Showing posts with label eksotik. Show all posts
Showing posts with label eksotik. Show all posts

2.05.2023

GUNUNG PADANG ADALAH PIRAMIDA KUNO DARI PERADABAN YANG HILANG. AH MASA?


Wacana Gunung Padang adalah piramida tersembunyi kembali menarik perhatian netizen Indonesia. Salah satunya dipantik oleh tayangan "Ancient Apocalypse" yang tayang di Netflix, di mana seorang jurnalis bule, Graham Hancock, merilis tayangan-tayangan spekulasi tentang peradaban manusia yang hilang.

Bagi teman-teman yang baru saja menyimak wacana ini, jangan dulu terkagum-kagum, serta berharap banyak asumsi itu benar adanya. Karena wacana itu sebetulnya sudah lama sekali beredar di masyarakat. 

Saya pertama kali mendengar asumsi bila Gunung Padang=piramid, sejak awal 90-an di ruang diskusi terbatas. Kemudian di awal 2000-an, wacana tersebut kembali menggeliat di masyarakat yang baru saja melek internet. Terutama setelah Kaskus dan Facebook menjadi keseharian netizen.

Tidak hanya Gunung Padang di Cianjur yang menjadi 'tersangka'. Gunung Sadahurip, Garut dan Gunung Lalakon, Soreang juga sempat dituduh sebagai persembunyian piramid yang konon sudah ada sejak 25.000 tahun sebelum masehi.

Bayangkan, 25.000 tahun! Padahal peradaban Sumeria yang dianggap peradaban tertua saja, baru mulai 4000 tahun SM. Peradaban Sumeria memenuhi kriteria disebut peradaban karena  secara umum sebuah budaya harus mencapai beberapa keunggulan, terutama urbanisme yang meliputi kota, irigasi, dan tulisan. Dari kriteria itu, peradaban Bangsa Sumeria telah memenuhinya.

Nah balik lagi ke Gunung Padang (juga Sadahurip, dan Lalakon), apalah benar ada peradaban maju 25.000 tahun lalu di Tatar Sunda hingga bisa membangun sebuah piramida yang lebih tua dari Piramida Giza yang diperkirakan berumur 4.500 tahun lalu?

Piramida Giza sendiri konon dibangun oleh lebih dari 20.000 orang. Temuan arkelogis misalnya, menyebut banyak artefak dan ekofak di sekitar Giza sebagai bukti di situ pernah ada sekelompok besar manusia hidup dan tinggal di saat membangun piramida tertua tersebut.

Apakah ada arfefak dan ekofak ditemukan pula di sekitar Gunung Padang? Sejauh ini belum ada satu pun bukti yang berhasil diungkap ke publik untuk memperkuat asumsi dan interpretasi tersebut.

Spekulasi-spekulasi yang berkembang pun kemudian dimanfaatkan sekelompok orang untuk pemurtadan dan melecehkan agama Islam. Apalagi sekelompok orang yang bernaung di sebuah kelompok, sebut saja TS, yang dulu wara-wiri di Kaskus atau Facebook. Intinya, mereka mengagung-agungkan 'leluhur' Nusantara sebagai bangsa yang maju dan hebat dan menganggap kemunduran Nusantara adalah karena masuknya peradaban Islam.

Kelompok ini pula, yang sepengetahuan saya dari berbagai diskusi selama ini, menolak fakta sejarah Islamisasi Sunda yang masif di tahun 1500-an setelah Kerajaan Sunda Galuh/Pajajaran membubarkan diri. Di mana tidak bisa dipungkiri, suka atau tidak suka, kekuasaan Mataram di bawah kepemimpinan Sultan Agung, merupakan salah satu tolok ukur Islamisasi masyarakat Sunda. 

Padahal, semasa Pajajaran berdiri pun kerajaan bercorak Islam sudah hidup berdampingan, yakni Kerajaan Sumedang Larang.

Kembali menyoal asumsi Gunung Padang sebagai piramida, tentu saja tanpa harus menjadi skeptis, kita tunggu hasil penelitiannya dirilis ke publik. Walau memang tampaknya asumsi dan spekulasi yang berkembang pun sudah menjadi bola liar karena ada banyak pihak yang kemudian mengklaim asumsi itu sebagai kebenaran.

