4.20.2016

MENGAPA MENYALAHKAN DEWI FORTUNA?


Dalam sepakbola ada satu dewi yang bila menang dianggap menguntungkan, dan bila kalah dianggap. Dewi Fortuna namanya, yang berasal dari mitologi Romawi kuno. Dalam mitologi Yunani, Dewi Fortuna bernama Dewi Tikhe (Tyche).

Dewi Fortuna adalah dewi keberuntungan, dewi yang mengatur kekayaan dan kemakmuran. Sejahrawan Yunani, Polibus, percaya bahwa ada kejadian seperti banjir, kekeringan dan bencana alam yang tidak bisa ditemukan sebabnya secara logika, maka Dewi Fortuna atau Tikhe-lah penyebabnya.

Entah kapan Dewi Fortuna ini muncul dan dianggap sebagai bagian sebagai bagian dari sepak bola. Bila sebuah tim kalah, media massa menganggapnya tim tersebut sedang tidak berada di dalam lindungan sang Dewi Fortuna. Dewi Fortuna tanpa sadar dianggap menjadi faktor keberuntunagn atau kesialan sebuah kesebelasan.

Bisa jadi karena karena dalam penampilannya, Sosok Thike atau Fortuna ini digambarkan seorang perempuan yang tengah berdiri di atas sebuah bola yang melambangkan kesempatan atau keberuntungan itu tidak stabil, tidak tetap.

Dewi Fortuna menjadi pihak yang paling bertanggungjawab atas kemenangan atau kekalahan sebuah tim. Terutama bila sebuah kesebelasan bermain bagus, tetapi pada akhir pertandingan harus mnerima kekalahan. Atau saat sebuah tendangan yang seharusnya bisa dikonversi menjadi sebuah gol, tetapi melenceng sedikit saja dari gawang.ATau misalnya di saat injury time, seorang pemain berhasil memasukan bola ke gawang lawan lewat tendangan spekulasi.

Karena hampir 100 persen Bobotoh beragama Islam, seharusnya kita tahu bahwa bahwa Islam memberi pandangan bahwa keberuntungan atau kemalangan itu tidaklah terjadi dengan sendirinya. Tetapi merupakan bagian dari rencana Alloh SWT untuk ummat-Nya.

Ada banyak ayat Qur'an dan hadits yang menyatakan bahwa keberuntungan atau kemalangan itu semata-mata takdir Alloh SWT. Misalnya QS 10: 107, QS 6: 18.

Potongan kutipan hadits riwayat Tirmidzi ini menjelaskan bahwa Rosululloh SAW berkata bahwa "...Ketahuilah bahwa apa yang semestinya tidak menimpa kamu, tidak akan menimpamu, dan apa yang semestinya menimpamu tidak akan terhindar darimu. Ketahuilah sesungguhnya kemenangan menyertai kesabaran dan  sesungguhnya kesenangan menyertai kesusahan dan kesulitan.[Tirmidzi no. 2516].

Jadi persoalan menang atau kalah di dalam sepak bola tentu saja bagi kaum muslimin tidak boleh dikaitkan dengan Dewi Fortuna atau Thike atau sebangsanya. Tentu saja karena dengan demikian kita akan terpeleset ke jurang kemusyrikan. Sedangkan Alloh SWT sendiri berfirman bahwa dosa syirik adalah dosa yang tidak diampuniNya seperti terdapat dalam QS 4: 48.

Ricky N. Sastramihardja
Bobotoh Persib, Pecinta Kopi dan Fotografi
suka ngacapruk di akun twitter @RickyNSas

dimuat di www.bobotoh.id
http://bobotoh.id/2016/04/mengapa-menyalahkan-dewi-fortuna/

HADIAH MANIS ULANG TAHUN PSSI


Pada hari ulang tahun PSSI ke-86 ini, Indonesia mendapat 'hadiah' dari FIFA berupa penurunan rangking. Pada tahun 2015 Indonesia masih nongkrong di peringkat 179. Tetapi tahun ini melorot ke peringkat185.

Ulang tahun PSSI juga bertepatan dengan jatuhnya SK Pembekuan PSSI yang dikeluarkan oleh Menteri Pemuda dan Olah Raga, Imam Nahrawi, pada tanggal 18 April 2015 yang lalu. Di mana saat itu PSSI tengah menggelar ISL musim 2015. Akibatnya ISL yang baru berjalan beberapa pertandingan dihentikan oleh PT. Liga Indonesia dengan alasan Forje Majeur.

Mengenai masalah peringkat seperti yang dirilis FIFA pada tanggal 7 April 2016 yang lalu, Indonesia kalah oleh Laos, Fiji, dan Kamboja yang berada di peringkat 182. Indonesia hanya unggul dari Bhutan yang berada di peringkat 186. Bahkan berada 10 peringkat di bawah negara tetangga, Timor Leste yang bertengger di urutan 175, membuntuti Malaysia di peringkat 174. Peringkat terbaik Indonesia adalah pada tahun 1998 dan 2001, di mana Indonesia berada di urutan ke-87 dari 200 anggota/negara.

Peringkat ini terus melorot karena selama setahun tidak mengikuti turnamen regional dan internasional karena adanya sanksi 'banned' FIFA menyusul intervensi pemerintah pada PSSI. Keadaan ini akan semakin memburuk bila hingga awal Mei nanti, Menpora masih belum mencabut SK pembekuannya. FIFA tidak akan membahas nasib Indonesia di level kongres luar biasa, melainkan di kongres biasa yang diadakan tahun 2017 mendatang.

Dari laman FIFA juga dijelaskan, Indonesia dicoret dari keikutsertaan kualifikasi Piala Dunia 2018 di Rusia serta dari kualifikasi Piala AFC 2019. Komite Eksekutif FIFA memutuskan untuk menangguhkan Asosiasi Sepakbola Indonesia (PSSI) sampai PSSI akan mampu memenuhi kewajibannya di bawah pasal 13 dan 17 Statuta FIFA. Keputusan ini dihasilkan akibat adanya intervensi Pemerintah Indonesia kepada PSSI.

Dalam perjanjian dengan Konfederasi Sepakbola Asia atau AFC, PSSI telah diberitahukan bahwa Timnas Garuda diskualifikasi dari kualifikasi seperti yang dijelaskan di atas. Semua pertandingan Indonesia dari Grup F dari tingkatan kompetisi kualifikasi telah dihapus.

Bahkan, bicara masalah peringkat, ketidakikutsertaan Indonesia di pergaulan sepak bola internasional dipastikan akan mempengaruhi rilis terbaru peringkat FIFA pada 5 Mei 2016. Karena walaupun ada perhelatan Indonesia Soccer Cup 2016, praktis Indonesia belum mempunyai timnas untuk berlaga di ajang regional/ internasiona. Indonesia pun masih menunggu nasib, apakah sanksi FIFA akan berlanjut, atau akan dicabut.

Tetapi apa pun, Pemerintah dan PSSI bisa duduk bersama untuk memutuskan nasib sepak bola bangsa ini. Jangan hanya karena ada ego dan kepentingan kelompok, gairah nasional yang berpotensi menggalng persatuan bangsa ini padam dan menguap begitu saja.

Dalam setahun ini kita kehilangan banyak pemain muda, kehilangan banyak potensi, kehilangan banyak sumber daya yang seharusnya mengangkat prestasi sepak bola Indonesia. Belum lagi kerugian materi yang dialami klub, pemain, pelaku industri, hingga masyarakat kecil yang turut 'menitipkan hidup' dengan menikmati secuil kecil kemeriahan yang bernama sepak bola.

PSSI sebagai lembaga memang harus diperbaiki, dikawal, direformasi. Tetapi sebagai lumbung, PSSI tidak layak dibakar bila ingin menangkap tikus yang bersarang di dalamnya. Menpora yang beritikad baik membersihkan PSSI dari gerogotan tikus juga malah tidak bila membuktikan keberadaan tikus yang diincarnya, tetapi lumbung terburu habis terbakar.

Apalagi Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) telah memutuskan bahwa Surat Keputusan Menpora Nomor 01307 tahun 2015 tentang Pembekuan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) tidak sah, sehingga keberadaannya tidak diakui.

Majelis Hakim mengabulkan seluruh gugatan PSSI adalah karena SK Pembekuan PSSI yang dikeluarkan Menpora pada tanggal 18 April 2015 itu tidak memenuhi lima Asas Umum Pemerintahan yang Baik, di antaranya melanggar asas profesionalisme, proporsionalitas, dan di luar wewenang. Bahkan upaya-upaya Banding yang dilakukan pihak Menpora pun kandas di meja hakim PTUN karena PTUN yang berpegang pada undang-undang yang berlaku di Indonesia tidak melihat adanya penyelewengan yang dilakukan PSSI.

Tim Transisi yang bertugas mengawal PSSI pun sampai hari ini tidak bisa mengagas bahkan menggulirkan kompetisi untuk mengganti kekosongan selama masa 'suspend' penangguhan oleh FIFA. Yang ada hanyalah turnamen-turnamen 'tarkam' walau namanya keren-keren: Piala Presiden, Piala Jendral Sudirman, Piala Bhayangkara, atau Piala Gubernur. Tanpa terkoneksi ke dunia internasional, sepak boal Indonesia adalah katak yang berada di bawah tempurung. "Kurung batokkeun", kalau kata orang Sunda mah.

