7.07.2016

SEPAK BOLA DAN BUAH KURMA



Suatu ketika Rasulullah mendapati penduduk Madinah sedang mengawinkan benih kurma dengan penyerbukan. Melihat ini Rasulullah lalu mengomentari apa yang dilakukan oleh penduduk Madinah tersebut dan bertanya mengapa benih kurma itu mesti dikawinkan segala. Mengapa tidak dibiarkan begitu saja secara alamiah. Penduduk Madinah yang petani kurma itu sangat menghormati Nabi Muhammad sebagai pemimpin panutannya. Ia lalu mengikuti saran Rasulullah dan berhenti mengawinkan kurmanya. Kemudian ternyata produksi kurmanya menurun karenanya.

Panennya berkurang karena mengikuti saran Rasulullah. Para petani kurma kemudian melaporkan panen kurma yang menurun itu kepada Rasulullah. Rasulullah kemudian sadar akan keterbatasan pengetahuannya tentang menanam kurma. Maka keluarlah sabda Rasulullah: "Wa Antum A’lamu bi Amri Dunya-kum" (Kamu sekalian lebih mengetahui urusan duniamu).


Ketika Nabi saw memberikan nasihat tentang cara mengawinkan pohon kurma supaya berbuah, ini bisa dianggap bahwa beliau sudah memasukkan otoritas agama untuk urusan duniawi yang di mana beliau tidak mendapatkan wahyu atau kewenangan untuk itu. Untuk manusia setingkat Nabi apa pun perkataannya, sikapnya, dan bahkan diamnya pun bisa dianggap sebagai hukum, aturan, dan ketentuan. Tapi ternyata dalam masalah menanam kurma ini pendapat beliau keliru. Pohon kurma itu malah menjadi mandul.

Maka para petani kurma itu mengadu lagi kepada Nabi SAW, meminta pertanggungjawaban beliau. Beliau menyadari kesalahan waktu itu dan dengan rendah hati berkata, “Kalau itu berkaitan dengan urusan agama ikutilah aku, tapi kalau itu berkaitan dengan urusan dunia kamu.

Rasulullah mengakui keterbatasannya. Bila tidak diwahyukan, untuk urusan dunia di jaman beliau pun beliau bukanlah orang yang paling tahu.



Seorang pemimpin tentu saja harus megetahui banyak hal yang terjadi di wilayah yang dipimpinnya. Baik itu populasi, geografis, demografis, juga kebiasaan-kebiaasaan yang ada. Termasuk di dalamnya hukum-hukum dan peraturan yang tidak tertulis yang berlaku dalam dasar kesepakatan bersama.

Mari kita bayangkan bila seorang pemimpin yang kita hormati, mengajak pemimpin lainnya, dan juga pemimpin lainnya untuk berdiskusi dan memutuskan hal yang sebetulnya tidak mereka ketahui secara jelas. Hal yang seharusnya menghadirkan pihak lain yang dapat menjadi referensi, saran, dan rujukan, tetapi TIDAK dilakukannya. Maka akan seperti yang kanjeng Nabi SAW alami di atas.

Padahal tentu kita tahu, yakin Nabi SAW adalah sebaik-baiknya pemimpin, sebaik-baiknya insan Alloh SWT, sesempurna-sempurnanya mahluk. Tetapi Rosululloh juga tidak luput dari kekhilafan saat memutuskan apa yang memang bukan menjadi pengetahuan beliau. Shollu 'alla nabi.

Apalagi kita, manusia yang derajat moral, ahlak, pengetahuan dan iman tidak seujung kuku Nabi SAW. Kita adalah gudangnya salah, gudangnya khilaf, gudangnya ketidaktahuan.

Tentu hadits di atas bukan untuk membuat kita melakukan pembenaran-pembenaran atas kesalahan yang kita lakukan. Atau mengelak dari keharusan berbuat terbaikdan terbenar. Tetapi kita dituntut untuk menyerahkan segala sesuatu pada ahlinya. Pada orang-orang yang mengerti.

Jangan sampai karena terikat janji lalu berusaha menepati dan kemudian mencederai pihak lain. Mungkin kita ditakdirkan memimpin sebuah kota yang aktif dan dinamis. Mungkin kita berwenang mengelola sebuah kota. Tetapi urusan sepak bola, klab, supporter, dan hal lain yang berkaitan dengan hal lainnya, tanyalah pada mereka.

Apalagi kemudian memberikan janji pada kelompok lain yang jelas-jelas memusuhi warga kotanya. Mengundang dan menjamu kelompok orang yang justru akan merugikan dirinya dan warga yang dipimpinnya. Kejadian di GBK adalah bukti nyata bahwa mereka yang diundang bukanlah orang yang layak datang.

Saya jadi teringat talatah para karuhun Sunda yang isinya mengiyakan perkataan Rosul SAW dengan 'wa antum a’lamu bi amri dunya-kum': tadaga carita hangsa. gajendra carita banem. matsyanem carita sagarem. puspanem carita bangbarem. (artinya: telaga dikisahkan angsa. gajah mengisahkan hutan.ikan mengisahkan laut. bunga dikisahkan kumbang.)

Bila ingin tahu tentang taman yang jernih, danau berair sejuk, tanyalah angsa; bila ingin tahu isi laut, tanyalah ikan; bila ingin tahu isi hutan, tanyalah gajah; bila ingin tahu harum dan manisnya bunga, tanyalah kumbang. Semuanya dapat diartikan agar tidak salah memilih tempat bertanya. Pun Sapun.

Ricky N. Sastramihardja
Bobotoh Persib Bandung, pecinta kopi, fotografi, dan suka main dengan kucing

dimuat di Bobotoh.id 25 Juni 2016
http://bobotoh.id/2016/06/buah-kurma-sepak-bola/

5.27.2016

MENGENANG RANGGA CIPTA NUGRAHA


27 Mei 2012. Pada hari itu 3 nyawa meregang dan lepas dari jasadnya di stadion kebanggaan Indonesia Stadion Gelora Bung Karno (GBK), Senayan. Gedung olahraga yang didedikasikan Ir. Soekarno sebagai Presiden Indonesia pertama, untuk menggalang persatuan sesama anak bangsa.

Menjadi suatu ironi bila kemudian, di stadion megah tersebut ada tiga anak bangsa yang ‘gugur’ akibat dikeroyok sesama anak bangsa lain, hanya karena urusan dukung-mendukung sepak bola.

Lebih ironis lagi, dua tahun berselang semenjak kejadian terkutuk itu, tak ada seorang pelaku pun yang mendapat tindakan hukum. Tak ada seorang pun yang mempertanggungjawabkan perbuatannya. Tak ada seorang pun aparat keamanan dan keadilan di negara ini yang bertindak sesuai dengan tanggung jawab dan wewenangnya.

Sempat terdengar melalui kabar media bahwa ada beberapa orang yang ditangkap dan ditahan aparat keamanan dan ditetapkan sebagai tersangka. Akan tetapi kemudian berhenti sampai di situ dan lalu menghilang bagai asap ditelan udara.

Ironis

Kami percaya bahwa jodoh, bagja, pati sudah diatur seadil-adilnya oleh Sang Maha Penyayang. Kematian, adalah awal yang baru bagi ciptaan-Nya yang lemah ini, dalam rangka kembali pulang kepada-Nya.

Kami juga percaya bila Sang Kholik menyimpan rencana indah di balik peristiwa tragis di GBK yang menimpa salah seorang rekan kami, Rangga Cipta Nugraha.

Kami percaya dendam dan amarah, benci dan perilaku anarki bukanlah cara terbaik untuk menyelesaikan amarah. Di hadapan keadilan-Nya, kami terlalu lemah untuk melakukan hal-hal pengecut seperti itu.

Tetapi kami juga percaya bila suatu saat keadilan itu akan datang, dalam berbagai bentuk dan cara yang bisa saja di luar nalar dan logika manusia. Karena kami percaya, apapun yang terjadi hari ini, sudah sesuai dengan skenario yang dituliskan di Lauhl Mahfuz. Kitab yang dituliskan puluhan ribu tahun sebelum semesta ini diciptakan Allah SWT.

Doa kami hari ini, kemarin, dan esok, selalu dipanjatkan pada arasyMu ya Rahmaan Rohiim. Semoga Rangga Cipta Nugraha, senantiasa berada dalam lindungan kasih sayangMu. Beristirahatlah dengan tenang di keabadian kawan.

Begitu pula kami yang masih hidup dan menunggu giliran untuk pulang menuju haribaanMu, selalu dilindungi Sang Kholik dari perbuatan-perbuatan terkutuk. Dari hasrat dan amarah yang tak terkendali. Karena kami percaya, bahwa keadilan itu akan datang suatu saat nanti.

Allohumag fiirlahu warhamhu wa’afihi wafuanhu. (Ricky N. Sastramihardja/SB)

pernah dimuat di suarabobotoh.com
27-05-2014



4.22.2016

#BULIGIR DAYS



Approx: 39:32
#BuligirDays
Documentary
Agency: -
Videografer: Ricky N. Sastramihardja
Music Theme : Patrizio Buane - Stand Up
ERA - The Champions
© 2014

4.21.2016

MENGAPA HARUS KARTINI?



Oleh: Tiar Anwar Bachtiar*

Mengapa harus Kartini? Mengapa setiap 21 April, bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini? Apakah tidak ada wanita Indonesia lain yang lebih layak ditokohkan dan diteladani dibandingkan Kartini?

Pada dekade 1980-an, guru besar Universitas Indonesia, Prof. Dr. Harsya W. Bachtiar pernah menggugat masalah ini. Ia mengkritik pengkultusan R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia. Tahun 1988, masalah ini kembali menghangat, menjelang peringatan hari Kartini 21 April 1988. Ketika itu akan diterbitkan buku Surat-Surat Kartini oleh F.G.P. Jacquet melalui penerbitan Koninklijk Institut voor Tall-Landen Volkenkunde (KITLV).

Tulisan ini bukan untuk menggugat pribadi Kartini. Banyak nilai positif yang bisa kita ambil dari kehidupan seorang Kartini. Tapi, kita bicara tentang Indonesia, sebuah negara yang majemuk. Maka, sangatlah penting untuk mengajak kita berpikir tentang sejarah Indonesia. Sejarah sangatlah penting. Jangan sekali-kali melupakan sejarah, kata Bung Karno. Al-Quran banyak mengungkapkan betapa pentingnya sejarah, demi menatap dan menata masa depan.

Banyak pertanyaan yang bisa diajukan untuk sejarah Indonesia. Mengapa harus Boedi Oetomo, Mengapa bukan Sarekat Islam? Bukankah Sarekat Islam adalah organisasi nasional pertama? Mengapa harus Ki Hajar Dewantoro, Mengapa bukan KH Ahmad Dahlan, untuk menyebut tokoh pendidikan? Mengapa harus dilestarikan ungkapan ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani sebagai jargon pendidikan nasional Indonesia?

Bukankah katanya, kita berbahasa satu: Bahasa Indonesia? Tanyalah kepada semua guru dari Sabang sampai Merauke. Berapa orang yang paham makna slogan pendidikan nasional itu? Mengapa tidak diganti, misalnya, dengan ungkapan Iman, Ilmu, dan amal, sehingga semua orang Indonesia paham maknanya.

Kini, kita juga bisa bertanya, Mengapa harus Kartini? Ada baiknya, kita lihat sekilas asal-muasalnya. Kepopuleran Kartini tidak terlepas dari buku yang memuat surat-surat Kartini kepada sahabat-sahabat Eropanya, Door Duisternis tot Licht, yang oleh Armijn Pane diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang.

Buku ini diterbitkan semasa era Politik Etis oleh Menteri Pengajaran, Ibadah, dan Kerajinan Hindia Belanda Mr. J.H. Abendanon tahun 1911. Buku ini dianggap sebagai grand idea yang layak menempatkan Kartini sebagai orang yang sangat berpikiran maju pada zamannya. Kata mereka, saat itu, tidak ada wanita yang berpikiran sekritis dan semaju itu.

Beberapa sejarawan sudah mengajukan bukti bahwa klaim semacam itu tidak tepat. Ada banyak wanita yang hidup sezamannya juga berpikiran sangat maju. Sebut saja Dewi Sartika di Bandung dan Rohana Kudus di Padang (terakhir pindah ke Medan). Dua wanita ini pikiran-pikirannya memang tidak sengaja dipublikasikan. Tapi yang mereka lakukan lebih dari yang dilakukan Kartini. Dewi Sartika (1884-1947) bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum wanita.

Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah yang belakangan dinamakan Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung. Rohana Kudus (1884-1972) melakukan hal yang sama di kampung halamannya. Selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amai Setia (1911) dan Rohana School (1916), Rohana Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang sampai saat ia mengungsi ke Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini.

