Showing posts with label Persib. Show all posts
Showing posts with label Persib. Show all posts

4.20.2016

HADIAH MANIS ULANG TAHUN PSSI


Pada hari ulang tahun PSSI ke-86 ini, Indonesia mendapat 'hadiah' dari FIFA berupa penurunan rangking. Pada tahun 2015 Indonesia masih nongkrong di peringkat 179. Tetapi tahun ini melorot ke peringkat185.

Ulang tahun PSSI juga bertepatan dengan jatuhnya SK Pembekuan PSSI yang dikeluarkan oleh Menteri Pemuda dan Olah Raga, Imam Nahrawi, pada tanggal 18 April 2015 yang lalu. Di mana saat itu PSSI tengah menggelar ISL musim 2015. Akibatnya ISL yang baru berjalan beberapa pertandingan dihentikan oleh PT. Liga Indonesia dengan alasan Forje Majeur.

Mengenai masalah peringkat seperti yang dirilis FIFA pada tanggal 7 April 2016 yang lalu, Indonesia kalah oleh Laos, Fiji, dan Kamboja yang berada di peringkat 182. Indonesia hanya unggul dari Bhutan yang berada di peringkat 186. Bahkan berada 10 peringkat di bawah negara tetangga, Timor Leste yang bertengger di urutan 175, membuntuti Malaysia di peringkat 174. Peringkat terbaik Indonesia adalah pada tahun 1998 dan 2001, di mana Indonesia berada di urutan ke-87 dari 200 anggota/negara.

Peringkat ini terus melorot karena selama setahun tidak mengikuti turnamen regional dan internasional karena adanya sanksi 'banned' FIFA menyusul intervensi pemerintah pada PSSI. Keadaan ini akan semakin memburuk bila hingga awal Mei nanti, Menpora masih belum mencabut SK pembekuannya. FIFA tidak akan membahas nasib Indonesia di level kongres luar biasa, melainkan di kongres biasa yang diadakan tahun 2017 mendatang.

Dari laman FIFA juga dijelaskan, Indonesia dicoret dari keikutsertaan kualifikasi Piala Dunia 2018 di Rusia serta dari kualifikasi Piala AFC 2019. Komite Eksekutif FIFA memutuskan untuk menangguhkan Asosiasi Sepakbola Indonesia (PSSI) sampai PSSI akan mampu memenuhi kewajibannya di bawah pasal 13 dan 17 Statuta FIFA. Keputusan ini dihasilkan akibat adanya intervensi Pemerintah Indonesia kepada PSSI.

Dalam perjanjian dengan Konfederasi Sepakbola Asia atau AFC, PSSI telah diberitahukan bahwa Timnas Garuda diskualifikasi dari kualifikasi seperti yang dijelaskan di atas. Semua pertandingan Indonesia dari Grup F dari tingkatan kompetisi kualifikasi telah dihapus.

Bahkan, bicara masalah peringkat, ketidakikutsertaan Indonesia di pergaulan sepak bola internasional dipastikan akan mempengaruhi rilis terbaru peringkat FIFA pada 5 Mei 2016. Karena walaupun ada perhelatan Indonesia Soccer Cup 2016, praktis Indonesia belum mempunyai timnas untuk berlaga di ajang regional/ internasiona. Indonesia pun masih menunggu nasib, apakah sanksi FIFA akan berlanjut, atau akan dicabut.

Tetapi apa pun, Pemerintah dan PSSI bisa duduk bersama untuk memutuskan nasib sepak bola bangsa ini. Jangan hanya karena ada ego dan kepentingan kelompok, gairah nasional yang berpotensi menggalng persatuan bangsa ini padam dan menguap begitu saja.

Dalam setahun ini kita kehilangan banyak pemain muda, kehilangan banyak potensi, kehilangan banyak sumber daya yang seharusnya mengangkat prestasi sepak bola Indonesia. Belum lagi kerugian materi yang dialami klub, pemain, pelaku industri, hingga masyarakat kecil yang turut 'menitipkan hidup' dengan menikmati secuil kecil kemeriahan yang bernama sepak bola.

PSSI sebagai lembaga memang harus diperbaiki, dikawal, direformasi. Tetapi sebagai lumbung, PSSI tidak layak dibakar bila ingin menangkap tikus yang bersarang di dalamnya. Menpora yang beritikad baik membersihkan PSSI dari gerogotan tikus juga malah tidak bila membuktikan keberadaan tikus yang diincarnya, tetapi lumbung terburu habis terbakar.

Apalagi Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) telah memutuskan bahwa Surat Keputusan Menpora Nomor 01307 tahun 2015 tentang Pembekuan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) tidak sah, sehingga keberadaannya tidak diakui.

