3.25.2009

MERENUNGI KOTA, MENANGISI MANUSIA, MENGUJI REALITAS

http://6ix2o9ine.blogspot.com

:Catatan dari Pameran Foto "Reality, How Does it Go?”

What is “real”. How do you define “real?”.
If you’re talking about what you can feel,
what you can smell, taste, and see,
then the "real" is simply electrical signal
interpreted by your brain.
(dialog Morpheus dan Neo dalam film “Matrix”, 1999).


Realitas, adalah pertanyaan mendasar yang banyak diajukan dalam kerangka pemikiran filsafat. Yasraf Amir Piliang mendefinisikan realitas (reality) sebagai segala kondisi, situasi atau obyek-obyek yang dianggap benar-benar ada di dalam dunia kehidupan, sebagai kebalikan dari apa yang disebut dengan fiksi, ilusi, halusinasi, atau fantasi. 1)

Tentu definisi di atas pun mengundang permasalahan baru, di mana realitas sangat tergantung dari apa dan bagaimana persepsi seseorang terhadap realitas. Terlebih lagi bila kemudian persepsi realitas itu divisualkan dalam sebentuk karya essai foto yang dipublikasikan dalam sebuah pameran bersama. Pameran bersama bertajuk “Reality, How Does it Go?” ini digelar oleh sekelompok fotografer yang tergabung dalam UKM Fotografi “Potret” Universitas Parahiangan Bandung. Pameran ini diikuti oleh 14 fotografer serta digelar di GSG Unpar mulai tanggal 23 hingga 25 Maret 2009 dengan menampilkan 118 foto yang terbagi ke dalam 14 sub judul.

Dalam kuratorial yang ditulis Dik (Ondi Kuswandi) sebagai kurator, ada semacam pernyataan bahwa ...”realitas” dalam pameran ini adalah untuk “...membawa kita ke dalam cara pandang yang melatarbelakangi pemotret ketika melakukan pengambilan gambar pada satu titik ruang kota sebagai obyek foto menjadi sangat personal dan menapikan tata ruang kota Bandung itu sendiri secara fisik...” 2)

Realitas, atau sering kita padankan dengan kata kenyataan, kemudian pada karya-karya foto yang dipamerkan lebih menjadi suatu pertanyaan daripada pernyatan. Tentu saja saya cukup suka di saat berhadapan dengan karya (fotografi) yang melontarkan pernyataan dan permasalahan daripada memberikan pernyataan. Di mana kemudian karya-kaya tersebut lebih terbuka untuk berdialog secara batin dengan saya sebagai seorang penggemar karya foto. Apalagi bila berhadapan dengan permasalahan-permasalahan mengenai kota, tata ruang kota, serta manusianya. Permasalahan di mana manusia dikomodifikasi untuk bisa bertahan hidup di antara tata ruang kota yang tidak sepenuhnya layak. Menjadi absurd, seperti yang dilontarkan Albert Camus atau menjadi “one dimensional man” dalam terminologi Herbet Marcuse.

***

Seperti halnya juga dengan “Lost Paradise”, sekumpulan essay foto karya Nasrul Akbar. Karya yang berjumlah 12 foto ini berusaha berusaha menangkap keseharian warga kota di suatu hari di ruang publik yang bernama taman kota. Wajah-wajah cerah mendominasi pengunjung taman kota (yang saya kenali sebagai Taman Lansia di sepanjang Cilaki), secerah Nasrul Akbar merepersentasikan kenyataan ke dalam bingkai-bingkai yang didominasi warna hijau. Nasrul tampaknya menangkap realitas taman kota sebagai ruang publik yang menjadi oase warga kota yang lelah bergumul dengan kenyataan hidup. Oase untuk berkumpul bersama keluarga, berpacaran, jajan makanan murah meriah, serta menghirup udara segar yang merupakan hak azazi yang kerap terabaikan oleh pengelola kota.

Sementara itu di bagian lain, M. Adnan Luthfi menawarkan realitas yang terjadi di bawah jembatan layang Paspati, terutama di Dago dan Cikapayang – Balubur Lama. Kemiskinan serta kumuhnya tata ruang kota yang tidak bersahabat untuk si miskin direpresentasikan M. Adnan ke dalam 11 foto yang suram dengan tajuk “Di Bawah Atap Beton Beraspal”. Tetapi kesuraman kota tampaknya tidak berlaku bagi anak-anak, di mana M. Adnan mampu menangkap secuil adegan kegembiraaan anak-anak yang sedang bermain di kumuhnya suasana di bawah jalan layang Paspati. Sementara di bingkai lain menunjukan kerasnya perjuangan hidup kaum dewasa dalam bertahan hidup mesti harus beratapkan beton beraspal yang keras.

Keceriaan anak-anak ini juga dimunculkan secara verbal oleh Bagja Rahmatullah dalam “Anak-anak Dengan Keterbatasan Ruang” yang muncil dalam 8 foto. Bagi Bagja, keterbatasan ruang kota tidak menghalangi anak-anak untuk bermain, walau menurutnya cukup sulit untuk menemukan ruang itu. Bagja merekam keceriaan anak-anak yang bermain di taman kota Bagus Rangin serta di Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat, yang hanya beberapa ratus meter dari megahnya kompleks Gedong Sate, tempat para gegeden Jawa Barat berkantor. Di aspal yang panas dan tajam sekalipun, di tembok yang dingin, anak-anak tetaplah anak-anak. Ceria dan bersemangat.

Pada “The Prisoners”, yang terdiri atas 9 karya foto essai Andi Syarief menunjukan kepedihan seorang fotografer di mana ia mendapatkan kenyataan bahwa “...keadaan bintang di kebun binatang Bandung ini. Dari tahun ke tahun tiada perubahan yang berarti...”. Andi Syarief begitu berduka dengan kondisi ‘para tawanan’ di kebun binatang yang terpenjara. Seekor beruang madu Sumatera (Helarctos malayanus malayanus) begitu murung di balik teralis, juga halnya seekor monyet beruk abu-abu (Macaque) berwajah memelas. Sementara di beberapa bingkai lain, Andi juga menangkap momen seorang ibu disaksikan suami dan anaknya tengah memberi makan sekumpulan rusa. Sedangkan di bingkai lain, di balik terali tampak seekor monyet tengah mengendong dan menyuapi anaknya.

Di tempat lain, Andi juga menangkap keceriaan tiga orang anak yang berfoto dengan seekor ular Sanca (Phyton rheticulatus). Kemuraman Andi pun tercermin pada warna foto yang cenderung muram dan gelap, namun sayang letupan emosinya menjadikan karyanya tidak konsisten dengan format. Di mana beberapa foto dipaksa untuk berformat bujursangkar, dan berhasil. Sedangkan sisanya tetap dalam format foto standar. Walau tidak mengurangi esensi, tetapi cukup mengganggu.

***

Dari 14 judul, yang sangat provokatif adalah saat Amaliya Nur Gustyara menampilkan 6 foto berukuran 16 R dengan teknik cetak hitam putih. Di bawah tajuk “Two Love Birds”, Amaliya menangkap sisi lain kehidupan warga kota yang berada di wilayah hitam putih realitas. Amaliya tampak fasih menangkap momen sepasang kekasih sejenis, ya sesama jenis, sedang bermesraan. Suatu tonjokan yang dahsyat bagi moralitas tetapi merupakan realitas yang ada di depan mata kita. “Walau sebagian masih sembunyi-sembunyi”, simpul Amaliya.

Pemilihan teknik cetak hitam-putih menunjukan bahwa dunia kaum Gay menurut Amaliya adalah dunia yang hitam-putih pula. Tinggal masalahnya apa yang hitam dan siapa yang harus menjadi putih. Amaliya juga tidak mau terjebak menjadi si hitam dengan tidak menunjukkan identitas siap sebenarnya “Two Love Birds” itu. Di mana ia tampak mem-blur-kan wajah sepasang kekasih itu dengan memakai kecepatan rana rendah pada subyek gambar yang dinamis bergerak atau membuatnya menjadi siluet dengan backlight yang kontras. Sedangkan pada beberapa bingkai simbolik lainnya, Amaliya tampak terpesona dengan simbolisasi seksualitas kaum gay yang tertangkap kamera sedang memegang, maaf, pantat pasangannya sambil bertelanjang dada. Sungguh suatu dunia hitam putih yang membuat abu-abu berserakan di antara keduanya.

Sementara itu, fotografer lain seperti Rengky Irawan(Bandung, Ekspresi Kami; 14 foto hitam putih), Ariana Hayyulia Rasyid (Tak Perlu Keliling Dunia; 8 foto berwarna) berusaha menangkap realitas kota melalui potret warganya. Rengky memajang 14 foto potret dalam hitam putih yang tegas dan muram tentang beberapa warga kota yang harus berjuang keras untuk hidup dalam extreme close up. Ariana merepresentasikan realitas dalam foto potret berwarna yangmenampilkan wajah-wajah perempuan muda yang segar dan ceria serta dua bingkai foto boneka, yang seolah menjadi anti tesis bagi Rengky.

Anti tesis membuat Ariana menulis bahwa ia merasa bingung saat hendak menangkap realitas sebuah kota dalam foto, namun ia merasa enggan meninggalkan Bandung dan merasa tidak perlu keliling dunia karena ‘dunia’ lah yang mengelilinginya. Bagi Ariana, dunianya adalah sahabat-sahabatnya, sedangkan dunia bagi Rengky adalah wraga kota yang berjuang keras mensiasati hidup.

Hal ini juga muncul pada “Persahabatan” karya Adhi Prianarizki (5 foto), yang merepresentasikan permasalahan realitas sebagai suatu persahabatan. Lengkap dengan syair lagu “Persahabatan Bagai Kepompong” yang dikutip utuh sebagai bagian dari essainya.

Kemuraman kota di pun tampak pada “Alien in Town” (Dhea Aditya; 8 Foto), “Braga The Under Exposed” (I Gusti Ngurah Krisna Maruti; 10 foto hitam putih), serta pada “Steal The Freedom” (Aulia Fitriasari; 10 foto hitam putih). Foto-foto yang dibuat dalam kecepatan rendah seperti menggambarkan terpenjaranya manusia Bandung dalam tata ruang yang, sekali lagi, tidak bersahabat bagi sebagian orang. Bahkan Aulia menulis perlunya mencuri kemerdekaan sekedar untuk mengekspresikan keinginan anak-anak muda untuk bermusik.

Tidak selalu kemuraman yang menonjol dalam permasalahan yang diusung pameran ini. Dalam “Lautze” (10 foto), Rizki Irawan mengungkap sisi relijius Bandung dalam tata ruang yang kejam dengan mengambil momen sholat Jum’at di mesjid Lautze. Sebagai informasi, mesjid Lautze adalah mesjid yang didirikan warga Bandung keturunan Cina. Mungkin satu-satunya rumah ibadah yang harus ‘ngontrak’ di lingkungan pertokoan.

Perjuangan hidup si kecil juga muncul dalam kerasnya warna-warna pada karya M. Gita Fazryan (Hidup Dalam Goresan Putih; 9 foto). Perjuangan hidup para penambang kapur di pinggiran kota Bandung yang tidak seputih kapur yang ditambangnya. Kontras yang tinggi serta tonal foto yang gelap mempertegas kerasnya kehidupan para penambang itu.

