Showing posts with label Musik. Show all posts
Showing posts with label Musik. Show all posts

9.08.2023

Ary Juliyant: Lagu dan Pertunjukan Yang Tak Pernah Sama, Walau Serupa


Suatu waktu di pertemuan pertama dengan Ary Juliyant di pentasnya setahun silam di Gedung Putih Taman Pramuka (25 September 2022). Tour gerilya-nya yang ke-12 dengan tajuk "Bunyi, Rupa, dan Semesta" ini membawa penyanyi yang bermukim di Mataram Lombok NTB itu kembali ke Bandung diantaranya untuk adalah membawakan dua lagu yang paling populer: "Giri Sancang Sendiri" dan "Overhang" dari album Gairsh Boys yang rilis secara indie di tahun 90an.

Sedikit asing rasanya, pada saat itu, mendengar lagu yang pertama kali saya dengar sering di-cover Abah Donny sambil gitaran di Kampus Sastra 30 tahun lalu silam atau saat berkemah di Oray Tapa. Sedikit lain. 

Begitu saya mencoba mencari lagu tersebut di Youtube, juga Spotify, tambah merasa aneh: dua lagu tersebut tidak pernah dibawakan dengan cara yang sama.

Pengalaman ini berlanjut pula dari beberapa pertunjukan ke pertunjukan Ary Juliyant di Bandung yang berhasil saya dokumentasikan hingga tadi malam, Kamis 7 September 2023. 

***

Dari beberapa lagu lawas yang pernah saya dengarkan:  "Giri Sancang Sendiri, Overhang, Pernah Ada Sang Braga Stone", hingga anthem "Blues Kumaha Aing" yang ikonik dan menjadi semacam lagu wajib yang mengajak audiens untuk sing a long, tidak pernah sama dari pertunjukan ke pertunjukan, dari tur ke tur, dari panggung ke panggung. 

Juga beberapa lagu baru yang diujidengar pada penggemar di Layar.an Cafe dan IjiSociopetal Space: "Kerontang Malang Melintang" dan "Puncak Tak Bergeming". Dari dua pertunjukan yang digelar malam dan hari berbeda, dua lagu tersebut dibawakan dengan cara yang tidak sama, berbeda.

Suatu waktu pernah saya berbincang dengan Ary di sore hari sambil menikmati gorengan. "Kang mengapa setiap pertunjukan selalu berbeda? Bahkan saya merasa 'aneh' dengan lagu Giri Sancang Sendiri dan Overhang, karena berbeda dengan yang saya dengar melalui versi Abah Donny?"

Ary Juliyant tidak menjawab dengan tegas, namun ia menyebut bila setiap lagu memiliki cara untuk disampaikan ke pendengar. Diimprovisasi dan disesuaikan dengan apa yang ada dalam pikiran dan perasaannya saat itu.

"Giri Sancang Sendiri dan Overhang versi Abah Donny ya itu hasil interpretasi Abah. Saya juga memberikan interpretasi ulang terhadap (lagu-lagu saya) di setiap pertunjukkan." Demikian kurang lebih penjelasan Ary dalam perbincangan santai sore itu di sela hujan bulan November 2022 silam.

Dengan demikian memang menjadi menarik bila mengapresiasi karya Ary Juliyant adalah bukan hanya mendengar versi rekaman -live record atau studio- yang beredar via kaset atau vesi digital (Youtube, Spotify, atau platform lain). Tetapi juga dengan menyaksikan pertunjukkannya secara langsung. 

***

Ary yang seringkali tampil solo perform, memainkan berbgai alat musik yang dibawanya. Gitar, banjo, harmonika, tamborin, bahkan irish flute. Kolaborasinya dengan musisi lain, Abah Donny, Ammy Kurniawan, atau bahkan dengan rekan-rekannya di Gairsh Boys (Trihadi dan Jim Moniung) seringkali berlangsung spontan. 

Para musisi yang menjadi rekan bermainnya di panggung seringkali tidak tahu akan membawakan lagu apa. Bahkan beberapa diantaranya yang baru mereka dengar saat di panggung. Improvisasi, kata itu memang layak disematkan di setiap pertunjukkan Ary Juliyant, menjadi ciri khas yang penuh elemen kejutan, tidak hanya bagi musisi yang menemaninya bermain, juga para pendengarnya.

