http://6ix2o9ine.blogspot.com
:Catatan dari Pameran Foto “Just Kick The Wall”
I
...
It’a never stops dripping. But just try complaining. There must be more than a hundred of them around here. They spend a fortune to set up those big picturesque cirrus. Public relations, they say.
...
(Umberto Eco dalam “The Latest from Heaven”)
Perdebatan tentang apa itu seni berlangsung bahkan jauh sebelum definisi seni itu ditemukan. Berabad-abad lamanya seni diperbincangkan dan didefinisikan. “Seni selalu menolak definisi”, begitu kata Albert Camus. “Dengan demikian seni adalah pemberontakan yang kreatif”, lanjutnya lagi. Begitu pula di saat fotografi yang merupakan new media aesthetic kemudian berkembang dalam banyak wilayah kehidupan manusia. Perdebatan fotografi itu seni atau bukan seni masih mencuat dan menjadi bahan diskusi yang menarik. Sementara itu di dalam fotografi itu sendiri, timbul pula perdebatan tentang apakah karya fotografi itu. Satu pihak menyatakan bahwa fotografi adalah A, satu sisi lain menyatakan fotografi adalah B, dan di sisi lain ada pihak yang mengklaim bahwa fotografi bukan saja A dan B, tetapi juga C.
Michael Risdianto menulis bahwa perdebatan tentang fotografi juga terjadi di awal perkembangannya di Indonesia. Bagaimana seorang karya foto Isidore van Kinsbergen, seorang fotografer yang juga pelukis, ditolak oleh C. Leemans, seorang Kepala Museum Benda Kuno di Leiden yang telah menugaskannya untuk memotret relief di Candi Borobudur pada tahun 1872-1873. Leemans beranggapan bahwa foto-foto relief yang dibuat van Kinsbergen memiliki kesalahan perspektif dan tidak dibuat berdasarkan pandangan keilmuan. Pandangan Leemans yang sempat mematikan karir van Kinsbergen sebagai seorang fotografer, kemudian dibantah oleh Conrad Busken Huet, yang menyatakan bahwa pekerjaan Leemans adalah pekerjaan yang terikat pada aturan formal dan kaku, sedangkan karya van Kinsbergen adalah karya seni.
Perdebatan itu tidak akan berakhir begitu saja, itulah maka kemudian dinyatakan bahwa seni selalu berada dalam tegangan, tension, yang tidak saja berada di wilayah definisi, tetapi juga di wilayah penciptaan dan penafsiran. Wajar saja bila kemudian ada sekelompok anak muda yang merasa perlu melakukan pemberontakan di dalam dunia fotografi dengan meningkatkan tegangan tersebut.
Kelompok itu adalah Brigadepoto#, mirip nama sebuah kelompok gangster jalanan yang sering membuat onar, walau ternyata memang bukan. Pada pameran ke-2 mereka yang bertajuk “Just Kick The Wall”, Brigadefoto# mencoba menawarkan alternatif lain tentang apa itu fotografi menurut mereka. Pameran ini berlangsung 28 Maret s.d. 4 April 2009 di sebuah garasi yang belum selesai di daerah perbukitan di Bandung Utara yang sejuk dan hening.
Sebuah garasi. Betul, keterbatasan nampaknya bukanlah penghalang bagi Brigadefoto# untuk mempresentasikan karya mereka kepada khalayak. Keterbatasan juga adalah hal yang mereka anggap sebagai sebentuk dinding yang perlu ditendang, dan kalau perlu, dihancurkan. “Mari-mari bertarung dengan segala keterbatasan”, demikian teriak mereka.
II
Pertarungan dengan keterbatasan, permasalahan eksistensi, dan keinginan keluar dari keterbatasan adalah wacana besar yang ingin mereka sampaikan. Hal tersebut jelas terpampang dalam leaflet, poster, katalog, juga di ruang pameran. Permasalahan ini tampak pada “Untitled # 1 - #3” karya Sandy ‘Usenk’ J.S. Seri foto yang terdiri dari 3 foto ini dipajang tepat mengawali deretan karya foto lainnya ini. “Untitled#1” adalah foto hitam-putih berbentuk bujur sangkar dengan bingkai hitam dan matte paper. Bentuk foto bujursangkar mungkin didapat dari potongan matte paper putih yang tegas mengelilinginya. Bingkainya sendiri yang berbentuk persegi panjang berukuran lebih besar dari karyanya.