Ada juga karya yang culup menonjol bagi saya, yaitu di saat dalam “Ibrahim” (judul asli ditulis dalam huruf Arab Gundul; 8 foto) merasakan kesepian luar biasa yang berkorelasi dengan “Alien in Town”-nya Dhea Aditya. Astrid merekam beberapa sudut kota yang lengang dalam hiruk-pikuknya kota. Jalanan yang lengang di siang hari, jembatan penyeberangan yang tidak digunakan warga kota, parkiran di basement yang tanpa kendaraan, serta bioskop yang kehilangan penontonnya. Namun sayang, kesepian kota yang direpresentasikan Astrid, terganggu dengan hadirnya foto seorang laki-laki –entah siapa, mungkin kekasihnya-- di akhir essai fotonya. Tidak ada statemen apapun mengenai foto terakhir, sehingga membuat saya merasa harus meminta pertanggungjawaban kurator yang meloloskan foto tersebut, yang tentu tidak relevan dengan kuratorialnya.

***

Pada segi penyajian, pameran ini mampu memuaskan dahaga saya akan foto-foto yang melontarkan permasahan dan dialog batin pada audiens-nya. Dari segi lay out pameran yang digelar di ruang GSG Unpar yang cukup luas juga memuaskan, walau masih saja saya dan banyak audiens lain harus tatanggahan guna mendapat pemahaman yang utuh atas foto-foto yang dipajang jauh di atas kepala. Cetak foto pun cukup bagus terlebih dengan melapisi foto dengan doff coating yang selain mampu meredam silau, juga akan membuat foto relatif aman dari dampak sentuhan atau goresan. Bahkan saya sangat berharap, bahwa foto-foto ini bisa disimpan dengan baik, baik printing maupun file aslinya, mengingat foto-foto ini akan menjadi dokumentasi yang berharga 10 atau 20 tahun kemudian. Seperti halnya saya menyukai foto-foto Bandung “tempo doeloe” yang lahir pada tahun 1900-an dan terdapat dalam buku-buku Haryoto Kunto (alm.).

Lepas dari segala kekurangan penguasan teknik dan pengolahan gagasan , secara umum para fotografer, yang rata-rata berusia muda ini, berani menawarkan bentuk-bentuk visual simbolik, yang akan mengernyikan dahi audiens-nya. Gagasan-gagasan akan realitas tidak saja ditonjolkan dengan pemahaman yang verbal, tetapi juga simbolik. Makna foto pun tidak hanya denotatif, tetapi konotatif. Serta makna kemudian tidak hanya diproduksi oleh fotografer, tetapi juga oleh audiens. Suatu keberanian yang menarik menurut saya, yang akan membuat karya fotografi tidak hanya akan menjadi karya yang WYSIWYG (What You See is What You Get), tetapi menjadi WYSIWYFT (What You See is What You Feel and Think).

Namun sayang, lagi-lagi masalah tidak hadirnya katalog, bahkan dalam selembar kertas pun membuat saya menelan kekecewaan. Karena dari katalog itulah saya bisa mendapat teks kuratorial yang utuh dan bisa dikonfrontir kapan saja. Pun essai-essai yang menyertai di setiap judul. Saya pun sedikit abai dalam mencatat essai-essai yang ditulis para fotografer karena berharap akan mendapatkannya dalam katalog atau di website pameran.

Dari segi penulisan essai, yang bisa saya catat memang perlu banyak dibenahi, terutama agar gagasan tekstual tetap sinkron dengan hasil visual. Agar essai yang dibuat tidak merupakan justifikasi atau pembenaran atas karya foto, atau letupan emosional jiwa muda semata. Tetapi essai yang mampu membuat audiense luruh, cair, dan berdialog dengan permasalahan-permasalahan yang ditawarkan fotografer secara visual. Tentu saya juga mencatat beberapa essai bahkan menggunakan kutipan penggalan lagu sebagai statemen karyanya. Tidak ada salahnya mengutip dan terinspirasi syair lagu, tetapi akan lebih baik bila fotografer juga belajar menuliskan statemennya dalam bahasanya sendiri, dalam diksi dan gayanya sendiri.

Saran saya yang lain, sebaiknya semua foto dan teks dari pameran ini di-broadcast di internet sebagai blog atau apalah. Tentu agar karya-karya essai foto ini terus dapat ditafsirkan oleh banyak orang dalam jangkauan yang lebih luas, dalam daya jelajah waktu yang lebih panjang dan lebih menawarkan dialog . Selain itu, agar kegiatan fotografi yang dilakukan ini juga terdokumentasikan secara digital di internet. Sebab, tanpa dokumentasi, pameran ini akan lenyap saat waktu pameran berakhir dan dilupakan sehingga kita tidak dapat belajar apa-apa darinya.


1.) Yasraf Amir Piliang. Posrealitas, Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika; Jalasutra: 2004
2.) Dik (Ondi Kuswandi). Menangkap Fragmen Kota Melalui Foto; Pamflet Kuratorial Pameran: 2009

===================================

Bandung, 24 Maret 2009
Ricky Nugraha
Desainer Grafis, Pecinta Kopi dan Fotografi

Foto Suasana Pameran:
Ricky Nugraha
Ivan Arsiandi

http://www.facebook.com/note.php?saved&&suggest&note_id=63183087756#/editnote.php?note_id=63183087756

3.21.2009

PEMILU 2009, PEMILU 21 TRILIUN RUPIAH

Beberapa hari yang lalu di status Facebook saya menuliskan "21 T untuk biaya pemilu 2009. Bila dibagi dengan 250 juta WNI maka per orang kena charge Rp. 84 juta". Dalam beberapa saat ada beberapa komentar atas statemen tersebut. Baik mendukung maupun mempertanyakan. Ada juga yang menyarankan agar sebaiknya ikut pemilu. Status tersebut sebetulnya saya comot dari SMS yang dikirimkan seorang pemirsa TV swasta beberapa hari sebelumnya saat membicarakan kesiapan menjelang pemilu 2009.

Ada yang menarik kemudian setelah saya search di internet. Ternyata pada tahun 2007 KPU mengajukan dana sebesar -WOW- sekitar 49 triliun. Lebih dari dua kali lipat dari yang bisa direalisasikan pemerintah pada tahun 2009 ini.

Catatan ini tidak bertendensi untuk menunjukkan kebenaran atau anjuran apapun. Hanya saja bila kembali ke perhitungan awal, yakni 21 triliun yang bila dibagikan ke 250 juta penduduk Indonesia, maka setiap penduduk akan mendapat jatah Rp. 84 juta. Baik itu penduduk dengan KTP, manula, dewasa, remaja, atau bahkan balita. Atau bila logikanya dibalik, maka setiap penduduk telah menyumbang dana pemilu sebesar Rp. 84 juta.

Dengan 84 juta per kepala akan banyak yang bisa dibeli. Saya adalah bapak dengan satu istri dan dua anak. Bila dana pemilu dibagikan maka saya akan bisa mendapat dana segar yang luar biasa besar untuk ukuran kami yang tinggal di kampung. 84 juta X 4 kepala = Rp. 336 juta.... WOOOOOW...

Dengan uang sejumlah itu saya bisa menambah modal usaha, bisa membeli XL2, memakai software orisinal, serta menjauhkan berbagai macam debt collector selama-lamanya. Bisa mengambil sertifikat rumah yang sedang sekolah di sebuah bank. Si Ujang dan Si Nyai bisa mendapat asupan makanan yang sehat dan bergizi serta mendapat jaminan pendidikan yang lebih layak. Bisa membangun perpustakaan multimedia di kampung. Bisa maen Facebook sampai bosen, bisa hidup dengan nyaman sampai pemilu berikutnya di tahun 2013 digelar.

21 Triliun adalah biaya dasar. Belum lagi biaya kampanye dari para caleg atau calon presiden yang mulai hari ini bertebaran di jalan-jalan dalam rangka kampanye pemilu damai. Akan ada pengeluaran ekstra sekian rupiah lagi untuk menghasilkan legislator dan presiden di masa pemilu 2009 ini. Itu yang belum terhitung kecuali pemilu ini telah usai. Sebagai informasi tambahanan, biaya Pilkada Jatim hampir menyentuh angka 1 triliun.

Betapa mahal biaya untuk suatu sistem yang dikatakan demokrasi, sementara ancaman PHK serta pengangguran semakin merajelala menjelang krisis ekonomi global yang puncaknya menurut para ahli akan terjadi di 2010. Beberapa berita di televisi menunjukkan pada 3 bulan pertama di 2009 ini, di Indonesia saja sudah ada 240 ribu orang di-PHK. Serta kemungkinan akan semakin meningkat.

Demokrasi, atau apapun namanya, tentu diharapkan akan menghasilkan pemimpin dan legislator yang peduli rakyat, bebas korupsi, serta mampu membimbing serta mengawal negara ini mencapai kesejahteraan ekonomi, terutama di masa krisis. Biaya yang sangat mahal, bahkan sekian nyawa telah berpulang dalam perjalanan demokrasi bangsa ini. Demokrasi, atau apapun namanya, tidak sepantasnya menghasilkan pencuri-pencuri baru atau kolaborator baru yang tega menguras harta kekayaan bahkan nyawa warga negaranya. Bila setelah Pemilu 2009 hanya akan lahir para maling, koruptor, dan tiran baru, lebih baik anarki saja deh. Gak usah pake pemimpin, gak usah pake legislator, gak usah ada negara.Yang penting rakyat bisa bekerja dengan tenang dan hidup layak sebagai manusia.

Selamat mengikuti kampanye. Selamat mendapat bonus kemacetan baru. Selamat deg-degan. Saya mah mau kembali bermimpi dengan uang 84 juta yang tak akan pernah ada.

3.05.2009

PAMERAN DISPLAY FOTO


Membaca selembar poster yang terpasang di sudut sebuah toko foto di Jalan Bengawan Bandung, cukup menarik minat saya. Poster tersebut berisi pengumuman pelaksanaan sebuah pameran foto dan workshop di gedung Telkom Bandung. Maka di satu hari ke dua pameran, dengan semangat 45 saya menuju gedung Telkom di Jalan Japati Bandung. Tidak sulit mencapai ruangan pameran. Tentu saja karena terletak di lobby utama yang sejuk dan luas yang mudah diakses dari mana saja.

Begitu tiba di ruang pameran, saya celingukan mencari meja penerima tamu sebagaimana layaknya sebuah pameran. Ternyata tidak ada. Bahkan saat saat itu tidak seorang pun menjaga pameran. Tidak adanya katalog dan informasi lain di sekitar lobby membuat tidak tahu apa yang akan terjadi kemudian. Tidak ada keterangan siapa kurator pameran dan apa pernyataanya. Pameran ini, lagi-lagi, hanya pantas disebut ajang display foto saja. Hanya ada keterangan bahwa pameran foto ini terselenggara oleh Klab Foto135, yang merupakan klab hobiis fotografi di Telkom.

Bahkan, tajuk pameran pun yang merupakan benang merah dialog antara karya dengan tidak terpampang di sudut manapun. Di poster yang saya lihat di hari sebelumnya, ada tajuk "menyambut ulang Tahun SEKAR'. Tadinya berharap akan menemukan foto-foto tentang serikat karyawan Telkom. Tetapi ternyata itu bukan tajuk pameran, melainkan pengumuman mengapa pameran ini diadakan, Hanya untuk menyambut ulang tahun Sekar. Selain beberapa banner sponsor serta sebuah kanvas putih yang menyambut di awal tatapan.

Kanvas putih itu juga bukan berisi sesuatu yang berhubungan dengan karya foto yang dipamerkan. Lebih merupakan semacam seremoni dari gegeden Telkom dan Serikat Karyawan Telkom (Sekar). Baiklah, tidak perlu ditulis apa isinya, cuma saja terheran-heran dan bingung mencari relevansi pernyataan "Kapabilitas fotografi ini adalah untuk memperkaya konten jaringan internet Telkom. Sekarrr!!!". Duh... saya merasa menjadi seorang bodoh yang berada di tempat yang salah.

