Alhamdulillah, setelah lama mengidamkan sebuah perjalanan ke Kep. Mentawai di Sumatra Barat sana, akhirnya keinginan itu terkabul juga. Memang bukan perjalanan pelesir, tetapi lebih sebagai sebuah pekerjaan, assignment. Perjalanan ini merupakan suatu rangkaian perjalanan setelah sebelumnya melakukan observasi dan dokumentasi permasalah-permasalahan yang terdapat di Kepulauan Seribu (Jakarta), TPA Bantar Gebang (Bekasi), Kabupaten Padang Pariaman (Sumatra Barat) dan berakhir di Kepulauan Mentawai (Sumatera Barat).
Observasi dan dokumentasi khususnya yang dilakukan di Kep. Mentawai difokuskan pada masalah sarana dan prasarana transportasi, pembinaan dan dakwah Islam, serta permasalahan lainnya yang mungkin berkaitan dengan kedua permasalahan utama tersebut. Assignment ini mengharuskan saya merekam berbagai aspek permasalahan tersebut ke dalam format video semi dokumenter untuk kepentingan lembaga yang menugaskan saya, Badan Wakaf Al Qur'an Jakarta (BWA). Observasi ini difokuskan di Kecamatan Siberut Selatan, Pulau Siberut Kep. Mentawai. Pembatasan wilayah ini dilakukan mengingat luasnya wilayah observasi yang tidak bisa dijangkau dengan mudah mengingat keterbatasan sarana transportasi, faktor cuaca, waktu dan biaya yang tersedia.
Dari hasil observasi, ada beberapa catatan mengenai masalah dalam upaya pengembangan dakwah dan pembinaan umat Islam di Mentawai. Pada observasi ini juga dilakukan beberapa interview dengan tokoh masyarakat, tokoh agama, serta warga masyarakat lainnya, yang direkam ke dalam videotape. Sebagai resume awal, masalah dalam pengembangan dan pembinaan umat Islam di Kep. Mentawai umumnya meliputi minimnya dan mahalnya biaya transportasi, rendahnya kesejahteraan para da'i di pedalaman, serta tidak optimalnya pembinaan umat Islam di pedalaman.
Secara umum, di Pulau Siberut terdapat dua kelompok masyarakat, yakni masyarakat asli Suku Mentawai dan masyarakat pendatang. Masyarakat suku Mentawai ini umumnya berdiam di desa-desa di pedalaman. Masyarakat pendatang umumnya berasal dari suku Minang, Jawa, Nias, Batak atau suku lainnya. Dari segi keagamaan,mereka menganut agama Islam, Protestan, Katolik, serta kelompok kecil penganut agama Baha'i. Agama asli Mentawai,Sabulungan, pun masih banyak penganutnya. Sabulungan lebih merupakan animisme-dinamisme yang diwariskan dari nenek-moyang suku Mentawai.
Mahalnya biaya transportasi disebabkan oleh belum adanya jalan darat yang menuju ke pedalaman. Untuk menuju pedalaman dipergunakan sarana transportasi air berupa sampan dan perahu dengan mengikuti aliran sungai yang berasal dari hulu atau menyusuri garis pantai. Dengan demikian biaya bahan bakar yang dipergunakan juga menjadi sangat mahal. Sebagai misal, untuk menempuh perjalanan pergi pulang ke sebuah desa yang berada di pedalaman dengan waktu tempuh l.k. 2 jam, diperlukan BBM sebanyak 40 liter senilai Rp. 280.000. Biaya tersebut tidak termasuk sewa perahu dan upah dua orang kru (pengemudi dan navigator). Dapat terhitung berapa banyak biaya bila dalam dua kali sebulan misalnya, para da'i di pedalaman ini harus turun ke Muara Siberut yang berada di pantai Timur untuk mengakses informasi, berbelanja kebutuhan hidup seperti sembako, atau keperluan dakwah lainnya. Itu baru desa yang dekat. Belum lagi bila desa yang berada di pantai barat Pulau Siberut, yang berada di balik hutan dan perbukitan yang jarang tersentuh manusia.
Selain faktor biaya, transportasi juga sangat dipengaruhi cuaca dan pasang-surut air laut serta sungai. Dengan kata lain, tersedianya alat dan biaya transporasi juga tidak menjamin dapat terlaksananya perjalanan ke pedalaman. Sebab di saat air surut, perahu tidak dapat melewati terusan (sodetan) sungai yang menjadi jalan pintas transportasi dari dan ke pedalaman. Kalaupun harus mengikuti jalur utama sungai, maka waktu tempuh akan semakin lama dan jarak tempuh akan semakin panjang. Biaya transportasi pun akan meningkat drastis. Belum lagi tak jarang mereka harus kembali lagi ke titik awal perjalanan karena perahu mereka tidak dapat menembus cuaca yang buruk serta ombak yang besar.
Begitu pula dengan komunikasi. Sampai saat tulisan ini dibuat, baru ada satu BTS milik satu operator telekomunikasi di desa Muara Siberut. Itupun kadang-kadang mengalami gangguan sehingga tidak dapat dilakukan komunikasi. Pancaran sinyal pun terbatas, tidak menjangkau ke pedalaman yang rata-rata berada di balik perbukitan. Sehingga komunikasi hanya dapat dilakukan dalam wilayah yang sangat terbatas. Saluran telepon Telkom pun hanya menjangkau desa Mailepet dan Muara Siberut saja.
Kondisi keuangan dan kesejahteraan para da'i di pedalaman juga tidak kalah menyedihkannya. Para da'i di pedalaman rata-rata hanya mendapat honor Rp. 700.000 rupiah per bulan, yang tentu sangat jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka. Bisa saja para da'i tersebut harus bekerja atau berdagang untuk mendapat tambahan dana untuk kelangsungan hidupnya. Tetapi akibatnya pembinaan umat menjadi terbengkalai dan umat Islam di pedalaman yang rata-rata mualaf itu menjadi kehilangan pegangan.
Dengan sistem dan sarana transportasi yang ada, sulitnya komunikasi, serta rendahnya kesejahteraan da'i, maka dampak yang paling terasa adalah pada pembinaan umat. Umat yang dimaksud di sini adalah umat Islam yang berada di pedalaman yang rata-rata merupakan penduduk asli suku Mentawai dan tergolong mualaf. Indikatornya sulitnya pembinaan ini antara lain adalah masih banyaknya umat Islam di pedalaman yang memelihara dan mengkonsumsi daging babi. Hal ini disebabkan karena adat-istiadat yang diwariskan nenek-moyang mereka memang seperti itu. Selain itu, masih bercampur-baurnya ajaran agama Islam dengan pemahaman agama leluhur mereka, Sabulungan. Umat Islam di pedalaman masih mempercayai Sikerei sebagai orang yang dapat berhubungan dengan roh-roh nenek moyang, berkomunikasi dengan mereka, serta memberikan kesembuhan atas berbagai penyakit melalui mantera-manteranya. Bla ada seseorang yang sakit, maka diadakanlah upacara turuk yang dipimpin oleh Sikerei. Pada upacara ini Sikerei memberi pengobatan secara fisik dengan obat-obatan herbal serta memanggil roh-roh nenek-moyang mereka untuk meminta kesembuhan atas penyakit yang diderita pasiennya.
Permasalahan di atas sebetulnya dapat diringankan bila kita sebagai umat Islam yang lebih 'civilized' tergerak hati dan mau membantu mereka. Peluang beribadah melalui harta ini dapat disalurkan pada lembaga-lembaga agama Islam yang memiliki program pengiriman da'i dan pembinaan umat di Kepulaun Mentawai. Salah satu lembaga ini adalah BWA atau Badan Wakaf Al Qur'an (www.wakafquran.org) yang beralamat di Jalan Tebet Timur Dalam 1 no. 1 Jakarta, telepon 021-8350084 (hunting).BWA adalah lembaga pengumpul wakaf dan donasi yang akan disalurkan guna pengembangan dan pembinaan umat Islam di berbagai pelosok di tanah air.
Untuk Kep. Seribu dan Kep. Mentawai, BWA merasa salah satu solusi untuk permasalahan minim dan mahalnya sarana transportasi air adalah dengan mewakafkan kapal atau perahu. Kapal atau perahu yang sesuai dengan perairan kepulauan ini akan menjadi transportasi para da'i yang bertugas di pedalaman. Dengan demikian pembinaan umat dapat berjalan lebih lancar karena tidak harus menumpang kapal atau perahu reguler yang jadwalnya terbatas. Selain itu BWA juga berupaya untuk mengembangkan wakaf produktif, sehingga dapat digunakan sebagai modal usaha para da'i atau umat Islam, terutama yang tinggal di pedalaman atau di pulau-pulau yang jauh terpencil.Untuk lengkapnya dapat menghubungi BWA dengan alamat tersebut. Informasi mengenai BWA bisa didapat dari website mereka di www.wakafquran.org. Di mana BWA ini memiliki pengalaman dalam mewakafkan kapal yang digunakan untuk pembinaan umat Islam di Papua/Irian Jaya.
Kita bisa berjihad memerangi kebodohan dan kejahilan, dapat berjihad dengan dengan mewakafkan sebagian dari harta kita. Saudara-saudara muslim kita yang tinggal jauh di pedalaman sangat memerlukan perhatian dan bantuan agar dapat menjadi umat Islam yang khaffah dan mulia. Mari kita mudahkan perjalanan spiritual mereka agar mereka tetap berada di jalan Alloh SWT untuk mengamalkan Al Quran dan menjalankan sunah Rasulullah SAW.
Informasi lengkap:
BADAN WAKAF AL QUR'AN (BWA) JAKARTA
Jalan Tebet Timur Dalam 1 no. 1 Jakarta, telepon 021-8350084 (hunting)
website: www.wakafquran.org
e-mail: admin@wakafquran.org
Foto-foto observasi dan dokumentasi Mentawai dapat diakses di http://www.facebook.com/ricky.bapanasikaka?ref=profile#/photo.php?pid=2911480&id=715618858
11.27.2009
10.30.2009
Mainan Anak Pemikiran Bapak
Mainan anak-anak adalah hal yang lumrah hadir di dalam setiap rumah tangga. Mainan juga merupakan stimulan positif agar anak-anak dapat mengembangkan kepribadian, keterampilan, juga wawasan dan pola pemikirannya. Dengan demikian mainan anak-anak yang baik dan sehat memang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan anak. Pemberian mainan kepada anak juga merupakan salah satu bentuk kasih sayang orang tua terhadap anak-anaknya.
Tetapi, bagaimana bila sang Bapak, melihat sisi lain dalam mainan itu? Dalam kerangka pemikiran fotografis, mainan anak-anak itu kemudian menemukan makna dan simbol yang lain dalam benak si Bapak...
Tetapi, bagaimana bila sang Bapak, melihat sisi lain dalam mainan itu? Dalam kerangka pemikiran fotografis, mainan anak-anak itu kemudian menemukan makna dan simbol yang lain dalam benak si Bapak...
8.14.2009
PUISI KEMERDEKAAN
http://6ix2o9ine.blogspot.com
Mari rayakan kemerdekaan
berpawai, arak-arakan keliling kota
memakai kostum warna-warni
kupilih baju pahlawan bertopeng, Spiderman
dan beberapa teman memakai baju Batman juga Superman
Saat haus mendera, minum saja Coca Cola atau Fanta
sambil mengepulkan asap Marlboro juga Lucky Strike
di telingaku kupasang earphone agar bisa
mendengarkan lagu-lagu Metallica
dengan mp3 player buatan Cina
saat lapar kubuka bekal dari mama
sepotong ayam Kentucky Fried Chicken
dan setangkup burger Mc Donald
kulanjutkan perjalanan memakai Yamaha lalu naik Toyota
bahagianya hari ini
teriknya matahari menerpa kulit yang menghitam
namun tak perlu khawatir
karena telah kulapisi Johnson dengan 'n Johnson juga Nivea
Sore hari usai sudah keramaian
melepas lelah di Starbucks sambil chatting via Yahoo Messenger
ke teman-teman seluruh Indonesia
di laptop Toshiba yang memakai OS Windows Vista
membaca e-mail masuk di Gmail
browsing berita meriahnya kemerdekaan di CNN.com
terkadang tertawa terbahak melihat kelakuan
Bart Simpson di channel Cartoon Networks
di televisi plama 27 inci buatan Korea
Malam menjelang
kemeriahan berlanjut di tempat hiburan malam
berdisko hingga pagi di Embassy
dan mabuk berbotol-botol whisky, vodka, juga sedikit mariyuana
berakhir dengan ngesex bersama perempuan pirang asal Belanda
dengan berbagai gaya yang kudapat dari Kamasutra
ah, nikmatnya kemerdekaan
Merdeka
Merdeka
Merdeka!!!
(bahkan sebetulnya kita tak pernah
tahu bagaimana cara mengeja kata
M-E-R-D-E-K-A...)
180807
Mari rayakan kemerdekaan
berpawai, arak-arakan keliling kota
memakai kostum warna-warni
kupilih baju pahlawan bertopeng, Spiderman
dan beberapa teman memakai baju Batman juga Superman
Saat haus mendera, minum saja Coca Cola atau Fanta
sambil mengepulkan asap Marlboro juga Lucky Strike
di telingaku kupasang earphone agar bisa
mendengarkan lagu-lagu Metallica
dengan mp3 player buatan Cina
saat lapar kubuka bekal dari mama
sepotong ayam Kentucky Fried Chicken
dan setangkup burger Mc Donald
kulanjutkan perjalanan memakai Yamaha lalu naik Toyota
bahagianya hari ini
teriknya matahari menerpa kulit yang menghitam
namun tak perlu khawatir
karena telah kulapisi Johnson dengan 'n Johnson juga Nivea
Sore hari usai sudah keramaian
melepas lelah di Starbucks sambil chatting via Yahoo Messenger
ke teman-teman seluruh Indonesia
di laptop Toshiba yang memakai OS Windows Vista
membaca e-mail masuk di Gmail
browsing berita meriahnya kemerdekaan di CNN.com
terkadang tertawa terbahak melihat kelakuan
Bart Simpson di channel Cartoon Networks
di televisi plama 27 inci buatan Korea
Malam menjelang
kemeriahan berlanjut di tempat hiburan malam
berdisko hingga pagi di Embassy
dan mabuk berbotol-botol whisky, vodka, juga sedikit mariyuana
berakhir dengan ngesex bersama perempuan pirang asal Belanda
dengan berbagai gaya yang kudapat dari Kamasutra
ah, nikmatnya kemerdekaan
Merdeka
Merdeka
Merdeka!!!
(bahkan sebetulnya kita tak pernah
tahu bagaimana cara mengeja kata
M-E-R-D-E-K-A...)
180807
8.07.2009
Tribute to Si Burung Merak, W.S. Rendra: Sepenggal Kenangan
Innalillahi wa innalillahi roji'un
Sepenggal doa itu terlintas saat beberapa saat lalu saya mendengar berita berpulangnya Oom Willy a.k.a W.S. Rendra. Berita meninggalnya Oom Willy sangat mengagetkan. Saya sedang menyaksikan Trans7, menonton "Bukan Empat Mata"-nya Tukul. Pada acara itu ditayangkan lokasi pemakaman Mbah Surip di sekitaran Bengkel Teater-nya Oom Willy, Saat jemari iseng menekan tombol remote berpindah channel ke MetroTV, berita duka tersebut merasuk ke rumah mungil kami melalui breaking news.
Sungguh, secara pribadi saya mengenal Oom Willy hanya dari puisi, tulisan, karya, dan berita-berita yang meliput dirinya. Dua kali saya bertemu beliau. Pertama saat beliau diundang untuk membaca puisi ke kampus kami di Jatinangor. Saat itu saya masih kuliah semester VIII. Saat itu saya sangat gelisah karena bertepatan dengan pertunjukan Oom Willy saya harus mengikuti ujian Bahasa Sansekerta untuk kedua kalinya setelah gagal di semester sebelumnya. Bila saya mengikuti ujian, maka saya tidak akan bisa menonton Oom Willy baca puisi. Tapi bila menonton, maka saya harus mengulang lagi mata kuliah bahasa Sansekerta yang mengerikan itu untuk ke-3 kalinya..
Saya pilih opsi kedua. Dengan berpura-pura hendak ke belakang, saya minta izin pada Ibu Dosen untuk keluar kelas. Syukurlah, diizinkan. Alih-alih ke toilet, saya bergegas ke parkiran depan Dekanat Fak. Sastra untuk menonton pertunjukan yang belum lama mulai. Suatu keputusan yang tidak pernah saya sesali.
Saya memang kemudian harus mengulang kembali mata kuliah itu. Tapi saya tidak pernah menyesal. Bagi saya, bisa menonton langsung pertunjukan Oom Willy lebih berharga karena kesempatan itu mungkin tidak akan pernah ada lagi. Dan memang, pertunjukan oom Willy di Sastra Unpad hanya terjadi satu kali, di tahun 1996 itu. Syangnya, dua buku puisinya yang mendapat bubuhan tandatangannya, hilang dipinjam teman yang tak bertanggungjawab.
Kali kedua datang tahun 1998. Tapi saat itu Oom Willy hadir sebagai pembicara utama dalam diskusi Politik dan Seni di STISI Bandung. Suasana saat itu masih panas mengingat belum lama rezim Soeharto jatuh dan keadaan negara masih dalam keadan genting. Masih dengan operandi yang sama: saya bolos kuliah, untungnya tapi saat itu bukan musim ujian.
Oom Willy... Selamat jalan. Biarlah yang lain menuliskan tentang dirimu. Tetapi bagi saya, kehadiran Oom akan selalu dirasakan. Karena setiap pemberontakan, setiap pekik kesedihan, setiap pekik keinginan untuk bebas dan merdeka, keinginan untuk mendapat keadilan, keinginan untuk mendapat pengakuan sebagi manusia yang selama ini menjadi bagian hidup saya, sedikit banyak dipengaruhi oleh karya-karya Oom Willy.
Selamat jalan OOm Willy. Selamat Jalan oom Rendra. Semoga Alloh SWT menerima semua amal ibadah Oom. Bagi Indonesia, Oom adalah puisi itu sendiri. Teater itu sendiri. Oom adalah seni itu senditi...
Innalillahi wa inna illaihi roji'un. Semua yang berasal dari Alloh akan kembali pada-Nya.
Sepenggal doa itu terlintas saat beberapa saat lalu saya mendengar berita berpulangnya Oom Willy a.k.a W.S. Rendra. Berita meninggalnya Oom Willy sangat mengagetkan. Saya sedang menyaksikan Trans7, menonton "Bukan Empat Mata"-nya Tukul. Pada acara itu ditayangkan lokasi pemakaman Mbah Surip di sekitaran Bengkel Teater-nya Oom Willy, Saat jemari iseng menekan tombol remote berpindah channel ke MetroTV, berita duka tersebut merasuk ke rumah mungil kami melalui breaking news.
Sungguh, secara pribadi saya mengenal Oom Willy hanya dari puisi, tulisan, karya, dan berita-berita yang meliput dirinya. Dua kali saya bertemu beliau. Pertama saat beliau diundang untuk membaca puisi ke kampus kami di Jatinangor. Saat itu saya masih kuliah semester VIII. Saat itu saya sangat gelisah karena bertepatan dengan pertunjukan Oom Willy saya harus mengikuti ujian Bahasa Sansekerta untuk kedua kalinya setelah gagal di semester sebelumnya. Bila saya mengikuti ujian, maka saya tidak akan bisa menonton Oom Willy baca puisi. Tapi bila menonton, maka saya harus mengulang lagi mata kuliah bahasa Sansekerta yang mengerikan itu untuk ke-3 kalinya..
Saya pilih opsi kedua. Dengan berpura-pura hendak ke belakang, saya minta izin pada Ibu Dosen untuk keluar kelas. Syukurlah, diizinkan. Alih-alih ke toilet, saya bergegas ke parkiran depan Dekanat Fak. Sastra untuk menonton pertunjukan yang belum lama mulai. Suatu keputusan yang tidak pernah saya sesali.
Saya memang kemudian harus mengulang kembali mata kuliah itu. Tapi saya tidak pernah menyesal. Bagi saya, bisa menonton langsung pertunjukan Oom Willy lebih berharga karena kesempatan itu mungkin tidak akan pernah ada lagi. Dan memang, pertunjukan oom Willy di Sastra Unpad hanya terjadi satu kali, di tahun 1996 itu. Syangnya, dua buku puisinya yang mendapat bubuhan tandatangannya, hilang dipinjam teman yang tak bertanggungjawab.
Kali kedua datang tahun 1998. Tapi saat itu Oom Willy hadir sebagai pembicara utama dalam diskusi Politik dan Seni di STISI Bandung. Suasana saat itu masih panas mengingat belum lama rezim Soeharto jatuh dan keadaan negara masih dalam keadan genting. Masih dengan operandi yang sama: saya bolos kuliah, untungnya tapi saat itu bukan musim ujian.
Oom Willy... Selamat jalan. Biarlah yang lain menuliskan tentang dirimu. Tetapi bagi saya, kehadiran Oom akan selalu dirasakan. Karena setiap pemberontakan, setiap pekik kesedihan, setiap pekik keinginan untuk bebas dan merdeka, keinginan untuk mendapat keadilan, keinginan untuk mendapat pengakuan sebagi manusia yang selama ini menjadi bagian hidup saya, sedikit banyak dipengaruhi oleh karya-karya Oom Willy.
Selamat jalan OOm Willy. Selamat Jalan oom Rendra. Semoga Alloh SWT menerima semua amal ibadah Oom. Bagi Indonesia, Oom adalah puisi itu sendiri. Teater itu sendiri. Oom adalah seni itu senditi...
Innalillahi wa inna illaihi roji'un. Semua yang berasal dari Alloh akan kembali pada-Nya.
4.03.2009
MEMIMPIKAN EKSISTENSI MENCITRAKAN KETAKUTAN
http://6ix2o9ine.blogspot.com
:Catatan dari Pameran Foto “Just Kick The Wall”
I
...