Majelis Hakim mengabulkan seluruh gugatan PSSI adalah karena SK Pembekuan PSSI yang dikeluarkan Menpora pada tanggal 18 April 2015 itu tidak memenuhi lima Asas Umum Pemerintahan yang Baik, di antaranya melanggar asas profesionalisme, proporsionalitas, dan di luar wewenang. Bahkan upaya-upaya Banding yang dilakukan pihak Menpora pun kandas di meja hakim PTUN karena PTUN yang berpegang pada undang-undang yang berlaku di Indonesia tidak melihat adanya penyelewengan yang dilakukan PSSI.

Tim Transisi yang bertugas mengawal PSSI pun sampai hari ini tidak bisa mengagas bahkan menggulirkan kompetisi untuk mengganti kekosongan selama masa 'suspend' penangguhan oleh FIFA. Yang ada hanyalah turnamen-turnamen 'tarkam' walau namanya keren-keren: Piala Presiden, Piala Jendral Sudirman, Piala Bhayangkara, atau Piala Gubernur. Tanpa terkoneksi ke dunia internasional, sepak boal Indonesia adalah katak yang berada di bawah tempurung. "Kurung batokkeun", kalau kata orang Sunda mah.

Mumpung masih ada waktu. Mumpung masih ada niat baik dari semua elemen sepak bola nasional, dari level petinggi hingga supporter yang baru belajar menyanyikan lagu "Garuda di Dadaku".

Selamat ulang tahun PSSI. Semoga lekas sembuh dan sadar dari mati suri.

Ricky N. Sastramihardja
Bobotoh Persib, Pecinta Kopi & Fotografi
Sering ngacapruk di Twitter dengan akun @RickyNSas

Dimuat di www.bobotoh.id
http://bobotoh.id/2016/04/hadiah-manis-ulang-tahun-pssi/

9.26.2013

AGUS, BOBOTOH PERSIB

Ngaranna basajan, Agus. Ngan nu ilahar dipaké ku urang Sunda keur ngaran lalaki. Umurna nitih 40 taunan, pangawakan sedeng. Teu jangkung, teu pendék, teu kuru, tapi teu lintuh ogé. Agus téh bobotoh Persib. Kuring kungsi panggih jeung manéhna 3 taun ka tukang di tribun Samping Barat keur diriung ku barudak nu hayang difoto bareng jeung Agus.

Najan ngaranna basajan tapi Agus téh istiméwa keur sakumna bobotoh mah. Totalitasna ka Persib teu kudu ditanya deui, méh unggal pertandingan kandang di SJH atawa Siliwangi, Bobotoh nu di Tribun Barat pasti panggih jeung Agus. Agus oge diistiméwakeun ku nu jaga karcis (usher). Manéhna mah gratis asup stadion téh, teu kudu maké karcis. Agus téh urang Ciparay.




Indit jeung balik lalajo Persib salawasna numpak sapédah. ‘Go green’ téa meureun sumangetna mah. Sabot balik lalajo Persib ti SJH, sababaraha kali kuring panggih jeung Agus keur ngaboséh sapedahna mapay jalan Cipatik ti SJH ka Kopo-keun. Tapi karék kamari tutas Persib maén vs Central Coast Mariners (24 September 2013), kuring ‘kawenehan’ boga ombér bisa ngobrol sakeudeung jeung Agus. Bisa nyokot gambarna di palebah jalan tol Kopo. Peuting-peuting basa Agus keur ngaboséh sapédahna rék balik ka Ciparay.

Soméah , teu talangké waktu kuring ménta idin keur motrét manéhna. Meunang sababaraha jeprétan, tuluy Kuring gé sempet nunutur tukangeun Agus nu ngaboséh sapédahna. Sajajalan Agus teu weléh males panggupay jelema-jelema anu ngagupayan ka manéhna. Cekéng gé, Agus mah istiméwa. Totalitas jeung loyalitasna ka Persib teu kudu diragukeun deui.

Kuring mah asa teu sanggup mun kudu total nurutan Agus. Asa keueung nempo kostum jeung dangdanana mun lalajo Persib. Tuda heueuh, batur mah lalajo Persib téh maké jérséy, kaos bulao Persib, kaos Bomber, Viking, Hooligan, atawa kakasualan (casuals), demi ari Agus mah konsistén pisan lalajo Persib maké kostum jeung di-mik ap siga... pocong!

Ciamis, 26 Séptémber 2013

9.02.2013

High Octane Away Day

Laga Persija vs Persib yang dilangsungkan di Sleman 28 Agustus 2013 yang lalu masih membekas di hati saya. Seumur-umur nonton bola, pertandingan kemarin adalah pertandingan yang sangat berkesan. Status pertandingan dengan penonton yang melibatkan kedua kelompok supporter lah yang membuat tensi pertandingan terasa tinggi.