Di sampingnya terpampang empat bingkai foto pejabat-pejabat Telkom yang juga berfoto bersama dengan anggota-anggota LVRI. Saya pikir masih merupakan bagian dari pameran, ternyata bukan. Foto pertama yang saya yakini kemudian sebagai karya adalah sebuah foto berukuran 16R dengan posisi horisontal. Gambarnya adalah Fly Over Paspati di malam hari dengan yang diambil dengan teknik long exposure.

Foto berikutnya-foto berikutnya adalah mimpi buruk yang menjadi nyata. Beragam jenis foto dengan beragam karakter dan beragam konten tampil seolah saling berebut meminta perhatian dan berteriak, "lihatlah saya, lihatlah saya" . Mulai still life, landscape, infra red, hitam putih, sport, sampai product shot. Beragam, berjejal, dan berteriak. "Lihatlah saya, lihatlah saya". Seperti saat membeli CD MP3 kompilasi dengan bermacam jenis lagu yang bercampur baur dalam satu album. Tidak ada benang antar foto, tidak ada kesesuaian tajuk. Seperti negara yang baru belajar demokrasi: hiruk pikuk dan riuh rendah.

Hal tersebut diperburuk dengan tata penempatan foto yang tidak mengindahkan postur sebagian pengunjung. Banyak di antara foto berformat horisontal yang dipasang lebih tinggi dari eye level. Entah saya yang terlalu pendek atau memang terlalu tinggi. Karena sering kali saya harus tengadah untuk mendapatkan eye level yang baik. Dan tentu saja tidak berhasil kecuali saya 10 cm lebih tinggi. Lebih parah lagi, hampir seluruhnya memakai bingkai berkaca yang membuat silau dan menyulitkan untuk memperhatikan detail.

Bukan kapasitas saya untuk membahas teknik yang dipergunakan. Lagian toh saya tidak terlalu pintar untuk hal-hal yang itu. Saya mencoba fokus pada pesan setiap gambar yang dipamerkan. Tetapi lagi-lagi kesulitan dan hanya bisa berujar, "foto-foto yang bagus. Sangat piktorial, tipikal, tetapi ya, gitu deh...". Beberapa yang bisa diingat adalah di antaranya memiliki cacat teknis yang fatal seperti jaggy/bergerigi, di mana hal tersebut menunjukan piksel foto terlalu sedikit untuk dicetak dalam 16R. Beberapa karya malah lebih tragis. Di bagian atas dan bawah terpampang garis hitam melintang. Persis seperti cinema scope di bioskop. Hanya saja yang ini tidak menambah nilai foto, tetapi malah menguranginya.

Dari segi konten foto yang beragam, serasa merasa melihat kalender yang bervariasi. Foto-foto landscape yang ada, lebih merupakan penanda bahwa sang fotografer pernah berwisata ke tempat itu. Bukan suatu karya yang merupakan hasil kontemplasi atau dialog dengan alam itu sendiri. Tentu saya percaya dengan statemen "Author is Dead" seperti kata Roland Barthes. Tapi, untuk sesuatu yang dikatakan pameran foto, saya rasa cukup keterlaluan. "Sang "Author" masih saja bergentayangan di dalam karya bukan di luarnya. Karyanya tidak bisa berdialog dengan audience. Belum lagi penggunaan fotografi infra merah yang menurut saya serampangan dan tidak menunjang isi foto itu sendiri. Ditambah penggunaan software pengolah foto yang serampangan, walau hanya untuk memperkaya warna, tetapi malah mengganggu keseluruhan karya foto.

Dari 51 karya foto dari beberapa fotografer, OK lah saya harus tertarik pada sebuah foto yang sangat lucky menurut saya. Sangat "The Decisive Moment" lah. Foto yang menggambarkan sebuah sepeda motor yang terjatuh di arena road race. Foto tersebut tampak sangat 'grainny'. 'Grain' yang besar-besar pula. Itu karena butiran air yang menciprat bercampur dengan noise pada ASA tinggi yang membuat foto menjadi dramatis. Ditambah lagi, lagi-lagi jaggy. Untungnya kelemahan-kelemahan secara teknikal itu menunjang konten foto.

Ah.. belum sampai saya pada foto terakhir, saya sudah merasa lelah untuk mencatat. Foto yang terlalu bervariasi dengan jumlah cukup banyak, serta sering tengadah membuat saya 'nyeri beuheung sosonggeten'. Mungkin besok bila bangun pagi, saya akan kembali lagi dengan membawa jojodog agar bisa mendapatkan eye level yang baik. Oh, iya saya lupa. Saya seharusnya mengetik FOTO spasi NOMOR FOTO dan dikirim ke nomer XXXX seperti yang tertera di bagian lain judul foto. Siapa tahu bila menang tagihan internet bulan lalu yang membengkak, mendapat keringanan. Sesuai statemen yang tertera di awal display pameran, fotografi menunjang konten jaringan internet...


=====================
Bandung, 5 Maret 2009
Ricky Nugraha,
Desainer Grafis, Pecinta Kopi dan Fotografi

2.21.2009

FOTOGRAFI SEBAGAI AGEN PERUBAHAN SOSIAL

Menjadikan fotografi sebagai agen perubahan sosial? Mmm, tampaknya muluk-muluk ya. Di era ‘polusi’ visual dewasa ini, fotografi masih saja berada dalam wacana estetika (piktorial), berita, dokumentasi, atau juga pelengkap sarana periklanan semata. Ranah fotografi seolah tidak bisa beranjak dari wacana “jepret dan kenanglah”. Tengok saja Facebook, di mana fotografi secara umum menjadi etalase untuk mengingat dan mengenang masa lalu. Tag sana tag sini dan selesai. Benarkah?

Ternyata tidak. Dari situs jejaring sosial seperti Facebook ini, fotografi dengan sadar (atau tanpa disadari) telah beranjak dari kasta perekam visual atau dokumentasi belaka, naik kasta menjadi agen perubahan sosial. Janganlah muluk-muluk dan berkerut kening dulu dengan istilah agen perubahan sosial atau agent of social change seperti saat penataran P4 di awal masuk universitas tahun 1990-an dulu. Atau jangan lantas sibuk membuka buku “Bunga Rampai Sosiologi” Selo Soemardjan yang tebal itu.

Tapi ingatlah kebiasaan-kebiasaan kita sebagai pengguna aktif Facebook, misalnya. Tentu bila hanya dilakukan sendiri saja namanya sih kayaknya bukan perubahan sosial, tetapi perubahan individu. Ada istilah ‘narsis’ karena seringnya memajang foto diri yang sedemikian banyak di situs tersebut. Tetapi ‘narsis’ yang merupakan gejala psikologi individu itu kemudian berubah menjadi ‘narsis sosial’ karena dilakukan oleh banyak orang. Atau, ambilah asumsi positif, di mana Facebook dengan segala isi di dalamnya, termasuk fotografi, mampu mengerakan berbagai acara reuni. Mulai dari reuni TK sampai reuni tingkat Universitas. Bahkan, secara pribadi, karena foto-foto masa lalu yang di-upload ke Facebook, tahun 2009 ini saja saya harus mengikuti dan menggelar acara reuni SD dan SMA.

***
Ada dinamika dari fotografi, juga ada dampak yang ditimbulkannya. Seperti juga halnya lomba foto “Selamatkan Karst Citatah” yang kemudian diikuti pameran foto pemenang dan nominator lomba dengan judul yang sama. Pada kegiatan yang diadakan KRCB (Kelompok Riset Cekungan Bandung) dan Air Photography Communication ini, kita bisa merasakan emosi yang dahsyat saat fakta temuan-temuan KRCB dirilis dalam bentuk visual yang tidak melulu mengedepankan estetika, tetapi juga dibalut dengan semangat idealisme yang kental.

Pegunungan kapur yang membentang sepanjang 6 km di wilayah Citatah hingga Rajamandala ini adalah rekaman purbakala bagaimana dan mengapa cekungan Bandung terbentuk. Rekaman purbakala bagaimana karuhun urang Sunda hidup di pinggiran danau Bandung Purba di masa 9500 tahun yang lalu. Tetapi, karena keserakahan dan ketidaktahuan (serta ketidakingintahuan alias sikap masa bodoh) lah situs purbakala ini dihancurkan dan dieksploitasi hanya demi kepentingan ekonomi sebagian orang saja.

Kegiatan “Selamatkan Karst Citatah” melalui fotografi ini kemudian mencapai level tertinggi, di mana suatu kegiatan kepedulian lingkungan direspon dengan segera oleh gegeden Jawa Barat. Tercatat kemudian pernyataan Wakil Gubernur Jawa Barat, H. Dede Yusuf, saat membuka pameran yang berlangsung dari tanggal 19 s.d. 21 Februari 2009 di Museum Geologi Bandung, yang dengan tegas menyatakan bahwa pemerintah Propinsi Jawa Barat akan segera menyelamatkan Karst Citatah dari eksploitasi penambangan legal dan ilegal. Bila awalnya menunggu anggaran pemerintah Jawa Barat cair pada 2010, maka Wagub H. Dede Yusuf menegaskan bahwa penyelamatan Karst Citatah tidak bisa menunggu selama itu. Wagub menyatakan bahwa karst Citatah akan diselamatkan mulai sekarang juga.

Pernyataan Wakil Gubenur tersebut yang diucapkan pada saat acara pembukaan Pameran Foto “Selamatkan Karst Citatah” adalah suatu bukti bahwa fotografi mampu mendorong terjadinya perubahan sosial. Bagaimana kemudian sosok pemerintah yang biasanya hare-hare untuk masalah lingkungan hidup di negara ini, menjadi sangat peduli dan berjanji untuk melakukan perubahan secepatnya.

Fotografi, terutama di Bandung, dewasa ini telah mampu bergerak keluar dari frame estetika, berita, atau dokumentasi semata. Bergerak ke ranah sosial politik, di mana akan terjadi perubahan paradigma masyarakat dalam memahami karst Citatah. Membuka mata gegeden Gedong Sate melalui hasil jepretan lensa, yang bila semula ‘hanya untuk’ mendokumentasikan karst yang tersisa untuk diwariskan pda anak cucu kelak, kini berkembang menjadi suatu ‘upaya’ perubahan (perilaku) sosial.

Semoga upaya yang dilakukan KRCB dan Air Photograpy Communication serta segenap insan fotografi Bandung ini bisa secepatnya direalisasikan para gegeden kita. Karena bagaimana pun juga, tanpa campur tangan politik, perubahan sosial tidak akan pernah terjadi. Pun fotografi tidak akan pernah beranjak dari sekedar rekaman dokumentasi semata bila para insan fotografi tidak pernah membekali dirinya dengan berbagai wacana ideologis. Bila pada satu wilayah sejarah fotografi di Bandung pernah berjaya di wilayah fotografi estetika, fotografi berita, fotografi komersial, fotografi dokumentasi, maka wilayah sejarah ke depan akan mencatat bahwa fotografi kita mampu menjelajahi wilayah perubahan-perubahan serta dinamika sosial masyarakat, bahkan mampu mengarahkan suatu perubahan.