Kalau Kartini hanya menyampaikan Sartika dan Rohana dalam surat, mereka sudah lebih jauh melangkah: mewujudkan ide-ide dalam tindakan nyata. Jika Kartini dikenalkan oleh Abendanon yang berinisiatif menerbitkan surat-suratnya, Rohana menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan).

Kalau saja ada yang sempat menerbitkan pikiran-pikiran Rohana dalam berbagai surat kabar itu, apa yang dipikirkan Rohana jauh lebih hebat dari yang dipikirkan Kartini. Bahkan kalau melirik kisah-kisah Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia, Pocut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fatimah dari Aceh, klaim-klaim keterbelakangan kaum wanita di negeri pada masa Kartini hidup ini harus segera digugurkan. Mereka adalah wanita-wanita hebat yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda. Tengku Fakinah, selain ikut berperang juga adalah seorang ulama-wanita.

Di Aceh kisah wanita ikut berperang atau menjadi pemimpin pasukan perang bukan sesuatu yang aneh. Bahkan jauh-jauh hari sebelum era Cut Nyak Dien dan sebelum Belanda datang ke Indonesia, Kerajaan Aceh sudah memiliki Panglima Angkatan Laut wanita pertama, yakni Malahayati. Aceh juga pernah dipimpin oleh Sultanah (sultan wanita) selama empat periode (1641-1699). Posisi sulthanah dan panglima jelas bukan posisi rendahan.

Jadi, ada baiknya bangsa Indonesia bisa berpikir lebih jernih: Mengapa Kartini? Mengapa bukan Rohana Kudus? Mengapa bukan Cut Nyak Dien? Mengapa Abendanon memilih Kartini? — Apa karena Cut Nyak dibenci penjajah?— Dan mengapa kemudian bangsa Indonesia juga mengikuti kebijakan itu? Cut Nyak Dien tidak pernah mau tunduk kepada Belanda. Ia tidak pernah menyerah dan berhenti menentang penjajahan Belanda atas negeri ini.

Meskipun aktif berkiprah di tengah masyarakat, Rohana Kudus juga memiliki visi keislaman yang tegas. Perputaran zaman tidak akan pernah membuat wanita menyamai laki-laki. Wanita tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah wanita harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Wanita harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan, begitu kata Rohana Kudus.

Bayangkan, jika sejak dulu anak-anak kita bernyanyi: Ibu kita Cut Nyak Dien. Putri sejati. Putri Indonesia…, mungkin tidak pernah muncul masalah Gerakan Aceh Merdeka. Tapi, kita bukan meratapi sejarah, Ini takdir. Hanya, kita diwajibkan berjuang untuk menyongsong takdir yang lebih baik di masa depan. Dan itu bisa dimulai dengan bertanya, secara serius: Mengapa Harus Kartini?

*PP Persis, Ketum Pemuda Persis 2010-2015, Peneliti INSISTS dan Doktor Sejarah, Universitas Indonesia
Dari Facebook PERSATUAN ISLAM (PERSIS), Kamis 21 April 2016

“BANGKAR PLAYERS” PERSIB BANDUNG SEPANJANG MASA (BAGIAN 1)



Menjelang musim kompetisi baru, bursa transfer pemain selalu diramaikan oleh nama-nama pemain yang berpindah dari satu klub ke klub lainnya. Wajah-wajah ‘lama’ yang biasanya berada di kesebelasan rival bisa saja menjadi pemain unggulan di kesebelasan yang kita dukung. Atau muncul nama-nama baru yang terdengar ‘asing’ di telinga kita yang berasal dari negara yang jauh di sebrang lautan.

Walau untuk beberapa pihak yang kritis melakukan studi tentang sepak bola profesional di Indonesia menilai bahwa tidak pernah ada bursa transfer pemain yang sesugguhnya. Bursa transfer yang terjadi di dunia sepakbola Indonesia lebih merupakan bursa ‘kontrak’ karena klub lama yang melepas pemain seringkali tidak mendapat keuntungan finansial.

Umumnya pola migrasi pemain terjadi karena pemain hanya dikontrak satu musim. Perkecualian bisa dikatakan terjadi pada saat Dias Angga Putra ditransfer dari Pelita Bandung Raya (PBR) ke Persib Bandung dengan nilai yang menguntungkan PBR. Di mana menurut manajemen PBR bahwa pihaknya menerima lebih banyak rupiah dari Persib dibandingkan saat mereka mengontraknya untuk pertama kali.

Dari sekian banyak bursa transfer yang dilakukan oleh Persib Bandung, tim redaksi maenbal.co menelusuri pembelian pemain terburuk yang pernah dilakukan Persib Bandung. Cukup menarik mengingat ada lebih dari 16 nama yang kami kategorikan sebagai ‘bangkar buying’.
Siapakah mereka? Mari kita mulai dari tahun yang terdekat.

1. DJIBRIL, COULIBALI
Pemain asal Mali ini begitu ‘ngoncrang’ saat bermain bersama Barito Putra di musim 2012-2013. Bersama koleganya, Makan Konate, Djibril berhasil mengemas 21 gol. Namun saat berkostum Persib Bandung, Djibril lebih banyak menjadi penghangat bangku cadangan karena cedera yang dideritanya. Bahkan di musim 2014-2015 Djibril harus memutuskan kontrak yang baru ditandangani tanpa sempat merumput bersama Semen Padang FC yang menampungnya usai lepas kontrak dari Persib Bandung.

2. EPANDI, HERMAN DZUMAFO
Diboyong dari Arema untuk menjadi striker utama Persib Bandung di musim 2012-2013 bersama Sergio Van Dijk. Sebelumnya bersama PSPS Pekanbaru Dzumafo mengemas 55 gol dari 111 kali bermain sepanjang tahun 2007 – 2011. Tetapi saat merumput bersama Persib Bandung, Dzumafo hanya mengemas 6 gol dari 16 pertandingan. Pada paruh musim, Dzumafo ditukarpinjamkan dengan Hilton Moreira (Sriwijaya FC).

3. SAKYI, MOSES
Pemain berpaspor Ghana ini merumput bersama Persib di musim 2011-2012. Maksud hati pelatih Persib saat itu, Drago Mamic, mendatangkan Sakyi untuk menggantikan Dragicevic yang hanya bermain satu pertandingan (IPL) saja. Namun ternyata selama setengah musim bersama Persib, Sakyi hanya mampu mencetak 3 gol saja dari 9 penampilan.

4. DRAGICEVIC, ZDRAVKO
Dibawa Drago Mamic dari Montenegro untuk menjadi striker, namun kandas pada pertandingan pertamanya bersama Persib Bandung. Penampilannya mengecewakan ketika Persib Bandung dipaksa bemain imbang 1-1 menghadapi Semen Padang pada pertandingan pembuka Liga Premier Indonesia/LPI di Stadion Si Jalak Harupat. Pada pertandingan selanjutnya di Liga Super Indonesia/LSI, Dragicevic tak terlihat lagi dalam jajaran pemain Persib sampai kompetisi usai.

5. M. NASUHA
Penampilan M. Nasuha dengan timnas Indonesia pada Piala AFF 2010 sungguh mengesankan sehingga manajemen Persib Bandung merekrutnya dari Persija Jakarta untuk bermain di musim 2011-2012. Namun sebagai bek kiri Persib Bandung, ia hanya bermain beberapa pertandingan saja karena cedera yang dideritanya sangat parah.

6. FRANCES, PABLO
Bersama Persijap Jepara, Frances mendapat sepatu emas karena menjadi top scorer di gelaran Piala/Copa Indonesia. Prestasinya itu membuat manajemen Persib tak segan-segan memboyongnya untuk merumput di Stadion Siliwangi pada musim 2010-2011. Namun ia tak mendapatkan kembali momen terbaiknya. Pada paruh musim pemain berpaspor Argentina itu harus pasrah turun kasta karena dipinjamkan ke Persikab Kabupaten Bandung yang bermain di Divisi Utama Liga Indonesia.

7. CHITESCU, LEONTIN
Saat berkostum PSM Makassar, Chitescu adalah ‘pembawa sial’ untuk Persib Bandung. Dua golnya di babak semifinal Piala Jusuf 2006, membuat Persib gagal meraih tiket final. Namun penampilan moncernya itu tidak berlanjut saat ia berkostum Persib Bandung di musim 2008-2009. Dimaksudkan untuk menggantikan Eka Ramdani yang harus bermain untuk Timnas Indonesia di Merdeka Games dan SEA GAMES, pemain berpaspor Rumania yang digadang-gadang pelatih Arcan Iurie ini tak mampu memenuhi ekspetasi Bobotoh.

8. ALCANTARA, FABIO LOPEZ
Pemain berpaspor Brazil ini penampilannya sangat cemerlang saat berkostum Happy Valley Hongkong di musim 2005-2006. Ia pun mendapat gelar pencetak gol terbanyak di Divisi Satu Hongkong dan Piala Liga hongkong. Namun ‘life time’ pemain ini sudah habis saat berkostum Persib Bandung di musim ISL 2008-2009. Dari lima pertandingan ia hanya membuat satu gol. Yah namanya juga ‘pemaen ti Hongkong’ (Bersambung)

Ricky N. Sastramihardja/Egga Wiradisastra/Roni Kurniawan/SB

pernah dimuat di suarabobotoh.com
03-02-2015
Foto M. Nasuha: Juara.Net

“BANGKAR PLAYERS” PERSIB BANDUNG SEPANJANG MASA (BAGIAN 2)


Pada hari Selasa (3/2/2015), redaksi maenbal.co telah menceritakan tentang beberapa pemain yang gagal bersinar ketika membela Persib Bandung. Kali ini, redaksi maenbal.co akan kembali menuliskan dan menceritakan kelanjutan dari artikel sebelumnya yang berjudul “Bangkar Players” Persib Bandung Sepanjang Masa (Bagian 1).

9. BEKAMENGA, CHRISTIAN

Berlabel pemain Tinas Kamerun U-23, pemain berpaspor Kamerun ini dibawa ke Stadion Siliwangi dari Negeri Sembilan FC Malaysia dengan nilai kontrak yang cukup fantastis di masanya, 1,1 Miliar rupiah. Namun godaan bermain di Liga Perancis membuatnya ‘gelap mata’. Bekamenga pergi meninggalkan Persib Bandung tanpa pamit untuk bermain di Nantes FC, Perancis. Padahal publik Bobotoh terlanjur menyukai pemain ‘stylish’ yang membuat Persib sempat merasakan gelar ‘juara paruh musim’ di 2007-2008.

10. TRAORE, BRAHIMA

Segudang pengalamannya bersama Timnas Burkina Faso serta bermain untuk klub-klub yang bermain di Uni Emirat Arab (UAE) dan Liga Prancis membuat manajemen meminangnya untuk merumput bersama Persib Bandung di musim 2006 – 2007. Tetapi pada realitasnya, ia lebih sering duduk manis di bangku pemain cadangan karena kalah bersaing dengan pemain lokal Persib masa itu seperti Zaenal Arief, Eka Ramdani.

11. BERTI, AYOUCK LOUIS

Tidak cukup banyak sumber yang menjelaskan tipikal dan posisi bermainnya. Pemain berpaspor Kamerun ini nasibnya tak jauh beda dengan rekannya, Brahima Traore. Lebih sering duduk manis di pinggir lapangan menyaksikan rekan-rekan satu timnya berjibaku berupaya meloloskan Persib Bandung dari jurang degradasi di musim 2006-2007.

12. TAWEECHAI, PRADITH

Pemain berpaspor negara Gajah putih ini merupakan pemain asing ke empat Persib Bandung musim 2005-2006 bersama Barkaouwi, Ocraenecz, dan ‘Toyo’ Claudio. Pemain belakang ini gagal menunjukkan penampilan terbaiknya di Persib, Taweechai hanya bermain separuh musim saja.

13. KINGSLEY, CHIOMA
Pemain belakang berpaspor Nigeria ini direkrut untuk memperkuat jajaran pemain belakang pasukan persib Bandung du musim 2004-2005. Namun ternyata penampilannya masih kalah jauh dengan Toyo, Usep Munandar, Dadang Hidayat.

14. Untuk nomor 14, 15, 16 ada tiga pemain ‘bangkar’ yang merupakan paketan dari pelatih berpaspor Polandia, Marek Andrejz Sledzianowski. Ke tiga pemain asing ‘legendaris’ berpaspor Polandia itu adalah Maciej Dolega, Piotr Orlinski, dan Mariusz Mucharski. Sepertinya layak disebut ‘legendaris tapi bangkar’ karena ketiganya adalah pemain berpaspor asing angkatan pertama yang bermain untuk Persib Bandung setelah bertahun-tahun lamanya hanya mengandalkan pemain lokal. Namun hasil yang terbaik didapat dari Pelatih dan Trio Polandia ini adalah Persib harus melewati pertandingan play off di musim 2003 – 2004 agar terhindar dari degradasi.

