-40 derajat. Melewati sisa semak-semak teh kami mulai berada di punggungan gunung dengan ladang akar wangi di sekitar kami. 

Pemandangan dari sana begitu membahagiakan. Stasiun Relay terlihat cantik dengan menara-menaranya yang menjulang dan dilukis dengan lembah dan pemandangan Gunung Guntur dan Galunggung yang cantik di latar belakangnya. Dari sana menatap ke arah puncak Cikuray, terlihat jelas punggungan yang akan menjadi jalur kami menuju puncak. Melihat ketinggian dan kemiringannya, mau tidak mau kami pun menarik nafas panjang. Sungguh menantang.



Tanjakan pertama: melewati perkebunan teh. pada saat perjalan pulang, akhirnya kita sadar bahwa tanjakan ini adalah berubah menjadi turunan yang sangat berbahaya....

Lepas dari ladang akar wangi kami memasuki semak pakis yang rimbun dan pepohonan yang mulai meninggi. Inilah pintu hutan Cikuray. Jalur yang kami lewati masih tergolong landai dan di beberapa bagian agak meninggi dengan pijakan akar. Karena berangkat dari Stasiun Relay cukup sore maka target kami adalah menempuh jarak maksimal sampai kami berhenti di pergantian terang ke gelap. Tepat pukul 17.30 kami sampai pada lahan yang cukup rata di sisi kiri jalur dan bisa memuat 2 buah tenda. Kami memutuskan untuk bermalam di situ. 

Setelah menaruh beban, saya meminta Donnie dan Ricky untuk membangunflysheet sebagai shelter awal, dan saya memutuskan sementara naik sendirian untuk melakukan pengintaian jalur ke atas karena keadaan masih cukup terang. Beberapa puluh meter berjalan saya menemukan persimpangan jalan yang terbuka. Ada satu plang kecil bertanda panah ke kanan yang dipakukan ke batang pohon, namun agak meragukan. Saya memutuskan untuk mengambil jalur sebelah kiri. 

Semakin saya menempuhnya semakin rapat pula vegetasi yang ada, semakin basah jalurnya, semakin sulit karena banyak batang pohon tumbang, dan tentunya semakin gelap. Akhirnya saya memutuskan untuk berbalik arah ke persimpangan jalan sebelumnya. Saya menyadari bahwa ini adalah jalur yang salah. Waktu sudah sedemikian sempit karena cahaya sudah mulai pudar. Sampai di persimpangan saya lantas mengambil jalur yang benar dan menemukan kenyataan bahwa jalur mulai menanjak serius dari situ menuju puncak. 

Kembali ke camp keadaan sudah gelap dan kami mulai membangun tenda dan mengorganisasi persiapan istirahat dengan efektif. Kami menargetkan untuk tidak tidur terlalu larut, agar tetap bugar keesokan harinya agar mampu menghadapi jalur yang terhitung sulit menuju puncak. Dan dimulailah kegiatan favorit para pendaki gunung: memasak! Saya bertindak sebagai chef dan Donnie sebagai asisten chef. Ricky? Tentu saja sebagai pelanggan yang berharap acara memasak ini menjadi demonstrasi fast food mengingat jeritan perutnya yang sedemikian menuntut.





Menu makan kami malam itu adalah nasi putih dan deep-fried caramelized chicken, dilengkapi pop-corn sebagai makanan ringan serta kopi hangat sebagai penutup. Selesai makan waktu sudah menunjukkan pukul 22.00. Kami masuk ke dalamsleeping bag dan beristirahat. Malam itu saya tidak bisa tidur pulas semenit pun. Entah mengapa. Mungkin pikiran saya sudah lebih dulu berjalan-jalan ke puncak gunung ini, sehingga sering kali terjaga. 

Di luar tenda angin bederu kecang dan menampar-nampar pepohonan sepanjang malam. Sempat turun hujan kecil sekitar pukul 1 atau 2 dini hari, namun Cikuray terbilang cukup ramah malam itu. Kami beristirahat dengan tenang. Beberapa menit sebelum pukul 4 pagi saya memutuskan untuk bangun, melipat sleeping bag, membangunkan Donnie, dan langsung memasak untuk sarapan. Ricky bangun 1 jam kemudian.






