4.20.2016

PEMBEKUAN PSSI, SEMOGA MENPORA TIDAK MASUK ANGIN



Keseriusan Menpora Imam Nahrawi untuk mereformasi PSSI hingga hari ini masih harus diuji. Tidak cukup dengan hanya membekukan PSSI, Menpora juga memerintahkan ketua KOI, Rita Subowo untuk melobi FIFA.

Belum selesai sampai di situ, Menpora juga telah mengirim surat resmi kepada Mabes Polri untuk melarang pelaksanaan Liga Indonesia. Imbasnya, pertandingan antara Persipura vs Persija di Jayapura pada tanggal25 April 2015 sudah barang tentu batal.

Pesan Menpora untuk membenahi PSSI ini cukup kuat dan tentunya harus didukung insan sepakbola serta pecinta sepakbola Indonesia. Bagaimana kita kemudian menjadi saksi betapa merindunya kita akan prestasi sepakbola nasional yang tak kunjung tiba.

Pembekuan PSSI oleh negara, lepas dari masalah adanya penilaian bahwa hal itu intervensi atau bukan, harus kita anggap sebagai upaya untuk membenahi PSSI yang tak kunjung sukses memajukan sepakbola Indonesia. Boro-boro melenggang ke pentas sepakbola dunia, untuk wilayah Asia Tenggara pun kita hanyalah sekelompok macan ompong yang ‘ngagugulung kalapa‘.

Kekhawatiran dan ketakutan kita sebagai Bobotoh hanyalah bila PSSI kemudian dihukum oleh FIFA, adalah terhentinya kesebelasan yang kita sayangi PERSIB Bandung dari kompetisi AFC. Padahal betapa besar harapan kembali menyaksikan PERSIB berprestasi di kancah sepakbola antar klub Asia. Tapi impian yang telah ditunggu selama dua puluh tahun itu terancam musnah.

Tentu saja kita berhak untuk khawatir. Namun mengingat kedudukan PERSIB sebagai salah satu anggota PSSI, maka mau tidak mau, suka tidak suka, kita harus belajar untuk merelakan kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Selama PERSIB masih berkhidmat di bawah PSSI, apapun yang menimpa PSSI, tentu akan kita rasakan pula.

Kita harus ingat, selama ini PSSI seringkali tidak konsisten di dalam menjalankan kebijakan-kebijakan organisasinya. Salah satu yang masih berbekas adalah di saat gelaran final Liga Indonesia 2014. Setelah Persib dipastikan lolos ke semifinal, tempat penyelenggaraan semifinal menjadi tidak jelas hingga akhirnya diputuskan di Palembang setelah sebelumnya diputuskan di Jakarta.

Begitu PERSIB lolos ke final, tempat penyelenggaraan pun kembali berubah. Keputusan final tetap dilakukan di Palembang pun didapat pada H-2. Begitu pula larangan bagi Bobotoh untuk menyaksikan final di Palembang, baru terbit Kamis siang, di saat ribuan Bobotoh sudah berada di perjalanan menuju Palembang, venue laga final 2014 antara Persib Bandung dan Persipura Jayapura.

Ya inkonsinsistensi adalah penyakit PSSI yang harus disembuhkan. Inkonsistensi hanyalah satu dari sekian banyak penyakit kronis yang diderita PSSI dari sekian banyak penyakit lain yang ‘ngaganggayong‘.

Semoga Menpora tetap konsisten dalam upaya pembekuan PSSI ini hingga PSSI benar-benar sembuh. Jangan sampai ‘masuk angin’ tertular penyakit inkonsistensi PSSI. Karena kami benar-benar merindukan timnas yang bisa mengharumkan negara ini melalui sepakbola.


Ricky N. Sastramihardja
editor in chief Maenbal.co
@RickyNSas


Dimuat sebagai editorial maenbal.co
http://maenbal.co/12245/suara-redaksi/pembekuan-pssi-semoga-menpora-tidak-masuk-angin/

INDONESIA SI BUTA DI TENGAH DUNIA DENGAN SEBELAH MATA


Pemain bintang sekelas Robin van Persie dengan penghasilan 10 juta Poundsterling per tahun (sekitar 205,3 Miliar) masih mengkhawatirkan posisinya di Timnas Belanda. Selama dua musim bermain untuk Manchester United, van Persie banyak kehilangan menit bermain. Ia lebih banyak duduk di bangku cadangan menyaksikan rekan-rekannya bertanding.

