12.01.2020

Ust. Budi Hata'at, Lc Episode 2: Syirik

 Kuliah Tauhid Bersama Ust Budi Hata'at, Lc, Direktur At-Tarahum Foundation episode 2: Syirik

Klien: Ashabul Kahfi Foundation/Prima Kusumahwardana

Videografer: Ricky N. Sastramihardja



Ust. Budi Hata'at, Lc Episode 1: Makna Tauhid

 Kuliah Tauhid Bersama Ust Budi Hata'at, Lc, Direktur At-Tarahum Foundation episode 1: Makna Tauhid.

Klien: Ashabul Kahfi Foundation/Prima Kusumahwardana

Videografer: Ricky N. Sastramihardja




UNIK! MOTOR INI DAPAT MENGANGKUT BANYAK MUATAN SEKALI JALAN!

Ojeg Keuyeup adalah kendaraan roda dua modifikasi hasil kreatifitas warga di pegunungan, khususnya di Desa Cicadas, Kecamatan Rongga, Kabupaten Bandung Barat.

Modifikasi motor bebek menjadi kendaraan angkut yang praktis, ringkas, dan tangguh di jalan-jalan pedesaan.



SEBELUM DITATA, SEPERTI INI PENAMPAKAN CURUG MALELA!

 Video bulan Mei 2018 sebelum ada penataan Curug Malela



EKSKLUSIF: BINCANG RINGAN DENGAN ADMIN @HISTORYOFPERSIB

 Akhirnya setelah sekian lama, di musim pandemi ini, di saat liga berhenti, Mang Ricky berhasil 'merayu' Abah @historyofpersib di Twitter. Berbincang ringan selama kurang lebih setengah jam, dengan Kang Anggalarang, admin akun Pepersiban yang aktif mengulas sejarah Persib Bandung.

Untuk CATATAN KETJIL, buku elektronik karya Kang Angga, berikut tautannya:

https://drive.google.com/file/d/1x3tOHKNjFKGmbvjmdGuQ0bDIcK-5ZxtH/view

Untuk KOMPILASI TULISAN 87 TAHUN PERSIB, berikut tautannya:

https://drive.google.com/file/d/1Uj_iQrPOcxrAWurOu3zs0Zi0erf3IdyL/view

Link Youtube Abah History of Persib  @Ramakala Official  




MENGGEMPARKAN! KEMBALINYA IMAM BESAR UMAT ISLAM INDONESIA! (FULL)

IB HRS pulang setelah 3,5 tahun 'disingkirkan' ke Saudi Arabia. Imam Besar Umat Islam itu tiba di tanah air Selasa pagi 10/11/2020 dari Jeddah.

Berikut adalah kompilasi video yang bertebaran di Twitter dan diunggah oleh banyak akun. Diantaranya: Darkah_Back, DPPFPI_ID, HabibRizieq_ID, are_inismyname, mcaops, intelijenF, alihinduan4, kenmiryam, ·Mylova211, peni_me, MT_Reborn, ronin_minang



INILAH APLIKASI YANG 'WAJIB' DIINSTALL DI PONSEL PARA PENCINTA GUNUNG!

 Terpesona dengan gunung tetapi tidak tahu namanya? Di era digital ini ada solusinya: PEAKFINDER. Aplikasi yang pertama muncul di 2010 (iOS) 2014 (Symbian, Android) dibuat oleh Fabio Soldati.

Harganya murah, hanya Rp. 67.000 untuk iOS-Playstore. Berikut rangkuman dan keistimewaan PeakFinder versi Mang Ricky!




BERBINCANG DENGAN COACH ICANK: PENELITI PERTAMA VIKING PERSIB CLUB

Coach Icank a.k.a R. Faisal Abdillah berhasil meraih gelar sarjana antropologi dari Fisip Unpad seteah melakukan penelitian mengenai profil Viking Persib Club di tahun 1998-2000.

Simak keseruan saat melakukan riset terhadap Viking Persib Club yang di awal berdirinya baru diikuti puluhan orang saja hingga kemudian menjadi kelompok suporter yang fenomenal.



ASYIK-ENGGAK ASYIKNYA AMAZFIT STRATOS, INI 11 FAKTANYA!

Amazfit Stratos, sportwatch murmer dari Huami dirilis tahun 2018 menggantikan Amazfit Pace. Dengan  waterproof 5 ATM tentu ia lebih baik dari kakaknya itu sedangkan harganya lebih miring dari produk lain. Setelah dua tahun rilis dan digantikan oleh Stratos 3, apakah Stratos masih layak? Ini faktanya!



10.10.2020

AKSI DAMAI DINYINYIRI, APALAGI YANG RUSUH! #TOLAKOMNIBUSLAW


Tahukah kamu, UU CILAKA sekitar 1000 halaman itu setara dengan 2 rim kertas A4 setinggi ± 10 cm dengan berat ± 2,5 Kg?

Sudahkah kamu membacanya? Kalau sudah, daekan ih membaca #OmnibusLawSampah yang dibuat tanpa memperhatikan aspirasi & melibatkan partisipasi publik.

UU Cilaka dengan ratusan pasal itu adalah UU lintas sektoral yang hendak merangkum ratusan UU yang dianggap bermasalah. Mulai tenaga kerja, investasi, pendidikan, lingkungan, bahkan produk halal.

Alih-alih menyelesaikan masalah, justru berpotensi membuat masalah baru karena isinya bertentangan dengan UUD 1945. 