======================
Ricky Nugraha
Desainer Grafis, Pecinta Kopi dan Fotografi

2.13.2009

DEMOKRASI BUKAN SATU-SATUNYA JALAN

Beberapa hari terakhir ini berita pilkada di Jawa Timur menjadi perhatian saya. Bukan karena konflik berkepanjangan antara Karsa dan Kaji. Atau pilkada ulang di Bangkalan Madura. Tetapi yang menjadi perhatian saya adalah berapa biaya yang dipakai untuk kebutuhan pilkada tersebut. Sampai akhirnya beberapa media elektronik memberitakan bahwa biaya Pilkada Jatim adalah biaya pilkada termahal sepanjang sejarah pilkada di Indonesia: hampir 1 triliun rupiah atau 1000 miliar atau 1.000.000 juta! (punten bilih lepat ngitung, teu tepi kalkulatorna...)

Hampir 1 Triliun biaya masyarakat yang terserap untuk sebuah pesta demokrasi, sebuah pesta representasi, yang katanya dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat. 1 Triliun, sebuah angka fantastis buat seorang buruh tani di kampung Pangatikan yang mendapat upah Rp. 10.000 per hari untuk membersihkan kebun dari jam 6 pagi hingga menjelang magrib. 1 Triliun merupakan angka fantastis untuk seorang buruh pabrik tekstil di Ranca Ekek sana yang hanya mendapat Rp. 30.000 per hari setelah bekerja 8 jam tanpa henti di tengah gemuruh mesin. 1 Triliun adalah angka fantastis untuk seorang guru SD di kaki gunung Manglayang yang saban hari harus naik-turun gunung mencapai sekolah. 1 Triliun adalah angka fantastis bagi seorang wartawan yang setiap liputan yang dimuat di televisi mendapat Rp. 250.000 setelah pontang-panting siang dan malam.

Di kampung saya, di Ciamis, satu pasangan calon bupati dan wakil bupati pada Pilkada 2008 lalu mengelurkan dana minimal Rp. 2 miliar rupiah untuk biaya kampanye saja. Itu biaya yang paling murah. Saat itu ada 4 pasangan cabup-cawabup. Minimal Rp. 8 miliar yang dipakai untuk biaya kampanye saja. Entah itu berbentuk poster, baligo, gaji dan operasional tim sukses, atau sembako dan program dadakan lainnya. Itu baru di Ciamis.

Hasil akhir sebuah demokrasi belum tentu dirasakan. Pemimpin terpilih belum tentu mampu mewujudkan semua janjinya. Rakyat masih harus menunggu sampai pilkada berikutnya untuk memastikan kebenaran pilihannya. Hanya waktu yang bisa membuktikan bahwa pilkada sekarang ini akan menjadi pendidikan politik yang berbiaya sangat mahal. Tetapi dalam pendapat saya, yang paling diuntungkan adalah advertising. Karena merekalah yang menikmati perang antar calon. Orientasi politik menjadi tidak penting saat para calon yang berseteru wacana politik menggunakan jasa printing misalnya, di tempat yang sama. Calon-calon yang berseteru di ranah Pilkada pun muncul di halaman yang sama di surat kabar lokal untuk mengumbar janji dan menarik hati calon pemilih.

Advertising below the line dan above the line adalah pemenang sebenarnya pilkada, pilcaleg, atau pilpres. Katakanlah biaya marketing adalah 1/3 dari biaya produksi dalam teori ekonomi, maka setidaknya 333 Miliar terserap advertising pada Pilkada Jatim saja. Waw.

Coba misalnya yang 333 miliyar itu dikonversi ke dalam bentuk peningkatan mutu dan kualitas pendidikan, sarana dan prasarana umum, atau modal biaya pertanian-perikanan-kelautan. Dipakai untuk memelihara sumber air dan hutan untuk kemaslahatan masyarakat. Dipakai untuk membeli senjata untuk mempertahankan perbatasan. Atau dibelikan kurupuk seperti anekdot urang Sunda bila mengetahui ada penggunaan uang dalam jumlah yang sangat banyak. Kabayang kan meuli kurupuk 333 miliareun... Tong waka ngadaharna, ngagorengna ge lieur...

Demokrasi memang menjadi mimpi indah banyak orang. Tetapi mencapai sebuah mimpi indah harganya ternyata sangat-sangat mahal. Itu baru berupa uang yang secara teori masih bisa diganti. Bagaimana dengan hilangnya nyawa seperti yang terjadi di Medan? Ketua DPRD Sumut pun harus meregang nyawa akibat suatu kegiatan yang disanjung-sanjung sebagai demokrasi. Atau sekian banyak warga masyrakat yang kehilangan nyawa saat pesta pora-demokrasi di jalan raya.

Pertanyaannya, masih bisakah demokrasi dipertahankan? Apakah hanya demokrasi yang menjamin lahirnya kepemimpinan yang bersih dan berwibawa? Apakah masyarakat umum memerlukan demokrasi? Saya pikir, kita memang perlu negara yang kuat dan menjamin hak-hak rakyatnya. Kita perlu negara yang dipimpin oleh orang-orang yang kompeten dan kredibel serta amanah, bermoral dan takut Tuhan. Kita perlu kepemimpinan nasional dan lokal yang bisa membawa masayarakat ke jembatan emas kemakmuran dan kebahagiaan dunia-akhirat. Tetapi saya menolak demokrasi menjadi satu-satunya cara untuk mencapai tujuan itu.

Membuat demokrasi menjadi satu-satunya pilihan adalah hal yang sangat tidak demokratis.

13022009

2.12.2009

KAU SAJAK ITU

Engkau sajak itu
yang nakal melonjak-lonjak di batinku
menyoraki kekalahan membentengi keangkuhan
Engkaulah rima yang membawa serenada
bertangga bianglala
mencipta irama; yang menggugah, menggairah
Engkaulah musik
pengiring tarian nan cantik
melentikkan api gelora
merasuk, memabuk, di raga dan sukma
Tuhan bisakah kusamarkan rasa
sedang Engkau pemegang semua rahasia
salahkah bila aku lebur
bersama bianglala?

sajak seorang sahabat
yang saya  kutip dari
online bulletin di friendster

2.03.2009

PAJAK & NEGARA


Akhirnya, mencoba patuh pada negara...


OK, bila negara ingin rakyatnya membayar pajak, tolong mulai sekarang berantas KORUPSI, karena saya merasa NAJIS bila uang pajak hanya masuk ke kantong pribadi.

Aing mah néangan duit satengah modar, ngabelaan jauh ti anak pamajikan...
Jungkir-jumpalik nahan kasono. Dug hulu pet nyawa. Hulu jadi suku, suku jadi hulu. Nahan kacapé, nahan sagala rupa, kaasup kudu mereketkeun haté ngaladénan jalma nu loba polahna. Kudu ngéléhan dina rupa-rupa pasu'alan séjénna.

TEU RIDLO LILLAHI TA'ALA najan ngan SAPERAK mun duit pajeg di-KORUPSI!!!

Duit pajeg nu dibayar kumaha wé carana kudu balik deui ka rahayat:
pendidikan (atikan) nu murah/ gratis & berkualitas. Layanan keséhatan nu manusiawi & kahontal ku rahayat leutik. Ulah nu loba duit hungkul nu bisa asup rohangan VVIP & layanan dokter kelas t-o-p téh. Ulah barudak beunghar hungkul, nu teu nyaho kanyataan hirup ra'yat leutik, nu bisa ka sakola/universitas nu berkualitas téh.

Kaasup ka Ngarojong Usaha Kecil & Menengah ku dékéngan moral, modal, jaringan, kaamanan, oge pemberdayaan kualitas. Ulah saeutik-eutik pungli, ngurus itu- ieu pungli. Ngadidik guru-guru SD tepi ka Universitas nu manusiawi, katut ngajamin hak-hak aranjeunna nu geus ngatik ieu bangsa. Dipaké ngatik SDM nu bisa bersaing jeung bangsa séjén. Najan jaradi TKI atawa TKW, tapi bangsa urang kudu dilatih jadi bangsa terampil/parigél ngarah teu digunasika di lembur batur jeung ku batur.

Pamaréntah, saprak ayeuna teu kaci cul leos ka warga masarakatna. Duit pajeg KUDU dipake keur ngawangun budaya masarakat Indonesia nu sehat, bersih, beradab, berkualitas, oge parigel dina sagala widang.

Duit pajeg CADU dipake keur meuli pakarang/senjata nu baris ngagunasika rahayatna sorangan.

Duit pajeg LAIN keur dipake mayaran hutang luar negeri, nu sumpah, lolobana dipake keur kapentingan pribadi lain jang balarea.

Duit pajeg MONTONG dipaké keur meulian alat-alat nu teu kapaké ku balarea.

Duit pajeg MONTONG dipake ngawangun bangunan-bangunan nu rayat leutik teu meunang asup ka dinya.

Duit pajeg CADU dipake meuli imah & mobil mewah para gegedén. Komo bari jeung dibikeun ka awéwé simpenan mah.

Duit pajeg TEU MEUNANG dipaké keur ngabangun jalan atawa fasilitas umum mewah nu ngarusak lingkungan hirup.

Duit pajeg LAIN KEUR dipake ngagalaksak leuweung, gunung, laut, jeung sakabeh pangeusina.

Duit pajeg LAIN KEUR nalangan pengusaha-pengusaha bank anu bangkrut alatan ngajalankeun ékonomi ribawi & kapitalistik.

Duit pajeg OGÉ LAIN keur dipake ngamodalan parpol nu eusina saukur avonturir jeung jalma-jalma nu haus kana kakawasaan bari teu maliré rahayat jeung hirup kumbuhna.

Duit pajeg OGÉ LAIN KEUR keur ngagajih anggota dewan nu ngadon sasaré atawa ngadon salingkuh jeung nu lain muhrimna di wanci nu sakuduna mélaan rahayatna. Komo bari jeung dipake mabok INUMAN & NARKOBA mah.

MAMPUH TEU? MUN TEU MAMPUH, EUREUN WE JADI NAGARA TÉH!!!

2.02.2009

Firmware Update Untuk Pengguna Digicam Canon


Berawal dari rasa penasaran, saya mencoba masuk ke situs www.chdk.wikia.com seperti yang disarankan sebuah majalah komputer. Hal ini dilakukan karena saya mulai 'kurang puas' dengan Powershot S51S yang saya miliki. Ternyata di www.chdk.wikia.com saya menemukan harta karun: firmware update untuk digicam Canon berbagai jenis dan tipe. Firmware update ini merupakan semacam unlock' pada prosesor DIGIC III yang terpasang pada Powershot S5IS. Firmware update yang oleh penulisnya dinamakan CHDK atau Canon Hack's Developer Kits, yang merupakan firmware pengayaan (enchanchement) yang berfungsi untuk membuka keterbatasan digicam Canon yang memakai prosesor DIGIC II atau DIGIC III. Mulai Powershot A450 dengan DIGIC II, Digital Ixus 80 dengan DIGIC III, sampai Powershot TXI dengan DIGIC III.

CHDK ini berhasil membuat Powershot S5IS mampu meng-capture gambar dalam format RAW, yang tentu saja lebih kaya warna dan data dan mudah diolah dalam software pengolah foto. Menembus keterbatasan shutter speed dari 1/1600 menjadi hingga 1/80.000 (wow!), dari asalnya 15 s menjadi 64 s. Membuka diafragma dari maksimal f/8.0 hingga menembus f/16.0, memunculkan indikator batere (hal vital yang tidak ada dalam firmware resmi), bahkan dilengkapi dengan Games seperti Sokoban dan Mastermind. Pengayaan ini seolah membuat S5IS menjadi D1 Mark II, seolah menjadi game watch.

Setidaknya, keterbatasan-keterbatasan dalam DIGIC III berhasil dienyahkan sehingga berasa seperti memakai kamera yang 10 kali lipat lebih mahal. Walau tentu saja 'hate mah teu bisa dibohongan'. Seperti meng-upgrade Yamaha Mio menjadi HD Softail 1000 CC. Tetap saja ada kekurangannya. Terutama dari segi interface yang sedikit lebih rumit.