Dalam deskripsinya, Usenk mempersoalkan antara rasa, estetika, dan presisi. Di mana kegalauan hatinya mempertanyakan bagaimana bila ketiga elemen itu muncul sendiri-sendiri. Pada “Untitled #1” Useng memotret sebuah benda, berbahan logam tampaknya, tepat pada sebuah sudut yang simetris. Sesuatu yang berbentuk lonjong dengan alas bulat oval itu dalam fotonya memiliki kedalaman yang dipersepsikan dengan indera mata akan memiliki kedalaman 3 dimensi. Presisi menurut Usenk dalam karyanya itu adalah bentuk-bentuk visual geometris dengan sudut tajam (diwakili oleh sudut-sudut tajam berbentuk siku pada background putih dan foreground hitam yang bersinergi dengan bentuk bujur sangkar).
Pada “Untitled #2” yang merupakan foto warna, Usenk menggunakan bentuk persegi panjang dengan rasio 4:3 seperti bentuk foto pada umumnya. Masih dengan matte paper yang besar sehingga membuat fotonya jauh kecil dari bingkainya. Fotonya sendiri terdiri atas 6 buah catur berselang-seling putih-hitam-putih, mulai dari Menteri Hitam, Menteri Putih, Kuncung/Gajah Hitam, Kuda Putih, pion hitam dan putih . Ke enam buah catur itu berdiri di atas alas berwarna hijau muda yang lembut yang menjadi foreground dengan background berwarna putih.
Sedangkan pada “Untitled #3” yang merupakan foto hitam-putih, Usenk memotret sebagian tajuk pohon sehingga berbentuk siluet. Foto ke tiga ini secara fisik bentuknya sama dengan “Untitled #2”, namun bidang foto ditempatkan beberapa senti meter dari garis tengah imajiner sehingga matte paper atas lebih besar dari bawah.
Mengerutkan kening cukup lama untuk memahami apa yang menjadi fokus karya, sebab “Untitled #1 - #3” berusaha ‘menjebak’ pemahaman audiens dalam deskripsinya yang menyatakan “Antara rasa, estetika, dan presisi: bagaimana bila ketiganya muncul dengan sendiri-sendiri?”. Deskripsi itu seolah mempersilahkan audiens untuk menafsirkan satu per satu fotonya terlepas satu sama lainnya. Padahal karya itu sendiri harus ditafsirkan dalam satu kesatuan sebagai suatu seri yang utuh.
“Untitled #1 - #3” sendiri merupakan representasi dari presisi, estetika, dan rasa yang coba dimunculkan secara terpisah dalam representasi visual yang berbeda. Presisi menurut Usenk adalah bentuk-bentuk geometris yang secara matematis terukur, sedang estetika disimbolkan pada beberapa buah bidak catur, dan rasa dengan bentuk geometris tajuk pepohonan yang tidak beraturan.
“Untitled #1 - #3” lebih merupakan suatu pertanyaan filosofis daripada pernyataan seorang Usenk tentang bagaimana sebuah konsep tentang menjadi. Usenk tidak sedang mengurai sosok manusia di dalam karyanya, tetapi mempertanyakannya. Tataran simbol yang digunakan Usenk adalah simbol yang sehari-hari hadir bersama manusia. Petualangan estetiknya membuat Useng menggunakan simbol-simbol itu untuk hadir dalam makna dan pemahaman baru untuk kemudian dilontarkannya kembali secara fotografis kepada audiens.
Tetapi, pertanyaan Usenk itu mungkin akan menjadi jelas gemanya bila tidak pernah dijawab. Bahkan oleh Usenk sendiri, karena manusia memang dilahirkan ke dunia dengan ketiga elemen itu. Permasalahannya adalah pada komposisi dan cara pemakaiannya yang berbeda pada setiap orang, yang oleh Usenk disimbolkan dengan perbedaan komposisi dan bentuk penyajian karyanya. “Untitled #1 - #3” tampaknya akan menjadi persoalan yang akan dihadapi setiap orang. Itulah yang ingin diutarakan seorang Usenk. Ia melontarkan pertanyaan yang harus dipikirkan setiap orang, dan bukan menjawabnya.
Pada karya berikutnya Erwin G. Zulkarnain menyajikan “Untuk Aku, DIA, dan Mereka”, Sebuah karya foto hitam-putih besar berukuran 20 X 24 inci. “Untuk Aku, DIA, dan Mereka” tampaknya adalah pertanyaan besar Erwin tentang kebenaran, yang di dalam deskripsi karyanya ia menulis “...apakah kebenaran itu bersifat relatif? Atau kebenaran itu bersifat mutlak?”. Fotonya sendiri dapat dideskripsikan sebagai foto 3 buah manekin yang meniru tubuh perempuan, yang dipajang sebagai etalase di sebuah toko pakaian. Manekin-manekin berbentuk setengah badan, dari kaki hingga bawah dada dengan potongan atas berbentuk diagonal. Manekin pertama mengenakan celana panjang, manekin ke dua mengenakan celana pendek sebatas paha, dan manekin ketiga tidak mengenakan apapun selain secarik kertas bertuliskan “diskon 50%” yang dipasang di atas daerah V manekin tersebut.