UU Sapu Jagat serupa ini, pernah dibuat di AS pada abad ke-18 untuk melegalisasi perbudakan di AS. UU ini dicabut pada tahun 1865 oleh Abraham Lincoln karena bermasalah.

UU Cilaka di Indonesia dibikin tergesa-gesa dan cacat prosedural dalam pengesahannya. Tidak jelas kajian akademisnya. Hanya menguntungkan segelintir penguasa dan pengusaha serta kroninya.

UU Cilaka ini juga masih memerlukan ratusan turunan peraturan pelaksana, yang justru membuat semakin tidak efisien. Apalagi penyusunan peraturan turunan ini, menurut pemerintah, juga akan dikebut dalam 3 bulan.

Jadi abaikan para Sahabat Halte dan Sahabat Itik yang mengalihkan fokus kita agar lupa substansi masalah. Biarkan kaum Dungu itu menyibukkan diri dengan terbakarnya halte dan kerusakan fasum.

Kita sesalkan aksi ini berakhir rusuh. Tetapi kita harus ingat, aksi 212 yang berjalan damai pun tetap dinyinyiri kaum Londo Ireng untuk mereduksi fakta dan kebenarannya.

Jadi apapun yang terjadi dalam aksi dari tanggal 5-8 Oktober 2020 dan aksi lanjutan, tetap akan dinyinyiri para Londo Ireng.

Kita dorong Si Ceking Tapi Rakus itu agar mencabut UU bermasalah sesegera mungkin sebelum korban berjatuhan. Tidak perlu judicial review ke MK karena kita tahu, MK juga sudah disusupi kepentingan mereka. Ingat RUU KPK atau BPJS yang walau sudah dimenangkan MK tetapi tetap dijalankan oleh Rezim Kodok Merah ini.

Apalagi UU CILAKA ini dibuat dengan menyalahi prosedur.

#TolakOmnibusLaw sampai ke akar-akarnya.

Selamatkan anak cucu kita dari perbudakan di balik UU yang tidak jelas isinya dan cacat prosedural.

Ini bukan tentang kita, tapi demi mereka, anak cucu kita agar jangan sampai menjadi budak di negeri sendiri.

10.08.2020

TOLAK OMNIBUS LAW, BANDUNG 'BERGOYANG' DI TENGAH PANDEMI!



Aksi menolak #OmnibusLawSampah tampaknya tidak mengusung jargon aksi damai. Dari pantauan di Twitter, dalam dua hari ini  (5-6/10/2020) aksi di banyak kota selalu berujung bentrok dengan aparat kepolisian

Pun di Bandung, yang dianggap sebagai salah satu patokan sebagai 'kota adem dan santuy'. Hingga ada seloroh bila Bandung sudah 'bergoyang' maka ini adalah tanda bila kondisi negara sedang tidak baik-baik saja.

Taman Dago Cikapayang Selasa kemarin (5/10/2020) dirusak massa yang marah. Gedung DPRD Jawa Barat memanen asap gas air mata. Pentungan polisi bergerak ke sana kemari, menyabet membabi-buta untuk membubarkan massa yang terdiri dari kaum Mahasiswa, pelajar, Buruh, dan banyak lagi.

Di linimasa media sosial  juga tak kurang garang. Penolak Omnibus Law sudah tidak segan lagi mengeluarkan makian yang sangat kasar sekalipun. Hal ini dikarenakan pihak pro pemerintah juga mengeluarkan konten yang menolak klaim para penolak.

Seperti biasa,  para buzzeRP pro pemerintah selalu menyebut HOAX pada klaim penolak anti kebijakan pemerintah. Pola yang sama yang dilakukan sejak 2013 semenjak kelompok Jasmev melakukan kampanye pemenangan Jokohok di Pilgub DKI.

Artis-artis yang di masa pemerintahan SBY begitu garang mengkritik pemerintah dengan lagu-lagunya, di jaman ini kerongkongannya seperti tersumpal kaos kaki basah. Sebut saja Slank atau Iwan Fals atau band-band underground beraliran kiri.

Tak ada lagu yang mereka nyanyikan untuk mengkritik pemerintah Jokowi. Akun media sosial mereka cenderung sepi.

Beberapa tokoh masih tampak berusaha menjilat. Hingga menurut kang Rihan Handaulah mah "Inilah karamah pak jokowi, semua orang selalu berhusnuzhan ke beliau. Tidak ada habisnya voucher kekaguman org2 padanya yg dimilikinya. Luar biasa," tulisnya mengomentari twit Haidar Bagir yang terus memuji dan enggan menyalahkan Jokowi.



Selain bentrok massa dengan petugas keamanan, di beberapa tempat aksi juga dilakukan dengan  menutup jalan nasional. Akibatnya sudah dapat dipastikan bila jalur transportasi terganggu, dan hal ini bisa mengganggu proses distribusi ke pabrik-pabrik.

Aksi yang serentak ini seolah tidak mempedulikan wabah yang sedang terjadi. Karena para pengunjuk rasa anti Omnibus Law tahu, wabah akan berhenti suatu hari nanti. Tetapi Omnibus Law akan semakin merajalela usai wabah. Omnibus Law akan merampas hak dan kemerdekaan manusia Indonesia.

Tidak hanya ancaman perbudakan yang akan mengancam anak cucu. Tetapi lingkungan dan alam sekitar pun akan terampas hak hidupnya oleh kekuasaan dan oligarki yang rakus. Untuk mempercepat investasi, Omnibus Law menghilangkan amdal. Tanah yang subur untuk lahan pertanian bisa dikonversi menjadi lahan industri. Hutan dan gunung dan isi boleh dieksploitasi sesuka hati, terutama oleh pengusaha tambang dan sawit.