Sepakbola, tidak melulu penghasilan yang fantastis. Tidak juga hanya sekedar pengabdian kepada klub yang membesarkannya. Seorang pemain sepakbola mengharapkan lebih dari sekedar materi, tetapi juga eksistensi. Eksistensi pemain sepakbola adalah saat ia dipanggil oleh negara untuk menjadi bagian kesebelasan besar yang bernama timnas.

Kita saksikan bagaimana anak-anak muda yang bergabung di Timnas U-23 meneteskan air mata saat pertandingan perdana Timnas Indonesia melawan Myanmar pada ajang SEA GAMES 2015. Di tengah perseteruan dahsyat antara negara melawan PSSI, di tengah sanksi FIFA pada PSSI, mereka menjadi satria pinilih dengan tugas maha berat. Seperti Guruminda yang ditugaskan Sunan Ambu ke dunia untuk mencari Layang Salaka Domas.

Air mata yang menetes adalah simbol kebanggan dan harga diri mereka sebagai pemain sepakbola terhadap negara tempat mereka lahir dan dibesarkan. Air mata yang menetes itu adalah bukti betapa merela mencintai negara ini. Indonesia memang kalah 2-4 oleh Myanmar, tetapi air mata yang menetes adalah bukti tak terbantahkan bahwa mereka juga bangga masih berlaga pada pertandingan Internasional di saat dunia menutup mata, telinga, dan tangannya pada Indonesia.

Sanksi FIFA yang dijatuhkan tanggal 29 Mei 2015 masih belum dicabut karena negara masih bersikukuh untuk membekukan PSSI. Sampai hari ini sebagai dampak Pembekuan PSSI yang berujung dengan jatuhnya sanksi FIFA, belum tampak ada tindakan lebih lanjut yang dilakukan negara. Negara masih sibuk memberikan pernyataan di media daripada membuktikan pernyataannya itu. Belum ada satupun anggota komplotan mafia sepakbola yang selama ini dianggap merongrong Sepakbola Indonesia, yang berhasil dibuktikan dan mereka tangkap.

Sementara klub-klub mulai membubarkan timnya untuk menghindari kerugian materi yang lebih besar. Setelah Persipura Jayapura resmi dibubarkan, santer terdengar wacana bahwa PERSIB Bandung pun akan membubarkan pasukan yang sejatinya dipersiapkan untuk Liga Indonesia dan AFC. Seiring berhentinya Liga Indonesia dan kekalahan PERSIB pada pertandingan melawan Kitchee FC, praktis tidak ada pertandingan yang bisa diikuti lagi.

Selain itu, tuntutan Bobotoh yang disuarakan tanggal 4 Juni 2015 yang baru lalu kepada Menpora dan PSSI untuk berdamai dan segera memutar roda kompetisi lagi, sampai hari ini belum terdengar ‘kelemeng’ nya. Belum terdengar apa dan bagaimana reaksi pihak-pihak terkait akan nasib persepakbolaan ke depan.

Tanpa kompetisi maka tidak ada pertandingan resmi. Tanpa pertandingan resmi, maka tidak ada ada tim. Tanpa tim tidak ada kompetisi berjenjang para pemain berlomba-lomba mencapai tempat di Timnas. Bahkan Timnas pun rasanya nyaris tidak diperlukan karena Indonesia dikucilkan dari pergaulan sepakbola Internasional nyaris di semua bidang yang berhubungan dengan sepakbola.

Selain Timnas U-23 yang masih berlaga di SEA GAMES, Indonesia tidak diperkenankan mengikuti event sepakbola internasional atau regional. Tidak hanya Timnas Senior, tetapi sanksi FIFA juga berdampak pada tim sepakbola wanita, anak-anak, tim futsal, apapun.

Karena pada hakekatnya sanksi FIFA adalah pengucilan. Sekarang Indonesia bagaikan hidup dalam ruangan isolasi yang terpencil, terkucil, dan terpinggirkan. Kita memang masih bisa bermain sepakbola, tetapi hanya bisa bermain sepakbola untuk diri kita sendiri. Kita memang masih punya kaki untuk bermain bola, tetapi FIFA dengan sanksi-nya telah menutup mata, mengikat tangan, menyumbat telinga, dan membungkam mulut kita. Indonesia adalah si buta yang terlunta-lunta di tengah dunia yang hanya memiliki sebelah mata.