It’a never stops dripping. But just try complaining. There must be more than a hundred of them around here. They spend a fortune to set up those big picturesque cirrus. Public relations, they say.
...
(Umberto Eco dalam “The Latest from Heaven”)
Perdebatan tentang apa itu seni berlangsung bahkan jauh sebelum definisi seni itu ditemukan. Berabad-abad lamanya seni diperbincangkan dan didefinisikan. “Seni selalu menolak definisi”, begitu kata Albert Camus. “Dengan demikian seni adalah pemberontakan yang kreatif”, lanjutnya lagi. Begitu pula di saat fotografi yang merupakan new media aesthetic kemudian berkembang dalam banyak wilayah kehidupan manusia. Perdebatan fotografi itu seni atau bukan seni masih mencuat dan menjadi bahan diskusi yang menarik. Sementara itu di dalam fotografi itu sendiri, timbul pula perdebatan tentang apakah karya fotografi itu. Satu pihak menyatakan bahwa fotografi adalah A, satu sisi lain menyatakan fotografi adalah B, dan di sisi lain ada pihak yang mengklaim bahwa fotografi bukan saja A dan B, tetapi juga C.
Michael Risdianto menulis bahwa perdebatan tentang fotografi juga terjadi di awal perkembangannya di Indonesia. Bagaimana seorang karya foto Isidore van Kinsbergen, seorang fotografer yang juga pelukis, ditolak oleh C. Leemans, seorang Kepala Museum Benda Kuno di Leiden yang telah menugaskannya untuk memotret relief di Candi Borobudur pada tahun 1872-1873. Leemans beranggapan bahwa foto-foto relief yang dibuat van Kinsbergen memiliki kesalahan perspektif dan tidak dibuat berdasarkan pandangan keilmuan. Pandangan Leemans yang sempat mematikan karir van Kinsbergen sebagai seorang fotografer, kemudian dibantah oleh Conrad Busken Huet, yang menyatakan bahwa pekerjaan Leemans adalah pekerjaan yang terikat pada aturan formal dan kaku, sedangkan karya van Kinsbergen adalah karya seni.
Perdebatan itu tidak akan berakhir begitu saja, itulah maka kemudian dinyatakan bahwa seni selalu berada dalam tegangan, tension, yang tidak saja berada di wilayah definisi, tetapi juga di wilayah penciptaan dan penafsiran. Wajar saja bila kemudian ada sekelompok anak muda yang merasa perlu melakukan pemberontakan di dalam dunia fotografi dengan meningkatkan tegangan tersebut.
Kelompok itu adalah Brigadepoto#, mirip nama sebuah kelompok gangster jalanan yang sering membuat onar, walau ternyata memang bukan. Pada pameran ke-2 mereka yang bertajuk “Just Kick The Wall”, Brigadefoto# mencoba menawarkan alternatif lain tentang apa itu fotografi menurut mereka. Pameran ini berlangsung 28 Maret s.d. 4 April 2009 di sebuah garasi yang belum selesai di daerah perbukitan di Bandung Utara yang sejuk dan hening.
Sebuah garasi. Betul, keterbatasan nampaknya bukanlah penghalang bagi Brigadefoto# untuk mempresentasikan karya mereka kepada khalayak. Keterbatasan juga adalah hal yang mereka anggap sebagai sebentuk dinding yang perlu ditendang, dan kalau perlu, dihancurkan. “Mari-mari bertarung dengan segala keterbatasan”, demikian teriak mereka.
II
Pertarungan dengan keterbatasan, permasalahan eksistensi, dan keinginan keluar dari keterbatasan adalah wacana besar yang ingin mereka sampaikan. Hal tersebut jelas terpampang dalam leaflet, poster, katalog, juga di ruang pameran. Permasalahan ini tampak pada “Untitled # 1 - #3” karya Sandy ‘Usenk’ J.S. Seri foto yang terdiri dari 3 foto ini dipajang tepat mengawali deretan karya foto lainnya ini. “Untitled#1” adalah foto hitam-putih berbentuk bujur sangkar dengan bingkai hitam dan matte paper. Bentuk foto bujursangkar mungkin didapat dari potongan matte paper putih yang tegas mengelilinginya. Bingkainya sendiri yang berbentuk persegi panjang berukuran lebih besar dari karyanya.
Dalam deskripsinya, Usenk mempersoalkan antara rasa, estetika, dan presisi. Di mana kegalauan hatinya mempertanyakan bagaimana bila ketiga elemen itu muncul sendiri-sendiri. Pada “Untitled #1” Useng memotret sebuah benda, berbahan logam tampaknya, tepat pada sebuah sudut yang simetris. Sesuatu yang berbentuk lonjong dengan alas bulat oval itu dalam fotonya memiliki kedalaman yang dipersepsikan dengan indera mata akan memiliki kedalaman 3 dimensi. Presisi menurut Usenk dalam karyanya itu adalah bentuk-bentuk visual geometris dengan sudut tajam (diwakili oleh sudut-sudut tajam berbentuk siku pada background putih dan foreground hitam yang bersinergi dengan bentuk bujur sangkar).
Pada “Untitled #2” yang merupakan foto warna, Usenk menggunakan bentuk persegi panjang dengan rasio 4:3 seperti bentuk foto pada umumnya. Masih dengan matte paper yang besar sehingga membuat fotonya jauh kecil dari bingkainya. Fotonya sendiri terdiri atas 6 buah catur berselang-seling putih-hitam-putih, mulai dari Menteri Hitam, Menteri Putih, Kuncung/Gajah Hitam, Kuda Putih, pion hitam dan putih . Ke enam buah catur itu berdiri di atas alas berwarna hijau muda yang lembut yang menjadi foreground dengan background berwarna putih.
Sedangkan pada “Untitled #3” yang merupakan foto hitam-putih, Usenk memotret sebagian tajuk pohon sehingga berbentuk siluet. Foto ke tiga ini secara fisik bentuknya sama dengan “Untitled #2”, namun bidang foto ditempatkan beberapa senti meter dari garis tengah imajiner sehingga matte paper atas lebih besar dari bawah.
Mengerutkan kening cukup lama untuk memahami apa yang menjadi fokus karya, sebab “Untitled #1 - #3” berusaha ‘menjebak’ pemahaman audiens dalam deskripsinya yang menyatakan “Antara rasa, estetika, dan presisi: bagaimana bila ketiganya muncul dengan sendiri-sendiri?”. Deskripsi itu seolah mempersilahkan audiens untuk menafsirkan satu per satu fotonya terlepas satu sama lainnya. Padahal karya itu sendiri harus ditafsirkan dalam satu kesatuan sebagai suatu seri yang utuh.
“Untitled #1 - #3” sendiri merupakan representasi dari presisi, estetika, dan rasa yang coba dimunculkan secara terpisah dalam representasi visual yang berbeda. Presisi menurut Usenk adalah bentuk-bentuk geometris yang secara matematis terukur, sedang estetika disimbolkan pada beberapa buah bidak catur, dan rasa dengan bentuk geometris tajuk pepohonan yang tidak beraturan.
“Untitled #1 - #3” lebih merupakan suatu pertanyaan filosofis daripada pernyataan seorang Usenk tentang bagaimana sebuah konsep tentang menjadi. Usenk tidak sedang mengurai sosok manusia di dalam karyanya, tetapi mempertanyakannya. Tataran simbol yang digunakan Usenk adalah simbol yang sehari-hari hadir bersama manusia. Petualangan estetiknya membuat Useng menggunakan simbol-simbol itu untuk hadir dalam makna dan pemahaman baru untuk kemudian dilontarkannya kembali secara fotografis kepada audiens.
Tetapi, pertanyaan Usenk itu mungkin akan menjadi jelas gemanya bila tidak pernah dijawab. Bahkan oleh Usenk sendiri, karena manusia memang dilahirkan ke dunia dengan ketiga elemen itu. Permasalahannya adalah pada komposisi dan cara pemakaiannya yang berbeda pada setiap orang, yang oleh Usenk disimbolkan dengan perbedaan komposisi dan bentuk penyajian karyanya. “Untitled #1 - #3” tampaknya akan menjadi persoalan yang akan dihadapi setiap orang. Itulah yang ingin diutarakan seorang Usenk. Ia melontarkan pertanyaan yang harus dipikirkan setiap orang, dan bukan menjawabnya.
Pada karya berikutnya Erwin G. Zulkarnain menyajikan “Untuk Aku, DIA, dan Mereka”, Sebuah karya foto hitam-putih besar berukuran 20 X 24 inci. “Untuk Aku, DIA, dan Mereka” tampaknya adalah pertanyaan besar Erwin tentang kebenaran, yang di dalam deskripsi karyanya ia menulis “...apakah kebenaran itu bersifat relatif? Atau kebenaran itu bersifat mutlak?”. Fotonya sendiri dapat dideskripsikan sebagai foto 3 buah manekin yang meniru tubuh perempuan, yang dipajang sebagai etalase di sebuah toko pakaian. Manekin-manekin berbentuk setengah badan, dari kaki hingga bawah dada dengan potongan atas berbentuk diagonal. Manekin pertama mengenakan celana panjang, manekin ke dua mengenakan celana pendek sebatas paha, dan manekin ketiga tidak mengenakan apapun selain secarik kertas bertuliskan “diskon 50%” yang dipasang di atas daerah V manekin tersebut.
Karya Erwin bermaksud mempertanyakan kebenaran melalui cara berpakaian perempuan yang menurutnya “Cara berpakaian wanita selalu menjadi hal yang aktual untuk diperdebatkan, karena setiap orang mempunyai alasan masing-masing atas kebenarannya...” Bagi Erwin kebenaran itu relatif atau mutlak seolah dijawab berdasarkan selera berpakaian perempuan. Erwin tidak sedang meluncurkan erotisme dan eksploitasi tubuh perempuan, yang oleh industri fashion didominasi oleh bentuk tubuh yang ramping, jenjang, cantik, dan sensual, yang direpresentasikan dalam manekin-manekin dengan proporsi tubuh yang katanya ideal.
Justru Erwin dalam karyanya mengajak kita untuk merenungi kebenaran yang oleh industri fashion yang mengkomodifikasi perempuan dalam bentuk tubuh tertentu agar bisa menggunakan jenis pakaian tertentu. Atau, bisa jadi Erwin juga sedang menyatakan bahwa kebenaran itu seperti pakaian. Bisa dipakai dan dilepas kapan saja, sesuai dengan selera dan bentuk tubuh masing-masing. Sesuai dengan trend mode yang up to date. Dipakai bila perlu dan dilepas bila ingin.
Karya selanjutnya adalah “The Harmony of Gesticulation” (Harmoni Gestikulasi) judul karya Anitha ‘Tha-tha’ Desyanti. Seperti karya sebelumnya, karya Tha-tha masih berbentuk semacam foto seri yang harus dipahami secara utuh. “The Harmony of Gesticulation” ini terdiri dari dua bagian. Bagian pertama merupakan sebuah seri foto panggung, yang menurut Tha-tha diambil dari adegan-adegan yang terdapat dalam tarian berjudul “Hayati #1 - #3” dengan Chandra Effendi Panatan sebagai koreografernya. Seri foto “Hayati #1 - #3” ini terdiri atas 3 buah foto yang dipasang sedikit curam diurut dari atas ke bawah dengan ukuran masing-masing 12 x 18 inci.
Foto teratas merupakan foto 4 orang penari yang bergerak sejajar dengan bentuk yang berbeda. Penari pertama dari kanan berdiri tegak, penari kedua dan ke tiga sedikit merunduk, dan penari ke empat terlentang di lantai panggung dengan kaki tertekuk diangkat ke atas. Pada foto kedua, ada 6 penari perempuan sedang mangangkat tangannya ke atas dengan kaki sedikit terbuka. Kedua foto ini nyaris berbentuk siluet karena tata cahaya panggungnya yang demikian. Background panggung yang dicahayai sedemikian rupa membuat para penari yang berada di depannya tertangkap kamera menjadi sebuah siluet yang menarik. Pada foto ke-3 kali ini sosok penari lebih jelas karena perubahan tata cahaya panggung dan perubahan sudut pengambilan gambar, di mana Tha-tha menangkap momen formasi tari tertentu.
Pada bagian kedua fotonya yang berjudul “Cerita Dari Dunia Maya #1 - #5”, Tha-tha masih mengambil adegan-adegan tari di atas pentas yang berjudul “Cerita Dari Dunia Maya” yang dikoreografi dan ditarikan oleh Yudistira Syaman. “Cerita Dari Dunia Maya #1 - #5” ini terdiri dari 5 foto, 2 vertikal dan horisontal, yang dipasang dalam satu bingkai yang besar. Dengan menempatkan ke lima foto itu dalam satu bingkai, Tha-tha ingin kita memahami adegan-adegan tari yang dipotretnya dalam satu kesatuan yang utuh. “Cerita Dari Dunia Maya #1 - #5” ini pada masing-masing fotonya menunjukan sang penari dalam berbagai formasi gerak, mulai dari berdiri tegak (foto pertama) hingga duduk kelelahan sambil menyelonjorkan kakinya ke depan dan bersandar pada dinding panggung.
Melalui seri fotonya ini, Tha-tha, satu-satunya perempuan di pameran ini ingin berbagi perasaannya di saat menyaksikan ke dua jenis tarian yang berbeda. Di mana pada tarian pertama di seri foto bertajuk “Hayati #1 - #3” adalah mengenai pergerakan flora dan fauna, dan pada seri foto ke dua “Cerita dari Dunia Maya #1 - #5” adalah tentang penderita skizofrenia. Foto-foto panggung Tha-tha ini lebih dari sekedar foto dokumentasi panggung belaka karena Tha-tha tampaknya tidak puas bila hanya menyajikannya dalam single frame seperti dalam foto-foto salon biasa. Tha-tha ingin menunjukkan pergerakan tubuh manusia yang dieksploitasi dan dimanipulasi sedemikian rupa hingga membentuk rentetan gerak tari yang sangat dinamis. Itu menjelaskan kenapa Tha-tha memakai kata ‘gesticulation’ sebagai judul utamanya serta menempatkan urutan-urutan fotonya berdasar urutan gerak tariannya.
Pada karya selanjutnya, Fana Fadzrikillah mencoba tampil eksentrik dengan “Baratayudha #1 - #3”. Dalam seri foto yang masing-masing berukuran 12 X 16 inci, Fana memulainya justru tidak dengan sebuah foto. Fana memulai karyanya dengan debuah cermin yang dipasang di berhadapan dalam sebuah sudut dengan foto montase seorang laki-laki muda yang membelakangi lensa. Laki-laki itu sedang menatap punggungnya yang ditempeli seekor ikan. Pada foto berikutnya Fana memotret sebuah kemeja berwarna merah yang dibuat menyerupai seseorang lelaki yang sedang duduk di sebuah kursi dengan bunga mawar berawarna merah dan beberapa lembar uang. Melalui karyanya, Fana mengajak kita berperang dengan kita sendiri di mana ia mendeskripsikan dengan “..perang diri saya melawan segala ketakutan yang ada...”.
Mengejutkan karena “Baratayudha #1 - #3” sebetulnya hanya berisi dua foto dan satu cermin. Dengan mengikuti alur karya, pada kali pertama kita dipaksa untuk menatap cermin sebuah cermin. Fana seolah ingin menunjukan ‘foto’ siapa pelaku Barata Yudha melalui cermin tersebut. Cermin itu akan merefleksikan wajah kita sebagai salah satu pelaku Baratayudha. Gagasan Fana menghadirkan sebuah cermin akan menghadapi banyak kontroversi karena cermin bukanlah foto dalam artian sesungguhnya. Cermin, walaupun merepresentasikan diri secara terbalik di dalamnya, bukanlah sebuah foto seperti halnya pas foto yang kita pakai untuk ijazah. Atau bisa jadi sebetulnya Fana mengajak kita untuk menatap foto ke dua (foto montase laki-laki berkaos hitam dengan ikan di punggungnya), membantu laki-laki yang ada di dalam foto untuk melihat ada apa sih yang menempel di punggungnya. Akan menjadi berbeda bila misalnya bila karya ini diletakan sejajar secara bersamaan.
Pada foto ke-empat, hadir single frame karya parodi cerdas Cholid Zain yang berjudul “Apa Kabar Pocong” dengan ukuran 60 x 90 cm. Betul-betul sebuah parodi yang lucu yang mengajak kita menertawakan ketakutan-ketakutan kita sendiri seperti halnya yang dilakukan Cholid. Bagaimana tidak, foto yang berukuran besar ini menampilkan sosok sebentuk Pocong yang hadir tidak hanya dalam cerita dari mulut ke mulut saja. Tetapi juga hadir di bioskop-bioskop dan di rumah kita dalam bentuk film dan sinetron. Herannya lagi, seringkali kita membeli ketakutan akan pocong dengan beramai-ramai antri tiket berjenis film tentang pocong di bioskop. Tidak ada bedanya dengan kita membeli kegembiraan di bioskop yang sama dengan membeli dan menonton film komedi, misalnya, atau membeli dan menonton sebuah pertandingan sepakbola di mana kita bisa tegang, marah, sekaligus gembira di dalamnya.
Lebih komikal lagi karena Cholid memotret pocong tersebut sedang menghadapi mikrofon dan tape recorder yang bertuliskan beberapa nama infotainment televisi, yang juga dipelesetkan. Ada Insect, Goshtsong, juga ada Silat. Persis seperti adegan jumpa pers yang ada di televisi. Cholid sedang melakukan representasi terhadap sosok pocong sebagai selebritis yang patut diwawancarai karena eksploitasi manusia yang kerap menghadirkan pocong sebagai hantu khas Indonesia itu. Dalam deksripsi karyanya yang selanjutnya Cholid menyatakan bahwa karena karena seringnya melihat tayangan film pocong maka ketakutan-ketakutannya akan pocong berangsur sirna.
Apa yang direpresentasikan Cholid dengan pocong sebagai pembawa ketakutan pada dirinya (juga orang Indonesia lainnya) berbeda dengan cara Fana. Mereka sepakat bahwa ketakutan menurut kedua seniman foto itu beranjak dari diri mereka masing-masing. Bila representasi Fana adalah iklan busuk yang menempel di punggung, maka Cholid dengan sosok pocong. Ketakutan pada diri Cholid lebih bersifat eksternal, di mana sumber semua ketakutan ada pada media (film dan televisi yang menjadikan pocong sebagi tokoh utamanya). Representasi ketakutan Cholid adalah pada media yang telah melahirkan pocong dari bentuk lisan (cerita mulut ke mulut) ke dalam bentuk visual (gambar ilustrasi, film, televisi).
Intensitas kehadiran pocong yang tinggi dinyatakan Cholid sebagai selebritas horor adalah dengan adanya elemen foto berupa mikrofon dan tape recoder yang menjadi simbol industri media massa/pers. Secara komikal, Cholid juga seperti menyentil industri media massa yang, bahkan, seringkali bemata dua. Pada satu sisi menyebarkan berita, pada satu sisi lain justru berita itu yang membuat massa menjadi komoditas media itu sendiri.
Saya ingin menghubungkan pernyataan Cholid di akhir deskripsinya sebagai “...membuat saya terbiasa dan dengan sendirinya hilang rasa takut itu” dengan sebuah film yang pernah saya tonton beberapa tahun lalu pada sebuah acara pemutaran film keliling di sebuah kampus. Film “Novel Tanpa Huruf R” yang disutradarai oleh Aria Kusumadewa ini mengetengahkan bagaimana sang tokoh utama yang seorang wartawan kriminal merangkap penulis cerita kriminal-suspense adalah orang yang telah berhasil mengalahkan ketakutannya akan sadisme. Dari kecil ia telah terbiasa melihat darah hewan yang dipotong di rumah potong hewan, dan pengalaman kewartawanannya membuatnya sangat terbiasa dengan darah manusia-manusia akibat korban kekerasan dan penganiayaan. Dengan dingin sang wartawan kriminal mewawancarai dan memotret korban yang megap-megap sekarat, berdarah-darah, seolah tidak ada lagi rasa ngeri di hatinya.
Pada titik ini saya teringat pada “Untitled #1 - #3” di mana Usenk mencoba mempertanyakan eksistensi dirinya sebagai manusia. Saya tiba-tiba memahami bahwa “Untitled #1 - #3” juga merepresentasikan ketakutan. Ketakutan bahwa rasa, estetika, dan presisi akan terlepas dan terpisah satu sama lain. Itulah kenapa di “Untitled #2” hanya ada ‘menteri’ bukannya ‘raja’. Mungkin kehadiran raja adalah legalisasi atas keterpisahan itu. Atau mungkin juga raja yang merupakan simbol kekuasaan tertinggi dalam suatu pemerintahan monarki, jelas dihilangkan, agar tidak ada lagi kekuasaan yang dapat memisahkan rasa-estetika-presisi.
Di sisi lain, setelah sebuah instalasi interaktif, Ricky ‘Emon’ Indrawan hadir melalui karya berjudul “Picture of Me”, sebuah karya foto hitam putih berukuran 20 X 24 inci. “Picture of Me” tampak moderat dengan penyajian yang berbeda dari lainnya. Seolah hendak menyajikan mix media dengan sebuah foto kursi goyang yang simetris berada di tengah. Kursi goyang itu terikat erat ke lima penjuru foto. Background foto dibuat hitam sehitam-hitamnya sehingga kursi goyang rotan dan tali yang mengikatnya tampak kontras dan menonjol dengan memunculkan kedalaman dimensinya. Tetapi rasanya tidak cukup begitu saja. Pada beberapa lima penjuru foto di mana berakhir out of frame, Emon kemudian menyambung seutas tali ‘beneran’ dengan tali pada foto dengan cara menempelkannya. Sehingga akan tercipta kesan bahwa tali tersebut adalah bagian dari sebuah foto. Tak cukup dengan itu, tali-tali tersebut diikat dengan erat dalam beberapa belitan pada bingkai kayu.