Karya Erwin bermaksud mempertanyakan kebenaran melalui cara berpakaian perempuan yang menurutnya “Cara berpakaian wanita selalu menjadi hal yang aktual untuk diperdebatkan, karena setiap orang mempunyai alasan masing-masing atas kebenarannya...” Bagi Erwin kebenaran itu relatif atau mutlak seolah dijawab berdasarkan selera berpakaian perempuan. Erwin tidak sedang meluncurkan erotisme dan eksploitasi tubuh perempuan, yang oleh industri fashion didominasi oleh bentuk tubuh yang ramping, jenjang, cantik, dan sensual, yang direpresentasikan dalam manekin-manekin dengan proporsi tubuh yang katanya ideal.
Justru Erwin dalam karyanya mengajak kita untuk merenungi kebenaran yang oleh industri fashion yang mengkomodifikasi perempuan dalam bentuk tubuh tertentu agar bisa menggunakan jenis pakaian tertentu. Atau, bisa jadi Erwin juga sedang menyatakan bahwa kebenaran itu seperti pakaian. Bisa dipakai dan dilepas kapan saja, sesuai dengan selera dan bentuk tubuh masing-masing. Sesuai dengan trend mode yang up to date. Dipakai bila perlu dan dilepas bila ingin.
Karya selanjutnya adalah “The Harmony of Gesticulation” (Harmoni Gestikulasi) judul karya Anitha ‘Tha-tha’ Desyanti. Seperti karya sebelumnya, karya Tha-tha masih berbentuk semacam foto seri yang harus dipahami secara utuh. “The Harmony of Gesticulation” ini terdiri dari dua bagian. Bagian pertama merupakan sebuah seri foto panggung, yang menurut Tha-tha diambil dari adegan-adegan yang terdapat dalam tarian berjudul “Hayati #1 - #3” dengan Chandra Effendi Panatan sebagai koreografernya. Seri foto “Hayati #1 - #3” ini terdiri atas 3 buah foto yang dipasang sedikit curam diurut dari atas ke bawah dengan ukuran masing-masing 12 x 18 inci.
Foto teratas merupakan foto 4 orang penari yang bergerak sejajar dengan bentuk yang berbeda. Penari pertama dari kanan berdiri tegak, penari kedua dan ke tiga sedikit merunduk, dan penari ke empat terlentang di lantai panggung dengan kaki tertekuk diangkat ke atas. Pada foto kedua, ada 6 penari perempuan sedang mangangkat tangannya ke atas dengan kaki sedikit terbuka. Kedua foto ini nyaris berbentuk siluet karena tata cahaya panggungnya yang demikian. Background panggung yang dicahayai sedemikian rupa membuat para penari yang berada di depannya tertangkap kamera menjadi sebuah siluet yang menarik. Pada foto ke-3 kali ini sosok penari lebih jelas karena perubahan tata cahaya panggung dan perubahan sudut pengambilan gambar, di mana Tha-tha menangkap momen formasi tari tertentu.
Pada bagian kedua fotonya yang berjudul “Cerita Dari Dunia Maya #1 - #5”, Tha-tha masih mengambil adegan-adegan tari di atas pentas yang berjudul “Cerita Dari Dunia Maya” yang dikoreografi dan ditarikan oleh Yudistira Syaman. “Cerita Dari Dunia Maya #1 - #5” ini terdiri dari 5 foto, 2 vertikal dan horisontal, yang dipasang dalam satu bingkai yang besar. Dengan menempatkan ke lima foto itu dalam satu bingkai, Tha-tha ingin kita memahami adegan-adegan tari yang dipotretnya dalam satu kesatuan yang utuh. “Cerita Dari Dunia Maya #1 - #5” ini pada masing-masing fotonya menunjukan sang penari dalam berbagai formasi gerak, mulai dari berdiri tegak (foto pertama) hingga duduk kelelahan sambil menyelonjorkan kakinya ke depan dan bersandar pada dinding panggung.