Maka menjadi wajar bila aksi dua hari ini dan entah beberapa hari ke depan, diwarnai kekerasan dan bentrok massa. Meminjam komentar Mas Billy Sabil Zaidanezaro, hal ini menjadi logis karena sudah 7 bulan manusia Indonesia didera tekanan berat akibat pandemi.

"Logis dong kalo serentak. Dari Maret orang udah nahan perut laper,nunggak cicilan,susah mikir sehat, dan 7 bulan masih nothing. Ini bicara ttg momentum. Tetap berjuang!", cuit Billy.

Lalu apa yang bisa kita bantu di linimasa media sosial kita? Dukung mereka yang menolak omnibus law. Berpihaklah. Ini bukan tentang kita hari ini. Tapi tentang mereka, anak-anak kita yang terancam menjadi budak. 

Gunakan bahasa yang santun dan tidak provokatif, karena polisi mengintai pergerakan media sosial dengan perangkat UU ITE. 

Bagi yang mau mengikuti aksi, selalu terkoneksi dengan simpul-simpul massa. Jangan sendirian, usahakan berkelompok minimal ber-3. Terapkan protokol kesehatan. Bawa masker dan pelapisnya, hand sanitizer, air minum dan makanan secukupnya.

Bila perlu siapkan larutan magasida, sarung tangan tebal dan kacamata renang/google. Kita akan berhadapan dengan gas air mata yang dibeli dengan memakai uang pajak yang kita bayarkan pada negara.

Dan buruh bukanlah kata yang hina, karena kita semua umumnya buruh. Siapa saja yang menerima upah dari orang lain, baik itu di pabrik, di toko, di kantoran, di rumah sakit, di ruang kelas, di meja gambar, di balik komputer, di ruang ber-AC, di balik jas dan dasi, adalah buruh.


Bandung, 6 Oktober 2020

#TolakOmnibusLaw #OmnibusLawSampah #MosiTidakPercaya

Have ears but don't listen

have eyes but don't see

Got no faith in the government

That's why we need each other

hey Laughin' to keep from cryin'

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan, dituduh subversif dan mengganggu keamanan, maka hanya ada satu kata: LAWAN! 

- Wiji Thukul-

#MahasiswaBergerak
#BuruhBergerak

#JokowiBiangOmnibusLaw

#TolakOmnibusLaw 

#OmnibusLawSampah 




9.24.2020

TAKDIR SANG SOCIAL CLIMBER


Korban adalah social climber. Demi pengakuan dari komunitasnya, selama perjalanan ke Bandung mengunggah banyak status dan foto di media sosial.

Padahal Persib sudah melarang suporter tamu untuk datang. Persija juga sudah melarang suporternya untuk ke Bandung.

Tidak hanya itu, himbauan juga dikeluarkan PP Jakmania. Bahkan seorang legenda Persija, Bambang Pamungkas, juga memberikan larangannya.

Semua larangan sudah disebar melalui media sosial dan media massa. Larangan itu adalah untuk MENCEGAH ADANYA KORBAN

Tetapi korban (dan banyak suporter Persija lainnya) tetap nekad ke GBLA untuk mendukung Persija dengan cara SEMBUNYI-SEMBUNYI. Melanggar LARANGAN dan KESEPAKATAN antara kedua belah pihak.

Akibatnya, seperti yang sudah terjadi, menyepelekan larangan berakibat fatal KEMATIAN.

Siapa yang bisa mengontrol emosi massa? Siapa yang bisa mencegah amuk massa? Anda berani melerai massa yang sedang diamuk marah?

Tahun lalu almarhum Riko wafat di tribun GBLA saat melindungi Jakmania yang tertangkap MENYUSUP. Riko adalah anggota Viking Frontline.

TIDAK ADA YANG ALASAN APAPUN MEMBENARKAN PENGEROYOKAN INI. Bobotoh pelakunya tetap bersalah dan harus dihukum.

Tetapi menghukum Persib Bandung, Bobotoh lain adalah bukan solusi. Karena Persib sebagai institusi sudah mengoptimalkan segala kemampuannya.

Organisasi-organisasi Bobotoh juga sudah melakukan hal yang sama. Kepolisian juga sudah memberikan yang terbaik.

Jadi daripada memperkeruh suasana, sebaiknya yang tidak mengetahui duduk perkaranya, untuk menahan diri tidak berkomentar.

Kami, kita semua prihatin dan menyesalkan perbuatan ini. Biarkan dan kita bantu kepolisian untuk mengungkap dan menuntaskan kasus ini.

RNS

sebuah catatan lama yang semula ditayangkan di akun Facebook pribadi saya, 24092018. Sehari setelah kejadian berdarah. Tulisan ini sempat viral dengan ribuan shares dan react, ribuan komen, dan juga ribuan cacian. Dicopas dimana-mana dan dihilangkan identitas penulis asalnya :)

 https://www.facebook.com/photo?fbid=472789586561173&set=a.246666702506797

6.04.2020

"SURVIVAL FAMILY", SAAT DUNIA KEHILANGAN ENERGI



Bagaimana bila dunia mendadak kehilangan energi-nya? Kalimat  itu sering saya saya simak dalam kajian akhir zaman di Youtube.

"Dunia akan kehilangan energi dan manusia akan kembali ke teknologi manual," demikian salah satu poin yang disampaikan oleh Ust. Rachmat Baequni dalam sebuah kajiannya yang ditayangkan di kanal video tersebut.

