4.20.2016

INDONESIA SI BUTA DI TENGAH DUNIA DENGAN SEBELAH MATA


Pemain bintang sekelas Robin van Persie dengan penghasilan 10 juta Poundsterling per tahun (sekitar 205,3 Miliar) masih mengkhawatirkan posisinya di Timnas Belanda. Selama dua musim bermain untuk Manchester United, van Persie banyak kehilangan menit bermain. Ia lebih banyak duduk di bangku cadangan menyaksikan rekan-rekannya bertanding.

Sepakbola, tidak melulu penghasilan yang fantastis. Tidak juga hanya sekedar pengabdian kepada klub yang membesarkannya. Seorang pemain sepakbola mengharapkan lebih dari sekedar materi, tetapi juga eksistensi. Eksistensi pemain sepakbola adalah saat ia dipanggil oleh negara untuk menjadi bagian kesebelasan besar yang bernama timnas.

Kita saksikan bagaimana anak-anak muda yang bergabung di Timnas U-23 meneteskan air mata saat pertandingan perdana Timnas Indonesia melawan Myanmar pada ajang SEA GAMES 2015. Di tengah perseteruan dahsyat antara negara melawan PSSI, di tengah sanksi FIFA pada PSSI, mereka menjadi satria pinilih dengan tugas maha berat. Seperti Guruminda yang ditugaskan Sunan Ambu ke dunia untuk mencari Layang Salaka Domas.

Air mata yang menetes adalah simbol kebanggan dan harga diri mereka sebagai pemain sepakbola terhadap negara tempat mereka lahir dan dibesarkan. Air mata yang menetes itu adalah bukti betapa merela mencintai negara ini. Indonesia memang kalah 2-4 oleh Myanmar, tetapi air mata yang menetes adalah bukti tak terbantahkan bahwa mereka juga bangga masih berlaga pada pertandingan Internasional di saat dunia menutup mata, telinga, dan tangannya pada Indonesia.

Sanksi FIFA yang dijatuhkan tanggal 29 Mei 2015 masih belum dicabut karena negara masih bersikukuh untuk membekukan PSSI. Sampai hari ini sebagai dampak Pembekuan PSSI yang berujung dengan jatuhnya sanksi FIFA, belum tampak ada tindakan lebih lanjut yang dilakukan negara. Negara masih sibuk memberikan pernyataan di media daripada membuktikan pernyataannya itu. Belum ada satupun anggota komplotan mafia sepakbola yang selama ini dianggap merongrong Sepakbola Indonesia, yang berhasil dibuktikan dan mereka tangkap.

Sementara klub-klub mulai membubarkan timnya untuk menghindari kerugian materi yang lebih besar. Setelah Persipura Jayapura resmi dibubarkan, santer terdengar wacana bahwa PERSIB Bandung pun akan membubarkan pasukan yang sejatinya dipersiapkan untuk Liga Indonesia dan AFC. Seiring berhentinya Liga Indonesia dan kekalahan PERSIB pada pertandingan melawan Kitchee FC, praktis tidak ada pertandingan yang bisa diikuti lagi.

Selain itu, tuntutan Bobotoh yang disuarakan tanggal 4 Juni 2015 yang baru lalu kepada Menpora dan PSSI untuk berdamai dan segera memutar roda kompetisi lagi, sampai hari ini belum terdengar ‘kelemeng’ nya. Belum terdengar apa dan bagaimana reaksi pihak-pihak terkait akan nasib persepakbolaan ke depan.

Tanpa kompetisi maka tidak ada pertandingan resmi. Tanpa pertandingan resmi, maka tidak ada ada tim. Tanpa tim tidak ada kompetisi berjenjang para pemain berlomba-lomba mencapai tempat di Timnas. Bahkan Timnas pun rasanya nyaris tidak diperlukan karena Indonesia dikucilkan dari pergaulan sepakbola Internasional nyaris di semua bidang yang berhubungan dengan sepakbola.

Selain Timnas U-23 yang masih berlaga di SEA GAMES, Indonesia tidak diperkenankan mengikuti event sepakbola internasional atau regional. Tidak hanya Timnas Senior, tetapi sanksi FIFA juga berdampak pada tim sepakbola wanita, anak-anak, tim futsal, apapun.

Karena pada hakekatnya sanksi FIFA adalah pengucilan. Sekarang Indonesia bagaikan hidup dalam ruangan isolasi yang terpencil, terkucil, dan terpinggirkan. Kita memang masih bisa bermain sepakbola, tetapi hanya bisa bermain sepakbola untuk diri kita sendiri. Kita memang masih punya kaki untuk bermain bola, tetapi FIFA dengan sanksi-nya telah menutup mata, mengikat tangan, menyumbat telinga, dan membungkam mulut kita. Indonesia adalah si buta yang terlunta-lunta di tengah dunia yang hanya memiliki sebelah mata.

RICKY N. SASTRAMIHARDJA
Editor in chief Maenbal.co
@RickyNSas

dimuat sebagai editorial di maenbal.co
http://maenbal.co/13874/suara-redaksi/indonesia-si-buta-di-tengah-dunia-dengan-sebelah-mata/

LIGA INDONESIA: QUO VADIS?



Kemeriahan menjelang laga ISL 2015 ini sedikit tercoret dengan berita yang mengejutkan. Dimulai dari mundurnya jadwal ISL yang semula tanggal 1 Februari 2015 menjadi 4 April 2015. Menyusul kemudian hasil temuan BOPI (Badan Olahraga Profesional Indonesia) yang menyatakan hanya tiga klub yang layak mengikuti ISL 2015.

Persib, satu dari tiga klab yang terverifikasi dengan kategori A minus.15 klub lainnya masuk ketegori B dan C. Namun hampir seluruh klub harus menyelesaikan syarat-syarat administrasi yang diminta BOPI antara lain terkait pajak, kontrak pemain.

Belum usai ‘kekagetan’ itu, mendadak muncul berita yang ajaib lagi: Pelita BR, satu klub rival Persib yang sama-sama bermarkas di Bandung, diisukan bangkrut dan tidak bisa mengikuti ISL 2015. Walau digadang-gadang baru sebatas isu karena sampai tulisan ini dirilis belum ada pernyataan resmi dari PBR. Tetapi hengkangnya Ilija Spasojevic striker andalan mereka ke Persib, semakin mempermiring berita ‘miring’ itu.

Sungguh ironis. Menjelang 20 tahun digelarnya Liga Indonesia, ternyata belum ada kemandirian dari hampir seluruh klub peserta ISL. ISL 2015 ini adalah pembuktian betapa rapuhnya sepakbola kita bila dilihat dari sisi profesionalisme. Bahkan dari awal, dikabarkan bahwa Persik Kediri membubarkan diri usai dinyatakan PT. Liga tidak lolos verifikasi.

Profesionalisme dalam sederhananya adalah bagaimana sebuah aktivitas bisa menjadi profesi yang menghasilkan materi. Profesionalisme selain erat berkaitan dengan kemampuan, sikap dan perilaku, juga erat dengan manajerial dan keuangan. Tim sepakbola profesional, bisa kita katakan sebagai sekelompok orang yang ‘menjual’ jasa dan keahliannya dalam permainan sepakbola untuk mendapatkan nilai pengganti berupa materi atau uang.

Namun di tahun ke-20 Liga Indonesia yang pada awalnya digadang-gadang sebagai ajang sepakbola profesional sebagai kelanjutan penggabungan kompetisi Perserikatan dan Galatama, terbukti membangun profesionalisme itu sangat tidak mudah. Padahal miliaran atau mungkin triliunan rupiah uang sudah mengalir untuk menggerakan kompetisi ‘profesional’ yang tidak lagi membebani keuangan daerah dan negara.

Bagi saya, hal yang paling menyedihkan dari gagalnya profesionalisme sepakbola Indonesia itu bukanlah bangkrutnya sebuah klub, atau gagalnya sebuah klub memenuhi persyaratan. Tetapi sebagai pribadi, saya hanya bisa membayangkan betapa sulitnya seorang pesepakbola ‘profesional’ memenuhi kebutuhan dasarnya: sandang – pangan – papan di kala mereka tidak kunjung menerima pembayaran gaji atas jasa dan keringat yang telah mereka tumpahkan di lapangan.

