Showing posts with label Indonesian art critics. Show all posts
Showing posts with label Indonesian art critics. Show all posts

12.17.2019

Membaca Sang Pangeran & Janissary Terakhir: Full Marathon Untuk Pelari Pemula (Resensi Santuy)


Seperti halnya prosa yang berlatarbelakang sejarah, kita akan menemui banyak tanggal, banyak tempat, banyak nama, dan tentu saja banyak peristiwa yang berhubungan dengan dunia nyata. Begitu pula dengan novel "Sang Pangeran dan Janissary Terakhir," karya Salim A. Fillah (2019).

Tidak hanya itu, novel yang berusaha menceritakan kembali sepenggal sejarah perjuangan Pangeran Diponegoro ini juga dipadati dengan catatan-catatan kaki. Baik itu untuk menjelaskan peristiwa nyata yang berada di lintasan sejarah, istilah, atau transliterasi beberapa bahasa yang digunakan para tokoh dalam novel ini. Mulai bahasa Indonesia (tentunya), Arab, Inggris, Jawa, Prancis,  bahkan Turki.

Saya sempat merasa beruntung mendapatkan buku ini hanya beberapa hari setelah resmi diluncurkan di Masjid Jogokariyan, Yogyakarta. Bahkan sebagai warga Kota Bandung, saya beruntung bisa menghadiri bedah bukunya di Hotel Malaka Bandung (14 November 2019) dan mendengar penuturan 'behind the scene' dan proses kreatif ustad muda ini saat menuliskan novel perdananya ini.

Semula saya berharap akan bisa menyelesaikan novel setebal 632 halaman ini dalam waktu paling lama satu minggu. Ternyata ekspetasi itu terlalu berlebihan. Faktanya novel ini baru habis dibaca selama tepat satu bulan, itu pun masih dibaca dengan baca cepat, yang tentu saja mengabaikan banyak detail, pemahaman, juga proses reimajinasi untuk menghayati bagaimana sepenggal kisah perjuangan Pangeran Diponegoro itu.

Tentu saja selain karena liga sepakbola Indonesia yang masih belum selesai, godaan game online, serta kegiatan lain, juga karena novel ini tidak bisa diajak 'santuy'. Penyebabnya ya karena novel ini memang bukan novel yang bisa dibaca di sembarang tempat seperti misalnya saat kita membaca novel-novel hiburan dan percintaan, misalnya.

Ada banyak kutipan ayat al quran dan potongan haditsh yang membuat pembaca harus lebih 'tertib tempat' saat menikmati novel -roman sejarah ini. Tentu membuatnya tidak elok bila kita membacanya seperti saat kita membaca novel hiburan atau sekuler lain di kamar mandi.

Itu menjadi catatan pertama saat saya mulai membuka lembaran-lembaran awal novel ini. Bahkan semenjak prolog, membuat saya yakin novel ini bukan novel yang diperuntukkan bagi pencari hiburan semata. Tetapi lebih diperuntukan bagi penikmat sejarah -khususnya sejarah Islam di Nusantara juga untuk para pembaca serius yang mau berhari-hari bergelut untuk menikmati lembar demi lembar novel ini hingga tuntas.

Novel "Sang Pangeran dan Janissary Terakhir," ini menjadi lintasan banyak peristiwa sejarah yang hendak disampaikan pengarangnya melalui tokoh utama Pangeran Diponegoro. Di mana narasi besarnya salahsatunya adalah menyampaikan bila perjuangan Pangeran Diponegoro itu dipengaruhi atau mempengaruhi peristiwa sejarah di belahan dunia lainnya.

Bagaimana kemudian Kerajaan Kristen Belanda harus kehilangan dana jutaan gulden untuk menundukkan Pangeran Diponegoro. Belum lagi 15 ribu tentaranya mati selama perang 5 tahun yang terjadi di Tanah Jawa itu.

***

Seperti halnya roman sejarah kita akan berhadapan dengan kisah nyata dalam balutan fiksi, (cetak miring dan garis tebal dari saya)  bukan kisah fiksi dalam balutan kenyataan. Di mana roman ini dibuka dengan prolog berupa fragmen dimulainya perang suci Pangeran Diponegoro melawan pasukan kolonial Belanda pada 20 Juli 1825 sebagai bagian peperangan besar dunia di ujung keruntuhan Kekhalifahan Ottoman (hal.19).