Berdasar 'petunjuk' Priyatna Harun, ternyata ada sebuah film Jepang, "Survival Family" yang mengira-ngirakan bagaimana bila manusia hidup tanpa teknologi, tanpa sumber daya energi, dan harus tetap hidup selama berhari-hari, berbulan, bahkan bertahun lamanya.

Alkisah suatu pagi di Tokyo, tiba-tiba listrik mendadak padam. Tidak hanya alat-alat elektronik seperti televisi, radio, komputer, kamera hingga ponsel, kendaraan pun tidak bisa dioperasikan: mobil, motor, kereta api, hingga pesawat terbang.

Penduduk Tokyo yang semula mengira kejadian tersebut hanyalah 'aliran' (pemadaman listrik), mulai kesulitan untuk minum, makan, berkomunikasi, dan beraktivitas seperti biasanya. Alat penunjuk waktu: jam, jam tangan, dan beker pun tidak menyala sama sekali, semua berhenti di pukul 03.30.

Setelah berhari-hari tanpa kejelasan kapan listrik akan kembali menyala, keluarga Yoshiyuki Suzuki, yang terdiri dari empat orang: Ayah, Ibu, dan 2 orang anak berusaha keluar Tokyo.

Suzuki sang ayah, berusaha menyelamatkan keluarganya dengan mengungsi keluar Tokyo menuju Kagoshima, rumah mertuanya, yang berjarak 1357 km dengan bersepeda.

Perjalanan tersebut ditempuh keluarga Suzuki selama lebih dari 100 hari, tentu dengan suka-dukanya. Bagaimana mereka yang terbiasa hidup dengan menggunakan teknologi, harus memeras otak dan tenaga agar bisa bertahan hidup dan sampai di Kagoshima yang merupakan wilayah pedesaan.



Bagaimana mereka yang terbiasa meminum air kemasan atau air bersih, terpaksa harus minum air aki (aki zuur). Atau misalnya kebingungan karena tidak bisa membuat api di saat korek api habis.

Mereka harus bisa membuat api, memasak dengan peralatan sederhana dan seadanya, mengolah air minum, mengolah bahan makanan. Mereka juga dipaksa untuk memiliki stamina dan kondisi tubuh yang prima agar bisa bertahan hidup di tengah terpaan cuaca.

Digambarkan juga uang menjadi tidak berharga dibanding makanan dan air. Uang tidak bernilai, ATM dan pembayaran elektronik tidak bisa dilakukan. Transaksi ekonomi kembali ke sistem barter. 

Kebersamaan keluarga juga menjadi hal yang penting, karena sepertinya film karya sutradara  Shinobu Yaguchi (2016) ini juga mengingatkan kita akan hal itu.

Film berdurasi 117 menit ini menjadi film yang menarik buat disaksikan bersama keluarga di masa pandemi. Selain untuk mengingatkan tentang kemungkinan yang akan terjadi bila dunia mendadak kehilangan energi, juga untuk pengingat agar kita tidak tergantung dengan teknologi.

Kita bisa mulai belajar hal-hal yang bersifat manual tanpa tergantung peralatan canggih: membaca peta, membaca cuaca, mencari dan mengolah bahan makanan, memasak, berkomunikasi, mengolah raga, dan banyak hal lainnya.

Di akhir cerita yang 'happy ending' tidak disebutkan apa penyebab dunia mendadak kehilangan energi-nya. Setelah dua tahun keluarga Suzuki kembali ke Tokyo dan kemudian terbiasa menggunakan teknologi sederhana untuk beraktivitas sehari-hari.

5.16.2020

MEMBACA JUDUL BERITA DI TENGAH WABAH


Tirto.id menulis judul MENGURAI PENYEBARAN COVID-19 KLASTER 'SEMINAR KEAGAMAAN' DI BANDUNG (30/5/2020).

Detik. com menulis IMAM POSITIF NEKAT PIMPIN TARAWIH DI TAMBORA, 9 JEMAAH KENA CORONA

Berita yang rilis di Tirto.id mengurai potensi 2000 jemaah Gereja Bethel Indonesia (GBI) terkena Covid-19.

 "Hernawan Widjajanto mengindikasikan bahwa sang pendeta adalah carrier COVID-19--membawa dan menularkan penyakit kepada orang lain. "Perkiraan kami cukup banyak [yang tertular]," kata Hernawan kepada reporter Tirto, Sabtu (28/3/2020). Penularan terjadi dalam acara Pastors Meeting yang diadakan GBI pada 3-5 Maret 2020 di Hotel Lembang Asri, KBB, Jawa Barat. 

...

Pria yang biasa disapa Emil itu menyebutnya sebagai klaster "seminar keagamaan di Lembang". Ada sekitar 2.000 orang menghadiri acara tersebut. Seluruh jemaah yang hadir pada acara di Hotel Lembang Asri itu ditetapkan sebagai orang dalam pemantauan (ODP) dan diminta segera melapor untuk melakukan rapid test. Bahkan, mantan Wali Kota Bandung itu juga meminta Polda Jawa Barat turun tangan mencari seluruh peserta acara tersebut."

Penjudulan tersebut didapat dari penyataan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil: Seminar Keagaamaan di Lembang.

Lalu bandingkan dengan berita kedua dari Detik. com dengan judul yang langsung menembak ibadah umat Islam.

”Sebanyak 28 warga Tambora, Jakarta Barat, berstatus orang dalam pemantauan (ODP) setelah melaksanakan salat Tarawih berjemaah dengan imam yang positif Corona. Hasil swab menyatakan 9 orang di antaranya positif Corona.

