Showing posts with label Catatan Warga Negara. Show all posts
Showing posts with label Catatan Warga Negara. Show all posts

7.08.2012

BULAN PUASA, RUMAH MAKAN TAK DILARANG BUKA



INILAH.COM, Bandung - Kendati tidak ada pelarangan bagi restoran dan rumah makan untuk menutup usahanya di bulan suci Ramadan, Pemkot Bandung tetap berharap para pengusaha kuliner itu untuk menghargai umat muslim yang tengah menjalankan ibadah shaum.

Sekertaris Daerah Kota Bandung, Edi Siswadi menuturkan, penutupan rumah makan dan resto tidak bisa dilakukan di wilayah Kota Bandung, karena banyak dikunjungi warga non muslim, dan keberadaan mereka disini dipastikan harus didukung sarana kuliner. "Kalau mereka mau makan bagaimana? Harus cari kemana kalau tidak ada yang jualan," tegas Edi disela acara Musda VII Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI) di Jalan Maskumambang, Sabtu (7/7/2012).

Walaupun diperbolehkan tetap berjualan, lanjutnya, Pemkot Bandung akan membahas aturan operasionalnya. "Nanti kita atur, jam mulai buka dan tutupnya nanti jam berapa, terus kita juga himbau agar tidak terlalu vulgar," paparnya. Aturan itu misalnya, sebuah rumah makan buka namun tidak terlalu terlihat buka, bisa ditutup gorden namun di jendela ada tulisan buka.[ang]

Berita yang saya kutip utuh di atas adalah berita yang dimuat media online www.inilah.com pada  Sabtu, 7 Juli 2012, 15:38 WIB yang ditulis oleh Evi Damayanti seperti terdapat dalam tautan berikut: http://m/inilah.com/read/detail/1880188/bulan-puasa-rumah-makan-tak-dilarang-buka .

Menurut saya, pernyataan Edi Siswadi sebagai Sekretaris Kota sungguhlah mengherankan. Bagaimana bisa ia, yang muslim, haji pula, mengatakan bahwa pemerintah kota Bandung tidak bisa menutup rumah makan . Setidaknya agar tidak buka di siang hari di saat sebagian besar, mayoritas warga kota Bandung menjalankan ibadah shaum?

Mengapa Pemerintah kota lebih melindungi kepentingan wisatawan yang jumlahnya lebih sedikit dibanding warga kota Bandung? Apakah karena mereka membawa rupiah, dolar, euro, lantas difasilitasi untuk berbuat semaunya di kota Bandung? Makan minum seenaknya di di saat banyak muslim sedang bershaum?

Menurut pemberitan di media massa, pada Hari Raya Nyepi, seluruh pulau Bali dinyatakan nyepi. Hanya pecalang, petugas keamanan, dan petugas medis saja yang mendapat dispensasi. Wisatawan, tidak bisa keluar kamar, menyalakan api, atau melakukan aktivitas apapun. Bandara, pelabuhan, terminal bis ditutup. Tidak ada kendaraan berlalu-lalang. Bahkan Kaum muslimin dan muslimat pun turut menghormati dengan tidak menggunakan pengeras suara untuk menyerukan panggilan sholat/adzan. Selama 24 jam Bali betul-betul sepi, hening.

Tidak ada protes, bahkan wisatawan pun menikmatinya. Umat Islam tidak menyatakan INTOLERAN pada saudara-saudaranya yang beragama Hindu. Sebagai minoritas, mereka tunduk dan patuh pada aturan adat setempat sepanjang tidak mengganggu tauhid dan aqidah mereka.

Lantas, kenapa Pemerintah Kota Bandung bergegas menyatakan tidak bisa menutup rumah makan, dan hanya mengatur jam operasionalnya saja dengan alasan untuk kepentingan wisatawan? Bukankan hotel Bandung ini dibangun dan ditinggali oleh warga Bandung, bukan oleh wisatawan? Di mana keadilan untuk warga mayoritas?

***

Negara ini dibangun atas dasar demokrasi. Demokrasi sederhananya berarti pemilik suara mayoritas/terbanyak adalah suara pemenang. Suara yang jumlahnya lebih kecil, harus mengikuti mereka yang jumlah suaranya lebih banyak. Demokrasi negara kita pun digadang-gadang sebagai demokrasi Pancasila, bukan demokrasi liberal atau demokrasi terpimpin.

Tetapi pada setiap bulan Romadhon, ummat Islam dengan suara mayoritas, yang seharusnya memiliki daya tawar atas peraturan kota, malah termarginalkan. Umat Islam kota Bandung dipaksa menerima kemenangan suara minoritas yang memandulkan pemerintahan kota agar tunduk pada keinginan mereka.

Seharusnya, Bandung juga bisa mengikuti Bali. Bali tidak takut kehilangan uang dari wisatawan di hari raya Nyepi. Apalagi Bandung bisa memiliki regulasi untuk melarang warung, rumah makan, cafe buka di siang hari. Regulasi yang bisa dibuat dan disosialisasikan jauh sebelum bulan Romadhon tiba.

Apabila ada alasan non-muslim, ibu hamil, anak-anak, orang sakit, pekerja keras yang tidak wajib bershaum,  yang harus membeli makanan, itu bisa diatur dengan mudah. Beli, bungkus, dan bawa tidak untuk dimakan di tempat. Bahasa kerennya take away. Atau mungkin bisa melalui layanan pesan-antar/delivery. Resto, cafe, warung makan hanya boleh buka setelah waktu Ashar. Itu pun untuk persiapan penjualan menjelang buka shaum, bukan untuk dimakan di tempat.

Hal-hal seperti ini yang sebetulnya memancing kegeraman ummat. Maka dengan menggunakan kendaraan ormas, entah itu FPI, FUI, atau apapun, ummat yang geram akhirnya melakukan sweeping yang pada prakteknya sering diikuti tindak kekerasan. Ormas-ormas ini menyatakan kegeraman ummat yang hanya bisa diam,  dengan melakukan tindakan-tindakan yang tidak elok, apalagi dilakukan di bulan Romadhon. Tetapi tindakan ini, menurut saya, akhirnya  mendapat pembenaran bila ternyata pemerintah kota yang seharusnya bersikap adil mau berfikir dan bertindak. Tidak sebatas mengeluarkan statemen omong kosong. seperti statemen yang dinyatakan oleh Edi Siswadi seperti itu. Itu statemen cari aman dan ingin mudahnya saja. Enggak usah jadi pemerintah kota kalau hanya bisa mengeluarkan statemen seperti itu. Anak TK juga bisa kalau cuma ngomong “Marilah saling menghormati sesama masyarakat di bulan puasa”.

Seharusnya  jauh hari sebelumnya pemerintah kota duduk bersama DPRD membicarakan masalah ini. Menyusun, menyiapkan, serta membuat kebijakan baku yang bisa dipergunakan setiap tahun di saat bulan romadhon mengenai jam buka warung, rumah makan, cafe serta resto. Toh kebijakan itu tidak perlu dibuat setiap tahun. Karena bulan Romadhon itu sudah pasti hadir, jadi kebijakan yang dibuat bisa dipakai berulang-ulang untuk romadhon tahun berikutnya.

Ini mah pemerintah dan DPRD  hanya bisa mengeluarkan perda yang tidak penting seperti kewajiban berbahasa Sunda di hari Rabu. Perda yang tidak ada mengenakan sanksi apapun bagi yang pelanggar. Suatu perda yang konyol, buat apa bikin peraturan daerah bila tidak ada sanksi?  Bila sekedar sanksi moral, tak perlu pakai perda. Hanya buang-buang biaya dan tenaga. Sebagai Urang Sunda pituin, tanpa perda pun saya sudah berbahasa Sunda. Bahkan di saat bermimpi dan bercinta. Perda bahasa Sunda itu mirip  Liga Premier Indonesia (LPI), kompetisi sepakbola ‘aneh’ yang dijalankan tanpa mengenal  logika kompetisi, yakni promosi-degradasi.

Saya merasa semakin tidak yakin dengan pelaksanaan demokrasi yang terjadi di Indonesia akan memberi banyak manfaat bagi ummat Islam sebagai mayoritas, khususnya di Bandung. Ummat Islam ditekan oleh peraturan perundangan yang  sama sekali tidak menguntungkan. Bila Undang-Undang Dasar 1945 serta Pancasila selalu menyatakan bahwa setiap warga negara berhak memeluk dan melaksanakan ibadah berdasar agama dan kepercayaannya masing-masing, maka saya yakin dewasa ini pasal-pasal dan ayat-ayat tersebut TIDAK BERLAKU untuk ummat Islam.

Tidak berlaku, sebab bila memang ummat Islam diperbolehkan menjalankan ibadah berdasar tuntutan agamanya, maka seharusnya pemerintah kota berani bersikap tegas dengan membuat regulasi jam operasional bagi warung, rumah makan, dan cafe. Berani pula memberikan sanksi pidana bagi yang melanggar. Bukan sekedar denda atau peringatan moral. Sanksi ini diperuntukan pula bagi mereka, terutama yang mengaku Islam, yang dengan sengaja tidak menghormati yang bershaum seperti merokok, makan – minum di ruang publik seperti yang sering kita saksikan. Bukan lantas melindungi mereka dengan alasan yang dibuat-buat. Ironis sekali Pemerintah Kota ternyata lebih membela mereka yang TIDAK MELAKSANAKAN IBADAH, padahal jelas melanggar Undang-Undang Dasar 1945 sebagai sumber hukum tertinggi di Indonesia.