Menu sarapan pagi itu adalah nasi putih, pan-fried corned beef, dan sup sayuran lengkap, ditutup dengan teh dan kopi panas. Di gunung ini tidak pernah ada hidangan yang panasnya bertahan lebih dari 3 menit. Suhu yang rendah membuat semua makanan atau minuman cepat mendingin dan harus disantap dengan segera. Selesai sarapan kami membereskan peralatan. Mempertimbangkan jalur yang tak mudah, kami memutuskan untuk meninggalkan sebagian peralatan dan logistik. Kami hanya membawa peralatan dan logistik yang dianggap urgen.

Pukul 07.00 kami meninggalkan camp dan menuju puncak. Di persimpangan jalan terbuka, kami berhenti sejenak untuk menutup jalur yang menyesatkan itu dengan dahan-dahan kayu dan menandainya. Dari sana jalur semakin terjal dan mulai menampakkan kesulitannya dalam keadaan terang. Jalur yang kami lewati masuk ke dalam hutan zona Sub-Montana yang terdiri dari pohon-pohon tinggi dan semak berdaun lebar, serta kabut yang masih terbilang masih tipis. Pijakan kami mayoritas terdiri dari pijakan akar pohon atau semak. Bahkan sering kali kami memerlukan bantuan tangan untuk mempertahankan keseimbangan. 







Namun bukan itu yang menjadi faktor kesulitan, melainkan sepanjang jalur menuju puncak ini mengingatkan saya pada kemasyhuran jalur Linggarjati yang ada di Gunung Ciremai, di mana sepanjang jalan ketika naik, lutut Anda berkali-kali akan menyentuh dagu. Di sepanjang jalan mungkin Anda hanya akan menemui 3 atau 4 pijakan landai di jalur utama, dan itu pun sangat pendek. Di luar itu Anda akan menemui jalur dengan kemiringan 40-50 derajat. Artinya penderitaan Anda tidak akan berakhir dengan singkat. Inilah ketidakramahan Cikuray yang ketiga. 







Jalur menuju puncak dapat dikenali dengan mudah. Pendaki-pendaki sebelumnya meninggalkan string tag berupa tali rafia yang diikatkan pada batang pohon. Namun bukan hanya itu, jalur sangat-sangat mudah dikenali karena pendaki-pendaki sebelumnya juga meninggalkan banyak sampah (!) berupa bungkus makanan, botol plastik, kaleng minuman, dan kantong keresek di sepanjang jalur, juga di beberapa pelataran landai yang digunakan sebagai camp. Edukasi yang kurang menyebabkan pendaki-pendaki ini enggan membawa turun sampah mereka. Sebuah perilaku tipikal yang mencoreng citra pendaki gunung dan sama sekali tak pantas ditiru.




Saya berjalan paling depan dan meninggalkan Donnie dan Ricky yang juga bertujuan untuk melakukan dokumentasi foto. Walaupun yang terdepan, perjalanan tidak saya lalui dengan mudah. Namun saya sangat menikmati pendakian yang sulit ini. Apalagi kalau bukan karena pemandangannya. Lepas dari zona Sub-Montana, Cikuray menyajikan pemandangan hutan khas zona Montana yang begitu memukau. Pohon-pohon tinggi yang basah, lumut tebal yang menempel di sana sini, dan tentunya kabut melayang yang seolah-olah membeku di sekitar kita. 






Akhirnya saya tiba di satu pelataran terbuka yang dikenal sebagai Puncak Bayangan tepat satu jam setelah berangkat. Setelah beristirahat untuk minum, saya segera melanjutkan perjalanan menuju puncak. Dari sana jalur yang dilalui lebih rapat, basah, terjal, dan berkabut daripada sebelumnya. Lebih pendek namun kemiringannya mencapai hampir 50-60 derajat. Setelah beberapa lama, saya mulai menemui jalur berbatu, pohon-pohon tinggi mulai menghilang, dan hutan dipenuhi semak pendek khas zona Sub-Alpin. Dari pemandangan itu saya sudah tahu: puncak sudah dekat!


Tak begitu lama saya menemui pijakan-pijakan batu ukuran sedang dengan vandalisme berupa coretan-coretan cat. Di sekitarnya terhampar semak eidelweiss, cantigi, cemara gunung, dan arbei yang sudah marak dengan bunga. Segera saya mempercepat langkah naik. Dan akhirnya tepat pukul 09.00 saya mencapai puncak!


PUNCAK!