Demikian ‘Bangkar Players’ dari masa ke masa. Selain ke-16 nama tersebut masih ada nama lain yang gagal ‘mencrang’ bersama Persib Bandung seperti Budi ‘Budigol’ Sudarsono, Sandi Pribadi, Jairon Feliciano, Christian Molina, atau Pavel Bocian. Atau juga seperti nama Fortune Udo, Koh Traore dan Nicolas Vigneri. Namun ketiga nama yang disebut belakangan tersebut baru berstatus pemain seleksi.

Tanpa bermaksud mengurangi rasa hormat kami pada para ‘Bangkar Players’ yang bagaimanapun juga pernah basah berkeringat di saat membela klub kebanggaan Bandung dan Indonesia ini. Tulisan yang disusun tim redaksi maenbal.co ini untuk menunjukkan bahwa untuk ‘menjadi’ itu memerlukan proses yang panjang, jatuh bangun, dan menyakitkan.

Tentu harapan ke depannya adalah setiap rekrutmen dan seleksi pemain asing maupun lokal yang akan bergabung dengan pasukan Pangeran Biru ini harus mengedepankan kebutuhan tim akan pemain yang berkualitas. Tidak hanya mengandalkan bisikan agen atau ‘cek beja’ belaka.

Ricky N. Sastramihardja/ Egga Wiradisastra/Roni Kurniawan

pernah dimuat di suarabobotoh.com
11-02-2015
Foto Christian Bekamenga play for Nantes

4.20.2016

BOBOTOH GENERASI 2.0



Persib Bandung membuka lembaran pertama tahun 2015 ini dengan meraih Piala Wali Kota Padang usai mengalahkan Persiba Balikpapan dengan skor 0-2. Alhamdulilah, suatu pencapaian yang menyenangkan, mengingat para Bobotoh masih dilanda euforia demam juara kompetisi Indonesia Super League (ISL) 2014 yang seolah tak berhenti. Padahal sudah dua bulan lamanya semenjak Piala ISL 2014 dibawa pulang ke Bandung dari Palembang.

Hasil yang sangat pantas disyukuri walau mungkin Piala Walikota Padang ini ‘hanya’ turnamen biasa di luar kalender PSSI/AFC/FIFA. Setidaknya, hal ini menunjukk, persiapan Persib untuk menghadapi pertandingan panjang dan berat di ISL 2015 serta di Liga Champion Asia (LCA) mendatang sudah menunjukkan adanya kerangka tim yang baik. Untuk itu wajib kita ucapkan selamat pada Persib Bandung yang kita cintai ini, karena ada dua piala yang dibawa pulang dalam waktu yang berdekatan.

Di luar urusan sepakbola, ada hal yang menarik dari perhelatan Piala Wali Kota Padang ini. Hal yang sangat mencolok adalah dengan tidak adanya satupun pertandingan Persib maupun tim-tim lain, yang ditayangkan oleh televisi. Padahal keikutsertaan Persib dalam turnamen ini seharusnya menarik minat lembaga penyiaran swasta untuk menyiarkannya ke seluruh pelosok negeri. Entah apa yang menjadi penyebabnya. Apakah memang dianggap tidak menarik minat sponsor, terlalu tinggi biayanya, atau ada sebab lainnya.

Untung saja kita sekarang hidup di jaman kemudahan teknologi informasi. Jaman di mana internet menjadi rujukan utama untuk mengais berbagi macam informasi, termasuk hasil pertandingan sepak bola. Sehingga, para Bobotoh dengan sekejap dapat mengetahui hasil pertandingan melalui internet, terutama dari jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter. Para Bobotoh dewasa ini adalah Bobotoh generasi 2.0 yang mereguk informasi dari samudera Internet yang luas dan seolah tak bertepi. Bobotoh yang tidak lagi menunggu dan berebut koran pagi di keesokan hari, hanya untuk sekedar mengetahui hasil pertandingan Persib.

Sayangnya, informasi penting seperti itu tidak bisa kita dapat langsung dari pihak Persib sendiri. Para Bobotoh mendapatkan informasi tersebut dari pihak Bobotoh yang berada di Stadion H. Agus Salim Padang, atau lembaga penyiaran lain yang bukan lembaga resmi penyiaran yang dikelola oleh PT. Persib Bandung Bermartabat (PT. PBB)

Berkaca misalnya pada tim-tim di Liga Inggris, di mana pada setiap pertandingan resmi atau tidak resmi, latihan atau bahkan sekedar mengucapkan selamat ulang tahun pada pemain, mereka menggunakan Twitter untuk mendistribusikan informasi yang harus diketahui para supporter dan fans di seluruh dunia. Pada setiap pertandingan resmi, para fans di Indonesia bisa mengetahui jalannya pertandingan berikut hasilnya dari live tweet yang disiarkan oleh lembaga penyiaran klub yang bersangkutan. Sehingga walaupun para fans tidak menonton pertandingan yang hanya disiarkan melalui TV Kabel/siaran berbayar (Pay TV), streaming, atau dari siaran free-to-air yang di-relay tv swasta, tapi dapat mengikutinya melalui layar ponsel atau laptopnya.

Begitu juga dengan keberadaan situs resmi klub. Bila kita berkunjung ke situs resmi tim-tim yang pernah berlaga dengan Persib seperti Ajax Amsterdam (Belanda), D.C United (USA) atau Central Coast Marines/CCM (Australia), web site resmi mereka ini sangat aktif mengelola informasi yang harus diketahui para supporter mereka. Mulai dari harga tiket hingga jadwal latihan, bahkan ulasan dan kesan tentang pertandingan pun ditayangkan di web site mereka. Bahkan hampir semua klub yang saya sebut di atas memiliki Youtube channel tersendiri, lengkap dengan liputan pertandingan yang digarap secara profesional. Sehingga kita bisa menyaksikan, misalnya, bagaimana gol jarak jauh lebih dari setengah lapang yang diciptakan Mbida Messi pada pertandingan melawan CCM di tahun 2012.

Klub sekelas Persib memang sudah seharusnya memiliki lembaga penyiaran sendiri yang dikelola dengan lebih baik. Dengan demikian, para Bobotoh dapat dengan mudah menerima informasi. Persib tidak lagi tergantung pada televisi swasta atau media massa untuk menyiarkan informasi pada publik bobotoh. Cukup dengan memainkan jari-jemari di atas ponsel, lalu menyebarkannya via akun twitter resmi Persib, fanspage resmi Persib di Faceboook yang di-like hampir 6 juta bobotoh, atau melalui web site official Persib secara real time.

Ricky N. Sastramihardja
Pemimpin Redaksi Suara Bobotoh

pernah dimuat di suarabobotoh.com
08-01-2015

SILATURAHIM PARA JUARA


Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar
Laa illaha illalahu Allahu Akbar
Allahu Akbar walilla ilhamdu


Ramadhan telah berlalu, meninggalkan berjuta kesan yang mendalam bagi setiap pribadi muslim yang beriman dan bertakwa, yang melakanakan ibadah Ramadhan.

Ramadhan bukan sekedar bulan. Ramadhan adalah ‘camp’ latihan, di mana kita berlatih dengan keras dan tekad baja siang dan malam dalam mencari ridlo Allah SWT. Selama bulan Ramadhan, setiap desah nafas dan kedip mata bernilai berlipat ganda.

Namun tak selamanya Ramadhan bersama kita. Ia pergi setelah 29 hari bersama, dan akan datang lagi 11 bulan kemudian. Ramadhan pasti datang, yang tidak pasti adalah usia kita. 11 bulan ke depan, belum tentu kita bisa bersama Ramadhan lagi dalam keadaan sehat wal afiat.

11 bulan ke depan adalah perjuangan panjang untuk senantiasa menghadirkan Ramadhan dalam setiap langkah kita. 11 bulan ke depan adalah perjuangan panjang menjadi JUARA, menjadi pemilik fitrah dan kesucian.

Dengan segala kerendahan hati, segenap Manajemen dan Redaksi Maenbal.comenghaturkan:

“Wilujeng Boboran Syiam 1 Syawal 1436 H. Taqabalallahu wa minkum, shiyaamanaa wa shiyaamakum. Taqobbal yaa kariim.”
Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan berkah-Nya pada kita semua. Semoga kita tetap bermental JUARA hingga bertemu dengan Ramadhan tahun depan.

Teriring salam dan selamat kepada Viking Persib Club yang bertepatan dengan hari raya Idul Fitri 1436 ini, tepat berusia 22 tahun. Sebuah perjalanan panjang untuk klub bobotoh Persib yang senantiasa setia mengawal Persib Bandung selama 22 tahun ini. Wilujeng Milangkala, mugia apanjang-apunjung, waluya salalamina. Dirgahayu!

Bagi Bobotoh yang berlebaran bersama keluarga besar, sampaikan salam hormat kami pada keluarga, kerabat, handai tolan, saudara, teman dan sahabat. Karena Syawal adalah bulan silaturahim bagi kita semua. Silaturahim para juara yang bertekad mengawal kesucian untuk menjadi insak yang mulia di sisi Allah SWT.

Ricky N. Sastramihardja
Editor in Chief Maenbal.co

pernah dimuat di maenbal.co
17-07-2015
http://maenbal.co/14566/suara-redaksi/silaturahim-para-juara/

THIS IS PERSIB!


Peuting harita, asa waregah rék cengkat tina korsi stadion téh. Rarasaan mah lalajo layar tancep, susuganan aya kénéh pertandingan tambahan. Cara misbar nu sok méré susuguh pilem ékstra. Awak nu mucicid katirisan lantaran baseuh ku cihujan katebak angin ka tribun, teu dirasa.

Padahal naon atuh pira gé lépel pertandingan uji coba? Dina meunangna gé ngan saukur onjoy ku carita. Padahal, lain sakali dua kali lalajo Persib wanci meunang téh. Apanan nalika ISL 2012-2013 kamari Persib ngan éléh sakali di kandang. Sigana pedah meunang lawan DC United kitu? Pedah meunang lawan klab luar nagri?

Bisa jadi rarasaan téh pedah wé Persib meunang 2-1 ngalawaan DC United, klab Amerika Serikat pamilon ‘Major League Soccer’ (MLS). Ngalawan klab ti séké selér séjén, bangsa deungeun, nu katelah nagara adidaya. Superior. Bangsa nu dina pilem-pilem Hollywood mah langka éléh. Tong waka ku bangsa manusa, apanan Amérika Serikat mah lawan Alien atawa lawan kiamat oge meunang wae dina pilem mah.

Persib meunang 2-1 lawan DC United, klab ti Washington DC, Amérika Serikat. Sok sanajan, meunangna ogé pasti salian tina kaunggulan faktor téknis, ogé aya faktor séjén. Misalna baé cek pameunteu mah, DC United kondisina teu bérag, teu ‘fit’ cara sasari. Teu biasa maén di lapangan nu baseuh ku hujan cara kitu (matakna loba pemaen DC United nu tiseureuleu), kualitas pemaén DC United nu cenah lain lain pemaén inti, jeung réa-réa deui. Dalah perkara hujan mah, TJ School nulis dina blog dcunited.com minangka ‘ Indonesia rain isn’t normal rain. It’s like standing under a mini waterfall that lasts for four hours’.

Tapi, peuting harita, saha nu rék paduli ka alesan-alesan éta? Wanci éléh, saha waé bisa nyiar mangrupa-rupa alesan keur ngabela dirina. Tapi nu meunang mah teu butuh aya alesan. ‘Winner takes all’.

Peuting harita, sigana nu loba sapamadegan mun Persib maénna hadé pisan. Leubeut ku motivasi, unggul dina kereteg haté nu hayang nunjukkeun ka sakurna Bobotoh nu lalajo -boh langsung di stadion, boh di imah séwang-séwangan via layar kaca- yén ieu tah Persib téh. This Is Persib. Persib nu maén ‘operan dari kaki ke kaki’ nu memang geus ieu jadi cirina nu utama ti baheula.

Pastina gé acan sampurna pisan pola jeung skéma permaénan téh. Tapi sumanget joang para pemaén mangsa ngalayanan DCU payus mun meunang pujian. Teu sieun parebut bal, teu sieun diadu awak jeung pemaén DCU nu leuwih badag, daék lumpat ngudag bal ti jeung di mana waé. Ringkesna, ieu pisan Persib téh. Persib nu matak cara maén nu pinuh sumanget cara kieu nu asana mah geus lila teu dilalajoan ku Bobotoh.