Kalau saya sih merasa aneh saja dengan motif 'karuhun' membangun piramida di Tatar Sunda. Ngapain? Rek naon? Di wilayah yang bergunung-gunung kok membangun piramida. Karena bila melihat di Mesir, Piramida terletak di wilayah dataran rendah, dataran yang cenderung rata sehingga kemunculan piramida boleh lah diinterpretasikan sebagai keinginan manusia pada saat itu untuk mendekati tuhan atau dewa-dewa dalam keyakinannya.

Di kita kan sudah banyak gunung? Ngapain bangun piramid? Yang ada dan menjadi fakta adalah 'karuhun' atau nenek moyang Sunda, membangun makam di puncak-puncak gunung alih-alih membangun piramida. Contohnya saja makam di Puncak Gunung Geulis, Jatinangor dan Gunung Manglayang. Lebih ralistis dan ekonomis.

Tetapi memang tidak dapat dipungkiri bila situs Gunung Padang adalah situs megalitikum di mana pada masa lalu dijadikan tempat ibadah karuhun Sunda. Di mana batu-batu yang terletak di sana besar kemungkinan dibawa dan diletakkan di sana untuk keperluan peribadatan, namun batu-batuan itu murni merupakan bebatuan hasil proses alamiah.


Ricky N. Sastramihardja

📷 Slide dari diskusi di Museum Geologi 3 Februari 2012


3.10.2010

EKSOTIS: KATA YANG SERING DIPAKAI TAPI TIDAK KITA PAHAMI

http://6ix2o9ine.blogspot.com

Dalam berbagai kesempatan, saya seringkali mendengar atau membaca kata 'eksotis' diterapkan. Mulai dari aktivitas rumahan, pendidikan, hingga iklan. Dalam suatu kesempatan presentasi karya (video) akhir tahun lalu, penyelenggara memberi judul "Exotic Mentawai" untuk presentasi itu. Suatu hal yang sangat saya tidak setuju karena apa yang disajikan bukanlah suatu eksotika, juga karena pandangan ideologi saya akan kata ‘eksotik’ itu sendiri.

Untuk mengetahui apa itu ‘eksotis’, sebaiknya kita membuka kamus. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI 1976), eksotis didefinisikan sebagai: asing; jarang dapat (aneh, ganjil, luar biasa); garib; mis: banyak orang asing merasakan pertunjukan wayang sebagai sesuatu yang eksotis.(KUBI, 1976: 268). Sedangkan menurut Microsoft Encarta Dictionary 2009, kata exotic (adjective) didefinisikan sebagai strikingly different: strikingly unusual and often very colorful and exciting or suggesting distant countries and unfamiliar cultures. Dalam tesaurusnya, exotic (adjective) adalah: 1. unusual, out of the ordinary, striking, interesting, bizarre, mysterious, glamorous, colorful, outlandish, strange, different, exceptional. antonym: ordinary 2. from abroad. from abroad, tropical, alien, foreign antonym: familiar

Dengan memperhatikan definisi/batasan kata dari kamus dan tesaurus di atas kita bisa mendapat pemahaman tentang apa sih eksotika itu sebenarnya. Eksotika ternyata sangat berhubungan dengan cara pandang orang kulit putih (baca: Barat) dalam menilai dan memandang sesuatu yang mereka anggap tidak familiar dengan kehidupan mereka sehari-hari. Sebagai suatu keganjilan, keanehan di dunia tropis (ingat Indonesia berada di wilayah tropis!), dan sangat terasing.

Apa yang mereka rumuskan dalam kata eksotik itu kemudian kita telan utuh tanpa pernah berusaha untuk memahaminya dalam cara pandang timur-barat. Sebagai suatu bangsa yang besar dan beragam, serta kekayaan alam yang sangat banyak, kita dianggap sebagai 'sesuatu yang asing; alien' oleh peradaban barat. Celakanya, banyak di antara kita yang mengenyam pendidikan kemudian menelan mentah semua itu, mengaminini setiap kata yang dijejalkan, dan mengubahnya menajdi identitas kita.

Saya percaya bila memang ada upaya upaya politik pengaburan identitas agar kita lupa pada kekhasan budaya kita, pada identitas kita. Melalui pendidikan, tontotan televisi dan film, ideologi berkesenian tertentu, perlahan-lahan kita dicabut dari peradaban dan identitas kita sendiri.