Seharusnya pemerintah kota tahu bila bisnis kuliner di bulan Romadhon itu menguntungkan, bahkan bagi mereka yang hanya khusus berjualan ta’jil saja. Setiap buka bersama cafe-cafe, warung selalu penuh oleh mereka yang berbuka. Acara buka bersama  diadakan dimana-mana. Bahkan menjadi suatu ironi, di mana bulan Romadhon pengeluaran seharusnya bisa ditekan, tetapi pada kenyataannya malah membengkak karena ummat Islam malah berfoya-foya di acara buka shaum bersama. Katakanlah, di tahun lalu saya mendapat 4 undangan buka shaum bersama. Mulai dari teman-teman SMA, perhimpunan, organisasi alumni unit kesenian dan teman-teman satu profesi. Bila satu buka bersama saja saya diharuskan mengeluarkan biaya tambahan Rp. 75.000, maka untuk empat acara akan menjadi Rp. 300.000. Sama dengan biaya makan selama 2 minggu untuk keluarga dengan dua anak kecil. Itu belum dikalikan dengan sekian ratus atau ribu orang yang berbuka puasa bersama. Jadi sebetulnya dengan regulasi yang tepat, pemerintah kota tidak harus tunduk pada para pengusaha kuliner. Toh laba mereka dari buka bersama pun sangat besar, bisa melebihi omset reguler di hari biasa!

Dikaitkan dengan tuduhan INTOLERAN terhadap ummat Islam seperti yang digadang-gadang oleh pihak yang membenci Islam (bahkan sebagai agamanya sendiri), kita bisa menilai sendiri. Siapa yang sebetulnya toleran, siapa yang intoleran. Jelasnya, bila kita toleran terhadap kemaksiatan dan penyimpangan atas hukum-hukum Alloh SWT, maka kita hanya tinggal menunggu azab dan siksa yang teramat pedih. Terutama bila kita hanya diam dan berlalu tidak mau tahu saat kemaksiatan terjadi di depan mata kita. Padahal kita tahu bila kita bersatu, kita bisa mencegahnya. Audzubillah tsumma naudzubillahimindzalik.

08 Juli 2012
Ricky N. Sastramihardja
Warga Bandung Yang Datang dan Pergi di Banyak Kota
Pecinta Kopi, Fotografi, dan Bobotoh Persib Bandung
Aktivis #IndonesiaTanpaJIL chapter Bandung
T: @RickyNSas

3.28.2011

Menonton Persib di Stadion, Dulu dan Sekarang

Tidak semua pertandingan Persib Bandung bisa saya ingat. Tetapi pengalaman pertama kali menonton Persib Bandung adalah hal yang tidak bisa dilupakan. Saat itu saya masih sekitar kelas 4 atau 5 sd lah. Jadi sekitar tahun 1984-1985-an. Saat itu  lagi berlibur ke rumah kakek dan nenek di Kawali, Ciamis. Pun tahu mengenai akan ada kunjungan Persib Bandung adalah dari berita tetangga, juga dari 'barker', mobil pakai 'halow-halow' (baca: pengeras suara) yang berkeliling kampung, mengumumkan bahwa di lapangan alun-alun Kawali akan ada pertandingan persahabatan antara Persib Bandung Selection melawan PSGC (Persatuan Sepakbola Galuh Ciamis).

Saya tidak ingat berapa skor akhir saat itu, hanya bisa mengingat bila harga karcisnya 300 rupiah (sebagai ilustrasi, 300 rupiah masa itu cukup untuk membeli sekotak Susu Ultra besar dan sebatang coklat cap Ayam Jago), dipakai masuk 3 orang (saya, adik saya, dan teman saya Asep Pa Iding). Selain itu, stadionnya pun sangat sederhana, hanyalah lapangan alun-alun kecamatan yang disulap menjadi stadion dadakan dan 'dikulibeng' (apa atuh 'dikulibeng' teh ya?) sekelilingnya dengan karung, bilik, atau kain biar penonton yang tidak punya karcis tidak bisa 'moncor'. Saat itu para pemain Persib yang terkenal adalah Adeng Hudaya, Robby Darwis, Adjat Sudrajat, dan Sobur. Sisanya saya tidak tahu, tapi kalau tidak salah di era Adjat Sudrajat ini Persib menjadi juara Perserikatan. Saat menjadi juara Perserikatan ini ada konvoy keliling kota Bandung. Waktu SD, saya sekolah di Banjarsari, Jalan Merdeka Bandung. Jadi kita menonton arak-arakan di depan sekolah, naik ke jembatan penyebrangan Gudang Garam (sekarang sudah tidak ada).

Bobotoh di Selatan



Sewaktu SMP dan SMA saya mulai berani nonton ke Stadon Siliwangi. Apalagi SMA. Walau lebih sering 'nonton siaran pandangan mata' di  RRI Bandung. Saat kuliah pun beberapa kali saya nonton ke Stadion Siliwangi. Terkadang menonton bareng dengan sahabat saya semenjak SMA, Ucup Mpep. Kita biasa menonton di Timur. Atau saat awal-awal Liga Indonesia (dulu Liga Bank Mandiri), saya tuturubun dari Jatinangor bersama Krisna Sastra Inggris ke Stadion Siliwangi, dan menonton di Selatan.

Ada pengalaman menarik dengan si Krisna ini. Saat itu  kita sedang mengikuti rapat kerja Senat Mahasiswa Fak. Sastra di Cileunyi, di rumahnya Yufik. Tetapi setelah shalat ashar, si Krisna ini dengan berbisik mengajak saya untuk 'kabur' dari rapat."Hayu ka Bandung, urang ka Siliwangi lalajo Persib", demikian katanya. Tanpa berfikir panjang, saya menyetujui ajakan si Krisna. Lalu dengan alasan yang dikarang sendiri, akhirnya kita berdua menyelinap dan kabur dari raker menuju Stadion Siliwangi. Bisa dibayangkan, lumayan lama dari Cileunyi ke Stadion Siliwangi di Kota Bandung. Turun dari Cileunyi pakai ojeg, disambung bis kota Damri  ke Kebon Kelapa. dari Kebon Kalapa naik 02 ke Siliwangi. Pergi jam 15.00 an, sampai stadion jam 18.00. Dapat tiket dengan harga calo, dan dengan sedikit 'speak bombay', Si Krisna bisa dapat tiket dengan harga murah.

Menonton Persib ke stadion dengan Krisna adalah pengalaman terakhir. Semenjak itu saya tidak pernah menonton Persib ke stadion lagi. Saya lebih banyak menonton Persib di televisi, atau mendengarkan siaran pandangan mata, langsung dari RRI Pro 2 FM. Sampai akhirnya pada pertandingan Persib melawan Persiwa Wamena (24032011) dan melawan Persipura (27032011) di Stadion Si Jalak Harupat, saya berkesempatan menonton pertandingan Persib secara langsung. Itupun karena ajakan sahabat saya, Wendy, yang bertugas meliput pertandingan tersebut.

Ekspresi bobotoh

Jeda sekian tahun tidak ke menonton ke stadion jujur saja, membuat saya terpesona. Apalagi menonton Persib di Stadion Si Jalak Harupat. Stadion yang sedemikian besar dan luas ini  harus diakui memang memiliki aura mistis yang mempesona. Sangat jauh dari pengalaman pertama saya menonton Persib di 'stadion' kampung di kecamatan Kawali Ciamis, atau stadion Siliwangi.

Banyak hal menarik yang sangat berbeda dengan massa lalu. Sekarang, tampaknya para bobotoh sangat peduli dengan penampilan. Setiap pertandingan Persib, selalu saja stadion berubah warna menjadi lautan biru karena bobotoh Persib hampir seluruhnya mengenakan pakaian berwarna biru. Hal yang dulu tidak saya temukan di Siliwangi. Dulu menonton Persib ya masih pakai seragam SMA atau kaos warna apa saja. Selain itu di setiap sudut stadion berkelamin perempuan pun bisa menonton pertandingan dengan aman tanpa godaan atau sentuhan tangan-tangan durjana. Jaman dulu di Siliwangi? Hanya ada di VIP. Pun anak-anak di bawah 12 tahun (bahkan ada yang sepertinya masih balita) dengan asyik bisa menonton pertandingan tanpa merasa khawatir. Bahkan dua kali ke Si Jalak Harupat, dua kali pula saya melihat penonton yang terdiri Ayah-Ibu-Anak, kompak mem-bobotohi Persib. Bahkan ada anak yang masih batita, masih digendong ibunya ada di deretan penonton bola yang umumnya orang dewasa.

Perempuan juga aman nonton ke stadion.

Dengan kata lain, sekarang ini menonton bola tidak hanya menjadi milik kaum laki-laki saja, tetapi milik siapa saja. Tidak ada kekhawatiran rusuh seperti jaman-jamannya Perserikatan dulu atau awal-awal Liga Indonesia digelar. Tentu ini adalah buah prestasi Pengurus Persib, kelompok supporter, juga pihak-pihak yang berkepentingan dengan pertandingan dan eksistensi Persib.

Hal menarik lainnya ialah sambutan warga mulai dari Kopo hingga Stadion Si Jalak Harupat. Sebelum dan sesudah pertandingan, sepanjang jalan masyarakat setempat seolah menyambut  para bobotoh yang datang dari kota Bandung menuju kota Soreang Kabupaten Bandung. Pemandangan itu tidak akan dijumpai bila Persib bertanding di Stadion Siliwangi, yang terdapat di tengah kota Bandung. Masyarakat setempat dengan antusias saling bertegur sapa dengan bobotoh, yang sepertinya menjadi hiburan tersendiri bagi mereka.

Beberapa kelompok bobotoh yang tidak menggunakan kendaraan pun tampak berjalan menyusuri jalan Cipatik hingga Stadion Si Jalak Harupati, atau sekitar 1 atau 2 jam berjalan kaki. Pemandangan ini juga terjadi setelah pertandingan usai. Pernah saya melihat beberapa bobotoh yang 'tertular' menjadi bonek, pulang menyusuri jalan aspal tanpa alas kaki, tanpa baju. Asli, tanpa alas kaki tanpa baju. Seorang teman bilang, mereka adalah kelompok bobotoh yang nge-punk, yang memang terlihat dari gaya rambut juga asesoris lainnya.