Nu kuring inget mah, maén kalayan motivasi nu cara kieu téh dituduhkeun basa Persib ngalawan Persiba Balikpapan di ISL 2012. Harita di Stadion Siliwangi, Persib éléh 2-3. Bobotoh teu wegah keur ‘standing applause' keur Persib jeung Persiba nu geus méré tongtonan maén bal nu hadé pisan.

Pertandingan vs DCU di SJH Jumaah (07/12/13) kamari saheunteuna méré harepan ka Bobotoh mun di ISL 2014 isukan, Persib bakal leuwih loba préstasi. Teu saukur prestasi ngumpulkeun rupa-rupa logo sponsor dina kostim, tapi bisa meunangkeun angka saloba-lobana dina tarékah natah tangga jawara. Asal bisa konsistén maén cara nu dituduhkeun basa lawan DC United: wani ngadu jajatén, pinuh sumanget, détérminasi, teu leber wawanén. Mamprang lah cek barudak ayeuna mah.

Kredit paleuleuwih cek Kuring kudu dibikeun ka Ferdinand Sinaga jeung Konate Makan. Dua pemaén anyar ieu geus nuduhkeun sumanget joang nu positif dina pertandingan kamari. Aura positif nusumebar ka pemaén séjénna. Firman Utina, minangka kaptén, dina pertandingan kamari mah geuh nunjukeun kelasna minangka pemaén maen bal petingan.

Nalika peuting harita, Bobotoh gé sigana ngadadak poho yén salah sahiji pemaén bintangna, SVD, teu kacatet dina ‘line up’. Peuting harita, harepan nu mangkak na dada, nu minuhan lolongkrang haté bobotoh sewang-sewangan. Sergio memang bintang, tapi geus waktuna ku urang dipohokeun. Aya pemaén-pemaén séjén nuInsya Alloh baris leuwih béla ka Persib. Nu baris nungtun Persib niti tarajé nincak hambalang keur nedunan kahayang urang saréréa: jadi juara Indonésia.

Ricky N. Sastramihardja
Pemimpin Redaksi Suarabobotoh.com
@Rickynsas

Pernah dimuat di suarabobotoh.com
11-12-2013 

MENJEMPUT HIDAYAH MELALUI SEPAK BOLA


Bulan Romadhon telah mencapai lebih dari pertengahannya. Sudah lebih dari 15 hari kita menjalankan ibadah Romadhon. Artinya hari-hari ke depan Romadhon menjelang usai. Waktunya untuk lebih meningkatkan ibadah kepada Alloh Azza Wa Alla, karena ‘bulan bonus’ ini akan segera berakhir.

Bincang-bincang sepakbola di bulan Romadhon ini rasanya sedikit kurang gairah. Ketiadaan kompetisi akibat pembekuan PSSI yang berujung dengan sanksi FIFA, membuat perbincangan sepakbola terasa hambar. Perbincangan Bobotoh di media sosial seperti Twitter dan Facebook, terkait pembubaran squad Persib Bandung untuk ISL 2015 pun tidak begitu bergaung suaranya.

Mungkin para Bobotoh sedang lebih memfokuskan diri menjalani Romadhon daripada membincangkan sepakbola negeri ini yang belum menemukan ujung pangkal penyelesaian masalahnya. Berbeda dengan Romadhon tahun kemarin, masih ada beberapa pertandingan sepakbola domestik yang menarik diikuti. Termasuk ujicoba Persib di Stadion Galuh Ciamis yang dilangsungkan usai tarawih berlangsung.

Berbicara masalah bulan Romadhon, bulan penuh berkah penuh hidayah, teringat akan beberapa pesepakbola yang mendapatkan hidayah dan menjemput keislamannya di tanah air. Sepakbola menjadi jalan bagi beberapa pesepakbola untuk kembali jalan Islam.
Berikut ini adalah beberapa nama pesepakbola yang menjemput hidayah Alloh SWT dengan bermain sepakbola di Indonesia.

1. Abanda Herman
Mantan pemain belakang Persib ini pada tahun 2013 menyatakan dua kalimat syahadat. Pemain berpaspor Kamerun ini sah menjadi seorang pemeluk agama Islam (muallaf) setelah membaca dua kalimat syahadat di Masjid Nurul Iman, Babakansari, Kiaracondong, Bandung. Setelah memeluk agama Islam, namanya menjadi Ahmad Abanda Herman.

2. Cristian ‘El Loco’ Gonzales
El Loco yang pernah membela Persib adalah seorang mualaf. Striker kelahiran Montevidio, Uruguay yang dinaturalisasi menjadi WNI pada November 2010 resmi memeluk agama Islam pada tahun 2003. Saat itu ia masih berkostum PSM Makassar. Setelah memeluk dua kalimat syahadat, namanya adalah Mustafa Habibi.

3. Marcio Souza
Mantan penyerang Persib selama setengah musim di 2011-2012 ini adalah seorang mualaf. Ia menyatakan keislamannya dengan menyebut dua kalimat syahadat pada tahun 2009 saat berkostum Semen Padang. Souza yang berpaspor Brasil ini menjadi mualaf setelah sering melihat rekannya Antonio ‘Toyo’ Claudio, yang lebih awal memeluk agama Islam, sering melaksanakan sholat lima waktu.

4. Antonio ‘Toyo’ Claudio
Pemain berpaspor Brasil yang pernah berkostum Persib di musim 2006-2007 juga adalah seorang muallaf. Dialah yang menjadi ‘inspirasi’ bagi Marcio Souza untuk mendapatkan hidayah memeluk agama Islam. Toyo memeluk agama Islam pada tahun 2000 dan mengganti namanya dengan Fakhruzaman.

5. Patricio ‘Pato’ Jimenez
Mantan pemain belakang Persib berpaspor Chile ini ternyata telah lama memeluk agama Islam. Pernyataan keislamannya dilakukan pada tahun 2004 saat berkostum Semen Padang. Ia pun menambahkan nama Nabi Besar, Muhammad SAW menjadi nama depannya, Muhammad Patricio Jimenez Diaz.

6. Diego Michels
Mantan pemain belakang Timnas U23 yang terakhir tercatat berkostum Mitra Kukar ini memeluk agama Islam saat menjalani persidangan pengadilan akibat kasus hukum yang menimpanya. Pemain sepakbola kelahiran Deventer, Belanda ini rupanya mulai tertarik dengan agama Islam bahkan pada saat masih berdomisili di Belanda.

Hidayah Alloh SWT membuatnya mantap menyatakan dua kalimat syahadat, di mana pada saat berada dalam tahanan Polres Tanah Abang ia sering melihat temannya sesama pelaku pengeroyokan, berdoa dan beribadah secara Islam. Diego Michels pun mengganti namanya menjadi Diego Muhammad bin Robbie Michiels.

7. Arcan Iurie
Mantan arsitek Persib yang pernah membawa Persib ‘juara paruh musim’ pada musim 2006-2007 juga adalah seorang muallaf. Pelatih kelahiran Moldova ini resmi memeluk agama Islam pada tahun 2008 saat menyunting Santi Sucihati, menjadi istrinya di Bandung.

8. Wolfgang Pikal
Mantan asisten pelatih Timnas U-23 di masa kepelatihan Alfred Riedl ini memeluk agama Islam pada tahun 1995. Ia menemukan jalan hidayah itu saat mempersunting istrinya, Tina Rostina Gondokusumo, di Bali. Pada tahun 1990an Pikal datang ke Indonesia dengan berpaspor Austria, tapi kini ia telah menjadi seorang WNI dan berpaspor Indonesia.

9. Carlos Raul Sciucatti
Mantan pemain Persijap Jepara ini, seperti dilansir Goal.com resmi memeluk agama Islam pada tahun 2015 dan mengubah namanya menjadi Muhammad Carlos Raul Sciucatti. Pemain berpaspor Argentina ini kini bermukim di Pesantren Assalam Arya Kemuning, Kutai Barat, Kalimantan Timur

Masih ada beberapa nama pesepakbola lain seperti Javier Rocha, Danielo Fernando yang mengucapkan dua kalimat syahadat. Pada awalnya mereka datang ke Indonesia untuk bermain sepakbola. Ternyata sepakbola lah yang kemudian menjadi jalan hidayah mereka untuk mengucapkan dua kalimat syahadat dan memeluk agama Islam.

Tentu hal ini seharusnya menjadi ibroh (pelajaran) bagi kita muslimin-muslimat yang mencintai sepakbola dan telah berislam sejak lahir untuk meningkatkan dan memperbaiki keislaman kita. Semoga tetap istiqomah di jalan Islam serta tetap khusnul khotimah dan selalu meyakini bahwa Islam adalah agama yang paling benar, isyahdu bi anna muslimun. inna dinna indallohil Islam.

Ricky N. Sastramihardja
Editor in Chief Maenbal.co

pernah dimuat di maenbal.co
http://maenbal.co/14347/suara-redaksi/menjemput-hidayah-melalui-sepakbola/
03-07-2015

foto: TRI AJI

INI BANDUNG BUKAN JAKARTA!



“Ini Bandung, Bukan Jakarta, Ini Jawa Barat Bukan Ibu Kota….”
Itulah potongan chants yang selalu bergema di Stadion disaat Persib Bandung berperang dilapangan hijau. Karena chants itu juga tulisan ini ada, dan sepenggal bait dari chants itupun yang penulis angkat menjadi judul tulisan ini.

Pertandingan Persib Bandung vs Persija Jakarta bukanlah pertandingan istimewa. Bukan pula sebuah el-classico. Pertandingan antara kedua tim sudah berjalan puluhan kali dan tetap saja merupakan pertandingan sepak bola biasa. Dilangsungkan dengan peraturan sepakbola yang biasa dengan jumlah pemain yang selalu sama. Durasi pertandingan yang tetap 2 x 45 menit serta dengan perangkat pertandingan yang biasa.

Menjadi luar biasa bukan karena pertandingannya, tetapi karena atmosfer yang diciptakan para pendukungnya. Rivalitas antara kedua kubu supporter lah yang menjadikan tensi pertandingan menjadi tinggi, bahkan cenderung panas. Tak jarang terjadi bentrokan, bahkan jauh di luar area stadion.

Kejadian terbaru yang kembali melibatkan perseteruan kedua kubu bahkan tidak berhubungan dengan pertandingan Persib vs Persija. Tetapi terjadi usai pertandingan tim sekota, PBR vs Persija. Sekelompok supporter yang mengaku sebagai ‘Ultras’ Persija (bukan The Jakmania), menghadiri pertandingan tersebut dan melakukan provokasi-provokasi tidak perlu. Sehingga pasca pertandingan terjadi sedikit gesekan antara Ultras Persija dengan kelompok suporter tak beratribut diluar stadion Si Jalak Harupat.

Akan tetapi ketatnya pengawalan polisi dan pihak keamanan membuat kerusuhan tidak berkepanjangan. Dengan susah payah polisi, yang hakekatnya sangat dibenci oleh para Ultras, melakukan evakuasi untuk menyelamatkan sekitar 120 orang Ultras Persija dari kejadian yang tidak diinginkan. Polisi baru berhasil melakukan evakuasi pada sekitar pukul 01.00 WIB, atau 7 jam setelah pertandingan usai.

Mereka yang mengaku ‘Ultras Persija’ itu telah mempermalukan dirinya sendiri. Mempermalukan dunia Ultras atau Tifosi. Niat dan keinginan menodai Stadion Si Jalak Harupat dan mempermalukan Bobotoh gagal total dengan di-evakuasinya mereka oleh pihak kepolisian. Padahal salah satu kredo atau prinsip Ultras sedunia, Ultras bersepakat tidak melaporkan ancaman atau tindak kekerasan dari pihak supporter lawan kepada pihak kepolisian.

Kembali ke fokus kita pada pertandingan Persib vs Persija yang Insya Allah akan dilaksanakan tanggal 22 Februari 2014 besok lusa. Tentu saja sebagai media yang menyuarakan suara hati bobotoh sedunia, kami mengajak para bobotoh untuk menghadiri pertandingan tersebut dengan tetap tenang dan tetap tertib. Niatkan dalam sanubari bahwa kita akan mendukung Persib Bandung untuk mencapai kemenangan dan meraih tiga angka dari tim lawan.

Kehadiran Bobotoh di Si Jalak Harupat bukan untuk membalaskan dendam kebencian pada supporter Persija, The Jakmania atau apalah namanya. Mereka itu tidak penting. Mereka hanya sekelompok supporter karbitan yang baru belajar menonton sepak bola. Bobotoh datang ke Si Jalak Harupat bukan untuk membuat tindakan-tindakan di luar hukum negara dan apalagi hukum agama.