Sebagai seorang ayah yang bertugas mencari nafkah untuk keluarganya, para pesepakbola itu tentu berharap banyak bahwa keringat yang deras mereka kucurkan di lapangan hijau, segera tergantikan sebelum mengering dan menghilang. Di rumahnya, ada anak dan istri yang menanti rezeki halal itu tiba dengan utuh dan lancar. Bagi para pesepakbola yang masih melajang pun mungkin sama. Mungkin mereka juga ditunggui oleh orangtua, adik atau kakaknya, atau saudaranya, yang turut menanti hasil cucuran keringat anak-anak mereka di lapangan hijau.

Hal seperti ini tentu bukan saja terjadi di Indonesia. Pada saat bersamaan, klub asal Seri A Liga Italia, Parma, dinyatakan bangkrut setelah diketahui keuangannya defisit. Lebih besar utang daripada kas, dan tidak ada harapan untuk mendapat penghasilan tambahan.

Mendadak teringat guru ngaji saya sewaktu sekolah dulu. Di sore hari di bada magrib, beliau menyitir sebuah hadits yang menyatakan ‘bayarlah upah sebelum keringatnya mengering’. Para pesepakbola itu, adalah salah satu ‘sekrup’ utama dalam industri sepakbola. Merekalah yang berkeringat dan berdarah-darah di tengah lapangan selama 2×45 menit untuk menyenangkan hati supporter dan menghasilkan rupiah bagi pemilik (pengelola) klub.

Para pesepakbola itu, banyak yang keringatnya kering sebelum menerima upah yang menjadi hak-nya. Bahkan, setiap kali keringat mereka kering tanpa sempat mereka seka, mereka kembali harus berkeringat dan berkeringat lagi. Sedangkan upah mereka masih belum tiba.

Menjadi profesional itu susah ternyata. Di era industrialisasi dan kapitalisme ini, dimana setiap kegiatan harus memiliki nilai ekonomi untuk dapat mengumpulkan modal (kapital) sebanyak-banyaknya. Akan tetapi masih ada keringat yang mengering di setiap suapan nasi yang masuk ke mulut para pengelola klub sebelum menyelesaikan kewajibannya pada para pemainnya. Ada kedholiman yang luar biasa, karena ada perut lapar lainnya yang menanti haknya tiba.

Liga Indonesia, mau kemana? Katanya mau menjadi liga profesional, tetapi ternyata masih banyak pemain yang tidak menerima hak-haknya.


Oleh: Ricky N. Sastramihardja
Editor in Chief Maenbal.co

dimuat sebagai editorial di maenbal.co
http://maenbal.co/10995/suara-redaksi/liga-indonesia-quo-vadis/

NEGARA VS PSSI: PERSETERUAN PENUH MASALAH TANPA SOLUSI



Perseteruan antara negara yang diwakili Kemenpora melawan PSSI masih belum terang ujung pangkalnya. Kedua belah pihak yang berseteru masih saling mempertahankan pendapatnya masing-masing yang dibalut dalam berbagai alasan dan landasan.

Korban perseteruan itu mulai berjatuhan, kerugian pun mulai dirasakan. Satu yang terbaru adalah batalnya pertandingan AFC Cup antara Persipura Jayapura vs Pahang FC. Pertandingan tidak dapat terselenggara karena pemain asing Pahang FC tidak kunjung mendapat visa dari Imigrasi Indonesia. Padahal mereka telah mendarat di Bandara Soetta, Banten, sebelum melanjutkan perjalanan ke Jayapura untuk menantang Persipura.

Sebelumnya, beredar pula kabar bila Tim Transisi bentukan negara dengan sandi 'Indonesia Memanggil', mendapat penolakan dari FIFA terkait keinginan Tim Transisi untuk mengadakan supertemuan dengan FIFA di Zurich. Melalui suratnya tertanggal 22 Mei 2015, Mr. Jerome Valcke Genereal Sectray FIFA menyatakan bahwa FIFA menolak bertemu Tim Transisi. Alasan Mr. Jerome disebutkan adalah pihak FIFA tidak memiliki waktu untuk menemui Tim Transisi ‘Indonesia Memanggil’ di dalam acara kongres FIFA di Swiss tanggal 25-30 Mei 2015.

Kondisi di atas semakin mempersuram kondisi sepakbola di tanah air. Negara berpenduduk lebih dari 200 juta jiwa ini ternyata tak bisa mengelola sepakbola secara benar dan berkesinambungan. Bila sepakbola adalah asset nasional sebagaimana sumber daya alam dan sumberdaya yang lain, maka nasibnya kemudian sama saja: diperas habis-habisan, kemudian diabaikan dan dicampakkan.


Bila pada mulanya banyak harapan tertanam kepada Kemenpora yang dianggap bisa mengendalikan dan memperbaiki persepakbolaan nasional. Pembekuan PSSI seperti yang dilakukan negara terhadap asosiasi sepakbola tertinggi di tanah air itu, kini seperti air di daun talas. Tidak bisa bersatu, apalagi mempersatukan.

Tim Transisi dengan sebutan ‘Indonesia Memanggil’ pun ternyata seperti yang kita takutkan sebelumnya: ‘ masuk angin’. Sebelum SK Tim Transisi ditandatangani dan dikeluarkan , satu persatu anggotanya mengundurkan diri: Velix Wanggai, Farmin NaSution, Farid Husneni, Ridwan Kamil, dan FX Hadi Rudiatmo mengundurkan diri dengan berbagai alasan. Meninggalkan Tim Transisi yang, maaf ini sangat mengecewakan kami, nama-nama di dalamnya yang dipertanyakan kompetensinya di dalam sepakbola dan di dalam masalah manajerial.

Selain itu, batalnya turnamen Champion Cup 2015 yang seyogyanya disiapkan oleh PSSI untuk mengganti Liga Indonesia yang batal, pun menunjukkan bahwa ada perseteruan lama antara negara vs PSSI. Perseteruan yang mengingatkan kita insan sepakbola tanah air akan dualisme LPI vs LSI di mana banyak klub terpecag dua bahkan tiga.

Tersiar pula wacana bahwa Menpora merencanakan untuk membubarkan klub-klub bermasalah dan akan akan menggantinya dengan klub baru yang ‘serupa tak sama’. Di antaranya, menurut Menpora, tidak menutup krmungkinan akan dadanya Persija Nusantara, Persib Nusantara, dll bila klub-klub menolak liga yang diadakan Menpora. Berita yang dilansir dalam situs media online itu kemudian dibantah Menpora melalui stafnya.

Entah mana yang benar, karena bantah-membantah sudah seringkali dilakukan di negara ini, bahkan sejak jaman dulu. Hanya saja di jaman sekarang terasa lebih parah, Negara seringkali memberikan pernyataan yang kemudian dibantahnya sendiri. Namun sepertinya perseteruan negara vs PSSI ini merupakan ‘sekuel’ dari kisah bodoh dualisme LSI vs LPI yang pernah terjadi beberapa waktu lalu.


Apakah Menpora akan bersikukuh menjalankan ‘Liga Indonesia’ versinya sendiri dengan mengikutsertakan klub-klub ‘siluman’ untuk berlaga di kasta tertinggi dan divisi utama seperti yang pernah terjadi beberapa waktu lalu? Apakah PSSI yang sudah dibekukan akan tetap menghelat liga dan turnamen dengan resiko dibatalkan karena tidak ada rekomendasi negara melalui BOPI dan Polri?

Kita tunggu saja kemana perseteruan ini mengalir ke ujungnya. Hanya saja, sebagai bobotoh Persib, kita menjadi harap-harap cemas karena eksistensi Persib di Piala AFC 2015 terancam akibat adanya perseteruan ini. Padahal, dalam 20 tahun terakhir ini, saat sekaranglah momen yang tepat bagi SI Maung Bandung untuk menancapkan kembali kukunya di kancah persepakbolaan. Momen yang indah itu, bisa saja kembali buyar bila apa yang dialami Pahang FC, kembali menimpa Kitchee FC yang akan menantang Persib di Stadion Si Jalak Harupat tanggal 27 Mei 2015 besok.