Betapa tidak, Deu Jek yang biasanya kami 'chant' di stadion SJH/Siliwangi, hari itu ada tepat di hadapan para Bobotoh. Naluri agresi dan adrenalin pun mengalir deras membuat konsentrasi untuk menonton bola (dan memotret) menjadi terpecah.




Apalagi para Bobotoh baru bisa masuk sekitar pukul 16.00 atau setelah pertandingan berjalan 30 menit. Ternyata di saat kami masuk, pertandingan tengah berhenti di menit ke-17 akibat adanya kerusuhan antara Deu Jek vs Bobotoh/Viking.

Menurut berita yang beredar (dan saya ketahui setelah pulang), kerusuhan di 15 menit babak pertama itu terjadi setelah Bobotoh masuk ke Tribun Selatan (yang menurut perjanjian diperuntukan untuk Bobotoh). Di Tribun Selatan, para Bobotoh melepaskan dan mengambil spanduk/banner Deu Jek yang terpasang di Tribun Selatan. Terjadi kerusuhan akibat Deu Jek marah dan mengejar Bobotoh yang jumlahnya masih sedikit.
Bobotoh membakar Syal Deu Jek di MIS, 280813

Di saat mereka mengejar itulah rombongan Bobotoh dari Bandung baru bisa masuk. Kedatangan kami pun disambut dengan beberapa lemparan batu dan lemparan petasan oleh Deu Jek dari Tribun Selatan ke parkiran.Sepertinya mengetahui kami datang, akhirnya Deu Jeuk kocar-kacir kembali ke Tribun Timur. Selain itu pihak Polres Sleman juga, katanya, melepaskan gas air mata ke kerumunan Deu Jek yang merangsek dari arah Tribun Selatan.

Tapi di luar semua yang terjadi di dalam lapangan, Saya sangat menikmati perjalanan ke Sleman ini. Ini adalah 'away day' pertama ke luar kota dengan tajuk pertandingan 'el classico'. Saya cenderung memaksakan diri untuk mengikuti tour berbahaya ini karena ingin memuntaskan proyek fotografi saya untuk www.matabobotoh.blogspot.com yang saya awali di tahun 2011.

Match Steward mengamankan Red Flare yang dilemparkan Deu Jek ke tengah lapangan setelah pertandingan usai. Menjelang babak ke-2 Deu Jek melakukan hal yang sama.
Tetapi karena pertandingan ini pertandingan emosional, saya tidak terlalu banyak memotret. Emosi psikologis saya lebih terbangun untuk berhadapan dengan Deu Jek dalam 'open fight' daripada untuk memotret. Sepanjang pertandingan, saya lebih banyak mondar-mandir ke arah Tribun Selatan, yang menghubungkan Tribun Barat (Bobotoh - Viking) dengan Tribun Timur (Deu Jek). Berharap ada serangan dari Deu Jek atau ada komando untuk menyerang.

Tapi syukurlah, tidak terjadi kerusuhan yang lebih besar. Sampai pertandingan berakhir dengan skor 1-1 tidak ada 'open fight'. Ada beberapa gangguan dari deu Jek maupun Bobotoh, tetapi lebih condong pada terror mental untuk pemain. Di akhir pertandingan, kami masih menunggu 'saat itu' terjadi dan tidak mau keluar tribun walau sudah dihimbau oleh pihak kepolisian. Akhirnya kami baru bubar setelah perwakilan dari BCSx PSS Sleman/Slemania meminta kami untuk bubar.



Sungguh suatu pengalaman yang menyenangkan, mendebarkan, dan rasanya membuat 15 tahun lebih muda. Akan diingat dan diceritakan sepanjang masa pada anak cucu kelak bahwa Bobotoh berulangkali berani 'membirukan' stadion yang dikelola Persija pada pertandingan 'home' mereka. Sedangkan Deu Jek belum pernah menyentuh lagi stadion Siliwangi atau SJH semenjak tahun 1999. Di mana pada saat itu di terjadi kerusuhan antara Bobotoh vs Deu Jek di Stadion Siliwangi Bandung.

BAGIMU PERSIB, JIWA RAGA KAMI

7.11.2012

PERSIB CAN JADI JAWARA DI 2011-1012


2011-2012 tos rengse. Persib can jadi kampiun. 
Wilujeng Jawara ka Sriwijaya FC.
Tepang deui di usum maenbal nu baris kasorang. 
Hatur nuhun ka wadya balad Bobotoh di dunia nyata sareng dunia maya.
 #Pride #Respect for Persib!