Apalagi salah satu kelebihan lain dari sisi musikalitas adalah seringnya Ary menggunakan teknik 'scatting' seperti yang sering dilakukan George Benson atau Mus Mujiono. Dalam definisi Wikipedia, scatting yang berasal dari musik Jazz adalah improvisasi vokal dengan 'vocable' tanpa kata, suku kata omong kosong atau tanpa kata-kata sama sekali. 

Dalam scatting singing, penyanyi berimprovisasi  menjadi melodi dan ritme menggunakan suara sebagai instrumen musik. Berbeda dari vokal, yang menggunakan lirik yang dapat dikenali yang dinyanyikan untuk solo instrumental yang sudah ada sebelumnya.

Seingat saya tidak banyak musisi Indonesia yang menggunakan teknik scatting singing ini, apalagi dalam live perform mereka. Hanya dua yang bisa saya sebut: Mus Mujiono dan Ary Juliyant. Mungkin masih ada yang lainnya yang saya tidak tahu. 



Seorang Ferry Curtis yang juga musisi, yang tadi malam berkesempatan hadir di pertunjukan Ary Juliyant yang masih bersinggungan dengan tur terbaru Troubadour's Trail 2023, menulis di akun instagramnya:

"Pertunjukan semalam keren, gradasi pertunjukannya terasa sekali.Masing-masing penampil menyajikan karya yang berbeda, mereka mewakili karya sesuai dengan jaman, cara pandang, lingkungan perkawanan di mana mereka hidup dan dilahirkan. Cara bagaimana mereka mengungkapkan isi dan gagasan, pemanggungan, dan gaya penyampaian pun semuanya menjadi khas dari masing-masing penyaji".

Ferry menuntaskan dengan pujiannya pada Ary sebagai sesi pertunjukan yang tanpa sekat. "Suasana tambah malam terus tambah hidup, guyub, atraktif, komunikatif, akrab disertai guyonan antara penyaji dan penonton tanpa sekat."

Ciri khas, ya cara Ary berimprovisasi dengan karya-karyanya, cara berkolaborasi dengan rekan-rekan musisi, juga dengan audiensnya adalah hal yang unik disamping karya-karyanya itu sendiri. Makanya menjadi penting untuk menyaksikan pertunjukan Ary Juliyant secara langsung/live adalah karena setiap pertunjukan, tidak pernah sama. Selalu unik, bahkan selalu ada hal yang baru di karya-karya lamanya.

Hal ini tentu sulit dilakukan pada pertunjukan musik populer yang diinisiasi industri rekaman dan industri pertunjukkan yang komersial. Di mana ada standarisasi bermusik, partitur, repertoar, jadwal dan playlist yang harus disajikan. Yang setiap lagunya harus dibawakan mendekati versi rekaman dan minim improvisasi. 

Pertunjukan Ary Juliyant yang hangat dan tentu saja selalu menarik untuk ditunggu dari pertunjukan ke pertunjukkan karena selalu ada element of suprise-nya.

Ricky N. Sastramihardja

09092023

2.13.2008

Yeah Yeah Yeahs

Yeah Yeah Yeahs

Anjrits. Pertama kali denger garage rock asal New York via headphone rasanya seperti masuk neraka. Lengkingan parau Karen O dan distorsi gitar si Nick Zinner sungguh memekakan telinga. 1st impression adalah: an***ing, ini mungkin suara lengkingan dari neraka.... Tapi lama kelamaan, lumayan, walau sudah lebih nyaman tetap saja Yeah- Yeah Yeahs sungguh tidak enak didengarkan melalui earphone mp3 player atau headphone yang nyolok ke soundcard PC. Tapi kalau didengar pake speaker yang besar dengan power besar dan tentu volume disetel kenceng, Yeah Yeah Yeahs cukup asyik untuk didengar sekaligus teriak-teriak meluapkan amarah pada para debt collector atau boss yang menyebalkan atau...

Seperti dengar Rage Again The Machine jaman dulu, yang antara nyanyi dan marah gak ada bedanya. Dalam versi lain, Yeah Yeah Yeahs dan RATM adalah para pemarah beroktan tinggi yang kebetulan sedang main musik...

Di versi lain, Doels Soembang juga pengennya marah-marah melulu. Entah kenapa belakangan ini lagu-lagunya yang kritis kok rasanya emosional. Semua orang dimarahin, Mulai dari koruptor, tante girang dan om senang,ABG, drug user, sampe laki-laki sok jago tapi gak bisa ngasih makan anak istri...