"Iya sudah, alhamdulillah sudah ditangani oleh pihak kesehatan. Hasil swab-nya memang kemarin dari informasi dari kesehatan, itu ada 9 yang dinyatakan positif, tapi positif ringan, termasuk ringan, penanganan ringan," kata Camat Tambora Bambang Sutama saat dihubungi, Sabtu (16/5/2020)."

Pertanyaannya adalah umat mana yang beritanya akan lebih renyah untuk digoreng? Yang 2000 peserta "seminar keagamaan di Lembang?" atau yang 28 orang jamaah sholat tarawih di Tambora, Jakarta?

Berhati-hati atau tidak, agama kita akan tetap disudutkan media. Apalagi jika tidak berhati-hati. Dua judul berita di atas secara gamblang menjelaskan kecenderungan media untuk menyudutkan dan melindungi siapa.

Saya belajat cukup banyak soal framing, karena semenjak SMA  saya sudah belajar mengelola berbagai publikasi, media dan penerbitan pers.

Yang tinggal di zona hijau dan masih bisa sholat berjamaah, bergembiralah di saat jutaan lainnya menangisi kehilangan kesempatan berjamaah karena mengikuti petunjuk ulama. Nikmati romadhon dan manfaatkan.

Berempatilah. Jangan menekan kami yang kehilangan kesempatan berjamaah di tengah pandemi dengan analisis-analisis dan opini yang justru menimbulkan masalah baru.

Romadhon sebentar lagi usai, doakan kami yang berada di zona merah yang tidak bisa ke mesjid agar bisa segera ke masjid lagi. Doakan mereka yang keluyuran ke mall, pasar, dan tempat lain agar bisa ke mesjid juga.

Bila memang ada 'penumpang gelap' di zona hijau, hajar penumpang gelapnya. Jangan digeneralisir.

Beban jamaah di zona merah sangat kompleks. Mulai tidak ada uang, terancam kelaparan, stress karena tinggal di rumah selama 2 bulan tanpa kejelasan, kehilangan kontak sosial, termasuk kehilangan kesempatan berjamaah di bulan Romadhon.

Saya sendiri harus iklash tidak bertemu anak-anak yang tinggal di kota lain (zona hijau). Harus menahan pergerakan karena bila menjadi carrier, akan membahayakan orangtua saya yang sudah sepuh dan dalam kondisi sakit .

Jarak ke masjid hanya selisih satu rumah. Hanya 10 meter. Masjid itu juga ditutup untuk sementara sampai ada fatwa lanjutan dari MUI.

Mengabaikan fatwa MUI artinya kita mengabaikan otoritas para ulama di dalamnya yang memiliki beragam keahlian. Tidak hanya fiqih, tapi ilmu-ilmu lainnya yang berhubungan dengan fatwa yang akan dikeluarkan.

Bila kita menghormati dan melaksanakan Fatwa MUI yang nenyatakan Ahok melakukan penistaan agama dan melecehkan QS Al Maidah, mengapa tidak bisa mengawal fatwa MUI mengenai pedoman beribadah di tengah wabah?

Jangan sampai perbedaan ini dibenturkan oleh mereka-mereka yang tidak suka dengan agama Islam. Mereka yang ingin memanfaatkan kesempatan untuk membenturkan perbedaan pendapat di tengah umat.

Malam 24 Romadhon 1441H,
fakir ilmu & amal yang rindu berjamaah di masjid

Tautan:

https://tirto.id/mengurai-penyebaran-covid-19-klaster-seminar-keagamaan-di-bandung-eJGU

https://m.detik.com/news/berita/d-5017286/imam-positif-nekat-pimpin-tarawih-di-tambora-9-jemaah-kena-corona

5.14.2020

DUKHON DALAM KACAMATA BUDAYA POPULER HOLLYWOOD


Beberapa hari belakangan, tepatnya menjelang dan sesudah 15 Romadhon 1441H, linimasa media sosial meriah tentang 'terpelesetnya' salah seorang ustadz Akhir Zaman dalam menafsirkan soal dukhon.

Soal Dukhon ini, ada diriwayatkan dalam Al Quran sebagai surat ke-44 Ad Dukhon yang terdiri dari 59 ayat. Terutama QS 44: 10-15.

Sedangkan dalam hadits, dukhon diriwayatkan oleh Ibnu Mas'ud. Haditsh tersebut walau sering dikutip dinyatakan haditsh palsu. Para Ustadz Akhir Zaman juga meyakini haditsh tersebut palsu.

Lalu bagaimana pandangan dunia populer yang 'cocoklogi' tentang dukhon?

Dalam film "Animatrix" (2003, sekuel film The Matrix dalam animasi), episod The Second Renaissance Part 2, dikisahkan manusia gagal memerangi Kaum Mesin (Robot dengan AI: artificial intellegence) yang memberontak pada manusia.

Di bawah kendali PBB, manusia lalu menyelubungi planet bumi dengan asap gelap. Hal ini dilakukan agar Mesin tidak bisa mengambil energi dari matahari.

Manusia terpaksa hidup di bawah tanah, dalam silo-silo yang disebut Zion. Manusia berperang melawan Mesin sambil menunggu penyelamat mereka yang dikenal sebagai The One.

Sedangkan dalam film "How It Ends" (2018), dikisahkan bila dunia disapu asap gelap. Dikatakan peristiwa itu bermula dari goncangan yang menimpa Los Angeles, AS.

Sambungan listrik, telepon, dan satelit mendadak mati. Penerbangan dibatalkan.