Kelebihan lainnya adalah firmware yang dibuat kelompok open source ini gratis dan tidak merusak firmware bawaan. Karena firmware ini di-install pada SD card, bukan pada BIOS kamera. Sehingga bila ternyata tidak sesuai dengan kemudahan yang ada pada kamera standar, firmare ini bisa dihapus dengan cara memformat SD Card. Jaminan aman ini juga dicetuskan dalam situs yang bersangkutan. Walau tentu saja, penggunaan firmawre non pabrikan mebuat anda kehilangan garansi dan mereka (Developer CHDK) tidak bertanggung jawab atas kerusakan yang mungkin ditimbulkan atas kesalahan penggunan firmware.

Tapi di luar berbagai kekurangan, dengan adanya pilihan RAW pada S5IS dengan firmware update s5is-101b-0.9.5-701, membuat hidup lebih leluasa. Ada pilihan yang asyik yang lebih kaya dan lebih dari sekedar JPG. Minimal, keluhan akan noise yang mengganggu saat menggunakan ISO tinggi bisa dikurangi dengan penggunaan RAW. Apalagi memang firmaware update ini juga bisa memberi pilihan rentang ISO yang lebih luas. Mulai ISO 50 - 64 (default ISO 80), sampai ISO 3200 (default ISO 1600). Setidaknya, bagi fotografer kelas hiburan seperti saya, firmware update ini memang menghibur. Yah namanya juga kamera kelas hiburan.

:D.

Catatan:
Sebelum melakukan update BACA DENGAN SEKSAMA apa yang tercantum di dalam website tersebut, juga di dalam file README.TXT yang terdapat di dalam zip kontainer firmware ybs. Segala kesalahan dan kerusakan menjadi tanggung jawab pribadi masing-masing!!!

12.25.2008

http://6ix2o9ine.blogspot.com

Iklan-Bisnisnya Teman

Bintang Reload, menyediakan real-time servis yang memungkinkan semua pelanggan prabayar untuk melakukan transaksi pengisian ulang pulsa elektronik kapan pun dan di mana pun selama ada sinyal di handphone. Servis ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat masa kini yang ingin mengurangi keterikatan pada waktu dan tempat. Hanya dengan beberapa kali klik di handphone dan tanpa harus hadir di counter penjual voucher, Anda dapat melakukan transaksi pengisian pulsa.

Kini, hanya dengan uang minimal Rp.100.000,- Anda sudah bisa berjualan berbagai macam pulsa elektrik Kapanpun!!! dan Dimanapun!!!
MAU???

http://www.bintang-reload.com/

11.18.2008

Cagar Alam Talaga Bodas, Garut











Bagi yang berjiwa petualang (bukan petualang cinta tapinya, apalagi petualang politik...). diantos kasumpinganana di Talaga Bodas Garut.

Sebuah danau kawah yang asyik dan exciting buat berlibur dan hide out dari debt coll, mantan pacar, mantan suami/istri, sekretaris pribadi yang minta dikawin, serta selingkuhan yang hamil duluan...

Danau seluas 5 hektar ini berada di Garut Timur, Kabupaten Garut, Jawa Barat dengan status kawasan taman wisata alam (TWA) seluas 28 hektar. Talaga Bodas sendiri merupakan cagar alam dengan luas total 280 hektar yang dikelilingi pegunungan (gunung Masigit, Gunung Canar) dan berada di ketinggian 1718 m dpl dengan koordinat 07*12''.453 LS dan 108*03.899 BT.

Jarak tempuh dari Wanaraja sekitar 10 km (garis lurus peta) atau sekitar 16 km sesuai kontur. Dapat ditempuh dengan berjalan kaki selama l.k. 5 jam atau menggunakan kendaraan selama 2 jam (bonus:gugurudugan!) dengan permukaan jalan tanah yang berbatu, tipikal jalan perkebunan.

Bagi yang suka mandi air panas, di Talaga Bodas ada sumber air panas yang berkhasiat menyembuhkan segala penyakit kulit. Mengandung sulfur/belerang dosis tinggi serta mineral lainnya. Itulah yang membuat air Talaga Bodas berwarna putih.

Mitos di air panas adalah air panas tersebut dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit. Syaratnya setelah mandi harus membuang celana dalam yang dipakai mandi. Jadi ancaman sampah terbesar di Talaga Bodas adalah sampah celana dalam. Tapi bagi yang berjiwa wiraswasta, mungkin dapat mengolah celana-celana dalam tersebut menjadi sesuatu yang bermanfaat. Selimut atau kaos distro misalnya...

Talaga Bodas juga merupakan ignored gas mining (karaha Field). Jadi di beberapa lokasi sebelum talaga, bisa ditemukan beberapa tambang gas yang terbengkalai.

10.17.2008

Komunitas Sahabat Gunung Sawal Ciamis


Assalamualaikum wr.wb.

Seperti yang telah kita ketahui bersama, kondisi dan kualitas lingkungan hidup yang sehat adalah jaminan bagi kelangsungan hidup manusia yang sehat pula.

Pengelolaan lingkungan hidup yang buruk di masa lalu sekarang mulai menyebabkan banyak masalah khususnya di Indonesia. Kualitas udara yang buruk, meningkatnya suhu udara, serta bencana hanyalah sebagian yang bisa kita ingat sebagai akibat rusaknya lingkungan hidup. Belum lagi ancaman pemanasan global (global warming) dan perubahan musim (climate change), yang mengancam eksistensi umat manusia.

Kita tidak bisa hanya mengeluh dan menyalahkan pemerintah, pelaku kejahatan lingkungan, atau mereka yang kita anggap sebagai perusak lingkungan hidup. Butuh lebih dari sekedar saling menuduh dan menyalahkan. Sebagai warga masyarakat yang sadar akan hak dan kewajibannya, kita harus bergerak keluar dari tataran teori, diskusi tanpa arti dan keluhan berkepanjangan. Kita harus bergerak mewujudkan kualitas lingkungan hidup yang aman dan nyaman yang menjadi impian kita semua.

Untuk itu, sebagai suatu langkah awal, bersama beberapa teman kami berada dalam tahap pembentukan Komunitas Sahabat Gunung Sawal Ciamis (KSGS), yang bertujuan untuk menuntut pengelolaan gunung Sawal yang lebih baik oleh semua pihak. Pengelolaan yang dibentuk dari berbagai unsur masayarakat, LSM, pemerintah, pribadi-pribadi yang handal dan kompeten. Pengelolaan yang seharusnya mampu melindungi Gunung Sawal dari kerusakan lebih parah.

Pengelolaan Gunung Sawal yang baik diharapkan dapat memperbaiki kualitas lingkungan hidup khusunya di sekitar kabupaten Ciamis. Udara yang bersih, sehat, dan sejuk. Ketersediaan air bersih untuk minum-makan-mandi-wudlu dan keperluan lain. Ketersediaan habitat yang sehat untuk berbagai flora dan fauna di Kawasan Gunung Sawal, tersedianya lahan dan lapangan pekerjaan bagi masyarakat yang tinggal di sekitar Gunung Sawal tanpa harus merusak hutan. Serta terjaganya warisan karuhun urang Sunda yang diwariskan dari semenjak masa Kerajaan Sunda-Galuh.


Komunitas ini bersifat nirlaba, tidak mengikat, dan dapat diikuti semua fihak. Tidak bersifat politik praktis, tidak untuk menggalang massa agar berafiliasi dengan partai atau kelompok tertentu atau untuk memilih caleg atau calon kepala daerah tertentu. Komunitas ini berdasarkan gerakan moral, niat baik serta keinginan untuk mewujudkan kualitas hidup yang sehat di dalam ekosistem yang sehat pula.

Bagi seluruh warga Ciamis, baik yang masih bermukim di Ciamis, atau yang 'ngumbara di lembur batur' diharapkan dapat berpartisipasi dalam komunitas ini. Turut serta dalam upaya-upaya konservasi Gunung Sawal serta pengelolaan yang transparan, akuntabel, serta berorientasi kepada rasa keadilan sosial untuk seluruh masyarakat.

Untuk dukungan, pertanyaan, kritik, saran, serta informasi tambahan dapat dilayangkan ke: sahabatgunungsawal@gmail.com.

Hayu Warga Ciamis. Kanyaah Ka Gunung Sawal Urang Pedarkeun Jadi Tarekah Nu Nyata.

...aya nu mapandeuri pakena gawe ring hayu pakeun heubeul jaya dina buana... (Prasasti Kawali)

Wassalamualaikum wr.wb.

Ricky Nugraha
a.n. Komunitas Sahabat Gunung Sawal Ciamis

Halal bi Halal dan Dies Natalis ke-14 Blue Hikers FSUP

10.14.2008

SALAH NGAGEMBOK MOTOR

http://6ix2o9ine.blogspot.com

Harita téh poé Jumaah. Teuing ku naon, poé éta rarasaan téh loba pisan kacowna. Mimiti basa pabeubeurang dompét ngadon ragrag di Hoka-Hoka Bénto Antapani. Sabot keur jumaahan aya nelepon ka nu di imah yén inyana manggihan dompét nu ragrag di kolong méja. Tayohna mah satutasna mayar, dompét Avtéch beureum nu asalna disimpen dina saku jékét téh ngadon ragrag.Lantaran paciweuh bari ngahuapan si Kaka, harita téh kuring dahar ngan duaan jeung si Cikal, ogé hayang motrét. Antukna basa dompet merejel teu kanyahoan. Untung muragna di jero réstoran. Dompét teh bisa balik deui dina kaayaan weuteuh, teu kurang sapérak-pérak acan.

Soréna, si Kaka hayang dipangmeulikeun momobilan."Hoyong mobil polisi téa Bi", cenah ngarenghik. Atuh jeung ninina, kaburitnakeun ngahajakeun nyiar momobilan nu dipikahayang ku si Ujang. Mimitina ka Carrefour Kiaracondong nu di Bypass/Samsat. Suwung. Lain euweuh barangna, tapi hargana teu asup. Ti dinya tuluy ka BSM, da ceuk ninina aya di Giant BSM.

Satepina di BSM, lantaran geus maju ka wanci magrib, rada rusuh ngonci motor téh. Teu alak-ilik heula, da rarasaan mah geus bener ngagembok si Mio maké gembok palebah disc brake nu hareup. Jongjon wé harita mah nyiar momobilan téa ka Giant. Suwung. Sarua hargana teu cocog. Nya ngarah kabébénjokeun, Si Ujang téh diajak heula ulin di Kota Fantasi. Maké tumpak Bianglala, Kakapalan, jeung kakarétaapian sagala.

Kaluar ti BSM téh kurang leuwih jam 8 peuting. Basa di parkiran kuring nempo bapa-bapa keur culang-cileung hareupeun motorna, nu parkirna sabelah motor kuring. Katempo ogé dua urang petugas parkiran BSM keur ngetrokan gembok. Tayohna mah kagembok motorna téh. "Leungit konci tayohna mah", gerentes haté bari muru motor. Rék muka gembok.


Na barang nempo ban hareup, gebeg, reuwas! Naha motor kuring teu digembok? Rarasaan mah da tadi burit digembok. Dina kaayaan nu remeng-remeng, rét kana gembok nu keur ditakolan téa, rek dilaan, da diragaji mah teu teurak, gebeg.... Anjir geuning gembok kuring bet ngonci motor batur...