Puncak Cikuray ditandai dengan adanya bekas Pos Relay yang berupa bangunan kotak dari dinding plesteran. Dulunya Pos Relay ini masih dilengkapi dengan pintu baja, jendela, peralatan operasi relay, dan menaranya. Namun semua itu sekarang hilang dan menyisakan bangunan kotak tanpa pintu dan jendela yang penuh dengan coretan cat. Di sana saya bertemu dua orang pendaki yang lebih dulu sampai lewat jalur pendakian Cikajang.


Saat itu puncak Cikuray ditutupi kabut tebal dan angin super kencang. Tak disangka saya sempat menerima panggilan telepon. Ternyata ada sinyal selular yang beberapa kali tertangkap di sana, namun sebentar kemudian drop. Dalam keadaan menggigil dan tangan yang mulai kebas, saya sempat berkirim pesan pendek namun tak lama sinyal dan baterai ponsel saya drop. Dengan murah hati saya sempat disuguhi kopi panas oleh kedua orang kawan baru saya ini. Satu jam setelah saya sampai di puncak, akhirnya Donnie tiba, dan Ricky menyusul 15 menit kemudian.

Kami langsung memasak air dan membuat susu cokelat panas dan mengeluarkan biskuit serta jelly sebagai menu makan siang kami. Berlima kami menikmati hidangan on-the-go sederhana ini. Memang kami belum sampai pada jam makan siang, namun angin yang dingin membuat kami harus mempertahankan suhu badan kami. Setelah itu kami berfoto ria dan saling bertukar nomor kontak dengan rekan kami dari Cikajang ini. 


Kabut tebal dan angin kencang terus saja mengurung kami yang berada di puncak. Sempat tersingkap sebentar, puncak Cikuray menghadirkan pemandangan luar biasa megah. Lembah Cikajang yang hijau dan Gunung Papandayan yang memukau di belakangnya. Sayang, pertunjukan ini hanya berlangsung beberapa detik saja, setelah itu kabut kembali naik. Alhasil, kami tidak berhasil mendapatkan foto pemandangan dari puncak. Tepat pukul 11.00 kami memutuskan untuk kembali turun dan meninggalkan kedua rekan kami tersebut yang masih memasak makanan. 


Seperti biasanya saya turun dengan lebih dahulu. Donnie dan Ricky menyusul. Ricky pun hanya mengambil sedikit saja gambar, karena mayoritas sudah diambil ketika perjalanan mendaki. Namun jangan Anda kira perjalanan akan menjadi mudah walaupun ini menurun. Pijakan yang berjauhan membuat lutut dan telapak kaki Anda bekerja lebih keras untuk menahan bobot tubuh, beban bawaan, dan menahan keseimbangan agar tidak terjatuh. Dengan pijakan yang berjauhan seperti ini, jika Anda terjatuh, maka risikonya akan lebih besar dibandingkan dengan pijakan yang landai.

Ternyata perjalanan turun pun cukup melelahkan. Setengah jam turun dari Puncak Bayangan saya sempat bertemu dua rombongan pendaki yang akan naik, satu dari Padalarang dan yang satunya dari Tangerang. Setelah mengobrol sebentar kami melanjutkan perjalanan kami masing-masing. Saya tiba di camp di mana kami bermalam tepat pukul 13.00. Artinya perjalanan yang saya tempuh, naik dan turun, memakan waktu yang sama (!). Sungguh perjalanan turun yang sama sekali tak mudah. Lagi-lagi perjalanan ini mengingatkan saya akan jalur Linggarjati yang kondang itu.


Setelah mengeluarkan peralatan yang kami sembunyikan, saya menunggu dua rekan saya turun. Cukup lama saya menunggu. Dan tepat seperti dugaan saya, satu jam kemudian mereka datang. Persis sama dengan waktu mereka mendaki. Tak menunggu lama setelah mereka datang, kami mulai mengepak ulang dan melanjutkan turun pada pukul 14.20 menuju Stasiun Relay kembali. Tak disangka, mulai dari saat itulah sesuatu yang aneh terjadi pada diri saya.

Saya mencoba berjalan turun seperti biasa, namun lama kelamaan keseimbangan saya mulai hilang. Seolah-olah kaki saya tidak lagi memiliki otot. Baru pertama kali (!) dalam hidup saya mengalami hal seperti ini dan saya tidak tahu apa sebabnya. Saya betul-betul kepayahan. Saya turun dengan mengandalkan pegangan tangan dan pengaturan keseimbangan. Pengalaman mengatur keseimbangan dalam olahraga panjat tebing benar-benar membantu. Jika tidak, saya pasti sudah ambruk pada saat itu.