Pada perjalanan pulang, ada hal-hal yang membuat saya kagum. Di perempatan Bypass Soetta - Kopo, Soetta-Buahbatu, dan Soetta-Kiaracondong, saya melihat beberapa kelompok kecil supporter menunggu kendaraan umum atau pik ap yang akan membawa mereka pulang ke rumahnya masing-masing entah di mana. Padahal saat itu jam di tangan saya sudah menunjukkan pukul 01.30 dinihari, dan pertandingan sudah selesai sejak pukul 21.30 WIB.

Perubahan-perubahan positif juga terjadi setelah pertandingan Persib, walau masih tidak konsiten. Tidak ada lagi lampu-lampu jalanan yang dilempari, pot bunga yang dihancurkan, atau kaca-kaca pertokoan yang dilempari bobotoh yang marah kalau Persib bermain jelek dan kalah. Walau masih ada kerusuhan dan bobotoh rese, tetapi secara kuantitatif dan kualitatif sudah tidak seperti jaman dulu lagi. Pokoknya menonton pertandingan Persib sekarang bisa dikatakan seperti menonton bioskop atau teater. Aman, damai, dan menyenangkan, Tidak ada lagi potensi kerusuhan di dalam stadion walau Persib kalah.

Memenuhi hampir seluruh badan jalan Kopo Cilampeni.


Ada juga yang masih tidak berubah. Sepanjang jalan sebelum dan sesudah pertandingan, konsentrasi massa yang sedemikian banyak menimbulkan kekesalan dan keresahan pengguna jalan yang lain. Para bobotoh yang melakukan konvoy sepeda motor, dengan liar menguasai jalanan menuju stadion, terutama setelah Kopo Sayati hingga Stadion Jalak Harupat. Pengguna jalan lain pun terpaksa menepi sambil menahan kesal. Bahkan sebelum pertandingan dengan Persipura, ada insiden antara bobotoh yang dengan seenaknya memaki pengendara motor yang berlawanan arah. Si pengendara motor yang sepertinya anggota TNI dari arah berlawanan tidak terima dibentak-bentak bobotoh yang dengan ucapan "Nyisi Sia Anjing!". Si bobotoh lupa, sepanjang Kopo Sayati adalah 'sayang maung', di mana di wilayah itu ada pangkalan TNI AU, yang tentu saja tidak terima diperlakukan seperti itu.

Selain itu ada sepertinya ada adagium, bahwa "Siapapun lawan tanding Persib, tetapi plat B tetap musuh yang harus diintimidasi". Beberapa mobil berplat B (Jakarta) yang mungkin baru pulang berwisata dari Ciwidey dan sekitarnya, harus rela di-anjing goblog-kan oleh bobotoh Persib. Tak jarang mereka (bobotoh) melampiaskan 'kebobotohan' mereka dengan memukuli bodi mobil yang sedang sial karena berplat B itu. Kebencian dan permusuhan yang dipelihara antara bobotoh Persib dengan 'The Jak' Persija, dilampiaskan ke mobil-mobil plat B. Ini sudah berlangsung sejak dulu, bahkan mungkin sejak jaman kolonial dulu, saat Persib masih bernama Bandoeng Inlandsche Voetball Bond (BIVB) dan Persija masih dikenal sebagai VIJ (Voetbalbond Indonesish Jakarta) di tahun 1930-an.
Intimidasi terhadap penumpang mobil plat B.
Banyaknya calo juga masih seperti dulu. Walau sekarang sudah jaman online, tetapi calo masih banyak bertebaran. Padahal, selain online, tiket Persib juga bisa didapat di koordinator supporter sesuai wilayah. Tetapi, praktek percaloan ini masih saja tidak berubah dari waktu ke waktu. Tapi ah, jangankan Persib. Piala Dunia di Afrika tempo hari pun katanya tidak luput dari praktek percaloan ini.

Selain itu, beberapa bobotoh yang nakal juga masih saja menyalakan petasan atau kembang api saat merayakan gol ke gawang lawan. Padahal, kenakalan ini mengakibatkan Persib harus membayar denda pada BLI karena dianggap tidak mampu mengontrol perilaku para supporternya. Atau, masih saja ada bobotoh yang melemparkan botol atau apapun ke dalam lapangan sebagai ekpresi kekecewaan bila timnya kalah atau dicurangi wasit. Kenakalan-kenakalan bobotoh juga seringkali mengakibatkan Persib harus bermain tanpa penonton, atau diusir tidak boleh bermain di kandang dan harus melakukan partai 'usiran' di stadion yang jauh dari kota Bandung.

Satu yang tidak pernah berubah adalah ekspresi bobotoh terhadap perilaku perangkat pertandingan (wasit, lines man) yang dianggap berat sebelah dan berlaku curang. Betapa kecewanya saat final Persib melawan PSMS dulu di jaman Perserikatan saat Persib 'dicurangi wasit Djaffar Umar. Kekecewaan itu kemudian mungkin berkembang menjadi ekspresi atau frasa WASIT GOBLOG, yang kerap dilontarkan bobotoh bila Persib kalah akibat keteledoran dan 'kecurangan' wasit.
Selebrasi yang pasti mengakibatkan Persib didenda BLI.

Dari sekilas catatan ini, saya bisa mengira-ngira berapa lama saya sudah menjadi bobotoh Persib, dan itu tidak terjadi dengan sendirinya. Tidak serta merta karena saya 'urang' Bandung lantas saya menjadi bobotoh Persib. Selain karena pengaruh lingkungan, di sini ada andil bapak saya yang mendoktrin saya untuk menjadi pecinta Persib. Saya ingat saat putaran final Perserikatan (8 Besar), Bapak seringkali pergi menonton pertandingan Persib ke Senayan Jakarta/GBK. Bahkan saat Persib menjuarai Liga Indonesia digelar dan Persib menjadi juara, Bapak nekad ke Jakarta untuk menyaksikan partai final. Walau ternyata niat beliau tidak kesampaian, karena mobil angkot (benar, angkot!)  yang ditumpanginya mogok di daerah Purwakarta. Akhirnya Bapak pulang kembali  rumah dan tiba di rumah tepat beberapa menit setelah pertandingan final yang disiarkan langsung televisi usai.

Prestasi Persib mungkin jelas naik turun. Saya juga tidak selamanya pergi menonton Persib ke stadion, atau menonton di televisi atau mendengarkan lewat radio atau mengikuti via media lain. Tetapi saya sedang mewariskan semangat cinta Persib pada anak-anak saya, persis seperti saya mewarisi kecintaan itu dari Bapak, kakeknya anak-anak. Apalagi almarhum bapak mertua, kakeknya anak-anak dari pihak istri, konon katanya pernah menjadi pemain Persib di era 60-an. Semangat sportivitas olahraga juga sedapat mungkin ditularkan. Menang, kalah, seri, adalah hal biasa dalam pertandingan (juga dalam kehidupan). Bila menang silahkan bersorak senang, bila kalah tidak usah morang-maring. Kecuali ya itu tadi, kecuali kalah karena Wasit Goblog.
Bobotoh fanatik...

Biarpun disebut fanatik tidak jelas atau subjektif, saya akan tetap mendukung Persib dan 'mendidik' anak-anak untuk menjadi bobotoh Persib. Syukur-syukur bila si Kaka (anak sulung saya) kelak bisa menjadi pemain Persib. Disebut fanatik pun tidak keberatan. Bila saya fanatik dengan Persib, apa bedanya dengan mereka yang fanatik terhadap kesenangan lain? Banyak kok yang tidak suka nonton bola tetapi fanatik dengan kegiatan lain. jadi, apa bedanya? Nyari duit saja banyak kok yang fanatik, lupa diri, hingga lupa halal-haramnya uang yang dicari.

Jadi, tetap jadi bobotoh Persib yang santun, yang 3N. Nyunda, Nyantri, Nyakola. Juga perlu diingat, bobotoh tidak identik dengan ******* (satu klub supporter Persib besar). Tetapi jelas ******** adalah bobotoh. Menang, kalah, atau seri itu biasa untuk Persib. Tetapi wasit goblog memang jangan dibiasakan.

1.03.2011

Against All Odds: Menggerayangi Puncak Tertinggi Garut dalam 24 Jam

Berikut ini adalah tulisan sahabat saya, Adhi Pramudya, yang dipublikasikan di Facebook (http://www.facebook.com/note.php?note_id=490407143258). Spesial di awal tahun ini saya mengutip (baca: menyalin utuh) catatan perjalanan yang kami lakukan di penghujung tahun 2010 yang lalu, untuk mengawali blog ini.

Hak cipta dan publikasi foto, memang milik  saya, tetapi seluruh tulisan (kecuali beberapa 'caption' photo) adalah milik karib saya.

Selamat membaca.

==========================

Di akhir 2009 saya mengajak Ricky N. Sastramihardja untuk melakukan pendakian besar di 2010. Saya sebut pendakian besar karena secara pribadi saya tak pernah lagi melakukan pendakian sejak 4 tahun sebelumnya dan sepanjang 3 tahun terakhir saya total berhenti berolahraga. Bagi saya pendakian besar ini akan menjadi tolok ukur sekaligus titik tolak aktualisasi diri. Apakah setelah sekian lama tidak mendaki, tubuh, pikiran, jiwa saya telah berkarat ataukah masih tetap bisa diandalkan untuk waktu-waktu mendatang? 

Untuk itu saya merencanakan target besar pula, target yang tidak boleh terlalu mudah. Saya menunjuk Gunung Tambora di daerah Sumbawa. Kawah dengan radius 7 km terus menggelitik pikiran saya sepanjang tahun 2009. Namun musim kemarau yang tak kunjung datang di negeri ini sepanjang lebih dari 1,5 tahun, waktu persiapan yang minim, dan biaya perjalanan yang tidak sedikit membuat saya mengurungkan rencana ini. 