Mumpung masih ada waktu. Mumpung masih ada niat baik dari semua elemen sepak bola nasional, dari level petinggi hingga supporter yang baru belajar menyanyikan lagu "Garuda di Dadaku".

Selamat ulang tahun PSSI. Semoga lekas sembuh dan sadar dari mati suri.

Ricky N. Sastramihardja
Bobotoh Persib, Pecinta Kopi & Fotografi
Sering ngacapruk di Twitter dengan akun @RickyNSas

Dimuat di www.bobotoh.id
http://bobotoh.id/2016/04/hadiah-manis-ulang-tahun-pssi/

1.24.2015

Republik Sulap: The Closer You Look, The Less You'll See



Film "Now You See Me", sebuah caper thriller besutan sutradara Louis Letterier (2013) menyatakan premis 'The Closer You Look, The Less You'll See'.

Untuk menyaksikan sebuah pertunjukan sulap yang utuh sebagai sebuah hiburan, kita dipaksa untuk melihat terlalu dekat sehingga para pesulap mampu menipu mata kita, memanipulasi kenyataan, dan menguatkan hasrat bahwa pada dasarnya manusia senang ditipu (dan menipu). Itulah prinsip dasar sulap.

Kasus perseteruan KPK vs Polri + PDIP ini bukanlah cerita baru. Mungkin sudah berabad lamanya, yakni sistem yang korup tidak akan bisa menegakkan keadilan dan kebenaran.

Sebagai pemirsa kita tidak bisa melihat terlalu dekat, karena saat itulah akan banyak terjadi pengalihan-pengalihan (distraksi) yang akan membuat kita tertipu pada kenyataan sebenarnya. Kenyataan bahwa pertengkaran antara dua institusi ini hanya akan menguntungkan para koruptor, mafia hukum, bangsat, dan bajingan yang menggunakan keduanya sebagai penyamaran mereka.

Kita tarik jauh, mungkin 5-10 tahun sebelum hari ini. Kita hanya akan mendapati kebenaran tipuan-tipuan sulap itu hanya bila kita bisa merunut setiap petunjuk yang berceceran tanpa teralihkan.

Itulah "Now You See Me". Di Republik Sulap yang dipimpin sekelompok pembohong ini, "the closer you look the loss you'll see".

Cerita Tiga Perampok


Ada tiga orang perampok bersembunyi di dalam hutan. Mereka akan membagikan hasil rampokannya yang melimpah.

Tetapi harta haram yang mereka kuasai itu tidaklah berkah. Para perampok itu ingin mendapat bagian yang lebih banyak daripada seharusnya.

Perampok Pertama meminta izin keluar hutan. Katanya mau mencari desa terdekat untuk membeli makanan. Padahal di otaknya tersimpan rencana untuk menaburkan racun pada makanan yang akan disantap dua koleganya itu.

Perampok Kedua dan Ketiga pun berpikiran sama. Mereka merencanakan akan menyergap dan membunuh Perampok Pertama saat kembali ke hutan.

Begitulah selanjutnya dapat ditebak. Perampok Pertama mati karena ditikam dan ditebas dari belakang. Perampok Kedua dan Ketiga mati sesaat usai menyantap makanan beracun yang dibawa Perampok Pertama.

Di hutan, tiga mayat perampok terbujur kaku di antara harta yang mereka dapatkan dengan cara yang tidak sah.

Persis seperti urban legend Indonesia dewasa ini: Cicak vs Buaya + Banteng, yang mungkin akan bertambah dengan Kodok, Angry Bird, atau satwa lainnya.

12.02.2014

Ngadu Muncang


Seorang anak sedang 'nakolan' buah muncang yang diambilnya dari sebatang pohon kemiri di kaki Gunung Geulis, Jatinangor Sumedang. Buah muncang yang sudah terkupas kulit dan dagingnya, kemudian diambil bijinya. Biji muncang tersebut kemudian dipakai dalam permainan 'ngadu muncang'.

Permainan ngadu muncang (kemiri, candlenut, Aleurites moluccana) adalah permainan tradisonal urang Sunda yang hingga dewasa ini masih banyak ditemui di berbagai pelosok Jawa Barat. Dimainkan oleh anak-anak sebagai permainan, dan oleh orang dewasa kerap dijadikan media perjudian.

9.11.2014

Sarang Burung Puyuh di Gn. Geulis

Sambil ngarengkol di dalam tenda menahan dingin kemarau yang menembus hingga sleeping bag, Puncak Gunung Geulis saat itu dinginnya minta ampun. Terdengar di sekeliling, dari dalam semak dan ilalang seperti ini, suara burung puyuh berciak-ciak.

Suprise. Ternyata semak dan ilalang di sekitar tenda dan bivak adalah sarang, mungkin, burung puyuh. Saya tidak melihat penampakan mereka selain suaranya saja yang berciak-ciak dari terbit matahari sampai kami sarapan dan berbenah untuk meninggalkan shelter.

Suatu keajaiban alam yang baru ini saya rasakan. Pengalaman yang mengasyikan yang sulit dinilai dengan uang.


9.09.2014

Nanjak (lagi) ke Gn. Geulis Jatinangor

Lanskap Tj. Sari dan sekitarnya dari Puncak Gn. Geulis, Jatinangor (1281 m dpl). Di kejauhan tampak Gunung Tampomas (Sumedang, 1684 m dpl). Gunung terdekat dengan Gn. Geulis adalah Gn. Bukit Jarian (1173 m dpl).

Gn. Geulis ini cukup assoy juga. Jaman kuliah dulu di tahun 1992-1997, puncak  gunung ini masih lenglang, terbuka. Tak banyak tetumbuhan. Tapi setelah lebih dari 15 tahun, mulai ketinggian sekitar 900 m cukup banyak pepohonan yang tumbuh di lereng hingga ke puncaknya. Terutama didominasi oleh pohon Lamtoro dan pohon bambu. Di puncaknya pun semak belukar dan rerumputan tumbuh tinggi. Tingginya semak belukar dan rerumputan membuat kami kesulitan untuk mendapatkan pemandangan langsung ke arah Bandung, Cicalengka, Tj. Sari dan sekitarnya.


8.28.2014

Pemandangan interaktif dari Danau Kawah Gunung Galunggung

Pemandangan interaktif dari Danau Kawah Gunung Galunggung.

Coba tekan "click to view" untuk merasakan sensasi berada di dalam Danau Kawah Gunung Galunggung. 

Pemandangan interaktif Puncak Manglayang 360°

Pemandangan interaktif Puncak Manglayang 360° . Coba tekan "click to view" untuk 'merasakan' keadaan di puncak Gunung Manglayang (1824 m dpl), Sumedang Jawa Barat.


8.25.2014

Berkah Galunggung



Gunung Galunggung meletus pada tahun 1982. Tetapi sampai hari ini limpahan material vulkanik-nya masih bisa dimanfaatkan sebagai komoditas ekonomi bagi warga sekitar. Seolah tak habis padahal sudah lebih dari 25 tahun ditambang dan dimanfaatkan manusia.


8.22.2014

Nanjak (Lagi) Ke Manglayang

Kabita ku juragan Bobby Victorio Novarro, Rabu kemarin saya nanjak ke Manglayang via jalur barat/Palintang. Rencananya sendiri, akhirnya berdua bareng Gugún Kurniawan.

Dalam ekspetasi, jalur menuju puncak utama dari dinding Barat masih seperti tahun 2010. Saat itu saya dan Donnie D'daam Arie mudun dari puncak Manglayang setelah nanjak dari jalur Baru Beureum.

Ternyata empat tahun berselang di bulan yang sama, Agustus, jalan setapak menuju puncak Manglayang dari Barat sudah menghilang. Beruntung kami menemukan jalur rintisan baru, yang sepertinya belum lama dibuat. Mungkin baru sekitar dua - tiga minggu. Itupun setelah sebelumnya jalur itu diabaikan karena saya pikir merupakan jalur pencari kayu/pemburu.

Setelah mengikuti tag berwarna merah yang dipasang di pepohonan dan semak belukar, akhirnya kami mencapai puncak Manglayang pada sekitar 16.55. Itupun dengan susah payah mengingat kemiringan mencapai 45-60° serta energi kami yang sudah terkuras setelah sebelumnya sempat salah mengambil jalur selama dua jam.

Tiba di puncak puncak pun kami tidak bisa ke pelataran utama (yang ada makamnya). Lagi-lagi karena 'bala', sudah tertup semak belukar. Jalan setapak yang kami ikuti setibanya di puncak akhirnya berbelok ke kiri ke arah Baru Beureum. Tadinya saya ingin mengajak Ugun ke pelataran utama walau harus menerabas semak, tapi karena waktu semakin samporet dan menuju gelap niat itu dibatalkan.



Kami pun turun dari puncak sekitar 17.15 agar tidak terjebak gelap di kemiringan  dinding barat Manglayang.

Manglayang memang tidak terlalu tinggi, hanya 1824 M dpl (berdasar Peta Rupabumi Indonesia lembar 1209-312 Ujung Berung), tapi dari jalur manapun, tanjakannya cukup menantang. Di Manglayang, kita akan merasakan bagaimana betapa dekatnya lutut kita dengan mulut saat menanjak. Cocok banget buat trial bagi teman-teman sebelum mencapai puncak gunung lain yang lebih tinggi.