Will, berusaha menyelamatkan kekasihnya, Samantha yang berada di Seattle yang harus ditempuhnya dengan jalan darat dari Chicago.

Pada scene akhir digambarkan bagaimana asap gelap membumbung tinggi mengejar Will dan Sam yang berusaha melarikan diri dengan mobilnya.

Jadi untuk soal dukhon ini, Barat berusaha untuk menampilkan imajinasi dan fantasi mereka dalam bentuk kisah dan film, yang tentu sesuai interpretasi mereka. Tidak diketahui darimana mereka mendapat ide dukhon.

Apakah mereka membaca Al Quran? Membaca hadits? Mengikuti kajian akhir zaman?

Wallohu'alam bishowwab.

Malam 22 Romadhon 1441 H

🖼️ Screen capture scene akhir film "How It Ends” (2018).

3.17.2020

Bahaya Laten Setelah Covid-19...


Wabah membuka mata kita bila seharusnya Indonesia berdikari tidak mengandalkan impor bahan pangan dari luar negeri. Harusnya juga membuka mata bila negara kita adalah negara agraris, bukan industri, yang tentunya bisa memproduksi bahan pangan sendiri.

Puluhan tahun para cukong dan calo impor memaksa kita memamah bahan pangan impor. Mereka juga menekan petani lokal dengan menjual pangan impor dengan harga lebih rendah.

Sindikasinya menjual pupuk pada petani dengan harga tinggi. Mereka juga yang memaksa lumbung-lumbung padi berubah jadi pabrik. Memaksa para petani kehilangan lahan garapan dan menjadi budak di tanah airnya sendiri.

Indonesia akan kesulitan melakukan lockdown total karena tidak ada makanan yang cukup yang bisa dibagikan negara pada 200 juta rakyat Indonesia.

Bila jatah makan satu orang penduduk adalah per hari Rp.10.000, kalikan saja dengan 200 juta. Maka itulah biaya yang harus dikeluarkan negara yang mengagungkan slogan 'kerja-kerja-kerja' ini.

Dalam sebuah berita online tadi pagi (17/3/2020) disebut BULOG memiliki cadangan 1,6 juta ton beras. Apakah 1,6 juta ton beras itu cukup untuk menyumpal 200 juta mulut? Untuk berapa lama?

Impor pangan di saat wabah dipastikan akan sangat mahal, untuk menanami lahan yang ada perlu waktu berbulan bahkan bertahun.

Setelah Covid-19, Indonesia akan dirudung ancaman bahaya yang lain: kelaparan.

Sementara sumber daya dan kekayaan alam Indonesia konon  dikuasai hanya oleh 1% penduduk saja. Itupun belum tentu mereka mau mendonasikan sebagian asetnya bila wabah kelaparan menerpa.

Tentunya ke depannya, bila kita selamat dari wabah ini dan wabah lanjutan, berharap negara kembali ke UUD 1945 yang asli. Kembali ke pasal 33 ayat 3. Agar kita mandiri dan berdikari.

Tidak tergantung cukong. Tidak tergantung aseng. Tidak tergantung asing.

Bubarkan industri yang tidak perlu. Kembalilah bertani sebelum terlambat. Bagikan lahan-lahan pertanian yang dikuasai perseorangan/korporasi kepada negara untuk dikelola masyarakat bertani.

Stop impor bahan pangan. Ambil kekayaan berlebih para importir dan cukong, kembalikan pada negara untuk dikelola demi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat semesta.

Tentu, bila harus memilih mati karena Covid-19 atau karena revolusi melawan penjajahan dan perbudakan, saya memilih yang ke-2...

Isy mun kariman auwmut syahidan

12.17.2019

Membaca Sang Pangeran & Janissary Terakhir: Full Marathon Untuk Pelari Pemula (Resensi Santuy)


Seperti halnya prosa yang berlatarbelakang sejarah, kita akan menemui banyak tanggal, banyak tempat, banyak nama, dan tentu saja banyak peristiwa yang berhubungan dengan dunia nyata. Begitu pula dengan novel "Sang Pangeran dan Janissary Terakhir," karya Salim A. Fillah (2019).

Tidak hanya itu, novel yang berusaha menceritakan kembali sepenggal sejarah perjuangan Pangeran Diponegoro ini juga dipadati dengan catatan-catatan kaki. Baik itu untuk menjelaskan peristiwa nyata yang berada di lintasan sejarah, istilah, atau transliterasi beberapa bahasa yang digunakan para tokoh dalam novel ini. Mulai bahasa Indonesia (tentunya), Arab, Inggris, Jawa, Prancis,  bahkan Turki.

Saya sempat merasa beruntung mendapatkan buku ini hanya beberapa hari setelah resmi diluncurkan di Masjid Jogokariyan, Yogyakarta. Bahkan sebagai warga Kota Bandung, saya beruntung bisa menghadiri bedah bukunya di Hotel Malaka Bandung (14 November 2019) dan mendengar penuturan 'behind the scene' dan proses kreatif ustad muda ini saat menuliskan novel perdananya ini.

Semula saya berharap akan bisa menyelesaikan novel setebal 632 halaman ini dalam waktu paling lama satu minggu. Ternyata ekspetasi itu terlalu berlebihan. Faktanya novel ini baru habis dibaca selama tepat satu bulan, itu pun masih dibaca dengan baca cepat, yang tentu saja mengabaikan banyak detail, pemahaman, juga proses reimajinasi untuk menghayati bagaimana sepenggal kisah perjuangan Pangeran Diponegoro itu.