Memasuki medio 2010 rencana saya ubah dengan tujuan baru, yaitu Pulau Sempu di Malang Selatan. Ajakan teman dan pemandangan laguna yang terperangkap dalam pulau telah memukau imajinasi saya. Namun rencana ini lagi-lagi gagal akibat ketidakjelasan rencana teman tersebut. Padatnya jadwal kerja juga membuat saya harus mengurungkan niat melakukan perjalanan entah sampai kapan.

Akhirnya memasuki Desember 2010, saya bertekad melawan semua rintangan yang ada. Kembali mengajak Ricky, saya menetapkan target baru yang paling mungkin untuk dicapai dari segala aspek. Namun sekali lagi target ini tidak boleh terlalu mudah. Saya harus memilih tujuan yang sama sekali belum pernah saya kunjungi. Pilihan jatuh pada Gunung Cikuray, 2.821 mdpl, sebuah titik tertinggi di wilayah Garut. 

Walaupun tertinggi di wilayah Garut, Gunung Cikuray adalah gunung yang kurang populer di kalangan pendaki. Puncak Cikuray yang misterius, hampir selalu tertutup kabut, dan ketiadaan mitos-mitos lokal membuat Cikuray tidak lebih kondang dari Gunung Guntur yang berpasir dan terlihat masif, apalagi jika dibandingkan dengan Gunung Papandayan yang relatif mudah dicapai dengan kendaraan bermotor dan memiliki pemandangan eksotik di sana sini, dan dipuja sejak zaman penjajahan. 

Niat mendaki Cikuray terus saya pelihara di dalam benak saya sepanjang bulan ini. Dibayang-bayangi pikiran takut gagal lagi akhirnya kami berketetapan hati untuk berangkat dan menemukan momen yang dianggap tepat, yaitu waktu di antara Final Leg 1 dan 2  Piala AFF, antara Indonesia melawan Malaysia. Dengan waktu persiapan logistik dan peralatan yang tidak lebih dari 1 malam di tanggal 26, kami akhirnya berhasil mengajak satu lagi rekan, Donnie Arie, untuk bergabung melakukan perjalanan keesokan harinya.

Kami berangkat menggunakan bus dari terminal Cicaheum, Bandung pada pukul 10.30 menuju terminal Guntur, Garut. Tiba di sana kami makan siang dan melengkapi beberapa logistik  yang masih kurang. Setelah itu kami melanjutkan perjalanan ke daerah Cilawu dengan angkot. Tiba di Cilawu kami melanjutkan dengan ojek melewati perkebunan teh PTPN VIII Dayeuh Manggung menuju Stasiun Relay, yang terletak tepat diantara batas perkebunan dan hutan Cikuray. Di pintu gerbang perkebunan Ricky diminta untuk menitipkan kartu identitas dan dikutip uang Rp. 10.000,- oleh satpam perkebunan.

Perjalanan menuju Stasiun Relay ini sama sekali jauh dari kata mudah. Jika menempuhnya dengan berjalan kaki, Stasiun Relay akan dicapai setelah 3-5 jam melewati perkebunan teh yang sangat-sangat luas. Dengan ojek pun perjalanan cukup menantang. Dengan waktu tempuh 40-60 menit Anda akan melewati jalan berbatu-batu kasar, kubangan air, naik turun yang tiada henti, dan percabangan jalan yang begitu memusingkan. Namun dengan jarak tempuh sekitar 12 km, ongkos yang ditetapkan terasa sangat sepadan. 

Namun tidak hanya itu tantangan yang kami hadapi. Setengah perjalanan melewati perkebunan teh, Cikuray menyambut kami dengan hujan yang cukup deras. Dengan laju ojek yang mirip roller coaster dan kecepatan angin pegunungan yang tidak ramah, kami tak bisa membayangkan jika kami harus menempuh perkebunan super luas ini dengan berjalan kaki. Angin yang  berputar bahkan bersuara keras seperti deru angin pantai. Inilah ketidakramahan pertama Cikuray yang kami rasakan. Namun lagi-lagi tantangan tidak berhenti sampai di situ. 

Saking derasnya hujan, pengemudi ojek akhirnya memakai jas hujan untuk menutupi badan. Sebagai penumpang kami juga ikut kebagian tertutupi oleh lembaran belakang jas hujan, namun justru di situlah masalahnya. Kami tidak bisa melihat apapun yang ada di depan dan sekitar kami. Saat itu kami hanya menyerahkan keselamatan kami pada Tuhan dan percaya sepenuhnya pada kemampuan pengemudi ojek dalam mengendalikan tunggangannya. Akhirnya sekitar pukul 15.00 kami tiba di Stasiun Relay dengan keadaan basah kuyup. 

Stasiun Relay ini dihuni beberapa stasiun televisi nasional. Dari titik inilah biasanya para pendaki menetapkan waktu permulaan dan akhir perjalanan. Di StasiunRelay ini kami menumpang istirahat, mengepak ulang, dan mengisi air bersih, karena memang Cikuray tidak memiliki sungai atau aliran air yang mudah dimanfaatkan. Inilah ketidakramahan Cikuray yang kedua. Tepat pukul 16.00 kami berangkat menuju punggungan gunung dengan satu doa sebelum perjalanan: semoga kami mendaki dalam keadaan cerah.


Tuhan mengabulkan doa kami, cuaca mendadak cerah. Tantangannya sekarang adalah pembuktian yang sebenarnya: mampukah kaki-kaki kami mendaki seperti tahun-tahun yang lewat? Di pinggiran perkebunan teh menuju hutan Cikuray kami disajikan jalan menanjak dengan kemiringan 30-40 derajat. Melewati sisa semak-semak teh kami mulai berada di punggungan gunung dengan ladang akar wangi di sekitar kami. 

Pemandangan dari sana begitu membahagiakan. Stasiun Relay terlihat cantik dengan menara-menaranya yang menjulang dan dilukis dengan lembah dan pemandangan Gunung Guntur dan Galunggung yang cantik di latar belakangnya. Dari sana menatap ke arah puncak Cikuray, terlihat jelas punggungan yang akan menjadi jalur kami menuju puncak. Melihat ketinggian dan kemiringannya, mau tidak mau kami pun menarik nafas panjang. Sungguh menantang.



Tanjakan pertama: melewati perkebunan teh. pada saat perjalan pulang, akhirnya kita sadar bahwa tanjakan ini adalah berubah menjadi turunan yang sangat berbahaya....

Lepas dari ladang akar wangi kami memasuki semak pakis yang rimbun dan pepohonan yang mulai meninggi. Inilah pintu hutan Cikuray. Jalur yang kami lewati masih tergolong landai dan di beberapa bagian agak meninggi dengan pijakan akar. Karena berangkat dari Stasiun Relay cukup sore maka target kami adalah menempuh jarak maksimal sampai kami berhenti di pergantian terang ke gelap. Tepat pukul 17.30 kami sampai pada lahan yang cukup rata di sisi kiri jalur dan bisa memuat 2 buah tenda. Kami memutuskan untuk bermalam di situ. 

Setelah menaruh beban, saya meminta Donnie dan Ricky untuk membangunflysheet sebagai shelter awal, dan saya memutuskan sementara naik sendirian untuk melakukan pengintaian jalur ke atas karena keadaan masih cukup terang. Beberapa puluh meter berjalan saya menemukan persimpangan jalan yang terbuka. Ada satu plang kecil bertanda panah ke kanan yang dipakukan ke batang pohon, namun agak meragukan. Saya memutuskan untuk mengambil jalur sebelah kiri. 

Semakin saya menempuhnya semakin rapat pula vegetasi yang ada, semakin basah jalurnya, semakin sulit karena banyak batang pohon tumbang, dan tentunya semakin gelap. Akhirnya saya memutuskan untuk berbalik arah ke persimpangan jalan sebelumnya. Saya menyadari bahwa ini adalah jalur yang salah. Waktu sudah sedemikian sempit karena cahaya sudah mulai pudar. Sampai di persimpangan saya lantas mengambil jalur yang benar dan menemukan kenyataan bahwa jalur mulai menanjak serius dari situ menuju puncak. 

Kembali ke camp keadaan sudah gelap dan kami mulai membangun tenda dan mengorganisasi persiapan istirahat dengan efektif. Kami menargetkan untuk tidak tidur terlalu larut, agar tetap bugar keesokan harinya agar mampu menghadapi jalur yang terhitung sulit menuju puncak. Dan dimulailah kegiatan favorit para pendaki gunung: memasak! Saya bertindak sebagai chef dan Donnie sebagai asisten chef. Ricky? Tentu saja sebagai pelanggan yang berharap acara memasak ini menjadi demonstrasi fast food mengingat jeritan perutnya yang sedemikian menuntut.





Menu makan kami malam itu adalah nasi putih dan deep-fried caramelized chicken, dilengkapi pop-corn sebagai makanan ringan serta kopi hangat sebagai penutup. Selesai makan waktu sudah menunjukkan pukul 22.00. Kami masuk ke dalamsleeping bag dan beristirahat. Malam itu saya tidak bisa tidur pulas semenit pun. Entah mengapa. Mungkin pikiran saya sudah lebih dulu berjalan-jalan ke puncak gunung ini, sehingga sering kali terjaga. 

Di luar tenda angin bederu kecang dan menampar-nampar pepohonan sepanjang malam. Sempat turun hujan kecil sekitar pukul 1 atau 2 dini hari, namun Cikuray terbilang cukup ramah malam itu. Kami beristirahat dengan tenang. Beberapa menit sebelum pukul 4 pagi saya memutuskan untuk bangun, melipat sleeping bag, membangunkan Donnie, dan langsung memasak untuk sarapan. Ricky bangun 1 jam kemudian.