Selamat buat Ugun yang sukses muncak di  Manglayang pertama kalinya. Ulah kapok ya, engke deui mah disapatu. Ulah disendal :D

9.26.2013

AGUS, BOBOTOH PERSIB

Ngaranna basajan, Agus. Ngan nu ilahar dipaké ku urang Sunda keur ngaran lalaki. Umurna nitih 40 taunan, pangawakan sedeng. Teu jangkung, teu pendék, teu kuru, tapi teu lintuh ogé. Agus téh bobotoh Persib. Kuring kungsi panggih jeung manéhna 3 taun ka tukang di tribun Samping Barat keur diriung ku barudak nu hayang difoto bareng jeung Agus.

Najan ngaranna basajan tapi Agus téh istiméwa keur sakumna bobotoh mah. Totalitasna ka Persib teu kudu ditanya deui, méh unggal pertandingan kandang di SJH atawa Siliwangi, Bobotoh nu di Tribun Barat pasti panggih jeung Agus. Agus oge diistiméwakeun ku nu jaga karcis (usher). Manéhna mah gratis asup stadion téh, teu kudu maké karcis. Agus téh urang Ciparay.




Indit jeung balik lalajo Persib salawasna numpak sapédah. ‘Go green’ téa meureun sumangetna mah. Sabot balik lalajo Persib ti SJH, sababaraha kali kuring panggih jeung Agus keur ngaboséh sapedahna mapay jalan Cipatik ti SJH ka Kopo-keun. Tapi karék kamari tutas Persib maén vs Central Coast Mariners (24 September 2013), kuring ‘kawenehan’ boga ombér bisa ngobrol sakeudeung jeung Agus. Bisa nyokot gambarna di palebah jalan tol Kopo. Peuting-peuting basa Agus keur ngaboséh sapédahna rék balik ka Ciparay.

Soméah , teu talangké waktu kuring ménta idin keur motrét manéhna. Meunang sababaraha jeprétan, tuluy Kuring gé sempet nunutur tukangeun Agus nu ngaboséh sapédahna. Sajajalan Agus teu weléh males panggupay jelema-jelema anu ngagupayan ka manéhna. Cekéng gé, Agus mah istiméwa. Totalitas jeung loyalitasna ka Persib teu kudu diragukeun deui.

Kuring mah asa teu sanggup mun kudu total nurutan Agus. Asa keueung nempo kostum jeung dangdanana mun lalajo Persib. Tuda heueuh, batur mah lalajo Persib téh maké jérséy, kaos bulao Persib, kaos Bomber, Viking, Hooligan, atawa kakasualan (casuals), demi ari Agus mah konsistén pisan lalajo Persib maké kostum jeung di-mik ap siga... pocong!

Ciamis, 26 Séptémber 2013

9.02.2013

High Octane Away Day

Laga Persija vs Persib yang dilangsungkan di Sleman 28 Agustus 2013 yang lalu masih membekas di hati saya. Seumur-umur nonton bola, pertandingan kemarin adalah pertandingan yang sangat berkesan. Status pertandingan dengan penonton yang melibatkan kedua kelompok supporter lah yang membuat tensi pertandingan terasa tinggi.

Betapa tidak, Deu Jek yang biasanya kami 'chant' di stadion SJH/Siliwangi, hari itu ada tepat di hadapan para Bobotoh. Naluri agresi dan adrenalin pun mengalir deras membuat konsentrasi untuk menonton bola (dan memotret) menjadi terpecah.




Apalagi para Bobotoh baru bisa masuk sekitar pukul 16.00 atau setelah pertandingan berjalan 30 menit. Ternyata di saat kami masuk, pertandingan tengah berhenti di menit ke-17 akibat adanya kerusuhan antara Deu Jek vs Bobotoh/Viking.

Menurut berita yang beredar (dan saya ketahui setelah pulang), kerusuhan di 15 menit babak pertama itu terjadi setelah Bobotoh masuk ke Tribun Selatan (yang menurut perjanjian diperuntukan untuk Bobotoh). Di Tribun Selatan, para Bobotoh melepaskan dan mengambil spanduk/banner Deu Jek yang terpasang di Tribun Selatan. Terjadi kerusuhan akibat Deu Jek marah dan mengejar Bobotoh yang jumlahnya masih sedikit.
Bobotoh membakar Syal Deu Jek di MIS, 280813

Di saat mereka mengejar itulah rombongan Bobotoh dari Bandung baru bisa masuk. Kedatangan kami pun disambut dengan beberapa lemparan batu dan lemparan petasan oleh Deu Jek dari Tribun Selatan ke parkiran.Sepertinya mengetahui kami datang, akhirnya Deu Jeuk kocar-kacir kembali ke Tribun Timur. Selain itu pihak Polres Sleman juga, katanya, melepaskan gas air mata ke kerumunan Deu Jek yang merangsek dari arah Tribun Selatan.

Tapi di luar semua yang terjadi di dalam lapangan, Saya sangat menikmati perjalanan ke Sleman ini. Ini adalah 'away day' pertama ke luar kota dengan tajuk pertandingan 'el classico'. Saya cenderung memaksakan diri untuk mengikuti tour berbahaya ini karena ingin memuntaskan proyek fotografi saya untuk www.matabobotoh.blogspot.com yang saya awali di tahun 2011.

Match Steward mengamankan Red Flare yang dilemparkan Deu Jek ke tengah lapangan setelah pertandingan usai. Menjelang babak ke-2 Deu Jek melakukan hal yang sama.
Tetapi karena pertandingan ini pertandingan emosional, saya tidak terlalu banyak memotret. Emosi psikologis saya lebih terbangun untuk berhadapan dengan Deu Jek dalam 'open fight' daripada untuk memotret. Sepanjang pertandingan, saya lebih banyak mondar-mandir ke arah Tribun Selatan, yang menghubungkan Tribun Barat (Bobotoh - Viking) dengan Tribun Timur (Deu Jek). Berharap ada serangan dari Deu Jek atau ada komando untuk menyerang.

Tapi syukurlah, tidak terjadi kerusuhan yang lebih besar. Sampai pertandingan berakhir dengan skor 1-1 tidak ada 'open fight'. Ada beberapa gangguan dari deu Jek maupun Bobotoh, tetapi lebih condong pada terror mental untuk pemain. Di akhir pertandingan, kami masih menunggu 'saat itu' terjadi dan tidak mau keluar tribun walau sudah dihimbau oleh pihak kepolisian. Akhirnya kami baru bubar setelah perwakilan dari BCSx PSS Sleman/Slemania meminta kami untuk bubar.



Sungguh suatu pengalaman yang menyenangkan, mendebarkan, dan rasanya membuat 15 tahun lebih muda. Akan diingat dan diceritakan sepanjang masa pada anak cucu kelak bahwa Bobotoh berulangkali berani 'membirukan' stadion yang dikelola Persija pada pertandingan 'home' mereka. Sedangkan Deu Jek belum pernah menyentuh lagi stadion Siliwangi atau SJH semenjak tahun 1999. Di mana pada saat itu di terjadi kerusuhan antara Bobotoh vs Deu Jek di Stadion Siliwangi Bandung.

BAGIMU PERSIB, JIWA RAGA KAMI

4.04.2013

Pasukan Khusus Puragabaya dan Kopassus


Di dalam novel 'Pangeran Anggadipati' dari serial 'Seri Ksatria Hutan Larangan' atau Serial Puragabaya karya Saini K.M. (Bentang Pustaka, 2008), dikisahkan tentang sepak terjang satria Sunda , Pangeran Anggadipati saat menempuh pendidikan menjadi seorang Puragabaya.

Puragabaya adalah pasukan khusus dari kerajaan Pajajaran yang dikisahkan memiliki kemampuan keprajuritan (kanuragan) sekaligus kepanditaan. Proses menjadi seorang Puragabaya sangatlah berat, harus menempuh latihan dan gemblengan lahir batin hingga mereka bisa dikirimkan oleh Prabu Siliwangi menjalankan tugas-tugas khusus.

Setelah lulus, para Puragabaya ini hanya diperbolehkan menggunakan kujang sebagai senjatanya. Para Puragabaya tidak boleh menggunakan pedang, panah, tombak, dan senjata-senjata lain yang lebih besar atau lebih panjang dari kujang. Para Puragabaya ini dilatih untuk 'close combat' atau 'hand to hand combat'. Ini yang membuat mereka dilatih sangat keras, baik lahir maupun batin.

Selain untuk menjaga keselamatan Prabu Siliwangi dan anggota kerajaan lainnya, para Puragabaya ini juga dilatih untuk melakukan misinya secara 'stealth' (tarapti, rahasia, nyamuni) dan melumpuhkan musuhnya dengan sunyi. Oleh karena itu para Purabaya memiliki kemampuan khusus yang jarang dikuasai oleh prajurit lain.

Kepanditaan seorang Puragabaya juga menjadikan mereka prajurit yang sangat dekat Tuhannya. Karena mereka sadar bahwa tanpa bantuan Sang Hyang Tunggal, semuanya akan sia-sia. Oleh karena itu para Puragabaya jiwanya terisi pada pengabdian terhadap tuhannya. Para Puragabaya harus bisa menahan nafsu dan syahwat dunia. harus bisa menahan emosi di saat bertugas. Bila dibandingkan, Puragabaya ini mungkin mirip dengan prajurit-prajurit Sparta dalam film epik '300' (Warner Bros; 2006. Sutradara/Naskah: Zack Snyder).