Bahkan yang lebih buruk, apapun hasilnya, Persib akan gagal melenggang ke babak selanjutnya karena sanksi ‘banned’ FIFA menghantui kita semua. Sebagimana yang dilansir FIFA dalam surat penolakannya terhadap Tim Transisi bahwa FIFA ‘menunggu niat baik’ negara dan PSSI menyelesaikan kisruh sepakbola di tanah air hingga tangal 29 Mei 2015.

Bila Perum Pegadaian, yang sering kita datangi saat tak punya uang untuk menonton Persib di stadion, mempunyai slogan ‘menyelesaikan masalah tanpa masalah’, maka perseteruan Negara vs PSSI ini layaklah kita bikinkan slogan ‘mengatasi masalah tanpa SOLUSI’.

Ricky N. Sastramihardja
Editor in Chief Maenbal.co

dimuat di maenbal.co sebagai editorial
http://maenbal.co/13446/suara-redaksi/negara-vs-pssi-perseteruan-penuh-masalah-tanpa-solusi/

MENGAPA MENYALAHKAN DEWI FORTUNA?


Dalam sepakbola ada satu dewi yang bila menang dianggap menguntungkan, dan bila kalah dianggap. Dewi Fortuna namanya, yang berasal dari mitologi Romawi kuno. Dalam mitologi Yunani, Dewi Fortuna bernama Dewi Tikhe (Tyche).

Dewi Fortuna adalah dewi keberuntungan, dewi yang mengatur kekayaan dan kemakmuran. Sejahrawan Yunani, Polibus, percaya bahwa ada kejadian seperti banjir, kekeringan dan bencana alam yang tidak bisa ditemukan sebabnya secara logika, maka Dewi Fortuna atau Tikhe-lah penyebabnya.

Entah kapan Dewi Fortuna ini muncul dan dianggap sebagai bagian sebagai bagian dari sepak bola. Bila sebuah tim kalah, media massa menganggapnya tim tersebut sedang tidak berada di dalam lindungan sang Dewi Fortuna. Dewi Fortuna tanpa sadar dianggap menjadi faktor keberuntunagn atau kesialan sebuah kesebelasan.

Bisa jadi karena karena dalam penampilannya, Sosok Thike atau Fortuna ini digambarkan seorang perempuan yang tengah berdiri di atas sebuah bola yang melambangkan kesempatan atau keberuntungan itu tidak stabil, tidak tetap.

Dewi Fortuna menjadi pihak yang paling bertanggungjawab atas kemenangan atau kekalahan sebuah tim. Terutama bila sebuah kesebelasan bermain bagus, tetapi pada akhir pertandingan harus mnerima kekalahan. Atau saat sebuah tendangan yang seharusnya bisa dikonversi menjadi sebuah gol, tetapi melenceng sedikit saja dari gawang.ATau misalnya di saat injury time, seorang pemain berhasil memasukan bola ke gawang lawan lewat tendangan spekulasi.

Karena hampir 100 persen Bobotoh beragama Islam, seharusnya kita tahu bahwa bahwa Islam memberi pandangan bahwa keberuntungan atau kemalangan itu tidaklah terjadi dengan sendirinya. Tetapi merupakan bagian dari rencana Alloh SWT untuk ummat-Nya.

Ada banyak ayat Qur'an dan hadits yang menyatakan bahwa keberuntungan atau kemalangan itu semata-mata takdir Alloh SWT. Misalnya QS 10: 107, QS 6: 18.

Potongan kutipan hadits riwayat Tirmidzi ini menjelaskan bahwa Rosululloh SAW berkata bahwa "...Ketahuilah bahwa apa yang semestinya tidak menimpa kamu, tidak akan menimpamu, dan apa yang semestinya menimpamu tidak akan terhindar darimu. Ketahuilah sesungguhnya kemenangan menyertai kesabaran dan  sesungguhnya kesenangan menyertai kesusahan dan kesulitan.[Tirmidzi no. 2516].

Jadi persoalan menang atau kalah di dalam sepak bola tentu saja bagi kaum muslimin tidak boleh dikaitkan dengan Dewi Fortuna atau Thike atau sebangsanya. Tentu saja karena dengan demikian kita akan terpeleset ke jurang kemusyrikan. Sedangkan Alloh SWT sendiri berfirman bahwa dosa syirik adalah dosa yang tidak diampuniNya seperti terdapat dalam QS 4: 48.

Ricky N. Sastramihardja
Bobotoh Persib, Pecinta Kopi dan Fotografi
suka ngacapruk di akun twitter @RickyNSas

dimuat di www.bobotoh.id
http://bobotoh.id/2016/04/mengapa-menyalahkan-dewi-fortuna/

HADIAH MANIS ULANG TAHUN PSSI


Pada hari ulang tahun PSSI ke-86 ini, Indonesia mendapat 'hadiah' dari FIFA berupa penurunan rangking. Pada tahun 2015 Indonesia masih nongkrong di peringkat 179. Tetapi tahun ini melorot ke peringkat185.

Ulang tahun PSSI juga bertepatan dengan jatuhnya SK Pembekuan PSSI yang dikeluarkan oleh Menteri Pemuda dan Olah Raga, Imam Nahrawi, pada tanggal 18 April 2015 yang lalu. Di mana saat itu PSSI tengah menggelar ISL musim 2015. Akibatnya ISL yang baru berjalan beberapa pertandingan dihentikan oleh PT. Liga Indonesia dengan alasan Forje Majeur.

Mengenai masalah peringkat seperti yang dirilis FIFA pada tanggal 7 April 2016 yang lalu, Indonesia kalah oleh Laos, Fiji, dan Kamboja yang berada di peringkat 182. Indonesia hanya unggul dari Bhutan yang berada di peringkat 186. Bahkan berada 10 peringkat di bawah negara tetangga, Timor Leste yang bertengger di urutan 175, membuntuti Malaysia di peringkat 174. Peringkat terbaik Indonesia adalah pada tahun 1998 dan 2001, di mana Indonesia berada di urutan ke-87 dari 200 anggota/negara.

Peringkat ini terus melorot karena selama setahun tidak mengikuti turnamen regional dan internasional karena adanya sanksi 'banned' FIFA menyusul intervensi pemerintah pada PSSI. Keadaan ini akan semakin memburuk bila hingga awal Mei nanti, Menpora masih belum mencabut SK pembekuannya. FIFA tidak akan membahas nasib Indonesia di level kongres luar biasa, melainkan di kongres biasa yang diadakan tahun 2017 mendatang.

Dari laman FIFA juga dijelaskan, Indonesia dicoret dari keikutsertaan kualifikasi Piala Dunia 2018 di Rusia serta dari kualifikasi Piala AFC 2019. Komite Eksekutif FIFA memutuskan untuk menangguhkan Asosiasi Sepakbola Indonesia (PSSI) sampai PSSI akan mampu memenuhi kewajibannya di bawah pasal 13 dan 17 Statuta FIFA. Keputusan ini dihasilkan akibat adanya intervensi Pemerintah Indonesia kepada PSSI.

Dalam perjanjian dengan Konfederasi Sepakbola Asia atau AFC, PSSI telah diberitahukan bahwa Timnas Garuda diskualifikasi dari kualifikasi seperti yang dijelaskan di atas. Semua pertandingan Indonesia dari Grup F dari tingkatan kompetisi kualifikasi telah dihapus.

Bahkan, bicara masalah peringkat, ketidakikutsertaan Indonesia di pergaulan sepak bola internasional dipastikan akan mempengaruhi rilis terbaru peringkat FIFA pada 5 Mei 2016. Karena walaupun ada perhelatan Indonesia Soccer Cup 2016, praktis Indonesia belum mempunyai timnas untuk berlaga di ajang regional/ internasiona. Indonesia pun masih menunggu nasib, apakah sanksi FIFA akan berlanjut, atau akan dicabut.

Tetapi apa pun, Pemerintah dan PSSI bisa duduk bersama untuk memutuskan nasib sepak bola bangsa ini. Jangan hanya karena ada ego dan kepentingan kelompok, gairah nasional yang berpotensi menggalng persatuan bangsa ini padam dan menguap begitu saja.