Melalui seri fotonya ini, Tha-tha, satu-satunya perempuan di pameran ini ingin berbagi perasaannya di saat menyaksikan ke dua jenis tarian yang berbeda. Di mana pada tarian pertama di seri foto bertajuk “Hayati #1 - #3” adalah mengenai pergerakan flora dan fauna, dan pada seri foto ke dua “Cerita dari Dunia Maya #1 - #5” adalah tentang penderita skizofrenia. Foto-foto panggung Tha-tha ini lebih dari sekedar foto dokumentasi panggung belaka karena Tha-tha tampaknya tidak puas bila hanya menyajikannya dalam single frame seperti dalam foto-foto salon biasa. Tha-tha ingin menunjukkan pergerakan tubuh manusia yang dieksploitasi dan dimanipulasi sedemikian rupa hingga membentuk rentetan gerak tari yang sangat dinamis. Itu menjelaskan kenapa Tha-tha memakai kata ‘gesticulation’ sebagai judul utamanya serta menempatkan urutan-urutan fotonya berdasar urutan gerak tariannya.
Pada karya selanjutnya, Fana Fadzrikillah mencoba tampil eksentrik dengan “Baratayudha #1 - #3”. Dalam seri foto yang masing-masing berukuran 12 X 16 inci, Fana memulainya justru tidak dengan sebuah foto. Fana memulai karyanya dengan debuah cermin yang dipasang di berhadapan dalam sebuah sudut dengan foto montase seorang laki-laki muda yang membelakangi lensa. Laki-laki itu sedang menatap punggungnya yang ditempeli seekor ikan. Pada foto berikutnya Fana memotret sebuah kemeja berwarna merah yang dibuat menyerupai seseorang lelaki yang sedang duduk di sebuah kursi dengan bunga mawar berawarna merah dan beberapa lembar uang. Melalui karyanya, Fana mengajak kita berperang dengan kita sendiri di mana ia mendeskripsikan dengan “..perang diri saya melawan segala ketakutan yang ada...”.
Mengejutkan karena “Baratayudha #1 - #3” sebetulnya hanya berisi dua foto dan satu cermin. Dengan mengikuti alur karya, pada kali pertama kita dipaksa untuk menatap cermin sebuah cermin. Fana seolah ingin menunjukan ‘foto’ siapa pelaku Barata Yudha melalui cermin tersebut. Cermin itu akan merefleksikan wajah kita sebagai salah satu pelaku Baratayudha. Gagasan Fana menghadirkan sebuah cermin akan menghadapi banyak kontroversi karena cermin bukanlah foto dalam artian sesungguhnya. Cermin, walaupun merepresentasikan diri secara terbalik di dalamnya, bukanlah sebuah foto seperti halnya pas foto yang kita pakai untuk ijazah. Atau bisa jadi sebetulnya Fana mengajak kita untuk menatap foto ke dua (foto montase laki-laki berkaos hitam dengan ikan di punggungnya), membantu laki-laki yang ada di dalam foto untuk melihat ada apa sih yang menempel di punggungnya. Akan menjadi berbeda bila misalnya bila karya ini diletakan sejajar secara bersamaan.
Pada foto ke-empat, hadir single frame karya parodi cerdas Cholid Zain yang berjudul “Apa Kabar Pocong” dengan ukuran 60 x 90 cm. Betul-betul sebuah parodi yang lucu yang mengajak kita menertawakan ketakutan-ketakutan kita sendiri seperti halnya yang dilakukan Cholid. Bagaimana tidak, foto yang berukuran besar ini menampilkan sosok sebentuk Pocong yang hadir tidak hanya dalam cerita dari mulut ke mulut saja. Tetapi juga hadir di bioskop-bioskop dan di rumah kita dalam bentuk film dan sinetron. Herannya lagi, seringkali kita membeli ketakutan akan pocong dengan beramai-ramai antri tiket berjenis film tentang pocong di bioskop. Tidak ada bedanya dengan kita membeli kegembiraan di bioskop yang sama dengan membeli dan menonton film komedi, misalnya, atau membeli dan menonton sebuah pertandingan sepakbola di mana kita bisa tegang, marah, sekaligus gembira di dalamnya.
Lebih komikal lagi karena Cholid memotret pocong tersebut sedang menghadapi mikrofon dan tape recorder yang bertuliskan beberapa nama infotainment televisi, yang juga dipelesetkan. Ada Insect, Goshtsong, juga ada Silat. Persis seperti adegan jumpa pers yang ada di televisi. Cholid sedang melakukan representasi terhadap sosok pocong sebagai selebritis yang patut diwawancarai karena eksploitasi manusia yang kerap menghadirkan pocong sebagai hantu khas Indonesia itu. Dalam deksripsi karyanya yang selanjutnya Cholid menyatakan bahwa karena karena seringnya melihat tayangan film pocong maka ketakutan-ketakutannya akan pocong berangsur sirna.