'Lebih baik pulang nama daripada gagal dalam tugas'. 
Mereka dilatih untuk berhasil, bukan untuk gagal :)

foto @Syailendrahafiz @KFPJatim di instagram RepublikaOnline

Serial Saini K.M. ini yang membuat saya semakin 'kagum' dengan Kopassus, satuan pasukan TNI AD, yang dalam fantasi saya dilatih sebagaimana para Puragabaya. Tentu hal ini juga beralasan, Kopassus TNI AD dinobatkan sebagai pasukan satuan khusus terbaik ke-2 dunia setelah SAS (Inggris). Prestasi Kopassus yang layak disebut adalah banyak negara-negara lain, terutama di Afrika, yang pasukan khususnya dilatih oleh anggota Kopassus TNI-AD.

Tetapi setelah kejadian penyerbuan LP Cebongan terkuak, saya cukup kecewa dengan Kopassus. Kecewa karena mereka tidak mempraktekkan apa yang telah mereka pelajari selama ini: Stealth dan Silent Kill. Apalagi cuma untuk 'membasmi' cecunguk-cecunguk kriminal yang tak berdaya di dalam LP. Kecewa karena oknum-oknum prajurit itu tidak mampu menghalau emosi, dendam dari jiwanya, padahal mereka telah berlatih keras untuk itu.

1.10.2013

TELEVISI - BUDI RAHAYU TAMSYAH (1982)