RICKY N. SASTRAMIHARDJA
Editor in chief Maenbal.co
@RickyNSas

dimuat sebagai editorial di maenbal.co
http://maenbal.co/13874/suara-redaksi/indonesia-si-buta-di-tengah-dunia-dengan-sebelah-mata/

LIGA INDONESIA: QUO VADIS?



Kemeriahan menjelang laga ISL 2015 ini sedikit tercoret dengan berita yang mengejutkan. Dimulai dari mundurnya jadwal ISL yang semula tanggal 1 Februari 2015 menjadi 4 April 2015. Menyusul kemudian hasil temuan BOPI (Badan Olahraga Profesional Indonesia) yang menyatakan hanya tiga klub yang layak mengikuti ISL 2015.

Persib, satu dari tiga klab yang terverifikasi dengan kategori A minus.15 klub lainnya masuk ketegori B dan C. Namun hampir seluruh klub harus menyelesaikan syarat-syarat administrasi yang diminta BOPI antara lain terkait pajak, kontrak pemain.

Belum usai ‘kekagetan’ itu, mendadak muncul berita yang ajaib lagi: Pelita BR, satu klub rival Persib yang sama-sama bermarkas di Bandung, diisukan bangkrut dan tidak bisa mengikuti ISL 2015. Walau digadang-gadang baru sebatas isu karena sampai tulisan ini dirilis belum ada pernyataan resmi dari PBR. Tetapi hengkangnya Ilija Spasojevic striker andalan mereka ke Persib, semakin mempermiring berita ‘miring’ itu.

Sungguh ironis. Menjelang 20 tahun digelarnya Liga Indonesia, ternyata belum ada kemandirian dari hampir seluruh klub peserta ISL. ISL 2015 ini adalah pembuktian betapa rapuhnya sepakbola kita bila dilihat dari sisi profesionalisme. Bahkan dari awal, dikabarkan bahwa Persik Kediri membubarkan diri usai dinyatakan PT. Liga tidak lolos verifikasi.

Profesionalisme dalam sederhananya adalah bagaimana sebuah aktivitas bisa menjadi profesi yang menghasilkan materi. Profesionalisme selain erat berkaitan dengan kemampuan, sikap dan perilaku, juga erat dengan manajerial dan keuangan. Tim sepakbola profesional, bisa kita katakan sebagai sekelompok orang yang ‘menjual’ jasa dan keahliannya dalam permainan sepakbola untuk mendapatkan nilai pengganti berupa materi atau uang.

Namun di tahun ke-20 Liga Indonesia yang pada awalnya digadang-gadang sebagai ajang sepakbola profesional sebagai kelanjutan penggabungan kompetisi Perserikatan dan Galatama, terbukti membangun profesionalisme itu sangat tidak mudah. Padahal miliaran atau mungkin triliunan rupiah uang sudah mengalir untuk menggerakan kompetisi ‘profesional’ yang tidak lagi membebani keuangan daerah dan negara.

Bagi saya, hal yang paling menyedihkan dari gagalnya profesionalisme sepakbola Indonesia itu bukanlah bangkrutnya sebuah klub, atau gagalnya sebuah klub memenuhi persyaratan. Tetapi sebagai pribadi, saya hanya bisa membayangkan betapa sulitnya seorang pesepakbola ‘profesional’ memenuhi kebutuhan dasarnya: sandang – pangan – papan di kala mereka tidak kunjung menerima pembayaran gaji atas jasa dan keringat yang telah mereka tumpahkan di lapangan.

Sebagai seorang ayah yang bertugas mencari nafkah untuk keluarganya, para pesepakbola itu tentu berharap banyak bahwa keringat yang deras mereka kucurkan di lapangan hijau, segera tergantikan sebelum mengering dan menghilang. Di rumahnya, ada anak dan istri yang menanti rezeki halal itu tiba dengan utuh dan lancar. Bagi para pesepakbola yang masih melajang pun mungkin sama. Mungkin mereka juga ditunggui oleh orangtua, adik atau kakaknya, atau saudaranya, yang turut menanti hasil cucuran keringat anak-anak mereka di lapangan hijau.