Dari Yogyakarta pada tahun 1825, pembaca akan dibetot mundur ke Istanbul Turki pada tahun 1808 untuk mengawali premis bahwa perang Jawa yang diinisiasi Pangeran Diponegoro 17 tahun kemudian adalah bagian dari ujung kekhalifahan Utsmany menjelang keruntuhannya. Di mana sebelum kekalifahan Utsmany berakhir, Mustafa Pasha mengirim Janissary terakhir yang dimilikinya untuk menolong para mujahid di Nusantara.

"Utang besar Daulah kita yang jaya pada ummat Nabi di kepulauan itu harus dibayar. Harus, meski Sultan Muhammad Al Fatih tidak sengaja melakukannya...", ujar Mustafa Pasha, Perdana Menteri Daulah Utsmaniyah yang saat itu dipimpin Sultan Mahmud II. (hal. 29).

Pada bagian itu, pengarang menekankan bila Nusantara adalah wilayah yang juga diperebutkan dua kerajaan Kristen: Inggris dan Belanda yang berada di bawah kekuasan Prancis masa Napoleon Bonaparte.

Dalam ratusan halaman selanjutnya pembaca akan diajak bertamasya mengikuti premis itu hingga akhirnya Pangeran Diponegoro ditipu oleh Panglima Tertinggi Tentara Kerajaan di Hindia Belanda, Jendral Hendrik Merkus de Kock di bulan Maret 1830.

***

Salah satu yang menjadi tantangan tersendiri tiga puluh bagian plus prolog dan epilog ini adalah lompatan-lompatan alur waktu. Dimulai dari tahun 1808, melompat ke tahun 1825, surut ke 1823, melaju ke 1830 dan seterusnya.

Belum lagi catatan kaki-catatan kaki yang harus diperhatikan. Atau pembaca dipaksa bolak-balik untuk kembali ke depan ke halaman 11-14 untuk mengetahui latar belakang ringkas tokoh-tokoh yang bermunculan di setiap bab.

Alur waktu yang tidak selalu linear, banyaknya  tokoh sejarah, istilah-istilah yang bergantian dalam berbagai bahasa, kutipan-kutipan peristiwa sejarah yang benar terjadi lengkap dengan tanggal dan tahun, serta munculnya tokoh-tokoh fiktif menjadi detail yang harus diperhatikan untuk bisa menikmati novel ini seutuhnya.

Di tengah membaca saya mendadak teringat novel "In The Name of The Rose"-nya Umberto Eco yang tidak selesai saya baca hingga sekarang. Padahal novel itu dibeli sejak tahun 2008 dan baru dibaca sepertiganya sampai saat ini di ujung 2019.

Cara bertutur yang mungkin bisa dikatakan satu tipe, mirip. Banyaknya nama dan peristiwa, belum lagi istilah-istilah dalam bahasa Italia yang tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

"In The Name of the Rose" malah ujug-ujug menghantui saat membaca novel "Sang Pangeran dan Janissary Terakhir" ini. Saya seperti menemukan "In the Name of The Rose" yang merupakan novel fiksi belatar belakang sejarah gereja di abad pertengahan, namun dalam bentuk yang lain di novel Sang Pangeran dan Janissary Terakhir" yang justru merupakan roman sejarah dalam balutan fiksi untuk menghubungkan peristiwa ke peristiwa.

Padahal keduanya berbeda dan bertolak belakang 180 derajat. Persamaannya mungkin karena keduanya menjadi novel yang sulit untuk diselesaikan dengan santuy, karena pembaca akan dipaksa membaca berulang-ulang, tidak linear, maju-mundur agar novel tersebut bisa hidup dalam imajinasi pembaca dengan bebas.

Menjadi istimewa bila kemudian saya  saya bisa menyelesaikan membaca novel "Sang Pangeran dan Janissary Terakhir" hingga halaman akhir dengan metode baca cepat, sedangkan "In the Name of The Rose"  sampai hari ini belum selesai dibaca, padahal sudah dibaca cepat, sedang, maupun lambaaaaat banget.