3.28.2011

Menonton Persib di Stadion, Dulu dan Sekarang

Tidak semua pertandingan Persib Bandung bisa saya ingat. Tetapi pengalaman pertama kali menonton Persib Bandung adalah hal yang tidak bisa dilupakan. Saat itu saya masih sekitar kelas 4 atau 5 sd lah. Jadi sekitar tahun 1984-1985-an. Saat itu  lagi berlibur ke rumah kakek dan nenek di Kawali, Ciamis. Pun tahu mengenai akan ada kunjungan Persib Bandung adalah dari berita tetangga, juga dari 'barker', mobil pakai 'halow-halow' (baca: pengeras suara) yang berkeliling kampung, mengumumkan bahwa di lapangan alun-alun Kawali akan ada pertandingan persahabatan antara Persib Bandung Selection melawan PSGC (Persatuan Sepakbola Galuh Ciamis).

Saya tidak ingat berapa skor akhir saat itu, hanya bisa mengingat bila harga karcisnya 300 rupiah (sebagai ilustrasi, 300 rupiah masa itu cukup untuk membeli sekotak Susu Ultra besar dan sebatang coklat cap Ayam Jago), dipakai masuk 3 orang (saya, adik saya, dan teman saya Asep Pa Iding). Selain itu, stadionnya pun sangat sederhana, hanyalah lapangan alun-alun kecamatan yang disulap menjadi stadion dadakan dan 'dikulibeng' (apa atuh 'dikulibeng' teh ya?) sekelilingnya dengan karung, bilik, atau kain biar penonton yang tidak punya karcis tidak bisa 'moncor'. Saat itu para pemain Persib yang terkenal adalah Adeng Hudaya, Robby Darwis, Adjat Sudrajat, dan Sobur. Sisanya saya tidak tahu, tapi kalau tidak salah di era Adjat Sudrajat ini Persib menjadi juara Perserikatan. Saat menjadi juara Perserikatan ini ada konvoy keliling kota Bandung. Waktu SD, saya sekolah di Banjarsari, Jalan Merdeka Bandung. Jadi kita menonton arak-arakan di depan sekolah, naik ke jembatan penyebrangan Gudang Garam (sekarang sudah tidak ada).

Bobotoh di Selatan



Sewaktu SMP dan SMA saya mulai berani nonton ke Stadon Siliwangi. Apalagi SMA. Walau lebih sering 'nonton siaran pandangan mata' di  RRI Bandung. Saat kuliah pun beberapa kali saya nonton ke Stadion Siliwangi. Terkadang menonton bareng dengan sahabat saya semenjak SMA, Ucup Mpep. Kita biasa menonton di Timur. Atau saat awal-awal Liga Indonesia (dulu Liga Bank Mandiri), saya tuturubun dari Jatinangor bersama Krisna Sastra Inggris ke Stadion Siliwangi, dan menonton di Selatan.

Ada pengalaman menarik dengan si Krisna ini. Saat itu  kita sedang mengikuti rapat kerja Senat Mahasiswa Fak. Sastra di Cileunyi, di rumahnya Yufik. Tetapi setelah shalat ashar, si Krisna ini dengan berbisik mengajak saya untuk 'kabur' dari rapat."Hayu ka Bandung, urang ka Siliwangi lalajo Persib", demikian katanya. Tanpa berfikir panjang, saya menyetujui ajakan si Krisna. Lalu dengan alasan yang dikarang sendiri, akhirnya kita berdua menyelinap dan kabur dari raker menuju Stadion Siliwangi. Bisa dibayangkan, lumayan lama dari Cileunyi ke Stadion Siliwangi di Kota Bandung. Turun dari Cileunyi pakai ojeg, disambung bis kota Damri  ke Kebon Kelapa. dari Kebon Kalapa naik 02 ke Siliwangi. Pergi jam 15.00 an, sampai stadion jam 18.00. Dapat tiket dengan harga calo, dan dengan sedikit 'speak bombay', Si Krisna bisa dapat tiket dengan harga murah.

Menonton Persib ke stadion dengan Krisna adalah pengalaman terakhir. Semenjak itu saya tidak pernah menonton Persib ke stadion lagi. Saya lebih banyak menonton Persib di televisi, atau mendengarkan siaran pandangan mata, langsung dari RRI Pro 2 FM. Sampai akhirnya pada pertandingan Persib melawan Persiwa Wamena (24032011) dan melawan Persipura (27032011) di Stadion Si Jalak Harupat, saya berkesempatan menonton pertandingan Persib secara langsung. Itupun karena ajakan sahabat saya, Wendy, yang bertugas meliput pertandingan tersebut.

Ekspresi bobotoh

Jeda sekian tahun tidak ke menonton ke stadion jujur saja, membuat saya terpesona. Apalagi menonton Persib di Stadion Si Jalak Harupat. Stadion yang sedemikian besar dan luas ini  harus diakui memang memiliki aura mistis yang mempesona. Sangat jauh dari pengalaman pertama saya menonton Persib di 'stadion' kampung di kecamatan Kawali Ciamis, atau stadion Siliwangi.