Hal seperti ini tentu bukan saja terjadi di Indonesia. Pada saat bersamaan, klub asal Seri A Liga Italia, Parma, dinyatakan bangkrut setelah diketahui keuangannya defisit. Lebih besar utang daripada kas, dan tidak ada harapan untuk mendapat penghasilan tambahan.

Mendadak teringat guru ngaji saya sewaktu sekolah dulu. Di sore hari di bada magrib, beliau menyitir sebuah hadits yang menyatakan ‘bayarlah upah sebelum keringatnya mengering’. Para pesepakbola itu, adalah salah satu ‘sekrup’ utama dalam industri sepakbola. Merekalah yang berkeringat dan berdarah-darah di tengah lapangan selama 2×45 menit untuk menyenangkan hati supporter dan menghasilkan rupiah bagi pemilik (pengelola) klub.

Para pesepakbola itu, banyak yang keringatnya kering sebelum menerima upah yang menjadi hak-nya. Bahkan, setiap kali keringat mereka kering tanpa sempat mereka seka, mereka kembali harus berkeringat dan berkeringat lagi. Sedangkan upah mereka masih belum tiba.

Menjadi profesional itu susah ternyata. Di era industrialisasi dan kapitalisme ini, dimana setiap kegiatan harus memiliki nilai ekonomi untuk dapat mengumpulkan modal (kapital) sebanyak-banyaknya. Akan tetapi masih ada keringat yang mengering di setiap suapan nasi yang masuk ke mulut para pengelola klub sebelum menyelesaikan kewajibannya pada para pemainnya. Ada kedholiman yang luar biasa, karena ada perut lapar lainnya yang menanti haknya tiba.

Liga Indonesia, mau kemana? Katanya mau menjadi liga profesional, tetapi ternyata masih banyak pemain yang tidak menerima hak-haknya.


Oleh: Ricky N. Sastramihardja
Editor in Chief Maenbal.co

dimuat sebagai editorial di maenbal.co
http://maenbal.co/10995/suara-redaksi/liga-indonesia-quo-vadis/

NEGARA VS PSSI: PERSETERUAN PENUH MASALAH TANPA SOLUSI



Perseteruan antara negara yang diwakili Kemenpora melawan PSSI masih belum terang ujung pangkalnya. Kedua belah pihak yang berseteru masih saling mempertahankan pendapatnya masing-masing yang dibalut dalam berbagai alasan dan landasan.

Korban perseteruan itu mulai berjatuhan, kerugian pun mulai dirasakan. Satu yang terbaru adalah batalnya pertandingan AFC Cup antara Persipura Jayapura vs Pahang FC. Pertandingan tidak dapat terselenggara karena pemain asing Pahang FC tidak kunjung mendapat visa dari Imigrasi Indonesia. Padahal mereka telah mendarat di Bandara Soetta, Banten, sebelum melanjutkan perjalanan ke Jayapura untuk menantang Persipura.

Sebelumnya, beredar pula kabar bila Tim Transisi bentukan negara dengan sandi 'Indonesia Memanggil', mendapat penolakan dari FIFA terkait keinginan Tim Transisi untuk mengadakan supertemuan dengan FIFA di Zurich. Melalui suratnya tertanggal 22 Mei 2015, Mr. Jerome Valcke Genereal Sectray FIFA menyatakan bahwa FIFA menolak bertemu Tim Transisi. Alasan Mr. Jerome disebutkan adalah pihak FIFA tidak memiliki waktu untuk menemui Tim Transisi ‘Indonesia Memanggil’ di dalam acara kongres FIFA di Swiss tanggal 25-30 Mei 2015.

Kondisi di atas semakin mempersuram kondisi sepakbola di tanah air. Negara berpenduduk lebih dari 200 juta jiwa ini ternyata tak bisa mengelola sepakbola secara benar dan berkesinambungan. Bila sepakbola adalah asset nasional sebagaimana sumber daya alam dan sumberdaya yang lain, maka nasibnya kemudian sama saja: diperas habis-habisan, kemudian diabaikan dan dicampakkan.


Bila pada mulanya banyak harapan tertanam kepada Kemenpora yang dianggap bisa mengendalikan dan memperbaiki persepakbolaan nasional. Pembekuan PSSI seperti yang dilakukan negara terhadap asosiasi sepakbola tertinggi di tanah air itu, kini seperti air di daun talas. Tidak bisa bersatu, apalagi mempersatukan.