Tentu saja selain karena liga sepakbola Indonesia yang masih belum selesai, godaan game online, serta kegiatan lain, juga karena novel ini tidak bisa diajak 'santuy'. Penyebabnya ya karena novel ini memang bukan novel yang bisa dibaca di sembarang tempat seperti misalnya saat kita membaca novel-novel hiburan dan percintaan, misalnya.

Ada banyak kutipan ayat al quran dan potongan haditsh yang membuat pembaca harus lebih 'tertib tempat' saat menikmati novel -roman sejarah ini. Tentu membuatnya tidak elok bila kita membacanya seperti saat kita membaca novel hiburan atau sekuler lain di kamar mandi.

Itu menjadi catatan pertama saat saya mulai membuka lembaran-lembaran awal novel ini. Bahkan semenjak prolog, membuat saya yakin novel ini bukan novel yang diperuntukkan bagi pencari hiburan semata. Tetapi lebih diperuntukan bagi penikmat sejarah -khususnya sejarah Islam di Nusantara juga untuk para pembaca serius yang mau berhari-hari bergelut untuk menikmati lembar demi lembar novel ini hingga tuntas.

Novel "Sang Pangeran dan Janissary Terakhir," ini menjadi lintasan banyak peristiwa sejarah yang hendak disampaikan pengarangnya melalui tokoh utama Pangeran Diponegoro. Di mana narasi besarnya salahsatunya adalah menyampaikan bila perjuangan Pangeran Diponegoro itu dipengaruhi atau mempengaruhi peristiwa sejarah di belahan dunia lainnya.

Bagaimana kemudian Kerajaan Kristen Belanda harus kehilangan dana jutaan gulden untuk menundukkan Pangeran Diponegoro. Belum lagi 15 ribu tentaranya mati selama perang 5 tahun yang terjadi di Tanah Jawa itu.

***

Seperti halnya roman sejarah kita akan berhadapan dengan kisah nyata dalam balutan fiksi, (cetak miring dan garis tebal dari saya)  bukan kisah fiksi dalam balutan kenyataan. Di mana roman ini dibuka dengan prolog berupa fragmen dimulainya perang suci Pangeran Diponegoro melawan pasukan kolonial Belanda pada 20 Juli 1825 sebagai bagian peperangan besar dunia di ujung keruntuhan Kekhalifahan Ottoman (hal.19).

Dari Yogyakarta pada tahun 1825, pembaca akan dibetot mundur ke Istanbul Turki pada tahun 1808 untuk mengawali premis bahwa perang Jawa yang diinisiasi Pangeran Diponegoro 17 tahun kemudian adalah bagian dari ujung kekhalifahan Utsmany menjelang keruntuhannya. Di mana sebelum kekalifahan Utsmany berakhir, Mustafa Pasha mengirim Janissary terakhir yang dimilikinya untuk menolong para mujahid di Nusantara.

"Utang besar Daulah kita yang jaya pada ummat Nabi di kepulauan itu harus dibayar. Harus, meski Sultan Muhammad Al Fatih tidak sengaja melakukannya...", ujar Mustafa Pasha, Perdana Menteri Daulah Utsmaniyah yang saat itu dipimpin Sultan Mahmud II. (hal. 29).

Pada bagian itu, pengarang menekankan bila Nusantara adalah wilayah yang juga diperebutkan dua kerajaan Kristen: Inggris dan Belanda yang berada di bawah kekuasan Prancis masa Napoleon Bonaparte.

Dalam ratusan halaman selanjutnya pembaca akan diajak bertamasya mengikuti premis itu hingga akhirnya Pangeran Diponegoro ditipu oleh Panglima Tertinggi Tentara Kerajaan di Hindia Belanda, Jendral Hendrik Merkus de Kock di bulan Maret 1830.

***

Salah satu yang menjadi tantangan tersendiri tiga puluh bagian plus prolog dan epilog ini adalah lompatan-lompatan alur waktu. Dimulai dari tahun 1808, melompat ke tahun 1825, surut ke 1823, melaju ke 1830 dan seterusnya.

Belum lagi catatan kaki-catatan kaki yang harus diperhatikan. Atau pembaca dipaksa bolak-balik untuk kembali ke depan ke halaman 11-14 untuk mengetahui latar belakang ringkas tokoh-tokoh yang bermunculan di setiap bab.

Alur waktu yang tidak selalu linear, banyaknya  tokoh sejarah, istilah-istilah yang bergantian dalam berbagai bahasa, kutipan-kutipan peristiwa sejarah yang benar terjadi lengkap dengan tanggal dan tahun, serta munculnya tokoh-tokoh fiktif menjadi detail yang harus diperhatikan untuk bisa menikmati novel ini seutuhnya.

Di tengah membaca saya mendadak teringat novel "In The Name of The Rose"-nya Umberto Eco yang tidak selesai saya baca hingga sekarang. Padahal novel itu dibeli sejak tahun 2008 dan baru dibaca sepertiganya sampai saat ini di ujung 2019.

Cara bertutur yang mungkin bisa dikatakan satu tipe, mirip. Banyaknya nama dan peristiwa, belum lagi istilah-istilah dalam bahasa Italia yang tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

"In The Name of the Rose" malah ujug-ujug menghantui saat membaca novel "Sang Pangeran dan Janissary Terakhir" ini. Saya seperti menemukan "In the Name of The Rose" yang merupakan novel fiksi belatar belakang sejarah gereja di abad pertengahan, namun dalam bentuk yang lain di novel Sang Pangeran dan Janissary Terakhir" yang justru merupakan roman sejarah dalam balutan fiksi untuk menghubungkan peristiwa ke peristiwa.