Suatu presentasi yang jenial saya rasa. Karya Emon yang merupakan mix media antara foto, kayu, tali, logam, dan dua lapis akrilik lebih dari cukup untuk menggambarkan ketakutan serta harapan untuk lepas darinya. Kehidupan yang penuh guncangan yang disimbolkan dengan kursi goyang --sesuai namanya pasti akan bergoyang-goyang bila diduduki--, tali yang terikat kencang pada kursi hingga seolah menembusnya hingga ke luar kertas foto adalah simbol upaya untuk meredakan guncangan. Kayu bingkai berwarna hitam pun dimanfaatkan untuk menyimbolkan sesuatu yang dianggapnya mampu menahan goyangan sang kursi goyang. Bahkan lebih dari itu, Emon menutupi seluruh area fotonya dengan 2 lapis akrilik bening masing-masing setebal 1 mm yang dipancangnya dengan 4 baut logam.
Emon menginginkan ketenangan dan ketentraman di atas sebuah kursi goyang. “..Petarung sejati yang ingin hidup tentram dan damai tanpa adanya suatu keterikatan”, demikian deskripsi karyanya. “Picture of Me” sepertinya menjadi representasi ketakutan manusia akan hidup. Keinginan untuk tenang, tentram, damai dan merdeka dari segala keterikatan, yang justru membuatnya harus terikat kencang ke mana-mana. Kursi goyang bagi beberapa orang melambangkan kesenangan, ketentraman, sikap yang konservatif setelah melewati berbagai pertarungan hidup, namun masih saja menakutkan. Masih menimbulkan goyangan-goyangan. Oleh karena itu harus diikat seerat mungkin agar kursi goyang tak lagi bergoyang.
Irwan Hakim menyajikan “Aku dan Sebelum Aku”, sebuah kolase foto yang terdiri atas 22 baris dengan 11 kolom. Kolase foto itu berjumlah sebanyak 220 lembar foto 3R dengan dimensi 55 X 77 inci. Pada deskripsinya, dengan mengutip data dari CIFOR (Centre of International Forestry Research-Pusat Penelitian Kehutanan Internasional), karya ini mencoba mengingatkan kita bahwa pohon yang ditebang untuk industri pulp dan kertas diambil dari hutan alam yang semakin berkurang. Dengan memasang ratusan kolase foto pohon yang hendak ditebang, mulai foto tajuk pohon di bagian teratas kolase hingga foto akar di bagian bawah, Irwan menyatakan betapa masifnya manusia dalam menyikapi permasalahan kertas dan hutan. Permasalahan yang dalam karyanya menuntut untuk disikapi. Bahkan secara sadar Irwan melakukan otokritik dan kritik terhadap dunia fotografi yang digelutinya. Di mana fotografi harus dan masih identik dengan mencetak hasilnya di atas kertas. Bagaimana sebetulnya Irwan merasa gamang menghadapi rakusnya industri dan pelaku fotografi –baik itu fotografer pro, media, amatir, hiburan, ataupun fotografi seni—yang terus menggunakan kertas dalam jumlah yang sangat besar.
Pada bagian terakhir, ada Doly Harahap yang mengajak kita untuk merenung dengan “Mencari Alamat #1 - #11), yang terdiri dari 11 foto hitam putih berformat vertikal berukuran 8 X 12 inci yang masing-masing dipasang di atas styrofoam putih dan disusun dalam urutan 3-2-1-2-3. Doly, seperti yang diungkapkan dalam deskripsinya, merasakan kerinduan akan kehadiran seorang ibu.
Doly melakukan eksplorasi yang menarik dengan lukisan tangan (hand drawing) yang dianggapnya mencitrakan sosok Ibu dalam setiap fotonya. Lukisan itu selalu hadir dengan berbagai macam sikap dan keinginan. Misalnya saja Doly merasa bahwa Ibu adalah sosok misterius. Doly menutupi wajah Ibu dengan kain Ulos hingga menyisakan bagian mata ke atas. Doly juga ingin merasakan menyentuh ibu, memotret lukisan itu dengan sebuah tangan hitam yang seolah hendak menjamah wajah sang Ibu. Pada foto lain ia juga merasakan rindu pada sosok Ibu yang akan menciptakan silaturahmi yang dicitrakan Doly dengan melakukan montase dua pasang tangan sedang bersalaman, yang Doly nyatakan sangat kuat dalam 3 buah foto yang mirip.
Tetapi Doly juga tidak menafik kenyataan bahwa sosok Ibu juga telah pernah ia sia-siakan dengan mencitrakan sepasang sepatu boot yang sudah usang yang menjejak di atas lukisan Ibu. “Mencari Alamat #1 - #11” adalah seri yang lirih dan merintih dengan kerinduan yang amat sangat. Tidak ada ketakutan di sini, yang ada hanya kerinduan dan juga mungkin penyesalan. Itu yang membedakannnya dengan karya-karya lainnya.
III
Saya mencoba memahami tajuk “Just Kick The Wall” dengan melakukan ‘thawaf’ mengelilingi galeri Gawir 81 sebanyak 2 atau 3 kali. Pertama kali saya mengikuti arah konvensional dari kiri ke kanan searah putaran jarum jam, yang dimulai dari “Mencari Alamat #1 - #11” dan berakhir di “Untitled#1-#3”. Pada kali kedua dan atau selanjutnya, saya memutar kebalikan jarum jam, yakni dari kanan ke kiri (lihat catatan kaki no. 4). Agak sulit memahami apa sih yang diinginginkan brigadepoto# bila hanya sekedar mengunjungi pameran saja. Saya juga membuat beberapa catatan di buku notes serta memotret hampir semua karya (termasuk instalasi) dengan kamera digital. Mengunjungi pameran selama lebih kurang 1 jam dan kemudian menghabiskan waktu lebih dari 12 jam untuk membaca, mencari referensi, membuka file-file foto karya yang diambil hari sebelumnya dan menuliskan catatan ini serta menyuntingnya.
Membuat saya lebih berkeringat karena apa yang ditawarkan brigadepoto# berbeda dengan foto-foto yang biasa saya lihat selama ini. Dalam bulan Maret yang baru lalu hingga minggu pertama April 2009 ini ada sekitar 4 pameran foto yang saya kunjungi. 3 pameran foto pertama pada umumnya menawarkan foto-foto yang realis, yang struktur simboliknya saya rasa tidak sedalam “Just Kick the Wall”, karena pada umumnya foto-foto tersebut merupakan foto jurnalistik, foto bergaya jurnalistik, hingga semi dokumentasi. Artinya pemahaman maknanya cenderung seperti apa yang terdapat di dalam foto. Pohon ya berarti pohon, merah ya merah. Seperti sedang membaca kumpulan cerpen atau sebuah novel dengan gaya bahasa yang tidak bersayap. Atau semacam jurnal yang ditulis dengan gaya bahasa yang lugas.
Tetapi tidak demikian dengan “Just Kick the Wall”. “Just Kick the Wall” bagi saya adalah membaca puisi dalam bahasa Indian yang ditulis orang Mesir, diterjemahkan oleh orang Batak, lalu dibaca seorang Sunda. Ada struktur yang rumit di dalamnya, yang saya fikir, para fotografernya sendiri mungkin tidak menyadarinya.
Fotografi pada intinya adalah persepsi . Melihat dan ‘membaca’ karya foto juga adalah persepsi atas persepsi. Menuliskan sebuah kritik adalah menuliskan persepsi. Membaca tulisan kritik ini juga pada hakikatnya adalah membaca persepsi atas persepsi. Terjadi beberapa kali decoding dan encoding sehingga kemungkinan terjadi perbedaan penghayatan dan pemahaman. Itulah yang membuat karya seni selalu berada di dalam tegamgan. Berada di dalam tarik-menarik persepsi dan tafsir atas persepsi.
Secara keseluruhan apa yang menjadi kegelisahan dengan ingin ‘menjadi’ dalam “Just Kick the Wall” adalah representasi pertarungan, tidak hanya melawan keterbatasan seperti statemen mereka. Semangat itu kemudian dicitrakan dalam beragam ketakutan, kegamangan, dan juga keraguan. Ketakutan-ketakutan itu mulai tampak pada “Barata Yudha”, “Apa Kabar Pocong”, “Picture of Me” dan “Aku dan Setelah Aku”.
“Untitled #1 - #3” baru kemudian bisa saya dipahami sebagai citraan yang gamang, ragu, serta dalam kecemasan setelah saya mencoba memahami “Untuk aku, DIA, dan Mereka”, “The Harmony of Gesticulation ”, “Baratayudha #1-#3”, dan “Apa Kabar Pocong”. Sedangkan “Picture of Me” baru bisa dipahami setelah saya menafsir ulang “Untitled #1 - #3”. Dari situ saya malah mulai memahami ternyata “Cerita Dari Dunia Maya #1- #5” yang merupakan bagian dari “The Harmony of Gesticulation” karya Tha-tha memang ternyata lebih dari sekedar foto dokumentasi tari.
Tajuk “Just Kick The Wall” bagi saya adalah bagaimana dan mengapa brigadepoto# berusaha keluar dari lingkaran skizofrenia dan ketakutan, yang di dalam Microsoft Encarta 2009 dijelaskan sebagai:
“severe mental illness characterized by a variety of symptoms, including loss of contact with reality, bizarre behavior, disorganized thinking and speech, decreased emotional expressiveness, and social withdrawal. Usually only some of these symptoms occur in any one person”.
Atau, dalam bahasa Yasraf, skizofrenia didefinisikan sebagai
“kekacauan dalam struktur psikis berupa teralienasinya dan tercabutnya seseorang dari realitas: kekacauan dalam struktur bahasa berupa terputusnya rantai pertandaan yang mengaitkan sebuah tanda dengan sebuah makna, sehingga terjadi kekacauan makna”.
Sejauh ini seperti yang tampak dalam pameran, mereka mengartikulasikan berbagai macam simbol keterbatasan dan ketakutan dengan menjadikannya memiliki makna yang saling terikat satu dengan lainnya. Tak ada yang lebih menakutkan selain rasa takut itu sendiri. Simbol bidak catur, logam, manekin, baju, pocong, pohon, atau bahkan kursi goyang tiba-tiba saja menemukan kunci pemahaman dalam tarian seorang Yudistira Syuman yang dipotret oleh Tha-tha. Ketakutan-ketakutan akan keterbatasan itu kemudian tiba-tiba saya rasa bermuara pada konklusi yang terdapat dalam sederetan foto lukisan Ibu karya Doly. Seri foto yang merupakan simulakra (simulacrum) . Simulakra di mana ketakutan-ketakutan itu saling bergaung, memantul sama lain dan lenyap di kerinduan akan seorang Ibu.
Sosok Ibu, di dalam berbagai kebudayaan memiliki posisi yang penting. Di mana selain telah melahirkan, juga ibu selama 1 X 24 jam X 7 hari seminggu X 365 hari setahun hadir untuk merawat anak-anaknya. Ibu juga adalah sosok pelipur lelah seorang anak, yang selalu setia mengusir dan membebaskan anak-anaknya dari ketakutan dan keterbatasan. Mengajari anak merangkak, tengkurap, duduk, berdiri dan berjalan. Tak pernah lelah dan selalu bijak agar anak bisa belajar keluar dari keterbatasan (bergerak terbatas), lepas dari ketakutan (bila jatuh, tetap disemangati agar kembali berdiri). Ibu adalah representasi kasih sayang tanpa akhir, sehingga ada peribahasa Indonesia yang mengungkapkan bahwa “Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang badan”.
“Just Kick The Wall” yang mulanya saya tafsirkan sebagai suatu reaksi atas akan kredo-kredo fotografi yang dirasa mengikat kemudian malah berakhir pada simpulan bahwa semua keterbatasan akan berakhir pada kasih sayang. Lucunya, saya sendiri tidak menyangka bahwa hasil semuanya penafsiran dan analisis akan seperti ini. Semuanya berjalan mengalir begitu saja.
Tentu tidak menutup kemungkinan di lain hari dengan lain pengalaman saya mungkin bisa mendapat tafsir baru yang bukan tidak mungkin akan berbeda dengan penafsiran sekarang. Apalagi tulisan ini tidak berpretensi sebagai tulisan ilmiah yang dikaji secara teoritis, dengan perangkat teori yang canggih, kajian yang mendalam, serta kesimpulan-kesimpulan yang hebat. Walau perlu juga diakui bahwa pengalaman saya mengkaji dan meneliti karya Sastra dengan berlandaskan pada kritik Struktural seperti yang digagas oleh Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Pierce cukup berperan. Yaitu dengan tetap berusaha mengkaji karya berdasar karya fotonya itu sendiri. Berdasarkan unsur-unsur yang ada di dalamnya (warna, komposisi, isi, pencahayaan, teknik, dan lain-lain, termasuk judul, deskripsi, dan cara pengemasan dan presentasi foto yang saya anggap sebagai satu kesatuan). Tanpa bermaksud apapun, saya mengesampingkan semua catatan biografi, catatan pengantar, kuratorial, serta informasi lain yang ada di dalam katalog. Tulisan-tulisan yang saya pakai yang berasal dari pameran ini adalah hanya dari statemen pameran yang ditulis di leaflet/poster/katalog publikasi.
=======================
Bandung, 3 April 2009
Ricky Nugraha
Desainer Grafis, Pecinta Kopi dan Fotografi
:Catatan dari Pameran Foto “Just Kick The Wall”
I
...
It’a never stops dripping. But just try complaining. There must be more than a hundred of them around here. They spend a fortune to set up those big picturesque cirrus. Public relations, they say.
...
(Umberto Eco dalam “The Latest from Heaven”)
Perdebatan tentang apa itu seni berlangsung bahkan jauh sebelum definisi seni itu ditemukan. Berabad-abad lamanya seni diperbincangkan dan didefinisikan. “Seni selalu menolak definisi”, begitu kata Albert Camus. “Dengan demikian seni adalah pemberontakan yang kreatif”, lanjutnya lagi. Begitu pula di saat fotografi yang merupakan new media aesthetic kemudian berkembang dalam banyak wilayah kehidupan manusia. Perdebatan fotografi itu seni atau bukan seni masih mencuat dan menjadi bahan diskusi yang menarik. Sementara itu di dalam fotografi itu sendiri, timbul pula perdebatan tentang apakah karya fotografi itu. Satu pihak menyatakan bahwa fotografi adalah A, satu sisi lain menyatakan fotografi adalah B, dan di sisi lain ada pihak yang mengklaim bahwa fotografi bukan saja A dan B, tetapi juga C.
Michael Risdianto menulis bahwa perdebatan tentang fotografi juga terjadi di awal perkembangannya di Indonesia. Bagaimana seorang karya foto Isidore van Kinsbergen, seorang fotografer yang juga pelukis, ditolak oleh C. Leemans, seorang Kepala Museum Benda Kuno di Leiden yang telah menugaskannya untuk memotret relief di Candi Borobudur pada tahun 1872-1873. Leemans beranggapan bahwa foto-foto relief yang dibuat van Kinsbergen memiliki kesalahan perspektif dan tidak dibuat berdasarkan pandangan keilmuan. Pandangan Leemans yang sempat mematikan karir van Kinsbergen sebagai seorang fotografer, kemudian dibantah oleh Conrad Busken Huet, yang menyatakan bahwa pekerjaan Leemans adalah pekerjaan yang terikat pada aturan formal dan kaku, sedangkan karya van Kinsbergen adalah karya seni.
Perdebatan itu tidak akan berakhir begitu saja, itulah maka kemudian dinyatakan bahwa seni selalu berada dalam tegangan, tension, yang tidak saja berada di wilayah definisi, tetapi juga di wilayah penciptaan dan penafsiran. Wajar saja bila kemudian ada sekelompok anak muda yang merasa perlu melakukan pemberontakan di dalam dunia fotografi dengan meningkatkan tegangan tersebut.
Kelompok itu adalah Brigadepoto#, mirip nama sebuah kelompok gangster jalanan yang sering membuat onar, walau ternyata memang bukan. Pada pameran ke-2 mereka yang bertajuk “Just Kick The Wall”, Brigadefoto# mencoba menawarkan alternatif lain tentang apa itu fotografi menurut mereka. Pameran ini berlangsung 28 Maret s.d. 4 April 2009 di sebuah garasi yang belum selesai di daerah perbukitan di Bandung Utara yang sejuk dan hening.
Sebuah garasi. Betul, keterbatasan nampaknya bukanlah penghalang bagi Brigadefoto# untuk mempresentasikan karya mereka kepada khalayak. Keterbatasan juga adalah hal yang mereka anggap sebagai sebentuk dinding yang perlu ditendang, dan kalau perlu, dihancurkan. “Mari-mari bertarung dengan segala keterbatasan”, demikian teriak mereka.
II
Pertarungan dengan keterbatasan, permasalahan eksistensi, dan keinginan keluar dari keterbatasan adalah wacana besar yang ingin mereka sampaikan. Hal tersebut jelas terpampang dalam leaflet, poster, katalog, juga di ruang pameran. Permasalahan ini tampak pada “Untitled # 1 - #3” karya Sandy ‘Usenk’ J.S. Seri foto yang terdiri dari 3 foto ini dipajang tepat mengawali deretan karya foto lainnya ini. “Untitled#1” adalah foto hitam-putih berbentuk bujur sangkar dengan bingkai hitam dan matte paper. Bentuk foto bujursangkar mungkin didapat dari potongan matte paper putih yang tegas mengelilinginya. Bingkainya sendiri yang berbentuk persegi panjang berukuran lebih besar dari karyanya.
Dalam deskripsinya, Usenk mempersoalkan antara rasa, estetika, dan presisi. Di mana kegalauan hatinya mempertanyakan bagaimana bila ketiga elemen itu muncul sendiri-sendiri. Pada “Untitled #1” Useng memotret sebuah benda, berbahan logam tampaknya, tepat pada sebuah sudut yang simetris. Sesuatu yang berbentuk lonjong dengan alas bulat oval itu dalam fotonya memiliki kedalaman yang dipersepsikan dengan indera mata akan memiliki kedalaman 3 dimensi. Presisi menurut Usenk dalam karyanya itu adalah bentuk-bentuk visual geometris dengan sudut tajam (diwakili oleh sudut-sudut tajam berbentuk siku pada background putih dan foreground hitam yang bersinergi dengan bentuk bujur sangkar).
Pada “Untitled #2” yang merupakan foto warna, Usenk menggunakan bentuk persegi panjang dengan rasio 4:3 seperti bentuk foto pada umumnya. Masih dengan matte paper yang besar sehingga membuat fotonya jauh kecil dari bingkainya. Fotonya sendiri terdiri atas 6 buah catur berselang-seling putih-hitam-putih, mulai dari Menteri Hitam, Menteri Putih, Kuncung/Gajah Hitam, Kuda Putih, pion hitam dan putih . Ke enam buah catur itu berdiri di atas alas berwarna hijau muda yang lembut yang menjadi foreground dengan background berwarna putih.
Sedangkan pada “Untitled #3” yang merupakan foto hitam-putih, Usenk memotret sebagian tajuk pohon sehingga berbentuk siluet. Foto ke tiga ini secara fisik bentuknya sama dengan “Untitled #2”, namun bidang foto ditempatkan beberapa senti meter dari garis tengah imajiner sehingga matte paper atas lebih besar dari bawah.
Mengerutkan kening cukup lama untuk memahami apa yang menjadi fokus karya, sebab “Untitled #1 - #3” berusaha ‘menjebak’ pemahaman audiens dalam deskripsinya yang menyatakan “Antara rasa, estetika, dan presisi: bagaimana bila ketiganya muncul dengan sendiri-sendiri?”. Deskripsi itu seolah mempersilahkan audiens untuk menafsirkan satu per satu fotonya terlepas satu sama lainnya. Padahal karya itu sendiri harus ditafsirkan dalam satu kesatuan sebagai suatu seri yang utuh.
“Untitled #1 - #3” sendiri merupakan representasi dari presisi, estetika, dan rasa yang coba dimunculkan secara terpisah dalam representasi visual yang berbeda. Presisi menurut Usenk adalah bentuk-bentuk geometris yang secara matematis terukur, sedang estetika disimbolkan pada beberapa buah bidak catur, dan rasa dengan bentuk geometris tajuk pepohonan yang tidak beraturan.
“Untitled #1 - #3” lebih merupakan suatu pertanyaan filosofis daripada pernyataan seorang Usenk tentang bagaimana sebuah konsep tentang menjadi. Usenk tidak sedang mengurai sosok manusia di dalam karyanya, tetapi mempertanyakannya. Tataran simbol yang digunakan Usenk adalah simbol yang sehari-hari hadir bersama manusia. Petualangan estetiknya membuat Useng menggunakan simbol-simbol itu untuk hadir dalam makna dan pemahaman baru untuk kemudian dilontarkannya kembali secara fotografis kepada audiens.
Tetapi, pertanyaan Usenk itu mungkin akan menjadi jelas gemanya bila tidak pernah dijawab. Bahkan oleh Usenk sendiri, karena manusia memang dilahirkan ke dunia dengan ketiga elemen itu. Permasalahannya adalah pada komposisi dan cara pemakaiannya yang berbeda pada setiap orang, yang oleh Usenk disimbolkan dengan perbedaan komposisi dan bentuk penyajian karyanya. “Untitled #1 - #3” tampaknya akan menjadi persoalan yang akan dihadapi setiap orang. Itulah yang ingin diutarakan seorang Usenk. Ia melontarkan pertanyaan yang harus dipikirkan setiap orang, dan bukan menjawabnya.