“Ini Bandung bukan Jakarta” Bobotoh memiliki tataran nilai dan norma yang tidak sama dengan ‘mereka’. Bandung telah melahirkan ribuan orang cakap dan kreatif di berbagai bidang. Begitu juga di dunia suporternya. Tunjukan bahwa Bandung memiliki cara yang jauh lebih keren, lebih positif, lebih sportif, lebih beradab daripada yang dilakukan ‘mereka’

Sebagai keluarga supporter yang terbesar haruslah bersikap lebih bijak dan lebih arif dalam menghadapi rivalitas dalam pertandingan ini. Bobotoh datang ke Stadion Si Jalak Harupat adalah untuk memberikan dukungan, ngabobotohan kepada Persib Bandung. Tunjukan bahwa bobotoh lebih beradab, bukan sekelompok barbar yang menebarkan ancaman dan terror bagi warga yang berdomisili di sekitar Si Jalak Harupat. Kita turun ke jalan bukan untuk melakukan sweeping terhadap kendaraan ber-plat B, tetapi kita turun ke jalan untuk menunjukkan pada masyarakat Bandung bahwa kita mencintai Persib.

Tunjukan kita lebih beradab dengan tertib di jalan raya menuju dan pulang dari stadion. Tunjukan kita lebih beradab dengan cara membeli tiket resmi, bukan menyogok aparat keamanan. Tunjukan rasa hormat kita pada Persib Bandung dengan memberi dukungan yang positif dan sportif. Tunjukan bahwa kita bisa menyaksikan pertandingan tanpa harus membawa dan menyalakan mercon, bom asap, atau cerawat/red flare. Datang ke pertandingan tanpa harus membawa senjata tajam, celurit, gear motor, samurai, atau batu seperti yang dilakukan oleh ‘mereka’

Pertandingan belum bergulir. Kita masih ada kesempatan untuk berharap dan berdoa agar Persib mampu menunjukkan performa terbaiknya sebagai penghormatan bagi kita, bobotoh setianya. Kita berharap Persib membalas ‘jasa’ kita yang telah memberikan dukungan dengan kemenangan mutlak dalam meniti asa demi asa, dalam meniti tangga menjadi juara liga Indonesia musim ini. Bagimu Persib Jiwa Raga Kami! Persib Salawasna.

Ricky N. Sastramihardja
Pemimpin Redaksi SuaraBobotoh.Com

Pernah dimuat di suarabobotoh.com
20-02-2014

MAÉN BAL JEUNG PULITIK


Teu karasa, waktu nu nyerélék nganteurkeun urang ka satengahing bulan Maret 2014. Asa karék cikénéh kompétisi Liga Super Indonesia dimimitian, ayeuna geus eureun deui waé. Eureun saheulaanan lantaran kiwari keur nyanghareupan hajat lima taunan: Pemilu.

Pemilu atawa Pemilihan Umum téh minangka salah sahiji prosés pulitik di nagara-nagara nu ngagem paham démokrasi. Diayakeun sangkan prosés sérén-sumérén (transisi) kakawasaan ti Gegedén nu geus béak mangsa babaktina, ka Gegedén nu baris nyilihan bisa laksana kalayan lungsur-langsar. Warga masarakat nu geus sawawa tur minuhan sarat undang-undang keur milih jeung dipilih, bisa ilubiung langsung dina ieu prosés pemilu.

Mun ngalongok jauh ka tukang, ka mangsa karajaan Sunda – Pajajaran, karuhun urang geus ngawaris ‘nilai-nilai normatif’ nu bisa jadi ijiran dina prosés transisi kakawasaan. Sanajan ngagem sistem karajaan atawa monarki, tapi asana mah teu kungsi kabéjakeun di Tatar Sunda aya uru-ara alatan parebut kakawasaan. Transisi kakawasaan ti raja nu hiji ka raja nu ngawaris tahta lumangsung kalawan tartib, nyugemakeun, tiis ceuli hérang mata. Éstu clik putih clak hérang.

Ti dinya lahir istilah ‘Sili(h)wangi’, nu harti saujratna nya éta diganti/ngaganti kalayan rasa ajrih. Silih, disilih dina basa Sunda sarua hartina jeung diganti atawa pindah/sérén. Jadi Prabu Sili(h)wangi téh lain ngan saukur ngaran raja hungkul. Prabu Sili(h)wangi saéstuna minangka ‘gelar kehormatan’ pikeun raja anyar nu ngaganti raja nu heubeul. Bisa disebut kabéh raja-raja di Sunda katelahna Prabu Sili(h)wangi. Pangpangngna, numutkeun para ahli, nalika jaman Prabu Niskala Wastu Kancana jeung Sri Baduga Maharaja.

***

Dunya olahraga, jeung dunya maén bal sabenerna silih pangaruhan jeung dunya pulitik. Maén bal jeung pulitik boga ‘irisan’ nu sarua, nya éta massa. Dina maén bal ‘irisan massa’ téh disebutna suporter/bobotoh, mun dina pulitik, irisan massa téh kaasup dina konstituén atawa pemilih. Suporter maén bal nu geus cukup umur jeung minuhan sarat cek undang-undang pikeun ilubiung dina kagiatan pulitik disebutna konstituén. Konstituén anu baris nangtukeun akumulasi jumlah suara nu bisa dihontal tina prosés pemilu.

Urang meureun kungsi mireng aya istilah ‘kick away politics out from football’. Éta ungkara téh kasangtukangna mah minangka protés ka para pulitikus nu ngan saukur ngamangpaatkeun suporter jeung kagiatan maén balna keur kaperluan pulitik praktisna hungkul. Saukur keur nambahan tur ngalobaan jumlah suara mangsa pemilu hungkul. Saukur sumber suara nu baris nganteurkeun maranéhna diuk dina korsi kakawasaan hungkul.

Tapi teu ngabibisani ogé mun diteuleuman leuwih jero, antara maén bal jeung pulitik gé boga hubungan nu bisa silih mangpaatkeun, nu bisa silih nguntungkeun. Simbiosis mutualisma. Kauntungan tina pulitik nya éta misalna ku ayana sarana jeung parasarana olahraga nu bisa dipaké keur balaréa atawa pajeg tongtonan nu leuwih ‘bersahabat’ nu balukarna harga karcis bisa leuwih murah. Suasana pulitik nu kondusif tur harmonis ogé nyiptakeun rasa aman keur diayakeunana kagiatan pertandingan olahraga nu loba ngumpulkeun massa. Sabalikna, kondisi pulitik anu teu kondusif, haréngréng totondén loba bahla baris ngarugikeun kana kagiatan maén bal jeung suporterna.

Mun maluruh rarangkén sajarah, dina titi mangsa 2009 Persib ‘kapaksa’ pindah kandang ti Stadion Siliwangi ka Stadion Si Jalak Harupat, Kabupatén Bandung alatan alesan pulitik. Harita, 5 taun ka tukang, minangka antisipasi keamanan dina raraga pemilu 2009 otoritas keamanan teu méré rékomendasi izin pertandingan Persib di Stadion Siliwangi nu aya sajeroning Kota Bandung. Ngariungna massa bobotoh nu tepi ka puluhan rebu dipikamelang baris dimangpaatkeun ku pihak-pihak nu teu bertanggungjawab. Sok komo saméméhna, kungsi aya riributan heula di sabudeureun Stadion Siliwangi satutas Persib éléh ku Persija.

Anu sabenerna teu disangka-sangka nya éta kajadian cara kitu téh kajadian deui 5 taun ti harita. Di musim 2014 ieu Persib teu meunang rékoméndasi ti otoritas keamanan pikeun ngayakeun pertandingan. Pertandingan badag ‘big match’ antara Persib vs Persija nu kuduna lumangsung tanggal 22 Februari 2014 dibolaykeun alatan alesan klasik: keamanan. Katurug saméméhna aya kajadian nu ngalibatkeun Bobotoh jeung suporter Persija nu maksa asup ka Stadion Si Jalak Harupat pikeun lalajo pertandingan Pelita Bandung Raya vs Persija.

Dua kajadian di luhur ngagambarkeun yén antara maén bal jeung pulitik miboga hubungan anu raket. Hubungan anu asupna dina status ‘benci tapi rindu, bogoh tapi ngéwa, hay-hay tapi ér-ér (hayang tapi éra), geul-geul tapi neun-ngeun (geuleuh tapi ngeunah).

Disebut ngarugikeun, da enya pisan. Tapi mun ditempo mangpaatna, teu ngabibisani aya ogé mangpaatna. Urang maphum, pertandingan Persib sacara langsung ngumpulkeun massa nu lobana tepi ka puluhan rebu. Massa anu dina istilah pulitik mah meureun disebut ‘floating mass’ atawa ‘crowded’ téa. Massa nu babari pisan kabawa ku sakaba-kabalamun aya pangajak jeung talatah ti oknum/provokator nu teu tanggung jawab, nu hayang ngeduk kauntungan ti nu buntung.

Salian ti éta, minangka Bobotoh urang-urang gé hayang pisan urusan jeung kapentingan pulitik teu pacorok kokod jeung maén bal. Urang butuh pulitikus nu hadé nu bisa méré kauntungan jeung kontribusi ka Persib dina kawijakan-kawijakanana. Urang baris nampik pulitikus-pulitikus nu saukur rék ngamangpaatkeun Persib jeung bobotohna keur kapentingan pulitik pribadi jeung golonganana hungkul.

Ku kituna, mapag Pesta Pulitik 2014 ieu sakurna Bobotoh kudu taki-taki. Caringcing pageuh kancing, saringset pageuh iket. Waspada bisi aya jurig nyiliwuri nu saukur hayang ngamangpaatkeun populasi Bobotoh nu lobana jutaan keur kapentingan pulitik hungkul. Anu balukarna, salian ti ngarugikeun Bobotoh, oge baris ngarugikeun Persib. Ulah kabawa ku sakaba-kaba, komo ba’da Pemilu urang nyanghareupan ‘big match’ Persib vs Arema nu geus didago-dago ti anggangna.

Urang babarengan ngajaga kondusifitas keamanan di sabudeureun urang séwang-séwangan. Komo Bobotoh nu dumuk di Kota Bandung mah. Sabab Bandung téh Ibukota, puseur dayeuh, Bobotoh sa-alam dunya. Lamun aya kajadian nu teu dipiharep di Bandung nu ngalibatkeun Bobotoh, tangtuna baris nyusahkeun ka izin pertandingan Persib kahareupna.

Bobotoh boga harepan lamun proses pulitik nu keur lumangsung mawa mangpaat keur urang sakurna warga nagara. Minangka warga nagara, Bobotoh nunda harepan ka para pulitikus supaya pulitik téh lain saukur keur ngumpulkeun rahyat leutik keur tempat calik. Tapi pulitik téh mangrupa rarangkén kawijaksanaan jeung kaputusan nu mawa maslahat jeung mangpaat, pangpangna keur rahayat leutik. Rahayat nu butuh leuwih ti saukur kanyaah jeung simpati teu ngan dina mangsa usum kampanyeu hungkul. Ra’yat nu butuh solusi jeung pituduh pikeun ngaronjatkeun ajén hirupna tutas hajat rongkah sérén-sumérén kakawasaan ieu lekasan.

Kitu. Cag.

Ricky N. Sastramihardja
Pemimpin Redaksi SuaraBobotoh.Com

Pernah dimuat di suarabobotoh.com
19-03-2014

INI PENYERANGAN, BUKAN TAWURAN!





Alhamdulillah, setelah hampir satu minggu “nge-bolang” di Palembang dalam rangka mem-bobotoh-i Persib untuk meraih gelar juara Indonesia Super League (ISL) 2014, pagi tadi saya dan rombogan tiba di Bandung dengan selamat. Alhamdulillah, Allah SWT masih memberikan keselamatan mengingat sepanjang perjalanan pulang, terutama dari Merak hingga Cawang ada beberapa gangguan yang dilakukan kelompok supporter lain yang klubnya tidak berlaga di babak 8 besar ISL 2014.

Sebagai seseorang yang terlibat langsung dan berada bersama rombongan besar Bobotoh sejak hari Senin, 3 November 2014, saya mewakili segenap redaksi dan manajemen Suarabobotoh.com memohon agar masyarakat Bandung dan juga saudara-saudara kami di kota Jakarta mencermati berbaga informasi yang dimuat di media, juga yang tersebar melalui instan messenger seperti BBM, Whatsapp dan sebagainya.

Bahwa tersebar informasi yang menyatakan terjadi tawuran dan atau penyerangan oleh Bobotoh adalah TIDAK BENAR! Kenyataan yang ada adalah adanya penyerangan yang dilakukan sekelompok supporter yang menamakan diri The Jakmania. Penyerangan ini dilakukan secara terencana, karena terjadi sejak tanggal 6 November 2014. Di mana pada hari itu terjadi gelombang Bobotoh melalui berbagai moda transportasi, untuk mencapai Palembang. Kota di mana diadakan pertandingan semifinal dan final ISL 2014. Dari sekitar 100 bis yang tiba di Palembang pada tanggal 7 November 2014, ada beberapa bus yang kacanya pecah (sebagian /keseluruhan) karena dilempari oleh The Jakmania sepanjang jalan tol yang menuju ke Pelabuhan Merak untuk menyebrang.