Sekarang sih, di tengah volume kerja yang sedang lumayan hot sebagai "juragan', enaknya dengar old recording reggae atau ska. Mulai dari Bob Marley, Peter Tosh, UB 40, The Police, Tipe X, Shaggy Dog, Steven and The Coconuts Trees, sampe Souljah. Adem... Ga perlu sambil pake barang begituan, reggae, ska , juga dub tetap enak didengar sambil angguk & geleng kepala dalam kondisi sadar...

Tapi kalo lagi rush hour, ya denger aja lagi tuh Yeah Yeah Yeahs dan RATM...

12.19.2006

Portable Music Player

http://6ix2o9ine.blogspot.com

Siapa sih yang tak kenal musik? Bila telinganya berfungsi dengan normal, dapat dipastikan pasti mengenal musik. Selain itu, toh musik tidak melulu seperti yang kita biasa dengar. Bila musik didefinisikan dengan adanya irama, maka ikan paus menurut para ahli biologi kelautan pun mengenal musik.Tapi tentu saja ikan paus tidak memerlukan portable music player seperti manusia. Setidaknya sampat saat ini.

Portable Music Player (PMP) adalah salah satu temuan revolusioner yang mengubah wajah peradaban dewasa ini. Kebutuhan manusia untuk menghibur dirinya dengan musik tampaknya merupakan alasan utama terciptanya gadget ini. PMP dewasa ini dapat ditemui dlam berbagai ukuran, bentuk dan format, harga dan kualitas.

Semuanya dimulai saat Sony memperkenalkan Walkman di jalanan Ginza Tokyo di akhir 70-an. Akio Morita, sang godfather Sony Corp. yang pecinta berat musik, saat itu menginginkan sebuah PMP yang ringan, ringkas, dan murah. Lalu bersama para ahli di Sony, Akio Morita berhasil mewujudkan Walkman. Sebuah piranti pemutar musik dengan media kaset yang segera saja menjadi wabah di dunia. Siapa sangka, walkman kini menjadi nama generik untuk setiap PMP yang menggunakan kaset. Tak peduli apapun merknya, PMP tersebut dipanggil dengan nama Walkman. Sama nasibnya dengan Handycam untuk Camcorder, aqua untuk air minum kemasan, silet untuk pisay cukur.

Tahun 2000, adalah era booming gadget digital. Harga yang semakin murah dan kinerja yang semakin baik, membuat gadget digital mulai menjadi kebutuhan wajib untuk setiap orang. Ponsel (HP), kamera digital, televisi, radio, komputer, microwave, kulkas, dan banyak barang lama kelamaan dibirancang dan dibuat dengan menggunakan teknologi digital. Termasuk di dalamnya PMP.

Untuk PMP sendiri, revolusi terbesar adalah dengan ditemukan format MP3 (Motion Picture Experts Group 1, Audio Layer 3) di awal 1990an. Di mana pada saat itu orangbisa mendoenload lagu dari internet. Tentu saja awal tahun 90an di Eropa atau di Amerika sana. Sebab sepanjang yang saya ingat, format MP3 baru mulai banyak dibicarakan umum di Indonesia sekitar tahun 1995-1996. Itupun masih perlu komputer yang cukup tangguh. Seingat saya, minimal komputer setara Pentium 1 yang dapat memaiknkan musik dengan baik. PC dengan prosesor intel 486DX masih terengah-engah memainkan mp3.

Kini, format mp3 adalah format yang umum digunakan. Walau ada format terbaru AAc, Ogg Vorbis, dan lainnya yang dikeluarkan untuk menyaingi MP3, tetapi MP3 masih yang terpopuler. Setidaknya di Indonesia, di mana bisnis musik bajakan adalah pemandangan umum sehari-hari. Berbagai macam pemutar MP3 dapat ditemui. Baik itu berbentuk PMP seperti iPod, Creative Zen, atau dalam CD/VCD/DVD player. Bahkan kinio pun ermunculan ponsel yang selain dilengkapi kamera, juga dilengkapi PMP. Kualitas suara? Boleh diadu dengan stereo set hi-fi berat besar dan mahal yang pernah dipakai bapak-bapak atau kakak kita di tahun 1980-1990an. Suaranya lebih dari cukup. Keren!

Saat bekerja di Balikpapan, saya membeli 2 PMP. Yang pertama Portable CD Player, yang kedua USB Digital Music Player. Yang pertama, sperti halnya walkman, terlalu besar untuk di simpan di kantong celana, boros daya (2XAA Baterry), dan sering skip bila dibawa jalan. Selain itu tidak ada radio dan LCDnya hanya mampu membaca nomor track/angka, bukan judul/alfabet. Tapi mainan yang ini tidak tergantung pada komputer serta dapat memutar VCD. Kapasitasnya bisa untuk memainkan sapai 150 lagu dengan asumsi satu keping CD 700MB dapat memuat 150 lagu. Bila bosan CD lama, tinggal pergi ke kali lima, bisa beli CD bajakan terbaru dengan lagu-lagu baru juga.