Buru-buru konci gembok dibikeun ka tukang parkir. Polonyon we gembok nu tadina pageuh 'ngeukeupan' motor Yamaha Véga téh leupas. Puguh wé da ku koncina. Tayohna mah, bakating ku rusuh, kuring kalahka ngagembok motor batur, lain motor sorangan. Jeung ngérakeunana teh, motorna téh beda jinis. Najan sarua mérekna Yamaha, tapi motor kuring mah Yamaha Mio, nu si Bapa mah Yamaha Véga...

Singet carita: mun rek ngagembok motor, turutan kuring make gembok mérek ABUS, luyu jeung foto nu dipasang. Teu teurak diragaji, teu teurak digedor, cacakan dipocél gé teu teurak kénéh. Dina teurakna gé butuh waktu jam-jaman + gandeng kacida...

Ka Bapa-bapa nu maké Yamaha Véga + Tukang Parkir di BSM: Hampura, da lain dihaja....

Untung teu digebugan gé 😆

9.28.2008

Kaka & Ifa


Kaka & Ifa

Kalifa 1 Tahun


One Year Old Kalifa Ayu Ramadhanti

Ifa 1 Tahun


Alhamdulillah... tanggal 27 September 2008 ini Kalifa Ayu Ramadhanti tepat 1 tahun... Wilujeng tepang taun neng Ifa. Sing janten istri nu sholehah nya, janten budak nu bageur - bener - pinter - cageur. Didu'akeun ku Abi, ku Umi, ku Kaka...

9.20.2008

Helarctos malayanus



Beruang madu merupakan jenis paling kecil dari delapan jenis beruang yang ada di dunia. Beruang madu yang ada di Pulau Borneo merupakan yang paling kecil dan kemungkinan dapat digolongkan sebagai sub-jenis (sub-species) dengan nama H.malayanus eurispylus. Berat badannya berkisar antara 30 sampai dengan 65 kilogram untuk beruang madu di Borneo, kalau di Asia Tenggara dan Sumatra beruang madu agak lebih besar (50-90 kg-walaupun tidak ada data dari alam).

Beruang madu berbulu hitam, pendek, dan tebal. Hampir setiap beruang madu mempunyai tanda di dada yang unik (warnanya biasanya kuning, oranye atau putih, dan kadang-kadang bertitik-titik) dalam bentuk ’V’, ’U’ atau bundar.

Lengan beruang madu melengkung ke dalam, telapak tangannya yang tidak berbulu, dan kukunya panjang-panjang.

Beruang madu hidup hanya di Asia Tenggara dari ujung timur India dan bagian utara Burma sampai ke Laos, Kamboja, Vietnam dan Thailand sampai ke selatan di Malaysia, dan Pulau Sumatra dan pulau Borneo. Ada catatan historis yang menunjukkan bahwa beruang madu dulu terdapat di Tibet, Bangladesh, bagian selatan dari Cina, dan di Pulau Jawa.

Hutan hujan tropis merupakan habitat utama beruang madu. Makanan utamanya adalah serangga (terutama rayap, semut, larva kumbang dan kecoa hutan). Selain itu beruang madu makan berbagai jenis buah-buahan, apabila tersedia. Sesuai namanya, beruang madu sangat suka madu dari jenis kelulut.


Beruang madu pada umumnya tinggal soliter di hutan terkecuali induk dengan anak (pada umunya hanya 1 anak).

Musim kawin diperkirakan setahun penuh karena tidak ada musim dingin atau makanan yang khusus. Beruang madu sangat aktif dan sehari penuh mencari makanan. Di hutan tropis yang habitatnya, bisa ditemukan makanan setahun penuh, makanya beruang madu tidak perlu hibernasi.

Beruang madu saat ini dianggap rentan terhadap kepunahan (Vulnerable) karena habitatnya (hutan tropis) begitu banyak menyusut dan dibabat dalam 30 tahun terakhir ini. Selain habitatnya yang hilang, beruang madu juga diburu untuk mendapat empedunya atau bagian lain dari tubuhnya.

kunjungi saja beruangmadu.org

text by Gaby
pic by Ricky

Kaka 3 Taun


Alhamdulillah, tanggal 03092008 teh si Ujang jejeg 3 taun... Yap didu'akeun ku Abi + Umi, sing jadi budak soleh, bangeur-bener-pinter-cageur, sehat jasmani-rohani, iman islam taqwa ka Alloh Ta'alla. Parek rezeki panjang umurna.... Nyaah ka sasama dipikanyaah ku balarea. Sing jadi conto tuladan nu hade keur neng Ifa, kulawarga, oge balarea... Amin.

9.17.2008

GIGI Ngabuburit di Ciamis


Ciamis yang biasanya sunyi sepi, hari ini, 17 September 2008 kedatangan GIGI. Tentu saja, alun-alun Ciamis yang biasanya lengang kali ini penuh sesak.... Jelema ti suklakna ti sikulakna ngaliud ngaheurinan alun-alun... Edun, rebuan jelma ti mana-mana.... Begitu asup waktu magrib. Pesss we, pareum deui :D

2.13.2008

MAUT DI TENGAH KONSER MUSIK METAL

MAUT DI TENGAH KONSER MUSIK METAL

Betapa kagetnya saat browsing berita di internet saya mengetahui bahwa ada tragedi yang mengakibatkan 11 anak manusia meregang nyawa di geduang AACC Bandung. Lagi-lagi nyawa harus diregang paksa hanya karena suatu hal yang menurut saya sepele: kesenangan. Musik yang mengantar pada euforia dan kesenangan juga ternyata menjadi melodi pengiring saat malaikat maut menjemput.

Dari pemberitaan yang terdapat di media massa, saya menarik beberapa simpul masalah penyebab terjadinya tragedi konser maut tersebut:
1. Penonton membludak melebihi kapasitas gedung,
2. Tidak adanya gedung kesenian yang representatif untuk menampung kegiatan kesenian anak muda di Bandung,
3. Pemerintah Daerah tidak peduli pada kegiatan kesenian anak muda di Bandung. Padahal Bandung dikenal sebagai barometer musik Indonesia,
4. Alkoholisme. Yep, gak mabok gak metal dong...
5. Pengamanan dari panitia dan kepolisian tidak antisipatif,

Saya sepakat dengan apa yang dilansir Gustaff Hariman dalam pertemuan pascakonser maut (PR, 11 Februari 2008) yang mengatakan bukan alirann musik yang menjadi penyebab kerusuhan. Sebab, grup band ‘adem ayem’ seperti Ungu pun ternyata mengundang maut pada slah satu konsernya di tahun 2007 yang lalu.

Tapi, ini Cuma pertanyaan, apakah aliran musik metal grup metal Beside, yang tampil di acara konser tersebut? Thrash metal, hop metal, atau mungkin black metal? Bila yang terakhir, cukup patut dicurigai, apakah Beside menggelar ‘ritual’ tertentu? Soalnya, yang saya tahu, black metal ditengarai menyuarakan pemujaan terhadap setan. Seperti misalnya band Koil. Dalam lagu ‘Peluk Diriku’, saya menangkap sisi gelap yang secara eksplisit mengungkapkan pemujaan terhadap ‘kegelapan’. ...peluklah diriku//kegelapan abadi//berdoalah saudara-saudara//supaya persembahan kita//diterima olehnya, yang maka kuasa, yang maha kuasa...

Meureun ieu mah, si setan minta korban, soalnya dipuja-puja sih...

Euh berarti saya harus cari mp3-nya Beside untuk ‘mengurai’ liriknya...

Tetapi, apapun itu, semoga maut tidak kembali terulang di tengah konser musik di manapun juga. Harga yang harus dibayar untuk suatu kesenangan yang profan, sangatlah terlalu mahal. Terlalu mahal...

Ciamis, 12 Februari 2008

KE BANDUNG MEREKA DATANG, DI BANDUNG MEREKA MENANG

KE BANDUNG MEREKA DATANG, DI BANDUNG MEREKA MENANG

Sriwijaya FC akhirnya memenangi kompetisi sepak bola Liga Indonesia musim kompetisi 2007-2008. Suatu presasi luar biasa mengingat mereka juga memenangi Copa Indonesia 2008. Gelar juara sejati atas double winner, juara ganda, layak disematkan pada Sriwijaya FC atas konsistensi, determinasi, serta tentu saja kerja keras yang dilakukan selama 1 tahun ini.

Pada partai final, Sriwijaya FC menekuk PSMS Medan dengan skor telak 3-1 (1-1) pada babak drama perpanjangan waktu 2X15 menit. Kemenangan itu dilengkapi pula dengan diterimanya gelar pemain terbaik oleh Zah Rahan, legiun asing Sriwijaya FC yang berperan sebagai gelandang/mid fielder.

Perlu dicatat bahwa pertandingan yang berlangsung di Stadion Si Jalak Harupat, Soreang Kab. Bandung ini merupakan pertandingan usiran yang hanya bisa disaksikan via televisi. Di mana bebeberapa hari sebelumnya pada babak semi final di Istora Bung Karno, Senayan Jakarta, terjadi kerusuhan antar suporter Persija dan Persipura yang mengakibatkan satu pendukung Persija tewas.

Di sisi lain sejarah juga mencatat bahwa final Ligina kali ini adalah final yang paling sepi penonton. Sejarah juga mencatat, untuk kesekian kalinya nyawa melayang akibat fanatisme sempit antar pendukung sepakbola. Selain itu, memang pada Ligina kali ini banyak sekali kerusuhan, terutama menjelang babak 8 besar.

Meningkatnya grafik kerusuhan dan sepakbola berbanding terbalik dengan prestasi yang diraih. Timnas sepakbola Indonesia bahkan tak bertaring di tingkat Asia Tenggara. Selain itu, diperparah dengan ketum PSSI, Nurdin Halid, yang memerintah PSSI dati balik teralis penjara. PSSI adalah organisasi olahraga yang diperintah seorang penjahat yang sedang dihukum...

Ironi memang. Tapi, tetap salut untuk Sriwijaya FC atas gelar double winner-nya. Semoga menjadi motivasi bagi tin-tim lain untuk tetap berprestasi. Juga untuk Persib Bandung. Merajai putaran pertama, tetapi memble dan hancur lebur di putaran kedua. Boro-boro masuk 8 besar, ke 4 besar pun tidak mampu akibat salah urus di awal putaran kedua... Poor Persib. Tapi masih ada kompetisi berikut Sib, sok geura hudang, geura tandang....

Ciamis, 12 Februari 2008

Yeah Yeah Yeahs

Yeah Yeah Yeahs

Anjrits. Pertama kali denger garage rock asal New York via headphone rasanya seperti masuk neraka. Lengkingan parau Karen O dan distorsi gitar si Nick Zinner sungguh memekakan telinga. 1st impression adalah: an***ing, ini mungkin suara lengkingan dari neraka.... Tapi lama kelamaan, lumayan, walau sudah lebih nyaman tetap saja Yeah- Yeah Yeahs sungguh tidak enak didengarkan melalui earphone mp3 player atau headphone yang nyolok ke soundcard PC. Tapi kalau didengar pake speaker yang besar dengan power besar dan tentu volume disetel kenceng, Yeah Yeah Yeahs cukup asyik untuk didengar sekaligus teriak-teriak meluapkan amarah pada para debt collector atau boss yang menyebalkan atau...

Seperti dengar Rage Again The Machine jaman dulu, yang antara nyanyi dan marah gak ada bedanya. Dalam versi lain, Yeah Yeah Yeahs dan RATM adalah para pemarah beroktan tinggi yang kebetulan sedang main musik...

Di versi lain, Doels Soembang juga pengennya marah-marah melulu. Entah kenapa belakangan ini lagu-lagunya yang kritis kok rasanya emosional. Semua orang dimarahin, Mulai dari koruptor, tante girang dan om senang,ABG, drug user, sampe laki-laki sok jago tapi gak bisa ngasih makan anak istri...