Banyak hal menarik yang sangat berbeda dengan massa lalu. Sekarang, tampaknya para bobotoh sangat peduli dengan penampilan. Setiap pertandingan Persib, selalu saja stadion berubah warna menjadi lautan biru karena bobotoh Persib hampir seluruhnya mengenakan pakaian berwarna biru. Hal yang dulu tidak saya temukan di Siliwangi. Dulu menonton Persib ya masih pakai seragam SMA atau kaos warna apa saja. Selain itu di setiap sudut stadion berkelamin perempuan pun bisa menonton pertandingan dengan aman tanpa godaan atau sentuhan tangan-tangan durjana. Jaman dulu di Siliwangi? Hanya ada di VIP. Pun anak-anak di bawah 12 tahun (bahkan ada yang sepertinya masih balita) dengan asyik bisa menonton pertandingan tanpa merasa khawatir. Bahkan dua kali ke Si Jalak Harupat, dua kali pula saya melihat penonton yang terdiri Ayah-Ibu-Anak, kompak mem-bobotohi Persib. Bahkan ada anak yang masih batita, masih digendong ibunya ada di deretan penonton bola yang umumnya orang dewasa.

Perempuan juga aman nonton ke stadion.

Dengan kata lain, sekarang ini menonton bola tidak hanya menjadi milik kaum laki-laki saja, tetapi milik siapa saja. Tidak ada kekhawatiran rusuh seperti jaman-jamannya Perserikatan dulu atau awal-awal Liga Indonesia digelar. Tentu ini adalah buah prestasi Pengurus Persib, kelompok supporter, juga pihak-pihak yang berkepentingan dengan pertandingan dan eksistensi Persib.

Hal menarik lainnya ialah sambutan warga mulai dari Kopo hingga Stadion Si Jalak Harupat. Sebelum dan sesudah pertandingan, sepanjang jalan masyarakat setempat seolah menyambut  para bobotoh yang datang dari kota Bandung menuju kota Soreang Kabupaten Bandung. Pemandangan itu tidak akan dijumpai bila Persib bertanding di Stadion Siliwangi, yang terdapat di tengah kota Bandung. Masyarakat setempat dengan antusias saling bertegur sapa dengan bobotoh, yang sepertinya menjadi hiburan tersendiri bagi mereka.

Beberapa kelompok bobotoh yang tidak menggunakan kendaraan pun tampak berjalan menyusuri jalan Cipatik hingga Stadion Si Jalak Harupati, atau sekitar 1 atau 2 jam berjalan kaki. Pemandangan ini juga terjadi setelah pertandingan usai. Pernah saya melihat beberapa bobotoh yang 'tertular' menjadi bonek, pulang menyusuri jalan aspal tanpa alas kaki, tanpa baju. Asli, tanpa alas kaki tanpa baju. Seorang teman bilang, mereka adalah kelompok bobotoh yang nge-punk, yang memang terlihat dari gaya rambut juga asesoris lainnya.

Pada perjalanan pulang, ada hal-hal yang membuat saya kagum. Di perempatan Bypass Soetta - Kopo, Soetta-Buahbatu, dan Soetta-Kiaracondong, saya melihat beberapa kelompok kecil supporter menunggu kendaraan umum atau pik ap yang akan membawa mereka pulang ke rumahnya masing-masing entah di mana. Padahal saat itu jam di tangan saya sudah menunjukkan pukul 01.30 dinihari, dan pertandingan sudah selesai sejak pukul 21.30 WIB.

Perubahan-perubahan positif juga terjadi setelah pertandingan Persib, walau masih tidak konsiten. Tidak ada lagi lampu-lampu jalanan yang dilempari, pot bunga yang dihancurkan, atau kaca-kaca pertokoan yang dilempari bobotoh yang marah kalau Persib bermain jelek dan kalah. Walau masih ada kerusuhan dan bobotoh rese, tetapi secara kuantitatif dan kualitatif sudah tidak seperti jaman dulu lagi. Pokoknya menonton pertandingan Persib sekarang bisa dikatakan seperti menonton bioskop atau teater. Aman, damai, dan menyenangkan, Tidak ada lagi potensi kerusuhan di dalam stadion walau Persib kalah.

Memenuhi hampir seluruh badan jalan Kopo Cilampeni.


Ada juga yang masih tidak berubah. Sepanjang jalan sebelum dan sesudah pertandingan, konsentrasi massa yang sedemikian banyak menimbulkan kekesalan dan keresahan pengguna jalan yang lain. Para bobotoh yang melakukan konvoy sepeda motor, dengan liar menguasai jalanan menuju stadion, terutama setelah Kopo Sayati hingga Stadion Jalak Harupat. Pengguna jalan lain pun terpaksa menepi sambil menahan kesal. Bahkan sebelum pertandingan dengan Persipura, ada insiden antara bobotoh yang dengan seenaknya memaki pengendara motor yang berlawanan arah. Si pengendara motor yang sepertinya anggota TNI dari arah berlawanan tidak terima dibentak-bentak bobotoh yang dengan ucapan "Nyisi Sia Anjing!". Si bobotoh lupa, sepanjang Kopo Sayati adalah 'sayang maung', di mana di wilayah itu ada pangkalan TNI AU, yang tentu saja tidak terima diperlakukan seperti itu.