DUR bedug. Ngong adan. Nu imahna pipir masjid mah sok kahudangkeun, turug-turug ayeuna mah geus make spiker masjid téh. Matak éra mun sakalieun harorem teu salat subuh berjamaah téh.
Eta spiker téh minangka wakaf ti Ama Haji Patah suwargi, kumplit jeung akina sagala anu dua belas volt, mani sadua-dua. Disetrumna piligenti, ari mayarna maké duit kas masjid. Tambah gawé keur Mang Merebot.
Nyata kagunaanana teh lain ukur keur adan baé. Bubuhan deukeut ka Balé Désa, nya sok dimangpaatkeun ka Pamaréntah Désa. Upamana baé basa rek bakti pikeun ngabatu jalan désa, pisapoeeunana méh unggal w aktu Pa Wakil ngembarkeun make spiker masjid. “Ulah hilap ka sakumna masarakat désa, énjing, dinten Jumaah supados ngalaksanakeun bakti. Urang sami-sami ngalereskeun jalan désa."
Atuh dina prungna bakti, éta spiker téh teu eureun-eureun disada ti mimiti nepi ka lekasanana. Uar pangajak jeung sabangsana. Pa Lurah piligenti jeung Pa Wakil, maréntah ka nu keur digarawé, atawa nganuhunkeun ka nu geus ngirim lalawuh. Da kitu ilaharna, mun teu milu bakti piraku wé teu cai-cai acan mah. "Eta gé sami kénéh bakti", cek Pa Lurah.
Jempé Pa Lurah jeung Pa Wakil, ana celengkeung téh sora cempréng, sora bogana si Eméd. "Hatur nuhun ka Mang Mansur anu tos badé ngintun leueuteunana, sareng hatur nuhun deuih ka Mang Udin nu tos ngintun rokona anu teu acan dugi".
Nu ngadenge sareuri. Nyuntik ti dituna mah, pedah Mang Mansur jeung Mang Udin teu katingali bakti. Jeung enyana deuih, teu kungsi lila tingkurunyung titah- miana mawa kulub hui, kulub sampeu, jeung roko. Geus kitu mah nu teu milu bakti téh buru-buru bararangkirim. Tayohna mah sieun di kana spikerkeun. Ma’lum atuh di kampung, teu sirikna ti tungtung nepi ka tungtung téh pada nyaho. Ngan aya untungna, nu teu milu bakti teh kalolobaanana mah jalma nu kaitung mampuh.
Malah hiji poe mah tina eta spiker teh kungsi aya bewara kieu: "Ka Bi Utih, diantos pisan ku Ibu Lurah, énggal saurna téh. Tong hilap nyandak pesenanana téa. Hatur nuhun".
Lain sakali baé kadéngé bewara nu sipatna pribadi téh. Ditujukeun ka Mang Anu, Bi Anu, Pa Anu, Ibu Anu, kitu téa kieu téa. Ti saha wé datangna mah, sabab keuna ku paribasa: uyah mah tara téés ka luhur.
Ku lantaran éta spiker, barudak nu ngaji di masjid beuki rempeg baé. Méméh dur magrib geus dariuk pahareup-hareup, padeukeut-deukeut kana mik. Pupujian patarik-tarik, hayang kadéngé ku balaréa yén nu pangtarikna téh sora manéhna. Kakara eureun mun geus dicaram ku Mang Merebot anu ogé guru ngajina. Breng salat, lebah amin patarik- tarik deui baé, abong barudak.
Réngsé salat magrib barudak mah terus ngaraji, bangun saregut naker. Upama dibéré talaran susuratan, paheula-heula apal. Nu geus apal buru-buru ka hareup pikeun norolangkeun nu geus kacangkemna, sorana ngahaja ditompokeun kana mik. Moal manggih deui we bungahna téh, sorana bisa didéngé sahenteuna ge kadéngé ku nu di luar.
Hiji mangsa, waktu Jumaahan, saméméh manjing waktu bedug lohor Pa Lurah biantara.
"Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarakatuh".
Ditémbalan ku saur manukna sidang jumah, "Waalaikumsalaam"
"Palawargi masarakat désa sadayana, hapunten Sim Kuring ngiring nyarios heula sakedap. Alhamdulillah désa urang téh baris meunang sumbangan televisi ti Pamaréntah, ku nandakeun yén Pamaréntah aya perhatianana ka Urang. Ku kituna Sim Kuring salaku Kepala Désa umajak ka sakumna masarakat désa sungkan bener-bener ngaronjatkeun deui pangwangunan dina sagala widang. Kamari Sim Kuring disaur ka Kacamatan, tétéla désa urang teh geus meunang pangajén anu hadé ti Pa Camat. Lian ti éta, Sim Kuring miharep pikeun kapayunna sakumna masarakat désa kudu ngarojong kana program, boh anu dijalankeun ku Pamaréntah atanapi Pamaréntahan Désa, saupamina baé bakti, lajeng Keluarga Berencana, sareng nu sanésna. Margi éta téh engkéna pikeun kapentingan urang-urang kénéh baé. Malah sakumaha anu tos disanggemkeun ku Pa Camat, ieu sumbangan televisi teh pikeun ngaronjatkeun kanyaho, atawa élmu pangaweruh urang. Tegesna mah ulah katinggaleun teuing. Demi maksudna anu utami nya eta pikeun leuwih ngaronjatkeun deui hasil pangwangunan anu baris kahontal, salian ti méré hiburan anu séhat ka masarakat désa.
Salajengna atuh éta televisi téa baris dipasrahkeun ku tamu ti Kabupaten, ngahaja badé ka dieu disarengan ku Pa Camat. Dupi waktosna dinten Ahad, pagéto. Ku kituna ka masarakat désa enjing mah kedah beberesih, boh di bumina masing-masing. Utamina anu kedah barérés téh nu bumina sisi jalan, lajeng jalan désa sareng di Balé Désa, panginten éta mah kedah bakti. Sakali deui Sim Kuring nyuhunkeun perhatosanana. Rupina mung sakitu baé ti Sim Kuring. Hatur nuhun, Wassalamualaikum warrohmatullohi wabarrokatuh."
Sanggeus ngadéngé kitu, sidang jumah boga carita séwang-séwangan, sakurang-kurangna dina jero haténa. Ngan anu mimiti katangen nembongkeun kapanujuanana kana caritaan Pa Lurah téh jajaran nu pangtukangna. Kawantu loba budak ngorana, jeung teuing wé ari nu pangtukangna sok ribut lain wayah. Biasa.
Nu baralik jumaahan mawa béja, béja pabéja-béja. Malah éta béja teh nerekab nepi ka désa-désa di sabudeureunana. Poé Minggu baris sumping tamu ti Kabupaten badé masrahkeun televisi. Demi masarakatna, bungah, reueus, jeung teuing rasa naon deui nu nyangkaruk dina dadana. Anu pasti, isukna nu bakti leuwih rempeg, leuwih soson-soson digarawéna. Ngarasa capé gawéna téh geuning teu mubadir, leuwih ti kitu ngarasa aya pangajén kana hasil gawéna. Boga rasa sagala lakon gawena bakal kapalire. Enya, ajén-inajén gumantung kana hasil gawéna.
Teu kacatur kumaha raména acara papasrahan televisi téa, ngan tangtuna gé kajudi ku raména. Ramé ku jelema, malah aya nu nyaruakeun jeung tujuh belas Agustusan sagala. Masarakat némbongkeun kabungahna, nu jadi kabungah ogé pikeun nu saluhureunana.
Televisi nu jadi lantaran kabungah saréréa, ayeuna geus nampeu di buruan Balé Désa. Maké hiji tihang beusi nu jangkungna dua méter. Kotak paranti neundeunna dijieun tina beusi sapaseun televisi tujuh belas inci. Ti dituna geus dicét sing sarwa konéng. Ma’lum anyar, soréna jelema geus ngaliud di buruan Balé Désa rék lalajo televisi téa. Geus puguh ari nu jagjag mah, hiji aki-aki nu geus rarempo silihtungtun jeung incuna nyuay-nyuaykeun jelema réa.
"Cik. atuh Ki, tos sepuh mah calik we di bumi," cek hiji pamuda.
"Ih, puguh havang nyaho tilepsisi. Ulah wungkul cek béja."
"Sanes tilepsisi Abah, tilipisi," incuna ngabenerkeun.
"Aeh. enya éta."
Jelema beuki moyég, televisi can disetél kénéh baé. Manahoréng can aya akina.
"Ti batan euweuh mah enggeus we atuh ganti ku Aki Nata," ceuk Si Eméd.
"Lain kalah ka heureuy, Kéméd," Jurutulis nyereng,"Heug cokot anggursi ka ditu, ka Mang Merebot. Béjakeun wé ceuk Pa Lurah kituh nginjeum heula aki nu anyar nyetrum."
Teu réa carita Si Eméd indit, kacelétot, teu inget yén aki Nata teh uana Jurutulis. Sarta teu kungsi lila manéhna geus datang deui bari manggul aki, dituturkeun ku Mang Merebot. Lebah lawang buruan Balé Désa ngarandeg heula, pok nanya ka hiji mojang.
"Rek lalajo, Nyi?"
Acan ge Nyi Mojang ngajawab, ana gorowok téh ti Balé Désa.
"Buru-buru atuh, Méd! Gampang ngaheureuyan awéwé", barang dilieuk, bréh Jang Aip mencrong ka manéhna barina lajag- léjég.
"Kalem wé atuh, Jang," témbal si Eméd.
"Lain kalem-kalem, da nu ngadaragoan mah kesel."
"Enya, masihna hampang aki téh."
"Heueuh, lamun beurat buru-buru!" Jang Aip nyentak. Si Eméd teu némbal. Ari panas mah geus tangtu, sok komo disentak hareupeun awewe. Ngagejrét, ceuk pangrasana.
Sanggeus dipasang-pasang, cetrék atuh televisi teh disetél. Nu lalajo paeuleuh-euleuh. Ahéng. Antukna ka bakating anteng méh lat poho kana waktu. Mang Merebot ngilikan jam tuluy gura-giru indit ka masjid. Dur nakol bedug, terus adan. Nu lalajo kalékéd naker rék ninggalkeun buruan Balé Désa téh, lir nu keur gawé kagok ku hanca.
"Palawargi sadayana, ayeuna tos manjing kana waktosna pikeun netepan magrib". Kakara aya bewara kitu, da biasana méméh bedug gé jelema téh sok geus araya di masjid.
Mang Merebot kaleungitan ku barudak nu sok pacowong-cowong pupujian di masjid méméh solat magrib, kaleungitan ku hiji kaayaan. Malah saréngséna salat magrib gé sakedapan masjid téh geus pada ninggalkeun. Tinggal Mang Merebot jeung Pa Haji Isak katilu anakna Mang Merebot. Kitu gé budak mah geus élékésékéng baé, léngo deui léngo deui kana panto. Mang Merebot surti, "jig, atuh Ya, bisi hayang lalajo televisi mah."
Si Uya melong ka bapana, nganuhunkeun, nu tadina alum téh ngadadak marahmay. Jung cengkat.
"Ngan kadé ulah poho salat Isa."
"Mangga," tembal budak. Ka luar ti masjid teu sirikna notog-notogkeun manéh, hayang buru-buru lalajo televisi jeung batur-baturna.
".... barudak téh," ukur kitu caritana Mang Merebot. Neuteup kosong kajauhna.
"Biasa anyar keneh. Engké gé lila-lila mah baroseneun," ceuk Pa Haji Isak, "Ngan taya gorengna upama Emang ngusulkeun ka Pa Lurah supaya éta televisi téh dipareuman heula ti saméméh magrib nepi ka bada Isa. Lain ku nanaon, ieu mah sangkan teu ngaganggu kana ngajina barudak."
"Saé, saé éta usul téh," Mang Merebot mairan bari unggut-unggutan tanda panuju, “Keun énjing mah urang carioskeun ka Pa Lurah."
Isukna éta usul téh dilaksanakeun, kitu gé sanggeus ramé heula padungdengan.
"Enggeus wé atuh televisina pindahkeun ka hareupeun masjid," cek Si Eméd.
Tapi kaputusan Pa Lurah tetep kudu dilaksanakeun Ngan hanjakal can gé isa-isa acan televisi téh geus disetél deui. Horéng simanahoréng padamelan Ibu Lurah wiréh putrana anu bungsu ngarenghik baé palay nongton televisi.
Barang kabireungeuh ku barudak nu keur ngaraji, bet jadi siga nu paranas bujur, teu daék cicing. Diukna padeukeut-deukeut kana panto. Mang Merebot nganaha-naha, kitu ge ukur na jero hate. Ari Pa Lurah...
Ayeuna Désa téh teu combrék teuing, komo di sabudeureun Balé Désa mah geus réa nu dadasar ngadon dagang. Resep puguh gé, bari susuganan aya nu mileuleuheungkeun.
Nyi Amah gé harita teh keur lalajo, ieu kasempetan hadé téh teu diantep ku Jang Aip, anu memang geus aya sir ti anggalna kénéh.
"Nyi, nongton?" manéhna nanya.
"Muhun," tembal Nyi Amah bari imut. Atuh puguh we pikeun Jang Aip mah asa dibéré haté.
"Sareng saha?"
"Ah, duaan wé," Maksudna mah duaan jeung adina. Padahal teu kitu, sabab nu keur lalajo harita téh leuwih ti sa-RT-eun. Ukur kitu, tungtung na mah paheneng-heneng. Panon lalajo sotéh da ari kahayang mah bacéo. "Ah, isukan mah moal jeung si Toha," cek pikir Nyi Amah.
Batu turun keusik naék, ku remen lalajo bareng téa, antukna mah lain ukur rindat jeung kelét baé. Nepi ka hiji peuting wawuh, wanoh, jeung bogoh disampurnakeun ku indit ka nu liuh. Nyampurnakeun kapanasaran anu dikipasan ku sétan. Hawa sucina désa nyaksian dua raga nu nganteur pataremana dua rasa: cinta jeung nafsu, ngawujud jadi lampah nu muyarkeun hiji ajén. Lantaran aya lolongkrang.
Sabuni-buni ge anu modol, barang kaambeu bauna teu lila gé geus jadi sabiwir hiji. Si Anu jeung Si Anu kapanggih keur anu ku Si Anu.
"Astagfirullahal’adzim", Pa Haji Isak ngusap beungeut barang éta béja nepi kana ceulina, "Enya éta téh, Mang?"
"Ari leres henteuna mah wallohualam, da Emang gé ukur cek béja," tembal Mang Merebot.
"Lain, lamun enya téa mah, Mang. Salila kuring inget asa kakara aya kajadian sarupa kitu di dieu. Geus puguh ari di dayeuh mah da loba kacaritakeunana. Ngan urang téh kudu asak sasar bisi ukur pitenah, jalma téa saha nu nyaho. Der deuih engké urang kababawa milu mitenah jalma nu teu tuah teu dosa."
Tungtungna éta nu jadi catur téh tepi ka Jang Aip. Paingan, ceuk pikirna, nu ngobrol sok ngadak-ngadak eureun mun datang aing, atawa tingkecewis. Moal salah ngomongkeun éta téh. Dina haténa aya prasangka, nu sok ngabarubahkeun sagala rupa. Beungeut-beungeut katingalina siga kedok, dina basa karasana aya rasa anu nyamuni.
Tangtu aya sumberna, saha atuh nu geus ngaliarkeun taleus ateul teh? Naléngténg ka ditu ka dieu, weléh taya jawaban anu pasti. Teu pegat harepan, manehna nanyakeun ka hiji budak.
"Da .... da ... da abdi mah ... ceuk ... ceuk Kang Eméd," ngajawabna bangun kasima.
Ngadéngé kitu beungeut Jang Aip reup geuneuk ray pias, awakna ngagidir nahan amarah. Leumpang dangah sajajalan nananyakeun Si Eméd.
"Aya naon, Jang?" teu nembalan. Nu nanya kitu lain saurang lain dua urang.
Barang gok jeung Si Eméd, teu tata pasini deui ujug-ujug jekuk we atuh beungeut Si Eméd diteunggeul.
"Wuaduh!" Si Eméd ngagoak kagét jeung nyeri. Jang Aip rék mindo tapi kaburu dipisah ku jalma réa nu tadi panasaran hayang nyaho nu baris kajadian. Jang Aip pada ngarejeng.
"Leupaskeun! Leupaskeun!" ceuk Jang Aip bari teterejelan. Gedé wawanén pangaruh bapa gedé dunya.
"Ke. ke aya naon ieu teh, Jang!"
"Ah, pokona mah leupaskeun. Urang warah tah si bangkawarah téh!”
"Tenang, tenang .... aya naon ieu téh, Méd?"
"...ka teuing", témbal Si Eméd bari ngusapan pipi kéncana anu bengep, "Kasarumahan meureun!"
"Sia ari ngomong teh ulah sok sambarangan!" ceuk Jang Aip bari tutunjuk, dihalangan ku Mang Endin.
"Ari aing ngomong naon ka sia, hah?" Si Eméd ngalayanan. Bet sireum gé ditincak-tincak teuing mah ngégél.
"Ah, siah, sia nu ngagogoreng Aing jeung Nyi Amah!"
"Ari enya? Basa keur malem Minggu di kebon tukangeun Balé Désa, saha? Bisi teu percaya jung tanyakeun ka Si Otong jeung Si Karta."
Torojol Mang Merebot. "Meunggeus, meunggeus! Nanahaonan ieu teh ngadon ribut di hareupeun masjid. Astagfirullohal’adzim, siga nu tara ngaji baé. Cing, atuh sing ngahargaan . . .. "
"Geus Jang Aip, jeung Sia deuih Kéméd, milu ka Balé Désa," cek Pa Lurah nu anyar datang aya nu nyusulan, "Kakara aing mah manggih nu kieu patut!"
Jang Aip jeung Si Eméd dibawa ka Balé Désa, diabringkeun siga sakitan.
Dur bedug. Ngong adan.
Di masjid ukur aya Mang Merebot jeung Pa Haji Isak, bari pupujian ngadagoan nu lian anu masih kénéh di Balé Désa.
Cetrek, televisi dipareuman.

