4.20.2016

LIGA INDONESIA: QUO VADIS?



Kemeriahan menjelang laga ISL 2015 ini sedikit tercoret dengan berita yang mengejutkan. Dimulai dari mundurnya jadwal ISL yang semula tanggal 1 Februari 2015 menjadi 4 April 2015. Menyusul kemudian hasil temuan BOPI (Badan Olahraga Profesional Indonesia) yang menyatakan hanya tiga klub yang layak mengikuti ISL 2015.

Persib, satu dari tiga klab yang terverifikasi dengan kategori A minus.15 klub lainnya masuk ketegori B dan C. Namun hampir seluruh klub harus menyelesaikan syarat-syarat administrasi yang diminta BOPI antara lain terkait pajak, kontrak pemain.

Belum usai ‘kekagetan’ itu, mendadak muncul berita yang ajaib lagi: Pelita BR, satu klub rival Persib yang sama-sama bermarkas di Bandung, diisukan bangkrut dan tidak bisa mengikuti ISL 2015. Walau digadang-gadang baru sebatas isu karena sampai tulisan ini dirilis belum ada pernyataan resmi dari PBR. Tetapi hengkangnya Ilija Spasojevic striker andalan mereka ke Persib, semakin mempermiring berita ‘miring’ itu.

Sungguh ironis. Menjelang 20 tahun digelarnya Liga Indonesia, ternyata belum ada kemandirian dari hampir seluruh klub peserta ISL. ISL 2015 ini adalah pembuktian betapa rapuhnya sepakbola kita bila dilihat dari sisi profesionalisme. Bahkan dari awal, dikabarkan bahwa Persik Kediri membubarkan diri usai dinyatakan PT. Liga tidak lolos verifikasi.

Profesionalisme dalam sederhananya adalah bagaimana sebuah aktivitas bisa menjadi profesi yang menghasilkan materi. Profesionalisme selain erat berkaitan dengan kemampuan, sikap dan perilaku, juga erat dengan manajerial dan keuangan. Tim sepakbola profesional, bisa kita katakan sebagai sekelompok orang yang ‘menjual’ jasa dan keahliannya dalam permainan sepakbola untuk mendapatkan nilai pengganti berupa materi atau uang.

Namun di tahun ke-20 Liga Indonesia yang pada awalnya digadang-gadang sebagai ajang sepakbola profesional sebagai kelanjutan penggabungan kompetisi Perserikatan dan Galatama, terbukti membangun profesionalisme itu sangat tidak mudah. Padahal miliaran atau mungkin triliunan rupiah uang sudah mengalir untuk menggerakan kompetisi ‘profesional’ yang tidak lagi membebani keuangan daerah dan negara.

Bagi saya, hal yang paling menyedihkan dari gagalnya profesionalisme sepakbola Indonesia itu bukanlah bangkrutnya sebuah klub, atau gagalnya sebuah klub memenuhi persyaratan. Tetapi sebagai pribadi, saya hanya bisa membayangkan betapa sulitnya seorang pesepakbola ‘profesional’ memenuhi kebutuhan dasarnya: sandang – pangan – papan di kala mereka tidak kunjung menerima pembayaran gaji atas jasa dan keringat yang telah mereka tumpahkan di lapangan.

Sebagai seorang ayah yang bertugas mencari nafkah untuk keluarganya, para pesepakbola itu tentu berharap banyak bahwa keringat yang deras mereka kucurkan di lapangan hijau, segera tergantikan sebelum mengering dan menghilang. Di rumahnya, ada anak dan istri yang menanti rezeki halal itu tiba dengan utuh dan lancar. Bagi para pesepakbola yang masih melajang pun mungkin sama. Mungkin mereka juga ditunggui oleh orangtua, adik atau kakaknya, atau saudaranya, yang turut menanti hasil cucuran keringat anak-anak mereka di lapangan hijau.

Hal seperti ini tentu bukan saja terjadi di Indonesia. Pada saat bersamaan, klub asal Seri A Liga Italia, Parma, dinyatakan bangkrut setelah diketahui keuangannya defisit. Lebih besar utang daripada kas, dan tidak ada harapan untuk mendapat penghasilan tambahan.