Bukan secara kebetulan, saya memfavoritkan juga film "November 1828"  karya Teguh Karya yang dibintangi Slamet Rahardjo, Rachmat Hidayat dan Yenny Rachman (1979). Di mana film terbaik Indonesia sepanjang masa ini memang menukil sepotong fragmen  kecil perjuangan rakyat Indonesia yang dipimpin Pangeran Diponegoro melawan Kolonial Belanda.

Visualisasi film yang saya tonton puluhan tahun lalu itu membantu saya berimajinasi tentang sosok sebagian tokoh yang ada di novel "Sang Pangeran dan Janissary Terakhir". Tentu tidak seutuhnya, tetapi cukup membantu menghidupkan imajinasi agar novel tersebut bisa larut dalam pembacaan yang (harusnya) khusuk.

Selain itu, membaca novel ini juga mengingatkan saya akan serial silat "Api Di Bukit Menoreh" (SH Mintardja) yang juga pernah dibaca puluhan tahun silam saat taman bacaan menjamur di mana-mana, termasuk di Bandung di era 1990an. Saya kerap me-reimajinasi tokoh-tokoh sisipan dalam novel ini berbusana dan berkelahi seperti Agung Sedayu murid Kiai Grinsing di masa Panembahan Senapati yang hidup tigaratus tahun sebelumnya.

Bila harus menyebut kelebihan-kekurangan, tentu saya harus memastikan untuk membaca buku ini dua atau tiga kali lagi. Belum lagi, misalnya, mencari rujukan/bacaan lain yang bisa memperkaya proses pembacaan dan reimajinasi. Tetapi salah satu catatan yang menurut saya mengganggu adalah kemunculan frasa 'adalah syiap' yang diucapkan tokoh sebagai konfirmasi atas perintah tokoh lain.

"Adalah syiaaapp!" kata Wironegoro sambil meringis. Dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan mengangguk (hal. 207).

Konfirmasi Wironegoro pada Kapitan Joost yang sedang mengejar Basah Nurkandam dan Basah Katib itu dengan frasa 'adalah syiap' malah membuat saya teringat pada Atta Halilintar, Youtuber yang wara-wiri dengan jargon 'ahshiapp'-nya itu.

Lainnya, misalnya para tokoh yang bercanda di tengah ketegangan/konflik yang seharusnya membuat pembaca dalam 'tension' tak berkesudahan seperti saat menaiki roller coaster. Misalnya saja saat Adhi Legowo mempelesetkan 'off course' menjadi 'op kros', saat Syarif Hasan Munadi hendak menciduk Basah Katib. (hal. 494).

Tentu saja pengarang berhak menuliskan hal tersebut untuk menggambarkan bahwa bangsa kita ini, manusia pada umumnya, selalu mencari kesempatan untuk tertawa di tengah himpitan dan kesempitan. Tetapi bagi saya pribadi sebagai pembaca, malah melunturkan 'tegangan' yang mengganggu reimajinasi..

Lalu untuk siapa novel ini sebenarnya? Seperti disebutkan di awal, tentu saja untuk pembaca yang mau serius meluangkan waktunya membaca lembar demi lembar kisah perjuangan Pangeran Diponegoro yang mempengaruhi Nusantara -Indonesia kemudian. Tidak hanya untuk penggemar sejarah, aktivis dakwah, atau jamaah Ustad Salim A. Fillah --yang piawai merangkai lisan dalam  kajian Sirrah Nabawiyah di Majelis Jejak Nabi.

Pembaca yang baru mau serius juga tentu saja bisa sebagai upgrade menuju novel-novel 'kelas berat' lainnya. Tapi tentu saja pembaca Dilan atau Harry Potter akan 'termehek-mehek' membaca buku ini, seperti pelari pemula yang terpaksa harus mengikuti lari maraton sejauh 42 KM dengan tiba-tiba. Karena tidak cukup secangkir kopi dan sepiring gorengan untuk menyelesaikan novel yang seharusnya menjadi koleksi pembaca novel dan pembaca buku-buku sejarah.

Saya pun mendadak teringat "In The Name of the Rose"-nya Umberto Eco yang tak pernah selesai dibaca hingga sekarang....