Dalam setahun ini kita kehilangan banyak pemain muda, kehilangan banyak potensi, kehilangan banyak sumber daya yang seharusnya mengangkat prestasi sepak bola Indonesia. Belum lagi kerugian materi yang dialami klub, pemain, pelaku industri, hingga masyarakat kecil yang turut 'menitipkan hidup' dengan menikmati secuil kecil kemeriahan yang bernama sepak bola.

PSSI sebagai lembaga memang harus diperbaiki, dikawal, direformasi. Tetapi sebagai lumbung, PSSI tidak layak dibakar bila ingin menangkap tikus yang bersarang di dalamnya. Menpora yang beritikad baik membersihkan PSSI dari gerogotan tikus juga malah tidak bila membuktikan keberadaan tikus yang diincarnya, tetapi lumbung terburu habis terbakar.

Apalagi Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) telah memutuskan bahwa Surat Keputusan Menpora Nomor 01307 tahun 2015 tentang Pembekuan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) tidak sah, sehingga keberadaannya tidak diakui.

Majelis Hakim mengabulkan seluruh gugatan PSSI adalah karena SK Pembekuan PSSI yang dikeluarkan Menpora pada tanggal 18 April 2015 itu tidak memenuhi lima Asas Umum Pemerintahan yang Baik, di antaranya melanggar asas profesionalisme, proporsionalitas, dan di luar wewenang. Bahkan upaya-upaya Banding yang dilakukan pihak Menpora pun kandas di meja hakim PTUN karena PTUN yang berpegang pada undang-undang yang berlaku di Indonesia tidak melihat adanya penyelewengan yang dilakukan PSSI.

Tim Transisi yang bertugas mengawal PSSI pun sampai hari ini tidak bisa mengagas bahkan menggulirkan kompetisi untuk mengganti kekosongan selama masa 'suspend' penangguhan oleh FIFA. Yang ada hanyalah turnamen-turnamen 'tarkam' walau namanya keren-keren: Piala Presiden, Piala Jendral Sudirman, Piala Bhayangkara, atau Piala Gubernur. Tanpa terkoneksi ke dunia internasional, sepak boal Indonesia adalah katak yang berada di bawah tempurung. "Kurung batokkeun", kalau kata orang Sunda mah.

Mumpung masih ada waktu. Mumpung masih ada niat baik dari semua elemen sepak bola nasional, dari level petinggi hingga supporter yang baru belajar menyanyikan lagu "Garuda di Dadaku".

Selamat ulang tahun PSSI. Semoga lekas sembuh dan sadar dari mati suri.

Ricky N. Sastramihardja
Bobotoh Persib, Pecinta Kopi & Fotografi
Sering ngacapruk di Twitter dengan akun @RickyNSas

Dimuat di www.bobotoh.id
http://bobotoh.id/2016/04/hadiah-manis-ulang-tahun-pssi/

1.24.2015

Republik Sulap: The Closer You Look, The Less You'll See



Film "Now You See Me", sebuah caper thriller besutan sutradara Louis Letterier (2013) menyatakan premis 'The Closer You Look, The Less You'll See'.

Untuk menyaksikan sebuah pertunjukan sulap yang utuh sebagai sebuah hiburan, kita dipaksa untuk melihat terlalu dekat sehingga para pesulap mampu menipu mata kita, memanipulasi kenyataan, dan menguatkan hasrat bahwa pada dasarnya manusia senang ditipu (dan menipu). Itulah prinsip dasar sulap.

Kasus perseteruan KPK vs Polri + PDIP ini bukanlah cerita baru. Mungkin sudah berabad lamanya, yakni sistem yang korup tidak akan bisa menegakkan keadilan dan kebenaran.

Sebagai pemirsa kita tidak bisa melihat terlalu dekat, karena saat itulah akan banyak terjadi pengalihan-pengalihan (distraksi) yang akan membuat kita tertipu pada kenyataan sebenarnya. Kenyataan bahwa pertengkaran antara dua institusi ini hanya akan menguntungkan para koruptor, mafia hukum, bangsat, dan bajingan yang menggunakan keduanya sebagai penyamaran mereka.

Kita tarik jauh, mungkin 5-10 tahun sebelum hari ini. Kita hanya akan mendapati kebenaran tipuan-tipuan sulap itu hanya bila kita bisa merunut setiap petunjuk yang berceceran tanpa teralihkan.

Itulah "Now You See Me". Di Republik Sulap yang dipimpin sekelompok pembohong ini, "the closer you look the loss you'll see".

Cerita Tiga Perampok


Ada tiga orang perampok bersembunyi di dalam hutan. Mereka akan membagikan hasil rampokannya yang melimpah.

Tetapi harta haram yang mereka kuasai itu tidaklah berkah. Para perampok itu ingin mendapat bagian yang lebih banyak daripada seharusnya.

Perampok Pertama meminta izin keluar hutan. Katanya mau mencari desa terdekat untuk membeli makanan. Padahal di otaknya tersimpan rencana untuk menaburkan racun pada makanan yang akan disantap dua koleganya itu.

Perampok Kedua dan Ketiga pun berpikiran sama. Mereka merencanakan akan menyergap dan membunuh Perampok Pertama saat kembali ke hutan.

Begitulah selanjutnya dapat ditebak. Perampok Pertama mati karena ditikam dan ditebas dari belakang. Perampok Kedua dan Ketiga mati sesaat usai menyantap makanan beracun yang dibawa Perampok Pertama.

Di hutan, tiga mayat perampok terbujur kaku di antara harta yang mereka dapatkan dengan cara yang tidak sah.

Persis seperti urban legend Indonesia dewasa ini: Cicak vs Buaya + Banteng, yang mungkin akan bertambah dengan Kodok, Angry Bird, atau satwa lainnya.

12.02.2014

Ngadu Muncang


Seorang anak sedang 'nakolan' buah muncang yang diambilnya dari sebatang pohon kemiri di kaki Gunung Geulis, Jatinangor Sumedang. Buah muncang yang sudah terkupas kulit dan dagingnya, kemudian diambil bijinya. Biji muncang tersebut kemudian dipakai dalam permainan 'ngadu muncang'.

Permainan ngadu muncang (kemiri, candlenut, Aleurites moluccana) adalah permainan tradisonal urang Sunda yang hingga dewasa ini masih banyak ditemui di berbagai pelosok Jawa Barat. Dimainkan oleh anak-anak sebagai permainan, dan oleh orang dewasa kerap dijadikan media perjudian.

9.11.2014

Sarang Burung Puyuh di Gn. Geulis

Sambil ngarengkol di dalam tenda menahan dingin kemarau yang menembus hingga sleeping bag, Puncak Gunung Geulis saat itu dinginnya minta ampun. Terdengar di sekeliling, dari dalam semak dan ilalang seperti ini, suara burung puyuh berciak-ciak.

Suprise. Ternyata semak dan ilalang di sekitar tenda dan bivak adalah sarang, mungkin, burung puyuh. Saya tidak melihat penampakan mereka selain suaranya saja yang berciak-ciak dari terbit matahari sampai kami sarapan dan berbenah untuk meninggalkan shelter.

Suatu keajaiban alam yang baru ini saya rasakan. Pengalaman yang mengasyikan yang sulit dinilai dengan uang.


9.09.2014

Nanjak (lagi) ke Gn. Geulis Jatinangor

Lanskap Tj. Sari dan sekitarnya dari Puncak Gn. Geulis, Jatinangor (1281 m dpl). Di kejauhan tampak Gunung Tampomas (Sumedang, 1684 m dpl). Gunung terdekat dengan Gn. Geulis adalah Gn. Bukit Jarian (1173 m dpl).

Gn. Geulis ini cukup assoy juga. Jaman kuliah dulu di tahun 1992-1997, puncak  gunung ini masih lenglang, terbuka. Tak banyak tetumbuhan. Tapi setelah lebih dari 15 tahun, mulai ketinggian sekitar 900 m cukup banyak pepohonan yang tumbuh di lereng hingga ke puncaknya. Terutama didominasi oleh pohon Lamtoro dan pohon bambu. Di puncaknya pun semak belukar dan rerumputan tumbuh tinggi. Tingginya semak belukar dan rerumputan membuat kami kesulitan untuk mendapatkan pemandangan langsung ke arah Bandung, Cicalengka, Tj. Sari dan sekitarnya.