Pada karya berikutnya Erwin G. Zulkarnain menyajikan “Untuk Aku, DIA, dan Mereka”, Sebuah karya foto hitam-putih besar berukuran 20 X 24 inci. “Untuk Aku, DIA, dan Mereka” tampaknya adalah pertanyaan besar Erwin tentang kebenaran, yang di dalam deskripsi karyanya ia menulis “...apakah kebenaran itu bersifat relatif? Atau kebenaran itu bersifat mutlak?”. Fotonya sendiri dapat dideskripsikan sebagai foto 3 buah manekin yang meniru tubuh perempuan, yang dipajang sebagai etalase di sebuah toko pakaian. Manekin-manekin berbentuk setengah badan, dari kaki hingga bawah dada dengan potongan atas berbentuk diagonal. Manekin pertama mengenakan celana panjang, manekin ke dua mengenakan celana pendek sebatas paha, dan manekin ketiga tidak mengenakan apapun selain secarik kertas bertuliskan “diskon 50%” yang dipasang di atas daerah V manekin tersebut.
Karya Erwin bermaksud mempertanyakan kebenaran melalui cara berpakaian perempuan yang menurutnya “Cara berpakaian wanita selalu menjadi hal yang aktual untuk diperdebatkan, karena setiap orang mempunyai alasan masing-masing atas kebenarannya...” Bagi Erwin kebenaran itu relatif atau mutlak seolah dijawab berdasarkan selera berpakaian perempuan. Erwin tidak sedang meluncurkan erotisme dan eksploitasi tubuh perempuan, yang oleh industri fashion didominasi oleh bentuk tubuh yang ramping, jenjang, cantik, dan sensual, yang direpresentasikan dalam manekin-manekin dengan proporsi tubuh yang katanya ideal.
Justru Erwin dalam karyanya mengajak kita untuk merenungi kebenaran yang oleh industri fashion yang mengkomodifikasi perempuan dalam bentuk tubuh tertentu agar bisa menggunakan jenis pakaian tertentu. Atau, bisa jadi Erwin juga sedang menyatakan bahwa kebenaran itu seperti pakaian. Bisa dipakai dan dilepas kapan saja, sesuai dengan selera dan bentuk tubuh masing-masing. Sesuai dengan trend mode yang up to date. Dipakai bila perlu dan dilepas bila ingin.
Karya selanjutnya adalah “The Harmony of Gesticulation” (Harmoni Gestikulasi) judul karya Anitha ‘Tha-tha’ Desyanti. Seperti karya sebelumnya, karya Tha-tha masih berbentuk semacam foto seri yang harus dipahami secara utuh. “The Harmony of Gesticulation” ini terdiri dari dua bagian. Bagian pertama merupakan sebuah seri foto panggung, yang menurut Tha-tha diambil dari adegan-adegan yang terdapat dalam tarian berjudul “Hayati #1 - #3” dengan Chandra Effendi Panatan sebagai koreografernya. Seri foto “Hayati #1 - #3” ini terdiri atas 3 buah foto yang dipasang sedikit curam diurut dari atas ke bawah dengan ukuran masing-masing 12 x 18 inci.
Foto teratas merupakan foto 4 orang penari yang bergerak sejajar dengan bentuk yang berbeda. Penari pertama dari kanan berdiri tegak, penari kedua dan ke tiga sedikit merunduk, dan penari ke empat terlentang di lantai panggung dengan kaki tertekuk diangkat ke atas. Pada foto kedua, ada 6 penari perempuan sedang mangangkat tangannya ke atas dengan kaki sedikit terbuka. Kedua foto ini nyaris berbentuk siluet karena tata cahaya panggungnya yang demikian. Background panggung yang dicahayai sedemikian rupa membuat para penari yang berada di depannya tertangkap kamera menjadi sebuah siluet yang menarik. Pada foto ke-3 kali ini sosok penari lebih jelas karena perubahan tata cahaya panggung dan perubahan sudut pengambilan gambar, di mana Tha-tha menangkap momen formasi tari tertentu.
Pada bagian kedua fotonya yang berjudul “Cerita Dari Dunia Maya #1 - #5”, Tha-tha masih mengambil adegan-adegan tari di atas pentas yang berjudul “Cerita Dari Dunia Maya” yang dikoreografi dan ditarikan oleh Yudistira Syaman. “Cerita Dari Dunia Maya #1 - #5” ini terdiri dari 5 foto, 2 vertikal dan horisontal, yang dipasang dalam satu bingkai yang besar. Dengan menempatkan ke lima foto itu dalam satu bingkai, Tha-tha ingin kita memahami adegan-adegan tari yang dipotretnya dalam satu kesatuan yang utuh. “Cerita Dari Dunia Maya #1 - #5” ini pada masing-masing fotonya menunjukan sang penari dalam berbagai formasi gerak, mulai dari berdiri tegak (foto pertama) hingga duduk kelelahan sambil menyelonjorkan kakinya ke depan dan bersandar pada dinding panggung.
Melalui seri fotonya ini, Tha-tha, satu-satunya perempuan di pameran ini ingin berbagi perasaannya di saat menyaksikan ke dua jenis tarian yang berbeda. Di mana pada tarian pertama di seri foto bertajuk “Hayati #1 - #3” adalah mengenai pergerakan flora dan fauna, dan pada seri foto ke dua “Cerita dari Dunia Maya #1 - #5” adalah tentang penderita skizofrenia. Foto-foto panggung Tha-tha ini lebih dari sekedar foto dokumentasi panggung belaka karena Tha-tha tampaknya tidak puas bila hanya menyajikannya dalam single frame seperti dalam foto-foto salon biasa. Tha-tha ingin menunjukkan pergerakan tubuh manusia yang dieksploitasi dan dimanipulasi sedemikian rupa hingga membentuk rentetan gerak tari yang sangat dinamis. Itu menjelaskan kenapa Tha-tha memakai kata ‘gesticulation’ sebagai judul utamanya serta menempatkan urutan-urutan fotonya berdasar urutan gerak tariannya.
Pada karya selanjutnya, Fana Fadzrikillah mencoba tampil eksentrik dengan “Baratayudha #1 - #3”. Dalam seri foto yang masing-masing berukuran 12 X 16 inci, Fana memulainya justru tidak dengan sebuah foto. Fana memulai karyanya dengan debuah cermin yang dipasang di berhadapan dalam sebuah sudut dengan foto montase seorang laki-laki muda yang membelakangi lensa. Laki-laki itu sedang menatap punggungnya yang ditempeli seekor ikan. Pada foto berikutnya Fana memotret sebuah kemeja berwarna merah yang dibuat menyerupai seseorang lelaki yang sedang duduk di sebuah kursi dengan bunga mawar berawarna merah dan beberapa lembar uang. Melalui karyanya, Fana mengajak kita berperang dengan kita sendiri di mana ia mendeskripsikan dengan “..perang diri saya melawan segala ketakutan yang ada...”.
Mengejutkan karena “Baratayudha #1 - #3” sebetulnya hanya berisi dua foto dan satu cermin. Dengan mengikuti alur karya, pada kali pertama kita dipaksa untuk menatap cermin sebuah cermin. Fana seolah ingin menunjukan ‘foto’ siapa pelaku Barata Yudha melalui cermin tersebut. Cermin itu akan merefleksikan wajah kita sebagai salah satu pelaku Baratayudha. Gagasan Fana menghadirkan sebuah cermin akan menghadapi banyak kontroversi karena cermin bukanlah foto dalam artian sesungguhnya. Cermin, walaupun merepresentasikan diri secara terbalik di dalamnya, bukanlah sebuah foto seperti halnya pas foto yang kita pakai untuk ijazah. Atau bisa jadi sebetulnya Fana mengajak kita untuk menatap foto ke dua (foto montase laki-laki berkaos hitam dengan ikan di punggungnya), membantu laki-laki yang ada di dalam foto untuk melihat ada apa sih yang menempel di punggungnya. Akan menjadi berbeda bila misalnya bila karya ini diletakan sejajar secara bersamaan.
Pada foto ke-empat, hadir single frame karya parodi cerdas Cholid Zain yang berjudul “Apa Kabar Pocong” dengan ukuran 60 x 90 cm. Betul-betul sebuah parodi yang lucu yang mengajak kita menertawakan ketakutan-ketakutan kita sendiri seperti halnya yang dilakukan Cholid. Bagaimana tidak, foto yang berukuran besar ini menampilkan sosok sebentuk Pocong yang hadir tidak hanya dalam cerita dari mulut ke mulut saja. Tetapi juga hadir di bioskop-bioskop dan di rumah kita dalam bentuk film dan sinetron. Herannya lagi, seringkali kita membeli ketakutan akan pocong dengan beramai-ramai antri tiket berjenis film tentang pocong di bioskop. Tidak ada bedanya dengan kita membeli kegembiraan di bioskop yang sama dengan membeli dan menonton film komedi, misalnya, atau membeli dan menonton sebuah pertandingan sepakbola di mana kita bisa tegang, marah, sekaligus gembira di dalamnya.
Lebih komikal lagi karena Cholid memotret pocong tersebut sedang menghadapi mikrofon dan tape recorder yang bertuliskan beberapa nama infotainment televisi, yang juga dipelesetkan. Ada Insect, Goshtsong, juga ada Silat. Persis seperti adegan jumpa pers yang ada di televisi. Cholid sedang melakukan representasi terhadap sosok pocong sebagai selebritis yang patut diwawancarai karena eksploitasi manusia yang kerap menghadirkan pocong sebagai hantu khas Indonesia itu. Dalam deksripsi karyanya yang selanjutnya Cholid menyatakan bahwa karena karena seringnya melihat tayangan film pocong maka ketakutan-ketakutannya akan pocong berangsur sirna.
Apa yang direpresentasikan Cholid dengan pocong sebagai pembawa ketakutan pada dirinya (juga orang Indonesia lainnya) berbeda dengan cara Fana. Mereka sepakat bahwa ketakutan menurut kedua seniman foto itu beranjak dari diri mereka masing-masing. Bila representasi Fana adalah iklan busuk yang menempel di punggung, maka Cholid dengan sosok pocong. Ketakutan pada diri Cholid lebih bersifat eksternal, di mana sumber semua ketakutan ada pada media (film dan televisi yang menjadikan pocong sebagi tokoh utamanya). Representasi ketakutan Cholid adalah pada media yang telah melahirkan pocong dari bentuk lisan (cerita mulut ke mulut) ke dalam bentuk visual (gambar ilustrasi, film, televisi).
Intensitas kehadiran pocong yang tinggi dinyatakan Cholid sebagai selebritas horor adalah dengan adanya elemen foto berupa mikrofon dan tape recoder yang menjadi simbol industri media massa/pers. Secara komikal, Cholid juga seperti menyentil industri media massa yang, bahkan, seringkali bemata dua. Pada satu sisi menyebarkan berita, pada satu sisi lain justru berita itu yang membuat massa menjadi komoditas media itu sendiri.
Saya ingin menghubungkan pernyataan Cholid di akhir deskripsinya sebagai “...membuat saya terbiasa dan dengan sendirinya hilang rasa takut itu” dengan sebuah film yang pernah saya tonton beberapa tahun lalu pada sebuah acara pemutaran film keliling di sebuah kampus. Film “Novel Tanpa Huruf R” yang disutradarai oleh Aria Kusumadewa ini mengetengahkan bagaimana sang tokoh utama yang seorang wartawan kriminal merangkap penulis cerita kriminal-suspense adalah orang yang telah berhasil mengalahkan ketakutannya akan sadisme. Dari kecil ia telah terbiasa melihat darah hewan yang dipotong di rumah potong hewan, dan pengalaman kewartawanannya membuatnya sangat terbiasa dengan darah manusia-manusia akibat korban kekerasan dan penganiayaan. Dengan dingin sang wartawan kriminal mewawancarai dan memotret korban yang megap-megap sekarat, berdarah-darah, seolah tidak ada lagi rasa ngeri di hatinya.
Pada titik ini saya teringat pada “Untitled #1 - #3” di mana Usenk mencoba mempertanyakan eksistensi dirinya sebagai manusia. Saya tiba-tiba memahami bahwa “Untitled #1 - #3” juga merepresentasikan ketakutan. Ketakutan bahwa rasa, estetika, dan presisi akan terlepas dan terpisah satu sama lain. Itulah kenapa di “Untitled #2” hanya ada ‘menteri’ bukannya ‘raja’. Mungkin kehadiran raja adalah legalisasi atas keterpisahan itu. Atau mungkin juga raja yang merupakan simbol kekuasaan tertinggi dalam suatu pemerintahan monarki, jelas dihilangkan, agar tidak ada lagi kekuasaan yang dapat memisahkan rasa-estetika-presisi.
Di sisi lain, setelah sebuah instalasi interaktif, Ricky ‘Emon’ Indrawan hadir melalui karya berjudul “Picture of Me”, sebuah karya foto hitam putih berukuran 20 X 24 inci. “Picture of Me” tampak moderat dengan penyajian yang berbeda dari lainnya. Seolah hendak menyajikan mix media dengan sebuah foto kursi goyang yang simetris berada di tengah. Kursi goyang itu terikat erat ke lima penjuru foto. Background foto dibuat hitam sehitam-hitamnya sehingga kursi goyang rotan dan tali yang mengikatnya tampak kontras dan menonjol dengan memunculkan kedalaman dimensinya. Tetapi rasanya tidak cukup begitu saja. Pada beberapa lima penjuru foto di mana berakhir out of frame, Emon kemudian menyambung seutas tali ‘beneran’ dengan tali pada foto dengan cara menempelkannya. Sehingga akan tercipta kesan bahwa tali tersebut adalah bagian dari sebuah foto. Tak cukup dengan itu, tali-tali tersebut diikat dengan erat dalam beberapa belitan pada bingkai kayu.
Suatu presentasi yang jenial saya rasa. Karya Emon yang merupakan mix media antara foto, kayu, tali, logam, dan dua lapis akrilik lebih dari cukup untuk menggambarkan ketakutan serta harapan untuk lepas darinya. Kehidupan yang penuh guncangan yang disimbolkan dengan kursi goyang --sesuai namanya pasti akan bergoyang-goyang bila diduduki--, tali yang terikat kencang pada kursi hingga seolah menembusnya hingga ke luar kertas foto adalah simbol upaya untuk meredakan guncangan. Kayu bingkai berwarna hitam pun dimanfaatkan untuk menyimbolkan sesuatu yang dianggapnya mampu menahan goyangan sang kursi goyang. Bahkan lebih dari itu, Emon menutupi seluruh area fotonya dengan 2 lapis akrilik bening masing-masing setebal 1 mm yang dipancangnya dengan 4 baut logam.
Emon menginginkan ketenangan dan ketentraman di atas sebuah kursi goyang. “..Petarung sejati yang ingin hidup tentram dan damai tanpa adanya suatu keterikatan”, demikian deskripsi karyanya. “Picture of Me” sepertinya menjadi representasi ketakutan manusia akan hidup. Keinginan untuk tenang, tentram, damai dan merdeka dari segala keterikatan, yang justru membuatnya harus terikat kencang ke mana-mana. Kursi goyang bagi beberapa orang melambangkan kesenangan, ketentraman, sikap yang konservatif setelah melewati berbagai pertarungan hidup, namun masih saja menakutkan. Masih menimbulkan goyangan-goyangan. Oleh karena itu harus diikat seerat mungkin agar kursi goyang tak lagi bergoyang.
Irwan Hakim menyajikan “Aku dan Sebelum Aku”, sebuah kolase foto yang terdiri atas 22 baris dengan 11 kolom. Kolase foto itu berjumlah sebanyak 220 lembar foto 3R dengan dimensi 55 X 77 inci. Pada deskripsinya, dengan mengutip data dari CIFOR (Centre of International Forestry Research-Pusat Penelitian Kehutanan Internasional), karya ini mencoba mengingatkan kita bahwa pohon yang ditebang untuk industri pulp dan kertas diambil dari hutan alam yang semakin berkurang. Dengan memasang ratusan kolase foto pohon yang hendak ditebang, mulai foto tajuk pohon di bagian teratas kolase hingga foto akar di bagian bawah, Irwan menyatakan betapa masifnya manusia dalam menyikapi permasalahan kertas dan hutan. Permasalahan yang dalam karyanya menuntut untuk disikapi. Bahkan secara sadar Irwan melakukan otokritik dan kritik terhadap dunia fotografi yang digelutinya. Di mana fotografi harus dan masih identik dengan mencetak hasilnya di atas kertas. Bagaimana sebetulnya Irwan merasa gamang menghadapi rakusnya industri dan pelaku fotografi –baik itu fotografer pro, media, amatir, hiburan, ataupun fotografi seni—yang terus menggunakan kertas dalam jumlah yang sangat besar.
Pada bagian terakhir, ada Doly Harahap yang mengajak kita untuk merenung dengan “Mencari Alamat #1 - #11), yang terdiri dari 11 foto hitam putih berformat vertikal berukuran 8 X 12 inci yang masing-masing dipasang di atas styrofoam putih dan disusun dalam urutan 3-2-1-2-3. Doly, seperti yang diungkapkan dalam deskripsinya, merasakan kerinduan akan kehadiran seorang ibu.
Doly melakukan eksplorasi yang menarik dengan lukisan tangan (hand drawing) yang dianggapnya mencitrakan sosok Ibu dalam setiap fotonya. Lukisan itu selalu hadir dengan berbagai macam sikap dan keinginan. Misalnya saja Doly merasa bahwa Ibu adalah sosok misterius. Doly menutupi wajah Ibu dengan kain Ulos hingga menyisakan bagian mata ke atas. Doly juga ingin merasakan menyentuh ibu, memotret lukisan itu dengan sebuah tangan hitam yang seolah hendak menjamah wajah sang Ibu. Pada foto lain ia juga merasakan rindu pada sosok Ibu yang akan menciptakan silaturahmi yang dicitrakan Doly dengan melakukan montase dua pasang tangan sedang bersalaman, yang Doly nyatakan sangat kuat dalam 3 buah foto yang mirip.
Tetapi Doly juga tidak menafik kenyataan bahwa sosok Ibu juga telah pernah ia sia-siakan dengan mencitrakan sepasang sepatu boot yang sudah usang yang menjejak di atas lukisan Ibu. “Mencari Alamat #1 - #11” adalah seri yang lirih dan merintih dengan kerinduan yang amat sangat. Tidak ada ketakutan di sini, yang ada hanya kerinduan dan juga mungkin penyesalan. Itu yang membedakannnya dengan karya-karya lainnya.
III
Saya mencoba memahami tajuk “Just Kick The Wall” dengan melakukan ‘thawaf’ mengelilingi galeri Gawir 81 sebanyak 2 atau 3 kali. Pertama kali saya mengikuti arah konvensional dari kiri ke kanan searah putaran jarum jam, yang dimulai dari “Mencari Alamat #1 - #11” dan berakhir di “Untitled#1-#3”. Pada kali kedua dan atau selanjutnya, saya memutar kebalikan jarum jam, yakni dari kanan ke kiri (lihat catatan kaki no. 4). Agak sulit memahami apa sih yang diinginginkan brigadepoto# bila hanya sekedar mengunjungi pameran saja. Saya juga membuat beberapa catatan di buku notes serta memotret hampir semua karya (termasuk instalasi) dengan kamera digital. Mengunjungi pameran selama lebih kurang 1 jam dan kemudian menghabiskan waktu lebih dari 12 jam untuk membaca, mencari referensi, membuka file-file foto karya yang diambil hari sebelumnya dan menuliskan catatan ini serta menyuntingnya.
Membuat saya lebih berkeringat karena apa yang ditawarkan brigadepoto# berbeda dengan foto-foto yang biasa saya lihat selama ini. Dalam bulan Maret yang baru lalu hingga minggu pertama April 2009 ini ada sekitar 4 pameran foto yang saya kunjungi. 3 pameran foto pertama pada umumnya menawarkan foto-foto yang realis, yang struktur simboliknya saya rasa tidak sedalam “Just Kick the Wall”, karena pada umumnya foto-foto tersebut merupakan foto jurnalistik, foto bergaya jurnalistik, hingga semi dokumentasi. Artinya pemahaman maknanya cenderung seperti apa yang terdapat di dalam foto. Pohon ya berarti pohon, merah ya merah. Seperti sedang membaca kumpulan cerpen atau sebuah novel dengan gaya bahasa yang tidak bersayap. Atau semacam jurnal yang ditulis dengan gaya bahasa yang lugas.
Tetapi tidak demikian dengan “Just Kick the Wall”. “Just Kick the Wall” bagi saya adalah membaca puisi dalam bahasa Indian yang ditulis orang Mesir, diterjemahkan oleh orang Batak, lalu dibaca seorang Sunda. Ada struktur yang rumit di dalamnya, yang saya fikir, para fotografernya sendiri mungkin tidak menyadarinya.
Fotografi pada intinya adalah persepsi . Melihat dan ‘membaca’ karya foto juga adalah persepsi atas persepsi. Menuliskan sebuah kritik adalah menuliskan persepsi. Membaca tulisan kritik ini juga pada hakikatnya adalah membaca persepsi atas persepsi. Terjadi beberapa kali decoding dan encoding sehingga kemungkinan terjadi perbedaan penghayatan dan pemahaman. Itulah yang membuat karya seni selalu berada di dalam tegamgan. Berada di dalam tarik-menarik persepsi dan tafsir atas persepsi.
Secara keseluruhan apa yang menjadi kegelisahan dengan ingin ‘menjadi’ dalam “Just Kick the Wall” adalah representasi pertarungan, tidak hanya melawan keterbatasan seperti statemen mereka. Semangat itu kemudian dicitrakan dalam beragam ketakutan, kegamangan, dan juga keraguan. Ketakutan-ketakutan itu mulai tampak pada “Barata Yudha”, “Apa Kabar Pocong”, “Picture of Me” dan “Aku dan Setelah Aku”.
“Untitled #1 - #3” baru kemudian bisa saya dipahami sebagai citraan yang gamang, ragu, serta dalam kecemasan setelah saya mencoba memahami “Untuk aku, DIA, dan Mereka”, “The Harmony of Gesticulation ”, “Baratayudha #1-#3”, dan “Apa Kabar Pocong”. Sedangkan “Picture of Me” baru bisa dipahami setelah saya menafsir ulang “Untitled #1 - #3”. Dari situ saya malah mulai memahami ternyata “Cerita Dari Dunia Maya #1- #5” yang merupakan bagian dari “The Harmony of Gesticulation” karya Tha-tha memang ternyata lebih dari sekedar foto dokumentasi tari.
