Daeng Kanduruan Ardiwinata namanya. Dari susunan namanya kita menangkap ada perpaduan dua budaya yang berbeda: budaya Makassar dan budaya Sunda, karena D.K. Ardiwinata, demikian ia dikenal, adalah keturunan Makassar- Sunda.
D.K Ardiwinata merupakan seorang sastrawan Sunda yang menjadi tonggak penulisan novel atau roman (prosa) berbahasa Sunda. Pada tahun 1914, terbit sebuah buku novel berbahasa Sunda dengan judul "Baruang Ka Nu Ngarora" (Racun Masa Muda) yang enam tahun terbit lebih awal dibanding novel berbahasa Melayu/Indonesia, "Azab dan Sengsara" karya Merari Siregar (1920).
Dalam penelitian awal saya untuk keperluan skripsi sarjana di prodi sastra Sunda Unpad tahun 1997 silam, saya berasumsi (dan menyimpulkan dari awal) bila novel ini sangat mempengaruhi novel-novel berbahasa Sunda yang terbit selanjutnya. Tentu dengan tidak mengesampingkan novel "Gogoda Ka Nu Ngarora" (Godaan Untuk Kaum Muda) karya M.A. Salmun (1966) yang diklaim sebagai 'sekuel' "Baruang Ka Nu Ngarora".
Dengan metode kajian intertekstualitas, saat itu saya berharap menemukan banyak jejak dari novel "Baruang Ka Nu Ngarora" (selanjutnya: BKN) dalam teks novel yang lain. Secara ringkas, intertekstualitas memandang bahwa sebuah teks yang ditulis lebih kemudian mendasarkan diri pada teks-teks lain yang telah ditulis orang sebelumnya.
Intertekstualitas merupakan salah satu sarana pemberian makna kepada sebuah teks sastra. Intertekstualitas dalam karya sastra adalah keterkaitan antara dua atau lebih teks sastra. Hubungan ini dapat mencakup kiasan, kutipan, parodi, terjemahan, dan lainnya.
Sebagai naskah pembanding lain, saya memilih beberapa novel dari beberapa periode yang berbeda. Novel "Rusiah Nu Goreng Patut" (Sukria-Yuhana 1930), "Dedeh" (Yus Rusamsi 1966) dan "Asmaramurka jeung Si Bedog Rajapati" (Ahmad Bakri, 1988). Dalam pengamatan saya, ketiga novel ini dicurigai memiliki banyak jejak dari novel BKN, terutama dari sisi tema yang dominan: percintaan dan permasalah dalam rumah tangga.
Dalam novel "Rusiah Nu Goreng Patut" (selanjutnya RNGP) , misalnya, jejak itu terdapat dalam penokohan tokoh utama, terutama tokoh lelaki. Digambarkan dalam BKN, tokoh utama protagonis (Ujang Kusen) adalah lelaki yang gagah, tampan, kaya raya. Sedangkan antagonisnya (Aom Usman) selain tampan dan berwibawa, kaya, juga anak atau keturunan bangsawan. Sangat bertolak belakang dengan tokoh Karnadi di dalam RNGP: jelek, miskin, tak berpendidikan, dan kurang adab.
Sedangkan untuk semua protagonis perempuan yang digambarkan para pengarang di semua novel sepertinya adakah tipe perempuan ideal yang menjadi idaman semua lelaki: cantik, ramah, berharta, dan muda.
Bila BKN diterbitkan oleh Balai Pustaka atau Commisie voor de Inlandsche School en Volkslectuur, yang kemudian dianggap sebagai agen kolonialisme Belanda, RNGP diterbitkan oleh penerbit swasta Dachlan Bekti. Bahasan cukup mendetail mengenai hal ini ditulis Ajip Rosidi dalam "Manusia Sunda" (Inti Idayu Press, 1984).
Menariknya, setelah 25 tahun kemudian, setelah tidak menggeluti dunia penelitian sastra dengan intensif karena kesibukan yang berbeda dengan masa studi, novel BKN dan 'varian' interteksnya itu seolah tak bisa lepas dari kepala. Penelitian yang tak usai di masa skripsi karena mendadak harus berganti judul menjelang masa 'injury time' studi di tahun 1999, serasa meninggalkan utang pemikiran di kepala yang tak akan pernah bisa lunas.
Bahkan beberapa tahun setelah lulus saya berkesempatan bertemu dan berkawan dengan salah seorang buyut D.K Ardiwinata: Daeng Tata. Daeng Tata, yang sangat nyunda walau namanya bergelar nama Makassar.
Tak disangka, Lopian, program yang digelar PDPBS (Pusat Digitalisasi dan Pengembangan Budaya Sunda) Unpad mengelar diskusi pertamanya tentang sastra dengan subyek bahasan utama novel BKN pada hari Rabu, 21 Agustus 2024 pekan lalu. Saya tidak bisa melewatkan diskusi ini dan alhamdulilah bisa hadir dan menyampaikan sedikit pandangan mengenai novel istimewa ini. Tentu tidak secara mendetail dan menyeluruh mengingat keterbatasan waktu, juga waktu yang nyaris mengubur semua sisa ingatan tentang penelitian novel ini.
Karena memang menjadi diskusi pertama dari serangkaian diskusi yang direncanakan, diskusi masih tidak terlalu fokus dengan novel yang menjadi subyek utama bahasan. Masih melebar ke mana-mana, termasuk ngaret 30 menit. Namun sepertinya masih dalam batas yang bisa dimaklumi.
Apalagi sebagai diskusi pemantik, saya rasa memang sangat perlu diadakan pertemuan semacam ini terutama melibatkan masyarakat umum yang bukan kalangan akademis maupun dari komunitas sastrawan. Di mana pengalaman pembaca menjadi kritik yang sangat otentik karena penilaian ini bersifat pragmatik, subjektif dan tidak bisa didikte teori apapun.
Novel BKN ini menjadi novel yang tidak boleh dilewatkan oleh para pembaca sastra Sunda. Di dalamnya terekam bagaimana bahasa Sunda yang digunakan pada masa 110 tahun silam. Bagaimana pandangan normatif pengarang, mewakili masyarakat pada jamannya, tentang banyak hal. Bagaimana kemudian novel ini diantisipasi dalam novel-novel selanjutnya dalam bentuk parodi, antitesis, bahkan upaya imitasi.
Dari sisi perkembangan bahasa Sunda, novel ini juga memberi petunjuk bahwa bahasa Sunda dalam 110 tahun ini tidak berubah struktur tata bahasa, kaidah, dan kosa katanya. Bila ada banyak kosa kata yang dirasa 'asing' bukan berarti menggunakan bahsa Sunda lama.
Bahasa Sunda pada BKN, tidaklah seperti 'old english' dalam sejarah perkembangan bahasa Inggris. Bahasa Sunda pada BKN adalah bahasa Sunda yang dirumuskan pos Mataramisasi Tatar Sunda. Bila ingin mengetahui kosa kata Sunda lama, merujuklah pada naskah-naskah sebelum abad ke-16 sebelum Pajajaran membubarkan diri atau di masa peralihan dari Pajajaran ke Mataram.
Ricky N. Sastramihardja
📷 Enna Ernawati Sutarna