8.28.2014

Pemandangan interaktif dari Danau Kawah Gunung Galunggung

Pemandangan interaktif dari Danau Kawah Gunung Galunggung.

Coba tekan "click to view" untuk merasakan sensasi berada di dalam Danau Kawah Gunung Galunggung. 

Pemandangan interaktif Puncak Manglayang 360°

Pemandangan interaktif Puncak Manglayang 360° . Coba tekan "click to view" untuk 'merasakan' keadaan di puncak Gunung Manglayang (1824 m dpl), Sumedang Jawa Barat.


8.25.2014

Berkah Galunggung



Gunung Galunggung meletus pada tahun 1982. Tetapi sampai hari ini limpahan material vulkanik-nya masih bisa dimanfaatkan sebagai komoditas ekonomi bagi warga sekitar. Seolah tak habis padahal sudah lebih dari 25 tahun ditambang dan dimanfaatkan manusia.


8.22.2014

Nanjak (Lagi) Ke Manglayang

Kabita ku juragan Bobby Victorio Novarro, Rabu kemarin saya nanjak ke Manglayang via jalur barat/Palintang. Rencananya sendiri, akhirnya berdua bareng Gugún Kurniawan.

Dalam ekspetasi, jalur menuju puncak utama dari dinding Barat masih seperti tahun 2010. Saat itu saya dan Donnie D'daam Arie mudun dari puncak Manglayang setelah nanjak dari jalur Baru Beureum.

Ternyata empat tahun berselang di bulan yang sama, Agustus, jalan setapak menuju puncak Manglayang dari Barat sudah menghilang. Beruntung kami menemukan jalur rintisan baru, yang sepertinya belum lama dibuat. Mungkin baru sekitar dua - tiga minggu. Itupun setelah sebelumnya jalur itu diabaikan karena saya pikir merupakan jalur pencari kayu/pemburu.

Setelah mengikuti tag berwarna merah yang dipasang di pepohonan dan semak belukar, akhirnya kami mencapai puncak Manglayang pada sekitar 16.55. Itupun dengan susah payah mengingat kemiringan mencapai 45-60° serta energi kami yang sudah terkuras setelah sebelumnya sempat salah mengambil jalur selama dua jam.

Tiba di puncak puncak pun kami tidak bisa ke pelataran utama (yang ada makamnya). Lagi-lagi karena 'bala', sudah tertup semak belukar. Jalan setapak yang kami ikuti setibanya di puncak akhirnya berbelok ke kiri ke arah Baru Beureum. Tadinya saya ingin mengajak Ugun ke pelataran utama walau harus menerabas semak, tapi karena waktu semakin samporet dan menuju gelap niat itu dibatalkan.



Kami pun turun dari puncak sekitar 17.15 agar tidak terjebak gelap di kemiringan  dinding barat Manglayang.

Manglayang memang tidak terlalu tinggi, hanya 1824 M dpl (berdasar Peta Rupabumi Indonesia lembar 1209-312 Ujung Berung), tapi dari jalur manapun, tanjakannya cukup menantang. Di Manglayang, kita akan merasakan bagaimana betapa dekatnya lutut kita dengan mulut saat menanjak. Cocok banget buat trial bagi teman-teman sebelum mencapai puncak gunung lain yang lebih tinggi.

Selamat buat Ugun yang sukses muncak di  Manglayang pertama kalinya. Ulah kapok ya, engke deui mah disapatu. Ulah disendal :D

9.26.2013

AGUS, BOBOTOH PERSIB

Ngaranna basajan, Agus. Ngan nu ilahar dipaké ku urang Sunda keur ngaran lalaki. Umurna nitih 40 taunan, pangawakan sedeng. Teu jangkung, teu pendék, teu kuru, tapi teu lintuh ogé. Agus téh bobotoh Persib. Kuring kungsi panggih jeung manéhna 3 taun ka tukang di tribun Samping Barat keur diriung ku barudak nu hayang difoto bareng jeung Agus.

Najan ngaranna basajan tapi Agus téh istiméwa keur sakumna bobotoh mah. Totalitasna ka Persib teu kudu ditanya deui, méh unggal pertandingan kandang di SJH atawa Siliwangi, Bobotoh nu di Tribun Barat pasti panggih jeung Agus. Agus oge diistiméwakeun ku nu jaga karcis (usher). Manéhna mah gratis asup stadion téh, teu kudu maké karcis. Agus téh urang Ciparay.




Indit jeung balik lalajo Persib salawasna numpak sapédah. ‘Go green’ téa meureun sumangetna mah. Sabot balik lalajo Persib ti SJH, sababaraha kali kuring panggih jeung Agus keur ngaboséh sapedahna mapay jalan Cipatik ti SJH ka Kopo-keun. Tapi karék kamari tutas Persib maén vs Central Coast Mariners (24 September 2013), kuring ‘kawenehan’ boga ombér bisa ngobrol sakeudeung jeung Agus. Bisa nyokot gambarna di palebah jalan tol Kopo. Peuting-peuting basa Agus keur ngaboséh sapédahna rék balik ka Ciparay.

Soméah , teu talangké waktu kuring ménta idin keur motrét manéhna. Meunang sababaraha jeprétan, tuluy Kuring gé sempet nunutur tukangeun Agus nu ngaboséh sapédahna. Sajajalan Agus teu weléh males panggupay jelema-jelema anu ngagupayan ka manéhna. Cekéng gé, Agus mah istiméwa. Totalitas jeung loyalitasna ka Persib teu kudu diragukeun deui.

Kuring mah asa teu sanggup mun kudu total nurutan Agus. Asa keueung nempo kostum jeung dangdanana mun lalajo Persib. Tuda heueuh, batur mah lalajo Persib téh maké jérséy, kaos bulao Persib, kaos Bomber, Viking, Hooligan, atawa kakasualan (casuals), demi ari Agus mah konsistén pisan lalajo Persib maké kostum jeung di-mik ap siga... pocong!

Ciamis, 26 Séptémber 2013

9.02.2013

High Octane Away Day

Laga Persija vs Persib yang dilangsungkan di Sleman 28 Agustus 2013 yang lalu masih membekas di hati saya. Seumur-umur nonton bola, pertandingan kemarin adalah pertandingan yang sangat berkesan. Status pertandingan dengan penonton yang melibatkan kedua kelompok supporter lah yang membuat tensi pertandingan terasa tinggi.

Betapa tidak, Deu Jek yang biasanya kami 'chant' di stadion SJH/Siliwangi, hari itu ada tepat di hadapan para Bobotoh. Naluri agresi dan adrenalin pun mengalir deras membuat konsentrasi untuk menonton bola (dan memotret) menjadi terpecah.




Apalagi para Bobotoh baru bisa masuk sekitar pukul 16.00 atau setelah pertandingan berjalan 30 menit. Ternyata di saat kami masuk, pertandingan tengah berhenti di menit ke-17 akibat adanya kerusuhan antara Deu Jek vs Bobotoh/Viking.

Menurut berita yang beredar (dan saya ketahui setelah pulang), kerusuhan di 15 menit babak pertama itu terjadi setelah Bobotoh masuk ke Tribun Selatan (yang menurut perjanjian diperuntukan untuk Bobotoh). Di Tribun Selatan, para Bobotoh melepaskan dan mengambil spanduk/banner Deu Jek yang terpasang di Tribun Selatan. Terjadi kerusuhan akibat Deu Jek marah dan mengejar Bobotoh yang jumlahnya masih sedikit.
Bobotoh membakar Syal Deu Jek di MIS, 280813

Di saat mereka mengejar itulah rombongan Bobotoh dari Bandung baru bisa masuk. Kedatangan kami pun disambut dengan beberapa lemparan batu dan lemparan petasan oleh Deu Jek dari Tribun Selatan ke parkiran.Sepertinya mengetahui kami datang, akhirnya Deu Jeuk kocar-kacir kembali ke Tribun Timur. Selain itu pihak Polres Sleman juga, katanya, melepaskan gas air mata ke kerumunan Deu Jek yang merangsek dari arah Tribun Selatan.