Jejak-jejak itu, masih tampak dalam wilayah fotografi kita yang masih didominasi logika fotografi salon. Sebagaimana kita tahu, fotografi salon lahir di Indonesia pada era kolonialisme Belanda. Melalui agensi fotografi Woodbury and Page, dicitrakanlah Indonesia (Hindia Belanda) dalam foto-foto dengan label eksotis, yang disebarkan ke seluruh Eropa dalam bentuk foto kenang-kenangan (carte de visite),kartu pos, dan buku foto/photo book. Hal tersebut semakin dikukuhkan saat harga peralatan fotografi semakin murah dengan datangnya produk Kodak Brownie ke Hindia Belanda. Fotografer amatir bermunculan, bahkan terbit juga majalah khusus Fotografi 'De Camera' yang mengutamakan dogma estetika yang tinggi. Dogma estetika tinggi ini juga yang hingga kini masih menguasai benak para pelaku fotografi Indonesia. Mulai dari pelaku, industri, konsumen, dan pasar, kerap kali mengutamakan dogma ini. Dogma ini juga kerapkali menggunakan kata eksotis yang diterapkan pada foto-foto dengan konten komunitas masyarakat adat/lokal, perempuan-perempuan berwajah asia (asiatic), hingga pesona alam tropis.

Dalam dunia seni lukis, sejarah ribut-ribut aliran lukisan Mooi Indie tentu tidak boleh dilupakan. Karena pada aliran itulah Indonesia selalu digambarkan sebagai negeri yang cantik, aman,sentosa, dan sejahtera, yang tentu saja menarik banyak perhatian dan keinginan bangsa lain untuk memiliki (dan menjarahnya)

Di sinilah timbul permasalahan sebenarnya, karena kata eksotis tersebut, kita terapkan juga untuk menilai foto-foto yang sebetulnya berisikan citra masyarakat kita sendiri. Sebagai sesama orang Indonesia yang hidup di alam tropis, kita dengan mudah memberi label kata 'eksotis' pada foto-foto tentang diri kita sendiri. Dengan ketidaktahuan (atau ke-tidak ingin tahu-an?) kita memberi label pada diri kita sebagai 'asing, alien, tidak familiar, sangat berbeda'.

Penjajahan itu masih berlangsung ternyata. Dulu kita dijajah dan diperebutkan bangsa Portugis, Belanda, Inggris, dan Jepang secara fisik, kini kita dijajah melalui kata 'eksotik'. Celakanya, yang menjajah adalah diri kita sendiri. Kita bahkan tidak bisa bersahabat dengan saudara kita sendiri yang masih satu negara, satu wilayah kesatuan, serta satu panji-panji hanya melalui satu kata" eksotik. Kita menjajah saudara-saudara kita dan menaklukkannya dalam foto-foto berlabel eksotis yang kita anggap sebagai trofi kemenangan.

Kita sudah kehilangan sebagian Irian 1) karena Freeport menjadi representasi penjajahan Amerika Serikat di sana. Kita sudah kehilangan Indonesia saat modal asing menguasai jalur telekomunikasi kita melalui kepemilikan saham di operator-operator komunikasi. Kita sejatinya sudah kehilangan kedaulatan saat Jakarta dan kota-kota besar lainnya dikuasai modal asing. Kita juga kehilangan kedaulatan karena kita menjajah saudara-saudara kita sendiri dengan melabeli mereka dengan kata eksotis pada foto-foto yang kita buat. Jadi, masihkah kita mau menilai diri kita sendiri sebagai eksotis?

10 Maret 2010 M/26 Rabiul Awal 1431 H

Ricky N. Sastramihardja
Pecinta Kopi dan Fotografi

==========================================

1) Dengan tanpa mengurangi rasa hormat, saya lebih menyukai memanggil Papua dengan IRIAN. IRIAN adalah akronim dari Ikut Republik Indonesia Anti Nederland, yang diberikan oleh Soekarno dalam upaya pembebasan Papua Barat dari Belanda tahun 1969.


Referensi:
1. Michael Risdianto. Kantor Berita Foto Indonesian Press Photo Service (IPPHOS) 1946-1980: Studi Tentang Dinamika Institusi Fotojurnalistik di Indonesia. Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran, Jatinangor. Tidak Dipublikasikan.
2. Yudhi Soerjoatmodjo. The Challenge of Space : Photography in Indonesia, 1841-1999.Tempo, 16 Januari 2000: 172). Dapat dibaca secara online di: http://www.angelfire.com/id/mosista/article1.html
3.Jurnal Kebudayaan Kalam edisi 2 - 1994.
4. W.J.S. Poerwadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI). Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen P dan K. PN Balai Pustaka: Jakarta.
5. Microsoft Encarta 2009 Dictionary versi 16.0.0.1117