Apa yang direpresentasikan Cholid dengan pocong sebagai pembawa ketakutan pada dirinya (juga orang Indonesia lainnya) berbeda dengan cara Fana. Mereka sepakat bahwa ketakutan menurut kedua seniman foto itu beranjak dari diri mereka masing-masing. Bila representasi Fana adalah iklan busuk yang menempel di punggung, maka Cholid dengan sosok pocong. Ketakutan pada diri Cholid lebih bersifat eksternal, di mana sumber semua ketakutan ada pada media (film dan televisi yang menjadikan pocong sebagi tokoh utamanya). Representasi ketakutan Cholid adalah pada media yang telah melahirkan pocong dari bentuk lisan (cerita mulut ke mulut) ke dalam bentuk visual (gambar ilustrasi, film, televisi).
Intensitas kehadiran pocong yang tinggi dinyatakan Cholid sebagai selebritas horor adalah dengan adanya elemen foto berupa mikrofon dan tape recoder yang menjadi simbol industri media massa/pers. Secara komikal, Cholid juga seperti menyentil industri media massa yang, bahkan, seringkali bemata dua. Pada satu sisi menyebarkan berita, pada satu sisi lain justru berita itu yang membuat massa menjadi komoditas media itu sendiri.
Saya ingin menghubungkan pernyataan Cholid di akhir deskripsinya sebagai “...membuat saya terbiasa dan dengan sendirinya hilang rasa takut itu” dengan sebuah film yang pernah saya tonton beberapa tahun lalu pada sebuah acara pemutaran film keliling di sebuah kampus. Film “Novel Tanpa Huruf R” yang disutradarai oleh Aria Kusumadewa ini mengetengahkan bagaimana sang tokoh utama yang seorang wartawan kriminal merangkap penulis cerita kriminal-suspense adalah orang yang telah berhasil mengalahkan ketakutannya akan sadisme. Dari kecil ia telah terbiasa melihat darah hewan yang dipotong di rumah potong hewan, dan pengalaman kewartawanannya membuatnya sangat terbiasa dengan darah manusia-manusia akibat korban kekerasan dan penganiayaan. Dengan dingin sang wartawan kriminal mewawancarai dan memotret korban yang megap-megap sekarat, berdarah-darah, seolah tidak ada lagi rasa ngeri di hatinya.
Pada titik ini saya teringat pada “Untitled #1 - #3” di mana Usenk mencoba mempertanyakan eksistensi dirinya sebagai manusia. Saya tiba-tiba memahami bahwa “Untitled #1 - #3” juga merepresentasikan ketakutan. Ketakutan bahwa rasa, estetika, dan presisi akan terlepas dan terpisah satu sama lain. Itulah kenapa di “Untitled #2” hanya ada ‘menteri’ bukannya ‘raja’. Mungkin kehadiran raja adalah legalisasi atas keterpisahan itu. Atau mungkin juga raja yang merupakan simbol kekuasaan tertinggi dalam suatu pemerintahan monarki, jelas dihilangkan, agar tidak ada lagi kekuasaan yang dapat memisahkan rasa-estetika-presisi.
Di sisi lain, setelah sebuah instalasi interaktif, Ricky ‘Emon’ Indrawan hadir melalui karya berjudul “Picture of Me”, sebuah karya foto hitam putih berukuran 20 X 24 inci. “Picture of Me” tampak moderat dengan penyajian yang berbeda dari lainnya. Seolah hendak menyajikan mix media dengan sebuah foto kursi goyang yang simetris berada di tengah. Kursi goyang itu terikat erat ke lima penjuru foto. Background foto dibuat hitam sehitam-hitamnya sehingga kursi goyang rotan dan tali yang mengikatnya tampak kontras dan menonjol dengan memunculkan kedalaman dimensinya. Tetapi rasanya tidak cukup begitu saja. Pada beberapa lima penjuru foto di mana berakhir out of frame, Emon kemudian menyambung seutas tali ‘beneran’ dengan tali pada foto dengan cara menempelkannya. Sehingga akan tercipta kesan bahwa tali tersebut adalah bagian dari sebuah foto. Tak cukup dengan itu, tali-tali tersebut diikat dengan erat dalam beberapa belitan pada bingkai kayu.