Sekarang sih, di tengah volume kerja yang sedang lumayan hot sebagai "juragan', enaknya dengar old recording reggae atau ska. Mulai dari Bob Marley, Peter Tosh, UB 40, The Police, Tipe X, Shaggy Dog, Steven and The Coconuts Trees, sampe Souljah. Adem... Ga perlu sambil pake barang begituan, reggae, ska , juga dub tetap enak didengar sambil angguk & geleng kepala dalam kondisi sadar...

Tapi kalo lagi rush hour, ya denger aja lagi tuh Yeah Yeah Yeahs dan RATM...

DENDANG WAKTU

DENDANG WAKTU

masa depan hanyalah teka-teki
panjang tak terbantahkan
sedang masa lalu membentang
dalam catatan sejarah di dinding
candi-candi dan buku pelajaran

dan pertanyaan hari ini masih
saja pasti "siapkah kamu
menjadi terkenal?"

bertubi-tubi gemerincing recehan
mengalir menjadi cangkir kopi
pahit dengan pertanyaan hari ini

bertubi-tubi kenangan dan harapan
mengalir lirih lantunkan irama
sendu pertanyaan hari ini

masa depan adalah teka-teki
masa lalu terpahat di dinding candi
lalu, hari ini membekaskan
pertanyaan tak terbantahkan
"siapkah kamu jadi terkenal?"

07042004
Kacang Suuk + Bir Bintang - Rokok
= hari ini...

10.02.2007

Kalifa Ayu Ramadhanti

http://6ix2o9ine.blogspot.com





Kalifa Ayu Ramadhanti

http://6ix2o9ine.blogspot.com


Alhamdulillah. Puji syukur kami panjatkan hanyma padaMu ya Rabb yang Rahman Rahiim, atas lahirnya anak kami yang ke-2
KALIFA AYU RAMADHANTI dengan BB/TB 3,4kg/49cm
pada hari Kamis, tanggal 27 September 2007 pukul 20.50 WIB di Bandung.
Lahir telak tanggal 16 Ramadhan 1428 H
saat bulan purnama baru bergeser 2 hari dari puncak cahaya bulatnya

Atas dorongan moril semua kerabat dan handai tolan,saya hanya bisa mengucapkan terima kasih banyak.

Hanya Alloh SWT yang bisa membalas kebaikan semua pihak yang telah membantu kami hingga proses persalinan berjalan lungsur-langsar.

Jazzakalallohu khoiron Katsiraan.
Semoga Alloh SWT membalas dengan lebihnya

4.10.2007

Lagi-lagi STPDN!!!


http://6ix2o9ine.blogspot.com

Cliff Muntu (19 Tahun), mahasiswa tingkat II/madya IPDN Jatinangor (d.h. STPDN) tewas di RS Al Islam Bandung. Indikasi menunjukkan Cliff Muntu tewas akibat tindak kekerasan yang dilakukan oleh seniornya, mahasiswa-mahasiswa tingkat III/nindya. Berdasar laporan media hingga Senin malam 09/03/2007, Cliff Muntu tewas dengan sekijur luka leba, di tubuhnya. Lebih parah dari itu, biji zakarnya juga pecah karena benturan keras, serta terdapat sisa suntikan formalin dalam jasad malangnya.

Sekali lagi menunjukkan bahwa sekolah kedinasan yang dinaungi Departemen Dalam Negeri/Depdagri ini betul-betul sekolah yang haus akan tindak kekerasan yang berujung maut. Cliff Muntu jauh-jauh datang ke Jatinangor dari Menado dengan maksud menjemput impian menjadi aparat negara. Namun apa daya, sebelum sampai saat itu, ajal lebih dulu datang menjemput melalui tangan-tangan penuh darah.

Tangan-tangan penuh darah. Tangan-tangan itulah yang dalam 5 atau 10 tahun lagi akan menjadi aparat negara, yang akan menjadi pelayan masyarakat. Tangan-tangan itulah yang akan menjadi pengelola negara, pengelola masyarakat. Tangan-tangan yang penuh kekerasan dan sadisme….

Sebagai catatan, hal serupa juga terjadi di sekolah kedinasan lain, kali ini di Bekasi. Tepatnya di STTD (Sekolah Tinggi Transportasi Darat) yang dikelola oleh Departemen Perhubungan. Kekerasan senior terhadap junior di STTD sempat menelan korban meninggal. Kejadian tersebut terjadi tanggal 15 Februari 2007 lalu (baca: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0702/17/metro/3328791.htm). Namun entah kenapa blow up media massa tidak sebesar IPDN. Mungkin saat itu berbarengan dengan kejadian dan musibah lain yang senantisa melanda negeri ini.

Dan ini bukan isapan jempol atau berita koran. Adik sepupu saya yang tahun 2006 kemarin berhasil menjadi salahsatu mahasiswa di STTD mesti mengalami operasi usus buntu akibat pemukulan dan perppeloncoan yang dilakukan seniornya. Adik saya hanya bertahan satu semester saja. Sekarang ybs berhenti dari kuliah dengan kondisi psikologis yang traumatis. Secara fisik ybs terlihat sehat, namun secara emosi tampaknya ia masih mengalami trauma.

Penyiksaan-penyiksaan tersebut tampaknya dikondisikan secara sistimatis di sekolah-sekolah kedinasan tersebut. Sampai saat ini memang saya baru tahu ada di IPDN dan STTD. Entah di sekolah kedinasan lain seperti Akademi Militer atau Akademi Kepolisian. Entah tertutup rapat hingga tidak terendus media, atau memang tidak ada kejadian.

Namun yang jelas, hal tersebut menjadi indikator penting bahwa bangsa kita ini memang pecandu kekerasan. Sialnya, tidak hanya terjadi di masyarakat saja terpai juga di calon-calon aparat negara. Pantas saja korupsi dan manipulasi kerap terjadi dan sulit diberantas. Rupanya memang sudah dikondisikan sejak dini.

Perilaku senior-junior yang mengutamakan hubungan yang dibangun dengan kekerasan, mungkin efektif untuk menjalin relasi manipulatif dan birokrasi yang ‘lu ngomong gua bunuh!'. Relasi birokrasi yang berjalan berdasar ketakutan, ancaman, teror, dan kekerasan. Bukan relasi birokrasi yang sehat dan demokratis serta menjunjung kemanusiaan.

Pantas saja mau bikin KTP atau surat apapun selalu susah dan UUD (ujung-ujungnya Duit). Pantas saja, mungkin duit sogokan masyarakat tersebut untuk terapi psikologis aparat kecamatan-kelurahan eks IPDN (d/h. APDN, STPDN) yang selalu menjadi mimpi buruk mereka…

Fiuhhh….

Bandung, 10/04/2007
Foto: Kompas/Mohammad Hilmi Faiq
http://www.kompas.com/ver1/Nusantara/0704/03/191536.htm

4.04.2007

Kota Yang Dianiaya


Malam baru saja memulai harinya. Suhu udara mulai turun beberapa derajat. Selepas magrib itu, setelah bertemu dengan Imam seorang sohib lama, aku menuju ke timur Bandung untuk pulang. Motorku yang mulai renta, merayap perlahan jalanan dari Haur Mekar-Japati-Gasibu, untuk kemudian berbelok ke Surapati/Suci.

Sampai melewati pertigaan Gagak-Surapati kesadaranku masih dalam dunia andai-andai. Tak kupedulikan suasana jalanan dan keadaan malam itu. Pikiranku tertuju pada istri yang sedang hamil tua, pada pekerjaan, juga pada obrolan yang tadi dilakukan dengan Imam. Mendekati gedung Pusdai, tiba-tiba merasa heran, kenapa jalanan terasa lengang? Biasanya jalan Surapati dari Gasibu hingga Pasar Suci padat, dan seringkali macet. Sontak aku melirik ke kiri dan ke kanan, dan jrengggg…..

Di kiri-kanan jalan tampak onggokan kayu-kayu yang ditumpuk rapi menggantikan pepohonan yang biasanya rindang di sepanjang Surapati. Pemandangan tersebut berlanjut hingga perempatan Surapati-Pahlawan. Bahkan di sekitar kampus Itenas-Dapenpos pemandangan serupa terlihat walau dengan jumlah lebih sedikit.

Rupanya pepohononan yang rindang yang biasanya meneduhkan jalan Surapati telah ditebang seiring dengan rencana pelebaran jalan Surapati. Dibukanya fly over, jembatan layang, Pasteur-Surapati kembali menelan korban. Pada awalnya ratusan bahkan ribuan KK sepanjang jalur fly over yang kontroversial itu mengalami eksodus besar-besaran. Ribuan rumah dan bangunan digusur, ribuan orang berpindah pemukiman entah kemana sebagai koban gusuran. Tak puas dengan Paspati, roda pembangunan menggilas trotoar dan pepohonan sepanjang Surapati. Pembangunan fly over ternyata tidak cukup, jalan penunjang fly over pun musti diterabas agar fly over dapat menemukan fungsinya.

Menurutku pembangunan kota Bandung yang katanya ditata dan direncanakan oleh para ahli, hanyalah bullshit belaka. Pembangunan kota Bandung hanyalah facelift. Hanya seperti orang mengganti casing ponsel tanpa memperbaiki software dan hardware di dalamnya. Hanya ganti casing dari merah ke hijau, biru ke ungu, kuning ke entah. Tak lebih.

Sekian banyak pepohonan sepanjang Pasteur hingga Cicaheum dikorbankan atas nama pembangunan dan kelancaran ekonomi. Tak cukup dengan itu, jalur Tahura Djuanda-Punclut-Lembang kini dalam ancaman pembangunan jalan. Lagi-lagi atas nama kelancaran ekonomi dan pemerataan pembangunan.

Pembangunan apa? Pembangunan jalan layang, jalan tol, jalan raya berlapis beton, hanya dapat dinikmati orang-orang kaya yang memiliki mobil berjubel. Orang miskin yang berjalan kaki, naik sepeda, mendorong gerobak, mengayuh becak, naik angkot, naik bis kota sama sekali tidak bisa melewati jalan layang. Termasuk jalan layang Cimindi dan Kiara Condong. Orang miskin dipersilahkan berdesak-desakan, macet di bawah jalan layang, di jalan yang becek dan berlubang. Sementara itu pepohonan sumber udara bersih ditebang dan dikorbankan, diganti dengan plang-plang baja reklame produk yang sama sekali tidak kita butuhkan. Pembangunan jalan hanya menghamburkan devisa negara yang sebetulnya semakin menipis.

Pembangunan jalan hanya menguntungkan produsen kendaraan bermotor (baca: mobil) dan merugikan rakyat daripada membuat transportasi menjadi lancar. Langkanya BBM adalah karena disedot oleh orang-orang kaya yang memiliki mobil lebih dari kebutuhannya, dan subsidi BBM yang seharusnya menjadi milik rakyat miskin, dimakan oleh orang-orang kaya dengan mobil ber-ac-nya.