Pada tadi Jumat malam tanggal 8 November 2014 hingga Minggu dinihari tanggal 9 November 2014 bertebaran informasi dari media online maupun broadcast message bahwa telah terjadi tawuran antara Bobotoh dan The Jakmania. Kenyataannya adalah TIDAK ADA TAWURAN, karena yang terjadi adalah PENYERANGAN. The Jakmania melakukan penyerangan hampir pada semua bus yang dipergunakan bobotoh saat melintasi kota Jakarta dari Merak menuju Bandung. Penyerangan ini terutama terjadi pada bus-bus yang melalui jalur JORR (Jakarta Outter Ring Road). Mengutip pernyataan resmi manajemen Persib seperti yang dilansir di laman resminya, dinyatakan tidak ada korban jiwa. Setidakya sampai hari ini. Korban luka-luka dirawat di berbagai rumah sakit di Bandung, Bekasi, maupun Jakarta.

Untuk warga Jakarta, kami mempersilahkan silahkan datang ke Bandung dengan rasa aman. Jangan merasa terancam bila kendaraan yang dupergunakan adalah kendaraan ber-plat B. Silahkan menikmati keindahan dan keramahan kota kami, karena balas dendam bukan budaya Urang Sunda. Bukan budaya Bobotoh.

Untuk seluruh Bobotoh yang hendak merayakan kemenangan PERSIB, mari kita rayakan tanpa euforia berlebih. Jangan mengganggu atau merusak kendaraan milik saudara-saudara kita yang berasal dari Jakarta. Jangan coba mengganggu, mengintimidasi, atau melakukan kekerasan. Mengingat pada saat final kemarin tercatat ada 250 bis dan 800 kendaraan kecil yang berangkat ke Palembang. Dari Bandung dan sekitarnya diperkirakan sebanyak 120 bis. Patut diingat, hingga tulisan ini diluncurkan belum semua bus Bobotoh kembali ke Bandung atau ke kota-kota lain.

Biarkanlah kekerasan dan kebodohan ini menjadi milik kelompok supporter lain yang bernama The Jakmania. Kepada pihak berwenang dan aparat kepolisian, tangkap para petinggi-petinggi The Jakmania. Merekalah yang harus bertanggungjawab atas penyerangan yang dilakukan anggotanya. Hidup PERSIB!

Ricky N. Sastramihardja
Pemimpin Redaksi SuaraBobotoh.com
Foto: Twitter

dimuat di suarabobotoh.com
09-11-2014

PIALA PRESIDEN : HANYA SEKEDAR TARKAM BIASA


Drama dua leg yang luar biasa tersaji dalam pergelaran turnamen Piala Presiden antara Persib Bandung dan PBFC. Drama yang dibumbui dengan kisah-kisah di luar lapangan yang digosok media seperti opera sabun yang tersaji di layar kaca televisi kita.

Menjelang pertandingan leg II pun suasana semakin menarik. Kekalahan Persib di leg pertama menjadikan atmosfer turnamen semakin panas. Setelah Iwan Sukoco, wasit pada pertandingan leg I yang menjadi bintang pertunjukan, kali ini Iwan Setiawan pelatih PBFC yang menjadi sorotan.

Sayang, dua Iwan ini seperti kata Bon Jovi, ‘you give IWAN, a bad name’. Memberikan citra negatif bagi pemilik nama Iwan. Iwan Sukoco dengan keputusan-keputusan kontroversialnya yang merugikan Persib. Iwan Setiawan dengan celotehnya di media massa akhirnya memercikkan muka di dulang. Kemenangan Persib Bandung dengan skor 2-1 (aggregat 4-4), membungkam mulut cablaknya.

Kemeriahan itu menggiring kita untuk melupakan hal lain yang terjadi di dunia sepak bola kita. Misalnya, kita lupa bila Piala Presiden ini tak ubahnya hanyalah turnamen kelas tarkam. Indonesia masih dikucilkan dari pergaulan sepak bola Intenasional karena statusnya masih di-banned oleh FIFA sebagai federasi tertinggi sepak bola dunia.

Kita luput memperhatikan, bagaimana tim SBAI (Sepak Bola Anak Indonesia) terkena getahnya. Tim SBAI yang sejatinya tunas-tunas pesepakbola masa depan, diusir dari perhelatan Borneo Cup di Sabah. Sabah yang berada di pulau Kalimantan -pulau yang sebagian besar bergabung dengan NKRI dan hanya sebagian kecil ikut Malaysia- tim sepakbola kita tidak boleh menjejakkan kakinya di sana.

Pertanyaannya kemudian, untuk apa kemeriahan di Piala Presiden ini? Tidak ada artinya bagi klub, bagi pemain, bahkan untuk negara ini. Turnamen ini hanyalah sekelas turnamen tarkam yang diadakan hanya untuk hiburan belaka. Tidak lebih.

Tidak akan ada upaya untuk membentuk kerangka Timnas misalnya. Karena tidak ada gunanya. Selama masih dikucilkan FIFA, timnas Indonesia tidak akan pernah bisa bertanding melawan timnas negara lain.

Timbul pula pertanyaan siapa yang berhak menjatuhkan sanksi apabila ada ‘attitude’ yang buruk dari klab, pemain, ofisial, atau perangkat pertandingan selama turnamen ini? Karena PSSI pun tidak bisa hadir sepenuhnya di sini. Selama masih di-banned oleh FIFA, setiap kekacauan dan ‘ke-misleuk-an’ selama turnamen ini tidak akan mendapat sanksi berarti.

Mahaka Sport hanya penyelenggara, bukan pembuat regulasi. Sanksi yang diberlakukan Mahaka Sport hanya berlaku pada turnamen ini saja. Bila turnamen ini usai, maka usialah pula sanksi yang dikenakan pada para trouble maker macam Iwan Sukoco.

Kita menghadiri dan memeriahkan turnamen ini karena setia dengan klub kesayangan kita. Kita merindukan Persib berlaga dan memberi atraksi menarik di setiap laga. Tidak ada yang salah, malah membanggakan.

Di tengah kondisi sepak bola dan ekonomi yang sedang ‘meroket’, Si Jalak Harupat dipenuhi Bobotoh yang datang dari seluruh penjuru. Nonton bareng pun digelar di berbagai tempat di Kota Bandung. Kegiatan ekonomi menggeliat, koran kembali laris manis usai pertandingan, dan para pedagang kecil di sekitar stadion dan tempat nobar meraup sedikit keuntungan. Tak lebih.

Yap, tak lebih dari pergelaran tarkam untuk memeriahkan Agutusan. Usia kemeriahan ini tak akan lama, hanya sepanjang perhelatan. Kita pasti akan masih selalu mendukung Persib Bandung, untuk berlaga di level apapun. Tetapi para pemain, para pejuang-pejuang yang turut berkontribusi pada nama Persib, mendekati ujung kepastian. Mendekati akhir turnamen berarti mendekati akhir masa ‘gacong’ mereka. Setelah turnamen usai, kontrak mereka yang seumur jagung dengan klub pun berakhir pula.

Inilah nasib sepak bola hiburan. Tak ubahnya seperti pertunjukkan sirkus. Pemain hanyalah artis, dan supporter hanyalah pemberi sodakoh. Turnamen ini hanyalah murni kegiatan ekonomi, bukan kegiatan olahraga. Solusinya hanya satu: sebelum turnamen ini usai , negara harus berdamai dengan asosiasi. Jangan sampai terjadi lagi pengusiran tim sepak bola Indonesia dari pentas internasional seperti yang dialami SBAI tempo hari.

Ricky N. Sastramihardja
Editor in Chief Maenbal.co

pernah dimuat di maenbal.co
http://maenbal.co/15871/suara-redaksi/piala-presiden-hanya-sekedar-tarkam-biasa/
foto: TRI AJI

27-09-2015

BERCERMIN PADA SANTIAGO BERNABEU


Dinihari itu, di depan layar kaca saya terkagum-kagum dengan kemegahan Estadio Santiago Bernabéu yang dipenuhi oleh puluhan ribu Madridista. Stadion kandang tim sepakbola terkaya di dunia itu terdiri atas lima ‘umpak’ tribun yang dapat menampung l.k. 81.000 penonton. Jumlah yang sangat banyak mengingat pertandingan yang diadakan adalah pertandingan semi final Piala Champion Eropa.

Dinihari itu, bukan hanya soal sepak bola di tengah lapangan hijau saja yang menarik perhatian. Tetapi juga menerawang sebuah sistem yang masif dan terkendali, sistem yang dapat mengelola jumlah penonton yang begitu banyak tersebut sebagai sebuah sistem yang tentu saja selain menguntungkan klub, juga membuat penonton yang berada di dalamnya merasa aman dan nyaman saat mendukung tim kesayangannya.

81.000 orang yang memenuhi stadion adalah keuntungan finansial bagi klub. Dalam hitung-hitungan ‘bodoh’ saja, bila satu orang dikenai tiket setara dengan Rp. 20.000, maka pada laga semifinal itu Real Madrid akan mendapatkan transaksi kotor hasil penjualan tiket sebanyak Rp. 1.620.000.000 (satu milyar enam ratus du apuluh juta rupiah). Itu baru dari tiket, belum lagi pendapatan dari iklan dan sponsorship, hak siar, dan lain-lain. Sekedar tambahan informasi, di situs Real Madrid dicantumkan harga tiket termurah adalah 13 € ( 1 € = Rp. 12.000).

Dengan sistem pengelolaaan penonton yang masif, terstruktur, dan terkendali tidak hanya klub yang diuntungkan. Penonton yang telah berkorban mendapatkan tiket termurah pun mendapatkan hak sesuai pengorbanan yang dikeluarkannya. Minimal, dia akan mendapatkan tempat duduk sesuai dengan nomor yang tertera di di tiketnya. Tidak ada kekhawatiran kursinya diduduki orang lain yang tidak berhak saat misalnya, yang bersangkutan kebetulan kebelet dan terpaksa harus ke kamar kecil di bagian lain tribun.

Dinihari itu, tiba-tiba teringat akan Stadion Si Jalak Harupat yang tak kalah megah di tengah persawahan kota Soréang Kabupaten Bandung. Selain merupakan kandang bersama Persib Bandung dengan tim sekota, Pelita Bandung Raya, Stadion si Jalak Harupat merupakan stadion milik pemerintah Kabupaten Bandung, yang sejatinya adalah stadion kandang tim Persikab Kab. Bandung yang kini tengah berjuang di Divisi Utama.

Jangankan sistem pengaturan dan pengelolaan penonton yang baik, stadion pun dalam kondisi tidak terawat. Sampah di mana-mana seolah berabad tidak dibersihkan, tidak ada sanitari (toilet) yang layak. WC penonton tidak terawat, tidak berair, dan bahkan mushola yang juga ‘barau hangseur’, membuat Bobotoh kesulitan tempat yang bersih dan suci dari najis untuk melaksanakan ibadah sholat Ashar dan atau magrib di saat menunggu pertandingan yang digelar di sana.

Tidak ada kenyamanan yang bisa dinikmati penonton yang telah membeli karcis di saat menunjukkan dukungan kepada tim kesayangannya.

Sistem pengelolaan penonton yang buruk juga membuat Persib tidak berhasil meraih keuntungan finansial yang sejatinya dapat digunakan untuk membiayai klab. Pada musim 2012-2013 yang lalu, pemasukan tiket dianggarkan sebesar l.k. Rp. 3 milyar. Tetapi pada akhir musim kompetisi, ternyata hanya terpenuhi setengahnya saja. Artinya, untuk musim kompetisi berikutnya Persib telah kehilangan dana pengelolaan klub sebanyak 1,5 miliar. Jumlah yang luar biasa untuk ukuran klub sepak bola Indonesia!!

Pada pertandingan melawan Arema Cronus tempo hari, misalnya, pengelolaan sangat tidak profesional. Para Bobotoh terpaksa memasuki tribun stadion saling dorong dan berdesakan karena keterlambatan antisipasi dari panpel dan petugas keamanan dalam mengatur antrian.

Usai dzuhur, sekitar pukul 13.00 gerbang masuk ke semua tribun telah dipadati ribuan bobotoh yang dalam antrian yang kacau. Petugas penjaga karcis dan aparat kemanan dari Polri/TNI baru datang 30 menit kemudian. Keadaan berubah menjadi tidak terkendali karena antrian yang semula sudah kacau bertambah kacau karena terlambatnya antisipasi. Walhasil para Bobotoh baru bisa masuk ke tribun setelah berdesakan dan terhimpit ribuan Bobotoh lainnya.