Menu sarapan pagi itu adalah nasi putih, pan-fried corned beef, dan sup sayuran lengkap, ditutup dengan teh dan kopi panas. Di gunung ini tidak pernah ada hidangan yang panasnya bertahan lebih dari 3 menit. Suhu yang rendah membuat semua makanan atau minuman cepat mendingin dan harus disantap dengan segera. Selesai sarapan kami membereskan peralatan. Mempertimbangkan jalur yang tak mudah, kami memutuskan untuk meninggalkan sebagian peralatan dan logistik. Kami hanya membawa peralatan dan logistik yang dianggap urgen.

Pukul 07.00 kami meninggalkan camp dan menuju puncak. Di persimpangan jalan terbuka, kami berhenti sejenak untuk menutup jalur yang menyesatkan itu dengan dahan-dahan kayu dan menandainya. Dari sana jalur semakin terjal dan mulai menampakkan kesulitannya dalam keadaan terang. Jalur yang kami lewati masuk ke dalam hutan zona Sub-Montana yang terdiri dari pohon-pohon tinggi dan semak berdaun lebar, serta kabut yang masih terbilang masih tipis. Pijakan kami mayoritas terdiri dari pijakan akar pohon atau semak. Bahkan sering kali kami memerlukan bantuan tangan untuk mempertahankan keseimbangan. 







Namun bukan itu yang menjadi faktor kesulitan, melainkan sepanjang jalur menuju puncak ini mengingatkan saya pada kemasyhuran jalur Linggarjati yang ada di Gunung Ciremai, di mana sepanjang jalan ketika naik, lutut Anda berkali-kali akan menyentuh dagu. Di sepanjang jalan mungkin Anda hanya akan menemui 3 atau 4 pijakan landai di jalur utama, dan itu pun sangat pendek. Di luar itu Anda akan menemui jalur dengan kemiringan 40-50 derajat. Artinya penderitaan Anda tidak akan berakhir dengan singkat. Inilah ketidakramahan Cikuray yang ketiga. 







Jalur menuju puncak dapat dikenali dengan mudah. Pendaki-pendaki sebelumnya meninggalkan string tag berupa tali rafia yang diikatkan pada batang pohon. Namun bukan hanya itu, jalur sangat-sangat mudah dikenali karena pendaki-pendaki sebelumnya juga meninggalkan banyak sampah (!) berupa bungkus makanan, botol plastik, kaleng minuman, dan kantong keresek di sepanjang jalur, juga di beberapa pelataran landai yang digunakan sebagai camp. Edukasi yang kurang menyebabkan pendaki-pendaki ini enggan membawa turun sampah mereka. Sebuah perilaku tipikal yang mencoreng citra pendaki gunung dan sama sekali tak pantas ditiru.




Saya berjalan paling depan dan meninggalkan Donnie dan Ricky yang juga bertujuan untuk melakukan dokumentasi foto. Walaupun yang terdepan, perjalanan tidak saya lalui dengan mudah. Namun saya sangat menikmati pendakian yang sulit ini. Apalagi kalau bukan karena pemandangannya. Lepas dari zona Sub-Montana, Cikuray menyajikan pemandangan hutan khas zona Montana yang begitu memukau. Pohon-pohon tinggi yang basah, lumut tebal yang menempel di sana sini, dan tentunya kabut melayang yang seolah-olah membeku di sekitar kita. 






Akhirnya saya tiba di satu pelataran terbuka yang dikenal sebagai Puncak Bayangan tepat satu jam setelah berangkat. Setelah beristirahat untuk minum, saya segera melanjutkan perjalanan menuju puncak. Dari sana jalur yang dilalui lebih rapat, basah, terjal, dan berkabut daripada sebelumnya. Lebih pendek namun kemiringannya mencapai hampir 50-60 derajat. Setelah beberapa lama, saya mulai menemui jalur berbatu, pohon-pohon tinggi mulai menghilang, dan hutan dipenuhi semak pendek khas zona Sub-Alpin. Dari pemandangan itu saya sudah tahu: puncak sudah dekat!


Tak begitu lama saya menemui pijakan-pijakan batu ukuran sedang dengan vandalisme berupa coretan-coretan cat. Di sekitarnya terhampar semak eidelweiss, cantigi, cemara gunung, dan arbei yang sudah marak dengan bunga. Segera saya mempercepat langkah naik. Dan akhirnya tepat pukul 09.00 saya mencapai puncak!


PUNCAK!

Puncak Cikuray ditandai dengan adanya bekas Pos Relay yang berupa bangunan kotak dari dinding plesteran. Dulunya Pos Relay ini masih dilengkapi dengan pintu baja, jendela, peralatan operasi relay, dan menaranya. Namun semua itu sekarang hilang dan menyisakan bangunan kotak tanpa pintu dan jendela yang penuh dengan coretan cat. Di sana saya bertemu dua orang pendaki yang lebih dulu sampai lewat jalur pendakian Cikajang.


Saat itu puncak Cikuray ditutupi kabut tebal dan angin super kencang. Tak disangka saya sempat menerima panggilan telepon. Ternyata ada sinyal selular yang beberapa kali tertangkap di sana, namun sebentar kemudian drop. Dalam keadaan menggigil dan tangan yang mulai kebas, saya sempat berkirim pesan pendek namun tak lama sinyal dan baterai ponsel saya drop. Dengan murah hati saya sempat disuguhi kopi panas oleh kedua orang kawan baru saya ini. Satu jam setelah saya sampai di puncak, akhirnya Donnie tiba, dan Ricky menyusul 15 menit kemudian.

Kami langsung memasak air dan membuat susu cokelat panas dan mengeluarkan biskuit serta jelly sebagai menu makan siang kami. Berlima kami menikmati hidangan on-the-go sederhana ini. Memang kami belum sampai pada jam makan siang, namun angin yang dingin membuat kami harus mempertahankan suhu badan kami. Setelah itu kami berfoto ria dan saling bertukar nomor kontak dengan rekan kami dari Cikajang ini. 


Kabut tebal dan angin kencang terus saja mengurung kami yang berada di puncak. Sempat tersingkap sebentar, puncak Cikuray menghadirkan pemandangan luar biasa megah. Lembah Cikajang yang hijau dan Gunung Papandayan yang memukau di belakangnya. Sayang, pertunjukan ini hanya berlangsung beberapa detik saja, setelah itu kabut kembali naik. Alhasil, kami tidak berhasil mendapatkan foto pemandangan dari puncak. Tepat pukul 11.00 kami memutuskan untuk kembali turun dan meninggalkan kedua rekan kami tersebut yang masih memasak makanan. 


Seperti biasanya saya turun dengan lebih dahulu. Donnie dan Ricky menyusul. Ricky pun hanya mengambil sedikit saja gambar, karena mayoritas sudah diambil ketika perjalanan mendaki. Namun jangan Anda kira perjalanan akan menjadi mudah walaupun ini menurun. Pijakan yang berjauhan membuat lutut dan telapak kaki Anda bekerja lebih keras untuk menahan bobot tubuh, beban bawaan, dan menahan keseimbangan agar tidak terjatuh. Dengan pijakan yang berjauhan seperti ini, jika Anda terjatuh, maka risikonya akan lebih besar dibandingkan dengan pijakan yang landai.

Ternyata perjalanan turun pun cukup melelahkan. Setengah jam turun dari Puncak Bayangan saya sempat bertemu dua rombongan pendaki yang akan naik, satu dari Padalarang dan yang satunya dari Tangerang. Setelah mengobrol sebentar kami melanjutkan perjalanan kami masing-masing. Saya tiba di camp di mana kami bermalam tepat pukul 13.00. Artinya perjalanan yang saya tempuh, naik dan turun, memakan waktu yang sama (!). Sungguh perjalanan turun yang sama sekali tak mudah. Lagi-lagi perjalanan ini mengingatkan saya akan jalur Linggarjati yang kondang itu.


Setelah mengeluarkan peralatan yang kami sembunyikan, saya menunggu dua rekan saya turun. Cukup lama saya menunggu. Dan tepat seperti dugaan saya, satu jam kemudian mereka datang. Persis sama dengan waktu mereka mendaki. Tak menunggu lama setelah mereka datang, kami mulai mengepak ulang dan melanjutkan turun pada pukul 14.20 menuju Stasiun Relay kembali. Tak disangka, mulai dari saat itulah sesuatu yang aneh terjadi pada diri saya.

Saya mencoba berjalan turun seperti biasa, namun lama kelamaan keseimbangan saya mulai hilang. Seolah-olah kaki saya tidak lagi memiliki otot. Baru pertama kali (!) dalam hidup saya mengalami hal seperti ini dan saya tidak tahu apa sebabnya. Saya betul-betul kepayahan. Saya turun dengan mengandalkan pegangan tangan dan pengaturan keseimbangan. Pengalaman mengatur keseimbangan dalam olahraga panjat tebing benar-benar membantu. Jika tidak, saya pasti sudah ambruk pada saat itu.

Donnie tampak lebih baik dalam hal berjalan turun. Untuk itu saya minta ia berjalan di depan dan menunggu di ladang akar wangi agar pergerakan tim tetap lancar. Ricky? Anda sudah bisa menduganya. Walaupun ia sudah kepayahan sejak awal turun dari puncak dan tertinggal di belakang, tapi saya percaya bahwa ia mampu melewati kesulitannya. Ricky sudah pernah melewati tantangan yang lebih berat daripada ini. Kesulitan untuk saya belum berakhir. Mendekati pintu keluar hutan sudah tidak ada lagi pohon besar yang bisa saya raih, hanya ada semak pakis yang pendek, dan jalan pun semakin licin oleh lumut. 

Namun dengan susah payah saya akhirnya berhasil sampai di ladang akar wangi di mana Donnie telah menunggu. Dari sana Stasiun Relay sudah tampak begitu dekat. Donnie tampak melepaskan barang bawaannya dan berjalan-jalan di sepanjang galur ladang. Tak lama ia bercerita bahwa ia pun mengalami hal yang serupa dengan saya (!), terutama ia rasakan ketika berada di jalan datar. 