Yang kedua, merk murah meriah, ukurannya kecil, lk. sebesar 2 ibu jari dewasa, ringan, mudah ditenteng, trendy, dan hemat daya (1XAAA baterry). Gadget yang kedua ini kapasitasnya hanya 512 MB, cukuplah untuk menampung 100-120 lagu mp3, sangat tergantung komputer untuk pengadaan lagu, tapi memiliki di dalamnya terdapat radio FM, voice recorder, serta dapat menapilkan nama artis dan judul lagu. Kelebihan lain, dapat dijadikan USB Stick/Flashdisk untuk menyimpan dan membawa data digital.

Tebak berapa harganya? Berkisar Rp, 225 Ribu rupiah untuk masing-masing gadget! Harga yang sangat murah untuk teknologi terbaru. Bayangkan, tahun 1994 saya pernah membeli Walkman Sony lengkap dengan radio dan recorder, juga dengan harga berkisar di Rp. 225.000!!! Bahkan, mungkin saat ini khusus untuk Digital PMP, dengan harga yang sama mungkin sudah didapat kapasitas yang lebih besar.

Yeah-yeah-yeahs, permasalahan yang utama adalah: alat-alat digital, termasuk MP3 Player, adalah piranti yang rentan dengan aktivitas pembajakan. Coba, siapa sih yang permah beli CD atau MP3 Orisinil? Seingat saya, terakhir kali saya membeli CD Audio orisinil adalah saat membeli album Iwan Fals du tahun 2003. Kaset terakhir yang saya beli adalah Forty Licks-nya Rolling Stones, Sinten Remen, dan Naif. Semuanya di tahun 2003, saat saya masih memakai 'walkman'Aiwa.

Sekarang? Uh, seperti saya bilang, tinggal jalan sebentar ke kaki lima. Beli CD MP3 bajakan, copy ke komputer, lalu copy ke Digital PMP. Beres. Atau, 'ngacak-ngacak' komputer teman, cari folder koleksi MP3nya, copy ke CD atau Digital PMP. Beres.BAhkan sringkali ada 'bonusnya': foto-foto porno atau video porno. Yeah, dunia digital, memang merevolusi banyak hal...

Rolling Stones

http://6ix2o9ine.blogspot.com

Minggu sore, kamar yang lama tak ditinggalkan, kembali dibenahi. Berbagai barang, buku, dan oh... sampul CD Sticky Finger dan Sampul kaset Forty Licks-nya Rolling Stones yang lama 'menguap' ternyata tergeletak dalam kotak sepatu yang berdebu.

Jadi teringat ribuan file musik digital (*.mp3) yang semakin menyesaki harddisdk dan sebagian masih berada dalam CD. Teringat pula akan kaset Si Rolling Stones yang memang hanya tinggal sampulnya saja. Isinya, entah ke mana. Tapi walaupun kasetnya ada, tentu akan bernasib lebih buruk. Sebab semenjak booming digital music, praktis kegiatan mendengarkan musik beralih dari cassette player ke komputer, cd player, juga mp3 player 512 Mb merk murah merah yang kubeli beberapa bulan lalu. Cassette player? Uh sudah entah kemana... Bangkainya saja sudah tak ada...

Kembali ke Rolling Stones. Group musik legendaris dari Inggris ini memang keren. Bahkan semenjak saya masih anak singkong di kampung. Tetangga, para anak muda waktu itu, dengan bangga memakai kaos bercorak Union Jack yang masih benderanya Inggris (yang kemudian dikenal sebagai kaos Inggris), atau kaos ketat bergambar 'biwir jeding -letah ngelel' (bibir memble, lidah menjulur) yang dikenal sebagai logo band Rolling Stones. Ini akhir 70-an dan awal 80-an, seingat saya. Dari casette player tetangga kiri-kanan-depan-belakang jeritan Mick Jagger dengan Honky Tonk Woman, Suzie Q, Dead Flower bersahut-sahutan. Sungguh masa kanak-kanak yang asyik.