Di tengah kekacauan itu beberapa orang Bobotoh ‘tergencet’, dan berteriak kesakitan. Tapi jangankan menolong, yang lain pun banyak yang tidak bisa bergerak dalam kerumunan yang kacau dan mengerikan itu.

Di stadion dengan kapasitas penonton 27.000 itu, manusia seakan tidak ada nilainya di mata panpel. Para bobotoh seolah bukan manusia yang layak mendapat perhatian seperti manusia. Hal ini juga diperparah, atau tepatnya, menjadi celah kesempatan bagi oknum petugas panpel untuk memasukan penonton yang tak berkarcis. Walhasil, setelah berhimpitan di gerbang masuk, Bobotoh pun masih harus berdesakan di dalam tribun karena jumlah penonton yang membludak jauh melebihi kapasitas kursi stadion.

Minimnya partisipasi petugas keamanan untuk menjaga ketertiban di depan gerbang masuk juga menjadi celah segelintir oknum bobotoh untuk menyelundupkan benda-benda yang dilarang dibawa ke dalam stadion: cerawat (flare), bom asap, mercon tjang we, juga botol minuman platik. Petugas keamanan hanya berusaha menyobek karcis dan menyelundupkan penonton tak berkarcis, tetapi luput melakukan pemeriksaan terhadap barang bawaan penonton. Walhasil, di paruh kedua pertandingan di saat Persib unggul atas Arema, benda-benda haram tersebut dengan bebasnya menyala di stadion. Tak ketinggalan botol plastik eks air minum turut pun berhamburan ke tengah lapangan.

Anehnya, kejadian-kejadian ceroboh itu selalu terulang di partai-partai ‘big match’ yang dipenuhi Bobotoh. Aparat yang seharusnya lebih sigap di saat Bobotoh membludak, malah sebaliknya. S.O.P diabaikan, penonton tanpa karcis bebas memasuki tribun, dan faktor keamanan-kenyamanan Bobotoh diabaikan. Sedangkan di pertandingan-pertandingan lain yang jumlah penontonnya relatif normal, petugas justru sigap dan bertindak sesuai SOP.

Dengan demikian, denda dan sanksi bagi Persib menjadi sebuah kewajaran karena memang otoritas yang bertugas menggelola keamanan dan ketertiban penonton justru tidak menggunakan otoritasnya dengan baik.

Bobotoh ‘nakal’ yang seharusnya dapat diantisipasi, justru malah mendapat ruang untuk melakukan kenakalannya: tidak membeli karcis juga membawa benda-benda terlarang. Dengan kata lain, denda dan sanksi yang dijatuhkan PSSI awal mulanya disebabkan oleh kelalaian panpel yang bertugas, bukan melulu kesalahan Bobotoh. Karena bila panpel yang bertugas menjaga gerbang bekerja sesuai SOP, penyelundupan cerawat, bom asap, mercon, dan botol air mineral dapat diantisipasi. Bila panpel bertindak tegas terhadap penjual air minum botolan, maka tidak akan pernah ada botol yang melayang ke tengah lapangan.

Dinihari itu, bercermin pada pertandingan di Estadio Santiago Bernabéu. 81.000 penonton bersorak dan bergembira di dalam stadion megah dengan lima umpak tribun. Madridista dan The Bavarian berbaur bergembira bersama menyaksikan pertandingan besar semi final Piala Champion Eropa leg pertama. Tak ada cerawat, bom asap, dan mercon yang meledak dan mengganggu pertandingan.

Dinihari itu, di layar kaca saya melihat Estadio Santiago Bernabéu sebagai sebuah sistem industri sepakbola yang ideal. Sistem yang membuat para supporter di dalamnya kembali menjadi manusia yang bersuka cita dan bergembira di saat mendukung para pahlawannya berlaga di lapangan hijau.

Sebuah sistem yang seharusnya ditiru untuk keuntungan, keamanan, kenyamanan bersama. Karena bila Persib Juara menjadi tujuan bersama, maka proses menjadi juara pun harus ditularkan kepada semua pihak agar tidak ada perilaku koruptif baik di lingkungan pengelola-pelaksana juga di kalangan Bobotoh. Itulah sejatinya juara, perjuangan bersama mewujudakan cita-cita yang tidak hanya sekedar piala saja.

Penulis adalah Pimpinan Redaksi Suarabobotoh.com

Pernah dimuat di suarabobotoh.com
27-04-2014 

PEMBEKUAN PSSI, SEMOGA MENPORA TIDAK MASUK ANGIN



Keseriusan Menpora Imam Nahrawi untuk mereformasi PSSI hingga hari ini masih harus diuji. Tidak cukup dengan hanya membekukan PSSI, Menpora juga memerintahkan ketua KOI, Rita Subowo untuk melobi FIFA.

Belum selesai sampai di situ, Menpora juga telah mengirim surat resmi kepada Mabes Polri untuk melarang pelaksanaan Liga Indonesia. Imbasnya, pertandingan antara Persipura vs Persija di Jayapura pada tanggal25 April 2015 sudah barang tentu batal.

Pesan Menpora untuk membenahi PSSI ini cukup kuat dan tentunya harus didukung insan sepakbola serta pecinta sepakbola Indonesia. Bagaimana kita kemudian menjadi saksi betapa merindunya kita akan prestasi sepakbola nasional yang tak kunjung tiba.

Pembekuan PSSI oleh negara, lepas dari masalah adanya penilaian bahwa hal itu intervensi atau bukan, harus kita anggap sebagai upaya untuk membenahi PSSI yang tak kunjung sukses memajukan sepakbola Indonesia. Boro-boro melenggang ke pentas sepakbola dunia, untuk wilayah Asia Tenggara pun kita hanyalah sekelompok macan ompong yang ‘ngagugulung kalapa‘.

Kekhawatiran dan ketakutan kita sebagai Bobotoh hanyalah bila PSSI kemudian dihukum oleh FIFA, adalah terhentinya kesebelasan yang kita sayangi PERSIB Bandung dari kompetisi AFC. Padahal betapa besar harapan kembali menyaksikan PERSIB berprestasi di kancah sepakbola antar klub Asia. Tapi impian yang telah ditunggu selama dua puluh tahun itu terancam musnah.

Tentu saja kita berhak untuk khawatir. Namun mengingat kedudukan PERSIB sebagai salah satu anggota PSSI, maka mau tidak mau, suka tidak suka, kita harus belajar untuk merelakan kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Selama PERSIB masih berkhidmat di bawah PSSI, apapun yang menimpa PSSI, tentu akan kita rasakan pula.

Kita harus ingat, selama ini PSSI seringkali tidak konsisten di dalam menjalankan kebijakan-kebijakan organisasinya. Salah satu yang masih berbekas adalah di saat gelaran final Liga Indonesia 2014. Setelah Persib dipastikan lolos ke semifinal, tempat penyelenggaraan semifinal menjadi tidak jelas hingga akhirnya diputuskan di Palembang setelah sebelumnya diputuskan di Jakarta.

Begitu PERSIB lolos ke final, tempat penyelenggaraan pun kembali berubah. Keputusan final tetap dilakukan di Palembang pun didapat pada H-2. Begitu pula larangan bagi Bobotoh untuk menyaksikan final di Palembang, baru terbit Kamis siang, di saat ribuan Bobotoh sudah berada di perjalanan menuju Palembang, venue laga final 2014 antara Persib Bandung dan Persipura Jayapura.

Ya inkonsinsistensi adalah penyakit PSSI yang harus disembuhkan. Inkonsistensi hanyalah satu dari sekian banyak penyakit kronis yang diderita PSSI dari sekian banyak penyakit lain yang ‘ngaganggayong‘.

Semoga Menpora tetap konsisten dalam upaya pembekuan PSSI ini hingga PSSI benar-benar sembuh. Jangan sampai ‘masuk angin’ tertular penyakit inkonsistensi PSSI. Karena kami benar-benar merindukan timnas yang bisa mengharumkan negara ini melalui sepakbola.


Ricky N. Sastramihardja
editor in chief Maenbal.co
@RickyNSas


Dimuat sebagai editorial maenbal.co
http://maenbal.co/12245/suara-redaksi/pembekuan-pssi-semoga-menpora-tidak-masuk-angin/

INDONESIA SI BUTA DI TENGAH DUNIA DENGAN SEBELAH MATA


Pemain bintang sekelas Robin van Persie dengan penghasilan 10 juta Poundsterling per tahun (sekitar 205,3 Miliar) masih mengkhawatirkan posisinya di Timnas Belanda. Selama dua musim bermain untuk Manchester United, van Persie banyak kehilangan menit bermain. Ia lebih banyak duduk di bangku cadangan menyaksikan rekan-rekannya bertanding.

Sepakbola, tidak melulu penghasilan yang fantastis. Tidak juga hanya sekedar pengabdian kepada klub yang membesarkannya. Seorang pemain sepakbola mengharapkan lebih dari sekedar materi, tetapi juga eksistensi. Eksistensi pemain sepakbola adalah saat ia dipanggil oleh negara untuk menjadi bagian kesebelasan besar yang bernama timnas.

Kita saksikan bagaimana anak-anak muda yang bergabung di Timnas U-23 meneteskan air mata saat pertandingan perdana Timnas Indonesia melawan Myanmar pada ajang SEA GAMES 2015. Di tengah perseteruan dahsyat antara negara melawan PSSI, di tengah sanksi FIFA pada PSSI, mereka menjadi satria pinilih dengan tugas maha berat. Seperti Guruminda yang ditugaskan Sunan Ambu ke dunia untuk mencari Layang Salaka Domas.

Air mata yang menetes adalah simbol kebanggan dan harga diri mereka sebagai pemain sepakbola terhadap negara tempat mereka lahir dan dibesarkan. Air mata yang menetes itu adalah bukti betapa merela mencintai negara ini. Indonesia memang kalah 2-4 oleh Myanmar, tetapi air mata yang menetes adalah bukti tak terbantahkan bahwa mereka juga bangga masih berlaga pada pertandingan Internasional di saat dunia menutup mata, telinga, dan tangannya pada Indonesia.

Sanksi FIFA yang dijatuhkan tanggal 29 Mei 2015 masih belum dicabut karena negara masih bersikukuh untuk membekukan PSSI. Sampai hari ini sebagai dampak Pembekuan PSSI yang berujung dengan jatuhnya sanksi FIFA, belum tampak ada tindakan lebih lanjut yang dilakukan negara. Negara masih sibuk memberikan pernyataan di media daripada membuktikan pernyataannya itu. Belum ada satupun anggota komplotan mafia sepakbola yang selama ini dianggap merongrong Sepakbola Indonesia, yang berhasil dibuktikan dan mereka tangkap.

Sementara klub-klub mulai membubarkan timnya untuk menghindari kerugian materi yang lebih besar. Setelah Persipura Jayapura resmi dibubarkan, santer terdengar wacana bahwa PERSIB Bandung pun akan membubarkan pasukan yang sejatinya dipersiapkan untuk Liga Indonesia dan AFC. Seiring berhentinya Liga Indonesia dan kekalahan PERSIB pada pertandingan melawan Kitchee FC, praktis tidak ada pertandingan yang bisa diikuti lagi.

Selain itu, tuntutan Bobotoh yang disuarakan tanggal 4 Juni 2015 yang baru lalu kepada Menpora dan PSSI untuk berdamai dan segera memutar roda kompetisi lagi, sampai hari ini belum terdengar ‘kelemeng’ nya. Belum terdengar apa dan bagaimana reaksi pihak-pihak terkait akan nasib persepakbolaan ke depan.

Tanpa kompetisi maka tidak ada pertandingan resmi. Tanpa pertandingan resmi, maka tidak ada ada tim. Tanpa tim tidak ada kompetisi berjenjang para pemain berlomba-lomba mencapai tempat di Timnas. Bahkan Timnas pun rasanya nyaris tidak diperlukan karena Indonesia dikucilkan dari pergaulan sepakbola Internasional nyaris di semua bidang yang berhubungan dengan sepakbola.

Selain Timnas U-23 yang masih berlaga di SEA GAMES, Indonesia tidak diperkenankan mengikuti event sepakbola internasional atau regional. Tidak hanya Timnas Senior, tetapi sanksi FIFA juga berdampak pada tim sepakbola wanita, anak-anak, tim futsal, apapun.

Karena pada hakekatnya sanksi FIFA adalah pengucilan. Sekarang Indonesia bagaikan hidup dalam ruangan isolasi yang terpencil, terkucil, dan terpinggirkan. Kita memang masih bisa bermain sepakbola, tetapi hanya bisa bermain sepakbola untuk diri kita sendiri. Kita memang masih punya kaki untuk bermain bola, tetapi FIFA dengan sanksi-nya telah menutup mata, mengikat tangan, menyumbat telinga, dan membungkam mulut kita. Indonesia adalah si buta yang terlunta-lunta di tengah dunia yang hanya memiliki sebelah mata.