Tim Transisi dengan sebutan ‘Indonesia Memanggil’ pun ternyata seperti yang kita takutkan sebelumnya: ‘ masuk angin’. Sebelum SK Tim Transisi ditandatangani dan dikeluarkan , satu persatu anggotanya mengundurkan diri: Velix Wanggai, Farmin NaSution, Farid Husneni, Ridwan Kamil, dan FX Hadi Rudiatmo mengundurkan diri dengan berbagai alasan. Meninggalkan Tim Transisi yang, maaf ini sangat mengecewakan kami, nama-nama di dalamnya yang dipertanyakan kompetensinya di dalam sepakbola dan di dalam masalah manajerial.

Selain itu, batalnya turnamen Champion Cup 2015 yang seyogyanya disiapkan oleh PSSI untuk mengganti Liga Indonesia yang batal, pun menunjukkan bahwa ada perseteruan lama antara negara vs PSSI. Perseteruan yang mengingatkan kita insan sepakbola tanah air akan dualisme LPI vs LSI di mana banyak klub terpecag dua bahkan tiga.

Tersiar pula wacana bahwa Menpora merencanakan untuk membubarkan klub-klub bermasalah dan akan akan menggantinya dengan klub baru yang ‘serupa tak sama’. Di antaranya, menurut Menpora, tidak menutup krmungkinan akan dadanya Persija Nusantara, Persib Nusantara, dll bila klub-klub menolak liga yang diadakan Menpora. Berita yang dilansir dalam situs media online itu kemudian dibantah Menpora melalui stafnya.

Entah mana yang benar, karena bantah-membantah sudah seringkali dilakukan di negara ini, bahkan sejak jaman dulu. Hanya saja di jaman sekarang terasa lebih parah, Negara seringkali memberikan pernyataan yang kemudian dibantahnya sendiri. Namun sepertinya perseteruan negara vs PSSI ini merupakan ‘sekuel’ dari kisah bodoh dualisme LSI vs LPI yang pernah terjadi beberapa waktu lalu.


Apakah Menpora akan bersikukuh menjalankan ‘Liga Indonesia’ versinya sendiri dengan mengikutsertakan klub-klub ‘siluman’ untuk berlaga di kasta tertinggi dan divisi utama seperti yang pernah terjadi beberapa waktu lalu? Apakah PSSI yang sudah dibekukan akan tetap menghelat liga dan turnamen dengan resiko dibatalkan karena tidak ada rekomendasi negara melalui BOPI dan Polri?

Kita tunggu saja kemana perseteruan ini mengalir ke ujungnya. Hanya saja, sebagai bobotoh Persib, kita menjadi harap-harap cemas karena eksistensi Persib di Piala AFC 2015 terancam akibat adanya perseteruan ini. Padahal, dalam 20 tahun terakhir ini, saat sekaranglah momen yang tepat bagi SI Maung Bandung untuk menancapkan kembali kukunya di kancah persepakbolaan. Momen yang indah itu, bisa saja kembali buyar bila apa yang dialami Pahang FC, kembali menimpa Kitchee FC yang akan menantang Persib di Stadion Si Jalak Harupat tanggal 27 Mei 2015 besok.

Bahkan yang lebih buruk, apapun hasilnya, Persib akan gagal melenggang ke babak selanjutnya karena sanksi ‘banned’ FIFA menghantui kita semua. Sebagimana yang dilansir FIFA dalam surat penolakannya terhadap Tim Transisi bahwa FIFA ‘menunggu niat baik’ negara dan PSSI menyelesaikan kisruh sepakbola di tanah air hingga tangal 29 Mei 2015.

Bila Perum Pegadaian, yang sering kita datangi saat tak punya uang untuk menonton Persib di stadion, mempunyai slogan ‘menyelesaikan masalah tanpa masalah’, maka perseteruan Negara vs PSSI ini layaklah kita bikinkan slogan ‘mengatasi masalah tanpa SOLUSI’.

Ricky N. Sastramihardja
Editor in Chief Maenbal.co

dimuat di maenbal.co sebagai editorial
http://maenbal.co/13446/suara-redaksi/negara-vs-pssi-perseteruan-penuh-masalah-tanpa-solusi/

MENGAPA MENYALAHKAN DEWI FORTUNA?