Ternyata bukan hanya saya yang mengalami hal ini. Dari situ saya paham bahwa kaki saya yang tidak pernah lagi digunakan untuk berolahraga intens lah yang menyebabkan saya begini. 3 tahun total berhenti olahraga dan langsung melakukan pendakian yang cukup berat dalam waktu yang singkat membuat otot saya mengalami overburn. Namun Donnie tampak jauh lebih baik karena kakinya sering digunakan untuk berolahraga futsal. Ricky? Saya enggan membayangkan dan cukup mengerti saja dalam hati.

Sedianya kami akan menunggu Ricky di titik itu dan baru melanjutkan perjalanan setelah ia datang. Namun tidak begitu lama saya datang, hujan mulai turun. Tadinya kami berniat bertahan, namun hujan malah turun semakin deras. Khawatir kondisi fisik kami semakin drop, akhirnya saya memutuskan untuk turun menuju Stasiun Relay bersama Donnie. Saya juga khawatir jika kami berada di area terbuka dalam kondisi hujan, maka potensi petir akan mendekati kami. 

Kami bergegas turun melewati ladang akar wangi dan semak-semak teh. Bergegas? Tidak juga. Karena kondisi kaki-kaki kami yang sudah kepayahan, perjalanan menuju Stasiun Relay jadi berkali lipat lebih sulit. Jalan yang licin, aliran air yang deras, ketiadaan pegangan membuat perjalanan turun makin sulit. Dan dengan segala daya upaya akhirnya kami berhasil mencapai Stasiun Relay. Donnie tiba beberapa menit lebih dulu. Saya tiba pada pukul 15.15. Kami berdua tiba dengan kondisi basah kuyup. 


Sambil menunggu datangnya Ricky, saya dan Donnie langsung bekerja sama memasak makanan panas. Saya memutuskan untuk memasak macaroni bolognaisedan kopi. Sembari memasak kami mengganti pakaian dengan pakaian kering. Kami sempat khawatir karena Ricky tak kunjung muncul. Mendekati sore hari tampak sesosok bayangan muncul dan mendekat dari semak-semak teh. Ternyata itu Ricky. Sempat mengambil percabangan jalan terakhir yang salah di kebun teh, akhirnya Ricky berhasil turun dan sampai di Stasiun Relay tepat pukul 16.00. 


Itu berarti tepat 24 jam, kami, trio pendaki nekat, telah tuntas menunaikan niat kami mendaki Gunung Cikuray yang selama ini hanya kami lihat kecantikannya dari jauh. Allahu Akbar! Ricky yang sampai di Stasiun Relay langsung membaringkan diri dengan tubuh kakunya ke lantai namun tetap tertawa-tawa. Kami semua tertawa-tawa. Menertawakan kepayahan kami, menertawakan kesuksesan niat, menertawakan kehangatan kisah perjalanan. Sungguh indah. 

Setelah makan sore itu, berganti pakaian kering, dan mengepak ulang peralatan, kami menghubungi ojek untuk menjemput kami. Terima kasih Tuhan. Anda bisa membayangkan, apa yang harus kami lakukan dan apa yang akan kami alami untuk turun ke Cilawu jika saat itu teknologi selular belum ada di Indonesia. Setelah berpamitan pada penjaga Stasiun Relay, kami turun dengan ojek pada pukul 18.00, melewati perkebunan Dayeuh Manggung yang gelap berkabut dan tiba di Cilawu sekitar pukul 19.00.


Kami cukup lama menunggu datangnya angkot yang akan mengantarkan kami ke terminal Guntur. Sekitar pukul 20.30 kami tiba di terminal. Untuk ukuran Garut itu sudah cukup larut. Akibatnya tidak ada lagi bus yang beroperasi untuk mengantarkan kami kembali ke Bandung. Namun setengah jam kemudian akhirnya kami menemukan mobil omprengan yang menuju Bandung. Memang berdesak-desakan, tarif lebih tinggi bahkan dari bus AC, dan suasananya sumpek karena beberapa orang merokok di dalam mobil yang kecil itu, namun kami bersyukur akhirnya kami tiba di Bandung malam itu juga dengan selamat dan relatif cepat.

Dalam perjalanan pulang dari Cilawu Ricky sempat bercanda dengan mengatakan bahwa ia kapok mendaki gunung, namun kami tahu bahwa itu tidak mungkin, sebab mendaki gunung akan selalu menjadi salah satu kegemaran dan kenakalan yang kami pelihara. Karena kami tahu bahwa jika kami tidak mendaki gunung, itu sama artinya dengan membiarkan tubuh, pikiran, jiwa kami berkarat, dan pasti kami akan menua semakin cepat. Pada saat di camp saya pun membagi adagium yang saya percayai betul kesaktiannya kepada Ricky dan Donnie.

Adagium itu berbunyi, "Anda tidak berhenti bermain karena Anda menjadi tua, namun Anda menjadi tua karena Anda berhenti bermain".

Selamat tahun baru!

11.08.2010

TANGGAL 26 DAN BENCANA ALAM: HOAX YANG MENYESATKAN

http://6ix2o9ine.blogspot.com

Beberapa hari ini seiring dengan terjadinya bencana kembar/dual disaster di tanah air, saya menerima sms seperti ini:
"ada apkh d bl!k an9ka 26???26 Des 2004. sunami d aceh, 26 mei 2006 Gmpa d Jogja, 26 Juni 2009 Gmpa d Tasikmalaya, 26 Okt 2010 Sunami di Mentawai, 26 Okt 2010 Merapi Meletus. T'nyata dlm al_qur'an surat k'26 (asy-syura) tntng azab Allah!!!! , tlng sms n!e krm pd 7 org. jgn d p'rmainkn Demi ALLAH n!e Amanah jgn d hpus sblm dkrm ke 7 org.."
Pada data lain berupa komentar atas status saya di Facebook adalah sebagai berikut:
Bencana Tahun 1500-2000: 26 Jan 1531 gempa bumi di Lisbon, Portugal, 30.000 orang tewas 26 Jan 1700 gempa di Laut Pasifik, dari Vancouver Island, Southwest Canada off British Columbia hingga Northern California, Pacific Northwest,USA. Dikenal sebagai megathrust earthquake. 26 Jul 1805 gempa bumi di Naples, Calabria, Italy, 26.000 orang tewas 26 Agt 1883 Gunung Krakatau meletus, 36.000 orang diperkirakan tewas 26 Des 1861 gempa bumi di Egion, Yunani 26 Mar 1872 gempa bumi di Owens Valley, USA 26 Agt 1896 gempa bumi di Skeid, Land, Islandia 26 Nop 1902 gempa bumi di Bohemia, sekarang Czech Republic 26 Nop 1930 gempa bumi di Izu 26 Sep 1932 gempa bumi di Ierissos, Yunani 26 Des 1932 gempa bumi di Kansu, Cina, 70.000 orang tewas 26 Okt 1935 gempa bumi di Colombia 26 Des 1939 gempa bumi di Erzincan, Turki, 41.000 orang tewas 26 Nov 1943 gempa di Tosya Ladik, Turki 26 Des 1949 gempa bumi di Imaichi, Jepang 26 Mei 1957 gempa di Bolu Abant, Turki 26 Mar 1963, gempa bumi di Wakasa Bay, Jepang 26 Jul 1963 gempa bumi di Skopje, Yugoslavia, 1.000 orang tewas 26 Mei 1964 gempa bumi di S. Sandwich Island 26 Jul 1967 gempa bumi di Pulumur, Turki 26 Sep 1970 gempa bumi di Bahia Solano, Colombia 26 Jul 1971 gempa bumi di Solomon Island 26 Apr 1972 gempa bumi di Ezine, Turki 26 Mei 1975 gempa bumi di N. Atlantic 26 Mar 1977 gempa bumi di Palu, Turki 26 Des 1979 gempa bumi di Carlisle, Inggris 26 Apr 1981 gempa bumi di Westmorland, USA 26 Mei 1983 gempa bumi di Nihonkai, Chubu, Jepang 26 Jan 1985 gempa bumi di Mendoza, Argentina 26 Jan 1986 gempa bumi di Tres Pinos, USA 26 Apr 1992 gempa bumi di Cape Mendocino, California, USA 26 Okt 1997 gempa bumi di Italia Khusus INDONESIA Tsunami di Aceh tanggal 26 Dec'04, Gempa Jogja 26 Mei 2006, Tasik gempa 26 juni 2010, Tsunami Mentawai 26 Okt 2010, Merapi Meletus 26 Okt 2010. "̮..hϱ..hϱ..hϱ..hϱ..hϱ..

Bagi saya, SMS dan komentar tersebut, yang mungkin juga anda terima, adalah suatu tawaran yang menarik. Di mana kita diminta untuk mengingat-ingat beberapa kejadian bencana untuk lebih dekat dan mempercayai Alloh SWT, Dzat Khalik Yang Maha Kuasa.

Pada SMS yang saya terima misalnya, sebagai seorang muslim, saya diminta untuk menengok kembali Al Qur'an dan terjemah/tafsirnya untuk mengatahui arti ayat 26 surat Asy Syuura yang dimaksud.[...] T'nyata dlm al_qur'an surat k'26 (asy-syura) tntng azab Allah! [...]

Dari penelusuran itu saya tahu bahwa QS 26 bukanlah surat Asy Syuura. Surat Asy Syuura adalah surat ke 42 dalam Al Qur'an. Sedangka ayat 26 yang dimaksud, memang benar mengenai azab Alloh SWT terhadap orang-orang kafir yang berpandangan 'menyimpang' mengenai ketetapan Alloh SWT tentang kiamat. QS 26 adalah surat Asy Syu'araa dan ayat ke 26 adalah ayat yang menyebutkan bantahan Musa A.S. terhadap Fir'aun.