RICKY N. SASTRAMIHARDJA
Editor in chief Maenbal.co
@RickyNSas

dimuat sebagai editorial di maenbal.co
http://maenbal.co/13874/suara-redaksi/indonesia-si-buta-di-tengah-dunia-dengan-sebelah-mata/

LIGA INDONESIA: QUO VADIS?



Kemeriahan menjelang laga ISL 2015 ini sedikit tercoret dengan berita yang mengejutkan. Dimulai dari mundurnya jadwal ISL yang semula tanggal 1 Februari 2015 menjadi 4 April 2015. Menyusul kemudian hasil temuan BOPI (Badan Olahraga Profesional Indonesia) yang menyatakan hanya tiga klub yang layak mengikuti ISL 2015.

Persib, satu dari tiga klab yang terverifikasi dengan kategori A minus.15 klub lainnya masuk ketegori B dan C. Namun hampir seluruh klub harus menyelesaikan syarat-syarat administrasi yang diminta BOPI antara lain terkait pajak, kontrak pemain.

Belum usai ‘kekagetan’ itu, mendadak muncul berita yang ajaib lagi: Pelita BR, satu klub rival Persib yang sama-sama bermarkas di Bandung, diisukan bangkrut dan tidak bisa mengikuti ISL 2015. Walau digadang-gadang baru sebatas isu karena sampai tulisan ini dirilis belum ada pernyataan resmi dari PBR. Tetapi hengkangnya Ilija Spasojevic striker andalan mereka ke Persib, semakin mempermiring berita ‘miring’ itu.

Sungguh ironis. Menjelang 20 tahun digelarnya Liga Indonesia, ternyata belum ada kemandirian dari hampir seluruh klub peserta ISL. ISL 2015 ini adalah pembuktian betapa rapuhnya sepakbola kita bila dilihat dari sisi profesionalisme. Bahkan dari awal, dikabarkan bahwa Persik Kediri membubarkan diri usai dinyatakan PT. Liga tidak lolos verifikasi.

Profesionalisme dalam sederhananya adalah bagaimana sebuah aktivitas bisa menjadi profesi yang menghasilkan materi. Profesionalisme selain erat berkaitan dengan kemampuan, sikap dan perilaku, juga erat dengan manajerial dan keuangan. Tim sepakbola profesional, bisa kita katakan sebagai sekelompok orang yang ‘menjual’ jasa dan keahliannya dalam permainan sepakbola untuk mendapatkan nilai pengganti berupa materi atau uang.

Namun di tahun ke-20 Liga Indonesia yang pada awalnya digadang-gadang sebagai ajang sepakbola profesional sebagai kelanjutan penggabungan kompetisi Perserikatan dan Galatama, terbukti membangun profesionalisme itu sangat tidak mudah. Padahal miliaran atau mungkin triliunan rupiah uang sudah mengalir untuk menggerakan kompetisi ‘profesional’ yang tidak lagi membebani keuangan daerah dan negara.

Bagi saya, hal yang paling menyedihkan dari gagalnya profesionalisme sepakbola Indonesia itu bukanlah bangkrutnya sebuah klub, atau gagalnya sebuah klub memenuhi persyaratan. Tetapi sebagai pribadi, saya hanya bisa membayangkan betapa sulitnya seorang pesepakbola ‘profesional’ memenuhi kebutuhan dasarnya: sandang – pangan – papan di kala mereka tidak kunjung menerima pembayaran gaji atas jasa dan keringat yang telah mereka tumpahkan di lapangan.

Sebagai seorang ayah yang bertugas mencari nafkah untuk keluarganya, para pesepakbola itu tentu berharap banyak bahwa keringat yang deras mereka kucurkan di lapangan hijau, segera tergantikan sebelum mengering dan menghilang. Di rumahnya, ada anak dan istri yang menanti rezeki halal itu tiba dengan utuh dan lancar. Bagi para pesepakbola yang masih melajang pun mungkin sama. Mungkin mereka juga ditunggui oleh orangtua, adik atau kakaknya, atau saudaranya, yang turut menanti hasil cucuran keringat anak-anak mereka di lapangan hijau.

Hal seperti ini tentu bukan saja terjadi di Indonesia. Pada saat bersamaan, klub asal Seri A Liga Italia, Parma, dinyatakan bangkrut setelah diketahui keuangannya defisit. Lebih besar utang daripada kas, dan tidak ada harapan untuk mendapat penghasilan tambahan.

Mendadak teringat guru ngaji saya sewaktu sekolah dulu. Di sore hari di bada magrib, beliau menyitir sebuah hadits yang menyatakan ‘bayarlah upah sebelum keringatnya mengering’. Para pesepakbola itu, adalah salah satu ‘sekrup’ utama dalam industri sepakbola. Merekalah yang berkeringat dan berdarah-darah di tengah lapangan selama 2×45 menit untuk menyenangkan hati supporter dan menghasilkan rupiah bagi pemilik (pengelola) klub.

Para pesepakbola itu, banyak yang keringatnya kering sebelum menerima upah yang menjadi hak-nya. Bahkan, setiap kali keringat mereka kering tanpa sempat mereka seka, mereka kembali harus berkeringat dan berkeringat lagi. Sedangkan upah mereka masih belum tiba.

Menjadi profesional itu susah ternyata. Di era industrialisasi dan kapitalisme ini, dimana setiap kegiatan harus memiliki nilai ekonomi untuk dapat mengumpulkan modal (kapital) sebanyak-banyaknya. Akan tetapi masih ada keringat yang mengering di setiap suapan nasi yang masuk ke mulut para pengelola klub sebelum menyelesaikan kewajibannya pada para pemainnya. Ada kedholiman yang luar biasa, karena ada perut lapar lainnya yang menanti haknya tiba.

Liga Indonesia, mau kemana? Katanya mau menjadi liga profesional, tetapi ternyata masih banyak pemain yang tidak menerima hak-haknya.


Oleh: Ricky N. Sastramihardja
Editor in Chief Maenbal.co

dimuat sebagai editorial di maenbal.co
http://maenbal.co/10995/suara-redaksi/liga-indonesia-quo-vadis/

NEGARA VS PSSI: PERSETERUAN PENUH MASALAH TANPA SOLUSI



Perseteruan antara negara yang diwakili Kemenpora melawan PSSI masih belum terang ujung pangkalnya. Kedua belah pihak yang berseteru masih saling mempertahankan pendapatnya masing-masing yang dibalut dalam berbagai alasan dan landasan.

Korban perseteruan itu mulai berjatuhan, kerugian pun mulai dirasakan. Satu yang terbaru adalah batalnya pertandingan AFC Cup antara Persipura Jayapura vs Pahang FC. Pertandingan tidak dapat terselenggara karena pemain asing Pahang FC tidak kunjung mendapat visa dari Imigrasi Indonesia. Padahal mereka telah mendarat di Bandara Soetta, Banten, sebelum melanjutkan perjalanan ke Jayapura untuk menantang Persipura.

Sebelumnya, beredar pula kabar bila Tim Transisi bentukan negara dengan sandi 'Indonesia Memanggil', mendapat penolakan dari FIFA terkait keinginan Tim Transisi untuk mengadakan supertemuan dengan FIFA di Zurich. Melalui suratnya tertanggal 22 Mei 2015, Mr. Jerome Valcke Genereal Sectray FIFA menyatakan bahwa FIFA menolak bertemu Tim Transisi. Alasan Mr. Jerome disebutkan adalah pihak FIFA tidak memiliki waktu untuk menemui Tim Transisi ‘Indonesia Memanggil’ di dalam acara kongres FIFA di Swiss tanggal 25-30 Mei 2015.

Kondisi di atas semakin mempersuram kondisi sepakbola di tanah air. Negara berpenduduk lebih dari 200 juta jiwa ini ternyata tak bisa mengelola sepakbola secara benar dan berkesinambungan. Bila sepakbola adalah asset nasional sebagaimana sumber daya alam dan sumberdaya yang lain, maka nasibnya kemudian sama saja: diperas habis-habisan, kemudian diabaikan dan dicampakkan.


Bila pada mulanya banyak harapan tertanam kepada Kemenpora yang dianggap bisa mengendalikan dan memperbaiki persepakbolaan nasional. Pembekuan PSSI seperti yang dilakukan negara terhadap asosiasi sepakbola tertinggi di tanah air itu, kini seperti air di daun talas. Tidak bisa bersatu, apalagi mempersatukan.

Tim Transisi dengan sebutan ‘Indonesia Memanggil’ pun ternyata seperti yang kita takutkan sebelumnya: ‘ masuk angin’. Sebelum SK Tim Transisi ditandatangani dan dikeluarkan , satu persatu anggotanya mengundurkan diri: Velix Wanggai, Farmin NaSution, Farid Husneni, Ridwan Kamil, dan FX Hadi Rudiatmo mengundurkan diri dengan berbagai alasan. Meninggalkan Tim Transisi yang, maaf ini sangat mengecewakan kami, nama-nama di dalamnya yang dipertanyakan kompetensinya di dalam sepakbola dan di dalam masalah manajerial.

Selain itu, batalnya turnamen Champion Cup 2015 yang seyogyanya disiapkan oleh PSSI untuk mengganti Liga Indonesia yang batal, pun menunjukkan bahwa ada perseteruan lama antara negara vs PSSI. Perseteruan yang mengingatkan kita insan sepakbola tanah air akan dualisme LPI vs LSI di mana banyak klub terpecag dua bahkan tiga.

Tersiar pula wacana bahwa Menpora merencanakan untuk membubarkan klub-klub bermasalah dan akan akan menggantinya dengan klub baru yang ‘serupa tak sama’. Di antaranya, menurut Menpora, tidak menutup krmungkinan akan dadanya Persija Nusantara, Persib Nusantara, dll bila klub-klub menolak liga yang diadakan Menpora. Berita yang dilansir dalam situs media online itu kemudian dibantah Menpora melalui stafnya.

Entah mana yang benar, karena bantah-membantah sudah seringkali dilakukan di negara ini, bahkan sejak jaman dulu. Hanya saja di jaman sekarang terasa lebih parah, Negara seringkali memberikan pernyataan yang kemudian dibantahnya sendiri. Namun sepertinya perseteruan negara vs PSSI ini merupakan ‘sekuel’ dari kisah bodoh dualisme LSI vs LPI yang pernah terjadi beberapa waktu lalu.


Apakah Menpora akan bersikukuh menjalankan ‘Liga Indonesia’ versinya sendiri dengan mengikutsertakan klub-klub ‘siluman’ untuk berlaga di kasta tertinggi dan divisi utama seperti yang pernah terjadi beberapa waktu lalu? Apakah PSSI yang sudah dibekukan akan tetap menghelat liga dan turnamen dengan resiko dibatalkan karena tidak ada rekomendasi negara melalui BOPI dan Polri?

Kita tunggu saja kemana perseteruan ini mengalir ke ujungnya. Hanya saja, sebagai bobotoh Persib, kita menjadi harap-harap cemas karena eksistensi Persib di Piala AFC 2015 terancam akibat adanya perseteruan ini. Padahal, dalam 20 tahun terakhir ini, saat sekaranglah momen yang tepat bagi SI Maung Bandung untuk menancapkan kembali kukunya di kancah persepakbolaan. Momen yang indah itu, bisa saja kembali buyar bila apa yang dialami Pahang FC, kembali menimpa Kitchee FC yang akan menantang Persib di Stadion Si Jalak Harupat tanggal 27 Mei 2015 besok.

Bahkan yang lebih buruk, apapun hasilnya, Persib akan gagal melenggang ke babak selanjutnya karena sanksi ‘banned’ FIFA menghantui kita semua. Sebagimana yang dilansir FIFA dalam surat penolakannya terhadap Tim Transisi bahwa FIFA ‘menunggu niat baik’ negara dan PSSI menyelesaikan kisruh sepakbola di tanah air hingga tangal 29 Mei 2015.

Bila Perum Pegadaian, yang sering kita datangi saat tak punya uang untuk menonton Persib di stadion, mempunyai slogan ‘menyelesaikan masalah tanpa masalah’, maka perseteruan Negara vs PSSI ini layaklah kita bikinkan slogan ‘mengatasi masalah tanpa SOLUSI’.

Ricky N. Sastramihardja
Editor in Chief Maenbal.co

dimuat di maenbal.co sebagai editorial
http://maenbal.co/13446/suara-redaksi/negara-vs-pssi-perseteruan-penuh-masalah-tanpa-solusi/