Ikayasa - Bandung '82.
Manglé No. 837
13 Méi '1982.

MAJAR KURING GÉLO - KI UMBARA (1969)



PEDAH KURING IGEL-IGELAN jeung ceuceuleuweungan, barudak awéwé-lalaki ramé aréak-éakan salusurakan, sawaréh pating corowok: "Mang Dipdip gélo! Mang Dipdip gélo!" Ari kolot-kolot nu ngaregreg ti kajauhan, teu kendat garogodeg bangun anu haréraneun pisan. Malah nu narangtungna rada dareukeut mah, kadéngé alistigpar nyarebut jenengan Alloh.

"Emh deudeuh, karunya teuing ngora-ngora tur kasép, ari taeun bet kurang saeundan." ceuk Bi Aning nu nangtung teu jauh, bari ngusapan dadana. 

Tapi kuring teu paduli, mangsa bodo, kuring teu rek ambil pusing; rek disarebut gelo, rék disarebut kurang saeundan. Da kuring pribadi mah ni'mat pisan igel-igelan jeung tetembangan téh. Padahal maranéhna oge mun manggih kabungah jeung kani'matan téh, réa nu sok rerengkenekan jeung hahariringan; tapi tara disarebut gélo, komo maké disarurakan mah. Naha, naon bédana jeung kuring, pada sama mahluk Pangéran? Moal gana-gana kuring igel-igelan jeung tetembangan, mun teu manggih kabungah jeung kani'matan. Kabungah jeung kani'matan paparin Pangéran. Ku lantaran kitu kuring teu paduli, kuring terus-terusan ngigel jeung ceuceuleuweungan:

Kuring lain ngaji kosar,
nya biko nya kasar.
Kuring lain ngaji dosar,
nya bodo nya sasar.
Tapi kuring ngaji gosar,
digogo bari disasar.
Ngaji rasa,
bodo!

Ngaran kuring Dipa, sok Di-Dip-dip-Dip-dip. Ti leuleutik ngaran Dipa téh. Béjana, hartina Dipa téh tai munding. Kungsi ku kuring ditanyakeun ka Ema, basa anjeunna aya kénéh dikieuna. Kieu waleranana téh: "Réa jelema nu ngaranna alus, upamana Haji Sobar, tapi manéhna barangasan. Haji Ma'mur tapi hirupna kékéréhét. Raden Darmawan tapi korétna udubillah, ka nu musapir oge kelu ngusir. Nya kitu deui aya nu nyieun perusahaan Rikrik Gemi, tapi nu bogana nya awuntah nya rucah. Aya nu nyieun ngaran gedong Répéh Rapih tapi ripuh, da usaha teu kaur ku paséa. Tah, nu matak Awak mah dingaranan téh Dipa. Enya Dipa téh tai munding, barang kotor luyu jeung asal manusa. Tapi muga-muga ku maké ngaran kotor téh jadi sabalikna Awak jadi jelema beresih haté".

Waktu umur kuring nincak kasapuluh taun, Ema téh pupus. Sapupusna Ema. Bapa cruk-crek baé. Éta baé nepi ka kuring bujang téh, ngalaman tilu indung téré. Ari indung téré téa réréana mah nya kitu. Tapi kuring teu ngaleuleungitkeun kana kanyaahna, kuring disakolakeun jeung dipasantrénkeun, najan ukur tamat sakola désa jeung khatam Kur'an.

Waktu kuring ‘disapih’ ku Bapa jeung indung téré, kuring teu boga naon-naon, lungah-lingeuh teu puguh gawé. Rék tani teu boga sawah, rék dagang teu boga modal. Hirup di lembur asa sundul, dunya asa jadi heureut. Beng kuring indit usaha milu jeung batur usaha ka peuntas, ka Jambi. Tapi najan cenah di Jambi téh réa duit, ari keur jelema bodo cara kuring mah di mana-mana ogé sarua baé. Eta baé dagang és genep bulan téh ukur boga saongkoseun balik ka lembur.

Hiji mangsa kuring ditéang ku Mang Haji paman kuring adina Bapa. Anjeunna nganaséhatan, kieu pokna téh: "Ditenjokeunana ku Emang Ujang teh bangun teu maju-maju. Maksud téh tina kahirupan, di dieu susah di peuntas ogé susah. Kieu ayeuna mah, turutkeun omongan Emang, Ti ayeuna Ujang kudu ngisat diri. Ujang geura meresihan awak. Muga-muga Alloh maparin pijalaneun Ujang mulya."

"Kumaha carana, Mang? Hoyong ti kapengker abdi téh."

"Sukur atuh ari aya karep sorangan mah, leuwih utama. Kieu carana, sakumaha anu dilakonan ku Emang, basa Emang keur prihatin kawas Ujang ayeuna. Mimiti salila opat puluh poe Ujang kudu mutih, hartina teu meunang ngadahar naon-naon, iwal ti cai hérang jeung sangu. Ari sanguna méméh didahar téh tinyuh heula ku cai. Tamat éta, geura mandi di unggal tengah peuting di balong sarta maju ka hareup. Hartina peuting ka hiji di balong nu pangdeukeutna, peuting ka dua maju di nu ditueunana deui, jeung saterusna. Beuki jauh, beuki jauh, nepi ka opat puluh peuting. Omat ulah kapanggih ku jelema. Sanggeus tamat sarta teu aya halangan naon-naon, Ujang kudu nutup manéh di kamar, ulah ka luar-luar Sarta kudu mati-geni, teu meunang dahar teu meunang nginum, saminggu lilana. Mun anu sakitu henteu batal, insya Alloh sagala pamaksudan Ujang baris dikabul." Tuluy Mang Haji téh miwarang nyatetkeun babacaan-babacaanana, sarta kudu diapalkeun.

Poé isukna ogé kuring geus prung ngalakonan papagah Emang. Malah matuh ogé henteu di Bapa, tapi di bumi anjeunna. Nu kahiji nya éta mutih opat-puluh poé téa, berekah teu aya halangan-harungan nanaon, tamat. Nya kitu deui nu kadua, mandi unggal peuting di unggal balong téh, teu kungsi panggih jeung jelema, kari anu beuratna nya éta ngaringkeb manéh di kamar bari mati geni. Sapeuting, dua, tilu, nepi ka peuting kalima mah, ripuh pisan. Panas bayeungyang, peujit asa dirérab. Keselna lain lumayan, sapeuting téh ngan henteu asa sapuluh taun mah. Titingalan rupa-rupa, pikasieuneun, pikaseurieun, pikarujiteun jeung rupa-rupa deui.

Tah dina peuting ka genep, rupana mah tanaga jeung napsu téh geus béak, awak tiis teu panas teu hareudang, teu halabhab teu lapar, haté manteng ka Nu Hiji. Titingalan nu teu paruguh teu aya deui, langit pinuh ku béntang nu tingkariceup, cahyana aya nu héjo, aya nu konéng emas, kayas, bungur jeung bodas malati; tingsirorot maruragan kana sirah, tiis ni'mat teu aya babandinganana. Peuting ka tujuh, awak geus teu bisa walakaya, haté pasrah ka Nu Kagungan. Jempling, teu aya nu kadéngé teu aya nu karasa, tiis dingin paripurna, suwung, nu aya ngan ka-Akbaran Anu Maha Kawasa.

Katingal leungeun Mang Haji ngarampa dada kuring, tuluy tonggong leungeunna diantelkeun kana liang irung kuring. Lalaunan awak kuring ngangkat, pung ngapung beuki lila beuki muluk. Mang Haji katingalna beuki leutik, nepi ka lesna pisan.

Bus kuring ka karaton sigrong, Gulang-gulang nu jaraga kabéh maréré hormat. Kuring leumpang di tengah-tengah barisan mojang gareulis, anu teu eureun-eureun ngawuran kembang malati ka kuring bari rampak ngarawih, sorana halimpu angin-anginan:

Kuring lain ngaji kosar,
nya biko nya kasar.
Kuring lain ngaji dosar,
nya bodo nya sasar.
Tapi kuring ngaji gosar,
digogo bari disasar.
Ngaji rasa,
bodo!

Burudul para gegedén nu mapag. Kuring dideuheuskeun ka nu boga karaton. Pameget anu linggih dina korsi gading éstu matak sérab ningalna. Lain baé panganggona anu hurung hérang sarwa héjo, tapi pameunteuna hurung mancur pinuh ku wibawa jeung komara. Anjeunna ngahiap-hiap, miwarang kuring ngadeuheusan. Kuring didiukkeun milu hempak jeung gegedén anu caralik di handap di payuneunana. Breng istri-istri téh rampak ngarawih, pok-pokanana persis saperti anu dikarawihkeun ku mojang-mojang tadi. 