Selain itu ada sepertinya ada adagium, bahwa "Siapapun lawan tanding Persib, tetapi plat B tetap musuh yang harus diintimidasi". Beberapa mobil berplat B (Jakarta) yang mungkin baru pulang berwisata dari Ciwidey dan sekitarnya, harus rela di-anjing goblog-kan oleh bobotoh Persib. Tak jarang mereka (bobotoh) melampiaskan 'kebobotohan' mereka dengan memukuli bodi mobil yang sedang sial karena berplat B itu. Kebencian dan permusuhan yang dipelihara antara bobotoh Persib dengan 'The Jak' Persija, dilampiaskan ke mobil-mobil plat B. Ini sudah berlangsung sejak dulu, bahkan mungkin sejak jaman kolonial dulu, saat Persib masih bernama Bandoeng Inlandsche Voetball Bond (BIVB) dan Persija masih dikenal sebagai VIJ (Voetbalbond Indonesish Jakarta) di tahun 1930-an.
Intimidasi terhadap penumpang mobil plat B.
Banyaknya calo juga masih seperti dulu. Walau sekarang sudah jaman online, tetapi calo masih banyak bertebaran. Padahal, selain online, tiket Persib juga bisa didapat di koordinator supporter sesuai wilayah. Tetapi, praktek percaloan ini masih saja tidak berubah dari waktu ke waktu. Tapi ah, jangankan Persib. Piala Dunia di Afrika tempo hari pun katanya tidak luput dari praktek percaloan ini.

Selain itu, beberapa bobotoh yang nakal juga masih saja menyalakan petasan atau kembang api saat merayakan gol ke gawang lawan. Padahal, kenakalan ini mengakibatkan Persib harus membayar denda pada BLI karena dianggap tidak mampu mengontrol perilaku para supporternya. Atau, masih saja ada bobotoh yang melemparkan botol atau apapun ke dalam lapangan sebagai ekpresi kekecewaan bila timnya kalah atau dicurangi wasit. Kenakalan-kenakalan bobotoh juga seringkali mengakibatkan Persib harus bermain tanpa penonton, atau diusir tidak boleh bermain di kandang dan harus melakukan partai 'usiran' di stadion yang jauh dari kota Bandung.

Satu yang tidak pernah berubah adalah ekspresi bobotoh terhadap perilaku perangkat pertandingan (wasit, lines man) yang dianggap berat sebelah dan berlaku curang. Betapa kecewanya saat final Persib melawan PSMS dulu di jaman Perserikatan saat Persib 'dicurangi wasit Djaffar Umar. Kekecewaan itu kemudian mungkin berkembang menjadi ekspresi atau frasa WASIT GOBLOG, yang kerap dilontarkan bobotoh bila Persib kalah akibat keteledoran dan 'kecurangan' wasit.
Selebrasi yang pasti mengakibatkan Persib didenda BLI.

Dari sekilas catatan ini, saya bisa mengira-ngira berapa lama saya sudah menjadi bobotoh Persib, dan itu tidak terjadi dengan sendirinya. Tidak serta merta karena saya 'urang' Bandung lantas saya menjadi bobotoh Persib. Selain karena pengaruh lingkungan, di sini ada andil bapak saya yang mendoktrin saya untuk menjadi pecinta Persib. Saya ingat saat putaran final Perserikatan (8 Besar), Bapak seringkali pergi menonton pertandingan Persib ke Senayan Jakarta/GBK. Bahkan saat Persib menjuarai Liga Indonesia digelar dan Persib menjadi juara, Bapak nekad ke Jakarta untuk menyaksikan partai final. Walau ternyata niat beliau tidak kesampaian, karena mobil angkot (benar, angkot!)  yang ditumpanginya mogok di daerah Purwakarta. Akhirnya Bapak pulang kembali  rumah dan tiba di rumah tepat beberapa menit setelah pertandingan final yang disiarkan langsung televisi usai.

Prestasi Persib mungkin jelas naik turun. Saya juga tidak selamanya pergi menonton Persib ke stadion, atau menonton di televisi atau mendengarkan lewat radio atau mengikuti via media lain. Tetapi saya sedang mewariskan semangat cinta Persib pada anak-anak saya, persis seperti saya mewarisi kecintaan itu dari Bapak, kakeknya anak-anak. Apalagi almarhum bapak mertua, kakeknya anak-anak dari pihak istri, konon katanya pernah menjadi pemain Persib di era 60-an. Semangat sportivitas olahraga juga sedapat mungkin ditularkan. Menang, kalah, seri, adalah hal biasa dalam pertandingan (juga dalam kehidupan). Bila menang silahkan bersorak senang, bila kalah tidak usah morang-maring. Kecuali ya itu tadi, kecuali kalah karena Wasit Goblog.
Bobotoh fanatik...