Tajuk “Just Kick The Wall” bagi saya adalah bagaimana dan mengapa brigadepoto# berusaha keluar dari lingkaran skizofrenia dan ketakutan, yang di dalam Microsoft Encarta 2009 dijelaskan sebagai:
“severe mental illness characterized by a variety of symptoms, including loss of contact with reality, bizarre behavior, disorganized thinking and speech, decreased emotional expressiveness, and social withdrawal. Usually only some of these symptoms occur in any one person”.
Atau, dalam bahasa Yasraf, skizofrenia didefinisikan sebagai
“kekacauan dalam struktur psikis berupa teralienasinya dan tercabutnya seseorang dari realitas: kekacauan dalam struktur bahasa berupa terputusnya rantai pertandaan yang mengaitkan sebuah tanda dengan sebuah makna, sehingga terjadi kekacauan makna”.
Sejauh ini seperti yang tampak dalam pameran, mereka mengartikulasikan berbagai macam simbol keterbatasan dan ketakutan dengan menjadikannya memiliki makna yang saling terikat satu dengan lainnya. Tak ada yang lebih menakutkan selain rasa takut itu sendiri. Simbol bidak catur, logam, manekin, baju, pocong, pohon, atau bahkan kursi goyang tiba-tiba saja menemukan kunci pemahaman dalam tarian seorang Yudistira Syuman yang dipotret oleh Tha-tha. Ketakutan-ketakutan akan keterbatasan itu kemudian tiba-tiba saya rasa bermuara pada konklusi yang terdapat dalam sederetan foto lukisan Ibu karya Doly. Seri foto yang merupakan simulakra (simulacrum) . Simulakra di mana ketakutan-ketakutan itu saling bergaung, memantul sama lain dan lenyap di kerinduan akan seorang Ibu.
Sosok Ibu, di dalam berbagai kebudayaan memiliki posisi yang penting. Di mana selain telah melahirkan, juga ibu selama 1 X 24 jam X 7 hari seminggu X 365 hari setahun hadir untuk merawat anak-anaknya. Ibu juga adalah sosok pelipur lelah seorang anak, yang selalu setia mengusir dan membebaskan anak-anaknya dari ketakutan dan keterbatasan. Mengajari anak merangkak, tengkurap, duduk, berdiri dan berjalan. Tak pernah lelah dan selalu bijak agar anak bisa belajar keluar dari keterbatasan (bergerak terbatas), lepas dari ketakutan (bila jatuh, tetap disemangati agar kembali berdiri). Ibu adalah representasi kasih sayang tanpa akhir, sehingga ada peribahasa Indonesia yang mengungkapkan bahwa “Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang badan”.
“Just Kick The Wall” yang mulanya saya tafsirkan sebagai suatu reaksi atas akan kredo-kredo fotografi yang dirasa mengikat kemudian malah berakhir pada simpulan bahwa semua keterbatasan akan berakhir pada kasih sayang. Lucunya, saya sendiri tidak menyangka bahwa hasil semuanya penafsiran dan analisis akan seperti ini. Semuanya berjalan mengalir begitu saja.
Tentu tidak menutup kemungkinan di lain hari dengan lain pengalaman saya mungkin bisa mendapat tafsir baru yang bukan tidak mungkin akan berbeda dengan penafsiran sekarang. Apalagi tulisan ini tidak berpretensi sebagai tulisan ilmiah yang dikaji secara teoritis, dengan perangkat teori yang canggih, kajian yang mendalam, serta kesimpulan-kesimpulan yang hebat. Walau perlu juga diakui bahwa pengalaman saya mengkaji dan meneliti karya Sastra dengan berlandaskan pada kritik Struktural seperti yang digagas oleh Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Pierce cukup berperan. Yaitu dengan tetap berusaha mengkaji karya berdasar karya fotonya itu sendiri. Berdasarkan unsur-unsur yang ada di dalamnya (warna, komposisi, isi, pencahayaan, teknik, dan lain-lain, termasuk judul, deskripsi, dan cara pengemasan dan presentasi foto yang saya anggap sebagai satu kesatuan). Tanpa bermaksud apapun, saya mengesampingkan semua catatan biografi, catatan pengantar, kuratorial, serta informasi lain yang ada di dalam katalog. Tulisan-tulisan yang saya pakai yang berasal dari pameran ini adalah hanya dari statemen pameran yang ditulis di leaflet/poster/katalog publikasi.
=======================
Bandung, 3 April 2009
Ricky Nugraha
Desainer Grafis, Pecinta Kopi dan Fotografi
4.01.2009
JALAN CAHAYA, JALAN YANG ENTAH KE MANA
http://6ix2o9ine.blogspot.com
:Catatan Pameran Foto “Jalan Cahaya”
Masih dari sebentuk pameran foto. Entah mengapa, kegiatan yang satu ini akhir-akhir ini tampak bergairah sekali. Padahal bila hanya untuk sekedar memajang foto-foto best collection saya fikir tidak memerlukan ruang pamer. Internet rasanya bisa mendekatkan antara karya dengan calon audiens-nya dengan lebih dekat. Banyak penyedia jasa web gratis yang bisa dimanfaatkan untuk men-display foto-foto. Katakanlah Blogspot, Wordpress, bahkan Friendster dan Facebook rasanya bisa dimanfaatkan untuk keperluan itu. Selain akan lebih mudah menjangkau khalayak karena daya jelajahnya yang seolah tanpa batas, juga akan lebih murah karena tidak perlu menyewa galeri, mencetak foto dalam kertas foto, atau membuat katalog. Di galeri digital khalayak juga bisa datang kapan saja tanpa dibatasi waktu dan ruang. Penyelenggara bisa memfokuskan kegiatan pada penyebaran publikasi untuk merengkuh khalayak agar log in dari komputernya masing-masing. Bila masih perlu semacam artist talk, barulah bisa menyewa ruangan untuk datang dan berdiskusi sekaligus kopdar sambil MEOK (Makan Enak Ongkang Kaki).
Seolah-olah dengan telah menyelenggarakan atau dengan mengikuti pameran, seseorang kemudian ditasbihkan sah sebagai seorang fotografer. Pameran tampaknya merupakan suatu arena pentahbisan seseorang dari manusia biasa menjadi seorang ‘toekang potret’. Lengkap dengan karya, biodata, juga sedikit euforia. Hal ini mengingatkan saya akan celoteh seorang teman yang menyatakan bahwa seseorang tidak bisa disebut sebagai fotografer hanya karena ia bisa membeli kamera Nikon.
Tidak ada yang sempurna. Mungkin itu bisa mengawali catatan saya tentang pameran foto “Jalan Cahaya” yang diselenggarakan Jepret Unisba (Universitas Islam Bandung), sebuah kelompok pegiat fotografi yang umumnya terdiri dari mahasiswa Unisba. Pada pameran yang diselenggarakan di Galeri Kita mulai 30 Maret hingga 5 April 2009, Jepret menyajikan 49 karya foto dari 17 orang fotografer yang terhimpun di dalamya. Karyanya pun beragam, mulai cetak berwarna hingga cetak hitam putih (dengan mesin warna) dengan berbagai genre dan teknik berbaur di dalamnya. Mulai yang bergaya jurnalistik yang berusaha jujur, fotografi panggung, hingga penambahan ornamen non-fotografis melalui olah digital. Pameran ini dilaksanakan setelah melalui tahap kurasi oleh tiga kurator, yakni Oji Kurniadi (pembina Jepret), Galih Sedayu, dan Deni Sugandi.
Mungkin sebelum memasuki ruang galeri ekspetasi saya terlalu berlebihan. Saya berharap “Jalan Cahaya” akan memberikan pencerahan melalui cahayanya. Di berbagai budaya dunia, kata cahaya kerap berasosiasi dengan pengertian harapan, keinginan, semangat, pencerahan, atau suatu hasil positif. Katakanlah dalam alegori manusia gua-nya Plato, alegori yang sering dipakai komunitas fotografi dalam berdiskusi. Di mana manusia dihadapkan tinggal dalam kegelapan dan hanya menangkap bayang-bayang sebagai kenyataan atau keluar dari gua untuk mendapatkan kebenaran lain. Kebenaran bayang-bayang adalah hasil persentuhan antara cahaya matahari yang terang benderang di luar yang menyusup ke dalam gua dengan tubuh mereka.
Tetapi harapan itu meleset begitu mencapai ruang pameran. “Jalan Cahaya” rupanya lebih merupakan suatu pameran ‘pajang’ karya daripada suatu pameran yang memberi gagasan atau permasalahan. Mungkin pada 5 buah karya pertama saya tertarik karena karya-karya itu seolah memberikan suatu permasalahan. Foto-foto di sekitar Jalan Layang Paspati yang diambil saat malam menjelang, lengkap dengan cahayanya, memberikan impresi yang bagus. Saya berfikir mungkin pameran ini akan mempersoalkan kegelisahan akan tata ruang sebuah kota yang menyimpan banyak cerita di dalamnya. Kegelisahan seorang warga akan kegiatan pembangunan di kotanya. Atau juga cahaya harapan yang dipahatkan pada aspal jalan layang Paspati yang telah mengorbankan banyak hal.
Ekspetasi itu mulai meleset saat memasuki ruang berikutnya. Persoalan tata ruang, cahaya, kota, manusia, seolah menguap begitu melihat foto-foto selanjutnya. Ternyata “Jalan Cahaya” lebih mengupas ke persoalan ‘cahaya’ dalam artian sesungguhnya. Persis seperti kuratorial yang ditulis Galih Sedayu ataupun dalam pengantar yang terdapat di dalam katalog. “Jalan Cahaya” lebih berpusat pada bagaimana sebuah kamera, menangkap cahaya dalam artian sesungguhnya. Nyaris seperti definisi fotografi pada awalnya, menggambar dengan cahaya. Bahkan lebih sempit, karena hampir seluruh foto yang dipamerkan bertendensi untuk ‘menangkap’ cahaya di malam yang gulita. Baik itu cahaya lampu, sorot lampu kendaraan, kembang api, lampu panggung dan lainnya. Bahkan beberapa di antaranya ‘nekad’ memotret landscape dengan sunset dan sunrise-nya, atau memotret cahaya matahari hangat yang menerobos dedaunan.
Katakanlah sebuah karya Yogi Artha misalnya. Dalam “Balubur Kini #2”, Yogi cukup cerdas dengan menangkap suasana temaram (entah senja entah fajar) di lahan bekas pasar Balubur lama. Foto tersebut seolah menjelma menjadi suatu metafor yang ambigu, di mana tidak jelasnya batas penanda waktu antara sunrise atau sunset yang jingga dan temaram, tataran simbolik cahaya sebagai harapan dan atau menjelang kegelapan. Apakah Yogi berusaha menafsir ulang bahwa pembangunan kembali pasar Balubur lama yang kumuh akan menjanjikan Pasar Balubur Baru yang katanya akan lebih bersih dan modern? Bila merujuk ke tema pameran, saya pikir, ya. Dalam “Balubur Kini#2”, Yogie berhasil melebur imaji dan cahayanya menjadi sebuah metafor yang positive thinking tentang pembangunan.
Sedangkan Atep M, melalui foto human interest-nya berjudul “Permohonan” juga berhasil menangkap cahaya sebagai tataran metafor yang menarik. Seorang penganut agama yang sedang khusyuk berdoa di depan sebatang lilin besar berwarna merah yang menyala. Ada kesyahduan, ada kekhusyukan, ada cahaya yang ingin diraih dalam doa dan pengharapan. Mata yang terpejam yang secara logika optik akan menghalangi masuknya cahaya ke retina mata, justru akan semakin mendekatkan cahaya ke dalam hati umat-Nya yang sedang berdoa itu. Dominasi warna merah pada lilin, pada cahaya sekitarnya, semakin menegaskan bahwa cahaya adalah doa, cahaya adalah harapan, cahaya adalah pembebas manusia dari kegelapan dan kejahiliyahan.
***
Jangan berharap banyak dengan menangkap korelasi antara judul dengan karya. Banyak di antaranya justru abai dengan permasalahan judul dan caption foto. Masih banyak yang terkesima dengan mitos bahwa sebuah gambar lebih bermakna dari sejuta kata. Padahal, sebuah kata yang tepat justru akan mengantarkan kita pada pemahaman akan gambar itu sendiri. Seperti misalnya “Warning” (Yogi Artha), yang mencerminkan suasana sunset di sebuah pantai di Bali, yang dianggap penuh bahaya.
Kembali bila dihubungkan dengan judul pameran secara keseluruhan, pemahaman arti cahaya secara leksikal, saya jadi bertanya: sejak kapan cahaya kemudian dianggap sebagai suatu peringatan bahaya? Mungkin dan pasti ada. Dalam beberapa cerita tradisional misalnya, hadirnya cahaya yang berkelebat kerap diasosikan dengan kejadian buruk yang akan menimpa. Misalnya dalam mitos banas pati, di mana cahaya yang berkelebat di malam hari hari dianggap sebagai pembawa kesialan, pembawa ilmu hitam yang akan mencelakai seseorang.
Tetapi judul “Warning” tidak seperti itu. “Warning” tidak menangkap momen banas pati menyambar seseorang di Bali. Judul itu diilhami oleh sebuah bendera peringatan yang dipasang penjaga pantai menjadi titik fokus gambar . Sementara saya tidak melihat adanya ‘warning’ dalam elemen gambar yang lain, selain ekspresi sebuah foto liburan yang indah yang pantas dipasang di album keluarga atau menjadi wallpaper dekstop komputer, bukan di ruang pamer sebuah galeri yang terhormat.
Begitu pula halnya dengan “Warna-Warni” (Jackson Doddi Priadi). Pada fotonya yang sudah jelas merupakan foto cetak warna saya heran kenapa ia masih memberikan judul “Warna-Warni”? ditambah dengan caption yang semakin sumir. Menurutnya foto itu diambil di Monumen Pancasila Bandung (catatan saya: perasaan mah tidak ada monumen Pancasila di Bandung, yang ada monumen PRJB yang kerap diplesetkan menjadi Monumen Perjuangan Rakyat Sekeloa, seperti yang bisa saya identifikasi pada gambar yang bersangkutan) yang merepresentasikan hanya ada tiga parpol yang berkuasa di masa Orde Baru. Herannya lagi, pada caption foto didapat keterangan bahwa tarikh foto tersebut bertanda tahun 2004. Apa hubungannya, ini kan bukan foto jurnalistik?
Saya sangat tidak puas dengan judul dan argumen Jackson. Bila ingin tampil ekspresif, kenapa tidak membuat judul yang lebih provokatif,-- “Cahaya Pembawa Petaka”, “Cahaya Dusta Indonesia”, atau “Cahaya Bersaudara” misalnya-- itu bila masih keukeuh ingin menghubungkan antara judul dengan isi gambar. Gagasan Jackson tentang warna-warni politik juga digugurkan dengan pencantuman tahun. Sebab, tahun 2004 sudah musimnya multi partai, tentu dengan banyak warna yang tidak hanya merah-kuning-hijau. Sayang, foto yang bagus, teknik yang menarik, dan gagasan yang asyik, terbantahkan justru oleh dirinya sendiri. Oleh satu frasa dan sederet kalimat yang seharusnya mengantar pada proses pemahaman dan penghayatan audiens, bukannya menjerumuskan.
***
Ada yang mencoba untuk bermain cahaya dalam artian yang harfiah, namun hasilnya cukup lumayan. Kali ini Andri B. Nugraha dalam “Pohon Cahaya” berhasil membuat cahaya gemerlapnya pesta kembang api menjadi karya yang cukup imajinatif. Bagaimana kemudian Andri tampak memaksimalkan fasilitas Bulb (B) pada kamera SLR-nya untuk menangkap tahapan sebuah kembang api hingga meledak dan menjelma menjadi menyerupai sebuah pohon kelapa atau pohon palem. Ada upaya untuk bersabar dalam merunut konsepnya. Walau tidak sempurna, tetapi pencapaian itu lumayan berhasil. Seharusnya Andri pun mengatakan terima kasih pada kemajuan teknologi fotografi karena karyanya itu tidak bisa didapat bila menggunakan kamera kelas entry level atau compact saja. Pun pada kamera generasi awal seperti kamera obskura atau daguerreotype misalnya.
Percobaan dengan cahaya juga membuat beberapa foto menjadi seperti tampak carut marut. Mungkin ingin menjadi semacam ekspresi yang abstrak, yang menurut saya bila digolongkan ke dalam penggolongan seni modern, lebih cocok berada di wilayah ekspresionis. Di mana fotografer berusaha untuk meluapkan emosi artistiknya dalam slow shutter (tak jarang di-set di B), dengan lensa yang tidak fokus, lengkap dengan handshake dan goyang-goyang yang disengaja. Sebut saja “AVA Blur” karya Anggi, “Sound of Light” karya Dani R, atau “Untitled” karya Andri B. Nugraha. Cukup menarik walau gagasan yang ingin ditonjolkan justru tidak tampak pada karya-karyanya selain menunjukkan teknik goyang kamera saja. Mungkin bila kelaka akan menjelajahi wilayah ekspresionis ini, mereka harus cukup banyak belajar mengolah dan menjelajahi emosi. Agar foto-foto yang dihasilkan kelak memiliki kedalaman emosi yang artistik, bukan narsisitik. Banyak contoh karya, baik dari seni lukis, ilustrasi, atau fotografi itu sendiri, yang bisa didapat dengan sedikit googling di Internet. Asal jangan belajar goyang kamera pada Julia Perez atau Denada, bisa beda ceritanya nanti.
Pada karya lain, sebut saja “Dream Day with Light” (Dani R), penggunaan cahaya dan warna cahaya justru lebih cerdas dimanfaatkan. Dani cukup gemilang menempatkan judul dengan karyanya sebagai suatu yang solid dan absolut. Bagaiman kemudian seperti tampak dalam gambar, seseorang yang duduk termenung berhadapan dengan cahaya. Bagaimana kemudian cahaya-cahaya berbinar akibat perbedaan ruang tajam (DOF) antara subyek dan background foto menjelma menjadi suatu pengharapan, suatu asa, suatu upaya menggapai jalan cahaya yang simbolik. Ini contoh foto yang berhasil menurut saya. Berhasil keluar dari kecenderungan berfikir literal menjadi lateral, kontekstual, dan simbolik. Nuansa imajinasi subyek foto pun bertambah kuat dengan penggunaan foto berwarna. Entah apa ceritanya bila dibuat dalam hitam-putih, walaupun hal itu memungkinkan dengan mewabahnya penggunaan software pengolah gambar yang dengan mudah membuat berwarna menjadi hitam putih hanya dalam satu klik pada mouse komputer.
***
Penggunaan software pengolah foto juga nampaknya tidak diharamkan pada pameran ini. Cukup membuat saya terhibur walau masih jauh dari puas. Karena penggunaan manipulasi digital masih sebatas tempelan atau trendi saja. Masih jauh dengan karya jama’ah tarekah Al Fotosoffiyah lain di belahan bumi lainnya. “Putri Cahaya” (Andri B. Nugraha) misalnya. Penggunaan software tampak jelas dengan memasang ornamen dekoratif floral pada bidang kosong yang hitam. Ditambah dengan setiap tepi foto yang dibubuhi garis pembatas/border berwarna hitam dengan efek guratan kuas. Membuat foto lebih menarik tetapi masih jauh dari kreatif. Karena hal ini seperti copy-paste dari foto-foto lain yang pernah saya lihat di foto-foto dokumentasi pernikahan/wedding atau foto-foto studio, yang sepertinya tidak ‘pede’ kalau tidak menunjukan pada calon konsumennya bahwa foto-foto mereka sudah digital, sudah computerized, sudah ‘photoshop banget gitu lho’.
Begitu juga penempatan teks di dalam karya foto. Pada jama’ah penganut aliran foto lain, menempatkan teks di dalam karya foto akan dianggap sebagai bid’ah. Sebagai heretic yang akan membuat foto tersebut menanggung dosa yang paling besar dalam kamus dosa fotografi jama’ah yang bersangkutan. Namun masih berjuta sayang, kenapa kebebasan untuk menempatkan teks tersebut tidak dimanfaatkan dengan baik? Mengapa hanya foto-foto Rio Tri Atmaja saja yang nekad membubuhkan teks di atas karyanya? Itupun sekedar tanda tangan saja. “FilmOgraphy Arts” (yap, dengan “O” besar di tengahnya), kata yang tak ada maknanya bila dihubungkan dengan karyanya, dibubuhkan pada semua foto karyanya. Bagus? Mmm... .
Tidak ada relevansi antara teks “FilmOgraphy Arts” dengan foto yang bersangkutan. Bila berani melakukan eksplorasi lebih jauh antara teks dan fotografi, mengapa tidak mencermati karya-karya photomontage seperti yang digelorakan fotografi Dadaisme misalnya? Tengoklah “ABCD” karya Raoul Hausmann (1923) 1) atau atau “Tableau Rastadada” karya Francis Picabia (1920)2). Dadaisme yang dikenal sebagai anak bengal di dunia seni modern, berani seenaknya menempatkan teks di dalam karyanya-karyanya. Puisi dengan kata-kata dan tipografi yang tidak jelas. Puisi di atas foto. Foto diatas lukisan dan drawing, bahkan foto dengan berbagai macam manipulasi yang pada jamannya sangat luar bisa karena dilakukan secara manual di dalam kamar gelap.