Data Teknis:
Judul: Sang Pangeran dan Janissary Terakhir
Pengarang: Salim A. Fillah
Penerbit: Pro-U Media, Yogyakarta
Tahun: 2019
Cover: Softcover, 15,2 x 23,3 cm
ISBN: 978-623-7490-06-7
Tebal: 632 Halaman

#semuabacasangpangeran
#sangpangerandanjanissaryterakhir


Bukit Punclut, Bandung, 17 Desember 2019
Ricky N. Sastramiharja
Pecinta kopi Robusta yang kebetulan suka membaca, nonton film, dan main game
Sarjana Sastra Sunda Unpad yang lebih sering bicara Persib Bandung & sepak bola

3.10.2010

EKSOTIS: KATA YANG SERING DIPAKAI TAPI TIDAK KITA PAHAMI

http://6ix2o9ine.blogspot.com

Dalam berbagai kesempatan, saya seringkali mendengar atau membaca kata 'eksotis' diterapkan. Mulai dari aktivitas rumahan, pendidikan, hingga iklan. Dalam suatu kesempatan presentasi karya (video) akhir tahun lalu, penyelenggara memberi judul "Exotic Mentawai" untuk presentasi itu. Suatu hal yang sangat saya tidak setuju karena apa yang disajikan bukanlah suatu eksotika, juga karena pandangan ideologi saya akan kata ‘eksotik’ itu sendiri.

Untuk mengetahui apa itu ‘eksotis’, sebaiknya kita membuka kamus. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI 1976), eksotis didefinisikan sebagai: asing; jarang dapat (aneh, ganjil, luar biasa); garib; mis: banyak orang asing merasakan pertunjukan wayang sebagai sesuatu yang eksotis.(KUBI, 1976: 268). Sedangkan menurut Microsoft Encarta Dictionary 2009, kata exotic (adjective) didefinisikan sebagai strikingly different: strikingly unusual and often very colorful and exciting or suggesting distant countries and unfamiliar cultures. Dalam tesaurusnya, exotic (adjective) adalah: 1. unusual, out of the ordinary, striking, interesting, bizarre, mysterious, glamorous, colorful, outlandish, strange, different, exceptional. antonym: ordinary 2. from abroad. from abroad, tropical, alien, foreign antonym: familiar

Dengan memperhatikan definisi/batasan kata dari kamus dan tesaurus di atas kita bisa mendapat pemahaman tentang apa sih eksotika itu sebenarnya. Eksotika ternyata sangat berhubungan dengan cara pandang orang kulit putih (baca: Barat) dalam menilai dan memandang sesuatu yang mereka anggap tidak familiar dengan kehidupan mereka sehari-hari. Sebagai suatu keganjilan, keanehan di dunia tropis (ingat Indonesia berada di wilayah tropis!), dan sangat terasing.

Apa yang mereka rumuskan dalam kata eksotik itu kemudian kita telan utuh tanpa pernah berusaha untuk memahaminya dalam cara pandang timur-barat. Sebagai suatu bangsa yang besar dan beragam, serta kekayaan alam yang sangat banyak, kita dianggap sebagai 'sesuatu yang asing; alien' oleh peradaban barat. Celakanya, banyak di antara kita yang mengenyam pendidikan kemudian menelan mentah semua itu, mengaminini setiap kata yang dijejalkan, dan mengubahnya menajdi identitas kita.

Saya percaya bila memang ada upaya upaya politik pengaburan identitas agar kita lupa pada kekhasan budaya kita, pada identitas kita. Melalui pendidikan, tontotan televisi dan film, ideologi berkesenian tertentu, perlahan-lahan kita dicabut dari peradaban dan identitas kita sendiri.