Mendadak teringat guru ngaji saya sewaktu sekolah dulu. Di sore hari di bada magrib, beliau menyitir sebuah hadits yang menyatakan ‘bayarlah upah sebelum keringatnya mengering’. Para pesepakbola itu, adalah salah satu ‘sekrup’ utama dalam industri sepakbola. Merekalah yang berkeringat dan berdarah-darah di tengah lapangan selama 2×45 menit untuk menyenangkan hati supporter dan menghasilkan rupiah bagi pemilik (pengelola) klub.

Para pesepakbola itu, banyak yang keringatnya kering sebelum menerima upah yang menjadi hak-nya. Bahkan, setiap kali keringat mereka kering tanpa sempat mereka seka, mereka kembali harus berkeringat dan berkeringat lagi. Sedangkan upah mereka masih belum tiba.

Menjadi profesional itu susah ternyata. Di era industrialisasi dan kapitalisme ini, dimana setiap kegiatan harus memiliki nilai ekonomi untuk dapat mengumpulkan modal (kapital) sebanyak-banyaknya. Akan tetapi masih ada keringat yang mengering di setiap suapan nasi yang masuk ke mulut para pengelola klub sebelum menyelesaikan kewajibannya pada para pemainnya. Ada kedholiman yang luar biasa, karena ada perut lapar lainnya yang menanti haknya tiba.

Liga Indonesia, mau kemana? Katanya mau menjadi liga profesional, tetapi ternyata masih banyak pemain yang tidak menerima hak-haknya.


Oleh: Ricky N. Sastramihardja
Editor in Chief Maenbal.co

dimuat sebagai editorial di maenbal.co
http://maenbal.co/10995/suara-redaksi/liga-indonesia-quo-vadis/

NEGARA VS PSSI: PERSETERUAN PENUH MASALAH TANPA SOLUSI



Perseteruan antara negara yang diwakili Kemenpora melawan PSSI masih belum terang ujung pangkalnya. Kedua belah pihak yang berseteru masih saling mempertahankan pendapatnya masing-masing yang dibalut dalam berbagai alasan dan landasan.

Korban perseteruan itu mulai berjatuhan, kerugian pun mulai dirasakan. Satu yang terbaru adalah batalnya pertandingan AFC Cup antara Persipura Jayapura vs Pahang FC. Pertandingan tidak dapat terselenggara karena pemain asing Pahang FC tidak kunjung mendapat visa dari Imigrasi Indonesia. Padahal mereka telah mendarat di Bandara Soetta, Banten, sebelum melanjutkan perjalanan ke Jayapura untuk menantang Persipura.

Sebelumnya, beredar pula kabar bila Tim Transisi bentukan negara dengan sandi 'Indonesia Memanggil', mendapat penolakan dari FIFA terkait keinginan Tim Transisi untuk mengadakan supertemuan dengan FIFA di Zurich. Melalui suratnya tertanggal 22 Mei 2015, Mr. Jerome Valcke Genereal Sectray FIFA menyatakan bahwa FIFA menolak bertemu Tim Transisi. Alasan Mr. Jerome disebutkan adalah pihak FIFA tidak memiliki waktu untuk menemui Tim Transisi ‘Indonesia Memanggil’ di dalam acara kongres FIFA di Swiss tanggal 25-30 Mei 2015.

Kondisi di atas semakin mempersuram kondisi sepakbola di tanah air. Negara berpenduduk lebih dari 200 juta jiwa ini ternyata tak bisa mengelola sepakbola secara benar dan berkesinambungan. Bila sepakbola adalah asset nasional sebagaimana sumber daya alam dan sumberdaya yang lain, maka nasibnya kemudian sama saja: diperas habis-habisan, kemudian diabaikan dan dicampakkan.


Bila pada mulanya banyak harapan tertanam kepada Kemenpora yang dianggap bisa mengendalikan dan memperbaiki persepakbolaan nasional. Pembekuan PSSI seperti yang dilakukan negara terhadap asosiasi sepakbola tertinggi di tanah air itu, kini seperti air di daun talas. Tidak bisa bersatu, apalagi mempersatukan.