Hal ini mengingatkan saya pada saat Ray Bachtiar Drajat, yang ‘budak baong made in Bandung’ menyatakan keheranannya pada masa kini, di saat software pengolah foto (orisinil, bajakan, ataupun gratisan seperti The GIMP sangat mudah didapat), komputer semakin canggih, dan fotografi semakin mudah dan murah, tetapi ternyata sangat minim eksperimen dan eksplorasi. Ray juga menyatakan bahwa dirinya pernah menjadi juri dalam suatu lomba foto kelas bebas. Namun dari 2000 foto yang masuk, ia merasa heran karena ternyata Photoshop telah menyeragamkan ragam fotografi kelas bebas. Kegelisahan Ray kemudian tumpah pada kamera obskura (kamera kaleng, kamera lubang jarum, pinhole camera) di mana cahaya ditangkap dalam arti seharfiah-harfiahnya. 3)
Tanpa bermaksud promosi, bila ingin sekedar menempatkan cahaya dalam karya foto, kenapa tidak memakai kamera lubang jarum (KLJ) saja? Karena dengan KLJ maka judul pameran “Jalan Cahaya” akan menemukan makna yang sebenar-benarnya. Atau cobalah bereksperimen dengan photogram di kamar gelap sungguhan (dengan cairan developer, fixer, stopbath, lembaran film ortho, kertas foto, dan lampu merah serta lainnya). Atau bila ingin lebih praktis, modern dan gaul, pakai saja kamera lomo. Tidak perlu kamera yang berjudul mahal, besar, berat, dan canggih. Tidak perlu sotopop, tidak perlu mesin cetak yang canggih dan mahal, tidak perlu industri berskala besar yang hanya meninabobokan kreativitas dan meliarkan konsemerisme.
***
Masih banyak memang yang perlu dibenahi dari pameran foto ini. Seperti misalnya pemasangan foto yang terkesan buru-buru dan jauh dari rapi. Selain itu pesan sponsor di setiap bingkai cukup mengganggu. Seolah tidak cukup disimpan di spanduk, poster, katalog, atau undangan. Menunjukan bahwa fotografi kita masih lemah dalam soal bargain dengan industri. Mengapa harus disimpan di pigura? Mengapa harus disisipkan di depan foto? Padahal bila mau, tidak selalu yang namanya pameran foto itu dicetak di atas kertas foto dengan mesin yang mahal. Ada solusi lain, misalnya penggunaan printer warna kelas rumahan yang sudah semakin murah dan bagus.
Selain itu, proses kurasi yang melibatkan tiga orang kurator rasanya berlebihan banget deh. Masa untuk mengkurasi foto yang ‘gitu-gitu aja’ diperlukan tiga orang kurator? Apalagi bila membandingkan karya yang lolos kurasi ternyata tidak lebih baik dari karya yang tidak lolos, yang juga dipajang di sudut lain ruang pamer. Seharusnya dengan tiga kurator, foto yang dipamerkan akan lebih selektif, dan lebih sedikit dari sekarang. Sepertinya memang ada pemaksaan kuota entah dengan alasan apa.
Satu-satunya penghiburan adalah adanya katalog, benda yang tidak saya dapatkan dari pameran-pameran sebelumnya. Walaupun dicetak sederhana dengan printer rumahan, saya rasa katalog ini lebih dari memadai karena seluruh hal-ihwal dalam pameran ini tercantum di dalamnya. Namun masih ada lentik cahaya di hati saya, semoga tulisan ini tidak meruntuhkan semangat untuk berkarya. Fotografer boleh datang dan pergi. Patah tumbuh hilang berganti. Tetapi karya yang baik akan tetap dikenang sepanjang sisa peradaban ke depan. Sebab bangsa ini memerlukan karya seni yang baik juga, tidak sekedar indah atau numpang lewat saja. Salah satu arah pencapaian adalah dengan memperbanyak silaturahmi, berdiskusi, bersantai dan bersenda-gurau untuk kemudian didedahkan menjadi suatu karya foto yang layak untuk dikenang.
1.Ades, Dawn. Photomontage, Revised and Enlarged Edition. Thames & Hudson, New York: 2000 (reprinted); Hal. 39
2.Ibid, Hal. 109.
3.Diskusi dalam acara Photo Speak 29 di Sabuga ITB, 26 Maret 2009.
==============================
1 April 2009
Ricky Nugraha
Desainer Grafis, Pecinta Kopi dan Fotografi
www.6ix2o9ine.blogspot.com
:Catatan Pameran Foto “Jalan Cahaya”
Masih dari sebentuk pameran foto. Entah mengapa, kegiatan yang satu ini akhir-akhir ini tampak bergairah sekali. Padahal bila hanya untuk sekedar memajang foto-foto best collection saya fikir tidak memerlukan ruang pamer. Internet rasanya bisa mendekatkan antara karya dengan calon audiens-nya dengan lebih dekat. Banyak penyedia jasa web gratis yang bisa dimanfaatkan untuk men-display foto-foto. Katakanlah Blogspot, Wordpress, bahkan Friendster dan Facebook rasanya bisa dimanfaatkan untuk keperluan itu. Selain akan lebih mudah menjangkau khalayak karena daya jelajahnya yang seolah tanpa batas, juga akan lebih murah karena tidak perlu menyewa galeri, mencetak foto dalam kertas foto, atau membuat katalog. Di galeri digital khalayak juga bisa datang kapan saja tanpa dibatasi waktu dan ruang. Penyelenggara bisa memfokuskan kegiatan pada penyebaran publikasi untuk merengkuh khalayak agar log in dari komputernya masing-masing. Bila masih perlu semacam artist talk, barulah bisa menyewa ruangan untuk datang dan berdiskusi sekaligus kopdar sambil MEOK (Makan Enak Ongkang Kaki).
Seolah-olah dengan telah menyelenggarakan atau dengan mengikuti pameran, seseorang kemudian ditasbihkan sah sebagai seorang fotografer. Pameran tampaknya merupakan suatu arena pentahbisan seseorang dari manusia biasa menjadi seorang ‘toekang potret’. Lengkap dengan karya, biodata, juga sedikit euforia. Hal ini mengingatkan saya akan celoteh seorang teman yang menyatakan bahwa seseorang tidak bisa disebut sebagai fotografer hanya karena ia bisa membeli kamera Nikon.
Tidak ada yang sempurna. Mungkin itu bisa mengawali catatan saya tentang pameran foto “Jalan Cahaya” yang diselenggarakan Jepret Unisba (Universitas Islam Bandung), sebuah kelompok pegiat fotografi yang umumnya terdiri dari mahasiswa Unisba. Pada pameran yang diselenggarakan di Galeri Kita mulai 30 Maret hingga 5 April 2009, Jepret menyajikan 49 karya foto dari 17 orang fotografer yang terhimpun di dalamya. Karyanya pun beragam, mulai cetak berwarna hingga cetak hitam putih (dengan mesin warna) dengan berbagai genre dan teknik berbaur di dalamnya. Mulai yang bergaya jurnalistik yang berusaha jujur, fotografi panggung, hingga penambahan ornamen non-fotografis melalui olah digital. Pameran ini dilaksanakan setelah melalui tahap kurasi oleh tiga kurator, yakni Oji Kurniadi (pembina Jepret), Galih Sedayu, dan Deni Sugandi.
Mungkin sebelum memasuki ruang galeri ekspetasi saya terlalu berlebihan. Saya berharap “Jalan Cahaya” akan memberikan pencerahan melalui cahayanya. Di berbagai budaya dunia, kata cahaya kerap berasosiasi dengan pengertian harapan, keinginan, semangat, pencerahan, atau suatu hasil positif. Katakanlah dalam alegori manusia gua-nya Plato, alegori yang sering dipakai komunitas fotografi dalam berdiskusi. Di mana manusia dihadapkan tinggal dalam kegelapan dan hanya menangkap bayang-bayang sebagai kenyataan atau keluar dari gua untuk mendapatkan kebenaran lain. Kebenaran bayang-bayang adalah hasil persentuhan antara cahaya matahari yang terang benderang di luar yang menyusup ke dalam gua dengan tubuh mereka.
Tetapi harapan itu meleset begitu mencapai ruang pameran. “Jalan Cahaya” rupanya lebih merupakan suatu pameran ‘pajang’ karya daripada suatu pameran yang memberi gagasan atau permasalahan. Mungkin pada 5 buah karya pertama saya tertarik karena karya-karya itu seolah memberikan suatu permasalahan. Foto-foto di sekitar Jalan Layang Paspati yang diambil saat malam menjelang, lengkap dengan cahayanya, memberikan impresi yang bagus. Saya berfikir mungkin pameran ini akan mempersoalkan kegelisahan akan tata ruang sebuah kota yang menyimpan banyak cerita di dalamnya. Kegelisahan seorang warga akan kegiatan pembangunan di kotanya. Atau juga cahaya harapan yang dipahatkan pada aspal jalan layang Paspati yang telah mengorbankan banyak hal.
Ekspetasi itu mulai meleset saat memasuki ruang berikutnya. Persoalan tata ruang, cahaya, kota, manusia, seolah menguap begitu melihat foto-foto selanjutnya. Ternyata “Jalan Cahaya” lebih mengupas ke persoalan ‘cahaya’ dalam artian sesungguhnya. Persis seperti kuratorial yang ditulis Galih Sedayu ataupun dalam pengantar yang terdapat di dalam katalog. “Jalan Cahaya” lebih berpusat pada bagaimana sebuah kamera, menangkap cahaya dalam artian sesungguhnya. Nyaris seperti definisi fotografi pada awalnya, menggambar dengan cahaya. Bahkan lebih sempit, karena hampir seluruh foto yang dipamerkan bertendensi untuk ‘menangkap’ cahaya di malam yang gulita. Baik itu cahaya lampu, sorot lampu kendaraan, kembang api, lampu panggung dan lainnya. Bahkan beberapa di antaranya ‘nekad’ memotret landscape dengan sunset dan sunrise-nya, atau memotret cahaya matahari hangat yang menerobos dedaunan.
Katakanlah sebuah karya Yogi Artha misalnya. Dalam “Balubur Kini #2”, Yogi cukup cerdas dengan menangkap suasana temaram (entah senja entah fajar) di lahan bekas pasar Balubur lama. Foto tersebut seolah menjelma menjadi suatu metafor yang ambigu, di mana tidak jelasnya batas penanda waktu antara sunrise atau sunset yang jingga dan temaram, tataran simbolik cahaya sebagai harapan dan atau menjelang kegelapan. Apakah Yogi berusaha menafsir ulang bahwa pembangunan kembali pasar Balubur lama yang kumuh akan menjanjikan Pasar Balubur Baru yang katanya akan lebih bersih dan modern? Bila merujuk ke tema pameran, saya pikir, ya. Dalam “Balubur Kini#2”, Yogie berhasil melebur imaji dan cahayanya menjadi sebuah metafor yang positive thinking tentang pembangunan.
Sedangkan Atep M, melalui foto human interest-nya berjudul “Permohonan” juga berhasil menangkap cahaya sebagai tataran metafor yang menarik. Seorang penganut agama yang sedang khusyuk berdoa di depan sebatang lilin besar berwarna merah yang menyala. Ada kesyahduan, ada kekhusyukan, ada cahaya yang ingin diraih dalam doa dan pengharapan. Mata yang terpejam yang secara logika optik akan menghalangi masuknya cahaya ke retina mata, justru akan semakin mendekatkan cahaya ke dalam hati umat-Nya yang sedang berdoa itu. Dominasi warna merah pada lilin, pada cahaya sekitarnya, semakin menegaskan bahwa cahaya adalah doa, cahaya adalah harapan, cahaya adalah pembebas manusia dari kegelapan dan kejahiliyahan.
***
Jangan berharap banyak dengan menangkap korelasi antara judul dengan karya. Banyak di antaranya justru abai dengan permasalahan judul dan caption foto. Masih banyak yang terkesima dengan mitos bahwa sebuah gambar lebih bermakna dari sejuta kata. Padahal, sebuah kata yang tepat justru akan mengantarkan kita pada pemahaman akan gambar itu sendiri. Seperti misalnya “Warning” (Yogi Artha), yang mencerminkan suasana sunset di sebuah pantai di Bali, yang dianggap penuh bahaya.
Kembali bila dihubungkan dengan judul pameran secara keseluruhan, pemahaman arti cahaya secara leksikal, saya jadi bertanya: sejak kapan cahaya kemudian dianggap sebagai suatu peringatan bahaya? Mungkin dan pasti ada. Dalam beberapa cerita tradisional misalnya, hadirnya cahaya yang berkelebat kerap diasosikan dengan kejadian buruk yang akan menimpa. Misalnya dalam mitos banas pati, di mana cahaya yang berkelebat di malam hari hari dianggap sebagai pembawa kesialan, pembawa ilmu hitam yang akan mencelakai seseorang.
Tetapi judul “Warning” tidak seperti itu. “Warning” tidak menangkap momen banas pati menyambar seseorang di Bali. Judul itu diilhami oleh sebuah bendera peringatan yang dipasang penjaga pantai menjadi titik fokus gambar . Sementara saya tidak melihat adanya ‘warning’ dalam elemen gambar yang lain, selain ekspresi sebuah foto liburan yang indah yang pantas dipasang di album keluarga atau menjadi wallpaper dekstop komputer, bukan di ruang pamer sebuah galeri yang terhormat.
Begitu pula halnya dengan “Warna-Warni” (Jackson Doddi Priadi). Pada fotonya yang sudah jelas merupakan foto cetak warna saya heran kenapa ia masih memberikan judul “Warna-Warni”? ditambah dengan caption yang semakin sumir. Menurutnya foto itu diambil di Monumen Pancasila Bandung (catatan saya: perasaan mah tidak ada monumen Pancasila di Bandung, yang ada monumen PRJB yang kerap diplesetkan menjadi Monumen Perjuangan Rakyat Sekeloa, seperti yang bisa saya identifikasi pada gambar yang bersangkutan) yang merepresentasikan hanya ada tiga parpol yang berkuasa di masa Orde Baru. Herannya lagi, pada caption foto didapat keterangan bahwa tarikh foto tersebut bertanda tahun 2004. Apa hubungannya, ini kan bukan foto jurnalistik?
Saya sangat tidak puas dengan judul dan argumen Jackson. Bila ingin tampil ekspresif, kenapa tidak membuat judul yang lebih provokatif,-- “Cahaya Pembawa Petaka”, “Cahaya Dusta Indonesia”, atau “Cahaya Bersaudara” misalnya-- itu bila masih keukeuh ingin menghubungkan antara judul dengan isi gambar. Gagasan Jackson tentang warna-warni politik juga digugurkan dengan pencantuman tahun. Sebab, tahun 2004 sudah musimnya multi partai, tentu dengan banyak warna yang tidak hanya merah-kuning-hijau. Sayang, foto yang bagus, teknik yang menarik, dan gagasan yang asyik, terbantahkan justru oleh dirinya sendiri. Oleh satu frasa dan sederet kalimat yang seharusnya mengantar pada proses pemahaman dan penghayatan audiens, bukannya menjerumuskan.
***
Ada yang mencoba untuk bermain cahaya dalam artian yang harfiah, namun hasilnya cukup lumayan. Kali ini Andri B. Nugraha dalam “Pohon Cahaya” berhasil membuat cahaya gemerlapnya pesta kembang api menjadi karya yang cukup imajinatif. Bagaimana kemudian Andri tampak memaksimalkan fasilitas Bulb (B) pada kamera SLR-nya untuk menangkap tahapan sebuah kembang api hingga meledak dan menjelma menjadi menyerupai sebuah pohon kelapa atau pohon palem. Ada upaya untuk bersabar dalam merunut konsepnya. Walau tidak sempurna, tetapi pencapaian itu lumayan berhasil. Seharusnya Andri pun mengatakan terima kasih pada kemajuan teknologi fotografi karena karyanya itu tidak bisa didapat bila menggunakan kamera kelas entry level atau compact saja. Pun pada kamera generasi awal seperti kamera obskura atau daguerreotype misalnya.
Percobaan dengan cahaya juga membuat beberapa foto menjadi seperti tampak carut marut. Mungkin ingin menjadi semacam ekspresi yang abstrak, yang menurut saya bila digolongkan ke dalam penggolongan seni modern, lebih cocok berada di wilayah ekspresionis. Di mana fotografer berusaha untuk meluapkan emosi artistiknya dalam slow shutter (tak jarang di-set di B), dengan lensa yang tidak fokus, lengkap dengan handshake dan goyang-goyang yang disengaja. Sebut saja “AVA Blur” karya Anggi, “Sound of Light” karya Dani R, atau “Untitled” karya Andri B. Nugraha. Cukup menarik walau gagasan yang ingin ditonjolkan justru tidak tampak pada karya-karyanya selain menunjukkan teknik goyang kamera saja. Mungkin bila kelaka akan menjelajahi wilayah ekspresionis ini, mereka harus cukup banyak belajar mengolah dan menjelajahi emosi. Agar foto-foto yang dihasilkan kelak memiliki kedalaman emosi yang artistik, bukan narsisitik. Banyak contoh karya, baik dari seni lukis, ilustrasi, atau fotografi itu sendiri, yang bisa didapat dengan sedikit googling di Internet. Asal jangan belajar goyang kamera pada Julia Perez atau Denada, bisa beda ceritanya nanti.
Pada karya lain, sebut saja “Dream Day with Light” (Dani R), penggunaan cahaya dan warna cahaya justru lebih cerdas dimanfaatkan. Dani cukup gemilang menempatkan judul dengan karyanya sebagai suatu yang solid dan absolut. Bagaiman kemudian seperti tampak dalam gambar, seseorang yang duduk termenung berhadapan dengan cahaya. Bagaimana kemudian cahaya-cahaya berbinar akibat perbedaan ruang tajam (DOF) antara subyek dan background foto menjelma menjadi suatu pengharapan, suatu asa, suatu upaya menggapai jalan cahaya yang simbolik. Ini contoh foto yang berhasil menurut saya. Berhasil keluar dari kecenderungan berfikir literal menjadi lateral, kontekstual, dan simbolik. Nuansa imajinasi subyek foto pun bertambah kuat dengan penggunaan foto berwarna. Entah apa ceritanya bila dibuat dalam hitam-putih, walaupun hal itu memungkinkan dengan mewabahnya penggunaan software pengolah gambar yang dengan mudah membuat berwarna menjadi hitam putih hanya dalam satu klik pada mouse komputer.
***
Penggunaan software pengolah foto juga nampaknya tidak diharamkan pada pameran ini. Cukup membuat saya terhibur walau masih jauh dari puas. Karena penggunaan manipulasi digital masih sebatas tempelan atau trendi saja. Masih jauh dengan karya jama’ah tarekah Al Fotosoffiyah lain di belahan bumi lainnya. “Putri Cahaya” (Andri B. Nugraha) misalnya. Penggunaan software tampak jelas dengan memasang ornamen dekoratif floral pada bidang kosong yang hitam. Ditambah dengan setiap tepi foto yang dibubuhi garis pembatas/border berwarna hitam dengan efek guratan kuas. Membuat foto lebih menarik tetapi masih jauh dari kreatif. Karena hal ini seperti copy-paste dari foto-foto lain yang pernah saya lihat di foto-foto dokumentasi pernikahan/wedding atau foto-foto studio, yang sepertinya tidak ‘pede’ kalau tidak menunjukan pada calon konsumennya bahwa foto-foto mereka sudah digital, sudah computerized, sudah ‘photoshop banget gitu lho’.
Begitu juga penempatan teks di dalam karya foto. Pada jama’ah penganut aliran foto lain, menempatkan teks di dalam karya foto akan dianggap sebagai bid’ah. Sebagai heretic yang akan membuat foto tersebut menanggung dosa yang paling besar dalam kamus dosa fotografi jama’ah yang bersangkutan. Namun masih berjuta sayang, kenapa kebebasan untuk menempatkan teks tersebut tidak dimanfaatkan dengan baik? Mengapa hanya foto-foto Rio Tri Atmaja saja yang nekad membubuhkan teks di atas karyanya? Itupun sekedar tanda tangan saja. “FilmOgraphy Arts” (yap, dengan “O” besar di tengahnya), kata yang tak ada maknanya bila dihubungkan dengan karyanya, dibubuhkan pada semua foto karyanya. Bagus? Mmm... .
Tidak ada relevansi antara teks “FilmOgraphy Arts” dengan foto yang bersangkutan. Bila berani melakukan eksplorasi lebih jauh antara teks dan fotografi, mengapa tidak mencermati karya-karya photomontage seperti yang digelorakan fotografi Dadaisme misalnya? Tengoklah “ABCD” karya Raoul Hausmann (1923) 1) atau atau “Tableau Rastadada” karya Francis Picabia (1920)2). Dadaisme yang dikenal sebagai anak bengal di dunia seni modern, berani seenaknya menempatkan teks di dalam karyanya-karyanya. Puisi dengan kata-kata dan tipografi yang tidak jelas. Puisi di atas foto. Foto diatas lukisan dan drawing, bahkan foto dengan berbagai macam manipulasi yang pada jamannya sangat luar bisa karena dilakukan secara manual di dalam kamar gelap.
Hal ini mengingatkan saya pada saat Ray Bachtiar Drajat, yang ‘budak baong made in Bandung’ menyatakan keheranannya pada masa kini, di saat software pengolah foto (orisinil, bajakan, ataupun gratisan seperti The GIMP sangat mudah didapat), komputer semakin canggih, dan fotografi semakin mudah dan murah, tetapi ternyata sangat minim eksperimen dan eksplorasi. Ray juga menyatakan bahwa dirinya pernah menjadi juri dalam suatu lomba foto kelas bebas. Namun dari 2000 foto yang masuk, ia merasa heran karena ternyata Photoshop telah menyeragamkan ragam fotografi kelas bebas. Kegelisahan Ray kemudian tumpah pada kamera obskura (kamera kaleng, kamera lubang jarum, pinhole camera) di mana cahaya ditangkap dalam arti seharfiah-harfiahnya. 3)
Tanpa bermaksud promosi, bila ingin sekedar menempatkan cahaya dalam karya foto, kenapa tidak memakai kamera lubang jarum (KLJ) saja? Karena dengan KLJ maka judul pameran “Jalan Cahaya” akan menemukan makna yang sebenar-benarnya. Atau cobalah bereksperimen dengan photogram di kamar gelap sungguhan (dengan cairan developer, fixer, stopbath, lembaran film ortho, kertas foto, dan lampu merah serta lainnya). Atau bila ingin lebih praktis, modern dan gaul, pakai saja kamera lomo. Tidak perlu kamera yang berjudul mahal, besar, berat, dan canggih. Tidak perlu sotopop, tidak perlu mesin cetak yang canggih dan mahal, tidak perlu industri berskala besar yang hanya meninabobokan kreativitas dan meliarkan konsemerisme.