Biarpun disebut fanatik tidak jelas atau subjektif, saya akan tetap mendukung Persib dan 'mendidik' anak-anak untuk menjadi bobotoh Persib. Syukur-syukur bila si Kaka (anak sulung saya) kelak bisa menjadi pemain Persib. Disebut fanatik pun tidak keberatan. Bila saya fanatik dengan Persib, apa bedanya dengan mereka yang fanatik terhadap kesenangan lain? Banyak kok yang tidak suka nonton bola tetapi fanatik dengan kegiatan lain. jadi, apa bedanya? Nyari duit saja banyak kok yang fanatik, lupa diri, hingga lupa halal-haramnya uang yang dicari.

Jadi, tetap jadi bobotoh Persib yang santun, yang 3N. Nyunda, Nyantri, Nyakola. Juga perlu diingat, bobotoh tidak identik dengan ******* (satu klub supporter Persib besar). Tetapi jelas ******** adalah bobotoh. Menang, kalah, atau seri itu biasa untuk Persib. Tetapi wasit goblog memang jangan dibiasakan.

5.03.2010

PERSIB

http://6ix2o9ine.blogspot.com

Ieu mah carita teh aya patula-patalina jeung Persib Bandung. Najan kajadianana geus lila pisan, jaman kompetisi anyar pindah ka Liga Indonesia.

Harita teh taun 1998. Kuring masih kuliah. Ari karesep teh harita kana nulis sajak. Meureun keur mah lingkungan kuring hirup di antara peminat sastra, katurug-turug sakola oge ngeunaan sastra. Lian ti eta, sajak kungsi jadi ekspresi estetis kuring ngeunaan pulitik di lemah cai di taun 1998 nu keur genting--gentingna. Jadi we nulis sajak teh bagean tina hirup kuring harita. Sabenerna aya hiji alesan deui naha kuring bet remen nulis sajak, nyaeta alantaran keur ticengklak hate. Apanan cenah nulis sajak mah bakal leuwih daria mun keur gandrung asmara atawa keur hate ngoceak.

Di antara loba panyajak, kuring resep pisan ka sajak-sajakna Kang Toto ST. Radik. Dumeh, sajak-sajakna dipikawanoh dina carpon Balada si Roy (Gola Gong) nu dibaca mangsa kuring SMA keneh. Oge lantaran sajak-sajak Kang Toto teh meni plastis, asa bisaan pisan marigelkeun kecap jeung ma'na. 

Alatan ku resep tea, kuring harita nyiar alamatna. Nya meunang pisan ti kang Bambang Q. Anees, koleha-na kang Toto sasama urang Serang (mun teu salah mah aktivis di LiSt, Serang).  Berengbeng we harita teh leos ka Serang Banten. ka Panancangan, ka bumina kang Toto. Barang tepi teh harita kang Toto keur suwung. Masih keneh di lapangan, da harita mah kang Toto teh masih dines di BKKBN Banten minangka PNS tenaga penyuluh.

Teuing sabaraha lila, panggih we jeung kang Toto. Bari sanduk-sanduk menta hampura alatan teu ngabejaan ti anggangna. Bubuhan harita mah internet jeung hape acan usum. Iwal ti jang nu kaya jeung aktivis we harita mah. Alhamdulillah, kang Toto teu nganaha-naha. Nya ti dinya uplek we ngobrol tepi ka peuting.


Meh bada isya, kuring dianter ka kosan sobat kuring, Ceu Yos. Harita teh Yos geus gawe di Serang da sakolana geus beres. Teuing harita ngobrol naon di imah Yos, ngan nu kuring inget basa rek balik, Yos ngeupeulan duit. "Jang roko" cenah. Harita kuring masih keneh nyandu roko. Teu talangke, diasupkeun we kana pesak duit teh. Lumayan. Keur mah emang duit kuring ge kari saongkoseun pisan ka Bandung.

Memeh balik kang Toto kungsi ngajak dahar heula. Poho deui di mana, ngan harita teh diajak dahar Sate Bandeng, kadahareun has Serang, nu sumpah, tepi ka poe ieu masih inget keneh wae rasana nu gurih tur pelem. Bari dahar teh angger ngobrolkeun su'al sastra, Balada Si Roy, tepi ka proses kreatif kang Toto. Obrolan uplek tepi ka tengah peuting dibarung ku manggelas-gelas cikopi jeung roko.