Pembangunan apa? Setelah bukit-bukit sekitar Bandung digunduli dan dijadikan pemukiman, kini pepohonan di dalam kota berada dalam ancaman. Coba hitung, 20 tahun lalu hampir setiap ruas utama kota Bandung masih diteduhi pepohonan. Tapi kini? Hanya tinggal sebagian Jalan Dago-Merdeka, Diponegoro hingga Ujung Supratman-A.Yani, Cihampelas, Cipaganti, sebagian Setiabudi, Sebagian Riau/Martadinata hingga Lingkar Selatan. Ruas jalan utama yang lain harus menunggu sedikitnya 20 tahun ke depan untuk kembali rindang. Itu pun bila pemkot tak lupa menanam kembali dan rajin menyirami pepohonan yang mereka tanam…

Pembangunan Bandung sebenarnya lebih pada penganiayaan dan pembunuhan. Bandung lama yang ‘gadis kampung’ perlahan dibunuh dan digantikan dengan Bandung Baru yang 'gadis metropolis'. Metropolis dengan segala kecongkakan dan kemunafikan. Bandung kini tak lebih dari sekedar perpanjangan tangan Jakarta yang penuh sesak dan berjubel. Setelah Botabek dan Karawang tak sanggup menahan derasnya Jakarta, kini Bandung mengalami getahnya.

Buktinya adalah pembangunan dan peresmian jalan to Cipularang yang dapat menghubungkan Bandung-Jakarta hanya dalam 1,5 jam saja. Bahkan lebih cepat daripada waktu tempuh Kampung Rambutan-Tanjung Priuk. Dan, lagi-lagi orang miskin tidak boleh lewat jalan tol. Jalan tol hanya untuk kalangan berduit saja. Orang miskin yang naik bis ekonomi hanya boleh lewat Cianjur atau tol Cikampek saja… Menyedihkan.

Bandung kini bukan Bandung yang kukenali lagi. Tak ada lagi kabut di pagi hari seperti 15 tahun lalu. Hampir setiap ruas jalan dilanda kemacetan parah sepanjang siang. Dulu, untuk mencapai Gedung Sate dari Kiara Condong dengan menggunakan angkot 09 hanya diperlukan waktu 15 menit. Bandung-Jatinangor menggunakan bis kota Damri Dipati Ukur-Jatinangor hanya 45 menit. Kini? Mimpi kali yee…

Sungguh, Bandung dianiaya para penguasa dan pengusaha. Dianiaya kekuasaan dan kekayaan. Bandung kini bukan milik orang Bandung lagi. Bandung kini tak bertuan. Bandung kini adalah Zombie Metropolis seperti Jakarta atau Surabaya. Bandung kini telah dianiaya oleh para pemuja harta dan konsumerisme. Mungkin, Bandung akan berganti nama menjadi Jakarta Timur Jauh atau Jakarta Timur Banget. Who knows...

20 Juli 2005, 12.00 WIB sungguh, aku menangis dibuatnya…

foto: dudi sugandi/PR On Line
pernah didistribusikan via Friendster Blog dan Milis Blue Hikers FSUP

Siapa Bilang...


Anggapan masyarakat yang mengatakan bahwa anak sekarang hidupnya lebih enak daripada anak jaman dulu, mungkin kini saatnya diganti. Setidaknya difikirkan kembali. Betapa tidak, anak sekarang yang duduk di SLTP atau SLTA, harus benar-benar kuat mental dan kuat biaya. Bagaimana tidak, sudah sekolah mahal, eh masih terancam tidak lulus juga. Sialnya, pintar sehari-hari juga tidak menjadi jaminan lulus Unas (ujian nasional).

Sebut saja Melati (17 tahun), siswi kelas 3 SMUN 6 di Jakarta. Menurut media massa, Melati adalah salah seorang dari sekian banyak pelajar yang tidak lulus dalam Unas 2006. Padahal yang bersangkutan, adalah bintang pelajar di sekolahnya, juara KIR (Karya Ilmiah Remaja), dan juara-juara lainnya. Lebih dari itu, Melati juga diberitakan telah mendapat beasiswa untuk melanjutkan studi di luar negeri. Tapi beasiswa itu tidak berguna lagi karena Melati tidak lolos unas. Sebuah ironi yang menyakitkan...

Jaman kita dulu, jauh lebih enak. Kalau ingin lulus, jadilah trouble maker dan bad influence di sekolah. Insya Alloh, sekolah akan meluluskan para pembuat onar. Daripada bikin onar karema tidak lulus, lebih baik diluluskan. Dan, kelulusan tersebut tidak berhubungan dengan ujian nasional yang dulu disebut Ebtanas (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional) sepanjang pelajaran Agama, PMP (sekarang PpKN), dan Bahasa Indonesia tidak mendapat anga merah. Kalau masih merah juga, sediakan segepok rupiah untuk saweran dengan kepala sekolah atau penilik, pasti cespleng...

Jaman dulu juga tidak perlu beli banyak buku untuk sekolah. Bawa buku satu yang tipis dan dikantongi di kantong belakang, sudah bisa sekolah dan belajar. Tidak perlu beli LKS-LKS seperti yang sekarang menjadi momok menakutkan bagi para orang tua murid. Atau buku-buku handbook wajib lain, yang setiap tahun harus ganti. Dulu, kita masih bisa pinjam buku bekas kakak kelas kita, karena isinya sama saja. Sekarang? Jaman harap...

Jaman dulu juga pagar sekolah tidak setinggi sekarang. Jendela-jendelanya tidak diberi teralis, dan di pintu gerbang tidak ada satpam, sehingga memudahkan kita untuk lompat jendela, lompat pagar sekolah, dan lalu bolos ke dept. store terdekat untuk nongkrong, menggoda cewek lewat, sambil merokok seenaknya.(maaf, dulu belum ada mal...). Sekarang? Uh, penjara saja kalah sama sekolah. Pagarnya tinggi-tinggi dan jendelanya dilengkapi teralis besi. Di mal-mal sekarang banyak aturan untuk tidak merokok, dan supermarket terdekat sepakat untuk tidak menjual rokok pada remaja berusia di bawah 18 tahun.

Jaman dulu, ga punya ongkos buat sekolah, masih bisa jalan kaki sambil menikmati embun pagi dan matahari yang baru menghangat. Bebas polusi dan tidak takut tabrak lari. Jaman sekarang? Punya duit juga harus datang lebih pagi agar kebagian angkot. Mau jalan? Cari penyakit aja....

Jadi, sudah saatnya kita berhenti berkata (bisanya sambil bersungut-sungut iri) bahwa anak sekarang hidupnya lebih enak. Jujur saja, masa lalu kita (kebanyakan dari kita) sebagai pelajar masih lebih enak daripada anak jaman sekarang. Beberapa hal dari masa lalu yang enak, tidak bisa kita wariskan karena perubahan paradigma sosial masyarakat.

Jadi, hidup masa lalu!!!


foto: http://www.astriddita.com/blog/archives/2007/01/
tulisan ini pernah didistribusikan via Friendster Blog dan Milis Blue Hikers FSUP
07072006

Negeri Segala Ironi

Sudahlah, tak perlu banyak berdalil. Namun yang jelas, semoga Alloh SWT menurunkan azab pada mereka yang telah mendzolimi negara ini: Para Koruptor dan Penjahat Lingkungan Hidup.

Kita tidak punya bukti untuk mengungkap kejahatan dan kedzoliman mereka, tetapi Alloh lebih dari melihat, lebih dari sekedar mengetahui apa yang ada di negara ini. Negara yang dijuluki negara maling (kleptokrasi), negara yang telah dzolim pada rakyatnya. Pemerintah yang korup dan tidak membela kepentingan rakyatnya. Anggota Dewan (DPR/DPRD) yang juga manipulatif, bodoh, dan durhaka karena mensiasiakan amanat rakyat. Kaum kapitalis-borjuis yang mengutamakan penumpukan dan sentralisasi kekayaan.

Para petani menamanam padi tetapi mereka harus membeli beras dengan harga mahal. Sumber gas alam dan minyak bumi dari Sabang sampai Merauke, tetapi para ibu harus antre minyak tanah dan bersungut-sungut karena gas LPG hilang dari pasaran. Para dai dan ustad bicara banyak tentang dosa dan pendosa, tetapi kejahatan semakin meraja-lela.

Setiap hari ratusan ribu hektar hutan Irian dan Kalimantan ditebang dan kayunya mengalir ke Malaysia dan Eropa. Setiap hari ratusan ribu kubik pasir dari Riau dan Sumatra membuat Singapura bertambah luas. Setiap hari bencana lingkungan mengancam negara yang bodoh dan bobrok ini…

Negeri segala ironi. Saat pendidikan semakin sulit, biaya pendidikan pun semakin meningkat. Semakin banyak yang terdidik, semakin banyak pengangguran dan pecandu mimpi intelektualitas.

Ya Alloh SWT, tuntun kami dan keluarga kami dari azab-Mu yang pedih. Jangan jadikan kami seperti kaum nabi Nuh atau Luth. Beri kami kekuatan untuk selalu di jalan-Mu. Dan bila boleh kami meminta, berilah azab untuk tirani yang mendzolimi dan menyakiti rakyat. Azablah para koruptor yang mencuri biaya pendidikan dan kesehatan kami. Azablah para spekulan yang menyembunyikan beras dan energi kami. Azablah para pencuri yang bertahta di balik kekuasaan dan kemewahan…

Ciamis, 010407

Selamat Jalan Oom Chrisye


Jumat pagi, 31 Maret 2007. Televisi-televisi Swasta menayangkan berita duka cita:
Innalillahi wa inna illaihi rojiun. Telah kembali ke haribaan-Nya, H, Chrismansyah Rahadi atau Chrisye, setelah sekian lama menderita kanker paru-paru, dalam usia 58 tahun. Semua terhenyak. Semua berduka. Tapi Alloh SWT telah menentukan apa yang terbaik untuk ciptan-Nya. Kanker paru-paru itu tak akan lagi menyakiti Oom Chrisye. Sang Legenda Pop Indonesia, kini sudah kembali ke pangkuan Sang Khalik Penciptanya.

Lagu-lagu Oom Chrisye akan tetap dikenang para penggemar musik Indonesia. Tua dan muda. Bahkan mungkin untuk generasi baru yang saat Oom Chrisye meninggal, belum lahir. Lagu-lagu yang dinyanyikan Oom Chrisye akan senantiasa mengalun di jagat musik Indonesia.

“Hip-hip Hura-Hura”, adalah lagu yang pertama kudengar secara utuh, dalam arti tahu siapa yang menyanyikan dan bagaimana lagunya. Saat pertama kudengar lagu itu, aku masih duduk di SD. Kelas 4 atau 5 mungkin. Atau mungkin kelas 3 atau kelas 2. Entahlah, bagian itu tak penting. Yang penting yang kuingat adalah lagu tersebut kulihat di TVRI dalam acara Aneka Ria Safari (yang lebih dulu almarhum). Dengan gayanya yang khas, Oom Chrisye membawakan lagu riang itu diiringi penari latar yang berpakaian warna-warni.

[…]
O hip-hip hura-hura (hura-hura)
Uuu, aku suka dia (suka dia)
Uuu, aku jatuh cinta (jatuh cinta)
Dia pun menanti
Cinta bersemi di hati
Di hati ada cinta
[…]

Selain itu aku teringat akan kaset lama soundtrack film Badai Pasti Berlalu. Di album itu Oom Chrisye menyanyikan banyak lagu hits yang menembus batas ruang waktu. Bahkan di awal millenium baru, seiring re-make film tersebut, album Badai Pasti Belalu juga dirilis ulang dengan judul Badai Pasti Berlalu Millenium. Arransemen baru dan nafas baru lahir di album ini. Tetapi ciri khas dan kebeningan suara Chrisye tetaplah seperti yang kudengar di album terdahulu.

Semoga lilin-lilin kecil menerangi istirahatmu di samping-Nya Oom Chrisye
Semoga karya dan pengabdianmu menjadi inspirasi bagi kita yang ditinggalkan

foto: Kompas.com//Hasanuddin Assegaff
Ciamis, 010407