Lukisan Ilustrasi Penyerahan Sanghyang Binokasih, Koleksi Museum Geusan Ulun Sumedang
Undang A. Darsa, Filologi Unpad
Prabu Ragamulya Suryakancana alias Prabu Pucuk Umun Pulasari alias Nusiya Mulya, selama 12 tahun (1567-1579 M) sebagai Raja Pajajaran terakhir karena pada tahun 1579 M, Kerajaan Pajajaran lenyap ke dalam Kesultanan Banten dan Cirebon.
Tampuk kekuasaan Kerajaan Sunda Pajajaran setelah Sang Prabu Nilakendra wafat, digantikan puteranya, Prabu Ragamulya Suryakancana alias Nusiya Mulya. Berdasarkan riwayat yang tertuang dalam Kropak 406, semasa pemerintahannya, Prabu Ragamulya Suryakancana tidak tinggal di ibukota Pakwan Pajajaran, tetapi di Pulasari (wilayah Pandeglang sekarang). Itulah sebabnya, ia lebih dikenal dengan sebutan Pucuk Umun Pulasari. Ia memilih tinggal di lereng gunung Pulasari sehingga di sanalah ibukota Kerajaan Sunda Pajajaran ditempatkan sebagai pusat pemerintahan yang baru.
Prabu Ragamulya Suryakancana ketika menjadi raja Sunda Pajajaran sudah tidak lagi mengenakan mahkota Binokasih yang sudah turun temurun dipakai semenjak penobatan Prabu Niskalawastu Kancana. Mahkota itu diamankan oleh panglima perang Jayaprakosa beserta tiga pembesar lainnya dibawa mengungsi ke Sumedanglarang. Kelak, mahkota tersebut dikenakan saat penobatan Pangeran Angkawijaya dilantik menjadi Prabu Geusan Ulun yang dikukuhkan sebagai Narendra Sumedanglarang.
Oleh karena itulah, Prabu Ragamulya Suryakancana terkesan tidak membuat babak baru untuk membangun Kerajaan Pajajaran. la hanya berlindung guna mempertahankan kehidupannya di salah satu kerajaan wilayah bawahannya. Ia justeru pergi ke arah barat, ke daerah yang sebenarnya lebih mendekati sarang saingannya. Diduga, Pucuk Umun Pulasari tidak lagi memposisikan dirinya sebagai raja pemimpin pemerintahan. la hanya berkeinginan menjadi rajaresi sambil merenungi suasana: bagaikan bulan menjelang tenggelam dan matahari menjelang terbenam, siang terdesak malam, habis musim tuntas garapan. Semua atribut kebesaran kerajaan sudah ditanggalkan.
la hanya seorang "raja pendeta" bersahaja yang meninggalkan urusan duniawi. Mungkin ia pergi ke Pulasari hanya berdasarkan getaran "panggilan masa silam", bahwa di sanalah tempat untuk menanggalkan raga, dan di Pulasari pula danghyang Sunda wiwitan (keagungan Sunda sejati) tersimpan, tempat mencari keutamaan jatidiri Sunda sesungguhnya. Itulah sebabnya Prabu Ragamulya Suryakancana mendapat nama sebutan Nusyia Mulya (manusia yang mulia).
Nusyia Mulya bersama pembesar dan para pengikutnya yang setia hanya berusaha mempertahankan diri, menangkis serangan laskar Surasowan Wahanten dan Pakungwati Cirebon hingga Pajajaran napak uga (tiba saat berakhir). Benda-benda berharga simbol kejayaan Kerajaan di purasaba Pakwan Pajajaran diterlantarkan. Berdasakan bukti peninggalan yang ada, laskar Muslim seuweu-siwi (anak-cucu) Siliwangi itu tampaknya tidak menggangu "tempat keramat" di dalam kota Pakwan Pajajaran.
Ini terbukti masih tersisanya prasasti Batutulis Bogor, termasuk kepala patung Ki Purwagalih yang ditanggalkan. Watugilang Sriman Sriwacana (batu singgasana tempat penobatan raja-raja) dipindahkan ke Kesultanan Banten oleh Panembahan Maulana Yusuf. Dengan demikian, Banten telah mewarisi salah satu panji-panji kebesaran Pajajaran, di samping Sumedanglarang yang mendapatkan Mahkota Binokasih lambang keagungan Pajajaran, sedangkan sebagian barang-barang berharga dari Keraton Pakwan Pajajaran diselamatkan ke Cirebon.
Pucuk Umun Pulasari belum tentu mengetahui riwayat di ujung barat Tatar Sunda tentang Aki Tirem alias Sang Aki Luhur Mulya yang menjabat sistem bernafaskan kepanghuluan (penguasa) masyarakat Sunda berhembus terakhir kalinya. Namun, di sanalah pula terbentuk irama sistem kerajaan berawal dari bumi Pulasari Pandeglang. Setelah riwayatnya mengalami pasang surut selama kurang-lebih 1450 tahun, akhirnya berpusara di tempat terbitnya.
Sebagian penduduk ibukota Pajajaran yang tersisa mengungsi ke arah selatan, di daerah Cisolok dan Bayah. Sampai sekarang, keturunannya menjadi komunitas kaum adat Kampung Ciptagelar. Menurut riwayat leluhurnya, mereka meninggalkan Pakwan Pajajaran ketika kota itu diserang laskar Surasowan Wahanten. Jejak peristiwa itu secara samar samar dikisahkan Ki Baju Rambeng, dalam cerita Pantun Bogor. Sebagian kelompok kecil lainnya yang bernasib baik menyelamatkan diri ke Pegunungan Kendeng di Banten Selatan, bergabung bersarna masyarakat "Sunda Wiwitan" di Mandala Kanekes. Di sanalah sesungguhnya "Tanah Suci" religi Sunda tempat tapa di buana, satu satunya pilihan untuk menemukan ketentraman hidup yang hakiki bagi mereka.
Pucuk Umun Pulasari menjadi penguasa Kerajaan Sunda Pajajaran selama 12 tahun (1567-1579 Masehi), sedangkan Panembahan Yusuf menjadi penguasa Surasowan Wahanten selama 10 tahun (1570-1580 Masehi). Pajajaran sirna ing bhumi ing ekadaci cuklapaksa Wesakhamasa saharsa limangatus punjul siki ikang cakakala (Pajajaran sirna dari muka bumi tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka). Peristiwa tersebut bertepatan dengan tanggal 11 Rabiul`awal 987 Hijriah, atau tanggal 8 Mei 1579 Masehi.
disalin dari Facebook Dr. Undang A. Darsa