Lantaran isukanana kuring kudu aya di Jatinangor, nya peuting eta keneh kuring amitan. rek tuluy balik. Kang Toto teu kungsi nganteur ka terminal, ngan ongkos angkot mah dipangmayarkeun. Tepi ka terminal Ciceri, kuring laha-loho neangan beus jurusan Bandung.

Teuing lantaran ku geus tunduh teuing emang caliwera, harita kuring nempo dina kaca hareup beus teh aya stiker badag tulisan PERSIB. "Ah, pasti ieu beus ka Bandung", cekeng teh. Kalacat we naek beus. Diuk teh di tukang da ngarah bisa ngaroko.

Teu lila beus teh maju ngageuleuyeung. Kuring ngadon reup sare da tunduh balas kurang sare sababaraha poe samemehna. Sabot keur ngeunah-ngeunah peureum, di palebah tol, kuring dihudangkeun ku kondektur. "Ongkosna A", cenah.

Song we duit ku kuring diasongkeun, "Ka Bandung Kang. Di Kebon Kalapa gugahkeun nya", cek kuring bari humandeuar. Tunduh keneh.

Ti dinya si kondektur ngaheneg, "Ka Kebon Kalapa?"

"Enya"

"Tapi Kang da ieu mah beus anu jurusan ka Cirebon!"

Cirebon? Cilaka dua belas!! Paingan sabot lilir heran, naha beus teh lempeng wae siga teu kaluar ti tol. Teu asup wae ka Puncak atawa Cianjur. Horeng beus nu nerapkeun tulisan PERSIB teh jurusan...Cirebon! Paingan we malipir make jalur Pantura.

Sajajalan tepi ka Cirebon kuring teu bisa sare, antara hayang seuri ku polah sorangan, oge lantaran gegebegan sieun ongkos kurang. Untung harita dikeupeulan ku Yos, Jadi barang tepi ka Cirebon, kuring bisa nyambung deui beus nu ka Jatinangor.

Duh, gara-gara PERSIB!!!

2.13.2008

KE BANDUNG MEREKA DATANG, DI BANDUNG MEREKA MENANG

KE BANDUNG MEREKA DATANG, DI BANDUNG MEREKA MENANG

Sriwijaya FC akhirnya memenangi kompetisi sepak bola Liga Indonesia musim kompetisi 2007-2008. Suatu presasi luar biasa mengingat mereka juga memenangi Copa Indonesia 2008. Gelar juara sejati atas double winner, juara ganda, layak disematkan pada Sriwijaya FC atas konsistensi, determinasi, serta tentu saja kerja keras yang dilakukan selama 1 tahun ini.

Pada partai final, Sriwijaya FC menekuk PSMS Medan dengan skor telak 3-1 (1-1) pada babak drama perpanjangan waktu 2X15 menit. Kemenangan itu dilengkapi pula dengan diterimanya gelar pemain terbaik oleh Zah Rahan, legiun asing Sriwijaya FC yang berperan sebagai gelandang/mid fielder.

Perlu dicatat bahwa pertandingan yang berlangsung di Stadion Si Jalak Harupat, Soreang Kab. Bandung ini merupakan pertandingan usiran yang hanya bisa disaksikan via televisi. Di mana bebeberapa hari sebelumnya pada babak semi final di Istora Bung Karno, Senayan Jakarta, terjadi kerusuhan antar suporter Persija dan Persipura yang mengakibatkan satu pendukung Persija tewas.

Di sisi lain sejarah juga mencatat bahwa final Ligina kali ini adalah final yang paling sepi penonton. Sejarah juga mencatat, untuk kesekian kalinya nyawa melayang akibat fanatisme sempit antar pendukung sepakbola. Selain itu, memang pada Ligina kali ini banyak sekali kerusuhan, terutama menjelang babak 8 besar.

Meningkatnya grafik kerusuhan dan sepakbola berbanding terbalik dengan prestasi yang diraih. Timnas sepakbola Indonesia bahkan tak bertaring di tingkat Asia Tenggara. Selain itu, diperparah dengan ketum PSSI, Nurdin Halid, yang memerintah PSSI dati balik teralis penjara. PSSI adalah organisasi olahraga yang diperintah seorang penjahat yang sedang dihukum...

Ironi memang. Tapi, tetap salut untuk Sriwijaya FC atas gelar double winner-nya. Semoga menjadi motivasi bagi tin-tim lain untuk tetap berprestasi. Juga untuk Persib Bandung. Merajai putaran pertama, tetapi memble dan hancur lebur di putaran kedua. Boro-boro masuk 8 besar, ke 4 besar pun tidak mampu akibat salah urus di awal putaran kedua... Poor Persib. Tapi masih ada kompetisi berikut Sib, sok geura hudang, geura tandang....

Ciamis, 12 Februari 2008