Donnie tampak lebih baik dalam hal berjalan turun. Untuk itu saya minta ia berjalan di depan dan menunggu di ladang akar wangi agar pergerakan tim tetap lancar. Ricky? Anda sudah bisa menduganya. Walaupun ia sudah kepayahan sejak awal turun dari puncak dan tertinggal di belakang, tapi saya percaya bahwa ia mampu melewati kesulitannya. Ricky sudah pernah melewati tantangan yang lebih berat daripada ini. Kesulitan untuk saya belum berakhir. Mendekati pintu keluar hutan sudah tidak ada lagi pohon besar yang bisa saya raih, hanya ada semak pakis yang pendek, dan jalan pun semakin licin oleh lumut. 

Namun dengan susah payah saya akhirnya berhasil sampai di ladang akar wangi di mana Donnie telah menunggu. Dari sana Stasiun Relay sudah tampak begitu dekat. Donnie tampak melepaskan barang bawaannya dan berjalan-jalan di sepanjang galur ladang. Tak lama ia bercerita bahwa ia pun mengalami hal yang serupa dengan saya (!), terutama ia rasakan ketika berada di jalan datar. 

Ternyata bukan hanya saya yang mengalami hal ini. Dari situ saya paham bahwa kaki saya yang tidak pernah lagi digunakan untuk berolahraga intens lah yang menyebabkan saya begini. 3 tahun total berhenti olahraga dan langsung melakukan pendakian yang cukup berat dalam waktu yang singkat membuat otot saya mengalami overburn. Namun Donnie tampak jauh lebih baik karena kakinya sering digunakan untuk berolahraga futsal. Ricky? Saya enggan membayangkan dan cukup mengerti saja dalam hati.

Sedianya kami akan menunggu Ricky di titik itu dan baru melanjutkan perjalanan setelah ia datang. Namun tidak begitu lama saya datang, hujan mulai turun. Tadinya kami berniat bertahan, namun hujan malah turun semakin deras. Khawatir kondisi fisik kami semakin drop, akhirnya saya memutuskan untuk turun menuju Stasiun Relay bersama Donnie. Saya juga khawatir jika kami berada di area terbuka dalam kondisi hujan, maka potensi petir akan mendekati kami. 

Kami bergegas turun melewati ladang akar wangi dan semak-semak teh. Bergegas? Tidak juga. Karena kondisi kaki-kaki kami yang sudah kepayahan, perjalanan menuju Stasiun Relay jadi berkali lipat lebih sulit. Jalan yang licin, aliran air yang deras, ketiadaan pegangan membuat perjalanan turun makin sulit. Dan dengan segala daya upaya akhirnya kami berhasil mencapai Stasiun Relay. Donnie tiba beberapa menit lebih dulu. Saya tiba pada pukul 15.15. Kami berdua tiba dengan kondisi basah kuyup. 


Sambil menunggu datangnya Ricky, saya dan Donnie langsung bekerja sama memasak makanan panas. Saya memutuskan untuk memasak macaroni bolognaisedan kopi. Sembari memasak kami mengganti pakaian dengan pakaian kering. Kami sempat khawatir karena Ricky tak kunjung muncul. Mendekati sore hari tampak sesosok bayangan muncul dan mendekat dari semak-semak teh. Ternyata itu Ricky. Sempat mengambil percabangan jalan terakhir yang salah di kebun teh, akhirnya Ricky berhasil turun dan sampai di Stasiun Relay tepat pukul 16.00. 


Itu berarti tepat 24 jam, kami, trio pendaki nekat, telah tuntas menunaikan niat kami mendaki Gunung Cikuray yang selama ini hanya kami lihat kecantikannya dari jauh. Allahu Akbar! Ricky yang sampai di Stasiun Relay langsung membaringkan diri dengan tubuh kakunya ke lantai namun tetap tertawa-tawa. Kami semua tertawa-tawa. Menertawakan kepayahan kami, menertawakan kesuksesan niat, menertawakan kehangatan kisah perjalanan. Sungguh indah. 