Tapi di luar semua yang terjadi di dalam lapangan, Saya sangat menikmati perjalanan ke Sleman ini. Ini adalah 'away day' pertama ke luar kota dengan tajuk pertandingan 'el classico'. Saya cenderung memaksakan diri untuk mengikuti tour berbahaya ini karena ingin memuntaskan proyek fotografi saya untuk www.matabobotoh.blogspot.com yang saya awali di tahun 2011.

Match Steward mengamankan Red Flare yang dilemparkan Deu Jek ke tengah lapangan setelah pertandingan usai. Menjelang babak ke-2 Deu Jek melakukan hal yang sama.
Tetapi karena pertandingan ini pertandingan emosional, saya tidak terlalu banyak memotret. Emosi psikologis saya lebih terbangun untuk berhadapan dengan Deu Jek dalam 'open fight' daripada untuk memotret. Sepanjang pertandingan, saya lebih banyak mondar-mandir ke arah Tribun Selatan, yang menghubungkan Tribun Barat (Bobotoh - Viking) dengan Tribun Timur (Deu Jek). Berharap ada serangan dari Deu Jek atau ada komando untuk menyerang.

Tapi syukurlah, tidak terjadi kerusuhan yang lebih besar. Sampai pertandingan berakhir dengan skor 1-1 tidak ada 'open fight'. Ada beberapa gangguan dari deu Jek maupun Bobotoh, tetapi lebih condong pada terror mental untuk pemain. Di akhir pertandingan, kami masih menunggu 'saat itu' terjadi dan tidak mau keluar tribun walau sudah dihimbau oleh pihak kepolisian. Akhirnya kami baru bubar setelah perwakilan dari BCSx PSS Sleman/Slemania meminta kami untuk bubar.



Sungguh suatu pengalaman yang menyenangkan, mendebarkan, dan rasanya membuat 15 tahun lebih muda. Akan diingat dan diceritakan sepanjang masa pada anak cucu kelak bahwa Bobotoh berulangkali berani 'membirukan' stadion yang dikelola Persija pada pertandingan 'home' mereka. Sedangkan Deu Jek belum pernah menyentuh lagi stadion Siliwangi atau SJH semenjak tahun 1999. Di mana pada saat itu di terjadi kerusuhan antara Bobotoh vs Deu Jek di Stadion Siliwangi Bandung.

BAGIMU PERSIB, JIWA RAGA KAMI

4.04.2013

Pasukan Khusus Puragabaya dan Kopassus


Di dalam novel 'Pangeran Anggadipati' dari serial 'Seri Ksatria Hutan Larangan' atau Serial Puragabaya karya Saini K.M. (Bentang Pustaka, 2008), dikisahkan tentang sepak terjang satria Sunda , Pangeran Anggadipati saat menempuh pendidikan menjadi seorang Puragabaya.

Puragabaya adalah pasukan khusus dari kerajaan Pajajaran yang dikisahkan memiliki kemampuan keprajuritan (kanuragan) sekaligus kepanditaan. Proses menjadi seorang Puragabaya sangatlah berat, harus menempuh latihan dan gemblengan lahir batin hingga mereka bisa dikirimkan oleh Prabu Siliwangi menjalankan tugas-tugas khusus.

Setelah lulus, para Puragabaya ini hanya diperbolehkan menggunakan kujang sebagai senjatanya. Para Puragabaya tidak boleh menggunakan pedang, panah, tombak, dan senjata-senjata lain yang lebih besar atau lebih panjang dari kujang. Para Puragabaya ini dilatih untuk 'close combat' atau 'hand to hand combat'. Ini yang membuat mereka dilatih sangat keras, baik lahir maupun batin.

Selain untuk menjaga keselamatan Prabu Siliwangi dan anggota kerajaan lainnya, para Puragabaya ini juga dilatih untuk melakukan misinya secara 'stealth' (tarapti, rahasia, nyamuni) dan melumpuhkan musuhnya dengan sunyi. Oleh karena itu para Purabaya memiliki kemampuan khusus yang jarang dikuasai oleh prajurit lain.

Kepanditaan seorang Puragabaya juga menjadikan mereka prajurit yang sangat dekat Tuhannya. Karena mereka sadar bahwa tanpa bantuan Sang Hyang Tunggal, semuanya akan sia-sia. Oleh karena itu para Puragabaya jiwanya terisi pada pengabdian terhadap tuhannya. Para Puragabaya harus bisa menahan nafsu dan syahwat dunia. harus bisa menahan emosi di saat bertugas. Bila dibandingkan, Puragabaya ini mungkin mirip dengan prajurit-prajurit Sparta dalam film epik '300' (Warner Bros; 2006. Sutradara/Naskah: Zack Snyder).

'Lebih baik pulang nama daripada gagal dalam tugas'. 
Mereka dilatih untuk berhasil, bukan untuk gagal :)

foto @Syailendrahafiz @KFPJatim di instagram RepublikaOnline

Serial Saini K.M. ini yang membuat saya semakin 'kagum' dengan Kopassus, satuan pasukan TNI AD, yang dalam fantasi saya dilatih sebagaimana para Puragabaya. Tentu hal ini juga beralasan, Kopassus TNI AD dinobatkan sebagai pasukan satuan khusus terbaik ke-2 dunia setelah SAS (Inggris). Prestasi Kopassus yang layak disebut adalah banyak negara-negara lain, terutama di Afrika, yang pasukan khususnya dilatih oleh anggota Kopassus TNI-AD.

Tetapi setelah kejadian penyerbuan LP Cebongan terkuak, saya cukup kecewa dengan Kopassus. Kecewa karena mereka tidak mempraktekkan apa yang telah mereka pelajari selama ini: Stealth dan Silent Kill. Apalagi cuma untuk 'membasmi' cecunguk-cecunguk kriminal yang tak berdaya di dalam LP. Kecewa karena oknum-oknum prajurit itu tidak mampu menghalau emosi, dendam dari jiwanya, padahal mereka telah berlatih keras untuk itu.

1.10.2013

TELEVISI - BUDI RAHAYU TAMSYAH (1982)