SMS itu juga menulis bahwa [...]26 mei 2006 Gmpa d Jogja, 26 Juni 2009 Gmpa d Tasikmalaya, 26 Okt 2010 Sunami di Mentawai, 26 Okt 2010 Merapi Meletus [...]. 2 peristiwa belakangan masih bisa diverifikasi kebenerannya karena baru berlangsung beberapa hari lalu. Tetapi 2 tanggal pertama (26 Mei 2006 Gempa Yogya dan 26 Juni 2009 Gempa Tasikmalaya) adalah kebohongan belaka.

Jelas saya masih ingat bahwa Gempa Tasikmalaya dengan kekuatan 7,2 SR terjadi tanggal 2 September 2009. Saya masih bisa mengingat hal itu karena tanggal 3 September adalah hari lahir anak pertama saya, yang pada tahun 2009 dirayakan dalam keprihatinan dan ketakutan. Prihatin karena ada tetangga yang mengungsi ke rumah kami karena tempat tinggalnya rusak berat. Takut karena gempa itu sangat besar.

Sedangkan gempa di Yogya terjadi pada tanggal 27 Mei 2006. Jelas lagi bahwa SMS tersebut terlalu memaksakan semua kejadian bencana besar yang kita alami selalu terjadi di tanggal 26.

Sedangkan pada data ke dua, deretan angka 26 di atas tampak meyakinkan karena lengkap dengan tanggal, bulan, tahun, jenis bencana dan lokasinya. Namun lagi-lagi saya menemukan kesalahan yang fatal, yakni
[...]Khusus INDONESIA ....Gempa Jogja 26 Mei 2006, Tasik gempa 26 juni 2010, ..hϱ..hϱ..hϱ..hϱ..hϱ.. [...]

Sudah jelas bahwa dua kejadian yang tercetak tebal itu adalah data bohong alias palsu alias H O A X.

...

Saya hanya ingin berbagi pada semua untuk tidak terlalu menelan mentah semua yang kita dapat di dunia maya. Banyak sudah kebohongan-kebohongan yang tersebar melaului dunia internet atau SMS. Seperti misalnya yang ramai dibicarakan via Blackberry Messenger atau SMS adalah akan adanya gempa besar dengan kekuatan 9,8 SR pada tanggal 26 November 2010. Saya tidak punya kompetensi untuk membantah isu tersebut, namun menurut para ahli jelas disebutkan bahwa gempa bumi TIDAK BISA DIPREDIKSI dengan tanggal yang tepat. Para ahli hanya mengetahui akan terjadi gempa, tetapi belum mampu mengetahui seberapa besar tepatnya dan tanggal pastinya. Ilmu manusia belum sampai ke sana. Biarlah hal tersebut menjadi rahasia Tuhan Yang Maha Esa agar kita sebagai manusia tetap beriman, berharap, dan berdoa padaNya. Buka pada tuhan yang lain. Termasuk tuhan ilmu pengetahuan itu sendiri.

Hal lain, bila ingin berbuat baik, bersyi'ar, berdakwah, mengingatkan manusia pada Sang Khalik, seperti yang dimaksud SMS HOAX tersebut, mengapa harus dengan jalan berbohong? Bila ingin menyampaikan berita kebenaran, dakwah yang mengingatkan, sampaikanlah dengan cara yang benar. Bukan dengan berbohong.

Simpulan saya adalah data yang beredar di masyarakat seperti pada SMS dan komentar yang saya sertakan di atas, hanyalah BERITA BOHONG atau HOAX.

Jangan percaya dan tetap waspada. Tetap mengingat keesaan dan kekuasaanNya, karena bencana alam yang terjadi bukanlah  sekedar fenomena alam biasa, tetapi juga merupakan cara Alloh SWT memberi kita peringatan.

Wallohu'alam bissawab.

7.31.2010

Bekerja dan Rendah Hati

http://6ix2o9ine.blogspot.com
...
Abu Mawahib As Sya'roni menjelaskan bahwa manusia yang bekerja memiliki kelebihan-kelebihan yang tidak dimiliki oleh manusia yang hanya beribadah saja dalam hidupnya. Pertama, jerih payah usahanya akan dinikmati sendiri. Hal ini karena ia makan dari usahanya sendiri, bukan dari pemberian (sedekah) orang lain, yang konon, dianggap sesuatu yang kotor sehingga Nabi melarang keluarganya memakan barang sedekahan. Kedua, tidak ada kesombongan dan merasa paling pintar dan berilmu atas orang lain. Dengan demikian dalam hal ini ia akan melihat dirinya lebih rendah, dan orang lain lebih tinggi. Rendah hati sangat dianjurkan oleh Nabi. Ingat, rendah hati bukan rendah diri
....
Muhammad KH, dikutip dari Buletin Tafakuran edisi 178 2500 23 Juli 2010

5.03.2010

PERSIB

http://6ix2o9ine.blogspot.com

Ieu mah carita teh aya patula-patalina jeung Persib Bandung. Najan kajadianana geus lila pisan, jaman kompetisi anyar pindah ka Liga Indonesia.

Harita teh taun 1998. Kuring masih kuliah. Ari karesep teh harita kana nulis sajak. Meureun keur mah lingkungan kuring hirup di antara peminat sastra, katurug-turug sakola oge ngeunaan sastra. Lian ti eta, sajak kungsi jadi ekspresi estetis kuring ngeunaan pulitik di lemah cai di taun 1998 nu keur genting--gentingna. Jadi we nulis sajak teh bagean tina hirup kuring harita. Sabenerna aya hiji alesan deui naha kuring bet remen nulis sajak, nyaeta alantaran keur ticengklak hate. Apanan cenah nulis sajak mah bakal leuwih daria mun keur gandrung asmara atawa keur hate ngoceak.

Di antara loba panyajak, kuring resep pisan ka sajak-sajakna Kang Toto ST. Radik. Dumeh, sajak-sajakna dipikawanoh dina carpon Balada si Roy (Gola Gong) nu dibaca mangsa kuring SMA keneh. Oge lantaran sajak-sajak Kang Toto teh meni plastis, asa bisaan pisan marigelkeun kecap jeung ma'na. 

Alatan ku resep tea, kuring harita nyiar alamatna. Nya meunang pisan ti kang Bambang Q. Anees, koleha-na kang Toto sasama urang Serang (mun teu salah mah aktivis di LiSt, Serang).  Berengbeng we harita teh leos ka Serang Banten. ka Panancangan, ka bumina kang Toto. Barang tepi teh harita kang Toto keur suwung. Masih keneh di lapangan, da harita mah kang Toto teh masih dines di BKKBN Banten minangka PNS tenaga penyuluh.

Teuing sabaraha lila, panggih we jeung kang Toto. Bari sanduk-sanduk menta hampura alatan teu ngabejaan ti anggangna. Bubuhan harita mah internet jeung hape acan usum. Iwal ti jang nu kaya jeung aktivis we harita mah. Alhamdulillah, kang Toto teu nganaha-naha. Nya ti dinya uplek we ngobrol tepi ka peuting.


Meh bada isya, kuring dianter ka kosan sobat kuring, Ceu Yos. Harita teh Yos geus gawe di Serang da sakolana geus beres. Teuing harita ngobrol naon di imah Yos, ngan nu kuring inget basa rek balik, Yos ngeupeulan duit. "Jang roko" cenah. Harita kuring masih keneh nyandu roko. Teu talangke, diasupkeun we kana pesak duit teh. Lumayan. Keur mah emang duit kuring ge kari saongkoseun pisan ka Bandung.

Memeh balik kang Toto kungsi ngajak dahar heula. Poho deui di mana, ngan harita teh diajak dahar Sate Bandeng, kadahareun has Serang, nu sumpah, tepi ka poe ieu masih inget keneh wae rasana nu gurih tur pelem. Bari dahar teh angger ngobrolkeun su'al sastra, Balada Si Roy, tepi ka proses kreatif kang Toto. Obrolan uplek tepi ka tengah peuting dibarung ku manggelas-gelas cikopi jeung roko.

Lantaran isukanana kuring kudu aya di Jatinangor, nya peuting eta keneh kuring amitan. rek tuluy balik. Kang Toto teu kungsi nganteur ka terminal, ngan ongkos angkot mah dipangmayarkeun. Tepi ka terminal Ciceri, kuring laha-loho neangan beus jurusan Bandung.

Teuing lantaran ku geus tunduh teuing emang caliwera, harita kuring nempo dina kaca hareup beus teh aya stiker badag tulisan PERSIB. "Ah, pasti ieu beus ka Bandung", cekeng teh. Kalacat we naek beus. Diuk teh di tukang da ngarah bisa ngaroko.

Teu lila beus teh maju ngageuleuyeung. Kuring ngadon reup sare da tunduh balas kurang sare sababaraha poe samemehna. Sabot keur ngeunah-ngeunah peureum, di palebah tol, kuring dihudangkeun ku kondektur. "Ongkosna A", cenah.

Song we duit ku kuring diasongkeun, "Ka Bandung Kang. Di Kebon Kalapa gugahkeun nya", cek kuring bari humandeuar. Tunduh keneh.

Ti dinya si kondektur ngaheneg, "Ka Kebon Kalapa?"

"Enya"

"Tapi Kang da ieu mah beus anu jurusan ka Cirebon!"

Cirebon? Cilaka dua belas!! Paingan sabot lilir heran, naha beus teh lempeng wae siga teu kaluar ti tol. Teu asup wae ka Puncak atawa Cianjur. Horeng beus nu nerapkeun tulisan PERSIB teh jurusan...Cirebon! Paingan we malipir make jalur Pantura.

Sajajalan tepi ka Cirebon kuring teu bisa sare, antara hayang seuri ku polah sorangan, oge lantaran gegebegan sieun ongkos kurang. Untung harita dikeupeulan ku Yos, Jadi barang tepi ka Cirebon, kuring bisa nyambung deui beus nu ka Jatinangor.

Duh, gara-gara PERSIB!!!