Setelah makan sore itu, berganti pakaian kering, dan mengepak ulang peralatan, kami menghubungi ojek untuk menjemput kami. Terima kasih Tuhan. Anda bisa membayangkan, apa yang harus kami lakukan dan apa yang akan kami alami untuk turun ke Cilawu jika saat itu teknologi selular belum ada di Indonesia. Setelah berpamitan pada penjaga Stasiun Relay, kami turun dengan ojek pada pukul 18.00, melewati perkebunan Dayeuh Manggung yang gelap berkabut dan tiba di Cilawu sekitar pukul 19.00.


Kami cukup lama menunggu datangnya angkot yang akan mengantarkan kami ke terminal Guntur. Sekitar pukul 20.30 kami tiba di terminal. Untuk ukuran Garut itu sudah cukup larut. Akibatnya tidak ada lagi bus yang beroperasi untuk mengantarkan kami kembali ke Bandung. Namun setengah jam kemudian akhirnya kami menemukan mobil omprengan yang menuju Bandung. Memang berdesak-desakan, tarif lebih tinggi bahkan dari bus AC, dan suasananya sumpek karena beberapa orang merokok di dalam mobil yang kecil itu, namun kami bersyukur akhirnya kami tiba di Bandung malam itu juga dengan selamat dan relatif cepat.

Dalam perjalanan pulang dari Cilawu Ricky sempat bercanda dengan mengatakan bahwa ia kapok mendaki gunung, namun kami tahu bahwa itu tidak mungkin, sebab mendaki gunung akan selalu menjadi salah satu kegemaran dan kenakalan yang kami pelihara. Karena kami tahu bahwa jika kami tidak mendaki gunung, itu sama artinya dengan membiarkan tubuh, pikiran, jiwa kami berkarat, dan pasti kami akan menua semakin cepat. Pada saat di camp saya pun membagi adagium yang saya percayai betul kesaktiannya kepada Ricky dan Donnie.

Adagium itu berbunyi, "Anda tidak berhenti bermain karena Anda menjadi tua, namun Anda menjadi tua karena Anda berhenti bermain".

Selamat tahun baru!

2.04.2010

Menatap Masa Depan - Serial Foto 1



http://6ix2o9ine.blogspot.com



Kematian Tidak Memisahkan Kami. #1


Kematian Tidak Memisahkan Kami.  #2


Kematian Tidak Memisahkan Kami. #3


Kematian Tidak Memisahkan Kami.  #4

Menatap Masa Depan - Serial Foto 2


Kematian Tidak Memisahkan Kami.  #5

Kematian Tidak Memisahkan Kami. Happy  #6

Mendekati Surga

Tetap Berkibar Karena Jasamu

Menatap Masa Depan - Serial Foto 3

Tetap Ceria

Simetri #2

Simetri #1


Bolos Sekolah Demi Masa Depan

Menatap Masa Depan - Serial Foto 4

Rumah Adikku Setelah Renovasi

Duka Ibunda

Membincangkan Masa Depan


SAE - Silent Activity Everyday

11.27.2009

Catatan dari Pedalaman Siberut

Alhamdulillah, setelah lama mengidamkan sebuah perjalanan ke Kep. Mentawai di Sumatra Barat sana, akhirnya keinginan itu terkabul juga. Memang bukan perjalanan pelesir, tetapi lebih sebagai sebuah pekerjaan, assignment. Perjalanan ini merupakan suatu rangkaian perjalanan setelah sebelumnya melakukan observasi dan dokumentasi permasalah-permasalahan yang terdapat di Kepulauan Seribu (Jakarta), TPA Bantar Gebang (Bekasi), Kabupaten Padang Pariaman (Sumatra Barat) dan berakhir di Kepulauan Mentawai (Sumatera Barat).

Observasi dan dokumentasi khususnya yang dilakukan di Kep. Mentawai difokuskan pada masalah sarana dan prasarana transportasi, pembinaan dan dakwah Islam, serta permasalahan lainnya yang mungkin berkaitan dengan kedua permasalahan utama tersebut. Assignment ini mengharuskan saya merekam berbagai aspek permasalahan tersebut ke dalam format video semi dokumenter untuk kepentingan lembaga yang menugaskan saya, Badan Wakaf Al Qur'an Jakarta (BWA). Observasi ini difokuskan di Kecamatan Siberut Selatan, Pulau Siberut Kep. Mentawai. Pembatasan wilayah ini dilakukan mengingat luasnya wilayah observasi yang tidak bisa dijangkau dengan mudah mengingat keterbatasan sarana transportasi, faktor cuaca, waktu dan biaya yang tersedia.