DUR bedug. Ngong adan. Nu imahna pipir masjid mah sok kahudangkeun, turug-turug ayeuna mah geus make spiker masjid téh. Matak éra mun sakalieun harorem teu salat subuh berjamaah téh.
Eta spiker téh minangka wakaf ti Ama Haji Patah suwargi, kumplit jeung akina sagala anu dua belas volt, mani sadua-dua. Disetrumna piligenti, ari mayarna maké duit kas masjid. Tambah gawé keur Mang Merebot.
Nyata kagunaanana teh lain ukur keur adan baé. Bubuhan deukeut ka Balé Désa, nya sok dimangpaatkeun ka Pamaréntah Désa. Upamana baé basa rek bakti pikeun ngabatu jalan désa, pisapoeeunana méh unggal w aktu Pa Wakil ngembarkeun make spiker masjid. “Ulah hilap ka sakumna masarakat désa, énjing, dinten Jumaah supados ngalaksanakeun bakti. Urang sami-sami ngalereskeun jalan désa."
Atuh dina prungna bakti, éta spiker téh teu eureun-eureun disada ti mimiti nepi ka lekasanana. Uar pangajak jeung sabangsana. Pa Lurah piligenti jeung Pa Wakil, maréntah ka nu keur digarawé, atawa nganuhunkeun ka nu geus ngirim lalawuh. Da kitu ilaharna, mun teu milu bakti piraku wé teu cai-cai acan mah. "Eta gé sami kénéh bakti", cek Pa Lurah.
Jempé Pa Lurah jeung Pa Wakil, ana celengkeung téh sora cempréng, sora bogana si Eméd. "Hatur nuhun ka Mang Mansur anu tos badé ngintun leueuteunana, sareng hatur nuhun deuih ka Mang Udin nu tos ngintun rokona anu teu acan dugi".
Nu ngadenge sareuri. Nyuntik ti dituna mah, pedah Mang Mansur jeung Mang Udin teu katingali bakti. Jeung enyana deuih, teu kungsi lila tingkurunyung titah- miana mawa kulub hui, kulub sampeu, jeung roko. Geus kitu mah nu teu milu bakti téh buru-buru bararangkirim. Tayohna mah sieun di kana spikerkeun. Ma’lum atuh di kampung, teu sirikna ti tungtung nepi ka tungtung téh pada nyaho. Ngan aya untungna, nu teu milu bakti teh kalolobaanana mah jalma nu kaitung mampuh.
Malah hiji poe mah tina eta spiker teh kungsi aya bewara kieu: "Ka Bi Utih, diantos pisan ku Ibu Lurah, énggal saurna téh. Tong hilap nyandak pesenanana téa. Hatur nuhun".
Lain sakali baé kadéngé bewara nu sipatna pribadi téh. Ditujukeun ka Mang Anu, Bi Anu, Pa Anu, Ibu Anu, kitu téa kieu téa. Ti saha wé datangna mah, sabab keuna ku paribasa: uyah mah tara téés ka luhur.
Ku lantaran éta spiker, barudak nu ngaji di masjid beuki rempeg baé. Méméh dur magrib geus dariuk pahareup-hareup, padeukeut-deukeut kana mik. Pupujian patarik-tarik, hayang kadéngé ku balaréa yén nu pangtarikna téh sora manéhna. Kakara eureun mun geus dicaram ku Mang Merebot anu ogé guru ngajina. Breng salat, lebah amin patarik- tarik deui baé, abong barudak.
Réngsé salat magrib barudak mah terus ngaraji, bangun saregut naker. Upama dibéré talaran susuratan, paheula-heula apal. Nu geus apal buru-buru ka hareup pikeun norolangkeun nu geus kacangkemna, sorana ngahaja ditompokeun kana mik. Moal manggih deui we bungahna téh, sorana bisa didéngé sahenteuna ge kadéngé ku nu di luar.
Hiji mangsa, waktu Jumaahan, saméméh manjing waktu bedug lohor Pa Lurah biantara.
"Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarakatuh".
Ditémbalan ku saur manukna sidang jumah, "Waalaikumsalaam"
"Palawargi masarakat désa sadayana, hapunten Sim Kuring ngiring nyarios heula sakedap. Alhamdulillah désa urang téh baris meunang sumbangan televisi ti Pamaréntah, ku nandakeun yén Pamaréntah aya perhatianana ka Urang. Ku kituna Sim Kuring salaku Kepala Désa umajak ka sakumna masarakat désa sungkan bener-bener ngaronjatkeun deui pangwangunan dina sagala widang. Kamari Sim Kuring disaur ka Kacamatan, tétéla désa urang teh geus meunang pangajén anu hadé ti Pa Camat. Lian ti éta, Sim Kuring miharep pikeun kapayunna sakumna masarakat désa kudu ngarojong kana program, boh anu dijalankeun ku Pamaréntah atanapi Pamaréntahan Désa, saupamina baé bakti, lajeng Keluarga Berencana, sareng nu sanésna. Margi éta téh engkéna pikeun kapentingan urang-urang kénéh baé. Malah sakumaha anu tos disanggemkeun ku Pa Camat, ieu sumbangan televisi teh pikeun ngaronjatkeun kanyaho, atawa élmu pangaweruh urang. Tegesna mah ulah katinggaleun teuing. Demi maksudna anu utami nya eta pikeun leuwih ngaronjatkeun deui hasil pangwangunan anu baris kahontal, salian ti méré hiburan anu séhat ka masarakat désa.
Salajengna atuh éta televisi téa baris dipasrahkeun ku tamu ti Kabupaten, ngahaja badé ka dieu disarengan ku Pa Camat. Dupi waktosna dinten Ahad, pagéto. Ku kituna ka masarakat désa enjing mah kedah beberesih, boh di bumina masing-masing. Utamina anu kedah barérés téh nu bumina sisi jalan, lajeng jalan désa sareng di Balé Désa, panginten éta mah kedah bakti. Sakali deui Sim Kuring nyuhunkeun perhatosanana. Rupina mung sakitu baé ti Sim Kuring. Hatur nuhun, Wassalamualaikum warrohmatullohi wabarrokatuh."
Sanggeus ngadéngé kitu, sidang jumah boga carita séwang-séwangan, sakurang-kurangna dina jero haténa. Ngan anu mimiti katangen nembongkeun kapanujuanana kana caritaan Pa Lurah téh jajaran nu pangtukangna. Kawantu loba budak ngorana, jeung teuing wé ari nu pangtukangna sok ribut lain wayah. Biasa.
Nu baralik jumaahan mawa béja, béja pabéja-béja. Malah éta béja teh nerekab nepi ka désa-désa di sabudeureunana. Poé Minggu baris sumping tamu ti Kabupaten badé masrahkeun televisi. Demi masarakatna, bungah, reueus, jeung teuing rasa naon deui nu nyangkaruk dina dadana. Anu pasti, isukna nu bakti leuwih rempeg, leuwih soson-soson digarawéna. Ngarasa capé gawéna téh geuning teu mubadir, leuwih ti kitu ngarasa aya pangajén kana hasil gawéna. Boga rasa sagala lakon gawena bakal kapalire. Enya, ajén-inajén gumantung kana hasil gawéna.
Teu kacatur kumaha raména acara papasrahan televisi téa, ngan tangtuna gé kajudi ku raména. Ramé ku jelema, malah aya nu nyaruakeun jeung tujuh belas Agustusan sagala. Masarakat némbongkeun kabungahna, nu jadi kabungah ogé pikeun nu saluhureunana.
Televisi nu jadi lantaran kabungah saréréa, ayeuna geus nampeu di buruan Balé Désa. Maké hiji tihang beusi nu jangkungna dua méter. Kotak paranti neundeunna dijieun tina beusi sapaseun televisi tujuh belas inci. Ti dituna geus dicét sing sarwa konéng. Ma’lum anyar, soréna jelema geus ngaliud di buruan Balé Désa rék lalajo televisi téa. Geus puguh ari nu jagjag mah, hiji aki-aki nu geus rarempo silihtungtun jeung incuna nyuay-nyuaykeun jelema réa.
"Cik. atuh Ki, tos sepuh mah calik we di bumi," cek hiji pamuda.
"Ih, puguh havang nyaho tilepsisi. Ulah wungkul cek béja."
"Sanes tilepsisi Abah, tilipisi," incuna ngabenerkeun.
"Aeh. enya éta."
Jelema beuki moyég, televisi can disetél kénéh baé. Manahoréng can aya akina.
"Ti batan euweuh mah enggeus we atuh ganti ku Aki Nata," ceuk Si Eméd.
"Lain kalah ka heureuy, Kéméd," Jurutulis nyereng,"Heug cokot anggursi ka ditu, ka Mang Merebot. Béjakeun wé ceuk Pa Lurah kituh nginjeum heula aki nu anyar nyetrum."
Teu réa carita Si Eméd indit, kacelétot, teu inget yén aki Nata teh uana Jurutulis. Sarta teu kungsi lila manéhna geus datang deui bari manggul aki, dituturkeun ku Mang Merebot. Lebah lawang buruan Balé Désa ngarandeg heula, pok nanya ka hiji mojang.