Suatu presentasi yang jenial saya rasa. Karya Emon yang merupakan mix media antara foto, kayu, tali, logam, dan dua lapis akrilik lebih dari cukup untuk menggambarkan ketakutan serta harapan untuk lepas darinya. Kehidupan yang penuh guncangan yang disimbolkan dengan kursi goyang --sesuai namanya pasti akan bergoyang-goyang bila diduduki--, tali yang terikat kencang pada kursi hingga seolah menembusnya hingga ke luar kertas foto adalah simbol upaya untuk meredakan guncangan. Kayu bingkai berwarna hitam pun dimanfaatkan untuk menyimbolkan sesuatu yang dianggapnya mampu menahan goyangan sang kursi goyang. Bahkan lebih dari itu, Emon menutupi seluruh area fotonya dengan 2 lapis akrilik bening masing-masing setebal 1 mm yang dipancangnya dengan 4 baut logam.
Emon menginginkan ketenangan dan ketentraman di atas sebuah kursi goyang. “..Petarung sejati yang ingin hidup tentram dan damai tanpa adanya suatu keterikatan”, demikian deskripsi karyanya. “Picture of Me” sepertinya menjadi representasi ketakutan manusia akan hidup. Keinginan untuk tenang, tentram, damai dan merdeka dari segala keterikatan, yang justru membuatnya harus terikat kencang ke mana-mana. Kursi goyang bagi beberapa orang melambangkan kesenangan, ketentraman, sikap yang konservatif setelah melewati berbagai pertarungan hidup, namun masih saja menakutkan. Masih menimbulkan goyangan-goyangan. Oleh karena itu harus diikat seerat mungkin agar kursi goyang tak lagi bergoyang.
Irwan Hakim menyajikan “Aku dan Sebelum Aku”, sebuah kolase foto yang terdiri atas 22 baris dengan 11 kolom. Kolase foto itu berjumlah sebanyak 220 lembar foto 3R dengan dimensi 55 X 77 inci. Pada deskripsinya, dengan mengutip data dari CIFOR (Centre of International Forestry Research-Pusat Penelitian Kehutanan Internasional), karya ini mencoba mengingatkan kita bahwa pohon yang ditebang untuk industri pulp dan kertas diambil dari hutan alam yang semakin berkurang. Dengan memasang ratusan kolase foto pohon yang hendak ditebang, mulai foto tajuk pohon di bagian teratas kolase hingga foto akar di bagian bawah, Irwan menyatakan betapa masifnya manusia dalam menyikapi permasalahan kertas dan hutan. Permasalahan yang dalam karyanya menuntut untuk disikapi. Bahkan secara sadar Irwan melakukan otokritik dan kritik terhadap dunia fotografi yang digelutinya. Di mana fotografi harus dan masih identik dengan mencetak hasilnya di atas kertas. Bagaimana sebetulnya Irwan merasa gamang menghadapi rakusnya industri dan pelaku fotografi –baik itu fotografer pro, media, amatir, hiburan, ataupun fotografi seni—yang terus menggunakan kertas dalam jumlah yang sangat besar.
Pada bagian terakhir, ada Doly Harahap yang mengajak kita untuk merenung dengan “Mencari Alamat #1 - #11), yang terdiri dari 11 foto hitam putih berformat vertikal berukuran 8 X 12 inci yang masing-masing dipasang di atas styrofoam putih dan disusun dalam urutan 3-2-1-2-3. Doly, seperti yang diungkapkan dalam deskripsinya, merasakan kerinduan akan kehadiran seorang ibu.
Doly melakukan eksplorasi yang menarik dengan lukisan tangan (hand drawing) yang dianggapnya mencitrakan sosok Ibu dalam setiap fotonya. Lukisan itu selalu hadir dengan berbagai macam sikap dan keinginan. Misalnya saja Doly merasa bahwa Ibu adalah sosok misterius. Doly menutupi wajah Ibu dengan kain Ulos hingga menyisakan bagian mata ke atas. Doly juga ingin merasakan menyentuh ibu, memotret lukisan itu dengan sebuah tangan hitam yang seolah hendak menjamah wajah sang Ibu. Pada foto lain ia juga merasakan rindu pada sosok Ibu yang akan menciptakan silaturahmi yang dicitrakan Doly dengan melakukan montase dua pasang tangan sedang bersalaman, yang Doly nyatakan sangat kuat dalam 3 buah foto yang mirip.