11.27.2009

Catatan dari Pedalaman Siberut

Alhamdulillah, setelah lama mengidamkan sebuah perjalanan ke Kep. Mentawai di Sumatra Barat sana, akhirnya keinginan itu terkabul juga. Memang bukan perjalanan pelesir, tetapi lebih sebagai sebuah pekerjaan, assignment. Perjalanan ini merupakan suatu rangkaian perjalanan setelah sebelumnya melakukan observasi dan dokumentasi permasalah-permasalahan yang terdapat di Kepulauan Seribu (Jakarta), TPA Bantar Gebang (Bekasi), Kabupaten Padang Pariaman (Sumatra Barat) dan berakhir di Kepulauan Mentawai (Sumatera Barat).

Observasi dan dokumentasi khususnya yang dilakukan di Kep. Mentawai difokuskan pada masalah sarana dan prasarana transportasi, pembinaan dan dakwah Islam, serta permasalahan lainnya yang mungkin berkaitan dengan kedua permasalahan utama tersebut. Assignment ini mengharuskan saya merekam berbagai aspek permasalahan tersebut ke dalam format video semi dokumenter untuk kepentingan lembaga yang menugaskan saya, Badan Wakaf Al Qur'an Jakarta (BWA). Observasi ini difokuskan di Kecamatan Siberut Selatan, Pulau Siberut Kep. Mentawai. Pembatasan wilayah ini dilakukan mengingat luasnya wilayah observasi yang tidak bisa dijangkau dengan mudah mengingat keterbatasan sarana transportasi, faktor cuaca, waktu dan biaya yang tersedia.



Dari hasil observasi, ada beberapa catatan mengenai masalah dalam upaya pengembangan dakwah dan pembinaan umat Islam di Mentawai. Pada observasi ini juga dilakukan beberapa interview dengan tokoh masyarakat, tokoh agama, serta warga masyarakat lainnya, yang direkam ke dalam videotape. Sebagai resume awal, masalah dalam pengembangan dan pembinaan umat Islam di Kep. Mentawai umumnya meliputi minimnya dan mahalnya biaya transportasi, rendahnya kesejahteraan para da'i di pedalaman, serta tidak optimalnya pembinaan umat Islam di pedalaman.

Secara umum, di Pulau Siberut terdapat dua kelompok masyarakat, yakni masyarakat asli Suku Mentawai dan masyarakat pendatang. Masyarakat suku Mentawai ini umumnya berdiam di desa-desa di pedalaman. Masyarakat pendatang umumnya berasal dari suku Minang, Jawa, Nias, Batak atau suku lainnya. Dari segi keagamaan,mereka menganut agama Islam, Protestan, Katolik, serta kelompok kecil penganut agama Baha'i. Agama asli Mentawai,Sabulungan, pun masih banyak penganutnya. Sabulungan lebih merupakan animisme-dinamisme yang diwariskan dari nenek-moyang suku Mentawai.



Mahalnya biaya transportasi disebabkan oleh belum adanya jalan darat yang menuju ke pedalaman. Untuk menuju pedalaman dipergunakan sarana transportasi air berupa sampan dan perahu dengan mengikuti aliran sungai yang berasal dari hulu atau menyusuri garis pantai. Dengan demikian biaya bahan bakar yang dipergunakan juga menjadi sangat mahal. Sebagai misal, untuk menempuh perjalanan pergi pulang ke sebuah desa yang berada di pedalaman dengan waktu tempuh l.k. 2 jam, diperlukan BBM sebanyak 40 liter senilai Rp. 280.000. Biaya tersebut tidak termasuk sewa perahu dan upah dua orang kru (pengemudi dan navigator). Dapat terhitung berapa banyak biaya bila dalam dua kali sebulan misalnya, para da'i di pedalaman ini harus turun ke Muara Siberut yang berada di pantai Timur untuk mengakses informasi, berbelanja kebutuhan hidup seperti sembako, atau keperluan dakwah lainnya. Itu baru desa yang dekat. Belum lagi bila desa yang berada di pantai barat Pulau Siberut, yang berada di balik hutan dan perbukitan yang jarang tersentuh manusia.

Selain faktor biaya, transportasi juga sangat dipengaruhi cuaca dan pasang-surut air laut serta sungai. Dengan kata lain, tersedianya alat dan biaya transporasi juga tidak menjamin dapat terlaksananya perjalanan ke pedalaman. Sebab di saat air surut, perahu tidak dapat melewati terusan (sodetan) sungai yang menjadi jalan pintas transportasi dari dan ke pedalaman. Kalaupun harus mengikuti jalur utama sungai, maka waktu tempuh akan semakin lama dan jarak tempuh akan semakin panjang. Biaya transportasi pun akan meningkat drastis. Belum lagi tak jarang mereka harus kembali lagi ke titik awal perjalanan karena perahu mereka tidak dapat menembus cuaca yang buruk serta ombak yang besar.

Begitu pula dengan komunikasi. Sampai saat tulisan ini dibuat, baru ada satu BTS milik satu operator telekomunikasi di desa Muara Siberut. Itupun kadang-kadang mengalami gangguan sehingga tidak dapat dilakukan komunikasi. Pancaran sinyal pun terbatas, tidak menjangkau ke pedalaman yang rata-rata berada di balik perbukitan. Sehingga komunikasi hanya dapat dilakukan dalam wilayah yang sangat terbatas. Saluran telepon Telkom pun hanya menjangkau desa Mailepet dan Muara Siberut saja.

Kondisi keuangan dan kesejahteraan para da'i di pedalaman juga tidak kalah menyedihkannya. Para da'i di pedalaman rata-rata hanya mendapat honor Rp. 700.000 rupiah per bulan, yang tentu sangat jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka. Bisa saja para da'i tersebut harus bekerja atau berdagang untuk mendapat tambahan dana untuk kelangsungan hidupnya. Tetapi akibatnya pembinaan umat menjadi terbengkalai dan umat Islam di pedalaman yang rata-rata mualaf itu menjadi kehilangan pegangan.



Dengan sistem dan sarana transportasi yang ada, sulitnya komunikasi, serta rendahnya kesejahteraan da'i, maka dampak yang paling terasa adalah pada pembinaan umat. Umat yang dimaksud di sini adalah umat Islam yang berada di pedalaman yang rata-rata merupakan penduduk asli suku Mentawai dan tergolong mualaf. Indikatornya sulitnya pembinaan ini antara lain adalah masih banyaknya umat Islam di pedalaman yang memelihara dan mengkonsumsi daging babi. Hal ini disebabkan karena adat-istiadat yang diwariskan nenek-moyang mereka memang seperti itu. Selain itu, masih bercampur-baurnya ajaran agama Islam dengan pemahaman agama leluhur mereka, Sabulungan. Umat Islam di pedalaman masih mempercayai Sikerei sebagai orang yang dapat berhubungan dengan roh-roh nenek moyang, berkomunikasi dengan mereka, serta memberikan kesembuhan atas berbagai penyakit melalui mantera-manteranya. Bla ada seseorang yang sakit, maka diadakanlah upacara turuk yang dipimpin oleh Sikerei. Pada upacara ini Sikerei memberi pengobatan secara fisik dengan obat-obatan herbal serta memanggil roh-roh nenek-moyang mereka untuk meminta kesembuhan atas penyakit yang diderita pasiennya.



Permasalahan di atas sebetulnya dapat diringankan bila kita sebagai umat Islam yang lebih 'civilized' tergerak hati dan mau membantu mereka. Peluang beribadah melalui harta ini dapat disalurkan pada lembaga-lembaga agama Islam yang memiliki program pengiriman da'i dan pembinaan umat di Kepulaun Mentawai. Salah satu lembaga ini adalah BWA atau Badan Wakaf Al Qur'an (www.wakafquran.org) yang beralamat di Jalan Tebet Timur Dalam 1 no. 1 Jakarta, telepon 021-8350084 (hunting).BWA adalah lembaga pengumpul wakaf dan donasi yang akan disalurkan guna pengembangan dan pembinaan umat Islam di berbagai pelosok di tanah air.



Untuk Kep. Seribu dan Kep. Mentawai, BWA merasa salah satu solusi untuk permasalahan minim dan mahalnya sarana transportasi air adalah dengan mewakafkan kapal atau perahu. Kapal atau perahu yang sesuai dengan perairan kepulauan ini akan menjadi transportasi para da'i yang bertugas di pedalaman. Dengan demikian pembinaan umat dapat berjalan lebih lancar karena tidak harus menumpang kapal atau perahu reguler yang jadwalnya terbatas. Selain itu BWA juga berupaya untuk mengembangkan wakaf produktif, sehingga dapat digunakan sebagai modal usaha para da'i atau umat Islam, terutama yang tinggal di pedalaman atau di pulau-pulau yang jauh terpencil.Untuk lengkapnya dapat menghubungi BWA dengan alamat tersebut. Informasi mengenai BWA bisa didapat dari website mereka di www.wakafquran.org. Di mana BWA ini memiliki pengalaman dalam mewakafkan kapal yang digunakan untuk pembinaan umat Islam di Papua/Irian Jaya.

Kita bisa berjihad memerangi kebodohan dan kejahilan, dapat berjihad dengan dengan mewakafkan sebagian dari harta kita. Saudara-saudara muslim kita yang tinggal jauh di pedalaman sangat memerlukan perhatian dan bantuan agar dapat menjadi umat Islam yang khaffah dan mulia. Mari kita mudahkan perjalanan spiritual mereka agar mereka tetap berada di jalan Alloh SWT untuk mengamalkan Al Quran dan menjalankan sunah Rasulullah SAW.


Informasi lengkap:
BADAN WAKAF AL QUR'AN (BWA) JAKARTA
Jalan Tebet Timur Dalam 1 no. 1 Jakarta, telepon 021-8350084 (hunting)
website: www.wakafquran.org
e-mail: admin@wakafquran.org

Foto-foto observasi dan dokumentasi Mentawai dapat diakses di http://www.facebook.com/ricky.bapanasikaka?ref=profile#/photo.php?pid=2911480&id=715618858