"Rek lalajo, Nyi?"
Acan ge Nyi Mojang ngajawab, ana gorowok téh ti Balé Désa.
"Buru-buru atuh, Méd! Gampang ngaheureuyan awéwé", barang dilieuk, bréh Jang Aip mencrong ka manéhna barina lajag- léjég.
"Kalem wé atuh, Jang," témbal si Eméd.
"Lain kalem-kalem, da nu ngadaragoan mah kesel."
"Enya, masihna hampang aki téh."
"Heueuh, lamun beurat buru-buru!" Jang Aip nyentak. Si Eméd teu némbal. Ari panas mah geus tangtu, sok komo disentak hareupeun awewe. Ngagejrét, ceuk pangrasana.
Sanggeus dipasang-pasang, cetrék atuh televisi teh disetél. Nu lalajo paeuleuh-euleuh. Ahéng. Antukna ka bakating anteng méh lat poho kana waktu. Mang Merebot ngilikan jam tuluy gura-giru indit ka masjid. Dur nakol bedug, terus adan. Nu lalajo kalékéd naker rék ninggalkeun buruan Balé Désa téh, lir nu keur gawé kagok ku hanca.
"Palawargi sadayana, ayeuna tos manjing kana waktosna pikeun netepan magrib". Kakara aya bewara kitu, da biasana méméh bedug gé jelema téh sok geus araya di masjid.
Mang Merebot kaleungitan ku barudak nu sok pacowong-cowong pupujian di masjid méméh solat magrib, kaleungitan ku hiji kaayaan. Malah saréngséna salat magrib gé sakedapan masjid téh geus pada ninggalkeun. Tinggal Mang Merebot jeung Pa Haji Isak katilu anakna Mang Merebot. Kitu gé budak mah geus élékésékéng baé, léngo deui léngo deui kana panto. Mang Merebot surti, "jig, atuh Ya, bisi hayang lalajo televisi mah."
Si Uya melong ka bapana, nganuhunkeun, nu tadina alum téh ngadadak marahmay. Jung cengkat.
"Ngan kadé ulah poho salat Isa."
"Mangga," tembal budak. Ka luar ti masjid teu sirikna notog-notogkeun manéh, hayang buru-buru lalajo televisi jeung batur-baturna.
".... barudak téh," ukur kitu caritana Mang Merebot. Neuteup kosong kajauhna.
"Biasa anyar keneh. Engké gé lila-lila mah baroseneun," ceuk Pa Haji Isak, "Ngan taya gorengna upama Emang ngusulkeun ka Pa Lurah supaya éta televisi téh dipareuman heula ti saméméh magrib nepi ka bada Isa. Lain ku nanaon, ieu mah sangkan teu ngaganggu kana ngajina barudak."
"Saé, saé éta usul téh," Mang Merebot mairan bari unggut-unggutan tanda panuju, “Keun énjing mah urang carioskeun ka Pa Lurah."
Isukna éta usul téh dilaksanakeun, kitu gé sanggeus ramé heula padungdengan.
"Enggeus wé atuh televisina pindahkeun ka hareupeun masjid," cek Si Eméd.
Tapi kaputusan Pa Lurah tetep kudu dilaksanakeun Ngan hanjakal can gé isa-isa acan televisi téh geus disetél deui. Horéng simanahoréng padamelan Ibu Lurah wiréh putrana anu bungsu ngarenghik baé palay nongton televisi.
Barang kabireungeuh ku barudak nu keur ngaraji, bet jadi siga nu paranas bujur, teu daék cicing. Diukna padeukeut-deukeut kana panto. Mang Merebot nganaha-naha, kitu ge ukur na jero hate. Ari Pa Lurah...
Ayeuna Désa téh teu combrék teuing, komo di sabudeureun Balé Désa mah geus réa nu dadasar ngadon dagang. Resep puguh gé, bari susuganan aya nu mileuleuheungkeun.
Nyi Amah gé harita teh keur lalajo, ieu kasempetan hadé téh teu diantep ku Jang Aip, anu memang geus aya sir ti anggalna kénéh.
"Nyi, nongton?" manéhna nanya.
"Muhun," tembal Nyi Amah bari imut. Atuh puguh we pikeun Jang Aip mah asa dibéré haté.
"Sareng saha?"
"Ah, duaan wé," Maksudna mah duaan jeung adina. Padahal teu kitu, sabab nu keur lalajo harita téh leuwih ti sa-RT-eun. Ukur kitu, tungtung na mah paheneng-heneng. Panon lalajo sotéh da ari kahayang mah bacéo. "Ah, isukan mah moal jeung si Toha," cek pikir Nyi Amah.
Batu turun keusik naék, ku remen lalajo bareng téa, antukna mah lain ukur rindat jeung kelét baé. Nepi ka hiji peuting wawuh, wanoh, jeung bogoh disampurnakeun ku indit ka nu liuh. Nyampurnakeun kapanasaran anu dikipasan ku sétan. Hawa sucina désa nyaksian dua raga nu nganteur pataremana dua rasa: cinta jeung nafsu, ngawujud jadi lampah nu muyarkeun hiji ajén. Lantaran aya lolongkrang.
Sabuni-buni ge anu modol, barang kaambeu bauna teu lila gé geus jadi sabiwir hiji. Si Anu jeung Si Anu kapanggih keur anu ku Si Anu.
"Astagfirullahal’adzim", Pa Haji Isak ngusap beungeut barang éta béja nepi kana ceulina, "Enya éta téh, Mang?"
"Ari leres henteuna mah wallohualam, da Emang gé ukur cek béja," tembal Mang Merebot.
"Lain, lamun enya téa mah, Mang. Salila kuring inget asa kakara aya kajadian sarupa kitu di dieu. Geus puguh ari di dayeuh mah da loba kacaritakeunana. Ngan urang téh kudu asak sasar bisi ukur pitenah, jalma téa saha nu nyaho. Der deuih engké urang kababawa milu mitenah jalma nu teu tuah teu dosa."
Tungtungna éta nu jadi catur téh tepi ka Jang Aip. Paingan, ceuk pikirna, nu ngobrol sok ngadak-ngadak eureun mun datang aing, atawa tingkecewis. Moal salah ngomongkeun éta téh. Dina haténa aya prasangka, nu sok ngabarubahkeun sagala rupa. Beungeut-beungeut katingalina siga kedok, dina basa karasana aya rasa anu nyamuni.
Tangtu aya sumberna, saha atuh nu geus ngaliarkeun taleus ateul teh? Naléngténg ka ditu ka dieu, weléh taya jawaban anu pasti. Teu pegat harepan, manehna nanyakeun ka hiji budak.
"Da .... da ... da abdi mah ... ceuk ... ceuk Kang Eméd," ngajawabna bangun kasima.
Ngadéngé kitu beungeut Jang Aip reup geuneuk ray pias, awakna ngagidir nahan amarah. Leumpang dangah sajajalan nananyakeun Si Eméd.
"Aya naon, Jang?" teu nembalan. Nu nanya kitu lain saurang lain dua urang.
Barang gok jeung Si Eméd, teu tata pasini deui ujug-ujug jekuk we atuh beungeut Si Eméd diteunggeul.
"Wuaduh!" Si Eméd ngagoak kagét jeung nyeri. Jang Aip rék mindo tapi kaburu dipisah ku jalma réa nu tadi panasaran hayang nyaho nu baris kajadian. Jang Aip pada ngarejeng.
"Leupaskeun! Leupaskeun!" ceuk Jang Aip bari teterejelan. Gedé wawanén pangaruh bapa gedé dunya.
"Ke. ke aya naon ieu teh, Jang!"
"Ah, pokona mah leupaskeun. Urang warah tah si bangkawarah téh!”
"Tenang, tenang .... aya naon ieu téh, Méd?"
"...ka teuing", témbal Si Eméd bari ngusapan pipi kéncana anu bengep, "Kasarumahan meureun!"
"Sia ari ngomong teh ulah sok sambarangan!" ceuk Jang Aip bari tutunjuk, dihalangan ku Mang Endin.
"Ari aing ngomong naon ka sia, hah?" Si Eméd ngalayanan. Bet sireum gé ditincak-tincak teuing mah ngégél.
"Ah, siah, sia nu ngagogoreng Aing jeung Nyi Amah!"
"Ari enya? Basa keur malem Minggu di kebon tukangeun Balé Désa, saha? Bisi teu percaya jung tanyakeun ka Si Otong jeung Si Karta."
Torojol Mang Merebot. "Meunggeus, meunggeus! Nanahaonan ieu teh ngadon ribut di hareupeun masjid. Astagfirullohal’adzim, siga nu tara ngaji baé. Cing, atuh sing ngahargaan . . .. "
"Geus Jang Aip, jeung Sia deuih Kéméd, milu ka Balé Désa," cek Pa Lurah nu anyar datang aya nu nyusulan, "Kakara aing mah manggih nu kieu patut!"
Jang Aip jeung Si Eméd dibawa ka Balé Désa, diabringkeun siga sakitan.
Dur bedug. Ngong adan.
Di masjid ukur aya Mang Merebot jeung Pa Haji Isak, bari pupujian ngadagoan nu lian anu masih kénéh di Balé Désa.
Cetrek, televisi dipareuman.

Ikayasa - Bandung '82.
Manglé No. 837
13 Méi '1982.