Dalam sepakbola ada satu dewi yang bila menang dianggap menguntungkan, dan bila kalah dianggap. Dewi Fortuna namanya, yang berasal dari mitologi Romawi kuno. Dalam mitologi Yunani, Dewi Fortuna bernama Dewi Tikhe (Tyche).

Dewi Fortuna adalah dewi keberuntungan, dewi yang mengatur kekayaan dan kemakmuran. Sejahrawan Yunani, Polibus, percaya bahwa ada kejadian seperti banjir, kekeringan dan bencana alam yang tidak bisa ditemukan sebabnya secara logika, maka Dewi Fortuna atau Tikhe-lah penyebabnya.

Entah kapan Dewi Fortuna ini muncul dan dianggap sebagai bagian sebagai bagian dari sepak bola. Bila sebuah tim kalah, media massa menganggapnya tim tersebut sedang tidak berada di dalam lindungan sang Dewi Fortuna. Dewi Fortuna tanpa sadar dianggap menjadi faktor keberuntunagn atau kesialan sebuah kesebelasan.

Bisa jadi karena karena dalam penampilannya, Sosok Thike atau Fortuna ini digambarkan seorang perempuan yang tengah berdiri di atas sebuah bola yang melambangkan kesempatan atau keberuntungan itu tidak stabil, tidak tetap.

Dewi Fortuna menjadi pihak yang paling bertanggungjawab atas kemenangan atau kekalahan sebuah tim. Terutama bila sebuah kesebelasan bermain bagus, tetapi pada akhir pertandingan harus mnerima kekalahan. Atau saat sebuah tendangan yang seharusnya bisa dikonversi menjadi sebuah gol, tetapi melenceng sedikit saja dari gawang.ATau misalnya di saat injury time, seorang pemain berhasil memasukan bola ke gawang lawan lewat tendangan spekulasi.

Karena hampir 100 persen Bobotoh beragama Islam, seharusnya kita tahu bahwa bahwa Islam memberi pandangan bahwa keberuntungan atau kemalangan itu tidaklah terjadi dengan sendirinya. Tetapi merupakan bagian dari rencana Alloh SWT untuk ummat-Nya.

Ada banyak ayat Qur'an dan hadits yang menyatakan bahwa keberuntungan atau kemalangan itu semata-mata takdir Alloh SWT. Misalnya QS 10: 107, QS 6: 18.

Potongan kutipan hadits riwayat Tirmidzi ini menjelaskan bahwa Rosululloh SAW berkata bahwa "...Ketahuilah bahwa apa yang semestinya tidak menimpa kamu, tidak akan menimpamu, dan apa yang semestinya menimpamu tidak akan terhindar darimu. Ketahuilah sesungguhnya kemenangan menyertai kesabaran dan  sesungguhnya kesenangan menyertai kesusahan dan kesulitan.[Tirmidzi no. 2516].

Jadi persoalan menang atau kalah di dalam sepak bola tentu saja bagi kaum muslimin tidak boleh dikaitkan dengan Dewi Fortuna atau Thike atau sebangsanya. Tentu saja karena dengan demikian kita akan terpeleset ke jurang kemusyrikan. Sedangkan Alloh SWT sendiri berfirman bahwa dosa syirik adalah dosa yang tidak diampuniNya seperti terdapat dalam QS 4: 48.

Ricky N. Sastramihardja
Bobotoh Persib, Pecinta Kopi dan Fotografi
suka ngacapruk di akun twitter @RickyNSas

dimuat di www.bobotoh.id
http://bobotoh.id/2016/04/mengapa-menyalahkan-dewi-fortuna/

HADIAH MANIS ULANG TAHUN PSSI


Pada hari ulang tahun PSSI ke-86 ini, Indonesia mendapat 'hadiah' dari FIFA berupa penurunan rangking. Pada tahun 2015 Indonesia masih nongkrong di peringkat 179. Tetapi tahun ini melorot ke peringkat185.

Ulang tahun PSSI juga bertepatan dengan jatuhnya SK Pembekuan PSSI yang dikeluarkan oleh Menteri Pemuda dan Olah Raga, Imam Nahrawi, pada tanggal 18 April 2015 yang lalu. Di mana saat itu PSSI tengah menggelar ISL musim 2015. Akibatnya ISL yang baru berjalan beberapa pertandingan dihentikan oleh PT. Liga Indonesia dengan alasan Forje Majeur.