***
Masih banyak memang yang perlu dibenahi dari pameran foto ini. Seperti misalnya pemasangan foto yang terkesan buru-buru dan jauh dari rapi. Selain itu pesan sponsor di setiap bingkai cukup mengganggu. Seolah tidak cukup disimpan di spanduk, poster, katalog, atau undangan. Menunjukan bahwa fotografi kita masih lemah dalam soal bargain dengan industri. Mengapa harus disimpan di pigura? Mengapa harus disisipkan di depan foto? Padahal bila mau, tidak selalu yang namanya pameran foto itu dicetak di atas kertas foto dengan mesin yang mahal. Ada solusi lain, misalnya penggunaan printer warna kelas rumahan yang sudah semakin murah dan bagus.
Selain itu, proses kurasi yang melibatkan tiga orang kurator rasanya berlebihan banget deh. Masa untuk mengkurasi foto yang ‘gitu-gitu aja’ diperlukan tiga orang kurator? Apalagi bila membandingkan karya yang lolos kurasi ternyata tidak lebih baik dari karya yang tidak lolos, yang juga dipajang di sudut lain ruang pamer. Seharusnya dengan tiga kurator, foto yang dipamerkan akan lebih selektif, dan lebih sedikit dari sekarang. Sepertinya memang ada pemaksaan kuota entah dengan alasan apa.
Satu-satunya penghiburan adalah adanya katalog, benda yang tidak saya dapatkan dari pameran-pameran sebelumnya. Walaupun dicetak sederhana dengan printer rumahan, saya rasa katalog ini lebih dari memadai karena seluruh hal-ihwal dalam pameran ini tercantum di dalamnya. Namun masih ada lentik cahaya di hati saya, semoga tulisan ini tidak meruntuhkan semangat untuk berkarya. Fotografer boleh datang dan pergi. Patah tumbuh hilang berganti. Tetapi karya yang baik akan tetap dikenang sepanjang sisa peradaban ke depan. Sebab bangsa ini memerlukan karya seni yang baik juga, tidak sekedar indah atau numpang lewat saja. Salah satu arah pencapaian adalah dengan memperbanyak silaturahmi, berdiskusi, bersantai dan bersenda-gurau untuk kemudian didedahkan menjadi suatu karya foto yang layak untuk dikenang.
1.Ades, Dawn. Photomontage, Revised and Enlarged Edition. Thames & Hudson, New York: 2000 (reprinted); Hal. 39
2.Ibid, Hal. 109.
3.Diskusi dalam acara Photo Speak 29 di Sabuga ITB, 26 Maret 2009.
==============================
1 April 2009
Ricky Nugraha
Desainer Grafis, Pecinta Kopi dan Fotografi
www.6ix2o9ine.blogspot.com
3.25.2009
MERENUNGI KOTA, MENANGISI MANUSIA, MENGUJI REALITAS
http://6ix2o9ine.blogspot.com
:Catatan dari Pameran Foto "Reality, How Does it Go?”
What is “real”. How do you define “real?”.
If you’re talking about what you can feel,
what you can smell, taste, and see,
then the "real" is simply electrical signal
interpreted by your brain.
(dialog Morpheus dan Neo dalam film “Matrix”, 1999).
Realitas, adalah pertanyaan mendasar yang banyak diajukan dalam kerangka pemikiran filsafat. Yasraf Amir Piliang mendefinisikan realitas (reality) sebagai segala kondisi, situasi atau obyek-obyek yang dianggap benar-benar ada di dalam dunia kehidupan, sebagai kebalikan dari apa yang disebut dengan fiksi, ilusi, halusinasi, atau fantasi. 1)
Tentu definisi di atas pun mengundang permasalahan baru, di mana realitas sangat tergantung dari apa dan bagaimana persepsi seseorang terhadap realitas. Terlebih lagi bila kemudian persepsi realitas itu divisualkan dalam sebentuk karya essai foto yang dipublikasikan dalam sebuah pameran bersama. Pameran bersama bertajuk “Reality, How Does it Go?” ini digelar oleh sekelompok fotografer yang tergabung dalam UKM Fotografi “Potret” Universitas Parahiangan Bandung. Pameran ini diikuti oleh 14 fotografer serta digelar di GSG Unpar mulai tanggal 23 hingga 25 Maret 2009 dengan menampilkan 118 foto yang terbagi ke dalam 14 sub judul.
Dalam kuratorial yang ditulis Dik (Ondi Kuswandi) sebagai kurator, ada semacam pernyataan bahwa ...”realitas” dalam pameran ini adalah untuk “...membawa kita ke dalam cara pandang yang melatarbelakangi pemotret ketika melakukan pengambilan gambar pada satu titik ruang kota sebagai obyek foto menjadi sangat personal dan menapikan tata ruang kota Bandung itu sendiri secara fisik...” 2)
Realitas, atau sering kita padankan dengan kata kenyataan, kemudian pada karya-karya foto yang dipamerkan lebih menjadi suatu pertanyaan daripada pernyatan. Tentu saja saya cukup suka di saat berhadapan dengan karya (fotografi) yang melontarkan pernyataan dan permasalahan daripada memberikan pernyataan. Di mana kemudian karya-kaya tersebut lebih terbuka untuk berdialog secara batin dengan saya sebagai seorang penggemar karya foto. Apalagi bila berhadapan dengan permasalahan-permasalahan mengenai kota, tata ruang kota, serta manusianya. Permasalahan di mana manusia dikomodifikasi untuk bisa bertahan hidup di antara tata ruang kota yang tidak sepenuhnya layak. Menjadi absurd, seperti yang dilontarkan Albert Camus atau menjadi “one dimensional man” dalam terminologi Herbet Marcuse.
***
Seperti halnya juga dengan “Lost Paradise”, sekumpulan essay foto karya Nasrul Akbar. Karya yang berjumlah 12 foto ini berusaha berusaha menangkap keseharian warga kota di suatu hari di ruang publik yang bernama taman kota. Wajah-wajah cerah mendominasi pengunjung taman kota (yang saya kenali sebagai Taman Lansia di sepanjang Cilaki), secerah Nasrul Akbar merepersentasikan kenyataan ke dalam bingkai-bingkai yang didominasi warna hijau. Nasrul tampaknya menangkap realitas taman kota sebagai ruang publik yang menjadi oase warga kota yang lelah bergumul dengan kenyataan hidup. Oase untuk berkumpul bersama keluarga, berpacaran, jajan makanan murah meriah, serta menghirup udara segar yang merupakan hak azazi yang kerap terabaikan oleh pengelola kota.
Sementara itu di bagian lain, M. Adnan Luthfi menawarkan realitas yang terjadi di bawah jembatan layang Paspati, terutama di Dago dan Cikapayang – Balubur Lama. Kemiskinan serta kumuhnya tata ruang kota yang tidak bersahabat untuk si miskin direpresentasikan M. Adnan ke dalam 11 foto yang suram dengan tajuk “Di Bawah Atap Beton Beraspal”. Tetapi kesuraman kota tampaknya tidak berlaku bagi anak-anak, di mana M. Adnan mampu menangkap secuil adegan kegembiraaan anak-anak yang sedang bermain di kumuhnya suasana di bawah jalan layang Paspati. Sementara di bingkai lain menunjukan kerasnya perjuangan hidup kaum dewasa dalam bertahan hidup mesti harus beratapkan beton beraspal yang keras.
Keceriaan anak-anak ini juga dimunculkan secara verbal oleh Bagja Rahmatullah dalam “Anak-anak Dengan Keterbatasan Ruang” yang muncil dalam 8 foto. Bagi Bagja, keterbatasan ruang kota tidak menghalangi anak-anak untuk bermain, walau menurutnya cukup sulit untuk menemukan ruang itu. Bagja merekam keceriaan anak-anak yang bermain di taman kota Bagus Rangin serta di Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat, yang hanya beberapa ratus meter dari megahnya kompleks Gedong Sate, tempat para gegeden Jawa Barat berkantor. Di aspal yang panas dan tajam sekalipun, di tembok yang dingin, anak-anak tetaplah anak-anak. Ceria dan bersemangat.
Pada “The Prisoners”, yang terdiri atas 9 karya foto essai Andi Syarief menunjukan kepedihan seorang fotografer di mana ia mendapatkan kenyataan bahwa “...keadaan bintang di kebun binatang Bandung ini. Dari tahun ke tahun tiada perubahan yang berarti...”. Andi Syarief begitu berduka dengan kondisi ‘para tawanan’ di kebun binatang yang terpenjara. Seekor beruang madu Sumatera (Helarctos malayanus malayanus) begitu murung di balik teralis, juga halnya seekor monyet beruk abu-abu (Macaque) berwajah memelas. Sementara di beberapa bingkai lain, Andi juga menangkap momen seorang ibu disaksikan suami dan anaknya tengah memberi makan sekumpulan rusa. Sedangkan di bingkai lain, di balik terali tampak seekor monyet tengah mengendong dan menyuapi anaknya.
Di tempat lain, Andi juga menangkap keceriaan tiga orang anak yang berfoto dengan seekor ular Sanca (Phyton rheticulatus). Kemuraman Andi pun tercermin pada warna foto yang cenderung muram dan gelap, namun sayang letupan emosinya menjadikan karyanya tidak konsisten dengan format. Di mana beberapa foto dipaksa untuk berformat bujursangkar, dan berhasil. Sedangkan sisanya tetap dalam format foto standar. Walau tidak mengurangi esensi, tetapi cukup mengganggu.
***
Dari 14 judul, yang sangat provokatif adalah saat Amaliya Nur Gustyara menampilkan 6 foto berukuran 16 R dengan teknik cetak hitam putih. Di bawah tajuk “Two Love Birds”, Amaliya menangkap sisi lain kehidupan warga kota yang berada di wilayah hitam putih realitas. Amaliya tampak fasih menangkap momen sepasang kekasih sejenis, ya sesama jenis, sedang bermesraan. Suatu tonjokan yang dahsyat bagi moralitas tetapi merupakan realitas yang ada di depan mata kita. “Walau sebagian masih sembunyi-sembunyi”, simpul Amaliya.
Pemilihan teknik cetak hitam-putih menunjukan bahwa dunia kaum Gay menurut Amaliya adalah dunia yang hitam-putih pula. Tinggal masalahnya apa yang hitam dan siapa yang harus menjadi putih. Amaliya juga tidak mau terjebak menjadi si hitam dengan tidak menunjukkan identitas siap sebenarnya “Two Love Birds” itu. Di mana ia tampak mem-blur-kan wajah sepasang kekasih itu dengan memakai kecepatan rana rendah pada subyek gambar yang dinamis bergerak atau membuatnya menjadi siluet dengan backlight yang kontras. Sedangkan pada beberapa bingkai simbolik lainnya, Amaliya tampak terpesona dengan simbolisasi seksualitas kaum gay yang tertangkap kamera sedang memegang, maaf, pantat pasangannya sambil bertelanjang dada. Sungguh suatu dunia hitam putih yang membuat abu-abu berserakan di antara keduanya.
Sementara itu, fotografer lain seperti Rengky Irawan(Bandung, Ekspresi Kami; 14 foto hitam putih), Ariana Hayyulia Rasyid (Tak Perlu Keliling Dunia; 8 foto berwarna) berusaha menangkap realitas kota melalui potret warganya. Rengky memajang 14 foto potret dalam hitam putih yang tegas dan muram tentang beberapa warga kota yang harus berjuang keras untuk hidup dalam extreme close up. Ariana merepresentasikan realitas dalam foto potret berwarna yangmenampilkan wajah-wajah perempuan muda yang segar dan ceria serta dua bingkai foto boneka, yang seolah menjadi anti tesis bagi Rengky.
Anti tesis membuat Ariana menulis bahwa ia merasa bingung saat hendak menangkap realitas sebuah kota dalam foto, namun ia merasa enggan meninggalkan Bandung dan merasa tidak perlu keliling dunia karena ‘dunia’ lah yang mengelilinginya. Bagi Ariana, dunianya adalah sahabat-sahabatnya, sedangkan dunia bagi Rengky adalah wraga kota yang berjuang keras mensiasati hidup.
Hal ini juga muncul pada “Persahabatan” karya Adhi Prianarizki (5 foto), yang merepresentasikan permasalahan realitas sebagai suatu persahabatan. Lengkap dengan syair lagu “Persahabatan Bagai Kepompong” yang dikutip utuh sebagai bagian dari essainya.
Kemuraman kota di pun tampak pada “Alien in Town” (Dhea Aditya; 8 Foto), “Braga The Under Exposed” (I Gusti Ngurah Krisna Maruti; 10 foto hitam putih), serta pada “Steal The Freedom” (Aulia Fitriasari; 10 foto hitam putih). Foto-foto yang dibuat dalam kecepatan rendah seperti menggambarkan terpenjaranya manusia Bandung dalam tata ruang yang, sekali lagi, tidak bersahabat bagi sebagian orang. Bahkan Aulia menulis perlunya mencuri kemerdekaan sekedar untuk mengekspresikan keinginan anak-anak muda untuk bermusik.
Tidak selalu kemuraman yang menonjol dalam permasalahan yang diusung pameran ini. Dalam “Lautze” (10 foto), Rizki Irawan mengungkap sisi relijius Bandung dalam tata ruang yang kejam dengan mengambil momen sholat Jum’at di mesjid Lautze. Sebagai informasi, mesjid Lautze adalah mesjid yang didirikan warga Bandung keturunan Cina. Mungkin satu-satunya rumah ibadah yang harus ‘ngontrak’ di lingkungan pertokoan.
Perjuangan hidup si kecil juga muncul dalam kerasnya warna-warna pada karya M. Gita Fazryan (Hidup Dalam Goresan Putih; 9 foto). Perjuangan hidup para penambang kapur di pinggiran kota Bandung yang tidak seputih kapur yang ditambangnya. Kontras yang tinggi serta tonal foto yang gelap mempertegas kerasnya kehidupan para penambang itu.
Ada juga karya yang culup menonjol bagi saya, yaitu di saat dalam “Ibrahim” (judul asli ditulis dalam huruf Arab Gundul; 8 foto) merasakan kesepian luar biasa yang berkorelasi dengan “Alien in Town”-nya Dhea Aditya. Astrid merekam beberapa sudut kota yang lengang dalam hiruk-pikuknya kota. Jalanan yang lengang di siang hari, jembatan penyeberangan yang tidak digunakan warga kota, parkiran di basement yang tanpa kendaraan, serta bioskop yang kehilangan penontonnya. Namun sayang, kesepian kota yang direpresentasikan Astrid, terganggu dengan hadirnya foto seorang laki-laki –entah siapa, mungkin kekasihnya-- di akhir essai fotonya. Tidak ada statemen apapun mengenai foto terakhir, sehingga membuat saya merasa harus meminta pertanggungjawaban kurator yang meloloskan foto tersebut, yang tentu tidak relevan dengan kuratorialnya.
***
Pada segi penyajian, pameran ini mampu memuaskan dahaga saya akan foto-foto yang melontarkan permasahan dan dialog batin pada audiens-nya. Dari segi lay out pameran yang digelar di ruang GSG Unpar yang cukup luas juga memuaskan, walau masih saja saya dan banyak audiens lain harus tatanggahan guna mendapat pemahaman yang utuh atas foto-foto yang dipajang jauh di atas kepala. Cetak foto pun cukup bagus terlebih dengan melapisi foto dengan doff coating yang selain mampu meredam silau, juga akan membuat foto relatif aman dari dampak sentuhan atau goresan. Bahkan saya sangat berharap, bahwa foto-foto ini bisa disimpan dengan baik, baik printing maupun file aslinya, mengingat foto-foto ini akan menjadi dokumentasi yang berharga 10 atau 20 tahun kemudian. Seperti halnya saya menyukai foto-foto Bandung “tempo doeloe” yang lahir pada tahun 1900-an dan terdapat dalam buku-buku Haryoto Kunto (alm.).
Lepas dari segala kekurangan penguasan teknik dan pengolahan gagasan , secara umum para fotografer, yang rata-rata berusia muda ini, berani menawarkan bentuk-bentuk visual simbolik, yang akan mengernyikan dahi audiens-nya. Gagasan-gagasan akan realitas tidak saja ditonjolkan dengan pemahaman yang verbal, tetapi juga simbolik. Makna foto pun tidak hanya denotatif, tetapi konotatif. Serta makna kemudian tidak hanya diproduksi oleh fotografer, tetapi juga oleh audiens. Suatu keberanian yang menarik menurut saya, yang akan membuat karya fotografi tidak hanya akan menjadi karya yang WYSIWYG (What You See is What You Get), tetapi menjadi WYSIWYFT (What You See is What You Feel and Think).
Namun sayang, lagi-lagi masalah tidak hadirnya katalog, bahkan dalam selembar kertas pun membuat saya menelan kekecewaan. Karena dari katalog itulah saya bisa mendapat teks kuratorial yang utuh dan bisa dikonfrontir kapan saja. Pun essai-essai yang menyertai di setiap judul. Saya pun sedikit abai dalam mencatat essai-essai yang ditulis para fotografer karena berharap akan mendapatkannya dalam katalog atau di website pameran.
Dari segi penulisan essai, yang bisa saya catat memang perlu banyak dibenahi, terutama agar gagasan tekstual tetap sinkron dengan hasil visual. Agar essai yang dibuat tidak merupakan justifikasi atau pembenaran atas karya foto, atau letupan emosional jiwa muda semata. Tetapi essai yang mampu membuat audiense luruh, cair, dan berdialog dengan permasalahan-permasalahan yang ditawarkan fotografer secara visual. Tentu saya juga mencatat beberapa essai bahkan menggunakan kutipan penggalan lagu sebagai statemen karyanya. Tidak ada salahnya mengutip dan terinspirasi syair lagu, tetapi akan lebih baik bila fotografer juga belajar menuliskan statemennya dalam bahasanya sendiri, dalam diksi dan gayanya sendiri.
Saran saya yang lain, sebaiknya semua foto dan teks dari pameran ini di-broadcast di internet sebagai blog atau apalah. Tentu agar karya-karya essai foto ini terus dapat ditafsirkan oleh banyak orang dalam jangkauan yang lebih luas, dalam daya jelajah waktu yang lebih panjang dan lebih menawarkan dialog . Selain itu, agar kegiatan fotografi yang dilakukan ini juga terdokumentasikan secara digital di internet. Sebab, tanpa dokumentasi, pameran ini akan lenyap saat waktu pameran berakhir dan dilupakan sehingga kita tidak dapat belajar apa-apa darinya.
1.) Yasraf Amir Piliang. Posrealitas, Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika; Jalasutra: 2004
2.) Dik (Ondi Kuswandi). Menangkap Fragmen Kota Melalui Foto; Pamflet Kuratorial Pameran: 2009
===================================
Bandung, 24 Maret 2009
Ricky Nugraha
Desainer Grafis, Pecinta Kopi dan Fotografi
Foto Suasana Pameran:
Ricky Nugraha
Ivan Arsiandi
http://www.facebook.com/note.php?saved&&suggest¬e_id=63183087756#/editnote.php?note_id=63183087756
:Catatan dari Pameran Foto "Reality, How Does it Go?”
What is “real”. How do you define “real?”.
If you’re talking about what you can feel,
what you can smell, taste, and see,
then the "real" is simply electrical signal
interpreted by your brain.
(dialog Morpheus dan Neo dalam film “Matrix”, 1999).
Realitas, adalah pertanyaan mendasar yang banyak diajukan dalam kerangka pemikiran filsafat. Yasraf Amir Piliang mendefinisikan realitas (reality) sebagai segala kondisi, situasi atau obyek-obyek yang dianggap benar-benar ada di dalam dunia kehidupan, sebagai kebalikan dari apa yang disebut dengan fiksi, ilusi, halusinasi, atau fantasi. 1)
Tentu definisi di atas pun mengundang permasalahan baru, di mana realitas sangat tergantung dari apa dan bagaimana persepsi seseorang terhadap realitas. Terlebih lagi bila kemudian persepsi realitas itu divisualkan dalam sebentuk karya essai foto yang dipublikasikan dalam sebuah pameran bersama. Pameran bersama bertajuk “Reality, How Does it Go?” ini digelar oleh sekelompok fotografer yang tergabung dalam UKM Fotografi “Potret” Universitas Parahiangan Bandung. Pameran ini diikuti oleh 14 fotografer serta digelar di GSG Unpar mulai tanggal 23 hingga 25 Maret 2009 dengan menampilkan 118 foto yang terbagi ke dalam 14 sub judul.
Dalam kuratorial yang ditulis Dik (Ondi Kuswandi) sebagai kurator, ada semacam pernyataan bahwa ...”realitas” dalam pameran ini adalah untuk “...membawa kita ke dalam cara pandang yang melatarbelakangi pemotret ketika melakukan pengambilan gambar pada satu titik ruang kota sebagai obyek foto menjadi sangat personal dan menapikan tata ruang kota Bandung itu sendiri secara fisik...” 2)
Realitas, atau sering kita padankan dengan kata kenyataan, kemudian pada karya-karya foto yang dipamerkan lebih menjadi suatu pertanyaan daripada pernyatan. Tentu saja saya cukup suka di saat berhadapan dengan karya (fotografi) yang melontarkan pernyataan dan permasalahan daripada memberikan pernyataan. Di mana kemudian karya-kaya tersebut lebih terbuka untuk berdialog secara batin dengan saya sebagai seorang penggemar karya foto. Apalagi bila berhadapan dengan permasalahan-permasalahan mengenai kota, tata ruang kota, serta manusianya. Permasalahan di mana manusia dikomodifikasi untuk bisa bertahan hidup di antara tata ruang kota yang tidak sepenuhnya layak. Menjadi absurd, seperti yang dilontarkan Albert Camus atau menjadi “one dimensional man” dalam terminologi Herbet Marcuse.