Tetapi Doly juga tidak menafik kenyataan bahwa sosok Ibu juga telah pernah ia sia-siakan dengan mencitrakan sepasang sepatu boot yang sudah usang yang menjejak di atas lukisan Ibu. “Mencari Alamat #1 - #11” adalah seri yang lirih dan merintih dengan kerinduan yang amat sangat. Tidak ada ketakutan di sini, yang ada hanya kerinduan dan juga mungkin penyesalan. Itu yang membedakannnya dengan karya-karya lainnya.
III
Saya mencoba memahami tajuk “Just Kick The Wall” dengan melakukan ‘thawaf’ mengelilingi galeri Gawir 81 sebanyak 2 atau 3 kali. Pertama kali saya mengikuti arah konvensional dari kiri ke kanan searah putaran jarum jam, yang dimulai dari “Mencari Alamat #1 - #11” dan berakhir di “Untitled#1-#3”. Pada kali kedua dan atau selanjutnya, saya memutar kebalikan jarum jam, yakni dari kanan ke kiri (lihat catatan kaki no. 4). Agak sulit memahami apa sih yang diinginginkan brigadepoto# bila hanya sekedar mengunjungi pameran saja. Saya juga membuat beberapa catatan di buku notes serta memotret hampir semua karya (termasuk instalasi) dengan kamera digital. Mengunjungi pameran selama lebih kurang 1 jam dan kemudian menghabiskan waktu lebih dari 12 jam untuk membaca, mencari referensi, membuka file-file foto karya yang diambil hari sebelumnya dan menuliskan catatan ini serta menyuntingnya.
Membuat saya lebih berkeringat karena apa yang ditawarkan brigadepoto# berbeda dengan foto-foto yang biasa saya lihat selama ini. Dalam bulan Maret yang baru lalu hingga minggu pertama April 2009 ini ada sekitar 4 pameran foto yang saya kunjungi. 3 pameran foto pertama pada umumnya menawarkan foto-foto yang realis, yang struktur simboliknya saya rasa tidak sedalam “Just Kick the Wall”, karena pada umumnya foto-foto tersebut merupakan foto jurnalistik, foto bergaya jurnalistik, hingga semi dokumentasi. Artinya pemahaman maknanya cenderung seperti apa yang terdapat di dalam foto. Pohon ya berarti pohon, merah ya merah. Seperti sedang membaca kumpulan cerpen atau sebuah novel dengan gaya bahasa yang tidak bersayap. Atau semacam jurnal yang ditulis dengan gaya bahasa yang lugas.
Tetapi tidak demikian dengan “Just Kick the Wall”. “Just Kick the Wall” bagi saya adalah membaca puisi dalam bahasa Indian yang ditulis orang Mesir, diterjemahkan oleh orang Batak, lalu dibaca seorang Sunda. Ada struktur yang rumit di dalamnya, yang saya fikir, para fotografernya sendiri mungkin tidak menyadarinya.
Fotografi pada intinya adalah persepsi . Melihat dan ‘membaca’ karya foto juga adalah persepsi atas persepsi. Menuliskan sebuah kritik adalah menuliskan persepsi. Membaca tulisan kritik ini juga pada hakikatnya adalah membaca persepsi atas persepsi. Terjadi beberapa kali decoding dan encoding sehingga kemungkinan terjadi perbedaan penghayatan dan pemahaman. Itulah yang membuat karya seni selalu berada di dalam tegamgan. Berada di dalam tarik-menarik persepsi dan tafsir atas persepsi.
Secara keseluruhan apa yang menjadi kegelisahan dengan ingin ‘menjadi’ dalam “Just Kick the Wall” adalah representasi pertarungan, tidak hanya melawan keterbatasan seperti statemen mereka. Semangat itu kemudian dicitrakan dalam beragam ketakutan, kegamangan, dan juga keraguan. Ketakutan-ketakutan itu mulai tampak pada “Barata Yudha”, “Apa Kabar Pocong”, “Picture of Me” dan “Aku dan Setelah Aku”.
“Untitled #1 - #3” baru kemudian bisa saya dipahami sebagai citraan yang gamang, ragu, serta dalam kecemasan setelah saya mencoba memahami “Untuk aku, DIA, dan Mereka”, “The Harmony of Gesticulation ”, “Baratayudha #1-#3”, dan “Apa Kabar Pocong”. Sedangkan “Picture of Me” baru bisa dipahami setelah saya menafsir ulang “Untitled #1 - #3”. Dari situ saya malah mulai memahami ternyata “Cerita Dari Dunia Maya #1- #5” yang merupakan bagian dari “The Harmony of Gesticulation” karya Tha-tha memang ternyata lebih dari sekedar foto dokumentasi tari.