Dari hasil observasi, ada beberapa catatan mengenai masalah dalam upaya pengembangan dakwah dan pembinaan umat Islam di Mentawai. Pada observasi ini juga dilakukan beberapa interview dengan tokoh masyarakat, tokoh agama, serta warga masyarakat lainnya, yang direkam ke dalam videotape. Sebagai resume awal, masalah dalam pengembangan dan pembinaan umat Islam di Kep. Mentawai umumnya meliputi minimnya dan mahalnya biaya transportasi, rendahnya kesejahteraan para da'i di pedalaman, serta tidak optimalnya pembinaan umat Islam di pedalaman.

Secara umum, di Pulau Siberut terdapat dua kelompok masyarakat, yakni masyarakat asli Suku Mentawai dan masyarakat pendatang. Masyarakat suku Mentawai ini umumnya berdiam di desa-desa di pedalaman. Masyarakat pendatang umumnya berasal dari suku Minang, Jawa, Nias, Batak atau suku lainnya. Dari segi keagamaan,mereka menganut agama Islam, Protestan, Katolik, serta kelompok kecil penganut agama Baha'i. Agama asli Mentawai,Sabulungan, pun masih banyak penganutnya. Sabulungan lebih merupakan animisme-dinamisme yang diwariskan dari nenek-moyang suku Mentawai.



Mahalnya biaya transportasi disebabkan oleh belum adanya jalan darat yang menuju ke pedalaman. Untuk menuju pedalaman dipergunakan sarana transportasi air berupa sampan dan perahu dengan mengikuti aliran sungai yang berasal dari hulu atau menyusuri garis pantai. Dengan demikian biaya bahan bakar yang dipergunakan juga menjadi sangat mahal. Sebagai misal, untuk menempuh perjalanan pergi pulang ke sebuah desa yang berada di pedalaman dengan waktu tempuh l.k. 2 jam, diperlukan BBM sebanyak 40 liter senilai Rp. 280.000. Biaya tersebut tidak termasuk sewa perahu dan upah dua orang kru (pengemudi dan navigator). Dapat terhitung berapa banyak biaya bila dalam dua kali sebulan misalnya, para da'i di pedalaman ini harus turun ke Muara Siberut yang berada di pantai Timur untuk mengakses informasi, berbelanja kebutuhan hidup seperti sembako, atau keperluan dakwah lainnya. Itu baru desa yang dekat. Belum lagi bila desa yang berada di pantai barat Pulau Siberut, yang berada di balik hutan dan perbukitan yang jarang tersentuh manusia.

Selain faktor biaya, transportasi juga sangat dipengaruhi cuaca dan pasang-surut air laut serta sungai. Dengan kata lain, tersedianya alat dan biaya transporasi juga tidak menjamin dapat terlaksananya perjalanan ke pedalaman. Sebab di saat air surut, perahu tidak dapat melewati terusan (sodetan) sungai yang menjadi jalan pintas transportasi dari dan ke pedalaman. Kalaupun harus mengikuti jalur utama sungai, maka waktu tempuh akan semakin lama dan jarak tempuh akan semakin panjang. Biaya transportasi pun akan meningkat drastis. Belum lagi tak jarang mereka harus kembali lagi ke titik awal perjalanan karena perahu mereka tidak dapat menembus cuaca yang buruk serta ombak yang besar.

Begitu pula dengan komunikasi. Sampai saat tulisan ini dibuat, baru ada satu BTS milik satu operator telekomunikasi di desa Muara Siberut. Itupun kadang-kadang mengalami gangguan sehingga tidak dapat dilakukan komunikasi. Pancaran sinyal pun terbatas, tidak menjangkau ke pedalaman yang rata-rata berada di balik perbukitan. Sehingga komunikasi hanya dapat dilakukan dalam wilayah yang sangat terbatas. Saluran telepon Telkom pun hanya menjangkau desa Mailepet dan Muara Siberut saja.

Kondisi keuangan dan kesejahteraan para da'i di pedalaman juga tidak kalah menyedihkannya. Para da'i di pedalaman rata-rata hanya mendapat honor Rp. 700.000 rupiah per bulan, yang tentu sangat jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka. Bisa saja para da'i tersebut harus bekerja atau berdagang untuk mendapat tambahan dana untuk kelangsungan hidupnya. Tetapi akibatnya pembinaan umat menjadi terbengkalai dan umat Islam di pedalaman yang rata-rata mualaf itu menjadi kehilangan pegangan.