***
Seperti halnya juga dengan “Lost Paradise”, sekumpulan essay foto karya Nasrul Akbar. Karya yang berjumlah 12 foto ini berusaha berusaha menangkap keseharian warga kota di suatu hari di ruang publik yang bernama taman kota. Wajah-wajah cerah mendominasi pengunjung taman kota (yang saya kenali sebagai Taman Lansia di sepanjang Cilaki), secerah Nasrul Akbar merepersentasikan kenyataan ke dalam bingkai-bingkai yang didominasi warna hijau. Nasrul tampaknya menangkap realitas taman kota sebagai ruang publik yang menjadi oase warga kota yang lelah bergumul dengan kenyataan hidup. Oase untuk berkumpul bersama keluarga, berpacaran, jajan makanan murah meriah, serta menghirup udara segar yang merupakan hak azazi yang kerap terabaikan oleh pengelola kota.
Sementara itu di bagian lain, M. Adnan Luthfi menawarkan realitas yang terjadi di bawah jembatan layang Paspati, terutama di Dago dan Cikapayang – Balubur Lama. Kemiskinan serta kumuhnya tata ruang kota yang tidak bersahabat untuk si miskin direpresentasikan M. Adnan ke dalam 11 foto yang suram dengan tajuk “Di Bawah Atap Beton Beraspal”. Tetapi kesuraman kota tampaknya tidak berlaku bagi anak-anak, di mana M. Adnan mampu menangkap secuil adegan kegembiraaan anak-anak yang sedang bermain di kumuhnya suasana di bawah jalan layang Paspati. Sementara di bingkai lain menunjukan kerasnya perjuangan hidup kaum dewasa dalam bertahan hidup mesti harus beratapkan beton beraspal yang keras.
Keceriaan anak-anak ini juga dimunculkan secara verbal oleh Bagja Rahmatullah dalam “Anak-anak Dengan Keterbatasan Ruang” yang muncil dalam 8 foto. Bagi Bagja, keterbatasan ruang kota tidak menghalangi anak-anak untuk bermain, walau menurutnya cukup sulit untuk menemukan ruang itu. Bagja merekam keceriaan anak-anak yang bermain di taman kota Bagus Rangin serta di Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat, yang hanya beberapa ratus meter dari megahnya kompleks Gedong Sate, tempat para gegeden Jawa Barat berkantor. Di aspal yang panas dan tajam sekalipun, di tembok yang dingin, anak-anak tetaplah anak-anak. Ceria dan bersemangat.
Pada “The Prisoners”, yang terdiri atas 9 karya foto essai Andi Syarief menunjukan kepedihan seorang fotografer di mana ia mendapatkan kenyataan bahwa “...keadaan bintang di kebun binatang Bandung ini. Dari tahun ke tahun tiada perubahan yang berarti...”. Andi Syarief begitu berduka dengan kondisi ‘para tawanan’ di kebun binatang yang terpenjara. Seekor beruang madu Sumatera (Helarctos malayanus malayanus) begitu murung di balik teralis, juga halnya seekor monyet beruk abu-abu (Macaque) berwajah memelas. Sementara di beberapa bingkai lain, Andi juga menangkap momen seorang ibu disaksikan suami dan anaknya tengah memberi makan sekumpulan rusa. Sedangkan di bingkai lain, di balik terali tampak seekor monyet tengah mengendong dan menyuapi anaknya.
Di tempat lain, Andi juga menangkap keceriaan tiga orang anak yang berfoto dengan seekor ular Sanca (Phyton rheticulatus). Kemuraman Andi pun tercermin pada warna foto yang cenderung muram dan gelap, namun sayang letupan emosinya menjadikan karyanya tidak konsisten dengan format. Di mana beberapa foto dipaksa untuk berformat bujursangkar, dan berhasil. Sedangkan sisanya tetap dalam format foto standar. Walau tidak mengurangi esensi, tetapi cukup mengganggu.
***
Dari 14 judul, yang sangat provokatif adalah saat Amaliya Nur Gustyara menampilkan 6 foto berukuran 16 R dengan teknik cetak hitam putih. Di bawah tajuk “Two Love Birds”, Amaliya menangkap sisi lain kehidupan warga kota yang berada di wilayah hitam putih realitas. Amaliya tampak fasih menangkap momen sepasang kekasih sejenis, ya sesama jenis, sedang bermesraan. Suatu tonjokan yang dahsyat bagi moralitas tetapi merupakan realitas yang ada di depan mata kita. “Walau sebagian masih sembunyi-sembunyi”, simpul Amaliya.
Pemilihan teknik cetak hitam-putih menunjukan bahwa dunia kaum Gay menurut Amaliya adalah dunia yang hitam-putih pula. Tinggal masalahnya apa yang hitam dan siapa yang harus menjadi putih. Amaliya juga tidak mau terjebak menjadi si hitam dengan tidak menunjukkan identitas siap sebenarnya “Two Love Birds” itu. Di mana ia tampak mem-blur-kan wajah sepasang kekasih itu dengan memakai kecepatan rana rendah pada subyek gambar yang dinamis bergerak atau membuatnya menjadi siluet dengan backlight yang kontras. Sedangkan pada beberapa bingkai simbolik lainnya, Amaliya tampak terpesona dengan simbolisasi seksualitas kaum gay yang tertangkap kamera sedang memegang, maaf, pantat pasangannya sambil bertelanjang dada. Sungguh suatu dunia hitam putih yang membuat abu-abu berserakan di antara keduanya.
Sementara itu, fotografer lain seperti Rengky Irawan(Bandung, Ekspresi Kami; 14 foto hitam putih), Ariana Hayyulia Rasyid (Tak Perlu Keliling Dunia; 8 foto berwarna) berusaha menangkap realitas kota melalui potret warganya. Rengky memajang 14 foto potret dalam hitam putih yang tegas dan muram tentang beberapa warga kota yang harus berjuang keras untuk hidup dalam extreme close up. Ariana merepresentasikan realitas dalam foto potret berwarna yangmenampilkan wajah-wajah perempuan muda yang segar dan ceria serta dua bingkai foto boneka, yang seolah menjadi anti tesis bagi Rengky.
Anti tesis membuat Ariana menulis bahwa ia merasa bingung saat hendak menangkap realitas sebuah kota dalam foto, namun ia merasa enggan meninggalkan Bandung dan merasa tidak perlu keliling dunia karena ‘dunia’ lah yang mengelilinginya. Bagi Ariana, dunianya adalah sahabat-sahabatnya, sedangkan dunia bagi Rengky adalah wraga kota yang berjuang keras mensiasati hidup.
Hal ini juga muncul pada “Persahabatan” karya Adhi Prianarizki (5 foto), yang merepresentasikan permasalahan realitas sebagai suatu persahabatan. Lengkap dengan syair lagu “Persahabatan Bagai Kepompong” yang dikutip utuh sebagai bagian dari essainya.
Kemuraman kota di pun tampak pada “Alien in Town” (Dhea Aditya; 8 Foto), “Braga The Under Exposed” (I Gusti Ngurah Krisna Maruti; 10 foto hitam putih), serta pada “Steal The Freedom” (Aulia Fitriasari; 10 foto hitam putih). Foto-foto yang dibuat dalam kecepatan rendah seperti menggambarkan terpenjaranya manusia Bandung dalam tata ruang yang, sekali lagi, tidak bersahabat bagi sebagian orang. Bahkan Aulia menulis perlunya mencuri kemerdekaan sekedar untuk mengekspresikan keinginan anak-anak muda untuk bermusik.
Tidak selalu kemuraman yang menonjol dalam permasalahan yang diusung pameran ini. Dalam “Lautze” (10 foto), Rizki Irawan mengungkap sisi relijius Bandung dalam tata ruang yang kejam dengan mengambil momen sholat Jum’at di mesjid Lautze. Sebagai informasi, mesjid Lautze adalah mesjid yang didirikan warga Bandung keturunan Cina. Mungkin satu-satunya rumah ibadah yang harus ‘ngontrak’ di lingkungan pertokoan.
Perjuangan hidup si kecil juga muncul dalam kerasnya warna-warna pada karya M. Gita Fazryan (Hidup Dalam Goresan Putih; 9 foto). Perjuangan hidup para penambang kapur di pinggiran kota Bandung yang tidak seputih kapur yang ditambangnya. Kontras yang tinggi serta tonal foto yang gelap mempertegas kerasnya kehidupan para penambang itu.
Ada juga karya yang culup menonjol bagi saya, yaitu di saat dalam “Ibrahim” (judul asli ditulis dalam huruf Arab Gundul; 8 foto) merasakan kesepian luar biasa yang berkorelasi dengan “Alien in Town”-nya Dhea Aditya. Astrid merekam beberapa sudut kota yang lengang dalam hiruk-pikuknya kota. Jalanan yang lengang di siang hari, jembatan penyeberangan yang tidak digunakan warga kota, parkiran di basement yang tanpa kendaraan, serta bioskop yang kehilangan penontonnya. Namun sayang, kesepian kota yang direpresentasikan Astrid, terganggu dengan hadirnya foto seorang laki-laki –entah siapa, mungkin kekasihnya-- di akhir essai fotonya. Tidak ada statemen apapun mengenai foto terakhir, sehingga membuat saya merasa harus meminta pertanggungjawaban kurator yang meloloskan foto tersebut, yang tentu tidak relevan dengan kuratorialnya.
***
Pada segi penyajian, pameran ini mampu memuaskan dahaga saya akan foto-foto yang melontarkan permasahan dan dialog batin pada audiens-nya. Dari segi lay out pameran yang digelar di ruang GSG Unpar yang cukup luas juga memuaskan, walau masih saja saya dan banyak audiens lain harus tatanggahan guna mendapat pemahaman yang utuh atas foto-foto yang dipajang jauh di atas kepala. Cetak foto pun cukup bagus terlebih dengan melapisi foto dengan doff coating yang selain mampu meredam silau, juga akan membuat foto relatif aman dari dampak sentuhan atau goresan. Bahkan saya sangat berharap, bahwa foto-foto ini bisa disimpan dengan baik, baik printing maupun file aslinya, mengingat foto-foto ini akan menjadi dokumentasi yang berharga 10 atau 20 tahun kemudian. Seperti halnya saya menyukai foto-foto Bandung “tempo doeloe” yang lahir pada tahun 1900-an dan terdapat dalam buku-buku Haryoto Kunto (alm.).
Lepas dari segala kekurangan penguasan teknik dan pengolahan gagasan , secara umum para fotografer, yang rata-rata berusia muda ini, berani menawarkan bentuk-bentuk visual simbolik, yang akan mengernyikan dahi audiens-nya. Gagasan-gagasan akan realitas tidak saja ditonjolkan dengan pemahaman yang verbal, tetapi juga simbolik. Makna foto pun tidak hanya denotatif, tetapi konotatif. Serta makna kemudian tidak hanya diproduksi oleh fotografer, tetapi juga oleh audiens. Suatu keberanian yang menarik menurut saya, yang akan membuat karya fotografi tidak hanya akan menjadi karya yang WYSIWYG (What You See is What You Get), tetapi menjadi WYSIWYFT (What You See is What You Feel and Think).
Namun sayang, lagi-lagi masalah tidak hadirnya katalog, bahkan dalam selembar kertas pun membuat saya menelan kekecewaan. Karena dari katalog itulah saya bisa mendapat teks kuratorial yang utuh dan bisa dikonfrontir kapan saja. Pun essai-essai yang menyertai di setiap judul. Saya pun sedikit abai dalam mencatat essai-essai yang ditulis para fotografer karena berharap akan mendapatkannya dalam katalog atau di website pameran.
Dari segi penulisan essai, yang bisa saya catat memang perlu banyak dibenahi, terutama agar gagasan tekstual tetap sinkron dengan hasil visual. Agar essai yang dibuat tidak merupakan justifikasi atau pembenaran atas karya foto, atau letupan emosional jiwa muda semata. Tetapi essai yang mampu membuat audiense luruh, cair, dan berdialog dengan permasalahan-permasalahan yang ditawarkan fotografer secara visual. Tentu saya juga mencatat beberapa essai bahkan menggunakan kutipan penggalan lagu sebagai statemen karyanya. Tidak ada salahnya mengutip dan terinspirasi syair lagu, tetapi akan lebih baik bila fotografer juga belajar menuliskan statemennya dalam bahasanya sendiri, dalam diksi dan gayanya sendiri.
Saran saya yang lain, sebaiknya semua foto dan teks dari pameran ini di-broadcast di internet sebagai blog atau apalah. Tentu agar karya-karya essai foto ini terus dapat ditafsirkan oleh banyak orang dalam jangkauan yang lebih luas, dalam daya jelajah waktu yang lebih panjang dan lebih menawarkan dialog . Selain itu, agar kegiatan fotografi yang dilakukan ini juga terdokumentasikan secara digital di internet. Sebab, tanpa dokumentasi, pameran ini akan lenyap saat waktu pameran berakhir dan dilupakan sehingga kita tidak dapat belajar apa-apa darinya.
1.) Yasraf Amir Piliang. Posrealitas, Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika; Jalasutra: 2004
2.) Dik (Ondi Kuswandi). Menangkap Fragmen Kota Melalui Foto; Pamflet Kuratorial Pameran: 2009
===================================
Bandung, 24 Maret 2009
Ricky Nugraha
Desainer Grafis, Pecinta Kopi dan Fotografi
Foto Suasana Pameran:
Ricky Nugraha
Ivan Arsiandi
http://www.facebook.com/note.php?saved&&suggest¬e_id=63183087756#/editnote.php?note_id=63183087756
3.21.2009
PEMILU 2009, PEMILU 21 TRILIUN RUPIAH
Beberapa hari yang lalu di status Facebook saya menuliskan "21 T untuk biaya pemilu 2009. Bila dibagi dengan 250 juta WNI maka per orang kena charge Rp. 84 juta". Dalam beberapa saat ada beberapa komentar atas statemen tersebut. Baik mendukung maupun mempertanyakan. Ada juga yang menyarankan agar sebaiknya ikut pemilu. Status tersebut sebetulnya saya comot dari SMS yang dikirimkan seorang pemirsa TV swasta beberapa hari sebelumnya saat membicarakan kesiapan menjelang pemilu 2009.
Ada yang menarik kemudian setelah saya search di internet. Ternyata pada tahun 2007 KPU mengajukan dana sebesar -WOW- sekitar 49 triliun. Lebih dari dua kali lipat dari yang bisa direalisasikan pemerintah pada tahun 2009 ini.
Catatan ini tidak bertendensi untuk menunjukkan kebenaran atau anjuran apapun. Hanya saja bila kembali ke perhitungan awal, yakni 21 triliun yang bila dibagikan ke 250 juta penduduk Indonesia, maka setiap penduduk akan mendapat jatah Rp. 84 juta. Baik itu penduduk dengan KTP, manula, dewasa, remaja, atau bahkan balita. Atau bila logikanya dibalik, maka setiap penduduk telah menyumbang dana pemilu sebesar Rp. 84 juta.
Dengan 84 juta per kepala akan banyak yang bisa dibeli. Saya adalah bapak dengan satu istri dan dua anak. Bila dana pemilu dibagikan maka saya akan bisa mendapat dana segar yang luar biasa besar untuk ukuran kami yang tinggal di kampung. 84 juta X 4 kepala = Rp. 336 juta.... WOOOOOW...
Dengan uang sejumlah itu saya bisa menambah modal usaha, bisa membeli XL2, memakai software orisinal, serta menjauhkan berbagai macam debt collector selama-lamanya. Bisa mengambil sertifikat rumah yang sedang sekolah di sebuah bank. Si Ujang dan Si Nyai bisa mendapat asupan makanan yang sehat dan bergizi serta mendapat jaminan pendidikan yang lebih layak. Bisa membangun perpustakaan multimedia di kampung. Bisa maen Facebook sampai bosen, bisa hidup dengan nyaman sampai pemilu berikutnya di tahun 2013 digelar.
21 Triliun adalah biaya dasar. Belum lagi biaya kampanye dari para caleg atau calon presiden yang mulai hari ini bertebaran di jalan-jalan dalam rangka kampanye pemilu damai. Akan ada pengeluaran ekstra sekian rupiah lagi untuk menghasilkan legislator dan presiden di masa pemilu 2009 ini. Itu yang belum terhitung kecuali pemilu ini telah usai. Sebagai informasi tambahanan, biaya Pilkada Jatim hampir menyentuh angka 1 triliun.
Betapa mahal biaya untuk suatu sistem yang dikatakan demokrasi, sementara ancaman PHK serta pengangguran semakin merajelala menjelang krisis ekonomi global yang puncaknya menurut para ahli akan terjadi di 2010. Beberapa berita di televisi menunjukkan pada 3 bulan pertama di 2009 ini, di Indonesia saja sudah ada 240 ribu orang di-PHK. Serta kemungkinan akan semakin meningkat.
Demokrasi, atau apapun namanya, tentu diharapkan akan menghasilkan pemimpin dan legislator yang peduli rakyat, bebas korupsi, serta mampu membimbing serta mengawal negara ini mencapai kesejahteraan ekonomi, terutama di masa krisis. Biaya yang sangat mahal, bahkan sekian nyawa telah berpulang dalam perjalanan demokrasi bangsa ini. Demokrasi, atau apapun namanya, tidak sepantasnya menghasilkan pencuri-pencuri baru atau kolaborator baru yang tega menguras harta kekayaan bahkan nyawa warga negaranya. Bila setelah Pemilu 2009 hanya akan lahir para maling, koruptor, dan tiran baru, lebih baik anarki saja deh. Gak usah pake pemimpin, gak usah pake legislator, gak usah ada negara.Yang penting rakyat bisa bekerja dengan tenang dan hidup layak sebagai manusia.
Selamat mengikuti kampanye. Selamat mendapat bonus kemacetan baru. Selamat deg-degan. Saya mah mau kembali bermimpi dengan uang 84 juta yang tak akan pernah ada.
Ada yang menarik kemudian setelah saya search di internet. Ternyata pada tahun 2007 KPU mengajukan dana sebesar -WOW- sekitar 49 triliun. Lebih dari dua kali lipat dari yang bisa direalisasikan pemerintah pada tahun 2009 ini.
Catatan ini tidak bertendensi untuk menunjukkan kebenaran atau anjuran apapun. Hanya saja bila kembali ke perhitungan awal, yakni 21 triliun yang bila dibagikan ke 250 juta penduduk Indonesia, maka setiap penduduk akan mendapat jatah Rp. 84 juta. Baik itu penduduk dengan KTP, manula, dewasa, remaja, atau bahkan balita. Atau bila logikanya dibalik, maka setiap penduduk telah menyumbang dana pemilu sebesar Rp. 84 juta.
Dengan 84 juta per kepala akan banyak yang bisa dibeli. Saya adalah bapak dengan satu istri dan dua anak. Bila dana pemilu dibagikan maka saya akan bisa mendapat dana segar yang luar biasa besar untuk ukuran kami yang tinggal di kampung. 84 juta X 4 kepala = Rp. 336 juta.... WOOOOOW...
Dengan uang sejumlah itu saya bisa menambah modal usaha, bisa membeli XL2, memakai software orisinal, serta menjauhkan berbagai macam debt collector selama-lamanya. Bisa mengambil sertifikat rumah yang sedang sekolah di sebuah bank. Si Ujang dan Si Nyai bisa mendapat asupan makanan yang sehat dan bergizi serta mendapat jaminan pendidikan yang lebih layak. Bisa membangun perpustakaan multimedia di kampung. Bisa maen Facebook sampai bosen, bisa hidup dengan nyaman sampai pemilu berikutnya di tahun 2013 digelar.
21 Triliun adalah biaya dasar. Belum lagi biaya kampanye dari para caleg atau calon presiden yang mulai hari ini bertebaran di jalan-jalan dalam rangka kampanye pemilu damai. Akan ada pengeluaran ekstra sekian rupiah lagi untuk menghasilkan legislator dan presiden di masa pemilu 2009 ini. Itu yang belum terhitung kecuali pemilu ini telah usai. Sebagai informasi tambahanan, biaya Pilkada Jatim hampir menyentuh angka 1 triliun.
Betapa mahal biaya untuk suatu sistem yang dikatakan demokrasi, sementara ancaman PHK serta pengangguran semakin merajelala menjelang krisis ekonomi global yang puncaknya menurut para ahli akan terjadi di 2010. Beberapa berita di televisi menunjukkan pada 3 bulan pertama di 2009 ini, di Indonesia saja sudah ada 240 ribu orang di-PHK. Serta kemungkinan akan semakin meningkat.
Demokrasi, atau apapun namanya, tentu diharapkan akan menghasilkan pemimpin dan legislator yang peduli rakyat, bebas korupsi, serta mampu membimbing serta mengawal negara ini mencapai kesejahteraan ekonomi, terutama di masa krisis. Biaya yang sangat mahal, bahkan sekian nyawa telah berpulang dalam perjalanan demokrasi bangsa ini. Demokrasi, atau apapun namanya, tidak sepantasnya menghasilkan pencuri-pencuri baru atau kolaborator baru yang tega menguras harta kekayaan bahkan nyawa warga negaranya. Bila setelah Pemilu 2009 hanya akan lahir para maling, koruptor, dan tiran baru, lebih baik anarki saja deh. Gak usah pake pemimpin, gak usah pake legislator, gak usah ada negara.Yang penting rakyat bisa bekerja dengan tenang dan hidup layak sebagai manusia.
Selamat mengikuti kampanye. Selamat mendapat bonus kemacetan baru. Selamat deg-degan. Saya mah mau kembali bermimpi dengan uang 84 juta yang tak akan pernah ada.