Mengenai masalah peringkat seperti yang dirilis FIFA pada tanggal 7 April 2016 yang lalu, Indonesia kalah oleh Laos, Fiji, dan Kamboja yang berada di peringkat 182. Indonesia hanya unggul dari Bhutan yang berada di peringkat 186. Bahkan berada 10 peringkat di bawah negara tetangga, Timor Leste yang bertengger di urutan 175, membuntuti Malaysia di peringkat 174. Peringkat terbaik Indonesia adalah pada tahun 1998 dan 2001, di mana Indonesia berada di urutan ke-87 dari 200 anggota/negara.

Peringkat ini terus melorot karena selama setahun tidak mengikuti turnamen regional dan internasional karena adanya sanksi 'banned' FIFA menyusul intervensi pemerintah pada PSSI. Keadaan ini akan semakin memburuk bila hingga awal Mei nanti, Menpora masih belum mencabut SK pembekuannya. FIFA tidak akan membahas nasib Indonesia di level kongres luar biasa, melainkan di kongres biasa yang diadakan tahun 2017 mendatang.

Dari laman FIFA juga dijelaskan, Indonesia dicoret dari keikutsertaan kualifikasi Piala Dunia 2018 di Rusia serta dari kualifikasi Piala AFC 2019. Komite Eksekutif FIFA memutuskan untuk menangguhkan Asosiasi Sepakbola Indonesia (PSSI) sampai PSSI akan mampu memenuhi kewajibannya di bawah pasal 13 dan 17 Statuta FIFA. Keputusan ini dihasilkan akibat adanya intervensi Pemerintah Indonesia kepada PSSI.

Dalam perjanjian dengan Konfederasi Sepakbola Asia atau AFC, PSSI telah diberitahukan bahwa Timnas Garuda diskualifikasi dari kualifikasi seperti yang dijelaskan di atas. Semua pertandingan Indonesia dari Grup F dari tingkatan kompetisi kualifikasi telah dihapus.

Bahkan, bicara masalah peringkat, ketidakikutsertaan Indonesia di pergaulan sepak bola internasional dipastikan akan mempengaruhi rilis terbaru peringkat FIFA pada 5 Mei 2016. Karena walaupun ada perhelatan Indonesia Soccer Cup 2016, praktis Indonesia belum mempunyai timnas untuk berlaga di ajang regional/ internasiona. Indonesia pun masih menunggu nasib, apakah sanksi FIFA akan berlanjut, atau akan dicabut.

Tetapi apa pun, Pemerintah dan PSSI bisa duduk bersama untuk memutuskan nasib sepak bola bangsa ini. Jangan hanya karena ada ego dan kepentingan kelompok, gairah nasional yang berpotensi menggalng persatuan bangsa ini padam dan menguap begitu saja.

Dalam setahun ini kita kehilangan banyak pemain muda, kehilangan banyak potensi, kehilangan banyak sumber daya yang seharusnya mengangkat prestasi sepak bola Indonesia. Belum lagi kerugian materi yang dialami klub, pemain, pelaku industri, hingga masyarakat kecil yang turut 'menitipkan hidup' dengan menikmati secuil kecil kemeriahan yang bernama sepak bola.

PSSI sebagai lembaga memang harus diperbaiki, dikawal, direformasi. Tetapi sebagai lumbung, PSSI tidak layak dibakar bila ingin menangkap tikus yang bersarang di dalamnya. Menpora yang beritikad baik membersihkan PSSI dari gerogotan tikus juga malah tidak bila membuktikan keberadaan tikus yang diincarnya, tetapi lumbung terburu habis terbakar.

Apalagi Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) telah memutuskan bahwa Surat Keputusan Menpora Nomor 01307 tahun 2015 tentang Pembekuan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) tidak sah, sehingga keberadaannya tidak diakui.

Majelis Hakim mengabulkan seluruh gugatan PSSI adalah karena SK Pembekuan PSSI yang dikeluarkan Menpora pada tanggal 18 April 2015 itu tidak memenuhi lima Asas Umum Pemerintahan yang Baik, di antaranya melanggar asas profesionalisme, proporsionalitas, dan di luar wewenang. Bahkan upaya-upaya Banding yang dilakukan pihak Menpora pun kandas di meja hakim PTUN karena PTUN yang berpegang pada undang-undang yang berlaku di Indonesia tidak melihat adanya penyelewengan yang dilakukan PSSI.