Tim Transisi dengan sebutan ‘Indonesia Memanggil’ pun ternyata seperti yang kita takutkan sebelumnya: ‘ masuk angin’. Sebelum SK Tim Transisi ditandatangani dan dikeluarkan , satu persatu anggotanya mengundurkan diri: Velix Wanggai, Farmin NaSution, Farid Husneni, Ridwan Kamil, dan FX Hadi Rudiatmo mengundurkan diri dengan berbagai alasan. Meninggalkan Tim Transisi yang, maaf ini sangat mengecewakan kami, nama-nama di dalamnya yang dipertanyakan kompetensinya di dalam sepakbola dan di dalam masalah manajerial.

Selain itu, batalnya turnamen Champion Cup 2015 yang seyogyanya disiapkan oleh PSSI untuk mengganti Liga Indonesia yang batal, pun menunjukkan bahwa ada perseteruan lama antara negara vs PSSI. Perseteruan yang mengingatkan kita insan sepakbola tanah air akan dualisme LPI vs LSI di mana banyak klub terpecag dua bahkan tiga.

Tersiar pula wacana bahwa Menpora merencanakan untuk membubarkan klub-klub bermasalah dan akan akan menggantinya dengan klub baru yang ‘serupa tak sama’. Di antaranya, menurut Menpora, tidak menutup krmungkinan akan dadanya Persija Nusantara, Persib Nusantara, dll bila klub-klub menolak liga yang diadakan Menpora. Berita yang dilansir dalam situs media online itu kemudian dibantah Menpora melalui stafnya.

Entah mana yang benar, karena bantah-membantah sudah seringkali dilakukan di negara ini, bahkan sejak jaman dulu. Hanya saja di jaman sekarang terasa lebih parah, Negara seringkali memberikan pernyataan yang kemudian dibantahnya sendiri. Namun sepertinya perseteruan negara vs PSSI ini merupakan ‘sekuel’ dari kisah bodoh dualisme LSI vs LPI yang pernah terjadi beberapa waktu lalu.


Apakah Menpora akan bersikukuh menjalankan ‘Liga Indonesia’ versinya sendiri dengan mengikutsertakan klub-klub ‘siluman’ untuk berlaga di kasta tertinggi dan divisi utama seperti yang pernah terjadi beberapa waktu lalu? Apakah PSSI yang sudah dibekukan akan tetap menghelat liga dan turnamen dengan resiko dibatalkan karena tidak ada rekomendasi negara melalui BOPI dan Polri?

Kita tunggu saja kemana perseteruan ini mengalir ke ujungnya. Hanya saja, sebagai bobotoh Persib, kita menjadi harap-harap cemas karena eksistensi Persib di Piala AFC 2015 terancam akibat adanya perseteruan ini. Padahal, dalam 20 tahun terakhir ini, saat sekaranglah momen yang tepat bagi SI Maung Bandung untuk menancapkan kembali kukunya di kancah persepakbolaan. Momen yang indah itu, bisa saja kembali buyar bila apa yang dialami Pahang FC, kembali menimpa Kitchee FC yang akan menantang Persib di Stadion Si Jalak Harupat tanggal 27 Mei 2015 besok.

Bahkan yang lebih buruk, apapun hasilnya, Persib akan gagal melenggang ke babak selanjutnya karena sanksi ‘banned’ FIFA menghantui kita semua. Sebagimana yang dilansir FIFA dalam surat penolakannya terhadap Tim Transisi bahwa FIFA ‘menunggu niat baik’ negara dan PSSI menyelesaikan kisruh sepakbola di tanah air hingga tangal 29 Mei 2015.

Bila Perum Pegadaian, yang sering kita datangi saat tak punya uang untuk menonton Persib di stadion, mempunyai slogan ‘menyelesaikan masalah tanpa masalah’, maka perseteruan Negara vs PSSI ini layaklah kita bikinkan slogan ‘mengatasi masalah tanpa SOLUSI’.

Ricky N. Sastramihardja
Editor in Chief Maenbal.co

dimuat di maenbal.co sebagai editorial
http://maenbal.co/13446/suara-redaksi/negara-vs-pssi-perseteruan-penuh-masalah-tanpa-solusi/