Padahal keduanya berbeda dan bertolak belakang 180 derajat. Persamaannya mungkin karena keduanya menjadi novel yang sulit untuk diselesaikan dengan santuy, karena pembaca akan dipaksa membaca berulang-ulang, tidak linear, maju-mundur agar novel tersebut bisa hidup dalam imajinasi pembaca dengan bebas.

Menjadi istimewa bila kemudian saya  saya bisa menyelesaikan membaca novel "Sang Pangeran dan Janissary Terakhir" hingga halaman akhir dengan metode baca cepat, sedangkan "In the Name of The Rose"  sampai hari ini belum selesai dibaca, padahal sudah dibaca cepat, sedang, maupun lambaaaaat banget.

Bukan secara kebetulan, saya memfavoritkan juga film "November 1828"  karya Teguh Karya yang dibintangi Slamet Rahardjo, Rachmat Hidayat dan Yenny Rachman (1979). Di mana film terbaik Indonesia sepanjang masa ini memang menukil sepotong fragmen  kecil perjuangan rakyat Indonesia yang dipimpin Pangeran Diponegoro melawan Kolonial Belanda.

Visualisasi film yang saya tonton puluhan tahun lalu itu membantu saya berimajinasi tentang sosok sebagian tokoh yang ada di novel "Sang Pangeran dan Janissary Terakhir". Tentu tidak seutuhnya, tetapi cukup membantu menghidupkan imajinasi agar novel tersebut bisa larut dalam pembacaan yang (harusnya) khusuk.

Selain itu, membaca novel ini juga mengingatkan saya akan serial silat "Api Di Bukit Menoreh" (SH Mintardja) yang juga pernah dibaca puluhan tahun silam saat taman bacaan menjamur di mana-mana, termasuk di Bandung di era 1990an. Saya kerap me-reimajinasi tokoh-tokoh sisipan dalam novel ini berbusana dan berkelahi seperti Agung Sedayu murid Kiai Grinsing di masa Panembahan Senapati yang hidup tigaratus tahun sebelumnya.

Bila harus menyebut kelebihan-kekurangan, tentu saya harus memastikan untuk membaca buku ini dua atau tiga kali lagi. Belum lagi, misalnya, mencari rujukan/bacaan lain yang bisa memperkaya proses pembacaan dan reimajinasi. Tetapi salah satu catatan yang menurut saya mengganggu adalah kemunculan frasa 'adalah syiap' yang diucapkan tokoh sebagai konfirmasi atas perintah tokoh lain.

"Adalah syiaaapp!" kata Wironegoro sambil meringis. Dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan mengangguk (hal. 207).

Konfirmasi Wironegoro pada Kapitan Joost yang sedang mengejar Basah Nurkandam dan Basah Katib itu dengan frasa 'adalah syiap' malah membuat saya teringat pada Atta Halilintar, Youtuber yang wara-wiri dengan jargon 'ahshiapp'-nya itu.

Lainnya, misalnya para tokoh yang bercanda di tengah ketegangan/konflik yang seharusnya membuat pembaca dalam 'tension' tak berkesudahan seperti saat menaiki roller coaster. Misalnya saja saat Adhi Legowo mempelesetkan 'off course' menjadi 'op kros', saat Syarif Hasan Munadi hendak menciduk Basah Katib. (hal. 494).

Tentu saja pengarang berhak menuliskan hal tersebut untuk menggambarkan bahwa bangsa kita ini, manusia pada umumnya, selalu mencari kesempatan untuk tertawa di tengah himpitan dan kesempitan. Tetapi bagi saya pribadi sebagai pembaca, malah melunturkan 'tegangan' yang mengganggu reimajinasi..

Lalu untuk siapa novel ini sebenarnya? Seperti disebutkan di awal, tentu saja untuk pembaca yang mau serius meluangkan waktunya membaca lembar demi lembar kisah perjuangan Pangeran Diponegoro yang mempengaruhi Nusantara -Indonesia kemudian. Tidak hanya untuk penggemar sejarah, aktivis dakwah, atau jamaah Ustad Salim A. Fillah --yang piawai merangkai lisan dalam  kajian Sirrah Nabawiyah di Majelis Jejak Nabi.

Pembaca yang baru mau serius juga tentu saja bisa sebagai upgrade menuju novel-novel 'kelas berat' lainnya. Tapi tentu saja pembaca Dilan atau Harry Potter akan 'termehek-mehek' membaca buku ini, seperti pelari pemula yang terpaksa harus mengikuti lari maraton sejauh 42 KM dengan tiba-tiba. Karena tidak cukup secangkir kopi dan sepiring gorengan untuk menyelesaikan novel yang seharusnya menjadi koleksi pembaca novel dan pembaca buku-buku sejarah.

Saya pun mendadak teringat "In The Name of the Rose"-nya Umberto Eco yang tak pernah selesai dibaca hingga sekarang....

Data Teknis:
Judul: Sang Pangeran dan Janissary Terakhir
Pengarang: Salim A. Fillah
Penerbit: Pro-U Media, Yogyakarta
Tahun: 2019
Cover: Softcover, 15,2 x 23,3 cm
ISBN: 978-623-7490-06-7
Tebal: 632 Halaman

#semuabacasangpangeran
#sangpangerandanjanissaryterakhir


Bukit Punclut, Bandung, 17 Desember 2019
Ricky N. Sastramiharja
Pecinta kopi Robusta yang kebetulan suka membaca, nonton film, dan main game
Sarjana Sastra Sunda Unpad yang lebih sering bicara Persib Bandung & sepak bola