Jep nu ngarawih, jung Raja ngadeg, tuluy lungsur nyampeurkeun ka kuring. Ceg pananganana duanana nyepeng kana sirah, bari deku anjeunna niupan embun-embunan. Tuluy sasauran ditompokeun kana ceuli:

"Muga hidep sing jadi jelema soléh. Keun ku Éyang diaping-dijaring."

Ari nyah beunta, kuring pohara kagétna, da geuning keur pada ngariung-riung. Kadéngé hawar-hawar Bapa kuring nyarita ka Mang Haji: "Lain atuh Ki Haji, kumaha mun urang inuman citajén baé sugan budak teh?"

"Ulah Ka, kapalang, kapan ngan sababaraha jam deui baé. Moal, moal nanaon."

"Enya kapan geus sakitu ripuhna. Malah kapan tadi mah, sugan téh geus tuluy. Bisi kuma onam Kaka mah, sieun katempuhan ku indungna."

Ngadéngé kasauran Bapa kitu, kuring maksakeun imut. Atuda kapan Ema téh geus lila teu aya di kieuna.

Tapi Mang Haji keukeuh teu mikeun. Najan mikeun ogé, kuring nu moal daék, atuda cek kuring gé tadi, ayeuna kuring téh geus teu ngarasa halabhab teu ngarasa lapar, teu boga-boga acan parasaan. Komo maké aya kahayang mah.

Gelendung Magrib, kawas nu papaheula pada hayang ngahuapan citajén ka kuring. Mang Haji nadahkeun panangan ka luhur, bari ngucap Alhamdulillah.

Saminggu ti harita, kuring geus jagjag waringkas deui sakumaha sasari. Saminggu deui ti dinya, ka kuring aya nu ngajak nganémer ka Jambi. Beng kuring indit deui ka Jambi ngadua kalian. Ku nu boga duit pohara kuring dipercayana. Kauntungan kawas nu dikedukan baé. Sataun borongan téh kakara anggeus. Kuring balik ka lembur téh rebo ku babawaan. Barang sipat nyamu, wol mah wol. Aya lima koperna. Barang-barang emas perhiasan, aya dua kilona. Duit ngan teu pinuh bae sakopér.

Tepi ka lembur, ngendek popoéan, kuring kawin. Kabéh babawaan dipasrahkeun ka pamajikan, sanggeus misahkeun keur Bapa jeung Mang Haji, itung-itung pamulang tamba kana kahadéanana. Malah indung téré ogé disalinan ka perhiasan-perhiasanana. Pohara aratoheunana. Pamajikan téh koloteun, maké meuli imah sawah, meuli balong ogé. aya tiluna, komo domba mah mani gereyek.

Hiji mangsa karek pisan awéh salam tas salat Subuh, aya sora kana ceuli mani atra pisan: "Hidep téh lain rék jadi jalma soléh téa?"

"Sumuhun."

"Rék ti iraha ngamimitian?"

"Raraosan mah parantos."

"Enya rarasaan wungkul. Ti poé ieu, nya!"

"Mangga."

"Bedahkeun balong nu di girang. Pilihan laukna nu galedé, tuluy bawa ka pasar. Nitah mawana ka nu séjén, buruhan baé sing peryoga."

"Mangga."

"Sasauran sareng saha, Akang?" cek pamajikan nu geus nangtung di panto musollah.

"Ah teu nyarita jeung sasaha!"

"Geuning ?"

"Geus, tong réa carita awéwé mah. Anggur sadiakeun cikopi, Akang rék ka sawah."

Sanggeus dangdan jeung réngsé ngopi, kencling kuring ka balong, der ngabedahkeun dibantuan ku barudak tatangga anu disampeuran sapanjang jalan. Pamajikan mah teu nyahoeun kuring ngabedahkeun téh. Laukna diakut dina karamba ka pasar aya tilu tanggunganana. Nepi ka pasar, cek nu nelepon kana ceuli téh kudu dibagikeun ka nu teu baroga jeung ka tukang baramaén.

Nya dibagikeun, aya nu dua aya nu tilu, pohara aratoheunana. Narampanana oge réréana bari ngadarégdég, tayohna bawaning ku atoh. Kacipta ku haté, manaha teuing nari'mateunana engké ngadalaharna, atuda meureun saumur-umur kakara rék ngadahar lauk pungkil. Haté kuring jadi kebek ku kabungah jeung kani'matan, lantaran geus bisa méré kabungah jeung kani'matan ka sasama kaula. Nepi ka éta rasa téh ku kuring teu katahan deui, rengkenek kuring igel-igelan jeung ceuceuleuweungan:

Kuring lain ngaji kosar,
nya biko nya kasar.
Kuring lain ngaji dosar,
nya bodo nya sasar.
Tapi kuring ngaji gosar,
digogo bari disasar.
Ngaji rasa,
bodo!

Jelema sapasar kabéh ngadeugdeug, barudakna pating corowok: "Mang Dipdip gélo! Mang Dipdip gélo!" Tapi kuring teu paduli, sungut-sungutna ieuh.

Isukna, der deui balong nu di tengah dibedahkeun. Laukna, nya kitu dibagikeun deui. Ni'mat rarasaan téh, rengkenek deui kuring igel-igelan bari ceuceuleuweungan cara kamari. Barudak nu géak-ngéak jeung nyurakan beuki réa ti kamari, tapi nu aratoheun oge beuki réa, aratoh barisa dalahar jeung lauk pungkil.

"Ku naon balong téh, bet laukna dibagikeun? Kapan éta téh meunang meulian burayakna ogé?" ceuk pamajikan bangun keuheuleun naker.

"Na, balong saha kituh?"

"Kapan balong urang”

"Cek saha, hah, balong urang?", bari ngomong kitu téh ngan gampleng-gampleng baé pamajikan ditampilingan. "Bisi teu nyaho, éta téh balong titipan Pangéran, nya kitu deui eusina. Urang mah darma katitipan." Naringal kuring nampilingan pamajikan, tatangga-tatangga pating jarerit sing éling sing éling. Breg ngarogrog.

Tapi nu ditampilinganana mah teu naha teu néhé, ditanya naon nu nyeri oge teu néhé, ku tatangga, kalah ku rungah-ringeuh.

"Baruk naon nu nyeri? Nyeri ku naha?"

"Rek naraon arandika ka dieu?" cek kuring morongos ka nu araya, bari dipelong beungeutna saurang-saurang, "Pamajikan-pamajikan kuring!"

"liih  abong-abong nu burung," témbalna bari tinglaléos ngajarauhan.

Rengkenek kuring igel-igelan bari ceuceuleuweungan, haté ni'mat ku geus bisa ngawarah pamajikan nu geus wani-wani aku-angga kana barang-barang titipan Pangéran.

Tah kajadian harita nu ku kuring dicaritakeun dina awal ieu carita téh. Keur ni'mat-ni'matna motah, aya telepon kana ceuli: "Tuh budak nu ingkud-ingkudan parieuskeun sukuna anu cacad téh!" Kabireungeuh ti kajauhan Si Odon anak tatangga budak lalaki umur welasan taun, ingkud-ingkudan ka lebah dieu. Meureun di dituna mah rek milu jeung babaturanana ngaréak-ngéak kuring. Sakanyaho, Si Odon téh geus tanpa daksa ti leuleutik, dampal sukuna anu katuhu teu bisa napak kana taneuh, tapi nyangigir nyanghareup ka jero. Atuh ari leumpang téh nya pengkéh nya ingkud-ingkudan, da nincakna suku nu katuhu mah lain ku dampalna téa, tapi ku gigirna.

Bari terus igel-igelan jeung tetembangan, kuring ngadeukeutan gumplukan barudak. Geus deukeut pisan, buriak barudak téh lalumpatan bari salusurakan. Ku lantaran Si Odon mah teu bisa lumpat tarik, atuh gaceg waé pundukna ku kuring ditéwak. Manéhna teterejelan bari jejeritan. Kolot-kolot anu tadi narangtung baé di kajauhan, ayeuna ngambreg nyalampeurkeun, tingcorowok nitah ngalesotkeun Si Odon. Persis waktu maranéhna daratang ka hareupeun kuring, nu paparahna mah rek narulungan, dampal suku Si Odon ku kuring diparieuskeun, satakerna. Lain ukur ngaderekdek, tapi sorana pating beletok, sada tulang potong. Atuh jelema-jelema anu ngadeugdeug teh pohara rareuwaseunana, malah rea nu tingjarerit. Anéhna, Si Odonna mah anu tadi teterejelan jeung tulung-tulungan ogé, kalah ka cicing, bangun teu nyeri- nyerieun sukuna diparieuskeun nepi ka ngabeletok téh.

Ajaib, kuring oge da ngarasa anéh, sanggeus Si Odon ku kuring dilésotkeun, manéhna lumpat cara nu séjén. Sukuna nu tanpa daksa téh, ngadak-ngadak cageur teu béda jeung sukuna anu kénca, teu béda jeung suku urang.

Naringal suku Si Odon jadi cageur teh, nu araya di dinya euweuh nu lemek sungutna marolongo nangtang laleur. Ari kuring tuluy igel-igelan jeung ceuceuleuweungan deui, atuda haté ni'mat ku geus bisa nyageurkeun budak anu tanpa daksa, anu saumurna jadi pamoyokan babaturanana.