Jejak-jejak itu, masih tampak dalam wilayah fotografi kita yang masih didominasi logika fotografi salon. Sebagaimana kita tahu, fotografi salon lahir di Indonesia pada era kolonialisme Belanda. Melalui agensi fotografi Woodbury and Page, dicitrakanlah Indonesia (Hindia Belanda) dalam foto-foto dengan label eksotis, yang disebarkan ke seluruh Eropa dalam bentuk foto kenang-kenangan (carte de visite),kartu pos, dan buku foto/photo book. Hal tersebut semakin dikukuhkan saat harga peralatan fotografi semakin murah dengan datangnya produk Kodak Brownie ke Hindia Belanda. Fotografer amatir bermunculan, bahkan terbit juga majalah khusus Fotografi 'De Camera' yang mengutamakan dogma estetika yang tinggi. Dogma estetika tinggi ini juga yang hingga kini masih menguasai benak para pelaku fotografi Indonesia. Mulai dari pelaku, industri, konsumen, dan pasar, kerap kali mengutamakan dogma ini. Dogma ini juga kerapkali menggunakan kata eksotis yang diterapkan pada foto-foto dengan konten komunitas masyarakat adat/lokal, perempuan-perempuan berwajah asia (asiatic), hingga pesona alam tropis.

Dalam dunia seni lukis, sejarah ribut-ribut aliran lukisan Mooi Indie tentu tidak boleh dilupakan. Karena pada aliran itulah Indonesia selalu digambarkan sebagai negeri yang cantik, aman,sentosa, dan sejahtera, yang tentu saja menarik banyak perhatian dan keinginan bangsa lain untuk memiliki (dan menjarahnya)

Di sinilah timbul permasalahan sebenarnya, karena kata eksotis tersebut, kita terapkan juga untuk menilai foto-foto yang sebetulnya berisikan citra masyarakat kita sendiri. Sebagai sesama orang Indonesia yang hidup di alam tropis, kita dengan mudah memberi label kata 'eksotis' pada foto-foto tentang diri kita sendiri. Dengan ketidaktahuan (atau ke-tidak ingin tahu-an?) kita memberi label pada diri kita sebagai 'asing, alien, tidak familiar, sangat berbeda'.

Penjajahan itu masih berlangsung ternyata. Dulu kita dijajah dan diperebutkan bangsa Portugis, Belanda, Inggris, dan Jepang secara fisik, kini kita dijajah melalui kata 'eksotik'. Celakanya, yang menjajah adalah diri kita sendiri. Kita bahkan tidak bisa bersahabat dengan saudara kita sendiri yang masih satu negara, satu wilayah kesatuan, serta satu panji-panji hanya melalui satu kata" eksotik. Kita menjajah saudara-saudara kita dan menaklukkannya dalam foto-foto berlabel eksotis yang kita anggap sebagai trofi kemenangan.

Kita sudah kehilangan sebagian Irian 1) karena Freeport menjadi representasi penjajahan Amerika Serikat di sana. Kita sudah kehilangan Indonesia saat modal asing menguasai jalur telekomunikasi kita melalui kepemilikan saham di operator-operator komunikasi. Kita sejatinya sudah kehilangan kedaulatan saat Jakarta dan kota-kota besar lainnya dikuasai modal asing. Kita juga kehilangan kedaulatan karena kita menjajah saudara-saudara kita sendiri dengan melabeli mereka dengan kata eksotis pada foto-foto yang kita buat. Jadi, masihkah kita mau menilai diri kita sendiri sebagai eksotis?

10 Maret 2010 M/26 Rabiul Awal 1431 H

Ricky N. Sastramihardja
Pecinta Kopi dan Fotografi

==========================================

1) Dengan tanpa mengurangi rasa hormat, saya lebih menyukai memanggil Papua dengan IRIAN. IRIAN adalah akronim dari Ikut Republik Indonesia Anti Nederland, yang diberikan oleh Soekarno dalam upaya pembebasan Papua Barat dari Belanda tahun 1969.


Referensi:
1. Michael Risdianto. Kantor Berita Foto Indonesian Press Photo Service (IPPHOS) 1946-1980: Studi Tentang Dinamika Institusi Fotojurnalistik di Indonesia. Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran, Jatinangor. Tidak Dipublikasikan.
2. Yudhi Soerjoatmodjo. The Challenge of Space : Photography in Indonesia, 1841-1999.Tempo, 16 Januari 2000: 172). Dapat dibaca secara online di: http://www.angelfire.com/id/mosista/article1.html
3.Jurnal Kebudayaan Kalam edisi 2 - 1994.
4. W.J.S. Poerwadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI). Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen P dan K. PN Balai Pustaka: Jakarta.
5. Microsoft Encarta 2009 Dictionary versi 16.0.0.1117