Tajuk “Just Kick The Wall” bagi saya adalah bagaimana dan mengapa brigadepoto# berusaha keluar dari lingkaran skizofrenia dan ketakutan, yang di dalam Microsoft Encarta 2009 dijelaskan sebagai:
“severe mental illness characterized by a variety of symptoms, including loss of contact with reality, bizarre behavior, disorganized thinking and speech, decreased emotional expressiveness, and social withdrawal. Usually only some of these symptoms occur in any one person”.
Atau, dalam bahasa Yasraf, skizofrenia didefinisikan sebagai
“kekacauan dalam struktur psikis berupa teralienasinya dan tercabutnya seseorang dari realitas: kekacauan dalam struktur bahasa berupa terputusnya rantai pertandaan yang mengaitkan sebuah tanda dengan sebuah makna, sehingga terjadi kekacauan makna”.
Sejauh ini seperti yang tampak dalam pameran, mereka mengartikulasikan berbagai macam simbol keterbatasan dan ketakutan dengan menjadikannya memiliki makna yang saling terikat satu dengan lainnya. Tak ada yang lebih menakutkan selain rasa takut itu sendiri. Simbol bidak catur, logam, manekin, baju, pocong, pohon, atau bahkan kursi goyang tiba-tiba saja menemukan kunci pemahaman dalam tarian seorang Yudistira Syuman yang dipotret oleh Tha-tha. Ketakutan-ketakutan akan keterbatasan itu kemudian tiba-tiba saya rasa bermuara pada konklusi yang terdapat dalam sederetan foto lukisan Ibu karya Doly. Seri foto yang merupakan simulakra (simulacrum) . Simulakra di mana ketakutan-ketakutan itu saling bergaung, memantul sama lain dan lenyap di kerinduan akan seorang Ibu.
Sosok Ibu, di dalam berbagai kebudayaan memiliki posisi yang penting. Di mana selain telah melahirkan, juga ibu selama 1 X 24 jam X 7 hari seminggu X 365 hari setahun hadir untuk merawat anak-anaknya. Ibu juga adalah sosok pelipur lelah seorang anak, yang selalu setia mengusir dan membebaskan anak-anaknya dari ketakutan dan keterbatasan. Mengajari anak merangkak, tengkurap, duduk, berdiri dan berjalan. Tak pernah lelah dan selalu bijak agar anak bisa belajar keluar dari keterbatasan (bergerak terbatas), lepas dari ketakutan (bila jatuh, tetap disemangati agar kembali berdiri). Ibu adalah representasi kasih sayang tanpa akhir, sehingga ada peribahasa Indonesia yang mengungkapkan bahwa “Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang badan”.
“Just Kick The Wall” yang mulanya saya tafsirkan sebagai suatu reaksi atas akan kredo-kredo fotografi yang dirasa mengikat kemudian malah berakhir pada simpulan bahwa semua keterbatasan akan berakhir pada kasih sayang. Lucunya, saya sendiri tidak menyangka bahwa hasil semuanya penafsiran dan analisis akan seperti ini. Semuanya berjalan mengalir begitu saja.
Tentu tidak menutup kemungkinan di lain hari dengan lain pengalaman saya mungkin bisa mendapat tafsir baru yang bukan tidak mungkin akan berbeda dengan penafsiran sekarang. Apalagi tulisan ini tidak berpretensi sebagai tulisan ilmiah yang dikaji secara teoritis, dengan perangkat teori yang canggih, kajian yang mendalam, serta kesimpulan-kesimpulan yang hebat. Walau perlu juga diakui bahwa pengalaman saya mengkaji dan meneliti karya Sastra dengan berlandaskan pada kritik Struktural seperti yang digagas oleh Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Pierce cukup berperan. Yaitu dengan tetap berusaha mengkaji karya berdasar karya fotonya itu sendiri. Berdasarkan unsur-unsur yang ada di dalamnya (warna, komposisi, isi, pencahayaan, teknik, dan lain-lain, termasuk judul, deskripsi, dan cara pengemasan dan presentasi foto yang saya anggap sebagai satu kesatuan). Tanpa bermaksud apapun, saya mengesampingkan semua catatan biografi, catatan pengantar, kuratorial, serta informasi lain yang ada di dalam katalog. Tulisan-tulisan yang saya pakai yang berasal dari pameran ini adalah hanya dari statemen pameran yang ditulis di leaflet/poster/katalog publikasi.
=======================
Bandung, 3 April 2009
Ricky Nugraha
Desainer Grafis, Pecinta Kopi dan Fotografi