Di sudut lain yang sepi dan sempit, segerombol anak muda dengan diam-diam meniru kebiasaan nyimeng dan fly seperti yang biasa dilakukan musisi rock 'n roll saat itu. Di daerah Balubur, sampai ada sebuah gang yang dinamakan gang Stun, karena dulunya sering dipake nyimeng bareng-bareng sambil mendengarkan lagu-lagu stun. Stun (Stones) pun dikenal secara internasional sebagai bahasa slang untuk kegiatan nyimeng.

Anak-anak seumur kami pun asyik ber-stun-stun-an. "stun A, Stun B, Stun C, lariiii, sembunyi...", adalah bagian dari permainan kucing-kucingan. Belakangan beranjak remaja, saya baru tahu kalau Stun A-Stun B-Stun C adalah pelesetan, Di mana bila ada band kampung manggung di acara 17-an, bagaimanapun gayanya, selalu diminta untuk membawakan lagu Rolling Stones. " Stun A, Stun A!!!", demikian teriak para penonton kampung terhadap band kampung yang main di acara 17-an di kampung. Salah satu yang kuingat, saat itu di kampungku sebuah band kampung dengan pede meniru gaya personil Rolling stones saat manggung. Mulai dari kostum hingga stage attitude. Tapi yang mereka bawakan adalah lagu Nusantaran-nya Koes Ploes dan Borobudur-nya Julius Sitanggang (Hey, bagaimana kabarnya Abang satu ini?)

Hampir seperempat abad kemudian, tepatnya tahun 2002, EMI meluncurkan double album Forty Licks, berisi 40 lagu terbaik dan klasik dari Rolling Stones. Di sticker yang tertera di kaset berbunyi, "For the first time ever! The Definitive Rolling Stones Collection. 40 Remasteres Stones Classics Including 4 brand new songs". sampul berwarna dasar putih dengan gambar "letah Ngelel" berwarna-warni dan yang satunya judul lagu-lagu dalam double album itu.

Yeah, Rock 'N Roll is back baby. Aroma era 60-70an kembali meruyak seiring terdengarnya lagu-lagu Stones dari album 40 Licks. Walau menurut saya, Forty Licks tidak cukup memuaskan karena ada beberapa lagu yang tidak masuk kompilasi. Padahal dalam hemat saya lagu-lagu itu pantas dimasukkan dalam kompilasi itu untuk selanjutnya diperkenalkan pada generasi muda penerus bangsa RockNroll. sebut saja Dead Flower dari Album Sticky Finger, Sitting on A Fence, Suzy Q, Route 66. Yang sangat menyedihkan, Confession The Blues, Little Red Rooster yang sangat nge-blues tidak masuk, Padahal lagu-lagu itu adalah lagu klasik yang sangat RockNRoll dan mempengaruhi banyak lagu di kemudian hari.

Tapi memang seperti apa yang ditulis David Wild dalam pengantarnya "To some Forty Licks may be just some sort of pretty package, a handy souvenir, a convenient bit of mass musical merchandise. But for who those... here the first time ever in one place is nothing less than the Rosetta Stone of rock 'n roll, a living Bible for bad boys and girls of all ages..." Album forty Licks-nya Rolling Stones memang lebih dari sekedar kaset, tapi juga panduan gaya hidup bagi Rock N Roll enthusiast.

Dari sisi fashion, penampilan trend fashion anak muda juga kembali bergaya vintage rocknroll. bercelana jeans ketat dan berkaus ketat, rambut dipolem (poni lempar) atau bergaya rancung-gondrongnya Keith Richard. bahkan di Bandung, yang saya tahu, ada satu grup band yang berdandan a'la rock 'n roll dan hair do a'la Keith Richard. Yang keren, seluruh personil band tersebut seragam bergaya demikian. What a pity...

Bahkan beberapa group band scene lokal Bandung pun beberapa di antaranya kembali membawakan rock 'n roll dengan taste dan pengaruh kental Rolling Stones. Sangat nyetun. Stun lokal.

Eternal Recurrence of All Thing. Setelah era hingar bingar Hard Rock-Heavy Metal-Grunge-GrindCore-Nu Metal-Hip Metal, kini kembali bergaya rock n roll. Sambil terkantuk-kantuk karena begadang setelah melembur sampai pagi, saya mencoba mengobati kekecewaan saya dengan mengkompilasikan sendiri lagu-lagu Rolling Stones yang menurut saya keren. Dan oh, terkumpul sedikitnya 65 judul lagu... Saya berharap akan ada kompilasi resmi 65 licks dalam 4 album. Siapa tahu, dalam rock n roll selalu banyak yang bisa terjadi. ya, siapa tahu. Yeah...