Isukna waktu manceran, kencling kuring indit ka pasar, da aya telepon kana ceuli ngabéjaan harita pisan kudu lalajo nu balanja. Datang téh ka pasar, nenjo nu keur oray-orayan ngantri béas. Awéwé lalaki, di antarana réa aki-aki nini-nini jeung barudak, mangkaning di nu panas nongtoréng. Jorojoy haté karunya. Buru-buru kuring asup ka toko béas langganan, trét nyieun bon dua kintaleun, mayarna kumaha pamajikan. Tara sok teu percayaeun, da nyahoeun kuring réa duit bawa ti Jambi.

Nu keur alantri ku kuring dicalukan, leut ngabrul nyampeurkeun. Béas nu dua kintal téh ku kuring dibagikeun, aya nu tilu léter, aya nu opat léter. Henteu meuli, gratis. Ngan sajongjongan geus amrin. Ningal maranéhna aratoheun, atra kagambar dina beungeut-beungeutna anu sarepa, haté kuring pohara ni'matna. Rengkenek kuring igel-igelan bari ceuceuleuweungan. Anu tadi dibaréré béas oge, komo barudakna, bari naranggeuy boboko béas teh milu nyarurakan jeung maroyokan: "Mang Dipdip gélo! Mang Dipdip gélo!"

Datang ka imah pamajikan nganaha-naha, naha cenah ngabon béas réa-réa teuing, keur naon. Teu dijawab ieuh, malah kuring malik nanya: “Kumaha geus dibayar?"

"Parantos”, walonna.

"Ku duit saha?'

"Ku artos .... titipan Pangéran."

Rengkenek kuring igel-igelan, da ni'mat atuh ngadéngé jawab pamajikan anu sakitu simpatikna.
Ngeng telepon kana ceuli, kudu indit ka tatangga désa, nepungan Ki Jaya. nanyakeun imahna téh imah saha. Ki Jaya téh jelema beunghar jeung pamingpin. Malah beunghar téh, nyieun gedong sagala, sangggeus manehna jadi pamingpin, da saméméhna mah jelema kokoro nyoso. Kencling kuring nepungan. Sanggeus pahareup-hareup, pok kuring nanya:"Ieu téh bumi saha, Ka?"

"Naha kitu?" jawabna morongos.

"Ah hayang terang baé."

"Imah Déwék!"

Ngeng deui telepon: "Jelemana mah tong dinanaon, imahna baé duruk!"

Kuring ngaléos bari teu permisi-permisi acan. Kadéngé Ka Jaya gegelendeng: "abong-abong nu gélo ...."

Balik deui kuring ngajingjing minyak tanah sakaléng, meunang ngabon ti Si Bopéng. Bur-bur minyak ku kuring diséblok-séblokkeun kana imah Ki Jaya. Méméh nu bogana jeung tatangga-tatanggana bisa ngahalangan, geus gur mantén ku kuring disundut. Seuneu ngabela-bela.

Rengkenek kuring igel-igelan, teuing da rarasaan téh ni'mat téh. Jelema-jelema jeung Ki Jaya, lain ribut mareuman seuneu, tapi kalah ka ngaraponan kuring. Atuh gedong jeung eusina téh ledis jadi lebu.

Kana awak mimiti bak-buk-bek nu nonjok nu neunggeul, malah aya nu ku batu sagala. Tapi teuing bet teu karasa nyeri. "Ulah ngalawan! Turutkeun baé kahayang maranéhna," cek telepon kana ceuli téh. Reketek-reketek kuring diborogod, leungeun dibakekeng ditahan kana tangkal buah, suku dibeungkeut dicangcang kana tangkal jambu, bari hantem pada neunggeulan. Kuring peureum bari ngahénén, rarasaan pohara ni'matna.

Nyah beunta, katingal aya pulisi tiluan, tukangeunana jelema-jelema anu tadi ngaraponan mani ngaregreg."Udaran panyangcangna, tuluy gotong asupkeun kana jip!" salasaurang pulisi ti nu tiluan maréntah ka anu araya di dinya.

"Lawan!" cek telepon téh kana ceuli Kuring.

Kuring usik, brét-brét tambang-tambang nu nalian téh paregat sorangan. Pulisi jeung nu araya kabéh aralohok, arengeuheun sotéh sanggeus ku kuring ditangtang. Breg maranéhanana rampak maju,ngangseg ngoroyok. Sebrut kuring narajang, ngamuk nguwak-ngawik. Nu disépak ngajengkang, nu ditajong ngajolopong, nu dijejek ngajehjer. Batu jeung paneunggeul bak-bik-bek kana awak jeung kana sirah, tapi taya nu karasa nyeri. Ningal kitu jelema-jelema réa nu mimiti nungtutan lalumpatan, tapi ku kuring terus dibeledig diubrak-abrik. Dor! Dor! pulisi ngabekaskeun péstolna, tapi taya nu keuna, nembak ka luhur meureun nyingsieunan. Ayeuna jelema-jelema birat, malah pulisi-pulisi ogé ngalalacir. Kadéngé jipna ngagerung, baralik kawasna mah. Kuring balik ka lembur bari igel-igelan jeung ceuceuleuweungan.

Isukna janari kénéh, kuring gé can hudang-hudang acan geus aya nu pupuntenan. Nyah kuring beunta, ngéng telepon kana ceuli: "Turutkeun kahayang tamu teh, da ieu mah pamingpin bener."

Teu mandi-mandi acan, ukur sibeungeut, buru-buru kuring nepungan tamu téa ka hareup. Kasampak téh Bapa Bupati geus calik. Dicalikeun ku pamajikan tayohna mah.

"Cageur Mang Dipa téh?" saurna bari ngasongkeun pananganana ngajak sasalaman.

"Pangésto, nun," tembal kuring bari munjungan.

"Tadina mah kuring ka dieu téh rék engké pabeubeurang, tapi lantaran ngadadak aya interlokal jam tujuh kudu ka Jakarta, nya maksakeun ayeuna subuh-subuh. Ku kuring gé kapikir, tangtu baris ngabarubahkeunana mah ka Mang Dipa téh, tapi da kumaha da kapaksa téa."

"Teu sawios, malah nuhun baé nu aya kanggo abdi mah, Bapa parantos kersa rurumpaheun ka rorompok butut."

"Malah ti baréto aya maksud nepungan téh, basa Mang Dipa kakara datang ti Jambi, rék ménta oleh-oleh béjana rada mucekil usaha téh?"

"Kaleresan baé abdi teh dipercanten katitipan dunya ku Pangéran. Teu bentén sareng Bapa, kaleresan ku Alloh SWT dipercanten katitipan pangkat."

Bapa Bupati ngahuleng bari unggut-unggutan. Tuluy neuteup seukeut pisan ka kuring, tapi bari teu lemék. Ayeuna kuring nu réa nyarita, nyaritakeun pangalaman babakuna mah. Dina tungtung obrolan, Bapa Bupati ngajak kuring sangkan daék dibawa ka dayeuh. Ku lantaran cek telepon ogé kudu nurut kana kapalayna nya kuring daék milu. Sihoréng anjeunna teh dikawal ku pulisi anu samagréng, satilu-tilu, ngadaragoan dina jip. Caritana dius kuring milu ka dayeuh. Nepi ka dayeuh, kuring diasupkeun kana sél paranti nutup nu gélo.

Poé ka opat kuring ditahan, kira-kira pecat sawed .... ngeng baé aya telepon kana ceuli: "Geura balik, pamajikan mamataeun!"

"Enya, kumaha kaluarna, da seél disosi pageuh, jeungna mun bisa ka luar ogé tina ieu sél, moal bisa ka luar ka jalan, nu jaraga sakitu ngaregregna."

"Hayang henteu balik?"

"Puguh hayang mah."

"Sok atuh meungpeung isuk kénéh."

Jung kuring nangtung, ceg kana panto sel digujrag-gujrag, bray muka. Tuluy ka luar, nu jaraga bangun api lain pisan. Datang kana panto ka luar, golotrak nu ngajaga panto téh mangmukakeun, léos kuring ka jalan. Clak kana oplét nu kabeneran keur nurunkeun panumpang saurang.

Datang ka imah. Pamajikan nyarita tas mayar parurugi ka Ki Jaya, nu imahna diduruk téa. Teu dijawab ieuh, da kitu alusna.

Kabeneran harita téh poé Jumaah. Jelema-jelema anu rék Juma'ahan geus mimiti ngaleut. Rengkenek kuring igel-igelan bari ceuceuleuweungan, ngadatangan jelema-jelema anu teu arindit ka masjid. Nu katéwak gampleng gampleng diteunggeulan, nu séjénna birat lalumpatan arindit ka masigit Jumaahan. Unggal poé Juma'ah kuring sok ngeleyeng baé mapayan imah-imah, bisi aya nu teu jumaahan. Nu teu boga samping jeung kerepus, ku kuring dipangmeulikeun. Mun kabéh jelema-jelema sadésa awéwé-lalaki kolot-budak geus arindit ka masigit, haté ngarasa pohara ni'matna. Rengkenek kuring igel-igelan bari tetembangan:

Kuring lain ngaji kosar,
nya biko nya kasar.
Kuring lain ngaji dosar,
nya bodo nya sasar.
Tapi kuring ngaji gosar,
digogo bari disasar.
Ngaji rasa,
bodo!

Manglé No. 200
Juli 1969

“Sawidak Carita Pondok” 
Pedalan PT. Manglé Panglipur, Bandung.
Citakan I taun 1984 kaca 181-189