Tim Transisi yang bertugas mengawal PSSI pun sampai hari ini tidak bisa mengagas bahkan menggulirkan kompetisi untuk mengganti kekosongan selama masa 'suspend' penangguhan oleh FIFA. Yang ada hanyalah turnamen-turnamen 'tarkam' walau namanya keren-keren: Piala Presiden, Piala Jendral Sudirman, Piala Bhayangkara, atau Piala Gubernur. Tanpa terkoneksi ke dunia internasional, sepak boal Indonesia adalah katak yang berada di bawah tempurung. "Kurung batokkeun", kalau kata orang Sunda mah.

Mumpung masih ada waktu. Mumpung masih ada niat baik dari semua elemen sepak bola nasional, dari level petinggi hingga supporter yang baru belajar menyanyikan lagu "Garuda di Dadaku".

Selamat ulang tahun PSSI. Semoga lekas sembuh dan sadar dari mati suri.

Ricky N. Sastramihardja
Bobotoh Persib, Pecinta Kopi & Fotografi
Sering ngacapruk di Twitter dengan akun @RickyNSas

Dimuat di www.bobotoh.id
http://bobotoh.id/2016/04/hadiah-manis-ulang-tahun-pssi/

1.24.2015

Republik Sulap: The Closer You Look, The Less You'll See



Film "Now You See Me", sebuah caper thriller besutan sutradara Louis Letterier (2013) menyatakan premis 'The Closer You Look, The Less You'll See'.

Untuk menyaksikan sebuah pertunjukan sulap yang utuh sebagai sebuah hiburan, kita dipaksa untuk melihat terlalu dekat sehingga para pesulap mampu menipu mata kita, memanipulasi kenyataan, dan menguatkan hasrat bahwa pada dasarnya manusia senang ditipu (dan menipu). Itulah prinsip dasar sulap.

Kasus perseteruan KPK vs Polri + PDIP ini bukanlah cerita baru. Mungkin sudah berabad lamanya, yakni sistem yang korup tidak akan bisa menegakkan keadilan dan kebenaran.

Sebagai pemirsa kita tidak bisa melihat terlalu dekat, karena saat itulah akan banyak terjadi pengalihan-pengalihan (distraksi) yang akan membuat kita tertipu pada kenyataan sebenarnya. Kenyataan bahwa pertengkaran antara dua institusi ini hanya akan menguntungkan para koruptor, mafia hukum, bangsat, dan bajingan yang menggunakan keduanya sebagai penyamaran mereka.

Kita tarik jauh, mungkin 5-10 tahun sebelum hari ini. Kita hanya akan mendapati kebenaran tipuan-tipuan sulap itu hanya bila kita bisa merunut setiap petunjuk yang berceceran tanpa teralihkan.

Itulah "Now You See Me". Di Republik Sulap yang dipimpin sekelompok pembohong ini, "the closer you look the loss you'll see".

Cerita Tiga Perampok


Ada tiga orang perampok bersembunyi di dalam hutan. Mereka akan membagikan hasil rampokannya yang melimpah.

Tetapi harta haram yang mereka kuasai itu tidaklah berkah. Para perampok itu ingin mendapat bagian yang lebih banyak daripada seharusnya.

Perampok Pertama meminta izin keluar hutan. Katanya mau mencari desa terdekat untuk membeli makanan. Padahal di otaknya tersimpan rencana untuk menaburkan racun pada makanan yang akan disantap dua koleganya itu.

Perampok Kedua dan Ketiga pun berpikiran sama. Mereka merencanakan akan menyergap dan membunuh Perampok Pertama saat kembali ke hutan.

Begitulah selanjutnya dapat ditebak. Perampok Pertama mati karena ditikam dan ditebas dari belakang. Perampok Kedua dan Ketiga mati sesaat usai menyantap makanan beracun yang dibawa Perampok Pertama.

Di hutan, tiga mayat perampok terbujur kaku di antara harta yang mereka dapatkan dengan cara yang tidak sah.

Persis seperti urban legend Indonesia dewasa ini: Cicak vs Buaya + Banteng, yang mungkin akan bertambah dengan Kodok, Angry Bird, atau satwa lainnya.