Dengan sistem dan sarana transportasi yang ada, sulitnya komunikasi, serta rendahnya kesejahteraan da'i, maka dampak yang paling terasa adalah pada pembinaan umat. Umat yang dimaksud di sini adalah umat Islam yang berada di pedalaman yang rata-rata merupakan penduduk asli suku Mentawai dan tergolong mualaf. Indikatornya sulitnya pembinaan ini antara lain adalah masih banyaknya umat Islam di pedalaman yang memelihara dan mengkonsumsi daging babi. Hal ini disebabkan karena adat-istiadat yang diwariskan nenek-moyang mereka memang seperti itu. Selain itu, masih bercampur-baurnya ajaran agama Islam dengan pemahaman agama leluhur mereka, Sabulungan. Umat Islam di pedalaman masih mempercayai Sikerei sebagai orang yang dapat berhubungan dengan roh-roh nenek moyang, berkomunikasi dengan mereka, serta memberikan kesembuhan atas berbagai penyakit melalui mantera-manteranya. Bla ada seseorang yang sakit, maka diadakanlah upacara turuk yang dipimpin oleh Sikerei. Pada upacara ini Sikerei memberi pengobatan secara fisik dengan obat-obatan herbal serta memanggil roh-roh nenek-moyang mereka untuk meminta kesembuhan atas penyakit yang diderita pasiennya.



Permasalahan di atas sebetulnya dapat diringankan bila kita sebagai umat Islam yang lebih 'civilized' tergerak hati dan mau membantu mereka. Peluang beribadah melalui harta ini dapat disalurkan pada lembaga-lembaga agama Islam yang memiliki program pengiriman da'i dan pembinaan umat di Kepulaun Mentawai. Salah satu lembaga ini adalah BWA atau Badan Wakaf Al Qur'an (www.wakafquran.org) yang beralamat di Jalan Tebet Timur Dalam 1 no. 1 Jakarta, telepon 021-8350084 (hunting).BWA adalah lembaga pengumpul wakaf dan donasi yang akan disalurkan guna pengembangan dan pembinaan umat Islam di berbagai pelosok di tanah air.



Untuk Kep. Seribu dan Kep. Mentawai, BWA merasa salah satu solusi untuk permasalahan minim dan mahalnya sarana transportasi air adalah dengan mewakafkan kapal atau perahu. Kapal atau perahu yang sesuai dengan perairan kepulauan ini akan menjadi transportasi para da'i yang bertugas di pedalaman. Dengan demikian pembinaan umat dapat berjalan lebih lancar karena tidak harus menumpang kapal atau perahu reguler yang jadwalnya terbatas. Selain itu BWA juga berupaya untuk mengembangkan wakaf produktif, sehingga dapat digunakan sebagai modal usaha para da'i atau umat Islam, terutama yang tinggal di pedalaman atau di pulau-pulau yang jauh terpencil.Untuk lengkapnya dapat menghubungi BWA dengan alamat tersebut. Informasi mengenai BWA bisa didapat dari website mereka di www.wakafquran.org. Di mana BWA ini memiliki pengalaman dalam mewakafkan kapal yang digunakan untuk pembinaan umat Islam di Papua/Irian Jaya.

Kita bisa berjihad memerangi kebodohan dan kejahilan, dapat berjihad dengan dengan mewakafkan sebagian dari harta kita. Saudara-saudara muslim kita yang tinggal jauh di pedalaman sangat memerlukan perhatian dan bantuan agar dapat menjadi umat Islam yang khaffah dan mulia. Mari kita mudahkan perjalanan spiritual mereka agar mereka tetap berada di jalan Alloh SWT untuk mengamalkan Al Quran dan menjalankan sunah Rasulullah SAW.


Informasi lengkap:
BADAN WAKAF AL QUR'AN (BWA) JAKARTA
Jalan Tebet Timur Dalam 1 no. 1 Jakarta, telepon 021-8350084 (hunting)
website: www.wakafquran.org
e-mail: admin@wakafquran.org

Foto-foto observasi dan dokumentasi Mentawai dapat diakses di http://www.facebook.com/ricky.bapanasikaka?ref=profile#/photo.php?pid=2911480&id=715618858